V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hutan Mangrove di RPH Cibuaya BKPH Cikiong Sejarah kawasan Kawasan Hutan RPH Cibuaya pada awalnya merupakan kawasan hutan alam yang di dominasi oleh warakas dan api api. Sejak Tahun 1960an masyarakat mulai masuk dan menggarap lahan hutan mangrove untuk dijadikan tambak. Pada tahun 1966 kondisi hutan mangrove di RPH Cibuaya masih sangat gelap dan rapat. Sepanjang jalan menuju lokasi juga masih banyak semak yang tinggi yang dikenal dengan warakas atau paku laut (Acrostichum sp). Pada saat itu, hanya beberapa orang yang tinggal di sekitar hutan untuk melakukan budidaya perikanan tambak. Keberadaan satwa liar seperti burung dan ular masih sering terlihat dan masuk ke dalam rumah masyarakat (Marta pers comm. 2006). Kerusakan ekosistem mangrove mulai muncul pada tahun 1965 yang disebabkan banyaknya perambahan oleh masyarakat untuk tambak (Saidi pers comm. 2006). Pada awalnya belum ada kesepakatan dan perjanjian yang jelas antara penggarap dengan pemerintah (Departemen Kehutanan) dalam pengelolaan hutan mangrove yang diperuntukan tambak. Sehingga masyarakat yang ada pada saat itu memanfaatkan hutan tanpa ada batas-batas tertentu. Akibatnya terjadi kerusakan yang cukup besar pada ekosistem mangrove. Pada tahun 1970 dibuat percobaan penanaman jenis Bakau sebanyak dua hektar, dan pada tahun 1977 dilakukan penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove (Saidi pers comm. 2006). Pada tahun 1978 terjadi pemindahan pengelolaan hutan dari Departemen Kehutanan ke Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, yang sekarang pengelolaannya di bawah wilayah RPH Cibuaya, BKPH Cikiong. Kemudian demi pengelolaan hutan mangrove yang lestari, disusun suatu perjanjian kontrak kerjasama antara Perhutani dengan penggarap dengan pedoman Perhutanan Sosial, pola empang parit (sylvofishery) pada Tahun BKPH Cikiong memiliki jumlah petani penggarap (pesanggem) sebanyak orang, dengan luas lahan garapan ±6.600 ha (Laporan BKPH Cikiong, 1998). Pada tahun 1988 pesanggem yang sebelumnya mengelola lahan dengan tidak beraturan,

2 menjadi mengelompokan diri membentuk suatu wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) Payau. Pada tahun 1998 terjadi kerusakan hutan yang besar, karena masuknya masyarakat dan merusak hutan tanpa memperhatikan dampak ekologi di masa mendatang. Hal itu terjadi karena tekanan ekonomi masyarakat yang tinggi. Pada tahun terjadi kekeringan sehingga penanaman mangrove tidak berhasil. Puncak kerusakan hutan mangrove di lokasi ini terjadi pada tahun Lahan tambak dan hutan mangrove terendam banjir selama 3 bulan, mengakibatkan kematian vegetasi yang sangat tinggi. Maka Perhutani melakukan reboisasi pada tahun 2002 dan Rehabilitasi kawasan hutan yang dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan, karena adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kelestarian hutan payau Lahan mangrove RPH Cibuaya Berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 599/Kpts-II/1997, luas kawasan hutan BKPH Cikiong adalah 8.749,25 ha. Kawasan ini terbagi atas hutan tetap seluas 7.823,25 ha dan Hutan cadangan seluas 926 ha. Berdasarkan bagan kerja KPH Purwakarta tahun 2004, kawasan hutan BKPH Cikiong dibagi kedalam lima resort dengan salah satunya Resort Cibuaya dengan luas 1583,47 ha. Pada tahun 2005 terjadi pengukuhan ulang, karena pergeseran batas alam, maka mendapat tambahan dari RPH Pakis seluas 123,88 ha, sehingga luas RPH Cibuaya menjadi 1707,35 ha (Tabel 5). Tabel 5. Data luasan mangrove RPH Cibuaya Kelompok Hutan Cikiong No Petak Luas (Ha) Fungsi Kelas Jenis Tahun Hutan Hutan Hutan Tanam ,80 HL TK ,00 HL Bakau/api ,25 HL TK ,00 HL Bakau/api ,60 HL TK ,00 HL Bakau/api ,40 HL TK - - 9,00 HL Bakau/api ,70 HL TK ,00 HL Bakau/api ,80 HL TK - - 5,00 HL Bakau/api ,10 HL TK ,60 HL TK ,54 HL TK - - Keterangan

3 No Petak Luas (Ha) Fungsi Kelas Jenis Tahun Hutan Hutan Hutan Tanam Keterangan ,70 HL TK ,00 HL Bakau/api ,60 HL TK ,00 HL Bakau/api ,50 HL TK - - 4,00 HL KU I. Bakau/api ,00 HL KU I. Bakau/api ,00 HL TK ,76 HL TK Ha. Sengketa Ha. abrasi 1.707,35 Sumber : BKPH Cikiong, 2006 Dari tabel di atas untuk petak 58 dengan luas 52,76 ha dalam kondisi bermasalah yaitu 34,76 ha terkena abrasi, karena proses alam sedangkan 18 ha lagi dalam status sengketa dengan hak pengguna lain dalam hal ini masyarakat Lahan mangrove yang digunakan tambak Sebagian besar wilayah RPH Cibuaya untuk perhutanan sosial pola empang parit. Berdasarkan daftar Penggarap PHBM payau tahun 2006 di RPH Cibuaya, hutan payau untuk tambak dikelola oleh 194 pesanggem seluas 1286,86 ha atau 75,37% dari total luas wilayah RPH Cibuaya (Lampiran 1). Luasnya kawasan hutan payau RPH Cibuaya digunakan untuk tambak sebesar 75,37% menunjukkan bahwa hampir seluruh kawasan hutan digunakan untuk tambak. Sehingga sistem pengelolaan kawasan di RPH Cibuaya adalah sistem perhutanan sosial berbentuk tambak dengan sistem empang parit Lahan mangrove yang dikonversi ke penggunaan lain (tidak digunakan untuk tambak) Wilayah RPH Cibuaya digunakan untuk tambak dengan sistem empang parit, tetapi beberapa bagian dimanfaatkan untuk pemukiman, saluran air, kali, tanggul empang dan pinjam pakai (Pertamina). Beberapa bagian yang lain tidak dapat digunakan sebagai tambak, karena sedang dalam sengketa dan abrasi. Data ini disajikan dalam Tabel 6.

