Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik
|
|
- Sucianty Pranoto
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Dampak Pajanan Zat pada Proses Pewarnaan Pembuatan Batik terhadap Kelainan Klinis Pekerja Industri Batik Riana Sari 1, Suradi 1, Faisal Yunus 2 1 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, RSUD Dr. Moewardi, Surakarta 2 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSUP Persahabatan, Jakarta Abstrak Latar Belakang: Batik adalah kerajinan khas Indonesia, khususnya budaya Jawa yang memiliki nilai seni tinggi. Pajanan bahan maupun zat kimia pada saat proses pewarnaan batik dapat menyebabkan iritasi terhadap sistem pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh pajanan bahan kimia saat proses pewarnaan batik terhadap kelainan klinis paru pekerja industri batik. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain penelitian potong lintang. Jumlah sampel sebanyak 58 orang yang terbagi dalam 2 kelompok, masing-masing 29 orang pada kelompok terpajan dan 29 orang dalam kelompok tidak terpajan. Penilaian dilakukan terhadap gejala respirasi dan kelainan klinis paru. Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia dengan kelainan klinis paru yang meliputi bronkitis kronik, PPOK, dan asma kerja (p=0,001). Pajanan bahan kimia meningkatkan risiko kelainan klinis paru (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia dengan gejala batuk kronik (p=0,000), berdahak kronik (p=0,000), mengi (p=0,005), dan sesak napas (p=0,001). Terdapat hubungan bermakna antara kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan terhadap kejadian asma kerja (p=0,002). Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara pajanan bahan kimia pada saat proses pewarnaan batik dengan kelainan klinis paru. (J Respir Indo. 2014; 34:77-86) Kata kunci: proses pewarnaan, batik, gejala respirasi, kelainan klinis paru. Impact of Chemical Agent Exposure During Batik Colouring Process to Lung Clinical Impairment of Batik s Industry Worker Abstract Background: Batik is a craft which has a high art and culture value to Indonesian especially Javanese. Chemical agents exposure at the batik colouring process caused irritation to the respiratory system. This study aimed to learn the effects of chemical agents exposure at the colouring process of batik s making to the lung clinical impairment of the batik s industry worker. Methods: This study is an observational analytic study with cross sectional design. The total sample of the study are 58 people divided to 29 people of exposed group and 29 people of non exposed group. The effect of colouring process was by respiratory symptom, and lung clinical impairment. Results: There is a significant relation between chemical agents exposure to lung clinical impairment which include chronic bronchitis, COPD, and occupational asthma (p=0,001). Chemical agents exposure making has a significant risk which caused lung clinical impairment (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). There is a very significant difference between chemical agents exposure with the respiratory symptom chronic cough (p=0,000), chronic phlegm (p=0,000), wheezing (p=0,005) and chest tightness (p=0,001). There is a significant difference between the exposed group with the non exposed group to an occupational asthma event (p=0,002). Conclusion: There is a very significant relation between chemical agents exposure at the colouring process of the batik s making with the lung clinical impairment. (J Respir Indo. 2014; 34:77-86) Key words: colouring process, batik, respiratory symptom, lung clinical impairment. Korespondensi: dr. Riana Sari, Sp.P riana_paru@yahoo.com; Hp: J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April
2 PENDAHULUAN Penyakit paru kerja sering ditemukan di negara-negara industri. Pajanan kronik di tempat kerja berperan penting terhadap kejadian penyakit saluran napas kronik. Pajanan iritan respirabel di tempat kerja dapat menimbulkan keluhan batuk kronik produktif yang disebut juga bronkitis industrial. 1 Penelitian European Community Respiratory Health Survey (ECRHS) pada subjek yang diikuti selama sembilan tahun menyatakan terdapat hubungan antara kejadian bronkitis kronik dengan pajanan di tempat. 2,3 Pada penelitian tersebut subjek yang terpajan timbul gejala berdahak kronik, batuk kronik, batuk kronik berdahak, dan hiperresponsif bronkus yang tidak spesifik. 2 Penelitian oleh National Health and Nutrition Examination Survey yang ketiga (NHANES III) menyatakan timbulnya gejala rinitis, konjungtivitis, dan asma pada pekerja di Amerika Serikat. Penelitian Zuskin dkk. 4 mendapatkan kejadian asma kerja 6% pada pekerja yang terpajan zat pewarna tekstil. Penelitian di Korea pada pekerja industri pewarnaan tekstil menyebutkan terdapat hubungan antara pajanan pewarna tekstil dengan mortalitas asma kerja. Angka mortalitas asma pada pekerja industri pewarnaan tekstil lebih tinggi dibandingkan industri yang lain. 5 Penelitian penyakit paru kerja di Indonesia masih jarang termasuk pada pekerja batik. Industri batik Indonesia terkenal di dunia terutama yang berada di Pulau Jawa. Solo atau Surakarta merupakan salah satu penghasil kerajinan batik tulis, bahkan menjadi salah satu sumber pemasukan daerah. Saat ini diperoleh 8 miliar per bulan dari 160 industri batik di Surakarta, 70% pada pasar domestik, dan 30% ekspor. 6 Memperhatikan kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian-penelitian tentang dampak pajanan zat pada proses pembuatan batik, khususnya saat proses pewarnaan. Proses pembuatan batik meliputi pelekatan lilin batik dengan suhu panas, tahap pewarnaan dengan bahan celup atau zat warna dan tahap terakhir adalah proses menghilangkan lilin Pada proses pewarnaan batik selain menggunakan zat pewarna juga dipakai zat-zat pembantu, yaitu soda kostik atau natrium hidroksida, soda abu, Turkey red oil (TRO), teepol, asam klorida, asam sulfat, dan tawas. 8,10 Proses pewarnaan meliputi proses peracikan atau pencampuran zat warna dan proses pencelupan sampai didapatkan warna yang diinginkan. 