Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak. Oleh: Imam Hermanda Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak. Oleh: Imam Hermanda Abstrak"

Transkripsi

1 Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Oleh: Imam Hermanda Abstrak Saat melakukan tindak pidana, anak dipandang tidak mandiri secara kejiwaan, dan bukan pula miniatur orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku pidana juga dapat dipandang sebagai korban, yakni korban dari keadaan disekitarnya. Dalam sistem peradilan pidana, mediasi penal dilatar belakangi pemikiran yang dikaitkan dengan ide-ide pembaharuan hukum pidana (penal reform), dan dikaitkan dengan masalah pragmatisme. Latar belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara, serta untuk penyederhanaan proses peradilan, salah satu caranya adalah dengan mekanisme mediasi penal. Keadilan restoratif menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat. Aparat penegak hukum, pelaku, dan korban bisa bersepakat untuk mengalihkan kasus tersebut agar tidak dibawa hingga ke proses pemeriksaan dipengadilan jika pelakunya adalah anakanak. Berdasarkan semua hal diatas, maka skripsi ini akan membahas mengenai studi perbandingan kasus mengenai penerapan mediasi penal dalam penanganan Kasus Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum. Kata Kunci: Anak Berhadapan Dengan Hukum, Diskresi, Diversi, Keadilan Restoratif, Mediasi Penal. Sistem Peradilan Pidana Bab 1. Pendahuluan 1. 1 Latar Belakang Masalah Sekitar bulan Februari 2012 lalu, telah terjadi sebuah kasus melibatkan seorang Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yakni seorang anak berinisial "MAN" alias AMN. 1 Dalam kasus ini, ABH seperti halnya MAN/AMN, sudah sepatutnya mendapatkan pendampingan hukum secara maksimal guna memberikan kesempatan kepada ABH tersebut untuk tetap dijamin hak dan kewajibannya dimata hukum. Secara filosofis, anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus perjuangan. Seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak menjadi pilihan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah 1 Lingkar Berita, Media online, Kisah getir anak penusuk Depok diunduh 15 Nopember 2012.

2 2 dengan hukum. 2 Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 3 Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dimungkinkan untuk dilakukan (biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution, ada pula yang menyebutnya Apropriate Dispute Resolution ) 4. Latar belakang ide-ide penal reform itu antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alternative to custody) dan sebagainya. 5 Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesia sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009, tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial, menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan mengupayakan perdamaian sebagai bentuk penerapan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Inilah paling tidak pengertian mediasi penal yang dikenal saat ini di Indonesia. 6 Pada pemeriksaan ditingkat penuntutan dan sidang pengadilan, Andi Hamzah (Pakar Hukum Pidana) menjelaskan bahwa mediasi dapat saja dilakukan dengan pertimbangan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan hukum. 7 Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia pernah terjadi, kasus Ny. Ellya Dado, atau disingkat Kasus Ny. Elda, tercapainya perdamaian 2 Artikel, Alternatif Pemidanaan Bagi Anak Berkonflik dengan Hukum. diunduh 25 Januari Indonesia (a), Undang-undang Tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun LN. No. 32 Tahun 1979, TLN. No Tahun 1979, Ps New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, http: // diunduh 28 Januari Recommendation, No. R (99) 19 by the Committee of Ministers of the Council of Europe, MEDIATION IN PENAL MATTERS. diunduh 28 Januari Nico Setiawan, Polisi Masa Depan. diunduh 15 Oktober Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 14.

3 3 digunakan sebagai pertimbangan bagi hakim untuk menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. 8 Beberapa contoh kasus lainnya yang dapat dikemukakan misalnya: Tim peneliti Balitbang HAM Departemen Hukum dan HAM RI pada tahun 2006 menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus kekerasan dalam rumah tangga justru polisi bertindak sebagai mediator, demi alasan mempertahankan rumah tangga. Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh. Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Alasannya bahwa masyarakat memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan utama. 9 Sebagai salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice, konsep mediasi penal memandang kejahatan secara lebih luas. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan superioritas masyarakat kearifan lokal. Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. 10 Dengan adanya semua kejadian tersebut diatas, menarik perhatian penulis untuk meneliti tentang Penerapan Mediasi Penal Dalam Penanganan Kasus 8 Mahkamah Agung RI, Direktori Putusan, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan Nomor 46/PID/78/UT/ WANITA, 17 Juni Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH. diunduh10 Juli Eva Achjani, Mediasi Penal: Perkembangan Kebijakan Hukum Pidana, (makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas Tentang: PenyelesaianPerkara Diluar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal (Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia : Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik, Jambi, 18 Mei 2011), hlm Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings, Hukum Pidana dalam Perspektif. Pdf, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 311.

4 4 Tindak Pidana Yang Dilakukan oleh Anak Berhadapan Dengan Hukum. Analisa perbandingan putusan yang akan penulis bahas merupakan perbandingan putusan Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya tulis ini adalah: 1. Apakah konsep Restorative Justice dikenal dalam sistem pidana di Indonesia, khususnya dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum? 2. Bagaimana pelaksanaan kewenangan diskresi penyidik kepolisian melalui mekanisme mediasi penal dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak? (studi kasus perbandingan putusan Nomor: 952/Pid.B/2010/PN-Stb dan putusan Nomor. 208/Pid. B/2011/PN. PDG) 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai mediasi penal dalam kasus pidana. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memberikan pengetahuan mengenai kedudukan restoratif justice dalam system hukum pidana di Indonesia, khususnya dalam hal penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak beradapan dengan hukum. 2. Memberikan pengetahuan mengenai pelaksanaan kewenangan diskresi Penyidik kepolisian melalui meknisme mediasi penal dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak berhadapan dengan hukum. Bab 2. Tinjauan Umum Mediasi Penal 2.1. Paradigma Konsep Restorative Justice Dalam Integrated Criminal Justice System (ICJS) Integrated Criminal Justice System (ICJS) atau dikenal dengan nama Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan suatu sistem peradilan pidana yang merupakan pemukhtahiran atas Sistem Peradilan Pidana (SPP). Prof. Soerjono Soekamto menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi law enforcement, yaitu terdiri dari: 1. Hukum itu sendiri;