4 Tabel 6. Data penggunaan lahan selain untuk tambak. No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Keterangan 1 Pemukiman 10,01 2 Saluran, kali, tanggul empang 362,20 3 Pinjam pakai (Pertamina) 21,74 4 Sengketa 18,00 5 Abrasi 34,76 Disebabkan gejala Alam Jumlah 446,71 24,63% Sumber : BKPH Cikiong, 2004 Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan di RPH Cibuaya selain untuk tambak sebesar 446,71 ha atau 24,63% dari total luas wilayah RPH Cibuaya. Lahan yang dalam kondisi abrasi harus segera dilakukan rehabilitasi dan untuk mengurangi abrasi maka harus dilakukan rehabilitasi mangrove di tepi pantai, sehingga abrasi tidak akan semakin luas. Sedangkan lahan yang dalam masalah sengketa harus segera dicari solusi yang terbaik bagi kedua pihak yang bersengketa, sehingga lahan tersebut dapat dikelola sesuai dengan tujuan Perhutani Pengelolaan tambak sistem empang parit Perum Perhutani membuat suatu kebijakan pengelolaan mangrove yaitu suatu sistem pengelolaan bersama masyarakat yang dikenal dengan silvofishery atau Mina Wana Tani. Kebijakan ini diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan oleh masyarakat karena kebijakan tersebut memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan. Sasaran kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara umum menurut Nuryanto (2003) diarahkan pada empat aspek, yaitu: 1) Mengurangi tekanan terhadap ekosistem hutan mangrove dalam bentuk: a. Pengawasan yang ketat terhadap penebangan liar, perburuan liar dan ancaman kerusakan hutan lainnya, b. Menindak penambak liar yang beroperasi, c. Melakukan penataan kawasan, 2) Revitalisasi fungsi ekosistem hutan mangrove dalam bentuk: a. Melakukan penghutanan kembali (reforestation) daerah yang telah rusak tegakan mangrovenya,

5 b. Menata dan memperbaiki aliran pasang surut di dalam kawasan yang sudah terganggu, 3) Mengembangkan manfaat sosial ekonomi kawasan dalam bentuk: a. Menata dan memperbaiki sistem budidaya perikanan yang ada dengan sistem mina hutan, b. Mengembangkan program wisata alam ekosistem hutan mangrove yang menarik dan profesional, 4) Merumuskan kembali sistem kelembagaan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang menjamin adanya sinergisme antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mendukung fungsi ekologi dan ekonomi kawasan. Pemanfaatan kawasan mangrove menjadi tambak di lokasi RPH Cibuaya dilakukan dengan sistem tambak tumpangsari pola empang parit, dengan tujuan untuk perlindungan terhadap tanaman mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan. Pola ini menggambarkan lahan yang efektif untuk memelihara ikan merupakan saluran keliling atau caren dengan lebar maksimal 10 m, sedangkan di bagian tengah ditanami pohon bakau atau mangrove. Untuk kelestarian mangrove pihak Perhutani juga menentukan jarak tanam vegetasi mangrove sebagai upaya rehabilitasi yaitu 3 x 3 m. Sistem empang parit ini diatur dalam sebuah perjanjian kerjasama antara Perhutani dengan pesanggem, yang di dalammya berisi hak dan kewajiban masing masing pihak. Beberapa data yang berkaitan dengan pengelolaan tambak sistem empang parit yaitu luas tambak, kelas tambak, umur tambak, jumlah tenaga kerja, status tambak, dan upaya konservasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat data pengelola tambak sistem empang parit yang tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Contoh data pengelolaan sistem empang parit. No Responden Luas Garapan (Ha) Kelas Tambak Umur Tambak (Th) Jumlah Tenaga Kerja Kontrak Atas Nama milik sendiri 2 2 5, milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri Upaya konservasi

6 No Responden Luas Garapan (Ha) Kelas Tambak Umur Tambak (Th) Jumlah Tenaga Kerja Kontrak Atas Nama milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri , milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri , milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri milik sendiri Alih kontrak milik sendiri milik sendiri Upaya konservasi Memelihara tanaman Memelihara tanaman Hasil wawancara menunjukan adanya keragaman dalam status hak pengelolaan tambak setiap orang (pesanggem) dilihat hal berikut : (a). Untuk luas lahan yang digarap terdapat perbedaan untuk setiap pesanggem dengan luas garapan terendah sebesar 0,75 ha dan yeng terluas sebesar 10 ha, hal ini disebabkan perbedaan kemampuan setiap pesanggem dalam membayar uang sewa usaha tambak; (b). Lahan yang dikelola mempunyai perbedaan kelas pada beberapa pesanggem, karena adanya perbedaan penutupan vegetasi mangrove di setiap lahan tambak. Sesuai kesepakatan bahwa kelas tambak di RPH Cibuaya dibagi menjadi 4 kelas, dengan kelas I memiliki penutupan vegetasi yang terbesar (80-100)%, sedangkan kelas 4 memiliki penutupan vegetasi paling sedikit (<40%) dari luas tambak; (c). Lamanya pesanggem mengelola tambak (umur tambak) juga berbeda dengan lama mengelola terlama 27 tahun, dan paling singkat baru 1 tahun.; (d). Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pengelolaan tambak setiap lahan tambak per pesanggem rata rata 2 orang saja, karena biasanya setiap lahan

7 tambak dikelola oleh suami dibantu istri dan anak.; (e). Status kepemilikan tambak hampir seluruhnya (96,67%) milik sendiri, atau dikelola atas nama sendiri dan hanya satu orang (3,33%) yang statusnya alih kontrak, karena pesanggem mengelola tambak tapi masih atas nama orang lain; dan (f). Upaya konservasi yang dilakukan oleh pesanggem hanya dilakukan oleh 2 orang saja (6,66%) yaitu dengan memelihara dan menjaga mangrove dan juga melakukan penyulaman atau penanaman secara sukarela di lahan tambaknya, dan sebanyak 28 orang ( 93,33 %) tidak melakukan usaha konservasi karena mereka beranggapan bahwa mereka tidak mempunyai tanggung jawab langsung terhadap tanaman mangrove, karena yang bertanggung jawab pada tanamannya adalah pihak Perhutani. Ini terjadi karena tidak dimasukkannya kewajiban rehabilitasi mangrove oleh pesanggem pada setiap lahan tambaknya. Ini menunjukan upaya konservasi yang dilakukan masyarakat sangat kurang bahkan tidak ada, maka pihak Perhutani sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap kelestarian ekosistem mangrove melakukan upaya-upaya konservasi dengan membentuk Pusat Percobaan Silvofishery (PPS). PPS pada awalnya adalah lahan garapan masyarakat yang mengelola tambak, namun dicabut hak kepemilikannya karena melakukan pelanggaran (terlibat dalam suatu tindakan politik). Kemudian lahan tersebut dijadikan sebagai lahan percobaan penanaman dan upaya rehabilitasi hutan mangrove serta percobaan metode-metode penanaman baru. PPS berdiri sejak tahun 1992 dengan sebutan BIPSP (Badan Informasi Perhutanan Sosial Payau), yang bertujuan: 1) tempat uji coba metoda, teknologi budidaya ikan dalam habitat payau dan kombinasi lainnya, 2) sebagai tempat penelitian, pengembangan pola dan jenis tanaman serta flora fauna hutan payau, 3) sebagai lokasi penyuluhan Perhutanan Sosial Payau, khususnya dalam penerapan silvofishery. Selanjutnya pada Tahun 1995 dengan Petunjuk Kerja No.22/PK/Binhut/II/1995 BIPSP ditetapkan menjadi PPS. RPH Cibuaya terdapat PPS yang terletak pada petak 43 dengan luas lahan 57,80 ha dengan jenis tanaman