9,10 Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik menyebabkan iritasi saluran napas. Zat pewarna berperan sebagai hapten dapat menyebabkan cidera pada sel epitel alveolar dan pelepasan mediator inflamasi. Akibat pelepasan mediator inflamasi menyebabkan hiperresponsif saluran napas, obstruksi aliran udara, dan fibrosis epitel saluran napas. Perubahan struktur sistem pernapasan tersebut menimbulkan gangguan fungsi paru dan kelainan klinis. 11 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis dan fungsi paru pekerja industri batik. METODE Penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan studi potong lintang di industri batik kampung batik Laweyan, Sondakan, Surakarta pada bulan Agustus sampai September Populasi terjangkau penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Subjek terpajan adalah subjek yang bekerja di bagian proses pewarnaan pembuatan batik yang bekerja mulai dari meracik warna sampai proses pencelupan warna. Subjek tidak terpajan adalah subjek yang tidak bekerja di bagian proses pewarnaan pembuatan batik, di luar area pembatikan. Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh jumlah responden kelompok terpajan 29 orang dan kelompok tidak terpajan 29 orang sehingga total subjek penelitian 58 orang. Sampel diambil dengan teknik consecutive random sampling. Kriteria inklusi adalah laki-laki atau perempuan dengan usia tahun, telah bekerja minimal 2 tahun di bidang pewarnaan industri batik bagi kelompok terpajan, minimal terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik 2 kali/minggu, bersedia ikut dalam penelitian dengan persetujuan tertulis dan mampu melakukan uji fungsi paru. Kriteria eksklusi 78 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
3 adalah pekerja dengan jenis pekerjaan atau riwayat pekerjaan yang dapat menimbulkan penyakit paru akibat pajanan bahan pembuatan batik. Pekerja tersebut adalah pekerja pabrik tekstil, pabrik cat, pabrik kimia, tukang las, tukang cat semprot, tukang kayu, pabrik semen, dan lainnya. Kriteria eksklusi lainnya adalah pekerja yang menderita penyakit lain, baik di dalam maupun di luar paru yang dapat mempengaruhi fungsi paru yang akan dinilai. Kriteria penyakit lain tersebut seperti tuberkulosis paru, tumor paru, penyakit jantung dan hipertensi, kelainan dinding toraks, dan mediastinum. Kriteria eksklusi berikutnya adalah pekerja yang sebelum bekerja telah menderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pascatuberkulosis (SOPT) serta menolak ikut penelitian atau tidak bersedia melanjutkan penelitian. Definisi operasional untuk sesak napas/ rasa berat di dada (chest tightness) adalah kesulitan untuk bernapas, rasa tertekan di dada yang terjadi selama bekerja atau saat tidak bekerja dan tidak bertambah berat dalam 12 bulan terakhir. 12,13 Wheezing adalah suara dengan nada tinggi yang timbul saat subjek bernapas karena penyempitan atau penekanan bronkus. Terdapat suara wheezing pada dada kapanpun dalam 12 bulan terakhir. 13 Batuk kronik adalah batuk yang menetap minimal 3 bulan dalam setahun. Berdahak kronik adalah berdahak yang menetap minimal 3 bulan dalam setahun. 12,13 Definisi operasional kelainan klinis paru yang meliputi asma kerja, bronkitis kronik, dan PPOK. Kriteria diagnosis asma kerja adalah dengan atau tanpa satu dari keluhan respiratori berupa batuk, berdahak, sesak napas atau wheezing (mengi). Hasil spirometri VEP 1 / KVP dapat normal atau <75% dengan reversibilitas 12% dan 200 ml. Hasil variabilitas diurnal APE serial 15% diduga asma kerja dan variabilitas diurnal APE serial 20% memperkuat diagnosis asma kerja. 14 Kriteria bronkitis kronik apabila terdapat batuk dengan produksi mukus hampir setiap hari selama 3 bulan dalam satu tahun setidaknya selama 2 tahun, pemeriksaan spirometri VEP 1 / KVP 70%. Kriteria diagnosis penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berdasarkan Global Initiative Lung Disease (GOLD). Subjek dengan satu dari keluhan respiratorius batuk, berdahak, sesak, dan wheezing (mengi). Terdapat faktor risiko pajanan gas atau partikel berbahaya. Hasil spirometri VEP 1 /KVP < 70% dan VEP 1 <80% prediksi dengan reversibilitas <12% dan 200 ml. 15 Pengumpulan data subjek penelitian dengan anamnesis/ wawancara menggunakan kuesioner dari British Medical Research Council (BMRC), dilakukan pemeriksaan fisik menyeluruh kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri. Subjek dengan gejala klinis dilakukan pemeriksaan variabilitas diurnal dengan arus puncak ekspirasi (APE) harian selama 2 minggu sebanyak 2 kali sehari (pagi dan sore pada waktu yang sama) pada hari kerja maupun hari libur untuk menilai ada tidaknya asma kerja. Data hasil penelitian diolah menggunakan komputer. HASIL Karakteristik Jumlah total subjek penelitian 58 orang terdiri atas kelompok terpajan 29 orang dan kelompok tidak terpajan 29 orang (Tabel 1). Umur berhubungan dengan fungsi paru. Hasil penelitian berdasarkan umur didapatkan hasil rerata umur responden pada kelompok terpajan 33,10 ± 11,902 tahun dan pada kelompok tidak terpajan 31,52 ± 6,786 tahun. Responden pada kelompok terpajan dengan umur >30 tahun sebesar 51,7% sedangkan 30 tahun sebesar 48,3%. Hasil penelitian didapatkan tingkat pendidikan responden pada kelompok terpajan adalah tidak sekolah 6,9%, SD atau sederajat 27,6%, SMP atau sederajat 34,5%, SMA atau sederajat 27,6%, dan perguruan tinggi 3,4%. Responden pada kelompok terpajan, 44,8% mempunyai kebiasaan buruk dalam penggunaan alat pelindung diri (APD), 31% mempunyai kebiasaan sedang dalam penggunaan APD, hanya 24,1% responden pada kelompok terpajan yang mempunyai kebiasaan baik dalam penggunaan APD. Median lama kerja pada kelompok terpajan adalah 8 tahun dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 45 tahun. Median lama kerja pada kelompok tidak terpajan adalah 8 tahun dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 25 tahun. J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April