5 5 2. Sarana dan Prasarana; 3. Institusi Penegak Hukum; 4. Masyarakat; dan 5. Budaya. 11 Pada pendapat Beliau, kita sudah jelas melihat adanya susupan dari teori restorative justice, dimana perlu dibangun kerjasama antara institusi penegak hukum dengan masyarakat disertai dengan alasan sosiologis (unsur budaya) yang mempengaruhi proses law enforcement. 12 Restorative justice menuntut proses peradilan pidana dengan memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. 13 Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dijelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 14 Ciri utama dalam konsep restorative justice adalah dalam melihat suatu kejahatan menempatkan gejala kejahatan dan berbagai konflik sosial sebagai tindakan sosial daripada sebagai pelanggaran hukum pidana 15. Konsep restorative justice dalam menegakkan keadilan ketika terjadi kejahatan, konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia adalah memandang keadilan sebagai suatu sistem sosial yang menempatkan berbagai bentuk konflik sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan-hubungan dalam masyarakat 16. Salah satu wujud dari Restorative Justice adalah dimunculkannya mekanisme penal mediation, yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui instrumen 11 Rocky Marbun, Membangun Restorative Justice dan Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana, http: diunduh pada 2 Oktober Ibid. 13 Pohan, loc. cit. 14 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 1 angka Muhammad Mustofa, Hak Asasi Manusia: Diskresi Kepolisian dan Restorative Justice di Indonesia dalam Rangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Sosial, (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. II, ed. 35, Tahun 2005), hlm Braitwaite, loc. cit., page 14.

6 6 mediasi, arbitrase 17 atau konsiliasi 18. Merujuk pada kebijakan-kebijakan sebagaimana tersebut diatas, beberapa perubahan substansi yang dilakukan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atas UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak antara lain,: Batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak adalah 12 tahun-18 tahun 19 Usia anak yang bisa dikenakan penahanan yakni 14 tahun-18 tahun. 20 Dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa perkara yang bisa dilakukan diversi atau perdamaian antara korban dan ABH, perkara dengan ancaman penjara di bawah 7 tahun 21, dan Bukan pengulangan tindak pidana, proses diversi itu bisa dilakukan mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. 22 Isu krusial lain yakni kewajiban tidak mempublikasikan perkara anak serta pemberian sanksi pidana dan administrasi terhadap petugas yang tidak menjalankan tugasnya seperti diatur dalam Undang-Undang itu. 23 Keadilan Restoratif merupakan salah satu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. 24 Restorative justice atau keadilan restorasi dinilai sebagai paradigma baru dalam menyikapi tindak kejahatan yang dapat direstorasi kembali, pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat (Dalam hal ini khususnya berkenaan dengan masalah penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh Anak Berhadapan dengan Hukum) Peristilahan, Pengertian, Prinsip Kerja, dan Bentuk Mediasi Penal 17 Indonesia (f), Undang-Undang Tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, UU No. 30 Tahun 1999, LN. No 138 Tahun 1999, TLN Tahun 1999, Pasal 1 angka Indonesia (g), Undang-undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 2 Tahun 2004, LN No. 6 Tahun 2004, TLN No. 4356, Pasal 1 angka 13 menyebutkan bahwa, yang dimaksud dengan konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. 19 Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 1 angka Ibid., Ps 32 ayat (2). 21 Ibid., Ps 7 ayat (2). 22 Ibid., Ps 7 ayat (1). 23 Ibid., Ps 3 huruf (i). 24 Indonesia (c), Op. Cit., Bab Penjelasan, Bagian Umum. 25 Adrianus Meliala, loc. cit., hlm. 4.

7 7 Mediasi penal dimaksudkan untuk mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, oleh karenanya mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM), Täter Opfer Ausgleich (TOA), atau Offender victim Arrangement (OVA). 26 Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (biasa dikenal dengan istilah ADR atau Alternative Dispute Resolution ; ada pula yang menyebutnya Apropriate Dispute Resolution ). 27 Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restoratif, proses dialog antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam bentuk penyelenggaraan keadilan restoratif seperti: a) Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dan korban) yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut. b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. c) Circles, suatu model penerapan keadilan restoratif yang pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut Model-model Mediasi Pidana Dalam Explanatory Memorandum dari Rekomendasi Dewan Eropa No. R (99) 19 tentang Mediation in Penal Matters, dikemukakan beberapa model mediasi penal sebagai berikut : a. Model "informal mediation Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan, tidak melanjutkan penuntutan 26 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, loc. cit, hlm New York State Dispute Resolution Association, loc. cit. 28 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, loc. cit, hlm. 18.

8 8 apabila tercapai kesepakatan; Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum. b. Model "Traditional village or tribal moots" Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan di antara warganya. c. Model "victim offender mediation" Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana; ada yang khusus untuk anak; ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist. d. Model Reparation negotiation programmes" Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi. e. Model "Community panels or courts" Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi. f. Model "Family and community group conferences" Model ini tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya. 29 Di Indonesia, dengan telah disahkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 memberikan jaminan kepastian hukum bagi penyelesaian kasus Anak Berhadapan Dengan Hukum, mengedepankan konsep restorative justice dalam mengupayakan perdamaian melalui kewenangan diversi atau diskresi yang dimiliki penyidik dan aparat penegak hukum lainnya. 29 Recommendation, loc. Cit

9 Presentasi Anak Didik dan Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan Yang Terintegerasi secara Tepat Waktu dan Akuntabel Pemidanaan anak merupakan upaya paling akhir yang hendaknya ditempuh oleh hakim dalam memutus perkara anak. Pada tahun 2012 telah dilakukan registrasi dan klasifikasi terhadap Anak Didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan diseluruh Indonesia. Berdasarkan data terlihat bahwa jumlah anak yang berhadapan dengan hukum cukup banyak, yaitu orang anak yang mendekam di dalam LAPAS/RUTAN/Cabang Rutan di seluruh Indonesia, seluruhnya telah teregistrasi. Untuk klasifikasi tahanan anak berdasarkan tingkat pemeriksaan tindak pidananya mulai dari A.I (Tahanan Kepolisian), A.II (tahanan Kejaksaan), A.III (Tahanan Pengadilan Negeri), A.IV (Tahanan Pengadilan Tinggi), A.V (Tahanan Mahkamah Agung) berjumlah keseluruhannya adalah orang (100 % dari jumlah keseluruhan), Anak Didik Pemasyarakatan berjumlah orang. 30 Eva Achjani (Dosen Hukum Pidana) mengatakan bahwa, Victim Offender Mediation merupakan bentuk pendekatan restoratif dimana dibuat suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku fasilitator dalam pertemuan tersebut. Bentuk ini dirancang untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban khususnya kebuthan untuk didengar keinginan-keinginan mengenai: a. Bentuk tanggung jawab pelaku b. Kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban; tidak pidana bagi kedua pihak dan berdiskusi tentang penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang diderita oleh keduanya. 31 Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 J.o Pasal 8 Surat Keputusan Bersama 6 (enam) Instansi/Lembaga Negara Tentang Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum, ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR yaitu: 30 LAKIP DITJEN PAS 2012, Indikator 1; Presentase Anak didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan Yang teregistrasi secara Tepat Waktu dan Akuntabel, (Kementerian Hukum dan HAM RI, Direktorat Bina Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), hlm Eva Achjani Zulfa, op. cit., hlm. 35.

10 10 Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi azas keadilan. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada diwilayah masing-masing untuk mampu mengindentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas Kemudian dalam Pasal 14 huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ditentukan bahwa penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian Dalam rangka penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum, kepolisian bertugas dan memiliki kewenangan untuk membuat standar operasional baku/pedoman tentang penanganan perkara anak berhadapan dengan hukum dengan pendekatan keadilan restorative justice. 32 Sedangkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012, Pasal 7 J.o Pasal 8 J.o Pasal 11, dijelaskan bahwa dalam rangka penanganan anak berhadapan dengan hukum, baik oleh Penyidik, penuntut umum dan hakim, wajib dilakukan terlebih dahulu; mengupayakan diversi dengan pendekatan restorative justice, diversi dilakukan bersama pelaku/keluarganya, pembimbing kemasyarakatan dan tokoh masyarakat, serta upaya diversi dilakukan dengan berorientasi pada perdamaian sebagai tujuan akhirnya. Pemidanaan terhadap anak berhadapan dengan hukum dijadikan sebagai ultimum remedium Hakikat Mediasi Penal 32 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, loc. cit. Ps Indonesia (c), Op. Cit., Ps. 7, 8, dan 11.

11 11 Hukum Pidana yang berlaku saat ini sebagian besar masih menggunakan Kodifikasi Hukum Pidana Prancis atau yang lebih dikenal sebagai code penal. Hukum Pidana dalam perkembangannya mulai banyak menuai kritik karena dinilai sangat kaku dalam penerapannya dan terkadang kurang menyentuh sisi-sisi keadilan yang ada di tengah masyarakat. Dalam proses mengadili ABH, hakim harus dapat mempertimbangkan segala aspek dan setiap hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban ABH. Ketika menjatuhkan putusan, tidak semata-mata keadilan procedural yang sudah terpenuhi, tidak hanya melulu mengedepankan formalitas hukum atau kepastian hukum berdasarkan teks undang-undang, tetap juga harus memaknakan keadilan bagi seluruh masyarakat. 34 Penentuan tindak pidana yang dapat dimediasikan, yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Ancaman pidana yang rendah 2. Tingkat kerugian yang ditimbulkan 3. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian 4. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun relatif. 5. Tindak Pidana Yang Melibatkan Anggota Keluarga Sebagai Pelaku/ Korban. 6. Tindak Pidana Dimana Pelakunya Anak di Bawah Umur. 7. Tindak Pidana yang Unsur-Unsur tindak pidananya tidak jelas. 35 Langkah-langkah untuk Merancang Kesepakatan Dalam Proses Mediasi Penal, : Menghimpun sudut pandang dari para pihak Memusatkan perhatian pada kebutuhan Menciptakan pilihan terbaik Mengevaluasi pilihan Menciptakan kesepakatan Mekanisme Penyelesaian Perkara Melalui Mediasi Penal Mediasi penal dapat dilakukan dengan dua cara atau bentuk, yaitu: A. Mediasi penal di luar proses peradilan pidana (out of criminal justice process) 34 Rena Yulia, Jurnal Yudisial : Penerapan Keadilan Restorative Justice Dalam Putusan Hakim: Upaya Penyelesaian Konflik Melalui Sistem Peradilan Pidana, (Komisi Yudisial RI : Jakarta, Agustus 2012)., vol. 5. hlm Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum, (Perpustakaan Nasional RI : Jakarta, 2012), cet. 1, hlm Ibid., hlm. 52.

12 12 Di sini diperlukan landasan hukum berupa kebijakan atau aturan hukum yang menetapkan tentang : a. Tindak pidana yang dapat dimediasikan di luar proses peradilan pidana. b. Mediasi penal yang dilakukan oleh pihak pelaku dan korban di luar pengadilan untuk tindak-tindak pidana tertentu diakui keabsahannya jika dilakukan secara suka rela. c. Mediasi penal difasilitasi oleh mediator yang telah bersertifikasi. d. Kekuatan hukum hasil kesepakatan yang dicapai oleh pihak pelaku dan korban, sebagai keputusan yang sah dan final sehingga tidak dapat diganggu gugat dan tidak perlu dikuatkan melalui penetapan pengadilan cukup apabila disahkan dengan materai dan tanda tangan semua pihak. Hal ini mengingat bahwa pelaksanaan mediasi penal adalah bersifat suka rela. e. Hasil kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal sebagai alasan hapusnya penuntutan tindak pidana yang telah dimediasikan. 37 B. Mediasi Penal sebagai Bagian Proses Peradilan Pidana a. Mediasi Penal pada Tahap Penyidikan Tindak Pidana Tahap penyidikan adalah tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini dimungkinkan bagi penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak pidana ke dalam proses peradilan pidana. Mediasi pada tahap penyidikan ini merupakan kombinasi model mediasi informal mediation, victim-offender mediation dan reparation negotiation programmes. Pada tahap ini dapat ditetapkan cara kerja mediasi penal sebagai berikut : 1. Setelah melihat dan mempelajari kasus atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku dengan kriteria-kriteria tertentu (diuraikan dalam bahasan tindak pidana yang dapat dimediasikan), maka pihak penyidik memanggil pelaku dan korban untuk menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidananya di luar proses peradilan. 2. Mediasi penal harus dilakukan secara suka rela dari semua pihak yang terlibat, oleh karena itu jika ada pernyataan baik dari pelaku maupun korban untuk melakukan mediasi penal, selanjutnya pihak penyidik menyerahkan perkara tersebut kepada korban dengan menginformasikan jasa mediator penal yang akan membantu menyelesaikan perkaranya. 3. Mediasi dilakukan secara rahasia sesuai dengan prinsip confidentiality. Segala yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama proses mediasi harus dirahasiakan oleh semua pihak termasuk mediator. Mediator tidak dapat menjadi saksi dalam proses peradilan pidana atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi dan sebab-sebab mediasi tidak mencapai kesepakatan, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan. 4. Pada kesempatan mediasi inilah pelaku dan korban dipertemukan untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Pihak korban dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku sebesar kerugian yang 37 Ibid., hlm. 54.

13 13 dideritanya dan menuntut pemulihan martabatnya, dengan difasilitasi oleh mediator. 5. Mediator harus mempunyai sertifikasi dan terlatih serta diakui oleh Menteri Kehakiman sebagai mediator, oleh karena itu mediator tidak bersifat perorangan melainkan suatu badan atau lembaga yang secara khusus menjalankan tugas mediasi. 6. Apabila dalam mediasi dicapai kesepakatan, maka mediator memberitahukan kepada penyidik bahwa telah dicapai kesepakatan melalui mediasi dengan pembayaran ganti kerugian dari pelaku kepada korban. 7. Hasil kesepakatan mediasi penal merupakan putusan final, sehingga merupakan alasan penghapus penuntutan. 8. Dengan adanya hasil kesepakatan maka penyidik menyatakan bahwa kasus tidak dilanjutkan kepada pelimpahan BAP kepada penuntut. 38 b. Mediasi penal pada tahap penuntutan Adapun pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat menawarkan mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana. 2. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari pelaku dan korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk dilakukan mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada jaksa penuntut umum. 3. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi. 4. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana. 5. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti semua peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak yang terlibat. 6. Dalam mediasi penal ini diadakan rekonsiliasi dan pembayaran ganti kerugian kepada korban. 7. Jika mediasi penal tidak mencapai kesepakatan, maka perkara pidana akan dilanjutkan dengan proses pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dilakukan penuntutan terhadap tindak pidanannya. Dalam hal ini mediator tidak dapat bersaksi atas tidak tercapainya kesepakatan mediasi maupun atas segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi. 8. Jika mediasi mencapai kesepakatan damai yang diterima oleh semua pihak, maka akta kesepakatan berlaku sebagai putusan yang final dan tidak dapat diadakan penuntutan, sehingga dapat berfungsi sebagai alasan penghapus penuntutan. 39 c. Mediasi penal pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan 38 Umi Rozah, op. cit., hlm Ibid., Ps. 315.

14 14 Mediasi penal yang dilakukan pada tahap ini adalah setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum. Dalam mediasi pada tahap ini sebagaimana dalam perkara perdata, hakim menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana dengan cara perdamaian kepada para pihak, yaitu pihak pelaku tindak pidana dan pihak korban sebelum dilakukan proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan dengan melihat kriteria tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Mediasi ini jika mencapai kesepakatan maka hasilnya dapat digunakan sebagai alas an untuk menghapuskan menjalankan pidana bagi pelaku tindak pidana. Mediator pada tahap ini bisa dilakukan oleh hakim ataupun mediator dari luar pengadilan yang telah mendapatkan sertifikasi dan pelatihan. Mediasi ini adalah gabungan dari model Victim Offender Mediation dan Reparation Negotiation Programmes. Adapun pelaksanaan mediasi ini adalah sebagai berikut: 1. Hakim setelah mempelajari kasus dan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, dapat menawarkan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian perkara dengan perdamaian para pihak. 2. Jika para pihak menyetujui, maka diadakan persetujuan secara suka rela untuk mengikuti penyelesaian perkara dengan cara mediasi baik oleh pelaku maupun oleh korban. 3. Hakim dapat bertindak sebagai mediator ataupun dengan mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan bersertifikasi. 4. Mediasi mempertemukan pihak pelaku dan korban, pada kesempatan ini diadakan rekonsiliasi antara korban dan pelaku, serta dilakukan pembayaran ganti kerugian yang diderita korban. 5. Mediasi penal dilakukan berdasarkan prinsip rahasia, sehingga segala peristiwa yang terjadi dan segala pernyataan yang muncul dalam proses mediasi harus dirahasiakan oleh para pihak termasuk mediator. 6. Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan maka proses pemeriksaan di muka pengadilan akan dilanjutkan sebagaimana mestinya. 7. Jika tercapai kesepakatan di mana para pihak saling menerima hasil kesepakatan (rekonsiliasi) dan disepakati pembayaran ganti kerugian oleh pelaku kepada korban, maka hasil kesepakatan yang dituangkan dalam akta kesepakatan menjadi berkekuatan tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final, sehingga pelaku tidak dapat dituntut dan diadili kembali dalam proses peradilan pidana. 40 d. Mediasi penal pada tahap pelaku menjalankan sanksi pidana penjara Pada tahapan ini mediasi penal dilakukan baik berupa reparation negotiation programme yang menitikberatkan pada pembayaran kompensasi dari pelaku kepada korban, maupun berupa bentuk victim offender mediation, yang 40 Ibid., hlm. 329.

15 15 menitikberatkan baik pada konsep rekonsiliasi maupun pada kesepakatan pembayaran ganti kerugian kepada korban. Mediasi yang dilakukan pada tahap pelaku sedang menjalani pidananya khususnya pidana penjara, berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan sebagian pidana jika pelaku telah menjalankan sebagian pidananya. Adapun pelaksanaan pada tahapan eksekusi adalah sebagai berikut: 1. Untuk tindak-tindak pidana tertentu, pelaku dapat menawarkan kepada korban untuk mengadakan mediasi penal guna meringankan pidananya. 2. Jika korban menyetujui permintaan mediasi dari pelaku tindak pidana, maka diajukan persetujuan mediasi kepada Jaksa penuntut umum sebagai eksekutor. 3. Jaksa sebagai eksekutor akan mempelajari kemungkinan disetujuinya mediasi penal. 4. Jika telah disepakati persetujuan mediasi maka mediasi dapat dilakukan dengan bantuan mediator yang ditunjuk maupun mediator luar yang telah diakui dan disertifikasi. 5. Mediasi dilakukan dengan prinsip kerahasiaan, sehingga segala peristiwa dan pernyataan yang muncul dalam mediasi bersifat rahasia. 6. Jika mediasi mencapai kesepakatan untuk berdamai dan kesepakatan pembayaran ganti kerugian, maka hasil kesepakatan tersebut berfungsi sebagai alasan untuk menghapuskan kewenangan menjalankan pidana, sehingga terpidana dapat dibebaskan. 7. Hasil kesepakatan perdamaian dan pembayaran ganti kerugian kepada korban dituangkan ke dalam akta kesepakatan yang bersifat final dan digunakan sebagai alasan untuk membebaskan terpidana dari pidana yang belum dijalaninya. 41 Dalam penanganan perkara ABH, penyidik selain memiliki kewajiban melekat untuk melaksanakan asas legalitas, hendaknya berpegang pula pada asas demi kepentingan umum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kepentingan umum disini adalah dihubungkan dengan kepentingan terbaik bagi anak, sebagai bentuk perwujudan pemenuhan kepentingan umum bagi masyarakat. Hal ini senada dengan Prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak, sebagaimana telah penulis singgung dalam bab sebelumnya. Artinya bahwa dalam semua tindakan yang meyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial Negara dan swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan pertimbangan yang utama. Pandangan ini diperkuat pula oleh pendapat dari Tommy, A. Tobing (Pengacara Publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta), dikatakannya bahwa,: 41 Ibid., hlm. 331.

16 16 kapan saja keputusan resmi yang berdampak pada anak diambil, kepentingan terbaik bagi anak harus dipandang sebagai hal yang penting, jangan sampai kepentingan orang tua dan Negara yang menjadi dasar pertimbangan membuat atau menjatuhkan putusan. 42 Penggunaan kewenangan diskresi oleh kepolisian sebenarnya sudah dapat diterapkan dalam kasus ini, agar tidak menimbulkan pelabelan bagi ABH yang dapat mengganggu perkembangan psikologisnya sebagai generasi penerus bangsa, diteruskannya kasus sampai tahap persidangan seharusnya hanya untuk meminta penetapan hakim bahwa kasus tersebut telah selesai dengan terwujudnya kesepakatan dari kedua pihak agar kasus tersebut tidak diteruskan. Penghentian proses pemeriksaaan setelah terwujud kesepakatan mediasi penal antara pelaku dan korban berguna pula untuk membantu mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Diteruskannya penanganan perkara ABH ini menurut penulis didasarkan atas kekurangan pemahaman atau belum ada nya keberanian dari pihak penyidik menggunakan kewenangan diskresi secara optimal sebagaimana undang-undang kepolisian mengaturnya. Dilanjutkannya proses ini hingga pada tahap pemeriksaan pengadilan menunjukkan bahwa sebagaian aparat penegak hukum kita, khususnya dari pihak penyidik kepolisian belum mampu mengadaptasikan pemahamannya dengan perkembangan sistem pemidanaan sebagaimana dunia internasional sudah banyak menerapkannya, yakni menggeser paradigma sistem pemidanaan retributif (penghukuman kepada pelaku) menjadi keadilan restoratif (pengembalian keadaan seperti semula antara pelaku dan korban). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum kita belum mampu bekerja secara profesinal dalam menjalakan profesinya sebagai penyidik polisi. Bab 3 Analisis Kasus 4.1 Posisi Kasus Putusan Nomor : 952/Pid.B/2010/PN-Stb (Kasus 1). 43 Anak Berhadapan dengan Hukum: ditahan dalam rumah tahanan Negara, berdasarkan surat perintah/penetapan penetapan: 42 Hasil wawancara dengan Tommy, A. Tobing, S. H, pengacara publik pada Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, pada 12 Juli Mahkamah Agung RI (a), Op. Cit.

17 17 1. Penyidik sejak tanggal 04 Nopember 2010 No. Pol. Han/121/XI/2010/ Reskrim sejak tanggal 04 Nopember 2010 s/d tanggal 23 Nopember Perpanjangan oleh Penuntut Umum tanggal 18 Nopember 2010 Nomor. 1106/N /Ep/T.4/11/2010 sejak tanggal 24 Nopember 2010 s/d tanggal 03 Desember2010; 3. Penuntut Umum tanggal 02 Desember 2010 Nomor: Print-225/T7/12/2010 sejak tanggal 02 Desember 2010 s/d tanggal 11 Desember 2010; 4. Hakim Pengadilan Negeri Stabat tanggal 06 Desember 2010 Nomor : 952/Pid.B/2010/PN-Stb.- sejak tanggal 06 Desember 2010 s/d tanggal 20 Desember 2010; 5. Perpanjangan Penahanan oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat sejak tanggal 21 Desember 2010 s/d tanggal 19 Januari 2010; Selanjutnya, ABH dalam persidangan telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara Alternatif, yakni sebagai berikut : Dakwaan KESATU : melanggar pasal 363 ayat (1) angka 3 KUHP jo pasal 26 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Atau, Dakwaan KEDUA : melanggar pasal 362 KUHP jo pasal 26 ayat (1) UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Bahwa sebagai implementasi dari konvensi hak hak anak yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia tersebut telah lahir UU No. 23 tahun 2002 tetang perlindungan anak dan telah diamanatkan pula dalam Pasal 16 (3) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penangkapan, penahanan atau Pidana Penjara Anak hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir (The Last Resort). Dalam putusan hakim dinyatakan bahwa ABH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencurian. Kemudian menjatuhkan tindakan terhadap ABH dengan mengembalikan ABH kepada orang tuanya dibawah pengawasan BAPAS Kelas I Medan sampai terdakwa dewasa. Memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan Rumah Tahanan Negara Pangkalan Berandan. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) ekor ayam potong warna putih yang beratnya sekira 2 (dua) kilogram. Dikembalikan kepada saksi Nur Ainun Alias Sinur Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp , - (seribu rupiah) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan terbaik bagi anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban, hakim telah melakukan Implementasi Keadilan Restoratif dengan melakukan forum mediasi penal di ruang mediasi Pengadilan Negeri Stabat yang dihadiri oleh pelaku, orang tua,

18 18 korban/orang tua, Hakim Anak, Jaksa Anak dan PK BAPAS Klas I Medan. Dalam forum mediasi tersebut telah ditandatangani kesepakatan perdamaian tertanggal 23 Desember 2010 oleh pihak-pihak terkait dengan tujuan pemulihan dan pemenuhan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat (Restorative Justice) yang pada pokoknya klausul-klausul kesepakatan tersebut sebagai berikut: 1. Bahwa Terdakwa dan orang tua telah meminta maaf kepada korban, dan sebaliknya korban telah memaafkan perbuatan Terdakwa; 2. Bahwa Korban berharap Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya mencuri di Pasar Pagi Pangkalan Berandan; 3. Bahwa Korban meminta orang tua Terdakwa agar sanggup mendidik dan membina Terdakwa serta tidak melakukan pelanggaran hukum lagi; 4. Bahwa Orang tua terdakwa berjanji mampu untuk menjaga dan membina terdakwa untuk menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan terdakwa berniat untuk melanjutkan Sekolah di Pesantren gratis Atas dasar keterangan tersebut, hakim menerapkan pendekatan keadilan restoratif dengan mekanisme mediasi penal dalam penyelesaian perkara anak berhadapan dengan hukum sebagaimana dijelaskan dalam putusan pengadilan tersebut. Mekanisme mediasi penal diterapkan pada tahapan pemeriksaaan sidang pengadilan. Menurut penulis, seharusnya tanpa melalui mekanisme pemeriksaan pengadilan, baik pada tahap penyidikan atau penuntutan sudah dapat diterapkan pendekatan keadilan restoratif melalui mekanisme mediasi penal, mengingat hal ini akan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemenuhan hak-hak anak dan kepentingan terbaik bagi si ABH. Penggunaan kewenangan diskresi oleh kepolisian sebenarnya sudah dapat diterapkan dalam kasus ini, agar tidak menimbulkan pelabelan bagi ABH yang dapat mengganggu perkembangan psikologisnya sebagai generasi penerus bangsa, diteruskannya kasus sampai tahap persidangan seharusnya hanya untuk meminta penetapan hakim bahwa kasus tersebut telah selesai dengan terwujudnya kesepakatan dari kedua pihak agar kasus tersebut tidak diteruskan. Dilanjutkannya proses ini hingga pada tahap pemeriksaan pengadilan menunjukkan bahwa sebagaian aparat penegak hukum kita, khususnya dari pihak penyidik kepolisian belum mampu mengadaptasikan pemahamannya dengan perkembangan sistem pemidanaan sebagaimana dunia internasional sudah banyak menerapkannya, yakni menggeser paradigma sistem pemidanaan retributif (penghukuman kepada pelaku) menjadi keadilan restoratif

19 19 (pengembalian keadaan seperti semula antara pelaku dan korban). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum kita belum mampu bekerja secara profesinal dalam menjalakan profesinya sebagai penyidik polisi. Putusan Nomor : 208/Pid.B/2011/PN. PDG (Kasus 2). 44 Anak Berhadapan dengan Hukum: telah ditahan berdasarkan Surat Perintah/Penetapan Penahanan : 1. Penyidik tangga l 08 Maret 2011 No.Pol. Sp.Han/36/III/2011/Reskrim sejak tanggal 08 Maret 2011 s/d 27 Maret 2011 ; 2. Perpanjangan Penuntut Umum tanggal 25 Maret 2011 No.Prin : B- 677/N.3.10 /Epp.2/03/2011 sejak tanggal 28 Maret 2010 s/d tanggal 06 April 2011 ; 3. Penahanan Penuntut Umum tanggal 05 April 2011 No.Pr in-882/ N.3.10/Ep.I/0 4/2011 sejak tanggal 5 April 2011 s/d tanggal 14 April 2011; 4. Hakim Pengadilan Negeri Padang tanggal 20 April 2011 No. 277 /Pen.Pid/ PN.PDG sejak tanggal 19 April 2011 s/d 04 Mei 2011; 5. Perpanjangan ketua Pengadilan Negeri Padang tanggal 20 April 2011 No.157 /Pen.Pid/2011.PN.PDG sejak tanggal 04 Mei s/d 03 Jun i 2011; 6. Penangguhan penahanan terdakwa tangga l3 Mei 2011 No. 208 /Pid.B/ 2011/ PN.PDG, oleh Hakim Tunggal tersebut. Dalam persidangan, hakim memberikan pertimbangan : Bahwa SK baru berumur tiga belas tahun sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran No. 4025/PL/06/T tanggal 22 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Padang Drs. SYAFRIZON HAKIM. Menimbang, bahwa atas dakwaan tersebut terdakwa maupun Penasehat Hukumnya menyatakan telah mengerti isi maksudnya serta tidak ada menyampaikan keberatan / Eksepsi; Menimbang, bahwa selanjutnya akan dibuktikan unsur-unsur dari dakwaan Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 82 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Menimbang, bahwa sesuai ketentuan pasal-pasal 59 ayat (1) dan (2) yang menyatakan agar sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak, serta putusan tersebut wajib mempertimbangkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan ; Menimbang, bahwa selanjutnya didalam pasal 16 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pokoknya disebutkan bahwa Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ; 44 Mahkamah Agung RI (b), Op. Cit.

20 20 Menimbang, bahwa dengan memperhatikan ketentuan normatif di atas jelasjelas dalam menjatukan tindakan terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana harus dengan memperhatikan berbagai aspek dan tidak menggangu masa depan anak dan pidana yang akan diterapkan adalah sebagai upaya terakhir (Ultimum Remedium) ; Menimbang, bahwa selanjutnya Balai Pemasyarakatan Klas I Padang juga menyarankan agar perkara ini diselesaikan diluar Pengadilan Negeri (Diversi) dan kalau tetap melalui proses peradilan maka diharapkan agar dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya dengan memperhatikan pendidikan anak: Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti dan adanya persesuaian antara yang satu dengan yang lainnya dan memperhatikan Laporan Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan Klas I Padang, maka kira pidana yang akan dijatuhkan haruslah pidana yang sesuai dengan kesalahan terdakwa tanpa mengganggu masa depan terdakwa (si anak) dengan berlandaskan prinsip kepentingan terbaik bagi anak ( The best interest of a child); Menimbang, bahwa pada pokoknya pidana yang dijatuhkan bukanlah sematamata pembalasan terhadap kesalahan terdakwa akan tetapi lebih kepada maksud menginsyafkan/menyadarkan terdakwa agar tidak lagi berbuat dimasa yang akan datang dan menyesali pebuatannya oleh karenanya Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Putusan Hakim: 1. Menyatakan ABH bersalah melakukan Tindak Pidana Dengan Sengaja Membujuk Anak Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul ; 2. Menghukum ABH oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan denda sebanyak Rp ,- (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) Bulan; 3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali dikemudian hari terdakwa dengan suatu putusan Hakim melakukan suatu perbuatan pidana selama dalam masa waktu percobaan selama 3 (Tiga) Tahun habis; 4. Menetapkan pula agar ABH mengikuti kegiatan yang diprogramkan oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Padang selama 3 (Tiga) Bulan; 5. Menetapkan lamanya ABH ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 6. Memerintahkan agar barang bukti berupa; 1 (satu) helai baju kaos oblong warna merah muda merk Gen- X; Dikembalikan kepada ABH. 1 (satu) helai celana dalam wanita warna hijau muda; Dikembalikan kepada saksi korban SK 7. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp ,- (dua ribu rupiah). Putusan Nomor : 208/Pid.B/2011/PN. PDG (Kasus 2) Hakim pada putusan Nomor : 208/Pid.B/2011/PN. PDG (Kasus 2) menyatakan ABH bersalah melakukan Tindak Pidana Dengan Sengaja

21 21 Membujuk Anak Untuk Melakukan atau Membiarkan Dilakukan Perbuatan Cabul. Sebagaimana telah penulis bahas pada bab sebelumnya, pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak yang sedang berhadapan dengan hukum diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak maupun UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sekalipun upaya pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak dalam undang-undang pengadilan anak hanya diatur secara eksplisit, namun hal ini seharusnya tidak menutup semangat upaya pemenuhannya oleh aparat penegak hukum kita. Pengaturan mengenai penerapan keadilan restoratif yang berorientasi pada pemenuhan kepentingan terbaik bagi ABH pada masa sebelum diterbitkan UU No. 11 Tahun 2012 adalah menggunakan peraturan-peraturan internal instansi penegak hukum sebagai penunjang bagi pelaksanaan tugas dan jabatan mereka, diantaranya: MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007 Peraturan KAPOLRI 10 Tahun 2007 Tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Peraturan KAPOLRI No. 3 Tahun 2008 tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi & korban Tindak Pidana Peraturan KAPOLRI No. 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Rapublik Indonesia, BN No. 150 Tahun 2009 TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/ Juni 2008, tentang pelaksanaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS- 2/KPTS/2009, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Nomor : M.HH.04.HM Th 2009, Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor : 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/ 2009, NO.M.HH-08 HM Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009,

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Disusun oleh : Hadi Mustafa NPM : 11100008 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

HJ. DS. DEWI., S.H., MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong

HJ. DS. DEWI., S.H., MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong HJ. DS. DEWI., S.H., MH Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Expert Consultation Meeting Mercure Kuta - BALI 26 28 Juni 2013 PENGANTAR ANAK BUKANLAH MIMIATUR ORANG DEWASA. Anak sebagai pelaku bukanlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tertib dalam berlalu

I. PENDAHULUAN. ini dibutuhkan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tertib dalam berlalu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan berlalu lintas Masyarakat Indonesia telah memiliki suatu ketentuan hukum yang mengatur mengenai lalu lintas dan angkutan jalan. Ketentuan hukum ini

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM

Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM Tindak Kekerasan dan Pemidanaan Anak ditinjau dari Perspektif HAM Oleh Asep Mulyana Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sekolah sudah lama terjadi, baik kekerasan yang bersifat kenakalan nonkriminal

Lebih terperinci

KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Dosen Fakultas Hukum UNISSULA andriwinjaya@gmail.com Abstract Restorative justice in

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Permasalahan keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk direalisasikan. Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

MEDIASI PENAL DALAM INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM. Nediyanto Ramadhan. Abstract

MEDIASI PENAL DALAM INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM. Nediyanto Ramadhan. Abstract MEDIASI PENAL DALAM INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM Nediyanto Ramadhan Abstract The research problem is whether the method should be applied in the Penal Mediation Integrated Criminal Justice System

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang menganut paham nomokrasi atau negara hukum, yaitu paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA Oleh : Keyzha Natakharisma I Nengah Suantra Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Mediation is generally known as a form

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK 24 BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI Anak perlu perlindungan khusus karena Kebelum dewasaan anak baik secara jasmani

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan pancasila dan Undang Undang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang- BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak 1. Indonesia Undang-undang yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS POLRESTA SURAKARTA) SKRIPSI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas sebagai hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, maka dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penjabaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL DAN TINDAK PIDANA. Pendekatan yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL DAN TINDAK PIDANA. Pendekatan yang kedua ini (non litigasi) bersifat win-win solution. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI PENAL DAN TINDAK PIDANA 1.1. Mediasi Penal 1.1.1. Definisi Mediasi Penal Penyelesaian suatu perkara dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu dengan model litigasi

Lebih terperinci

UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Sistem Perlindungan Anak Nasional UNICEF Bertujuan memperkuat lingkungan protektif guna melindungi anak dari segala bentuk penyalahgunaan, eksploitasi,

Lebih terperinci

Hj. D.S. DEWI, SH.MH Wakil Ketua PN Bale Bandung

Hj. D.S. DEWI, SH.MH Wakil Ketua PN Bale Bandung IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF MELALUI DIVERSI Hj. D.S. DEWI, SH.MH Wakil Ketua PN Bale Bandung Coffee Morning Para APH Bale Endah, 31 Maret 2016 Anak dan Perilaku Melanggar Hukum Proses Peradilan Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karakteristik anak yang sedang dalam pertumbuhan atau mengalami proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri tanpa perlindungan.

Lebih terperinci

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA, MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 amandemen keempat, khususnya Pasal 28 B ayat (2) berisi ketentuan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI IMPLEMENTASI MEDIASI PENAL SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI IMPLEMENTASI MEDIASI PENAL SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI IMPLEMENTASI MEDIASI PENAL SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA Diajukan oleh: Santa Novena Christy NPM : 100510296 Program

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hampir setiap hari surat kabar maupun media lainnya memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas selalu menjadi bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Diversi 1. Pengertian Diversi Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian anak dalam hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/ minderjaring, 1 orang yang di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan semata, hal ini berdasarkan penjelasan umum tentang sistem pemerintahan negara Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Lebih terperinci

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI) Banyak anak-anak berkonflik dengan hukum dan diputuskan masuk dalam lembaga pemasyarakatan. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1997 pengadilan negeri

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KETERANGAN PRESIDEN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Jakarta, 6 Maret 2013 Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama marilah kita

Lebih terperinci

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Disusun Oleh: Raden Zulfikar Soepinarko Putra 2011 200 206 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerusuhan Massa Massa diartikan sebagai orang yang berjumlah banyak, anggotanya heterogen, berkumpul di suatu tempat dan tidak individualistis. Massa memiliki kesadaran diri yang

Lebih terperinci

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Copyright@2017 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Barangsiapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya. Anak merupakan salah satu

Lebih terperinci

PROSPEKRIF PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DENGAN INDIKATOR YANG DAPAT TERUKUR MANFAATNYA BAGI MASYARAKAT

PROSPEKRIF PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DENGAN INDIKATOR YANG DAPAT TERUKUR MANFAATNYA BAGI MASYARAKAT PROSPEKRIF PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DENGAN INDIKATOR YANG DAPAT TERUKUR MANFAATNYA BAGI MASYARAKAT (Penerapan dan Pengembangannya di Lingkungan Polri) Dr. Zulkarnein Koto,

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana

BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana 9 BAB II PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PERADILAN PIDANA ANAK 2.1. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak Sistim peradilan pidana (disingkat SPP) anak, yang telah berjalan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK) 55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Ojek Online (GO-JEK) Pada perkembangannya GOJEK telah resmi beroperasi di 10 kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta,

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus pembangunan, yaitu generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mediasi sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan sudah lama dipakai dalam berbagai kasus-kasus bisnis, lingkungan hidup,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN. Marisa Tentang Tindak Pidana Pencabulan Yang Dilakukan Oleh Anak Setelah proses pemeriksaan dipersidangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang secara optimal baik fisik, mental maupun sosial, untuk. mewujudkannya diperlukan upaya perlindungan terhadap anak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat manusia seutuhnya, sebagai generasi muda penerus cita-cita

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara manusia yang menjadi pemicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya mengharuskan manusia untuk

Lebih terperinci

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN 1 TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN Suriani, Sh, Mh. Fakultas Hukum Universitas Asahan, Jl. Jend Ahmad Yani Kisaran Sumatera Utara surianisiagian02@gmail.com ABSTRAK Pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga. Hal ini berarti bahwa di dalam negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyaknya persoalan anak masih menjadi perhatian kita semua. Kekerasan terhadap anak sudah banyak yang memperhatikan namun masih sedikit perhatian tertuju untuk

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 20/Pid.Sus.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 20/Pid.Sus.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 20/Pid.Sus.Anak/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang mengadili perkara pidana Anak dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan hukum, masing-masing pihak harus mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa dalam beracara pidana, terdapat alat bukti yang sah yakni: keterangan Saksi,

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak yang mana kebutuhan tersebut bertujuan untuk memenuhi segala keperluan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam ilmu hukum, dikenal pembagian hukum berupa hukum privat dan hukum publik. Masing-masing dari kedua klasifikasi tersebut memiliki fungsi yang saling berlainan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh

Lebih terperinci