Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Abstrak. Kata Kunci : Implikasi Yuridis, Putusan MK, Saksi dan Keterangan Saksi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Abstrak. Kata Kunci : Implikasi Yuridis, Putusan MK, Saksi dan Keterangan Saksi"

Transkripsi

1 IMPLIKASI YURIDIS MENGENAI SAKSI DAN KETERANGAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-VIII/2010 Tegar Wira Pambudi, Dr.Ismail Navianto, SH,MH Eny Harjati, SH, MHum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tegarwpambudi@gmail.com Abstrak Pada tahun 2011, MK telah melakukan perluasan terhadap definisi saksi yang terdapat didalam KUHAP. setelah adanya putusan tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi menjadi orang yang tidak harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung. Kata Kunci : Implikasi Yuridis, Putusan MK, Saksi dan Keterangan Saksi Abstract In 2011, the Constitutional Court has made the expansion of the definition contained in the Code of Criminal Procedure witnesses. after the decision of the definition of witnesses and witness testimony be people who do not have to hear, see and direct knowledge and witness testimony be expanded meaning of witness testimony about a 1

2 criminal and be heard, seen and experienced myself by saying that knowledge of reasons, including the information in the context of the investigation, prosecution, and trial of an offense of people who are not always heard, seeing and experiencing a criminal event. Description of person who although not see, hear and experience an event can be a witness and can also be valuable as evidence if the witness testimony given information relevant to the ongoing case. Keywords : Judicial Implications, Constitutional Court, Witness And Witness Tesimony 2

3 A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara hukum. Salah satu implementasi dari negara hukum di Indonesia saat ini adalah pengaturan dalam sebuah norma-norma hukum publik dan bersifat mengikat kepada seluruh warga negara untuk menciptakan keadilan dan perlindungan terhadap warga negara salah satunya melalui penegakan hukum pidana. Hukum pidana dalam arti yang luas terdiri atas hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang perbuatan yang diancam pidana (misalnya mengambil barang milik orang lain), pertanggungjawaban dalam hukum pidana ( maksudnya siapa yang dapat dijatuhi pidana), serta hukum penitensier yaitu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana. 1 Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia juga telah membawa perubahan penting, tidak hanya dalam praktik peradilan pidana, melainkan juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum acara pidana di Indonesia. Banyak hal-hal baru yang diatur didalam KUHAP terutama dalam ranah pembuktian. Pembuktian dilakukan dilakukan guna mencari faktafakta dari sebuah peristiwa dan menentukan nasib seorang terdakwa serta guna mencari dan mendapatkan fakta-fakta terhadap suatu peristiwa tindak pidana. Saat ini, untuk kepentingan pembuktian, terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah menurut KUHAP guna proses pembuktian acara pidana, yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Alat-alat bukti yang sah antara lain adalah : 2 1. keterangan saksi, 2. keterangan ahli, 3. surat, 4. petunjuk, 1 Masruchin Ruba I, Hukum Pidana I, Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Hlm 8 2 Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3

4 5. keterangan terdakwa. Berdasarkan kelima alat bukti tersebut dapat dilihat bahwa keterangan saksi berada pada urutan pertama sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Hal itu mengartikan bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian perkara pidana. Pada tahun 2011, Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia melalui putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 membuat suatu pembaharuan dengan mengabulkan permohonan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam amar putusannya yang dibacakan pada tanggal 8 Agustus 2011 tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai orang yang selalu mendengar, melihat, serta mengalami suatu peristiwa. 3 Putusan MK yang meniadakan suatu keadaan hukum atau membentuk hukum baru tersebut tentunya membawa konsekuensi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini baik dalam ketentuan perundang-undangan, literatur maupun doktrin oleh para ahli menjelaskan bahwa saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu tindak pidana tersebut. Putusan tersebut juga menimbulkan beberapa dampak dalam hukum acara pidana di Indonesia, jika ternyata saksi adalah tidak harus orang yang melihat, mendengar, dan mengalami suatu peristiwa pidana, lalu bagaimana kriteria orang dapat dijadikan sebagai seorang saksi, kemudian bagaimana 3 Agus Sahbani, MK Rombak Definisi Saksi dalam KUHAP, diakses pada tanggal 10 September