4 Tabel 1. Karakteristik subjek menurut tingkat pendidikan, IMT, penggunaan APD dan status merokok. Karakteristik Responden Tingkat pendidikan Terpajan Tidak Terpajan N % N % Tidak sekolah 2 6,9 0 0 SD atau sederajat 8 27,6 2 6,9 SMP atau sederajat 10 34,5 6 20,7 SMA atau sederajat 8 27, ,6 Perguruan tinggi 1 3,4 4 13,8 Indeks massa tubuh (IMT) Berat badan kurang 6 20,7 1 3,4 Normal 17 58, ,9 Risiko obesitas 5 17,2 7 24,1 Obesitas I 1 3, ,5 Obesitas II Kebiasaan mengunakan APD Buruk 13 44, Sedang 9 31,0 0 0 Baik 7 24,1 0 0 Status merokok responden Bukan perokok 26 89, ,1 Perokok ringan ,4 Perokok sedang 3 10,3 1 3,4 Perokok berat Rerata pengukuran IMT pada kelompok terpajan adalah 20,56 ± 2,23 kg/m 2 (normal). Rerata pengukuran IMT pada kelompok tidak terpajan adalah 24,13 ± 3,67 kg/m 2 (obesitas). Status merokok responden pada kelompok terpajan adalah bukan perokok 89,7% dan perokok sedang 10,3%. Status merokok responden pada kelompok tidak terpajan adalah bukan perokok 93,1%, perokok ringan 3,4%, dan perokok sedang 3,4%. Prevalensi kelainan paru terhadap area kerja Prevalensi keluhan respiratorius Pada penelitian ini hasil rerata pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil VEP 1 pada kelompok terpajan adalah 3026,55 ± 551,35 sedangkan pada kelompok tidak terpajan adalah 3385,86 ± 640,63. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan terhadap penurunan VEP 1 (p=0,03). Hasil KVP dan rasio VEP 1 / KVP pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p>0,05). Prevalensi pekerja pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik yang mengalami keluhan respiratorius batuk kronik 44,8%, berdahak kronik 44,8%, sesak napas 34,5%, dan wheezing atau mengi 24,1%. Prevalensi pekerja yang mengalami keluhan respiratorius pada kelompok tidak terpajan meliputi batuk kronik 3,4%, berdahak kronik 3,4% sedangkan keluhan wheezing/ mengi dan sesak napas tidak ditemukan pada kelompok tidak terpajan. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan dalam menimbulkan keluhan respiratorius batuk kronik (p=0,000), berdahak kronik (p=0,000), sesak napas (p=0,001), dan wheezing (p=0,005). Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik mempunyai risiko 13 kali lebih besar untuk menimbulkan keluhan batuk kronik dan berdahak kronik, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Keluhan respiratorius pada kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan. Area kerja Batuk kronik Berdahak kronik Wheezing/ Mengi Sesak napas (+) (-) (+) (-) (+) (-) (+) (-) Terpajan 13 (44,8%) 16 (55,2%) 13 (44,8%) 16 (55,2%) 7 (24,1%) 22 (75,9%) 10 (34,5%) 19 (65,5%) Tidak terpajan 1 (3,4%) 28 (96,6%) 1 (3,4%) 28 (96,6%) 0 (0%) 29 (100%) 0 (0%) 29 (100%) Nilai p (uji kai kuadrat) Rasio prevalensi (RP) p = 0,000 p = 0,000 p = 0,005 p = 0,001 RP = 13 CI 95% 1,817-93,009 RP = 13 CI 95% 1,817-93,009 tak terhingga tak terhingga 80 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
5 Prevalensi kelainan klinis paru Pada penelitian ini prevalensi asma kerja kelompok terpajan adalah 8 orang (27,6%) sedangkan pada kelompok tidak terpajan tidak ada. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p=0,002) terhadap timbulnya asma kerja, dapat dilihat pada Tabel 3. Penelitian ini memperoleh hasil 8 orang pada kelompok terpajan terdiagnosis sebagai asma kerja, 1 dari 8 orang tersebut mempunyai riwayat atopi sedangkan yang lain tidak. Satu orang dengan riwayat atopi tersebut diduga mengalami perburukan akibat pajanan di tempat kerja. Prevalensi bronkitis kronik pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 10,3% sedangkan pada kelompok tidak terpajan sebesar 3,4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya bronkitis kronik (p=0,306), dapat dilihat pada Tabel 3. Prevalensi PPOK pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 3,4% sedangkan kelompok tidak terpajan tidak ada yang mengalami PPOK. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya PPOK (p=0,50), dapat dilihat pada Tabel 3. Risiko timbulnya kelainan klinis dan fungsi paru menurut area kerja Hasil analisis data pada penelitian ini menunjukkan bahwa pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik mempunyai risiko bermakna menyebabkan kelainan klinis paru 12 kali lebih besar pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (RP=12; CI 95% 1,667-86,392). Terdapat hubungan bermakna antara pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap risiko kelainan klinis paru (p=0,001). Kekuatan hubungan pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis paru sangat kuat (OR >10). Kelainan klinis yang terjadi pada penelitian ini adalah asma kerja, bronkitis kronik, dan PPOK. Di antara ketiga kelainan klinis tersebut, asma merupakan kelainan klinis yang paling banyak. Terdapat perbedaan bermakna (p=0,002) kejadian asma pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3. Kelainan klinis paru pada kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan. Area kerja Asma kerja Bronkitis kronik PPOK (+) (-) (+) (-) (+) (-) Terpajan 8 (27,6%) 21 (72,4%) 3 (10,3%) 26 (89,7%) 1 (3,4%) 28 (96,6%) Tidak terpajan 0 (0%) 29 (100%) 1 (3,4%) 28 (96,6%) 0 (0%) 29 (100%) Nilai p (uji kai kuadrat) p = 0,002 p = 0,30 P = 0,50 Rasio prevalensi (RP) RP = tak terhingga RP = 3 CI 95% 0,331-27,180 RP = tak terhingga Tabel 4. Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan klinis paru. Area Pekerjaan Kelainan klinis paru Total (+) (-) Terpajan 12 (41,4%) 17 (58,6%) 29 (100%) Tidak terpajan 1 (3,4%) 28 (96,6%) 29 (100%) Total 13 (22,4%) 45 (77,6%) 58 (100%) RP = 12 (CI 95% 1,667-86,392) Uji Kai kuadrat / X 2 = 11,997; p = 0,001 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April
6 Tabel 5. Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan fungsi paru. Area pekerjaan Kelainan fungsi paru Total (+) (-) Terpajan 4 (13,8%) 25 (86,2%) 29 (100%) Tidak terpajan 2 (6,9%) 27 (93,1%) 29 (100%) Total 6 (10.3%) 52 (89.7%) 58 (100%) RP = 2 (CI 95% ) Uji Fisher p = 0.33 Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik diduga merupakan faktor risiko penyebab kelainan fungsi paru, kelompok terpajan mempunyai risiko 2 kali lebih besar dibandingkan kelompok tidak terpajan (OR=2; CI 95% % 0,397-10,081) dan secara statistik tidak bermakna (p=0,335). Kekuatan hubungan antara pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik terhadap kelainan fungsi paru adalah sedang (OR 1,5-3), dapat dilihat pada Tabel 5. PEMBAHASAN Penelitian ini memilih responden dengan usia minimal 20 tahun dan maksimal 60 tahun didasarkan pada fungsi paru fisiologis. Pertumbuhan dan perkembangan sistem respiratorius secara lengkap terjadi pada umur tahun. Fungsi paru mencapai derajat maksimal pada umur tahun atau sampai pada 3 dekade pertama, kemudian secara fisiologis