BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN
|
|
- Johan Budiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 31 BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN 3.1. Pengaturan Pembuktian SMS Dalam KUHAP Short Message Service (Selanjutnya disingkat SMS) adalah salah satu bagian dari Teknologi Informasi yang memiliki pengertian sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi. Dalam hitungan menit bahkan detik melalui teknologi tersebut individu disuguhi dengan berbagai informasi, tidak lepas dari sifatnya yang positif maupun negatif, sehingga dalam konteks sikap dan prilaku individu. Pemanfaatan teknologi informasi tidak lepas dari kemungkinan adanya penyalahgunaan untuk halhal yang bersifat kejahatan dan terhadap hal tersebut juga menyebabkan adanya kecenderungan yang lebih besar lagi ketika penggunaan teknologi informasi ini cenderung bersifat tertutup dan sangat mengedepankan aspek privacy. Layanan SMS merupakan sebuah layanan yang bersifat nonrealtime dimana sebuah short messeges dapat di-submit kesatu tujuan, tidak peduli apakah tujuan itu dalam keadaan aktif atau tidak. Bila dideteksi tujuan tidak aktif, maka sistem akan menunda pengiriman ke tujuan hingga tujuan 31
2 32 aktif kembali. Pada dasarnya sistem SMS akan menjamin delivery atau pengiriman dari suatu short messege hingga sampai ke tujuan, karena SMS memiliki masa tunggu. Kegagalan pengiriman bersifat sementara seperti tujuan tidak aktif akan selalu teridentifikasi sehingga pengiriman ulang short messeges akan selalu dilakukan aturan bahwa short messeges yang melampaui batas tertentu harus dihapus dan dinyatakan gagal terkirim, sehingga pada dasarnya penerima SMS tidak dapat menolak SMS yang masuk kedalam ponselnya, berbeda dengan panggilan langsung yang dapat ditolak bila penerima panggilan tidak ingin menerima panggilan tersebut Sistem pembuktian seperti yang telah dijelaskan diatas terdiri dari conviction in time, conviction-raisonee, pembuktian menurut undang-undang secara positif dan pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel). Berdasarkan teori mengenai sistem pembuktian tersebut maka penulis akan mengkaji mengenai penerapan teori sistem pembuktian tersebut didalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP ditegaskan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam rumusan Pasal tersebut sangat jelas bahwa tanpa dua alat bukti yang sah maka seorang terdakwa tidak dapat dipidana. Sama halnya
3 33 bagi Polri dalam melakukan penangkapan harus mempunyai bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Akan tetapi sebaliknya apabila terdapat cukup bukti maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah dan dipidana berdasarkan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Dalam Hukum Acara Pidana dipakai yang dinamakan sistem negatif menurut Undang-Undang, sistem mana terkandung dalam pasal 294 ayat 1 RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), yang berbunyi sebagai berikut : Tiada seorangpun dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya. Jadi, dalam sistem tadi, yang pada akhirnya menentukan nasibnya si terdakwa adalah keyakinan Hakim (Conviction-Raisonee). Jika, biarpun bukti bertumpuk-tumpuk hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa itu, ia harus membebaskannya. Karena itu, maka dalam tiap-tiap putusan hakim pidana, yang menjatuhkan hukuman, dapat dibaca pertimbangan: bahwa Hakim, berdasarkan bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa. Selanjutnya dalam pasal 184 ayat 1 KUHAP menjelaskan tentang apa sajakah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini. Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah : keterangan saksi; keterangan ahli; surat, petunjuk; dan keterangan terdakwa. Terkait dengan pemasalahan mengenai keabsahan SMS sebagai alat bukti maka harus diklasifikasikan terlebih dahulu termasuk jenis alat bukti