8 bakau (Rhizophora spp.) yang ditanam pada tahun 1978 dan tahun 2000 hingga sekarang. PPS dikuasai sepenuhnya oleh Perhutani, namun karena di dalamnya dilaksanakan silvofishery, Perhutani meminta beberapa masyarakat menjaga dan memelihara ikan dan udang yang ditanamnya tanpa merusak vegetasi. Sistem sylvofishery yang diterapkan di wilayah RPH Cibuaya didasarkan pada Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan. Pola empang parit yang disempurnakan merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional. Perbedaanya terletak pada pintu air untuk pemeliharaan yang terdiri atas 3 (tiga) buah pintu, yaitu 2 buah pintu masuk dan 1 buah pintu keluar. Ditambah lagi dengan saluran air pasang surut bebas untuk hutan. Masyarakat mendukung kegiatan yang dilakukan Perhutani di PPS, karena menganggap akan mendatangkan keuntungan. Sebab uji coba penanaman dan metoda-metoda baru secara tidak langsung dilakukan di lahan tambak mereka. Jika penanaman yang dilaksanakan di PPS berhasil baik, penggarap akan menerima bila penanaman dilanjutkan ke lahan tambak mereka, namun jika tidak berhasil maka penggarap tidak merasa dirugikan karena tidak mengganggu budidaya tambak mereka sama sekali. Sampai saat ini PPS dirasakan belum mampu mencapai tujuan pelestarian hutan mangrove. Seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini menunjukan kondisi mangrove di PPS.

9 a Gambar 2. Hutan mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery b (PPS) Tahun 2006 masih baik (a); dan rusak (b) Vegetasi mangrove di Pusat Percobaan Silvofishery (PPS) tidak seluruhnya baik, hanya sekitar 30% dari luas PPS (57,80 Ha) yang vegetasi mangrovenya masih bagus (Gambar 2a), sedangkan 70% sisanya rusak (sama seperti vegetasi pada lahan garapan masyarakat). Gambar 2b menunjukkan kerusakan vegetasi di PPS. Vegetasi mangrove di PPS yang masih bagus berada di dekat sungai, sedangkan vegetasi pada lahan yang lebih jauh dari sungai banyak yang rusak. Menurut petugas lapang, hal ini dikarenakan salinitas air lebih baik pada lahan yang dekat dengan sungai. Rehabilitasi lahan kawasan hutan yang terus dilakukan sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah adanya perbedaan kepentingan antara sosial ekonomi dan kepentingan kelestarian hutan payau. Selain itu, adanya faktor lain seperti hama tanaman yang menyerang daun muda, hewan peliharaan yang memakan pucuk daun muda, panas matahari dan pupuk serta akar tanaman yang mengapung atau tidak menancap sempurna di dalam tanah. Selain mengawasi dan membina penggarap dalam pemanfaatan lahan hutan, Perhutani juga mempunyai rencana penanaman setiap tahunnya. Rencana tanaman disusun dalam Renstra dan dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun ke depan. Pada Tahun 2005, rencana tanam yang telah dilaksanakan sebesar 201 ha untuk 5 resort di BKPH Cikiong. Tahun 2006 dilaksanakan penanaman seluas 215 ha, dan rencana penanaman untuk tahun 2007 adalah seluas 75 ha. Luas lokasi penanaman tergantung dari pihak KPH yang menentukan kebijakan dan dilaksanakan secara berangsur dengan lokasi penanaman disesuaikan dengan kondisi lapangan yang

10 dibutuhkan. Saat ini penanaman lebih difokuskan pada tepi-tepi sungai dan mengurangi penanaman di dalam empang (tambak) karena tingkat keberhasilan penanaman di dalam empang rendah. Jenis vegetasi yang ditanam disesuaikan dengan lokasi penanaman. Dalam empang diupayakan jenis bakau (Rhizophora spp.) yang merupakan jenis yang paling cocok ditanam pada lahan berlumpur, sedangkan tepi sungai lebih sesuai jenis api-api (Avicenia spp.). Hal tersebut disesuaikan gengan sifat dari masingmasing jenis vegetasi mangrove dimana api-api berada pada urutan pertama jika dilihat dari tepi laut Penutupan Lahan yang Bervegetasi Mangrove di RPH Cibuaya Kesesuaian persentase vegetasi mangrove berdasakan kelas tambak Kawasan hutan lindung mangrove RPH Cibuaya dikelola dalam bentuk perhutanan sosial, yaitu sistem empang parit yang pengelolaannya diberikan pada masyarakat dan terikat dalam perjanjian kesepakatan dengan pihak Perhutani. Salah satu perjanjiannya yaitu mengenai status kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Ketentuan persentase vegetasi mangrove per kelas tambak dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase vegetasi mangrove berdasarkan kelas tambak No Kelas Persentase Vegetasi Magrove (%)/Ha 1 I II III IV < 40 Sumber : BKPH Cikiong, 2005 Pengkelasan tambak sangat berkaitan dengan kinerja rehabilitasi mangrove dan upaya-upaya konservasi yang harus dilakukan untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Kelas tambak juga berkaitan dengan sewa antara pesanggem dan Perhutani yang disesuaikan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada di tambak. Maka diperlukan pengkelasan yang tepat dan sesuai antara aturan dan kondisi di lapangan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