5 kriteria keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan, apakah orang yang tidak melihat, mendengar atau mengalami suatu peristiwa pidana dapat menjadi saksi dalam persidangan pidana. Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena Mahkamah Konstitusi juga tidak memberikan syarat-syarat yang jelas bagaimana kriteria saksi yang dapat memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Berangkat dari hal tersebut maka penulis berencana untuk melakukan penelitian dengan judul Implikasi Yuridis Mengenai Saksi dan Keterangan Saksi dalam Perkara Pidana Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 B. MASALAH Bagaimana implikasi yuridis mengenai saksi dan keterangan saksi dalam perkara pidana setelah putusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010? C. PEMBAHASAN Penelitian skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif pada dasarnya merupakan penelitian yang dilakukan karena adanya kekaburan norma, kekosongan norma, atau pertentangan norma. Penelitian secara yuridis normatif yaitu penelitian berupa inventarisasi perundang-undangan yang berlaku, berupaya mencari asas-asas atau dasar dari perundang-undangan tersebut, atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum sesuai dengan suatu kasus tertentu. 4 Dalam penelitian ini, jenis penelitian yuridis normatif digunakan untuk mengkaji implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 terhadap KUHAP terutama tentang saksi dan keterangan saksi dalam pembuktian perkara pidana, karena putusan tersebut masih mengandung kekaburan norma mengenai bagaimana perluasan saksi dalam pembuktian pada perkara pidana. 4 Sumitro, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal 86 5

6 Indonesia menganut sistem pembuktian negatif. Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti itu ada ditambah dengan keyakinan hakim tersebut. Sistem pembuktian negatif tersebut ditegaskan dalam KUHAP Pasal 183 yang menjelaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa dalam rangka pembuktian maka digunakan keyakinan hakim serta alat bukti yang sah menurut Undangundang. Maka saat ini berdasarkan Pasal 184 KUHAP memberikan beberapa alat bukti yang sah antara lain : a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 KUHAP telah memberikan batasan yang jelas mengenai saksi dan keterangan saksi. Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP telah dijelaskan Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Bab I Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan keterangan saksi dalam KUHAP sebelum adanya putusan diatur dalam Pasal 1 angka 27 Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam suatu peristiwa pidana yang berupa keterangan dari saksi 6

7 mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu (Bab I Pasal 1 angka 27 KUHAP). Pengaturan tersebut telah memberikan jawaban dengan tegas bahwa keterangan saksi yang diperoleh dari saksi de auditu bukanlah alat bukti yang sah dan tidak memiliki nilai keterangan saksi sebagaimana yang diatur didalam KUHAP. Kesaksian de auditu sebagai alat bukti kesaksian juga ditolak oleh para ahli, S.M Amin yang mengatakan sebagai berikut : 5 memberi daya bukti kepada kesaksian-kesaksian de auditu berarti, bahwa syarat didengar, dilihat, atau dialami sendri tidak dipegang lagi. Sehingga memperoleh juga dengan tidak langsung daya bukti, keterangan-keterangan yang diucapkan oleh seseorang diluar sumpah. Misalkan A menceritakan sesuatu kepada B, ia melihat C pada suatu malam mencari D dengan pisau terhunus dan muka membayangkan kemarahan. Keesokan harinya kedapatan mayat D terdampar di suatu jalan sepi dengan beberapa tusukan di badan Dalam sidang pengadilan, dalam pemeriksaan pembunuhan atas D, maka B didengar sebagai saksi. Ia menceritakan apa yang pernah didengarnya dari A yang tidak didengar oleh karena telah meninggal. Ini berarti, bahwa keterangan-keterangan yang dipergunakan untuk menciptakan bukti adalah keterangan-keterangan saksi B, bukan keterangan A yang seharusnya didengar sebagai saksi. Pengaturan yang sudah jelas dalam KUHAP mengenai tidak diakuinya kesaksian de auditu dan kriteria orang yang dapat memberikan keterangan saksi ternyata masih menimbulkan persoalan karena belum jelasnya pengaturan mengenai saksi secara menyeluruh di dalam KUHAP. Dalam perkembangannya Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP apabila dihubungkan 5 Andi Hamzah, Op.cit, hlm.265 7