menurun sesuai dengan peningkatan umur. 16 Sebagian besar responden pada kelompok terpajan berpendidikan rendah sehingga kepedulian terhadap kesehatan kurang, tercermin pada kebiasaan penggunaan APD. Pendidikan merupakan faktor yang tidak langsung berpengaruh pada pengetahuan dan kepedulian terhadap kesehatan. Responden pada kelompok terpajan, 44,8% mempunyai kebiasaan buruk dalam penggunaan APD, 31% mempunyai kebiasaan sedang dalam penggunaan APD, hanya 24,1% responden pada kelompok terpajan yang mempunyai kebiasaan baik dalam penggunaan APD. Penelitian Ismiati 17 menyatakan risiko terjadi gangguan fungsi paru (obstruksi) 16 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD. 17 Alat pelindung napas mempengaruhi komposisi udara inspirasi sehingga menurunkan pajanan zat-zat berbahaya. Penelitian tentang penggunaan alat pelindung napas menyatakan penggunaan alat pelindung napas mengurangi insiden penyakit imunologi respiratorius pada pekerja yang baru terpajan. Penelitian tersebut juga menyebutkan individu yang memakai alat pelindung napas yang menutup muka total (full face respirator) tidak ada yang mengalami asma kerja meskipun tingkat pajanan tinggi. 18 Penelitian ini menunjukkan median lama kerja pada kelompok terpajan adalah 8 tahun, dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 45 tahun. Median lama kerja pada kelompok tidak terpajan adalah 8 tahun dengan lama kerja minimal 2 tahun dan maksimal 25 tahun. Penelitian pada penata rambut yang terpajan cat, bleach dan persulfat didapatkan hasil periode laten timbulnya keluhan respiratorius adalah 50,8 bulan. 19 Status gizi dinilai berdasarkan pengukuran IMT. Rerata pengukuran IMT pada kelompok terpajan adalah 20,56 ± 2,23 kg/m 2 (normal). Rerata pengukuran IMT pada kelompok tidak terpajan adalah 24,13±3,67 kg/m 2 (obesitas). Status merokok responden pada kelompok terpajan adalah bukan perokok 89,7% dan perokok sedang 10,3%. Status merokok responden pada kelompok tidak terpajan adalah bukan perokok 93,1%, perokok ringan 3,4%, dan perokok sedang 3,4%. Prevalensi merokok bervariasi di tempat kerja, prevalensi terbesar yaitu pada pekerja laki-laki pada industri konstruksi dan pekerja pertambangan. 20 Pada penelitian ini hasil rerata pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil VEP 1 pada kelompok terpajan adalah 3026,55 ± 551,35 sedangkan pada kelompok tidak terpajan adalah 3385,86 ± 640,63. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak 82 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
7 terpajan terhadap penurunan VEP 1 (p=0,03). Hasil KVP dan rasio VEP 1 / KVP pada kelompok terpajan lebih rendah dibandingkan kelompok tidak terpajan, tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p>0,05). Penelitian Stater dkk. 21, pada penata rambut yang terpajan oleh bahan kimia antara lain zat pewarna, bleach, hairspray, persulfat didapatkan hasil fungsi paru secara signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ) lebih rendah bermakna pada penata rambut dibandingkan pekerja administratif (rerata=3540, p<0,05). Hasil KVP lebih rendah pada penata rambut, tetapi tidak bermakna (p>0,05). 21 Pada penelitian pekerja yang terpajan serat wol memperoleh hasil terdapat perbedaan bermakna penurunan rasio VEP 1 / KVP antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan (p<0,005). 22 Perbedaan hasil beberapa penelitian tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jenis pajanan, jumlah atau konsentrasi pajanan, lama pajanan, dan faktor-faktor lain seperti penggunaan alat pelindung diri dan higien tempat kerja. Prevalensi keluhan respiratorius Prevalensi pekerja pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik yang mengalami keluhan respiratorius batuk kronik 44,8%, berdahak kronik 44,8%, sesak napas 34,5% dan wheezing atau mengi 24,1%. Prevalensi pekerja yang mengalami keluhan respiratorius pada kelompok tidak terpajan meliputi batuk kronik 3,4%, berdahak kronik 3,4% sedangkan keluhan wheezing/ mengi dan sesak napas tidak ditemukan pada kelompok tidak terpajan. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan dalam menimbulkan keluhan respiratorius batuk kronik (p=0,000), berdahak kronik (p=0,000), sesak napas (p=0,001) dan wheezing (p=0,005). Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik mempunyai risiko 13 kali lebih besar untuk menimbulkan keluhan batuk kronik dan berdahak kronik. Penelitian Ghasemkhani dkk. 12, menyatakan terdapat perbedaan prevalensi keluhan respiratorius pada masing-masing industri. Prevalensi keluhan respiratorius tersering pada pekerja industri makanan, minuman, dan rokok adalah 44,3% sesak napas dan 34,7% batuk berdahak, industri tekstil adalah 65% sesak napas, dan 53,8% batuk berdahak, industri kimia adalah 37,3% sesak napas, dan 30,0% batuk berdahak, industri konstruksi adalah 46,7% sesak napas, dan 43,1% batuk berdahak sedangkan industri metal adalah 46,3% batuk berdahak dan 35,0% sesak napas. Penelitian Minov dkk. 13 pada pekerja teh didapatkan hasil prevalensi keluhan respiratorius, yaitu 41,6% batuk, 28,8% sesak napas, 20,8% batuk berdahak, 17,6% wheezing, dan 9,6% sesak napas. Pada penelitian Minov hanya sesak napas dan batuk yang secara statistik bermakna (p<0,05) pada kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan. Penelitian Baser dkk. 19, pada penata rambut yang terpajan zat pewarna, bleach, dan persulfat menyatakan prevalensi keluhan respiratorius adalah batuk (20%), wheezing (15%), sesak napas (15%), dan produksi sputum (4%). Perbedaan prevalensi dan keluhan respiratorius yang muncul pada beberapa penelitian tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan jenis pajanan, konsentrasi, lama pajanan, dan sistem pertahanan respirasi masing-masing individu. Prevalensi kelainan klinis paru Kelainan klinis paru meliputi asma kerja, bronkitis kronik dan PPOK. Asma kerja didefinisikan sebagai asma yang disebabkan oleh pajanan di tempat kerja. 14 Pada penelitian ini prevalensi asma kerja kelompok terpajan adalah 8 orang (27,6%) sedangkan pada kelompok tidak terpajan tidak ada. Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan (p=0,002) terhadap timbulnya asma kerja. Diagnosis asma kerja pada penelitian ini berdasarkan anamnesis ditemukan salah satu atau lebih dari keluhan respiratorik batuk kronik, berdahak kronik, sesak napas, dan wheezing/ mengi. Total subjek J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April