11 Maka dilakukan penelitian kesesuaian kelas tambak, yang diukur berdasarkan panjang penutupan lahan oleh vegetasi mangrove per kelas tambak. Penelitian dilakukan dengan mengambil unit contoh berdasarkan luas lahan yang digunakan tambak dengan intensitas sampling 5%, karena kondisi ekosistem yang seragam jadi diasumsikan dapat mewakili. Unit contoh adalah luas tambak per kelas tambak yang diambil secara acak. Penelitian dilakukan pada 12 pesanggem dengan kelas dan luas tambak yang berbeda sehingga dianggap mewakili kelas dan luas keseluruhan, dengan total luas penelitian adalah 71,93 ha. Rekapitulasi perhitungan hasil pengukuran tersaji pada Tabel 9. Dari Tabel 9 dapat dilihat pengambilan contoh dilakukan pada setiap kelas tambak yaitu kelas I; 1 orang (8,33%), kelas II; 2 orang (16,67%), kelas III; 3 orang (25%) dan kelas IV; 6 orang (50%). Unit contoh dari kelas IV lebih banyak dari kelas lainnya sebesar 50%, karena jumlah pesanggem kelas IV paling banyak dari kelas lainnya. Pada lahan tambak yang diamati hanya jenis Rhizophora mucronata yang ditemukan dan menutupi lahan tambak. Hasil perhitungan menunjukan contoh 1 (kelas I) mempunyai kerapatan terbesar yaitu 15104,23 ind/ha, hal ini menunjukan bahwa banyaknya individu per ha pada Kelas I lebih banyak dari kelas lainnya. Sedangkan kerapatan terendah ada pada contoh 10 dan 11(kelas IV), sebesar 0,00 karena tidak ditemukan vegetasi mangrove di lahan tambak. Kerapatan suatu jenis sangat mempengaruhi dominansi jenis tersebut, dominansi tertinggi pada kelas I sebesar 71,98%, dan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0, karena tidak ditemukannya vegetasi. Frekuensi yang terbesar adalah pada contoh 2 (kelas II) sebesar 100% ini menunjukan bahwa vegetasi mangrove tersebar merata. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0% karena tidak ada ditemukan vegetasi.

12 Tabel 9. Rekapitulasi Perhitungan penutupan lahan berdasarkan pesanggem. No Unit Contoh Luas (ha) Kelas Jenis Tanaman Kerapatan (ind/ha) Dominansi (%) Frekuensi (%) INP (%) Total Penutupan (%) Rhizophora mucronata 15104,23 71,98 85,00 300,00 80, Rhizophora mucronata 8847,72 54,60 100,00 300,00 63, Rhizophora mucronata 8220,21 54,98 92,00 300,00 62, Rhizophora mucronata 7968,32 35,30 66,67 300,00 41, Rhizophora mucronata 6373,44 40,15 88,24 300,00 43, Rhizophora mucronata 6947,97 50,59 92,59 300,00 53, Rhizophora mucronata 5600,99 39,43 86,67 300,00 40, Rhizophora mucronata 7834,56 28,08 75,00 300,00 29, Rhizophora mucronata 4686,94 23,76 80,00 300,00 24, ,00 0,00 0,00 0,00 0, ,00 0,00 0,00 0,00 0, ,93 4 Rhizophora mucronata 7292,75 13,23 72,45 300,00 13,76 Jumlah 71, ,12 412,09 838, ,00 452,43 48

13 Hasil pada Tabel 9 juga menunjukan total penutupan lahan untuk masing masing contoh berdasakan kelas tambak. Penutupan lahan terluas diperoleh pada contoh 1 (kelas I) sebesar 80,5%, artinya 80,5 % luas tambak masih bervegetasi mangrove. Sedangkan yang terendah pada contoh 10 dan 11 (kelas IV) sebesar 0%, artinya semua luas tambak tidak bervegetasi mangrove. Data hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara total penutupan lahan per kelas tambak yang sebenarnya dengan aturan yang ada di kontrak, jumlah penutupan lahan yang sesuai sebanyak 95,83% dan hanya 4,17% yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, data disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rekap kesesuaian penutupan lahan berdasar kelas tambak Total Penutupan vegetasi Unit Jumlah No Kelas penutupan <aturan =aturan >aturan contoh lahan (%) satuan % satuan % satuan % satuan % 1 I 1 80, ,19 2 II ,8 1 41,76 3 III 2 43, , , , ,36 4 IV 5 83,3 1 16, ,76 Jumlah ,3 1 16, Rata rata 95,83 4,18 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kelas I, II, dan III terdapat kesesuaian antara luas penutupan lahan dalam kontrak dengan luas penutupan lahan yang sebenarnya dilapangan, dengan persentase 100%, artinya pengkelasan pada kelas I, II, dan III sudah benar dan tepat. Sehingga pada kelas I, II, dan III tidak ada pihak yang akan dirugikan baik Perhutani. penggarap (pesanggem) maupun Pada kelas IV luas penutupan lahan yang sesuai dengan kondisi di lapangan sebesar 83,3%, artinya pengkelasan pada lahan tersebut sudah benar. Tapi ada yang tidak sesuaian data penutupan lahan di lapangan dengan aturan pada kontrak sebesar 16,67 %, yaitu pada contoh 7 atas nama Bapak Dali. Hasil pengukuran menunjukan bahwa luas penutupan lahan lebih besar dari aturan, dengan luas sebesar 40,77%, sedangkan pada aturan dijelaskan bahwa kelas IV luas penutupan <40%. Karena luas penutupan lahan lebih besar dari sebenarnya,

14 maka pesanggem dirugikan, sebab seharusnya tambak masuk pada kelas III bukan kelas IV. Indikator pengkelasan pada tambak, tidak hanya berdasarkan luas penutupan vegetasi saja, tapi indikator lain seperti pasang surut air laut, aksebilitas, kadar garam dan lainnya. Sehingga untuk kasus tambak Bapak Dali, walaupun luas penutupan vegetasinya lebih besar dari sebenarnya tetapi memiliki kelebihan berupa pasang surut bagus, diapit dua sungai, dan aksesibilitas baik, maka dimasukan pada kategori kelas IV (Mendon pers comm. 2006). Dengan adanya ketentuan seperti itu maka pengkelasanya telah sesuai dengan kontrak. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Perhutanan Sosial pada hutan payau tahun 1994, pola Mina Wana Tani atau pengelolaan tambak dengan sistem silvofishery yang diwajibkan adalah pola empang parit yang disempurnakan. Bentuk tambak Kelas I (luas tambak 20%), sangat sesuai dengan pola yang ditetapkan, yaitu bagian caren (tempat pemeliharaan ikan) berada di tepi lahan dengan rabak (tegakan mangrove) berada di tengah lahan tambak. Begitu juga bentuk tambak Kelas II, III dan IV, hanya saja jumlah tegakan yang ada lebih sedikit. Berikut ini contoh lokasi tambak kelas I, II, III dan IV disajikan pada Gambar 3. a b c d Gambar 3. Bentuk pengelolaan lahan tambak Kelas I (a); Kelas II (b); Kelas III (c);dan Kelas IV (d).