8 dengan Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP dianggap oleh para ahli bertentangan satu dengan yang lain. Dalam Pasal 65 KUHAP dijelaskan bahwa : Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya Batasan terhadap keterangan saksi yang ada dalam pasal 1 angka 26 KUHAP akan menyulitkan bagi terdakwa yang hendak mengajukan saksi yang meringankan untuk kepentingan pembelaan terhadap dirinya. Pembatasan terhadap definisi saksi tersebut yang mengakibatkan Yusril Ihza Mahendra yang pada tahun 2010 ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada kasus Sisminbakum di Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia kesulitan untuk mengajukan saksi yang meringankan bagi dirinya. Awalnya dalam rangka pembelaan terhadap dakwaan yang diajukan kepadanya, Yusril mengajukan empat orang saksi yang dinilai menguntungkan bagi dirinya. Ke empat orang saksi tersebut adalah Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu dinilai mengetahui fakta seputar proyek sisminbakum di kementerian Hukum dan HAM itu. Atas dasar penolakan tersebut, Yusril selanjutnya mengajukan gugtan pengujian terhadap pasal 1 angka 26 jo 27 jo Pasal 65 jo Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) yang mengatur mengenai saksi dalam KUHAP kepada Mahkamah Konstitusi. Pertengahan tahun 2011 MK mengeluarkan putusan yang mengadili perkara yang dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra tentang saksi dalam KUHAP dalam putusan nomor 65/PUU- VIII/2010. Putusan tersebut termasuk putusan yang bersifat declaratoir dan constitutif. Sehingga semenjak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat tersebut, maka Pasal 1 angka 8

9 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP sepanjang pengertian dari saksi dan keterangan saksi haruslah orang yang melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat dikatakan tidak berlaku. Analisis yang dilakukan oleh penulis menjelaskan bahwa saksi dalam perkara pidana diperluas maknanya menjadi orang yang tidak harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diputuskan setelah adanya gugatan dari Yusril Ihza Mahendra tersebut tentunya membawa dampak dalam pengertian saksi dan keterangan saksi. Sebagaimana dalam amar putusannya, pengertian saksi dan keterangan saksi yang ada didalam Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 27 KUHAP telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini berarti ketentuan tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan kriteria saksi dan keterangan saksi. Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan yang cukup jelas mengenai sejauh mana nilai keterangan seseorang dapat dijadikan sebagai saksi. Pertimbangan hakim yang diberikan oleh majelis hakim yang memutuskan perkara tersebut hanya menjelaskan bahwa nilai kesaksian saksi bukanlah terletak apakah dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Namun, terletak pada sejauh mana relevansi kesaksian yang diberikan terhadap perkara yang sedang berjalan. Mengenai relevansi terhadap alat bukti saksi, menurut M. Yahya Harahap mencari relevansi haruslah diujikan cara pemeriksaannya kepada landasan hukum, agar dalam mencari dan mengarahkan keterangan saksi 9

10 dalam pemeriksaan, benar-benar tertuju kepada urgensi sesuai dengan yang dikehendaki ketentuan hukum itu sendiri. 6 Relevansi alat bukti secara sederhana dapat diukur dari apakah alat bukti tersebut sesuai dengan fakta yang dibuktikan. 7 Relevansi sangat penting dalam hal pembuktian perkara pidana. Pentingnya makna relevansi dijelaskan oleh Eddy O.S Hiraej dalam pembuktian perkara pidana adalah sebagai berikut : 8 a. Bukti harus relevan atau berhubungan. b. Bukti harus dapat dipercaya, maksudnya bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat bukti harus didukung oleh bukti lainnya c. Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya, bukti tersebut haruslah bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta. Arti relevansi sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah kecocokan, bersangkut paut atau berguna secara langsung. 9 Relevansi jika dikaitkan dengan pembuktian menurut Munir Fuadi merupakan suatu alat bukti dimana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang dibuktikan tersebut menjadi lebih jelas daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan. Dengan demikian, penentuan relevansi sebuah alat bukti dalam hal ini alat bukti 6 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm Munir Fuadi, Op.Cit, hlm Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm, 13 9 Kbbi online 10