4 34 apakah SMS tersebut. Berdasarkan analisa penulis, SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat atau alat bukti petunjuk. Untuk lebih jelasnya akan penulis jabarkan sebagai berikut : 1. SMS sebagai alat bukti surat Ketentuan tentang alat bukti surat ini diatur dalam pasal 184 ayat (1) bagian c yang penjabaran selanjutnya diatur dalam pasal 187 KUHAP yang menegaskan bahwa Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan. Dalam bagian ini jenis surat yang dimaksud seperti surat izin bangunan, surat izin ekspor atau impor, paspor, surat izin mengendarai, Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte kelahiran, akta notaris dan sebagainya;
5 35 c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Menurut M. Yahya Harahap, yang termasuk surat lain adalah : Surat yang bersifat pribadi yang biasanya hanya dibutuhkan sebagai bukti penunjang namun tidak bisa dikesampingkan. Surat tersebut dapat berupa korespondensi, surat ancaman, surat pernyataan, surat petisi, pengumuman, selebaran, tulisan berupa karangan baik berupa novel, puisi dan sebagainya. 8 Dari keterangan diatas, dalam KUHAP tidak memberikan pengertian secara jelas penggunaan SMS sebagai bukti elektronik. Akan tetapi dalam pengertian mengenai surat tersebut, poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan SMS sebagai sebuah Surat Lain. SMS tersebut harus ada hubungan dengan alat pembuktian lain jadi dalam hal ini SMS sebagai surat lain hanya dibutuhkan sebagai bukti penunjang saja. 8 8 Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, 1985.
6 SMS sebagai Alat Bukti Petunjuk Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Bukti petunjuk diatur dalam Pasal 184 ayat 1 bagian d. ketentuan tentang alat bukti petunjuk ini, selanjutnya diatur dalam Pasal 188 ayat 1, 2 dan 3. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa : Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Menurut Penulis bahwa untuk memberikan kejelasan tentang makna dari Pasal 188 ayat 1 ini, perlu ditinjau tentang teori sebab-akibat yang juga dikenal dalam lapangan ilmu hukum. Karena untuk memperoleh suatu persesuaian antara satu perbuatan, kejadian atau keadaan harus dilihat terlebih dahulu apa yang menjadi akar persoalan (penyebab) sehingga menimbulkan suatu akibat-akibat hukum. Menurut M. Yahya Harahap mengenai pasal 188 ayat 1 KUHAP tersebut adalah bahwa: Rumusan Pasal itu (Pasal 188 ayat 1 KUHAP), agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu 9.
7 37 dapat disusun dalam kalimat berikut : petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Baik dalam rumusan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) maupun dalam rumusan yang disusun, penekanannya terletak pada kata: persesuaian, yakni adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri. Sehingga dalam hal ini SMS dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk apabila memberikan suatu isyarat tentang suatu kejadian dimana isi dari SMS tersebut mempunyai persesuaian antara kejadian yang satu dengan yang lain dimana isyarat yang tersebut melahirkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Namun untuk menentukan apakah bukti petunjuk berupa SMS ini dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana, perlu dilihat penegasan Pasal 188 ayat (3) yang menegaskan bahwa : Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
8 38 Dari ayat (3) ini dapat dilihat bahwa untuk menentukan bahwa bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana maka faktor penilaian hakim menjadi penentu atas hal tersebut. Dalam Pasal 188 ayat (3) ini sangat berkaitan erat dengan penjelasan Penulis sebelumnya tentang teori Conviction-Raisonee yang pada intinya menekankan pada faktor keyakinan hakim akan tetapi keyakinan (Conviction) tersebut harus didasarkan pada alasan (reason) yang dapat diterima berdasarkan logika hukum. Karena dalam hal ini, hakim sebagai decision maker (pemberi keputusan) dituntut untuk lebih professional dalam menerapkan peraturan-peraturan dan pertimbangan-pertimbangan