15 Hasil penelitian menunjukan adanya kesesuaian antara hasil lapangan dengan kontrak. Tapi ada hal yang harus diperhatikan dengan melihat hasil lapangan bahwa ditemukan tambak dengan kondisi penutupan lahan 0 % pada kelas IV sebesar 33,33% dari luas lahan yang digunakan tambak. Kondisi ini menunjukan telah terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove baik secara sengaja oleh manusia mapun oleh gajala alam. Hal ini menunjukan tidak berjalannya atau tidak dilaksanakannya upaya upaya konservasi terhadap ekosistem mangrove. Dalam perjanjian yang ada saat ini, tidak ada kewajiban bagi pesanggem untuk melaksanakan rehabilitasi, mereka hanya diwajibkan untuk memelihara tanaman yang ada dan melakukan penyulaman tanaman mangrove yang mati. Situasi dilapangan menunjukan kondisi sebaliknya, banyak mangrove yang ditanam malah dicabuti, yang masih hidup ditebang untuk kayu bakar. Artinya sistem pengkelasan hutan mangrove menjadi disinsentif bagi keberhasilan reboisasi hutan lindung mangrove. Ini terbukti dari hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) menjelaskan banyaknya lahan areal tambak yang turun kelas jika dibanding tahun sebelumnya. Kondisi mangrove di RPH Cibuaya dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan data dalam Lampiran 1 dapat diketahui bahwa luas tambak yang paling besar adalah tambak kelas IV sebesar 903,85 Ha (70,23%). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi mangrove di daerah tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah karena hutan yang bervegetasi mangrove kurang dari 40%. Dari hasil penelitian menunjukan kecendrungan dari pesanggem untuk turun kelas, hal ini dapat dilihat dari besarnya penutupan lahan setiap pesanggem lebih mendekati batas bawah setiap kelasnya. Sehingga dalam jangka panjang tidak menutup kemungkinan semua kelas tambak yang ada di RPH Cibuaya hanya kelas empat. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi kelestarian ekosistem mangrove di PRH Cibuaya dan akan menyulitkan upaya rehabilitasi lahan mangrove. Maka diperlukan peninjauan kembali pengkelasan tambak di RPH Cibuaya. Hasil penelitian Helmi Yudiarsafran Zuna (1998) Bahwa Komposisi luasan optimal tambak tumpangsari adalah tambak (54%) dan hutan (46%).

16 Persentase ini menunjukan secara ekologi maupun ekonomi sama-sama menguntungkan Upaya rehabilitasi lahan mangrove Keberadaan hutan mangrove di RPH Cibuaya merupakan lahan bagi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dan menjadi sumber penghasilan. Adanya masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai lahan budidaya ikan dan udang dalam tambak menjadikan hutan mangrove kehilangan fungsi alaminya sebagai habitat berbagai jenis ikan, kepiting dan habitat satwaliar lain. Pemanfaatan secara berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan mangrove yang cukup parah. Untuk itu diperlukan usaha rehabilitasi untuk memperbaiki keadaan hutan mangrove. Upaya yang ditempuh Perhutani dalam memperbaiki hutan mangrove dimulai dengan dilakukannya penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat mengenai pentingnya ekosistem hutan mangrove. Kemudian Perhutani melakukan penanaman kembali lahan budidaya yang tidak bervegetasi. Dimulai dari Pusat Percobaan Silvofishery (PPS), Perhutani mencoba memberikan beberapa contoh penanaman bibit bakau dengan jarak tanam tertentu. Kronologis upaya rehabilitasi yang dilakukan Perum Perhutani di BKPH Cikiong (Mendon pers comm. 2006) adalah sebagi berikut: a). Tahun 1970 : Percobaan penanaman jenis bakau sebanyak 2 ha b). Tahun : Penanaman secara luas di RPH Cibuaya untuk menjaga ekosistem mangrove. c). Tahun 1995 : Penanman di Pusat Percobaan Silvofishery d). Tahun 2002 : Penanaman pada lahan yang terkena banjir e). Tahun 2005 : Penanaman 201 Ha untuk wiayah BKPH Cikiong f). Tahun 2006 : Penanaman 215 ha untuk wilayah BKPH Cikiong g). Tahun 2007 : Rencana tanaman 75 ha. Menurut Kepala BKPH Cikiong, tingkat keberhasilan penanaman bibit bakau di lokasi penelitian hanya 30%. Bibit bakau yang ditanam dengan jarak tanam 3 m x 3 m tersebut mengalami kematian cukup besar karena beberapa faktor, antara lain:

17 1. Serangan hama Bibit bakau yang telah ditanam dapat mengalami gangguan oleh hama baik pada daun maupun batang. Hama ini merusak daun-daun muda yang pada akhirnya mengakibatkan kematian. Perhutani sendiri tidak dapat mengontrol secara teliti, jika diketahui ada tanaman yang mati maka petugas akan menyulam dengan bibit baru. 2. Gangguan hewan Bibit-bibit tidak hanya ditanam di bagian dalam lahan garapan saja, tetapi ada bibit yang ditanam ditepi tanggul. Bibit ini sering dimakan oleh hewan peliharaan penambak (kambing) yang digembalakan di sekitar lahan tambak. Hewan ini memakan pucuk-pucuk daun muda yang baru tumbuh sehingga tanaman tidak dapat bertahan lama. 3. Panas matahari dan pupuk Bibit bakau yang ditanam di lahan garapan yang tidak bervegetasi cenderung mengalami kematian lebih cepat karena panas matahari yang mengenai tanaman muda. Menurut penggarap, adanya pemakaian pupuk yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan kondisi tanah tidak stabil dan pupuk tersebut memberikan rasa dingin pada bagian bawah air, sementara pada bagian permukaan air mengalami pemanasan oleh matahari. Hal ini yang menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh hingga besar. 4. Akar tidak menancap di tanah Nuryanto (2003) menyatakan bahwa akar mangrove tidak menancap di tanah sebagai akibat kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter sehingga bibit akan terapung, atau juga dapat disebabkan pencabutan tanaman yang sengaja dilakukan beberapa penggarap yang lahannya tidak mau ditanami dengan tanaman baru. Petugas jarang melihat langsung penggarap yang mencabut tanaman, hanya dijumpai akar tanaman yang tidak menancap secara sempurna pada tanah. Nuryanto (2003) menyatakan bahwa kendala yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidak mungkin ditinjau

18 dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis. Selanjutnya ia menyatakan, suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibit bakau dalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam. Pada lahan tambak Kelas IV, upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak Perhutani sangat besar karena hampir 100% lahan digunakan sebagai lahan budidaya tambak ikan dan udang dengan penutupan lahan sampai 0%. Namun untuk melaksanakan penanaman tersebut, baik Perhutani maupun masyarakat mengalami kesulitan karena keberhasilan pertumbuhan vegetasi sangat kecil yaitu sekitar 30%. Jika penanaman dilakukan sebanyak 1100 bibit untuk tiap hektar lahan, maka keberhasilan tumbuh hanya 330 bibit saja. Dari tingkat keberhasilan yang rendah tersebut, pertumbuhan tanaman muda seringkali mengalami gangguan, baik karena serangan hama maupun mati karena panas yang tinggi. Kematian tanaman juga disebabkan adanya hewan peliharaan (kambing) yang memakan pucuk-pucuk daun muda yang berada di sisi tanggul, selain itu karena penggunaan pupuk yang sangat tinggi sejak dahulu, maka kondisi tanah tidak baik. Berikut ini salah satu contoh rehabilitasi mangrove yang dilakukan Perhutani pada lahan PPS, yang secara pengkelasan masuk pada kelas IV, dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Contoh upaya rehabilitasi pada lahan tambak. Kegiatan rehabilitasi bukan hanya dilakukan pada lahan tambak kelas IV tapi harus dilakukan di setiap kelas tambak, sehingga kelestarian mangrove di