8 pada kelompok terpajan didapatkan 8 subjek dengan diagnosis kecurigaan asma kerja berdasarkan hasil variabilitas diurnal APE serial adalah 15%. Hanya 1 orang subjek yang diduga kuat asma kerja karena hasil spirometri adalah obstruksi dengan reversibilitas 12% dan 200 ml serta hasil variabilitas diurnal APE serial adalah 20%. Hasil variabilitas diurnal diperoleh dari APE pagi hari dan APE malam hari disebabkan karena perubahan sirkadian kadar katekolamin dan cyclic adenosine monophosphate pada plasma mencapai titik terendah pada pagi atau dini hari sehingga APE dicapai maksimal pada sore hari dan minimal pada pagi hari. 23 Penelitian ini memperoleh hasil 8 orang pada kelompok terpajan terdiagnosis sebagai asma kerja, 1 orang dari 8 orang tersebut mempunyai riwayat atopi sedangkan yang lain tidak. Satu orang dengan riwayat atopi tersebut diduga mengalami perburukan akibat pajanan di tempat kerja. Penelitian Wihastuti 24 pada pekerja pabrik semen memperoleh data prevalensi asma kerja sebesar 4,3%. 24 Perbedaan prevalensi asma kerja tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis pajanan, lama pajanan, dan kadar pajanan. Penyebab asma kerja dibedakan menjadi agen dengan berat molekul kecil dan agen dengan berat molekul besar. Agen dengan berat molekul kecil adalah bermacam-macam bahan organik dan anorganik. Agen dengan berat molekul kecil sebagian menyebabkan patogenesis asma kerja yang tergantung IgE, sebagian lagi menyebabkan patogenesis asma kerja yang tidak tergantung IgE. 25,26 Pajanan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik antara lain cat reaktif. Cat reaktif merupakan agen dengan berat molekul kecil yang dapat memicu timbulnya asma kerja yang tergantung oleh IgE. Agen dengan berat molekul kecil merupakan antigen inkomplet (hapten) yang harus berikatan dulu dengan makromolekul/protein karier untuk menimbulkan respons imun. 26 Ikatan antara hapten dengan protein akan dipresentasikan oleh APC (yaitu makrofag, sel dendrit dan sel B) ke sel T melalui MHC. Sel T (Th 2 / CD 4 ) menerima sinyal antigen melalui MHC klas II sedangkan sel T sitotoksik/ supresor (Th 1 / CD 8 ) menerima sinyal antigen melalui MHC klas I. Sel T selanjutnya akan teraktivasi dan mensekresi limfokin yang akan menarik, mengaktivasi dan merangsang pertumbuhan dan diferensiasi leukosit lain. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T selanjutnya bersama sel inflamasi lain berinteraksi menyebabkan proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil yang merusak epitel saluran napas, dan menyebabkan hiperresponsif saluran napas. Pada asma kerja yang tergantung IgE, agen di tempat kerja menimbulkan respons imun melalui mekanisme yang diperantarai MHC klas II dan sel T yang teraktivasi adalah sel T (Th 2 / CD 4 ) yang selanjutnya juga terjadi aktivasi sel B untuk mensintesis IgE. 27 Pada penelitian ini pajanan cat reaktif pada proses pewarnaan pembuatan batik diduga kuat sebagai penyebab terjadinya asma kerja. Banyak bahan yang berasal dari tempat kerja menyebabkan bronkitis kronik atau bronkitis industrial. Iritasi kronik pajanan zat di tempat kerja menyebabkan proses inflamasi yang merangsang mekanisme neurogenik, menyebabkan saraf sensorik jalan napas melepaskan takikinin, yaitu substansi P, neurokinin A, dan neurokinin B yang memperberat sekresi mukus. Pada bronkitis kronik juga terjadi perubahan struktur yaitu hiperplasi kelenjar mukus, peningkatan jumlah sel goblet pada permukaan epitelium. Saluran napas besar pada bronkitis kronik mengalami penurunan serous acini kelenjar submukosa yang menyebabkan penurunan pertahanan saluran napas selain penurunan jumlah dan panjang silia, metaplasi skuamosa dan abnormalitas mukosilier. Keterbatasan aliran udara yang timbul biasanya didahului batuk yang tidak efektif karena gangguan pembersihan mukosiliar yang menyebabkan retensi sputum. 28 Prevalensi bronkitis kronik pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 10,3% sedangkan pada kelompok tidak terpajan sebesar 3,4%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya bronkitis kronik (p=0,306). Diagnosis bronkitis kronik pada penelitian ini didapatkan pada 3 orang kelompok 84 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
9 terpajan dan 1 orang pada kelompok tidak terpajan. Pada 4 orang subjek tersebut mempunyai keluhan batuk dengan dahak hampir setiap hari selama 3 bulan dalam satu tahun setidaknya selama 2 tahun dan hasil pemeriksaan spirometri VEP 1 / KVP 70% dengan variabilitas diurnal APE serial < 15% atau VEP 1 / KVP < 75% dan 70%, tetapi reversibilitas < 12% dan 200 ml. Penelitian Wihastuti 24 pada pekerja pabrik semen memperoleh hasil prevalensi bronkitis kronik sebesar 6,4% pada pekerja yang terpajan. 24 Perbedaan hasil prevalensi bronkitis kronik kemungkinan disebabkan perbedaan jenis pajanan. Faktor risiko PPOK yaitu pajanan partikel misalnya asap rokok, debu organik dan anorganik di tempat kerja, polusi udara dalam ruangan dari pembakaran dan pemasakan dengan biomassa dengan ventilasi yang buruk, polusi udara dari luar ruangan, stres oksidatif, infeksi saluran napas, status sosial ekonomi, jenis kelamin, umur, nutrisi dan faktor komorbid, misalnya asma. 15 Prevalensi PPOK pada kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik adalah 3,4% sedangkan kelompok tidak terpajan tidak ada yang mengalami PPOK. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok terpajan dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap timbulnya PPOK (p=0,50). Diagnosis PPOK pada penelitian ini didapatkan 1 subjek dengan hasil spirometri VEP 1 / KVP < 70% dengan reversibilitas < 12% dan 200 ml. Risiko timbulnya kelainan klinis dan fungsi paru menurut area kerja Terdapat variasi risiko asma kerja terhadap pajanan di tempat kerja. Penelitian Toren dkk. 29 memperoleh hasil risiko asma kerja terbesar pada pekerja yang terpajan debu biji-bijian (OR 4,2, CI 95% 1,6-10,7) dan pekerja yang terpajan debu tepung (OR 2,8, CI 95% 1,1-7,2) sedangkan risiko asma kerja terkecil pada pekerja yang terpajan debu mineral (OR 1,1, CI 95% 0,5-2,4), debu kayu (OR 1,1, CI 95% 0,5-2,4), pekerja pembersih (OR 1,1, CI 95% 0,6-1,9). Perbedaan hasil penelitian kemungkinan disebabkan perbedaan jenis bahan pajanan. KESIMPULAN Terdapat perbedaan yang sangat bermakna antara kelompok terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap kelainan klinis paru berupa keluhan respiratorius batuk kronik, berdahak kronik, wheezing/ mengi, dan sesak napas. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok yang terpajan zat pada proses pewarnaan pembuatan batik dibandingkan kelompok tidak terpajan terhadap kejadian asma kerja. DAFTAR PUSTAKA 1. Hendrick DJ. Occupation and chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Thorax. 1996; 51: Zock JP, Sunyer J, Kogevinas M, Kromhout H, Burney P, Anto JM, et al. Occupation, Chronic Bronchitis, and lung function in young adults. Am J Respir Crit care Med. 2001; 163: Sunyer J, Zock JP, Kromhout H, Esteban RG, Radon K, Jarvis D, et al. Lung function decline, chronic bronchitis, and occupational exposures in young adults. Am J Respir Crit Care Med. 2005; 172: Arif AA, Whitehead LW, Delclos GL, Tortolero SR, Lee ES. Prevalence and risk factors of work related asthma by industry among United States workers: data from the third national health and nutrition examination survey ( ). Occup Environ Med. 2002; Koh DH, Won J, Ahn YS, Kim HR, Koh SB. Asthma mortality in male workers of the dye industry in Korea. J Occup Health. 2008; 50: Batik tulis Solo Terancam punah. [online] [Cited 2007 March 8]. Available at Liputan6.com.Surakarta. 7. Katalog batik Indonesia. Dalam: Riyanto, Pamungkas AW, Jafar MA, editors. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Yogyakarta; 1997.p Susanto S. Teknik membuat batik. Dalam: Susanto S, editor. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta: J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April
10 Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, Departemen Perindustrian; 1980.p Yayasan Harapan Kita. Dalam: Anas B, Hasanudin, Panggabean R, Sunarya Y, editors. Batik. Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia; 1997.p Proses pembuatan batik. [online] [Cited 2007 June 19]. Available from Batik%20Alhadi.mht. 11. Santoso. Gangguan faal paru pada pekerja batik tradisional di Kotamadya Surakarta dan Pekalongan. [online] [Cited 2008 January 6]. Available from Ghasemkhani M, Kumashiro M, Rezai M, Anvari AR, Mazloumi A, Sadeghipour HR. Prevalence of respiratory symptoms among workers in industries of south Tehran, Iran. Industrial Health. 2006; 44: Minov J, Bislimovska JK, Kuc SR, Stoleski S. Chronic respiratory symptoms and ventilatory function in workers exposed to tea dust: effect of duration of exposure and smoking. Medicine and Biology. 2005; 12(1): Chan-Yeung M. American College of Chest Physi cians. Assesment of asthma in the work place: ACCP consensus statement. Chest. 1995; 108: Global Initiative for Chronic Obstructive Lung disease (GOLD). Global strategy for the diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. NHLBI Sprung J, Gajij O, Warner DO. Review article: age related alterations in respiratory functionanesthetic considerations. Can J Anesth. 2006; 53(12): Ismiati M. Gambaran fungsi paru serta upaya peningkatan penggunaan alat pelindung diri saluran napas pada tenaga kerja bagian boiler pabrik sepatu olah raga di Serang. [online] [Cited 2008 October 20]. Available from detail.jsp?id=76864&lokasi+lokal. 18. Grammer LC, Harris KE, Yarnold PR. Effect of respiratory protective devices on development of antibody and occupational asthma to an acid anhydride. Occupational and environmental lung disease. Chest. 2002; 121: Baser S, Fisekci FE, Ozkurt S. Prevalence of occupational asthma and early bronchial airflow impairment among hairdressers in Denizli. Archives of lung. 2007; 8: Mc Curdy SA, Sunyer J, Zock JP, Anto JM, Kogevinas M. Smoking anf occupation from European community respiratory health survey. Occup Environ Med. 2003; 60: Slater T, Bradshaw L, Fishwick D, Cheng S, Dunn MK, Pekkanen RE et al. Occupational respiratory symptom in New Zealand hairdressers. Occup Med. 2000; 50: Hansen EF, Rasmussen FV, Hardt F, Kamstrup O. Lung function and respiratory health of long term fiber exposed stonewool factory workers. Am J Respir Crit Care Med. 1999; 160: Jatin P, Kavuru MS, Emerman CL, Ahmad M. Utility of peak expiratory flow monitoring. Chest. 1998; 114: Wihastuti R. Prevalensi bronkitis kronik dan asma kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada pekerja pabrik semen. Tesis Bagian Pulmonologi FKUI. Jakarta; Brown KK. Chronic cough due to non bronchiectatic suppurative airway disease (bronchiolitis) ACCP evidence based clinical practice guidelines. Chest. 2006; 129: Sastre J, Vandenplas O, Park HS. Pathogenesis of occupational asthma. Eur Respir J. 2003; 22: Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan patofisiologi asma. Cermin Dunia Kedokteran. 2003; 141: Braman SS. Chronic cough due to chronic bronchitis, ACCP evidence based clinical practice guidelines. Chest. 2006; 129: s. 29. Toren K, Horte L-G, Jarvholm B. Occupation and smoking adjusted mortality due to asthma among Swedish men. Br J Ind Med. 1991;48: J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Dampak Pajanan Asap Lilin Batik (Malam) terhadap Fungsi Paru dan Asma Kerja pada Pekerja Industri Batik Tradisional
Dampak Pajanan Asap Lilin Batik (Malam) terhadap Fungsi Paru dan Asma Kerja pada Pekerja Industri Batik Tradisional Eva Lydia Munthe 1, Suradi 1, Eddy Surjanto 1, Faisal Yunus 2 1 Departemen Pulmonologi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
Lebih terperinciABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA
ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan
Lebih terperinciBAB 4 METODE PENELITIAN
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah ilmu Penyakit Dalam, sub ilmu Pulmonologi dan Geriatri. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Tempat peneltian ini adalah
Lebih terperinciPemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll
LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan
Lebih terperinciHubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 2008