11 kesaksian bukan diukur dari ada atau tidaknya hubungannya dengan fakta yang akan dibuktikan, melainkan dengan hubungan tersebut dapat membuat fakta yang bersangkutan menjadi lebih jelas. Penulis menjabarkan dari apa yang dijelaskan dari kalimat diatas dengan sebuah ilustrasi. Misalnya dalam terdapat kehilangan barang akibat adanya tindak pidana pencurian didalam sebuah rumah. Tindak pidana pencurian itu terjadi ketika didalam rumah hanya terdapat 2 orang yaitu A dan B. A kehilangan barang miliknya sedangkan dia mengetahui bahwa pada saat itu tidak ada orang yang memasuki rumahnya selain B meskipun A tidak melihat sendiri tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh B. Jika A melaporkan tindak pidana yang terjadi terhadapnya, maka keterangan A yang menyatakan bahwa tidak ada orang yang masuk ke dalam rumah selain B menjadi relevan dengan tindak pidana yang sedang berjalan. Hal tersebut menjadi relevan karena keterangan tersebut membuat perkara menjadi lebih terang dibanding jika keterangan tersebut tidak diucapkan. Relevansi seorang saksi juga dapat didukung oleh alasan pengetahuannya. 10 Tegasnya harus mempunyai sumber pengetahuan yang logis atau masuk akal. Misalnya, saksi katakana melihat sendiri peristiwa tindak pidana penganiayaan di rumahnya sewaktu ia masih berada di kantor. Hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai kesaksian yang relevan. Jadi, setiap unsur keterangan harus diuji dengan sumber pengetahuan saksi, dan setelah diuji dengan sumber pengetahuan, benar terdapat ketepatan keterangan yang masuk akal, antara keterangan saksi dengan sumber pengetahuannya harus benar-benar konsisten antara yang satu dengan yang lain. 11 Selanjutnya, perlu dijabarkan pula apakah putusan ini hanya berlaku bagi perkara pidana umum yang hanya mengacu pada KUHAP, ataukah berlaku bagi semua perkara pidana baik perkara umum maupun perkara 10 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan, Op.cit, hlm Ibid. 11

12 khusus. Untuk menjabarkan hal ini maka digunakan asas penyelesaian sengketa hukum. Dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum tentang berlakunya undang-undang sebagai berikut: 12 1) UU tidak berlaku surut 2) Asas lex superior derogate legi inferiori, yaitu undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai derajat yang lebih tinggi. Apabila ada dua UU yang mengatur objek yang sama, maka undang-undang yang derajatnya lebih tinggi didahulukan pemberlakuannya. 3) Asas lex posteriori derogate legi priori, yaitu undang-undang yang baru mengenyampingkan undang-undang yang lama apabila mengatur objek yang sama 4) Asas lex specialist derogate legi generali, yaitu undangundang yang bersifat khusus mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang yang bersifat umum. Artinya apabila ada dua undang-undang yang khusus mengatur tersebut, maka ketentuan yang khusus itulah yang digunakan dalam memutuskan perkara. Misalnya pasal-pasal yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersifat umum mengatur tentang penyalahgunaan wewenang atau jabatannya (Pasal 423, 424 dan Pasal 425 KUHPidana), maka yang diberlakukan adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terhadap perkara tindak pidana khusus yang didalamnya memerlukan keterangan saksi didalam pembuktiannya, maka menurut ketentuan asas hukum maka berlaku asas lex spesiali derogate legi generali artinya Undang- 12 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm.60 12

13 Undang yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan Undang-Undang yang bersifat khusus. Kongkritnya, jika didalam suatu ketentuan Undang- Undang tindak pidana khusus mengatur tersendiri mengenai ketentuan dan kriteria saksi, maka yang berlaku adalah ketentuan saksi dalam Undang- Undang tersebut. Akan tetapi jika Undang-undang mengenai tindak pidana khusus tersebut tidak mengatur mengenai makna dan ketentuan saksi, maka ketentuan dan kriteria saksi kembali lagi mengacu berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP sebagaimana telah diperluas berdasarkan putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 65/PUU- VIII/2010 tersebut. Sebagai contoh dalam kasus Yusril Ihza Mahendra pada tahun 2010 tentang tindak pidana khusus korupsi Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM. Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur ketentuan mengenai saksi dan keterangan saksi, sehingga pada saat itu ketentuan saksi mengacu kepada makna Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP jo Pasal 65 KUHAP karena pada saat itu Yusril bermaksud menghadirkan beberapa orang saksi yang meringankan bagi dirinya. Undang-Undang yang mengatur beberapa tindak pidana khusus lainnya seperti Tindak Pidana Kekerasaan dalam Rumah Tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE juga tidak memberikan pengertian khusus mengenai ketentuan dan kriteria dari orang yang dapat bernilai sebagai saksi. Sehingga berdasarkan asas hukum yang telah dijelaskan diatas, ketentuan mengenai saksi juga mengacu pada KUHAP. Sebaliknya, Undang-Undang tindak pidana khusus lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Atas Peraturan 13