19 RPH Cibuaya dapat terjaga, maka manfaat ekonomis dari tambak sejalan dengan terjaganya fungsi ekologis dari mangrove. Kesulitan yang dialami dalam upaya merehabilitasi hutan mangrove memaksa pihak Perhutani mengupayakan cara terbaik dalam penanaman bakau. Upaya yang sedang dijalankan Perhutani lebih memfokuskan penanaman bibit bakau pada tepi-tepi sungai, saluran-saluran air dan tanggul, dan mengurangi penanaman dalam tambak. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan baik dan meningkatkan keberhasilan rehabilitasi baik sekarang maupun jangka panjang, sehingga kelestarian ekosistem mangrove di RPH Cibuaya dapat terjaga. Selain itu Perhutani harus memasukkan pelaksanaan rehabilitasi dalam perjanjian kontrak, sehingga rehabilitasi menjadi tanggung jawab bersama nilai sewa tambak yang sesuai dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh hutan lindung mangrove di RPH Cibuaya adalah berupa tambak dengan kondisi hutan mangrove sangat bervariasi. Tambak dikelola oleh pesanggem yang terikat dalam suatu perjanjian dengan Perum Perhutani. Salah satu isi perjanjiannya adalah masalah sewa. Sistem sewa antara perum perhutani dan pesanggem didasarkan pada kelas tambak yang ditentukan berdasarkan persentase tegakan mangrove yang ada tambak, dan luasan hutan yang dijadikan tambak. Di RPH Cibuaya pengelolaanya terdiri dari empat kelas. Yaitu kelas I, II, III, dan IV. Kelas tambak ditentukan oleh Seksi Perencana Hutan (SPH) berdasarkan kriteria-kriteria khusus yang ditetapkan (jumlah vegetasi pada lahan tambak, pasang surut dan lebar empang). Pengkelasan dapat berubah (menjadi lebih kecil atau besar) jika keadaan di lapangan sudah tidak sesuai dengan ketentuan kelas yang ditetapkan sebelumnya. Jika vegetasi di suatu lahan semakin berkurang maka SPH dapat menurunkan kelas lahan tersebut dan menaikkan harga sewa lahannya. Semakin rendah kelas, semakin mahal harga sewa yang harus dibayarkan penggarap setiap tahunnya. Harga sewa yang ditetapkan untuk Kelas I

20 saat ini sebesar Rp /ha/tahun, Kelas II sebesar Rp /ha/tahun, Kelas III sebesar Rp /ha/tahun dan Kelas IV sebesar Rp /ha/tahun. harga sewa di RPH Cibuaya telah mengalami perubahan dari tahun , berdasarkan hasil wawancara dengan pak Mendon (mandor senior) bahwa perubahannya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11..Perkembangan sewa tambak berdasarkan tahun. No Tahun Kelas sewa (Rp)/ha/thn (KTH yang mengelola)*) 1992 (Perhutani yang mengelola) **) sekarang Keterangan : *). Pada tahun 1988, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling sedikit. **). Pada tahun 1999 sampai sekarang, kelas 1 adalah yang bervegetasi paling banyak. Tambak di RPH Cibuaya dikelola oleh pesanggem, dengan jumlah penggarap yang mengelola sebanyak 194 orang, untuk kelas (1) 3 orang, kelas (2) 17 orang, kelas (3) 30 orang dan kelas (4) 144 orang. Hal ini menunjukan besarnya minat masyarakat untuk mengelola tambak sangat tinggi, karena hal ini ditunjang dengan besarnya pendapatan yang dihasilkan dari usaha tambak cukup besar. Menurut Feblita (2006), bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat relatif cukup karena kebutuhan pertahun yang dihitung berdasarkan standar upah minimum regional Karawang sebesar Rp /tahun. Hal ini terlihat dari besarnya pendapatan rata-rata tahunan pesanggem pada kelas IV sebesar Rp dan rata-rata tahunan/ha sebesar Rp ,00, dengan asumsi pendapatan dalam panen tahap II tahun ini sama.

21 Dari data di atas dapat diasumsikan bahwa sesungguhnya usaha tambak ini menguntungkan, sehingga setiap orang (pesanggem) mempunyai kemampun dan kemauan membayar lebih tinggi (Willingnes to pay/wtp) untuk biaya sewa yang berlaku. Maka dilakukan pengambilan contoh pada 30 orang pesanggem dengan daftar responden tersaji pada Lampiran 2. Unit contoh yang diambil per kelas tambak adalah kelas (I) 1 orang (3,33%), kelas (II) 4 orang (13,33%), kelas (III) 8 orang (26,66%) dan kelas (IV) 8 orang (56,66%). Wawancara yang dilakukan dengan menggunakan Metode Valuasi Contingensi (MVC) dengan metode bertanya menggunakan pendekatan metode tawar menawar (MTM), maka responden diberi pertanyaan dengan terlebih dahulu diberi titik awal berapa biaya yang bersedia dibayar/ha yang lebih tinggi dari harga sekarang. Untuk memudahkan responden besarnya nilai uang diganti dengan persen. Titik awal penawaran yang diajukan adalah 10% (Tabel 12). Tabel 12. Rekapitulasi besarnya kemauan membayar sewa tambak No Unit kenaikan sewa /Ha Kelas Luas (ha) Contoh % Rp % ,4 10% % % % % % % % % % % % % % % ,8 5% % % % % ,75 5% % % % % % % 6450

22 No Unit kenaikan sewa /Ha Kelas Luas (ha) Contoh % Rp % % 5600 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa besarnya kemauan mereka membayar lebih sewa adalah 5% dan 10 % dari sewa yang telah disepakati sebelumnya. Lima orang (16,66%) bersedia membayar 10% dan lima belas orang(83,33%) bersedia membayar 5%. Harga 5% merupakan nilai penawaran terendah yang diajukan, sehingga peminatnya lebih banyak jika dibandingkan dengan nilai 10% yang merupakan titik awal penawaran yang disetujui. Pada perbandingan setiap kelas, untuk kelas I yang memilih (5%) sebanyak 100%, kelas II yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, kelas III yang memilih (10%) sebesar 25% dan (5%) sebesar 75%, dan untuk kelas IV yang memilih (10%) sebesar 11,76% dan (5%) sebesar 88,24%. Besaran persen yang diperoleh kemudian diterjemahkan dalam angka nominal seperti pada tabel diatas, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung WTP menggunakan metode statistik secara regresi. kemauan membayar (WTP) sewa usaha tambak yang lebih besar dari perjanjian yang sekarang berlaku, sehingga diperoleh harga sewa yang baru yang sesuai dengan nilai WTP dari pesanggem, tersaji pada Tabel 13 s.d Tabel 16. Tabel.13. sewa kelas 1 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Kisaran harga (y) Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha y = Tabel.14. sewa pada kelas 2 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi , Kisaran harga (y) Y1=6.930,36 Y2=7.069,64 Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha ,36 < Y< ,64