yang penuh arif bijaksana dan mengutamakan prinsip keadilan dalam menyelesaikan setiap kasus-kasus Pidana yang terjadi demi tegaknya hukum yang berlaku. Berbicara mengenai peranan hakim untuk mendapatkan alat bukti petunjuk, maka tidak dapat dilepaskan dari adanya hubungan antara hukum dengan hakim, dalam mencipta keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat. Antara undang-undang dengan Hakim atau lembaga peradilan, terdapat hubungan yang erat dan harmonis antara satu dengan lainnya. Dalam mencarikan hukum yang tepat dalam rangka penyelesaian suatu perkara yang dihadapkan kepadanya tersebut, Hakim yang bersangkutan harus melakukan Penemuan Hukum. Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan istilah Penemuan Hukum, yaitu ada yang mengartikannya sebagai Pelaksanaan Hukum, Penerapan Hukum, Pembentukan Hukum atau
9 39 Penciptaan Hukum. Pelaksanaan hukum dapat diartikan menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. 9 Penerapan hukum berarti menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang abstrak sifatnya pada peristiwa konkrit. Pembentukan Hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku umum bagi setiap orang. Sedangkan Penciptaan hukum ini memberikan kesan bahwa hukum itu hanya semata peraturan tertulis saja, sehingga kalau tidak diatur dalam peraturan tertulis, maka kewajiban hakimlah untuk menciptakannya. Dari ketiga istilah tersebut, menurut Mertokusumo, istilah yang lebih tepat adalah Penemuan Hukum. Penemuan hukum dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Penemuan Hukum dalam arti sempit yakni penemuan yang semata-mata hanya kegiatan berpikir yang diisyaratkan, karena tidak ada pegangan yang cukup dalam undang-undang. 2. Penemuan Hukum dalam arti luas, selain kegiatan berpikir juga mencakup interpretasi. Jadi berdasarkan analisa tersebut, SMS dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan alat bukti petunjuk. Untuk menentukan termasuk alat bukti yang mana sms tersebut, hal itu tergantung dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya (Conviction-Raisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan. 9 Niti Baskara, Ketika Kejahatan Berdaulat, Peradaban, 2001.
10 40 Untuk menjadikan SMS termasuk ke dalam alat bukti surat ataupun alat bukti petunjuk, maka disini dituntut peranan Hakim untuk dapat menggunakan suatu metode penafsiran (interprestasi) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan menggunakan Interpretasi ekstensif (perluasan). Mengenai hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dan peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan seperti halnya perluasan mengenai makna aliran listrik yang digolongkan sebagai sebuah benda. Sehingga pencurian listrik sama halnya dengan pencurian sebuah benda. Dengan menggunakan penafsiran ekstensif dapat diketahui bahwa pengertian dari surat jika hanya sebatas berbentuk fisik saja, maka pengertian tersebut adalah sangat sempit dan tidak akan bisa menjangkau keadaan dan perkembangan jaman saat ini, dimana surat sudah tidak lagi harus berbentuk fisik saja. Sehingga interprestasi ekstensif ini dapat diterapkan untuk memperluas pengertian surat yang sebelumnya berbentuk fisik saja menjadi berbentuk elektronik seperti halnya SMS. Dengan demikian, Hakim akan benar-benar berfungsi melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis atau membuat hukum baru (creation of new law) dengan cara melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) baru dan penemuan hukum (rechtsvinding), guna mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan
11 41 karena hukum tertulisnya sudah ada tetapi belum jelas, atau sama sekali hukum tertulisnya tidak ada. Dalam penegakan hukum, Hakim senantiasa dalam putusannya memperhatikan dan menerapkan serta mencerminkan tiga unsur atau asas yaitu Kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeiit) dan Keadilan (Gerechtigkeit) dengan mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang diantara ketiga unsur tersebut. Sehingga hakim yang bersangkutan itu tidak dapat hanya mengutamakan atau menonjolkan salah satu unsur saja sedangkan dua unsur lainnya dari ketiga unsur penegakan hukum tersebut dikorbankan atau dikesampingkan begitu saja Syarat Agar SMS Bisa Menjadi Alat Bukti Dalam Persidangan Dalam proses pembuktian tindak pidana, alat bukti SMS tidak bisa digunakan apabila berdiri sendiri tanpa ada alat bukti lain sebagai pendukung. Hal ini cukup beralasan karena Hukum Acara Pidana Indonesia mengenal adanya asas minimum pembuktian sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
12 42 Jadi dalam hal ini, agar SMS bisa menjadi sebuah alat bukti petunjuk, maka harus didukung dengan alat bukti yang lain, berupa : 1. Keterangan Saksi. Pembuktian keterangan saksi merupakan hal yang paling utama dalam membuktikan suatu kasus-kasus hukum selain alat-alat bukti lainnya yang dapat menunjang dalam membuktikan suatu kasus Pidana. Dalam kasus Pidana pun dapat dikatakan, hampir tidak ada perkara Pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : a. Bahwa keterangan tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji (Pasal 160 ayat 3 KUHAP), b. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 27 KUHAP yaitu : a. yang saksi lihat sendiri, b. saksi dengar sendiri dan bukan saksi hanya mendengar dari orang lain (testimonium de auditu) dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. c. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan. Hal ini memberikan arti bahwa keterangan saksi baru mempunyai nilai
13 43 sebagai alat bukti apabila dinyatakan disidang pengadilan. (Pasal 185 ayat 1 KUHAP). d. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Dalam bagian ini ditegaskan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka perlu dilihat mengenai minimum pembuktian sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 183 KUHAP. Selanjutnya pula ditegaskan dalam pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Jadi untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka harus memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang berdasarkan hukum yang berlaku. e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Meskipun telah terdapat dua atau lebih dari saksi sebagaimana dijelaskan pada poin 4 diatas, akan tetapi dua atau lebih saksi yang ada ini memberikan kesaksiannya didepan Pengadilan namun keterangan mereka berdiri sendiri atau berbeda satu dengan lainnya dan tidak memberikan keterkaitan antara satu dengan lainnya maka meskipun keterangan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang diisyaratkan dalam pasal 183 KUHAP, keterangan tersebut tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi yang memenuhi unsur pembuktian. Jadi dalam hal ini untuk memberikan nilai valid pada bukti SMS haruslah ada saksi lebih dari seorang yang menyatakan bahwa benar telah
14 44 terjadi suatu tindak pidana dimana saksi juga mengetahui sendiri adanya keterkaitan antara tindak pidana yang terjadi dengan isi dari SMS tersebut. Misalnya kasus penipuan lewat SMS dimana dalam hal ini saksi mengetahui sendiri bahwa benar tersangka telah menipu melalui SMS yang baik dari segi format SMS maupun kepada siapa saja tersangka melakukan penipuan tersebut. Keterangan tentang apa yang diketahui saksi tersebut haruslah dinyatakan didepan pengadilan dibawah sumpah. 2. Keterangan Ahli Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Keterangan ahli ini oleh pembuat Undangundang ditempatkan pada urutan kedua dari keterangan saksi. Hal tersebut menandakan bahwa keterangan ahli merupakan keterangan yang harus diperhitungkan dalam dunia pembuktian mengingat juga dalam ilmu hukum baik hukum pendapat ahli merupakan salah satu sumber hukum dan diakui secara internasional dalam dunia ilmu hukum, meskipun dalam penerapannya harus dipandang tidak berdiri sendiri dengan alat-alat bukti lainnya. Dalam permasalahan mengenai penggunaan SMS sebagai salah satu alat bukti, keterangan ahli sangat dibutuhkan untuk mengetahui apakah benar SMS yang dikirimkan adalah benar-benar dari si terdakwa atau bukan. Dengan kemampuan dalam penerapan kecanggihan teknologi yang dikuasai oleh saksi ahli tersebut, diharapkan bisa diketahui kebenaran materiil yang
15 45 ada. Penggunaan saksi ahli dalam kejahatan dengan menggunakan teknologi sudah diterapkan untuk kejahatan-kejahatan e-commerce, cyberporn, dll. Akan tetapi tidak semua orang dapat dijadikan sebagai saksi ahli dan juga ketentuan tentang Saksi ahli ini hanya dipertegas dalam pasal 186 KUHAP yang menegaskan Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang Pengadilan. Dari pasal tersebut tidak menjelaskan secara terperinci siapa yang dapat dijadikan saksi ahli. Untuk mencari tahu kriteria untuk menjadi saksi dapat dilihat ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP yang menegaskan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Menurut Andi Hamzah, sebagai bahan perbandingan dapat dibaca pada California Evidence Code tentang definisi tentang seorang ahli sebagai berikut : A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates. (Seseorang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya). Untuk meminta keterangan saksi ahli dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan. Baik dalam penyidikan oleh pihak kepolisian RI (Pasal 120, 133 KUHAP), ditingkat penyidikan oleh kejaksaan dan
16 46 pemeriksaan di Pengadilan sampai mendapat suatu keputusan hukum yang tetap (Pasal 180 KUHAP). 3. Keterangan Terdakwa Tentang Keterangan terdakwa telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e. Sedangkan penjabaran selanjutnya diatur dalam Pasal 189 ayat (1), (2) dan (3). Ayat (1) dari Pasal ini berbunyi : keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Dalam hal ini tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa yang dapat digunakan sebagai alat bukti adalah keterangan terdakwa yang dinyatakan disidang Pengadilan. Hal ini berarti bahwa keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang Pengadilan (The Confession Outside the Court) tidak dapat digunakan sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini. Terkait dengan permasalahan SMS sebagai alat bukti, maka SMS ini akan menjadi bukti yang sangat valid jika ada pengakuan dari terdakwa akan tanggungjawabnya terhadap apa isi SMS tersebut. Pendapat Hakim terhadap bukti SMS sebagai alat bukti yang sah harus didukung oleh alat bukti lain, syarat lainnya adalah nomor yang dipergunakan untuk mengirim SMS, agar dapat lebih valid untuk dijadikan alat bukti haruslah memenuhi persyaratan yang antara lain :
17 47 1. Nomor pasca bayar Nomor yang dipergunakan untuk mengirimkan SMS adalah nomor pasca bayar, hal tersebut dikarenakan nomor pasca bayar dalam aktivasinya harus menyertakan syarat-syarat seperti penyerahan foto copy KTP dan syarat lainnya yang mendukung bahwa si pemegang nomor adalah bukan nama fiktif. 2. Nomor prabayar yang sudah teregistrasi Pemakai nomor ponsel diharuskan mendaftarkan diri sampai 28 April Setelah batas waktu tersebut, nomor yang tidak diregistrasi akan dinonaktifkan. Untuk registrasi tersebut, Menkominfo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Pengguna Prabayar dan Pascabayar. Registrasi tersebut untuk menghindari penyalahgunaan layanan pesan singkat (SMS). Registrasi tersebut tanpa dibebani biaya sepeser pun. Cara pengiriman sangat mudah yaitu dengan mengirim SMS berisi identitas diri. Prosedurnya, ketik nomor kartu tanda pengenal (KTP/ SIM / paspor / kartu pelajar / kartu mahasiswa)#nama lengkap#alamat lengkap#tempat lahir#tanggal lahir#. Kemudian, kirim ke nomor 4444 yang dapat diakses dari seluruh nomor seluler di Indonesia. Jika terbukti identitas yang diberikan palsu, operator telepon berhak menonaktifkan nomor tersebut. Operator yang tidak melaksanakan proses registrasi juga akan diberi sanksi dan bisa dicabut izin operasionalnya.
18 48 Identitas dari si pemilik nomor adalah sangat vital karena untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas nomor tersebut dan hal tersebut pasti terkait dengan pembuktian kepemilikan nomor yang dipergunakan untuk SMS tersebut. Akan tetapi menurut penulis masih dibutuhkan keterangan dari ahli untuk mengetahui kebenaran identitas dari pemilik nomor tersebut. Akan tetapi apabila lebih diprioritaskan maka nomor pascabayarlah yang lebih valid dijadikan sebagai acuan untuk bukti, karena lebih ketatnya prosedur administrasi pendaftarannya walaupun tidak menutup kemungkinan nomor pra bayar untuk dijadikan sebagai bukti. Berdasarkan analisa penulis, penggunaan SMS sebagai alat bukti akan lebih valid jika hanya diberlakukan untuk tindak pidana khusus. Hal tersebut dikarenakan tindak-tindak pidana khusus ini lebih memberikan pengaturan dan pengertian yang jelas mengenai pelegalan adanya bukti elektronik. Jadi penerapannya adalah dengan menggabungkan atau mengaitkan pasal (juncto) yang ada didalam KUHAP dengan pasal yang ada dalam undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus tersebut. Penggabungan pasal tersebut sama sekali tidak melanggar asas hukum. Hal itu bisa dilihat dari poin mengingat dari undang-undang tersebut dimana dicantumkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagai undang-undang yang dijadikan acuan. Biasanya pembuktian petunjuk dengan SMS ini digunakan antara lain dalam tindak pidana khusus dikarenakan sulitnya mencari alat bukti. Tindak pidana khusus tersebut antara lain adalah :
19 49 1. Tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001, dan kemudian dilengkapi dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, dikenal adanya alat bukti lain selain yang diatur dalam KUHAP, yakni informasi dalam bentuk khusus. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2002 yang berbunyi : Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optic. 2. Tindak pidana pencucian uang atau money laundring. Dalam undangundang tersebut diatur secara jelas apa saja yang dimaksud dengan dokumen yang bisa disinonimkan dengan surat, dimana dokumen tersebut nantinya dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah untuk tindak pidana pencucian uang. Pengertian dokumen tersebut diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 pasal 1 ayat 9 tentang Pencucian Uang yang berbunyi : Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik.
20 50 3. Serta tindak pidana khusus lainnya. Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa syarat penggunaan SMS sebagai alat bukti adalah selain sudah teregistrasinya nomor yang dipergunakan untuk SMS tersebut, juga adanya keharusan penggabungan dengan alat bukti lain sebagai sebuah ketentuan adanya prinsip minimum alat bukti (Pasal 183 KUHAP).
PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI
PEMBUKTIAN PIDANA MELALUI SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) SKRIPSI Oleh : KARNO NPM : 28120079 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNTO UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perihal Saksi dan Petunjuk 1. Perihal Saksi Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian
Lebih terperinciNASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM
NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM Diajukan oleh: Ignatius Janitra No. Mhs. : 100510266 Program Studi Program Kehkhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian
Lebih terperinciLex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016
KEABSAHAN SMS (SHORT MESSAGE SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 1 Oleh: Deby Lidya Mokoginta 2 A B S T R A K Penggunaan Informasi Elektronik sebagai alat bukti diperbolehkan
Lebih terperinciBADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Sumber gambar http://timbul-lawfirm.com/yang-bisa-jadi-saksi-ahli-di-pengadilan/ I. PENDAHULUAN Kehadiran
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
44 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Pengaturan Tentang Alat Bukti di Indonesia Dalam proses persidangan, pembuktian tidak terlepas dari hal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciLEGALITAS SHORT MESSAGE SERVICE (SMS)
LEGALITAS SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM KASUS PIDANA Oleh : Putu Rosa Paramitha Dewi I Ketut Keneng Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Udayana ABSTRACT: This journal
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa pengertian tentang gratifikasi seks yang tidak lama ini terjadi belum ada pengertian secara eksplisit. Akan
Lebih terperinciALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)
ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
12 BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 2.1. Pengaturan Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti merupakan satu hal yang mutlak adanya dalam suatu persidangan. Macam-macam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum, termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 perubahan ke-4. Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia
Lebih terperinciBAB IV. A. Proses Pembuktian Pada Kasus Cybercrime Berdasarkan Pasal 184 KUHAP Juncto
BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN SECARA ELEKTRONIK DALAM PERKARA CYBER CRIME DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR II TAHUN 2008 TENTANG
Lebih terperinciBAB V PENUTUP tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Informasi
BAB V PENUTUP A KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil keseluruhan pembahasan tersebut di atas, Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Lebih terperinciPENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang
Lebih terperinciBAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA
BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA A. Pengertian pembuktian Menurut Pirlo yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang dilakukam oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya
Lebih terperinciBAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA
79 BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA A. Tinjauan Umum Keterangan Anak Dalam Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Anak Dibawah Umur Dalam Hukum Indonesia Pengertian anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA
Lebih terperinciKitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis
BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian,
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL
PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
Lebih terperinciLex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.
KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian
Lebih terperincipihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti
18 dicurigai terhadap alat bukti yang dipalsukan, persidangan Acara Perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut. Dalam Hukum Acara Perdata, pembuktian formil yang dimaksud pada pokoknya
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan
Lebih terperinciselalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman di berbagai bidang kehidupan membawa masyarakat menuju pada suatu tatanan kehidupan dan gaya hidup yang serba mudah dan praktis. Keberhasilan yang dicapai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyadapan termasuk salah satu kegiatan untuk mencuri dengar dengan atau tanpa memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi yang dilakukan untuk
Lebih terperinciWACANA HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP
PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP TRI WAHYU WIDIASTUTI, SH.MH. Dosen Fakultas Hukum UNISRI Abstract: Law and societies are similarly dynamic and change through time. The
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah I. PEMOHON Drs. Setya Novanto,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu,
Lebih terperinci2017, No pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaim
No.1872, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PPATK. Penyedia Jasa Keuangan. Penghentian Sementara dan Penundaan Transaksi. Pencabutan. PERATURAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR
Lebih terperinciBAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN
BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek hukum yang berlaku. Kemajuan teknologi informasi
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB OPERATOR SELULER TERHADAP PELANGGAN SELULER TERKAIT SPAM SMS DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN JUNCTO UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)
BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan I. PEMOHON Raja Bonaran Situmeang Kuasa Hukum Dr. Teguh Samudera, SH., MH.,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Sebelum penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan, dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis melakukan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciTinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan larangan atau keharusan keharusan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG
Lebih terperinciPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciRINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN
RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciIMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract
147 IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram Abstract Authentication is very important in the process of resolving criminal
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik
Lebih terperinciBAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti
BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
Lebih terperinciSKRIPSI PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI SMS(SHORT MESSAGES SERVICE)SEBAGAI SUATU ALAT BUKTI TINDAK PIDANA PENIPUAN
SKRIPSI PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI SMS(SHORT MESSAGES SERVICE)SEBAGAI SUATU ALAT BUKTI TINDAK PIDANA PENIPUAN (Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Lebih terperinciPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan
Lebih terperinciPERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun
Lebih terperinciPEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak
PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang
Lebih terperinciKERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI M. Afif Hasbullah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan ABSTRAK Metode pendekatan
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1) Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang digunakan dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah: a). Harus memenuhi unsur-unsur
Lebih terperinciA. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia
106 A. KESIMPULAN 1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Lebih terperinci2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciSMS SEBAGAI ALAT BUKTI. Oleh : Ahsan Dawi Mansur. Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak
SMS SEBAGAI ALAT BUKTI Oleh : Ahsan Dawi Mansur Teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Setelah beberapa waktu lalu kesaksian melalui video conference dipergunakan dalam
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,
PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PERMOHONAN PERLINDUNGAN PADA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,
PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PERMOHONAN PERLINDUNGAN PADA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan serta hal paling utama untuk dapat menentukan dapat atau
Lebih terperinciBAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN
BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG
Lebih terperinciBAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara
BAB II A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
Lebih terperinciHukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual
Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.
Lebih terperinciPERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI
PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI Oleh : Ruslan Abdul Gani ABSTRAK Keterangan saksi Ahli dalam proses perkara pidana di pengadilan negeri sangat diperlukan sekali untuk
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari
Lebih terperinciBUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG
S A L I N A N BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperincipermasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan
A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai
Lebih terperinci