Hubungan Pemeriksaan Faal Paru dan Keluhan Respiratorik pada Jemaah Haji Kota Padang Tahun 28 Taufiq Hidayat, Zailirin Yuliana Zainoeddin,Yusrizal Chan,Taufik Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Lebih terperinciGambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu
Lebih terperinciABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ)
ABSTRAK PENILAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN PPOK RAWAT JALAN DENGAN METODE SAINT GEORGE S RESPIRATORY QUESTIONNAIRE (SGRQ) Felicia S., 2010, Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., SpP., FCCP. Pembimbing II
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan permasalahan terkait kebiasaan merokok yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah batang rokok
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan
Lebih terperinciKata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta
ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN ANGKA KEJADIAN BATUK KRONIK PADA ANAK YANG BEROBAT KE SEORANG DOKTER PRAKTEK SWASTA PERIODE SEPTEMBER OKTOBER 2011 Devlin Alfiana, 2011. Pembimbing I :
Lebih terperinciPerbandingan Nilai Arus Puncak Ekspirasi Antara Perokok dan Bukan Perokok
Perbandingan Nilai Arus Puncak Ekspirasi Antara Perokok dan Bukan Perokok Slamet Santosa*, Joko Purwito**, Jahja Teguh Widjaja*** * Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha **
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun 2013 mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5 %. Prevalensi asma
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok menimbulkan berbagai masalah, baik di bidang kesehatan maupun sosio-ekonomi. Rokok menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan respirasi, gangguan
Lebih terperinciHUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH
HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013
ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita
Lebih terperinciTHE CHARACTERISTICS OF THE CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE PATIENTS AT IMMANUEL HOSPITAL BANDUNG IN 2012
KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 THE CHARACTERISTICS OF THE CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE PATIENTS AT IMMANUEL HOSPITAL BANDUNG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstraparu yang signifikan dan berpengaruh terhadap keparahan penderita. Menurut GOLD (Global
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru
Lebih terperinciABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU
ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA SKOR COPD ASSESSMENT TEST (CAT), INDEKS BRINKMAN DAN FUNGSI PARU Putri Ratriviandhani, 2016. Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr., Sp.P., FCCP Pembimbing II : Jo Suherman, dr.,
Lebih terperinciABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012
ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012 Christine Nathalia, 2015; Pembimbing : Dani, dr., M.Kes. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.
Lebih terperinciDAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv. ABSTRAK...
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi RINGKASAN... vii SUMMARY... viii
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dan sedang berusaha memajukan sektor industri. Banyak dibangun dan beroperasinya pabrik-pabrik industri dengan tujuan
Lebih terperinciBab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya
Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang dikarenakan bukan hanya penyakit menular yang menjadi tanggungan negara tetapi dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau Cronik Obstruktive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa derajat penyakit
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) yang berjumlah 96 pasien sesuai
32 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Paru Respira Yogyakarta pada bulan Agustus Desember 2016. Peserta penelitian adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di negara dengan pendapatan tinggi sampai rendah. 1 Menurut World Health Organization
Lebih terperinciPREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BATU PADAS DI SILAKARANG GIANYAR BALI. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PREVALENSI GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA BATU PADAS DI SILAKARANG GIANYAR BALI Akbar Pratama 1, Luh Putu Ratna Sundari 2 1 Program Studi Pendidikan Dokter, 2 Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas
Lebih terperinciDI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan pesat di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam perkembangan industrialisasi dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. solusi alternatif penghasil energi ramah lingkungan.
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini disebabkan tingginya permintaan atas Crude Palm Oil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul akibat pajanan terhadap bahan kimia dan biologis, juga bahaya fisik di tempat kerja (Ikhsan dkk, 2009). Kelainan saluran
Lebih terperinciPERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) ANTARA BURUH ADMINISTRASI DENGAN BURUH PROSES PENCELUPAN INDUSTRI BATIK SKRIPSI
PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) ANTARA BURUH ADMINISTRASI DENGAN BURUH PROSES PENCELUPAN INDUSTRI BATIK SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ANISA NUR RAHMA
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional). 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,
Lebih terperinciHUBUGAN PAPARAN DEBU KAPAS DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN GEJALA PENYAKIT BISINOSIS PADA PEKERJA SPINNING 1 PT. X KABUPATEN SEMARANG
HUBUGAN PAPARAN DEBU KAPAS DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN GEJALA PENYAKIT BISINOSIS PADA PEKERJA SPINNING 1 PT. X KABUPATEN SEMARANG Robby Aditya Saputra,Ari Suwondo,Siswi Jayanti Bagian Keselamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat
Lebih terperinciFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN MASUK 2012 DAN 2014 TENTANG MEROKOK SEBAGAI FAKTOR RISIKO PPOK Oleh : VIDYA CECILIA 120100421 FAKULTAS
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran,
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Bidang Penelitian ini adalah penelitian bidang Pendidikan Kedokteran, khususnya bagian ilmu kesehatan anak divisi alergi & imunologi dan fisiologi.
Lebih terperinciPENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DEFINISI PPOK Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah
BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah mengalami perubahan yang sangat besar. Saat ini orang cenderung memiliki gaya hidup
Lebih terperinciPENDAHULUAN METODE. eksaserbasi. 30%. Makin tinggiskor indeks BODE maka makin buruk prognosisnya, karena mengindikasikan lebih banyak
Korelasi Penilaian Kualitas Hidup dan Prognosis Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik dengan CAT, SGRQ dan BODE di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta Tri Agus Yuarsa, Faisal Yunus, Budhi Antariksa Departemen
Lebih terperinciHUBUNGAN MEROKOK DENGAN DERAJAT PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN DERAJAT PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK Liza Salawati Abstrak. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dapat menyebabkan kesakitan kronik dan kematian individu di seluruh dunia setiap
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) telah berkembang menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas di dunia yang makin penting. PPOK menjadi penyakit berbahaya
Lebih terperinciHUBUNGAN RIWAYAT KEBIASAAN MEROKOK DENGAN DERAJAT PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
HUBUNGAN RIWAYAT KEBIASAAN MEROKOK DENGAN DERAJAT PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI POLIKLINIK PARU RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU Trisna Sentia Dewi 1, Zarfiardy AF 2, Miftah Azrin 3 ABSTRACT Chronic
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian
Lebih terperinciLaporan Penyuluhan. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
Laporan Penyuluhan Penyakit Paru Obstruksi Kronik () A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik () atau disebut juga dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan masalah kesehatan
Lebih terperinciRelation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan
Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan Hubungan antara Polusi Udara Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia Balita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara..., Dian Eka Sutra, FKM UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polusi udara merupakan masalah lingkungan global yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), polusi udara menyebabkan kematian
Lebih terperinciLAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN
LAMPIRAN 1 LEMBAR PEMERIKSAAN PENELITIAN Nama : Umur : Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telepon : No RM : Jenis Kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan : cm Berat badan : kg Keluhan
Lebih terperinciHUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA
HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA 13-14 TAHUN DI SEMARANG JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
Lebih terperinciGAMBARAN DAN ANALISIS FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA PENGECAT SPRAY MOBIL DI DAERAH GATSU TIMUR DENPASAR, BALI
GAMBARAN DAN ANALISIS FAKTOR RISIKO GANGGUAN FUNGSI PARU PADA TENAGA KERJA PENGECAT SPRAY MOBIL DI DAERAH GATSU TIMUR DENPASAR, BALI I Gede Bagus Bhaskara Wijaksana 1, I Made Muliarta 2 1 Program Studi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dapat menyebabkan penyakit paru (Suma mur, 2011). Penurunan fungsi paru
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan kerja yang penuh oleh debu, uap dan gas dapat mengganggu produktivitas dan sering menyebabkan gangguan pernapasan serta dapat menyebabkan penyakit paru (Suma
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini
Lebih terperinciPrevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.
L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas
Lebih terperinci*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado
HUBUNGAN ANTARA MASA KERJA, PENGETAHUAN PENGGUNAAN APD, DAN KEBIASAAN MEROKOK DENGAN PENURUNAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA INDUSTRI MEBEL DI DESA LEILEM KECAMATAN SONDER KABUPATEN MINAHASA Jennifer
Lebih terperinciBAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Fisiologi dan Ergonomi
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup bidang Fisiologi dan Ergonomi 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di kelompok pengrajin batik
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS
HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS NASKAH PUBLIKASI DISUSUN GUNA MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENDAPATKAN GELAR SARJANA FISIOTERAPI Disusun
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu melakukan pengukuran terhadap nilai kapasitas vital
Lebih terperinciFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
i KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN DERAJAT BERAT MEROKOK DENGAN KARAKTERISTIK GEJALA PPOK YANG DINILAI BERDASARKAN KRITERIA DIAGNOSIS GRUP PADA PENDERITA PPOK DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN Oleh: SUWENNY 100100059
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan
Lebih terperinciBAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa
BAB 1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang: Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa anak anak karena masa perkembangan dan maturasi fungsi paru dimulai sebelum lahir. Berat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas,
Lebih terperinciSTATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.
LAMPIRAN 1 STATUS PEMERIKSAAN PENELITIAN : ANALISIS KUALITAS HIDUP PENDERITA PPOK SETELAH DILAKUKAN PROGRAM REHABILITASI PARU No : RS/No.RM : Tanggal I. DATA PRIBADI 1. Nama 2. Umur 3. Alamat 4. Telepon
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran
Lebih terperinciOleh: KHAIRUN NISA BINTI SALEH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara
PREVALENSI PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS DENGAN RIWAYAT MEROKOK DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK (RSUP HAM) MEDAN PERIODE JANUARI 2009 DESEMBER 2009 Oleh: KHAIRUN NISA BINTI SALEH 070100443
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di negara maju. Sebagai contoh di Singapura 11,9% (2001), Taiwan 11,9% (2007), Jepang 13% (2005)
Lebih terperinciDEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus
PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Lebih terperinciGambaran Pemeriksaan Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Berobat di Poli Paru RSUD Koja Periode Desember 2005-Desember 2008
Artikel Penelitian Gambaran Pemeriksaan Faal Paru pada Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang Berobat di Poli Paru RSUD Koja Periode Desember 2005-Desember 2008 Indriani Kurniadi*, Mardi Santoso**,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. asma di dunia membuat berbagai badan kesehatan internasional. baik, maka akan terjadi peningkatan kasus asma dimasa akan datang.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang The Global Initiative For Asthma (GINA) menetapkan tanggal 1 Mei sebagai hari asma sedunia. Semakin meningkatnya jumlah penderita asma di dunia membuat berbagai badan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Tingkat kesejahteraan dan kesehatan masyarakat merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan, tetapi masih banyak masyarakat di Indonesia yang belum peduli dengan
Lebih terperinciSUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees
SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU Dwi Purnamasari Zees Program Studi keperawatan, fakultas ilmu ilmu kesehatan dan keolahragaan, universitas negeri
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit
Lebih terperinci