14 Pemerintah Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang memiliki ketentuan lain yang mengharuskan saksi melihat dan mendengar sendiri tindak pidana yang terjadi, hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 32 ayat (1) yang berbunyi : 13 Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan. Sehingga dapat disimpulkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tersebut, ketentuan saksi dan keterangan saksi yang berada didalam KUHAP telah diperluas maknanya menjadi Keterangan dari orang yang tidak harus melihat, mendengar, atau mengalami suatu peristiwa pidana sepanjang keterangan yang diucapkan relevan dengan peristiwa pidana yang sedang berlangsung dan menjelaskan alasan pengetahuannya itu. Perluasan ini juga berlaku dalam perkara pidana dalam ranah pidana khusus jika Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana khusus tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi, sehingga pengaturannya dikembalikan kepada KUHAP. Dalam hal kekaburan hukum yang masih terdapat dalam ketentuan tersebut, maka selanjutnya didalam pembentukan R-KUHAP yang tengah berlangsung haruslah diperjelas mengenai kriteria saksi dan keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana, sehingga menciptakan kepastian hukum yang lebih baik. 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

15 D. PENUTUP A. Kesimpulan Implikasi yuridis dari putusan MK nomor 65/PUU-VIII/2010 mengenai saksi dan keterangan saksi dalam perkara pidana adalah bahwa setelah adanya putusan tersebut definisi saksi dan keterangan saksi menjadi menjadi orang yang tidak harus mendengar, melihat dan mengetahui secara langsung dan keterangan saksi diperluas maknanya menjadi keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang didengar, dilihat dan alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana dari orang yang tidak selalu mendengar, melihat dan mengalami suatu peristiwa pidana. Keterangan dari orang yang meskipun tidak melihat, mendengar dan mengalami suatu peristiwa dapat menjadi saksi dan dapat pula bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi apabila keterangan yang diberikan relevan dengan perkara yang tengah berlangsung. B. Saran 1. Setelah adanya putusan ini penegak hukum diharapkan lebih teliti untuk menghadirkan saksi dalam rangka pembuktian terhadap perkara pidana terlebih setelah diperluasnya definisi saksi dan keterangan saksi dalam KUHAP. 2. Terhadap kriteria saksi yang telah diperluas oleh MK, hendaknya penegak hukum dapat menarik kesimpulan secara tepat untuk menilai relevansi keterangan saksi yang tidak melihat, mendengar dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, agar pembuktian dalam perkara pidana dapat berjalan secara tepat. 3. Hendaknya dalam pengaturan di masa mendatang baik dalam Rancangan KUHAP maupun pengaturan yang lainnya lebih menjelaskan batasan-batasan yang tepat mengenai makna relevansi suatu keterangan saksi, agar tidak 15

16 menimbulkan kekaburan hukum baik bagi saksi yang memberatkan terdakwa maupun terhadap saksi yang meringankan terdakwa. 16

17 DAFTAR PUSTAKA BUKU Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Eddy O.S Hiraej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 Masruchin Ruba I, Hukum Pidana I, Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1989 M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003 Sumitro, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Nomor 1981/76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang perluasan definsi saksi dalam proses peradilan pidana 17

18 Karya Tulis Ilmiah Fadel, Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Makassar, Universitas Hasanudin, 2012 Martifa Kunto, Kekuatan Bukti Keterangan Saksi A de Charge Dalam Tindak Pidana Peredaran Obat, Skripsi tidak diterbitkan, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2012 Ahmad Radinal, Kedudukan Saksi Dalam Persidangan Perkara Pidana Di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012 Internet Anonim, Saksi De Auditu, diakses tanggal 23 November 2014 Anonim, Aturan Saksi Dalam KUHAP Dinilai Saling Bertentangan, diakses pada tanggal 26 November 2014 Jimly Asshidiqie, Sejarah Perkembangan Mahkamah Konstitusi, diakses tanggal 26 September 2014 Makna relevansi, Kbbi online, kbbi.web.id, diakses tanggal 23 Desember