23 Tabel.15. sewa kelas 3 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi ,5 88, , Kisaran harga (y) Y1=7.973,62 Y2=8.151,38 Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha ,62 < Y< ,38 Tabel.16. kenaikan sewa kelas 4 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) kenaikan (Rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi 1 1 5, ,94 92, , Kisaran harga (y) Y1=9.910,66 Y2= ,22 Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha ,66 < Y < ,22 Dari data di atas menunjukan bahwa semua responden (100%) mempunyai kemampuan dan kemauan membayar lebih (WTP) untuk setiap kelas tambak/hektar yang mereka garap dari nilai sewa sekarang. kenaikan sebagai berikut : untuk kelas 1 sebesar Rp 4.770/ha, kelas II sebesar Rp.6.930,36/ha dan Rp.7.069,64/ha. Untuk kelas III sebesar Rp.7.976,62/ha dan Rp.8.151,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar Rp.9.910,66/ha dan Rp ,22/ha. WTP menunjukan besarnya keinginan pesanggem untuk tetap mengelola hutan lindung mangrove dengan pola tambak empang parit.

24 sewa tambak berdasrakan kemauan membayar (WTP) dari pesanggem adalah lebih tinggi dari nilai sewa yang ada dalam kontrak perjanjian sekarang. Sehingga besarnya nilai sewa yang baru untuk kelas I sebesar Rp /ha, kelas II sebesar kisaran Rp ,36/ha s.d. Rp ,64/ha Untuk kelas III sebesar kisaran Rp ,62/ha s.d Rp ,38/ha. dan untuk kelas IV sebesar kisaran Rp ,66/ha s.d Rp ,22/ha. Secara ekonomis dengan meningkatnya WTP pesanggem terhadap lahan tambak yang dikelola, memberikan keuntungan ekonomis yang cukup tinggi kepada pihak pengelola dalam hal ini perhutani. Tetapi secara ekologis hal ini tidak sesuai karena vegetasi yang ada dari tahun ketahun semakin berkurang akibat pengelolaan tambak yang tidak sesuai aturan. Maka diperlukan pengawasan dan pembinaan yang ketat dan tepat pada pesanggem sehingga kelestarian ekosistem mangrove terjaga. Artinya semakin tinggi WTP maka resiko kerusakan lingkungan dalam hal ini ekosistem mangrove juga tinggi. Sehingga besarnya nilai WTP sebanding dengan besarnya biaya rehabilitasi. Untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove, perhutani melakukan kegiatan reboisasi di tambak-tambak pesanggem, untuk meningkatkan keberhasilan reboisasi maka diperlukan kerjasama dengan para pesanggem. Sehingga timbul rasa memiliki terhadap mangrove oleh para pesanggem dan pesanggem bersedia menjaga, memelihara, melestarikan dan melakukan rehabilitasi. Cara yang harus dilakukan adalah memperbaharui isi perjanjian kontrak kerjasama yang berkaitan dengan kewajiban merehabilitasi lahan mangrove setiap pesanggem. Pendekatan lain yang dapat dilakukan dalam penentuan besarnya sewa tambak dengan memperhatikan besarnya ganti rugi atas kesediaan menjaga lingkungan disebut dengan Willingnes to accept (WTA). WTA yang diperoleh dari hasil wawancara pada responden dengan menawarkan besaran ganti rugi dengan menggunakan satuan persen yaitu sebesar 5%, 10%, 20% dan 30%, dengan titik awal 10%, hal ini dilakukan untuk memudahkan responden menjawab. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa 100% responden (30 orang) memilih besarnya ganti rugi sebesar 30% dari harga sewa/kelas tambak/ha. ganti rugi rebiosasi/ kelas tambak/ha, disajikan dalam Tabel 17.

25 Tabel 17. persentase dan nilai ganti rugi reboisasi/kelas tambak/ hektar No Kelas Nilai ganti Sewa/ha Persen ganti rugi tambak rugi(rp/ha) 1 I % II % III % IV % Dari Tabel 17 terlihat bahwa semua pesanggem bersedia lahannya dilakukan rehabilitasi, karena mereka menganggap rehabilitasi itu adalah hak dari perhutani sebagai pemilik lahan, tapi pesanggem meminta ganti rugi sebesar 30% dari biaya sewa tambak. nilai ganti rugi/ha untuk kelas I sebesar Rp /ha, kelas II sebesar Rp /ha, kelas III sebesar Rp /ha, dan untuk kelas IV sebesar Rp /ha. Nilai ganti rugi kelas IV lebih tinggi dari kelas I, II dan III karena nilai sewa kelas IV yang tertinggi. nilai ganti rugi 30% dipilih oleh seluruh pesanggem (100%), karena semua pesanggem memilih persentase terbesar yang ditawarkan pewawancara, alasan kisaran tawarnya 5-30% karena penyesuaian atau penyamaan dengan kisaran tawaran WTP. Nilai ganti rugi ini sangat tergantung dengan nilai tawar tertinggi yang diberikan kepada pesanggem. WTA dianalisis dengan statistik secara regresi. Sebagai biaya ganti rugi hilangnya lahan tambak untuk digunakan rehabilitasi. Sehingga diperoleh harga sewa yang baru berdasrkan WTA yang bersedia mereka terima sebagai kompensasi atas perbaikan lingkungan yang sebanding dengan nilai manfaat hutan lindung mangrove, tersaji pada Tabel 18 s.d Tabel 21. Tabel 18. ganti rugi pada kelas 1 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) ganti rugi(rp/ha) Rataan Simapangan Deviasi Kisaran harga (y) Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha y = Tabel 19. ganti rugi pada kelas 2 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Kisaran harga (y) Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha Y=

26 Tabel 20. biaya ganti rugi pada kelas 3 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Kisaran harga (y) Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha Y= , Tabel 21. biaya ganti rugi pada kelas 4 No Unit Contoh Luas Garapan (ha) Ganti rugi (Rp /ha) Rataan Simapangan Deviasi Kisaran harga (y) Besar sewa/ha Besar sewa yang baru/ha 1 1 5, Y= , Dari data diatas besarnya sewa yang diinginkan pesanggem berdasarkan WTA adalah sebagai berikut, untuk kelas I sebesar Rp /ha, kelas II sebesar Rp /ha, kelas III sebesar Rp /ha, dan kelas IV sebesar Rp /ha.Artinya WTA mempengaruhi sewa tambak yang telah disepakati menjadi lebih kecil, karena perhutani harus membayar ganti rugi kebersediaan pesanggem melakukan rehabilitasi sebagai upaya pelestarian ekosistem mangrove. Jadi besarnya WTA sebanding dengan keberhasilan rehabilitasi dan kelangsungan konservasi mangrove. Hal ini disebabkan pesanggem akan berusaha memelihara, menjaga, dan akan timbul rasa memiliki terhadap mangrove, serta mampu

27 kerjasama dengan Perhutani sehingga memudahkan Perhutani dalam menjalankan program rehabilitasi. Dengan adanya ganti rugi ini maka pesanggem dapat membayar biaya sewa lebih ringan dan lebih murah, dan bagi perhutani akan berhasilnya program rehabilitasi ini, merupakan bentuk pengelolaan kawasan yang lestari dan terjamin. nilai sewa tambak yang terbaik dan sesuai dengan nilai manfat hutan lindung mangrove dan kemauan membayar dari pesanggem adalah besarnya sewa yang berdasarkan WTP, sedangkan berdasarkan WTA hanya alternatif pendekatan saja.

IV. KONDISI UMUM LOKASI

IV. KONDISI UMUM LOKASI IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Letak dan Luas Kawasan hutan BKPH Cikiong terletak di tiga wilayah administratif pemerintahan, yakni: Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, dan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Berdasarkan

Lebih terperinci

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI Benny Hartanto Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta (AMY) ABSTRAK Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari  diakses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta jumlah pulau di Indonesia beserta wilayah laut yang mengelilinginya ternyata menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah pesisir yang terpanjang

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA

BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 48 BAB VI DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA 6.1. Dampak Konversi Mangrove Kegiatan konversi mangrove skala besar di Desa Karangsong dikarenakan jumlah permintaan terhadap tambak begitu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Tabel 4 Luas wilayah studi di RPH Tegal-Tangkil 27 4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis Lokasi penelitian, khususnya ekosistem mangrove masuk dalam wilayah pengelolaan Resort Polisi Hutan (RPH) Tegal-Tangkil, BKPH Ciasem- Pamanukan.

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya.

Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing. pasang surut air laut dan aliran sungai. pengembangan pengelolaan ikan dan lainnya. Melaksanakan tanaman hutan di setiap lokasi garapan masing-masing Ikut menerbitkan pemukiman/perambah dalam kawasan hutan mangrove Gotong royong memperbaiki saluran air yang dangkal untuk mempelancar pasang

Lebih terperinci

BAB III PENDEKATAN LAPANG

BAB III PENDEKATAN LAPANG BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di Desa Sedari, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, pada bulan Juni-Juli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berfungsi sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Ekosistem mangrove sangat penting sebagai tempat untuk berlindung, mencari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Koordinator : Judul Kegiatan : Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di sekitarnya. Kawasan pesisir memiliki beberapa ekosistem vital seperti ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Diperoleh model dalam pengelolaan lahan mangrove dengan tambak dalam silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat bermanfaat bagi pengguna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan Wawan Halwany Eko Priyanto Pendahuluan mangrove : sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut air laut. Kriteria Mangrove Tanaman

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hanya ada 3 tambak yang menerapkan system silvofishery yang dilaksanakan di Desa Dabung, yaitu 2 tambak

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan mahkluk hidup di bumi. Kekayaan alam bermanfaat bagi kelangsungan kehidupan di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16. Tabel 4. Luas Wilayah Desa Sedari Menurut Penggunaannya Tahun 2009 33 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 16 4.1 Keadaan Wilayah Desa Sedari merupakan salah satu desa di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Sedari adalah 3.899,5 hektar (Ha). Batas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN MUARA SUNGAI DAN PANTAI DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT

BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT 54 BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK MANGROVE RAMAH LINGKUNGAN MODEL EMPANG-PARIT Bab ini akan mengemukakan deskripsi variabel partisipasi responden dalam pengelolaan tambak mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

KUESIONER. 1. No. :.. 2. Jenis Kelamin :.. 3. Kelas : Umur : Pilihlah jawaban yang tepat dan kemudian beri tanda X

KUESIONER. 1. No. :.. 2. Jenis Kelamin :.. 3. Kelas : Umur : Pilihlah jawaban yang tepat dan kemudian beri tanda X KUESIONER I. IDENTITAS RESPONDEN 1. No. :.. 2. Jenis Kelamin :.. 3. Kelas :... 4. Umur :... 5. Organisasi di sekolah :... II. PETUNJUK PENGISIAN 1. Bacalah setiap pertanyaan dengan teliti 2. Pilihlah jawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari PENDAHULUAN Latar Belakang ndonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17 508 pulau dan panjang garis pantainya kira-kira 81 000 kin serta wilayah laut pedalaman dan teritorialnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang oleh air laut, komunitasnya dapat bertoleransi terhadap air garam, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

Tabel 8. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Kategori Persepsi Jumlah Responden (orang) Presentase (%)

Tabel 8. Frekuensi Persepsi Responden Mengenai Ekosistem Hutan Mangrove Kategori Persepsi Jumlah Responden (orang) Presentase (%) BAB VI PERSEPSI RESPONDEN MENGENAI HUTAN MANGROVE Persepsi responden dalam penelitian ini adalah penilaian dan pandangan responden mengenai hutan mangrove berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Berdasarkan buku Perum Perhutani Unit III Jawa Barat & Banten (9), wilayah mangrove desa Jayamukti Kecamatan Blanakan secara administrasi kehutanan termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung

Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung Bab V Kajian Keberlanjutan Penerapan Sistem Silvofishery dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove Di Desa Dabung V.1. Kajian keberlanjutan dengan Metode Ecological Footprint Seperti telah disebutkan sebelumnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH)

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang : a. bahwa hutan mangrove di Kota Bontang merupakan potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan

I. PENDAHULUAN. dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah salah satu ekosistem hutan yang terletak diantara daratan dan lautan. Hutan tersebut mempunyai karakteristik unik dibandingkan dengan formasi hutan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT 1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Suaka margasatwa merupakan salah satu bentuk kawasan suaka alam. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah kawasan yang mempunyai fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan tumpuan dan harapan bagi setiap komponen makhluk hidup yang ada di bumi saat ini, pasalnya dari hutan banyak manfaat yang dapat diambil baik yang bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya alam baik sumber daya alam terbaharukan maupun tidak. Udara, lahan, air, minyak bumi, hutan dan lain-lain merupakan sumber

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penentuan karakteristik

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan

Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan 2 Menanam Bibit di Lapangan Inti dari kegiatan rehabilitasi adalah menanam bibit di lapangan. Apabila penanaman dilakukan dengan cara yang benar dan waktu yang tepat maka peluang tumbuhnya bibit di lapangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik dan Persepsi Masyarakat 5.1.1. Karakteristik dan Persepsi Responden Pantai Indah Kapuk Terhadap Lingkungan Hutan Angke Kapuk Jumlah responden untuk studi CVM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik karena terdapat pada daerah peralihan (ekoton) antara ekosistem darat dan laut yang keduanya saling berkaitan erat. Selain

Lebih terperinci