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hukum acara pidana pembuktian merupakan hal yang penting saat pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini karena berdasarkan tahapan pembuktian inilah terjadi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana ) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra. II. POKOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017 Keterangan Saksi Yang Diberikan di Bawah Sumpah dan Tidak Hadir Dalam Persidangan Disamakan Nilainya dengan Keterangan Saksi Di Bawah Sumpah Yang Diucapkan

Lebih terperinci

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 65/PUU-VIII/2010 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil

Lebih terperinci

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH

KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE PADA PROSES PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI ARTIKEL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum Oleh: SAKTIAN NARIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana. kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an,

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana. kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pembuktian dalam Pekara Pidana 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana Kata pembuktian berasal dari kata bukti artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN Oleh : Wajihatut Dzikriyah I Ketut Suardita Bagian Peradilan, Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA) Oleh : Ni Made Ira Sukmaningsih Tjok Istri Putra Astiti Bagian Hukum Acara Fakultas

Lebih terperinci

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana secara sederhana merupakan proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Kepolisian, kejaksaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum i JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT Program Studi Ilmu Hukum Oleh : TITI YULIA SULAIHA D1A013378 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2017 i HALAMAN

Lebih terperinci

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Merumuskan hukum pidana ke dalam rangkaian kata untuk dapat memberikan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa : 61 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis menyimpulkan bahwa : 1. Dalam memperoleh suatu keyakinan oleh hakim, ia harus mendasarkan keyakinannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-VIII/2010 tanggal 24 September 2010 atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA oleh Cok Istri Brahmi Putri Biya Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Article titled

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam persidangan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Purwopranjono yang dilaksanakan di

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006 I. PEMOHON/KUASA Ir Dawud Djatmiko II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

Lebih terperinci

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 0 PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Karanganyar) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui BAB I LATAR BELAKANG Lembaga peradilan merupakan institusi negara yang mempunyai tugas pokok untuk memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh warga masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan Undang-undang Dasar 1945 membawa perubahan yang sangat mendasar ke dalam kehidupan negara hukum Indonesia, di antaranya adanya pengakuan hak asasi manusia

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,

Lebih terperinci

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam buku pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR) Oleh I Made Adhi Parwatha I Ketut Keneng I Ketut Sudjana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PERANAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DILIHAT DARI UU NO.8 TAHUN 1981

PERANAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DILIHAT DARI UU NO.8 TAHUN 1981 PERANAN SAKSI DALAM PERKARA PIDANA DILIHAT DARI UU NO.8 TAHUN 1981 Oleh : Iman Hidayat,SH.,MH. 1 Abstract Implementation of Criminal Justice is the enforcement mechanism of the workings of the criminal

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan I. PEMOHON - P.T. Inanta Timber & Trading Coy Ltd.yang diwakili oleh Sofandra sebagai Direktur Utama -------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, penegasan ini secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh : Cintya Dwi Santoso Cangi Gde Made Swardhana Bagian Hukum Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract 147 IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram Abstract Authentication is very important in the process of resolving criminal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014.

KUASA HUKUM Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Maret 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 54/PUU-XII/2014 Penetapan Tersangka dan Kewenangan Pegawai Internal BPK Sebagai Ahli Dalam Persidangan Atas Hasil Audit Laporan Internal Badan Pemeriksa Keuangan

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 PENETAPAN PENGADILAN TENTANG BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP UNTUK DIMULAINYA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PASAL 26 UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 JUNCTO PERPU NOMOR 1 TAHUN 2002 1 Oleh :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan I. PEMOHON Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), diwakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK I. PEMOHON 1. Dr. Harun Al Rasyid, S.H., M.Hum sebagai Pemohon I; 2. Hotman Tambunan, S.T., MBA.sebagai Pemohon II; 3. Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang Undang Dasar Sebagai konsekuensi logis peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi logis peraturan tersebut, maka seluruh tata kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL

KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL KEKUATAN HUKUM SAKSI A DE CHARGE DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DIPENGADILAN NEGERI KISARAN JURNAL Oleh: EKA PUJI ASTUTI SITORUS NIM. 120200002 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas I. PEMOHON Ir. Samady Singarimbun RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, SH., M., dkk. II.

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. DAFTAR PUSTAKA Buku : Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. Adami Chazawi, 2008, Hukum Acara Pidana suatu pengantar, PT Alumni, Bandung.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEWAJIBAN PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN TERHADAP TERSANGKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Christian Tambuwun 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomer 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci