BAB II STUDI LITERATUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II STUDI LITERATUR"

Transkripsi

1 BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Tipe Kepemimpinan Kepemimpinan mempunyai peran penting dalam pengembangan kehidupan organisasi karena kepemimpinan yang baik dan sesuai dengan organisasi akan menyebabkan arah pergerakan organisasi dalam mencapai tujuan menjadi jelas. Kepemimpinan didefinisikan sebagai pengaruh antar pribadi yang dilakukan dalam suatu situasi, melalui proses komunikasi dan diarahkan kepada pencapaian tujuan (Daft, 2006). Terdapat tiga aspek yang menonjol dari definisi tersebut yaitu orang, pengaruh dan tujuan, dalam artian kepemimpinan muncul diantara orang-orang, melibatkan penggunaan pengaruh dan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan. Walaupun garis besar konsep kepemimpinan sudah terlihat jelas pada definisi tersebut namun pertentangan selalu terjadi dalam mendefinisikan konsep kepemimpinan secara lebih terperinci (Daft, 2006). Pertentangan mengenai teori kepemimpinan disebabkan oleh adanya interaksi dengan kompleksitas tinggi pada hubungan antara pimpinan, bawahan dan situasi sehingga masing-masing peneliti memiliki pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan konsep tersebut (Kreitner & Kinicki, 2004). Beberapa peneliti mendefinisikan kepemimpinan sebagai representasi ciri atau sifat yang ditunjukkan seseorang sejak lahir, sedangkan peneliti lain mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekumpulan perilaku yang ditunjukkan seseorang dalam meningkatkan efektifitas organisasi. Selain itu, ada juga peneliti yang mempercayai bahwa konsep kepemimpinan tersebut tidak nyata. Horner (1997) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh pemimpin dalam menciptakan visi yang jelas serta meningkatkan kepercayaan diri bawahan melalui pengaruh, koordinasi dan komunikasi. Selanjutnya Schriesheim, Tolliver dan Behling pada tahun 1978 mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh sosial yang digunakan oleh pemimpin sebagai upaya mempengaruhi pengikut melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan organisasional (Kreitner & Kinicki, 2004). Berdasarkan kedua definisi tersebut diketahui bahwa kepemimpinan tidak sekedar menggunakan kekuatan dan kekuasaan dalam mencapai tujuan organisasi namun juga harus mampu mempengaruhi anggota organisasi dengan baik. Kreitner dan Kinicki (2004) menambahkan bahwa proses mempengaruhi yang baik mampu 9

2 menumbuhkan kesadaran serta mengakibatkan kesediaan anggota dalam melakukan usaha-usaha secara sukarela untuk mencapai tujuan organisasi. Jacobs dan Jacques pada tahun 1973 mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi dan memberi pengertian pada anggota kelompok untuk melakukan usaha kolektif yang mengakibatkan timbulnya kesadaran dan kesediaan pada diri anggota kelompok dalam melakukan usaha menuju pencapaian sasaran (Yukl, 1994). Selanjutnya Yukl (1994) mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu dan diarahkan melalui proses komunikasi menuju pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan hal tersebut, Yukl (1994) menempatkan konsep kepemimpinan sebagai tulang punggung organisasi serta merupakan hal penting yang mampu memimpin kehidupan dan mengarahkan jalannya organisasi dalam mencapai tujuan. Dari berbagai macam penjelasan mengenai kepemimpinan yang telah dijabarkan tersebut, dapat diketahui bahwa kepemimpinan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengawasi serta melakukan proses mempengaruhi anggota organisasi, sehingga muncul kesadaran dalam diri anggota organisasi untuk melakukan aktifitas bersama secara terorganisasi menuju tujuan organisasi. Robbins (1996) menyatakan bahwa terdapat tiga haluan besar dalam pengembangan teori kepemimpinan yaitu: 1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory). 2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory). 3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory). Berikut ini dijelaskan mengenai tiga haluan besar dalam teori kepemimpinan yang diungkapkan oleh Robbins (1996) tersebut. - Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory) Sejarah teori dan penelitian mengenai kepemimpinan dimulai oleh Bernard pada tahun 1926 yang menyatakan bahwa kepemimpinan dijelaskan oleh kualitas internal atau sifat yang dibawa seseorang sejak lahir (Robbins, 1996). Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa. Indikator dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan. Setelah teori sifat terungkap maka peneliti lain mulai melakukan penelitian lanjutan untuk 10

3 membuktikan validitas teori ini, namun ditemukan kelemahan teori ini yaitu tidak adanya jawaban yang valid dan jelas mengenai berbagai macam sifat yang secara konsisten mampu menggambarkan sebuah tipe kepemimpinan yang efektif. Selanjutnya Horner (1997) menambahkan bahwa kelemahan lain dari teori sifat adalah tidak mampu menggambarkan hubungan yang jelas antara atasan dan bawahan serta situasi pekerjaan. - Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory) Kelemahan teori sifat menjadi dasar munculnya teori kepemimpinan berdasarkan perilaku, dimana Halpin dan Winer pada tahun 1950 mengemukakan sebuah teori kepemimpinan dengan penekanan pada perbuatan atau perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin dan bukan dinilai dari sifat yang dibawa sejak lahir (Robbins, 1996). Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dan mencapai tujuan organisasi. Halpin dan Winer (1950) menambahkan bahwa semua orang dapat menjadi pemimpin yang sukses atau mengerti konsep kepemimpinan dengan mempelajari perilaku seorang pemimpin yang telah sukses. Banyak peneliti melakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitas teori ini. Penelitian lanjutan mengenai teori ini dimulai oleh Universitas Ohio dan Michigan yang menghasilkan dua dimensi kepemimpinan berdasarkan perilaku yaitu: 1. Consideration atau kepemimpinan berorientasi pekerja, yang menekankan pada rasa dan hubungan antar individu pekerja. 2. Initiating structure atau kepemimpinan berorientasi tugas, yang menekankan pada pekerjaan dalam mencapai tujuan. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa pemimpin yang berorientasi pada pekerja diyakini dapat menimbulkan produktifitas yang tinggi dan kepuasan kerja. Selanjutnya Universitas Iowa mengemukakan pendekatan lain yang dianggap mampu menggambarkan teori kepemimpinan. Menurut Universitas Iowa, terdapat tiga dimensi yang mampu menjelaskan mengenai teori kepemimpinan yaitu: 1. Democratic, yaitu mendelegasikan tugas dan selalu melibatkan karyawan. 2. Autocratic, yaitu melakukan sentralisasi perintah dan pendiktean. 3. Laissez-faire styles, yaitu kebebasan dalam melakukan apapun atau pemimpin yang tidak terlalu peduli pada aktifitas karyawan (no leadership). 11

4 Blake dan Mouton pada tahun 1964 mengembangkan model kepemimpinan lanjutan dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio, Michigan dan Iowa (Robbins, 1996). Blake dan Mouton (1964) merumuskan dua dimensi yang hampir serupa dengan penelitian Ohio dan Michigan yaitu concern for people dan concern for output. Kedua dimensi tersebut dikombinasikan sehingga menghasilkan lima kombinasi baris gaya manajerial (managerial styles grid) yaitu: 1. Impoverished leader (manajemen jatuh miskin), yaitu pemimpin yang memiliki perhatian rendah baik terhadap pegawai, produksi maupun tugas. 2. Authority-obedience (wewenang ketaatan), yaitu pemimpin yang berperilaku otokratis, pemegang tugas yang keras serta memiliki berbagai karakteristik pengawasan tertutup. 3. Middle of the road management (manajemen manusia-organisasi), yaitu pemimpin yang memiliki perhatian terhadap pegawai, produksi maupun tugas. 4. Country club management (manajemen santai), yaitu pemimpin yang berperilaku serba mengijinkan dengan tekanan pada pemeliharaan keuangan dan kepuasan pegawai. 5. Team management (manajemen tim), yaitu pemimpin yang berperilaku demokratis dan memberikan perhatian penuh, baik terhadap produksi maupun semangat kerja dan kepuasan kerja pegawai, melalui penggunaan pendekatan partisipatif atau tim dalam pelaksanaan pekerjaan. Namun seperti penelitian yang dilakukan pada teori sifat, teori kepemimpinan berbasis perilaku gagal dalam pelaksanaannya karena teori ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan mengenai kepemimpinan dan mengabaikan faktor situasi. Faktor situasi pekerjaan seharusnya tidak boleh diabaikan karena tidak ada satu pun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap pemimpin pada seluruh situasi pekerjaan (Suprihanto, Harsiwi & Hadi, 2003). - Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory) Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang telah mengabaikan faktor situasi pekerjaan maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghubungkan sifat maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini dinamakan pendekatan situasional yang mengemukakan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi (Suprihanto et al., 2003). Pendekatan ini dianggap sebagai pendekatan paling ideal dalam menjelaskan hubungan antara pemimpin, bawahan dan situasi (Horner, 1997). Menurut Horner (1997), inti dari teori situasional 12

5 menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi, dengan kata lain seorang pemimpin harus mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan situasi. Salah satu teori kepemimpinan yang menggunakan pendekatan situasional adalah teori kepemimpinan kontijensi yang dikembangkan oleh Fiedler pada tahun 1967 (Horner, 1997). Teori kepemimpinan kontijensi menyatakan bahwa kinerja pegawai yang efektif hanya dapat tercapai apabila terjadi kesamaan visi antara tipe kepemimpinan seorang pemimpin dengan bawahannya serta sejauh mana pemimpin mampu mengendalikan situasi. Tiga dimensi penting yang muncul pada model kepemimpinan kontijensi yaitu: 1. Leader-member relations, yaitu hubungan pemimpin dengan anggota, besaran kadar kepercayaan serta respek dari bawahan terhadap pemimpin. 2. Task structure, yaitu kadar formalisasi dan prosedur operasional standar pada struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin. 3. Position power, yaitu otoritas pemimpin pada suatu situasi seperti penerimaan dan pemberhentian pegawai, disiplin, promosi serta peningkatan upah. Teori kepemimpinan situasional lainnya dikemukakan oleh Vroom dan Yetton pada tahun 1973 (Horner, 1997). Teori yang dinamakan teori normatif Vroom-Yetton ini menjelaskan mengenai bagaimana seorang pemimpin harus memimpin bawahan dalam berbagai situasi. Model ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun tipe kepemimpinan yang dapat efektif diterapkan dalam berbagai situasi. Pilihan mengenai tipe kepemimpinan yang akan dianut hanya efektif jika sesuai dengan situasi yang dihadapi. Selanjutnya House dan Mitchell pada tahun 1974 mengemukakan teori situasional dengan berbasis pada hasil penelitian dari Universitas Ohio (Robbins, 1996). Teori yang dinamakan sebagai teori path goal (jalan tujuan) ini mengungkapkan bahwa seorang pemimpin mempunyai tugas untuk membantu bawahan dalam mencapai tujuan-tujuan (goal) mereka dan menyediakan petunjuk (path) atau dukungan yang diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut sejalan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Teori path goal membedakan empat perilaku pemimpin yaitu direktif, suportif, partisipatif dan berorientasi pencapaian hasil kerja (kinerja), kemudian dikombinasikan dengan tiga jenis sikap bawahan yaitu kepuasan kerja, penerimaan pemimpin dan harapan tentang hubungan 13

6 antara usaha, prestasi dan kompensasi. Teori path goal mengasumsikan bahwa pemimpin harus fleksibel sehingga apabila situasi membutuhkan perubahan tipe kepemimpinan maka pemimpin mampu mengganti tipe kepemimpinannya secara cepat. Namun Horner (1997) mengungkapkan bahwa dari sekian banyak peneliti yang meneliti tentang teori situasional ternyata diketahui bahwa teori situasional sangat ambigu karena teori situasional lebih menjelaskan konsep-konsep manajerial, dengan kata lain teori tersebut seharusnya ditujukan untuk manajer. Selain itu, teori situasional tidak mampu menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan itu sendiri. Kelemahan lain dari teori ini adalah tidak menjelaskan perlu atau tidaknya pekerja mengubah perilaku, seperti yang dilakukan pemimpin, sesuai dengan perubahan situasi pekerjaan. Berdasarkan pemaparan mengenai tiga haluan besar teori kepemimpinan, sebenarnya muncul harapan bahwa teori-teori tersebut mampu memberikan gambaran jelas mengenai teori-teori kepemimpinan yang dapat digunakan dalam organisasi. Namun pada kenyataannya kelemahankelemahan masih muncul pada masing-masing teori tersebut. Berdasarkan kelemahan-kelemahan tersebut maka penelitian-penelitian lanjutan yang awalnya meneliti mengenai sifat dan perilaku pemimpin serta kaitannya dengan situasi, bergerak menuju penelitian yang berfokus pada interaksi antara pemimpin dan bawahan (Schimmoeller, 2006). Schimmoeller (2006) menyatakan bahwa salah satu alternatif pendekatan teori, berkaitan dengan interaksi antara pemimpin dan bawahan, untuk meneliti konsep kepemimpinan adalah teori tipe kepemimpinan transaksional dan transformasional. Teori ini muncul karena teori-teori terdahulu tidak mampu menciptakan perubahan mendasar berkaitan dengan tingkah laku, nilai-nilai dan kebutuhan, dimana perubahan tersebut diperlukan untuk menghasilkan peningkatan kinerja pegawai. - Teori tipe kepemimpinan transaksional dan transformasional Konsep awal mengenai kepemimpinan transaksional dan transformasional dikemukakan oleh Burns pada tahun 1978 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Bass pada tahun 1985 (Bass, Avolio, Jung & Berson, 2003). Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai kepemimpinan berdasarkan transaksi atau pertukaran yang terjadi antara pemimpin dan bawahan. Pertukaran ini didasarkan pada diskusi pemimpin dengan pihak-pihak terkait untuk menentukan kebutuhan, spesifikasi serta kondisi imbalan atau hadiah yang akan diberikan kepada bawahan jika bawahan memenuhi atau mencapai syarat-syarat yang ditentukan oleh pemimpin. Kepemimpinan transaksional melihat kebutuhan bawahan sebagai motivator potensial dan menyadarkan bawahan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh bawahan akan mendapat 14

7 imbalan yang pantas (Schimmoeller, 2006). Bass (1985) mendefinisikan kepemimpinan transaksional berhubungan dengan kebutuhan bawahan yang difokuskan pada perubahan (attention on exchanges), dimana pemimpin memenuhi kebutuhan bawahan dalam perubahan untuk meningkatkan kinerja. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin transaksional bertindak dengan menghindari resiko dan membangun kepercayaan diri bawahan agar bawahan mampu mencapai tujuan. Dalam kepemimpinan transaksional, proses memandu dan memotivasi pengikut dilakukan dengan menjelaskan hak dan kewajiban, peran serta tuntutan tugas. Bila pengikut berhasil melaksanakan tugas maka pengikut berhak mendapat imbalan (Robbins, 1996). Menurut Robbins, pola hubungan pemimpin dan bawahan dalam kepemimpinan transaksional dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemimpin mengetahui keinginan bawahan dan berusaha menjelaskan bahwa bawahan akan memperoleh apa yang diinginkan apabila kinerja mereka memenuhi harapan. 2. Pemimpin memberikan atau menukar usaha-usaha yang dilakukan bawahan dengan imbalan atau janji untuk mendapatkan imbalan. 3. Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi bawahan selama kepentingan pribadi tersebut sepadan dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan oleh bawahan. Selanjutnya Bass (1985) menyatakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional ditunjukkan oleh tiga dimensi yaitu: 1. Contingent reward (imbalan kontinjen) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menjelaskan harapan bawahan dan imbalan yang didapat apabila bawahan mencapai tingkat kinerja yang diharapkan. Imbalan kontinjen ditunjukkan dalam bentuk perilaku pemimpin yang memberitahukan kepada anggota mengenai kegiatan yang harus dilakukan jika ingin memperoleh imbalan tertentu, selalu berbicara mengenai rekomendasi dan promosi untuk setiap pekerjaan yang dilakukan bawahan dengan baik, menjamin bahwa bawahan akan mendapatkan keinginannya sebagai pengganti usaha-usaha yang telah dilakukan, bawahan dapat menegosiasikan apa yang akan diperoleh dari usaha yang telah dilakukan serta memberikan keinginan bawahan sebagai pengganti atas dukungan yang diberikan bawahan kepada organisasi. 15

8 2. Active management by exception (manajemen eksepsi aktif) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang memantau pelaksanaan tugas dan masalah yang mungkin muncul serta melakukan tindakan perbaikan untuk memelihara kinerja yang telah ada. Dalam hal ini pemimpin menunjukkan adanya aturan dan pengendalian agar bawahan terhindar dari kesalahan dan kegagalan melaksanakan tugas. Pemimpin juga selalu memantau gejala penyimpangan, kesalahan anggota serta melakukan tindakan perbaikan atau menunjukkan sikap korektif yang bersifat aktif pada permasalahan dan kinerja anggota. 3. Laissez-faire atau passive avoidant Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang tidak mengupayakan adanya kepemimpinan (no leadership), bereaksi hanya setelah terjadi kesalahan dan menghindari mengambil keputusan. Dalam kepemimpinan ini, pemimpin memberikan kebebasan penuh pada bawahan untuk bertindak, menyediakan materi serta tidak mau berpartisipasi kecuali menjawab pertanyaan dan tidak membuat evaluasi atau penilaian. Pemimpin juga cenderung membiarkan bawahan melakukan pekerjaan dengan cara yang sama setiap waktu. Kepemimpinan ini merupakan gabungan dari perilaku kepemimpinan laissez-faire dengan kepemimpinan eksepsi pasif serta merupakan dimensi yang paling ekstrim dan tidak efektif. Penelitian-penelitian mengenai tipe kepemimpinan transaksional menyimpulkan bahwa segala aktifitas pekerjaan yang dilakukan bawahan harus memiliki harga atau mendapatkan imbalan. Namun hal tersebut justru menjadi kelemahan tipe kepemimpinan transaksional karena komitmen bawahan terhadap organisasi biasanya berjangka pendek (Avolio, Bass & Jung, 1999). Avolio et al. (1999) menambahkan bahwa aktifitas pekerjaan bawahan hanya terfokus pada negosiasi upah serta mengabaikan pemecahan masalah atau visi bersama. Komitmen bawahan terhadap organisasi akan tergantung pada sejauh mana kemampuan organisasi dalam memenuhi keinginan bawahan. Hal tersebut mendorong Bass (1990) untuk mengembangkan konsep kepemimpinan transformasional untuk melengkapi teori kepemimpinan transaksional yang masih memiliki kelemahan. Bass mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin adaptif yang bekerja efektif dalam perubahan lingkungan yang cepat dengan membantu menghadapi tantangan yang dihadapi pemimpin dan pengikut serta melakukan respon yang sesuai terhadap tantangan tersebut (Avolio et al., 1999). Kepemimpinan transformasional bukan kepemimpinan yang bersifat jangka pendek namun lebih terfokus pada jangka panjang dengan cara mengembangkan 16

9 visi secara berkesinambungan untuk menginspirasi pengikut tanpa menghiraukan akibat negatifnya, sehingga dengan sikap itu diharapkan motivasi, kepuasan, komitmen, produktifitas dan kinerja bawahan menjadi meningkat. Bass pada tahun 1990 mencontohkan sosok Adolf Hitler sebagai seorang pemimpin transformasional karena Hitler mampu mengayomi seluruh keinginan bawahan tanpa menghiraukan akibat negatifnya sehingga pengaruh kepemimpinan Hitler masih dirasakan oleh rakyat Jerman selama bertahun-tahun setelah kematiannya (Schimmoeller, 2006). Bass (1985) menyatakan bahwa proses kepemimpinan transformasional dapat dicapai melalui tiga cara yaitu: 1. Mendorong dan meningkatkan kesadaran anggota mengenai penting dan bernilainya tujuan yang akan dicapai dan cara pencapaiannya. 2. Mendorong anggota untuk mendahulukan kepentingan kelompok atau organisasi daripada kepentingan pribadi. 3. Meningkatkan jenis kebutuhan anggota atau memperluas cakupan kebutuhan tersebut. Karakteristik kepemimpinan transformasional dijelaskan oleh empat dimensi yaitu (Bass et al., 2003): 1. Idealized influence (idealisasi pengaruh) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menjadi panutan bagi bawahan, memberikan kesadaran akan visi dan misi, menghasilkan rasa hormat, percaya dan bangga serta memperlihatkan standar etika moral yang tinggi. Idealisasi pengaruh menekankan pada pengaruh ideologi, idealisme dan nilai-nilai yang dianut. Pemimpin dipercaya, dihormati dan dikagumi oleh bawahan sehingga bawahan ingin mengidentifikasikan diri dengan para pemimpinnya. Pemimpin ini juga didukung oleh bawahan karena memiliki kemampuan dan keteguhan hati yang luar biasa, berani mengambil resiko dan bertindak secara konsisten. Pemimpin dipercaya dapat melakukan hal yang benar serta menunjukkan standar etika dan moral yang tinggi. 2. Inspirational motivation (motivasi inspirasional) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang menumbuhkan ekspektasi tinggi melalui pemanfaatan simbol untuk memfokuskan usaha, membangkitkan antusiasme dan optimisme serta mendorong bawahan unuk mencapai masa depan yang lebih baik. Pemimpin membangkitkan antusiasme para bawahan untuk bekerja secara kelompok dan membangun 17

10 kepercayaan melalui kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses dan mencapai tujuan kelompok. Pemimpin memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan cara memberi makna dan tantangan pada pekerjaan bawahan serta menciptakan harapan-harapan yang dikomunikasikan secara jelas sehingga bawahan ingin mencapainya. 3. Intellectual stimulation (stimulasi intelektual) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang meningkatkan kecerdasan dan rasionalitas bawahan, mendorong bawahan menemukan cara baru yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah dan mendorong bawahan untuk mengkaji kembali metode-metode yang selama ini digunakan. Pemimpin secara intelektual merangsang pengikut agar inovatif dan kreatif dengan cara mempertanyakan kondisi yang berlaku sekarang ini, mempertanyakan asumsi dan melihat kembali masalah-masalah serta situasi lama dengan cara baru. Pemimpin merangsang timbulnya inovasi dan cara-cara baru untuk menyelesaikan masalah secara berhati-hati sehingga pengikut didorong untuk memahami konsep dan masalah dengan lebih baik. Pemimpin tidak akan menyalahkan bawahan apabila melontarkan gagasan-gagasan yang berbeda dengan pemimpin dan menghargai kesalahan yang muncul dalam proses inovasi dan kreatifitas. 4. Individual consideration (konsiderasi individual) Kepemimpinan ini merupakan perilaku yang bertindak sebagai pelatih atau pembimbing terhadap kebutuhan prestasi bawahan, memperlakukan bawahan sebagai individu yang berbeda-beda dan membantu bawahan dalam mengembangkan potensi mereka. Kepemimpinan yang konsiderasi individual adalah pemimpin yang mau memberikan perhatian kepada pengikut dan membuat pengikut merasa bahwa dirinya bernilai penting. Pemimpin mau melatih dan memberikan nasehat pada setiap bawahan untuk mengembangkan diri dan mampu mencapai tingkat potensi yang lebih tinggi. Pemimpin juga memperlakukan bawahan sebagai pribadi yang utuh sehingga mereka mampu menghasilkan kinerja yang maksimal. Dari berbagai pemaparan mengenai berbagai macam tipe kepemimpinan, diketahui bahwa tipe kepemimpinan transformasional merupakan tipe yang tepat dan sesuai bagi sebuah organisasi pada saat ini. Tipe kepemimpinan ini tidak hanya sekedar menggunakan kekuatan dan kekuasaan dalam mencapai tujuan namun juga mampu mempengaruhi anggota organisasi dengan cara-cara yang sesuai. Cara-cara yang sesuai tersebut menyebabkan pegawai senang dalam 18

11 menerima tugas dari pemimpin sehingga pegawai puas dalam bekerja dan tidak menganggap tugas tersebut sebagai beban dalam bekerja (Oshagbemi, 2000). Humphreys (2005) menyatakan bahwa pemimpin yang menerapkan gaya memimpin transformasional dengan karakteristik yang diungkapkan oleh Bass akan menyebabkan terjadinya perubahan yang konstan menuju kearah perbaikan bagi organisasinya. Dengan perubahan-perubahan positif tersebut, pegawai siap untuk menerima tugas yang diberikan pemimpin tanpa beban, senang dan puas dalam melakukan pekerjaannya serta akan meningkatkan produktifitas dan kinerja pegawai yang bersangkutan. Selanjutnya Metcalfe dan Metcalfe (2006) menyatakan bahwa saat ini teori tipe kepemimpinan transformasional yang dikembangkan oleh Bass sering digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan kepemimpinan pada sektor publik. Hal tersebut menandakan bahwa teori ini mampu diterima oleh seluruh lapisan yang ada dalam organisasi. Metcalfe dan Metcalfe (2006) menambahkan bahwa seringnya teori kepemimpinan transformasional digunakan pada penelitian di sektor publik juga disebabkan oleh banyaknya kelemahan yang terdapat pada tiga haluan besar teori kepemimpinan dan teori kepemimpinan transaksional sehingga teori-teori tersebut sudah dianggap old paradigm atau paradigma usang dalam penelitian pada sektor publik Sistem Kompensasi Kompensasi merupakan fungsi penting bagi elemen manusia, baik pegawai maupun manajemen, yang ada dalam organisasi. Bagi pegawai, kompensasi adalah wujud penghargaan organisasi atas hasil kerja (kinerja) yang telah dilakukan dalam membantu organisasi untuk mencapai tujuannya. Sedangkan bagi manajemen, kompensasi merupakan kewajiban utama yang harus dilakukan sebagai representasi rasa terima kasih atas kinerja yang telah ditunjukkan pegawai. Dalam merancang suatu paket atau sistem kompensasi, biasanya keinginan manajemen dan pegawai selalu bertentangan. Pegawai menginginkan pendapatan tetap, kompensasi ekstra untuk kinerja diatas rata-rata serta kompensasi yang layak berdasarkan pengalaman dan masa kerja, sedangkan manajemen harus mempertimbangkan suatu sistem kompensasi secara optimal baik dari sisi ekonomi maupun kemudahannya (Zobal, 1998). Menurut Dessler (1997), sistem kompensasi yang ideal dapat memberi kepuasan kerja bagi pegawai dan sistem kompensasi yang tidak memadai menyebabkan kepuasan kerja pegawai terganggu, produktivitas dan kinerja menurun, mogok kerja, keluhan-keluhan serta berdampak 19

12 pada pengunduran diri atau meninggalkan pekerjaan untuk mencari pekerjaan lain yang memberikan pendapatan lebih tinggi. Namun Zobal (1998) menyatakan bahwa pemberian kompensasi yang terlalu tinggi justru menyebabkan menurunnya daya saing perusahaan, kegelisahan diantara pegawai dan ketidaknyamanan dalam bekerja, sehingga sistem kompensasi harus dirancang sedemikian rupa oleh pihak pemberi kerja atau manajemen dengan harapan kepuasan kerja dan kinerja pegawai meningkat. Oleh karena itu tidak mengherankan jika sebagian besar organisasi, baik pemerintah maupun swasta, menghabiskan waktu dan usaha untuk memikirkan sistem kompensasi yang sesuai bagi semua pihak dalam organisasi. Sistem kompensasi didefinisikan oleh Dessler (1997) sebagai sesuatu yang diterima para pegawai berupa balas uang dan balas jasa lainnya atas jasa kerja pegawai. Dessler (1997) menambahkan bahwa sistem kompensasi memiliki dua komponen secara umum yaitu: 1. Sistem pembayaran keuangan langsung yaitu berupa gaji, insentif, komisi dan bonus. 2. Sistem pembayaran keuangan tidak langsung yaitu berupa tunjangan seperti asuransi dan uang liburan, fasilitas anak, uang pensiun dan rencana pendidikan. Menurut Kotler (1997), kompensasi yang akan diberikan kepada pegawai harus disesuaikan dengan kondisi pasar atau upah minimum yang disyaratkan oleh pihak serikat pekerja, kompensasi dibawah pasar akan menyebabkan kualitas dan kuantitas pelamar yang diperoleh kurang memenuhi syarat, sedangkan kompensasi diatas pasar menjadi tidak ada gunanya. Oleh sebab itu untuk merancang sistem kompensasi yang sesuai, manajemen harus menetapkan komponen-komponen dan tingkat kontribusi efektif dari masing-masing komponen tersebut terhadap sistem kompensasi. Kotler (1997) merumuskan empat buah komponen dalam sistem kompensasi yang dapat diterapkan pada suatu organisasi yaitu: 1. Pendapatan tetap yaitu berupa gaji pokok untuk memenuhi kebutuhan dasar pegawai. 2. Pendapatan variabel yaitu berupa komisi, insentif, bonus atau pembagian keuntungan yang digunakan sebagai perangsang untuk dapat bekerja lebih giat. 3. Pendapatan finansial lainnya yaitu berupa biaya transportasi dan biaya akomodasi apabila ditugaskan ke luar daerah. 4. Pendapatan lainnya yaitu berupa asuransi kecelakaan, pensiun, asuransi jiwa maupun liburan yang dapat memberikan rasa aman dan kepuasan kerja bagi pegawai. 20

13 Kemudian Davis dan Newstron pada tahun 1987 menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dan dijadikan landasan dalam merancang sistem kompensasi yang baik, lengkap dan ekonomis yaitu (Peni, 2005): 1. Job evaluation; untuk menentukan gaji dasar atau pokok yang diperoleh pegawai sesuai dengan tugas dan tanggung jawab. 2. Performance appraisal; untuk memberikan besaran insentif yang sesuai dengan kinerja yang dilakukan pegawai. 3. Profit sharing; untuk memperhatikan besar keuntungan yang harus dibagikan kepada pegawai. Pada Gambar 2.1 dijelaskan garis besar perancangan sistem imbalan menurut Davis dan Newstron (1987). Gambar 2.1 Piramida Kompensasi Robbins (1996) menyatakan bahwa perancangan sistem kompensasi yang baik harus disesuaikan dengan kebutuhan dasar manusia, dimana teori kebutuhan dasar manusia terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri. Berdasarkan teori kebutuhan dasar manusia tersebut maka perancangan sistem kompensasi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tersebut yaitu: 21

14 1. Kebutuhan fisiologis: bentuk imbalan yang diberikan berupa gaji, upah, insentif atau bonus dalam bentuk uang tunai. 2. Kebutuhan rasa aman: bentuk imbalan yang diberikan berupa asuransi kesehatan, pensiun, atau tunjangan lainnya. 3. Kebutuhan sosial: bentuk imbalan yang diberikan berupa kondisi kerja yang nyaman serta kemudahan untuk memperoleh pelayanan sosial seperti kantin, tempat ibadah, atau fasilitas olahraga. 4. Kebutuhan harga diri: bentuk imbalan yang diberikan berupa pengakuan, promosi serta jabatan. 5. Kebutuhan aktualisasi diri: bentuk imbalan yang diberikan berupa kemandirian dan tanggung jawab. Selanjutnya menurut Robbins (1996), sistem kompensasi didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan oleh organisasi kepada pegawai dengan tujuan untuk menarik pegawai berkualitas agar bersedia bergabung dalam organisasi, mempertahankan kinerja positif pegawai serta memotivasi pegawai untuk mencapai kinerja yang lebih baik lagi. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perancangan sistem kompensasi yang baik tentu sangat dibutuhkan apabila organisasi ingin mencapai tujuannya dan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena pentingnya kompensasi maka pemberian kompensasi secara optimal akan membantu organisasi untuk meningkatkan kepuasan kerja pegawai dalam usaha membangun hubungan yang baik dengan pegawai. Robbins (1996) secara umum membagi sistem kompensasi menjadi tiga yaitu kompensasi intrinsik, kompensasi ekstrinsik langsung dan kompensasi ekstrinsik tak langsung. Kompensasi intrinsik adalah kompensasi yang diterima pegawai secara pribadi yang dapat memberikan dampak langsung terhadap kepuasan kerja pegawai, kompensasi ekstrinsik langsung adalah kompensasi yang mudah diukur dan menjadi kewajiban organisasi untuk memenuhinya secara langsung, dan kompensasi ekstrinsik tidak langsung adalah kompensasi yang mudah diukur dan menjadi kewajiban organisasi untuk memenuhinya secara tidak langsung. Pada Tabel 2.1 dijelaskan secara menyeluruh mengenai sistem kompensasi menurut Robbins (1996). 22

15 Sistem Kompensasi Intrinsik Ekstrinsik Langsung Ekstrinsik Tidak Langsung Tabel 2.1 Jenis-Jenis Sistem Kompensasi Partisipasi dalam pengambilan keputusan Kebebasan dan keleluasaan bekerja Tanggung jawab yang lebih besar Kesempatan untuk berkembang Gaji pokok Uang lembur dan liburan Bonus prestasi Pembagian keuntungan Program perlindungan (asuransi) Gaji tetap dalam kondisi tidak dapat melakukan pekerjaan Ruang kantor khusus yang nyaman Asisten pribadi Sumber: Robbins, S.P. (1996). Organizational Behaviour: Concept, Controversies, Applications. Prentice-Hall, Inc. New Jersey. Selanjutnya Ivancevich dan Matteson (2002) merumuskan sistem kompensasi yang serupa dengan sistem kompensasi dari Robbins (1996), namun sistem kompensasi yang dirumuskan hanya terdiri atas dua komponen dan tidak selengkap komponen sistem kompensasi yang dijelaskan oleh Robbins (1996). Komponen pertama dinamakan sebagai kompensasi ekstrinsik yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan pensiun, asuransi kesehatan serta bonus, dan komponen kedua dinamakan kompensasi intrinsik yang terdiri dari pengakuan dari pihak atasan serta kesempatan untuk berkembang. Zobal (1998) menyatakan bahwa istilah kompensasi, imbalan, maupun upah sebenarnya memiliki makna yang sama namun dapat berarti macam-macam bagi setiap orang. Selanjutnya Zobal menambahkan, berdasarkan American Compensation Association s (ACA, 1995), kompensasi didefinisikan sebagai pembayaran langsung atau tidak langsung dari pemberi kerja bagi pelayanan yang diberikan oleh pekerja sehingga definisi tersebut memiliki arti yang bermacam-macam. Misalnya kompensasi yang berbentuk upah mingguan atau kompensasi yang berbentuk tiket menonton pertandingan basket. Lingkup definisi ini menyebabkan kompensasi dapat diklasifikasi, didefinisi dan dikarakterisasi dalam banyak cara seperti klasifikasi kompensasi ekstrinsik dan intrinsik, klasifikasi kompensasi finansial dan non finansial, serta klasifikasi kompensasi langsung dan tidak langsung (Zobal, 1998). 23

16 Berdasarkan hal tersebut, Zobal (1998) merumuskan sistem kompensasi yang terdiri atas tiga komponen yaitu: 1. Base pay dan base pay adjustment. Base pay yaitu gaji pokok yang dibayarkan perusahaan kepada pegawai (ACA, 1995). Base pay dapat dikalkulasikan melalui persaingan pasar maupun evaluasi kinerja pegawai serta dapat ditentukan dari besarnya kemampuan dan kompetensi pegawai yang dapat digunakan (Gross, 1995). Sedangkan base pay adjustment adalah penyesuaian dan peningkatan gaji pokok seiring dengan perputaran waktu. Penyesuaian dan peningkatan gaji pokok bisa melalui banyak cara seperti peningkatan base pay berdasarkan biaya hidup, peningkatan base pay berdasarkan kemampuan atau kompetensi pegawai yang terus berkembang, serta peningkatan base pay berdasarkan kemahiran atas ilmu pengetahuan yang dimiliki pegawai. 2. Other financial rewards Other financial rewards adalah kompensasi tambahan berupa finansial yang diperoleh oleh pekerja diluar gaji pokok (ACA, 1995). Kompensasi ini terpisah dan tidak termasuk dalam gaji pokok, contohnya insentif finansial, bonus, penghargaan finansial, pembagian kompensasi insidental dan pembagian keuntungan perusahaan. Insentif finansial diberikan pada saat pegawai bekerja melebihi ekspektasi. Bonus dan penghargaan diberikan pada saat pegawai berhasil menyelesaikan tugas dengan baik dan menunjukkan perilaku yang sopan dan hormat pada atasan. Pembagian kompensasi insidental diberikan apabila produktivitas dari pegawai melebihi ekspektasi namun biasanya berlaku pada lantai produksi (shop floor) saja. Pembagian keuntungan perusahaan diberikan apabila perusahaan mendapatkan keuntungan bersih dan biasanya diberikan pada akhir tahun. 3. Non financial rewards Non financial rewards adalah kompensasi lainnya yang tidak berupa uang atau non finansial (ACA, 1995). Kompensasi ini dapat diberikan dengan berbagai macam alasan seperti perilaku pegawai yang sopan dan ramah atau mampu menyelesaikan tugas sesuai perintah atasan. Kompensasi non finansial ini berupa uang liburan, jamuan makan malam, penghargaan tertulis, atau hanya sekedar ucapan terima kasih. Kompensasi ini dapat berbentuk formal, informal serta spontanitas dari manajemen atau rekan kerja. 24

17 Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa sistem kompensasi yang dirancang dengan baik oleh organisasi diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja pegawai sehingga tujuan dari sistem kompensasi dapat dicapai oleh organisasi. Harapan dari terciptanya sebuah sistem kompensasi yang baik adalah: 1. Mampu menarik individu-individu yang berbakat, memotivasi dan memuaskan individu tersebut ketika individu tersebut memutuskan untuk bergabung dalam organisasi. 2. Mampu membangun dan mengembangkan kemampuan individu serta mampu mempertahankan individu-individu berbakat agar tetap bekerja dalam organisasi. Selanjutnya Kreitner dan Kinicki (2004) menambahkan bahwa sistem kompensasi yang tidak dirancang dengan baik dapat menghilangkan motivasi pegawai dalam bekerja sehingga dapat berimbas pada terganggunya kepuasan kerja pegawai tersebut. Indikasi sebuah sistem kompensasi yang dapat menghilangkan motivasi dan kepuasan kerja pegawai adalah: 1. Terlalu banyak menekankan pada kompensasi berupa materi. 2. Kurangnya penghargaan yang diberikan oleh pihak manajemen. 3. Keharusan dalam mencapai keuntungan yang tinggi. 4. Kompensasi hanya diberikan bagi pegawai yang memiliki produktifitas tinggi. 5. Terlalu banyak perbedaan antara kinerja dan kompensasi. 6. Terlalu banyak penyeragaman kompensasi. 7. Rendahnya imbalan sehingga berdampak pada rendahnya motivasi dalam bekerja Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan suatu konsep penting yang harus dimengerti dalam mempelajari organisasi. Oleh karena pentingnya faktor kepuasan kerja dalam suatu organisasi maka banyak peneliti saat ini yang meneliti mengenai faktor kepuasan kerja serta menelusuri hubungannya dengan komitmen, tingkat absensi, tingkat turnover, produktifitas dan kinerja. Yukl (1994) mengartikan kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan. Definisi tersebut mempunyai arti bahwa kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong dalam diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaan maupun kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan melibatkan aspek-aspek seperti upaya, kesempatan pengembangan karir, hubungan dengan pegawai lain, penempatan 25

18 kerja dan struktur organisasi. Sementara itu perasaan yang berhubungan dengan dirinya antara lain berupa umur, kondisi kesehatan, kemampuan dan pendidikan. Kepuasan kerja didefinisikan oleh Handoko (2001) sebagai keadaan emosional yang menyenangkan pada saat para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini merupakan dampak dari sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Selanjutnya Luthans (1992) berpendapat bahwa kepuasan kerja terjadi apabila kebutuhankebutuhan individu sudah terpenuhi. Terkait dengan pegawai, kepuasan kerja merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai dan erat kaitannya dengan kompensasi-kompensasi yang pegawai terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Pendapat Robbins tersebut mengandung dua dimensi, pertama yaitu kepuasan yang dirasakan individu menitikberatkan pada individu sebagai anggota masyarakat, serta kedua yaitu kepuasan yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai. Menurut Robbins (1996), kepuasan kerja adalah suatu perasaan emosional positif atau menyenangkan yang dirasakan oleh pegawai sebagai hasil atau penilaian terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Kepuasan kerja yang dirasakan oleh pegawai ini didasarkan pada nilainilai yang terdapat didalam organisasi, baik berupa kompensasi, lingkungan kerja, kepemimpinan, rekan kerja dan faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan perasaan nyaman bekerja dalam organisasi. Selanjutnya Davis dan Newstron pada tahun 1987 mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan karyawan tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaan yang mereka lakukan (Peni, 2005). Pada saat individu bergabung dalam organisasi, individu tersebut membawa sejumlah keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja. Kepuasan kerja akan menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang dengan kompensasi yang diperoleh sebagai hasil kerja. Menurut Yukl (1994), terdapat tiga teori tentang kepuasan kerja yang cukup dikenal yaitu: 1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory) Teori ini dikemukakan oleh Porter (1961). Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih dari banyaknya sesuatu yang didapat dengan yang diharapkan. Selanjutnya Locke (1969) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada kesesuaian antara apa yang menurut perasaannya atau persepsinya dianggap telah didapatkan dengan apa yang diinginkan. Jumlah yang diinginkan didefinisikan sebagai jumlah minimal yang 26

19 diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Seseorang akan merasa puas jika tidak ada selisih antara kondisi yang diinginkan dengan kondisi kenyataan (aktual). Semakin besar kekurangan dan semakin banyak hal penting yang diinginkan maka semakin besar rasa ketidakpuasan tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan Wanous dan Lawler (1972) ditemukan fakta bahwa sikap pegawai terhadap pekerjaannya tergantung bagaimana ketidaksesuaian itu dirasakan. 2. Teori keadilan (equity theory) Teori ini dikemukakan oleh Adams (1963). Prinsip dari teori ini adalah seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung kepada apakah orang tersebut merasa adanya keadilan (equity) atau tidak terhadap sesuatu situasi. Perasaan adil atau tidak terhadap suatu situasi diperoleh dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain pada kondisi yang sama. Menurut teori ini elemen-elemen dari keadilan terdiri dari tiga yaitu input, outcomes dan comparison person. Input adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai sebagai sumbangan terhadap pekerjaan seperti pendidikan, pengalaman, kemampuan serta jumlah jam kerja. Outcomes adalah sesuatu yang berharga yang dirasakan pegawai sebagai hasil dari pekerjaannya seperti imbalan, simbol status, penghargaan, kesempatan untuk berkembang serta ekspresi diri (self expression). Selanjutnya comparison person adalah orang yang dijadikan pembanding oleh pegawai mengenai rasio input-outcomes yang dimiliki. Comparison person ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama atau ditempat lain atau bisa juga dengan orang yang sama pada waktu yang lalu. 3. Teori dua faktor (two factor theory) Prinsip dari teori ini adalah bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda (Herzberg, 1966), dalam artian kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukan merupakan suatu variabel yang berkelanjutan. Dalam teori dua faktor ini, Herzberg membagi situasi yang dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok yaitu: 27

20 a. Kelompok pemuas (satisfier atau motivator) Satisfier adalah faktor-faktor atau situasi yang dibuktikan sebagai sumber kepuasan kerja yang antara lain terdiri dari: - Perasaan berprestasi - Pengakuan atau penghargaan - Kemajuan - Kemungkinan untuk berkembang - Tanggung jawab - Pekerjaan itu sendiri Keberadaan faktor ini menurut Herzberg dapat menimbulkan kepuasan serta tidak adanya faktor ini akan menimbulkan ketidakpuasan. b. Kelompok pemeliharaan (dissatisfier atau hygiene factors) Dissatisfier adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, antara lain terdiri dari: - Status sosial - Kondisi kerja - Jaminan kerja - Gaji - Hubungan dengan bawahan - Hubungan dengan rekan kerja - Hubungan dengan atasan - Kemampuan atasan - Kebijakan dan administrasi perusahaan Perbaikan terhadap kondisi tersebut hanya dapat mengurangi dan bukan menghilangkan ketidakpuasan kerja karena variabel-variabel tersebut bukan sumber kepuasan kerja. Menurut teori ini perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan kerja tetapi hanya akan mengurangi ketidakpuasan. Selanjutnya dijelaskan dalam teori ini bahwa yang dapat memacu individu untuk bekerja dengan baik adalah kelompok satisfier. Selanjutnya berkaitan dengan kepuasan kerja, Universitas Minnesota melakukan studi berkelanjutan mengenai perbaikan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan kerja. Studi tersebut dikenal dengan nama proyek penyesuaian kerja (work adjustment project) (Nilfia, 2004). Secara spesifik studi ini difokuskan pada proyek penyesuaian kerja yang berhubungan dengan pelayanan perbaikan kerja. Studi yang dimulai pada tahun 1957 ini mempunyai dua tujuan yaitu mengembangkan alat-alat diagnosa untuk menilai penyesuaian kerja pegawai dan mengevaluasi hasil penyesuaian kerja. Pendekatan yang dilakukan adalah menyesuaikan personalitas dengan lingkungan kerja. Personalitas kerja menyangkut kemampuan dan kebutuhan pegawai. Sedangkan kemampuan yang dibutuhkan dan sistem penguat (reinforce system) merupakan aspek yang penting dari lingkungan kerja. 28

21 Penyesuaian kerja dilakukan dengan menyesuaikan personalitas kerja individu dengan lingkungan kerja. Dengan kata lain, penyesuaian kerja tergantung pada seberapa baik kemampuan individu sesuai dengan kebutuhan kemampuan yang dibutuhkan pekerjaan dan seberapa baik kebutuhan yang sesuai dengan sistem penguat yang tersedia dalam lingkungan kerja. Derajat kesesuaian yang tinggi antara personalitas pegawai dengan kebutuhan pekerjaan akan menguntungkan keduanya yaitu kinerja organisasi yang baik dan tingkat kepuasan yang tinggi pada pegawai. Berdasarkan studi penyesuaian kerja tersebut maka Universitas Minnesota mengembangkan suatu instrumen kuesioner yang mampu digunakan untuk mengukur kepuasan kerja pegawai. Instrumen kuesioner tersebut terdiri dari beberapa aspek yang terdapat pada lingkungan pekerjaan yang berbeda dan dinamakan Minnesota Satisfaction Questionare (Nilfia, 2004). Kuesioner ini mampu memberikan gambaran yang lebih individual mengenai kepuasan kerja. Pengukuran individual ini penting karena mungkin saja masing-masing individu pada sebuah organisasi mempunyai tingkat kepuasan yang sama pada suatu pekerjaan namun alasan mengapa individu tersebut puas bisa jadi berbeda. Variabel-variabel yang diukur pada Minnesota Satisfaction Questionare dikembangkan dari dua puluh kebutuhan pekerjaan. Variabel-variabel ini dikelompokkan menjadi dua faktor berdasarkan sistem penguat (reinforce system). Faktor tersebut adalah faktor ekstrinsik yang penguatnya berasal dari eksternal individu dan faktor intrinsik yang penguatnya berasal dari internal individu. Dua faktor yang terdapat pada Minnesota Satisfaction Questionare dijelaskan secara rinci sebagai berikut: 1. Kepuasan kerja internal (intrinsik), yang terdiri dari: aktifitas, kemandirian, variasi tugas, status sosial, nilai-nilai moral, keamanan, hubungan sosial, otoritas, pemanfaatan kemampuan, kreatifitas dan prestasi kerja. 2. Kepuasan kerja eksternal (ekstrinsik) yang terdiri dari: pengarahan individu, pengarahan teknis, kebijakan perusahaan, kompensasi, kemajuan dan pengakuan. Minnesota Satisfaction Questionare memiliki dua jenis kuesioner yaitu short form yang terdiri dari 20 pertanyaan pendek dan long form yang terdiri dari 100 pertanyaan serta 20 variabel pengamatan. Menurut Yukl (1994), kepuasan kerja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain gaji, kondisi kerja, pemimpin, rekan sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja serta kesempatan untuk 29

22 maju atau mendapatkan promosi. Selanjutnya Luthans (1992) menyatakan bahwa kepuasan kerja tergantung pada pekerjaan, atasan, kondisi kerja, kompensasi dan hubungan dengan rekan sekerja. Schermerhorn (1999) mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja yaitu: 1. Pekerjaan itu sendiri (work it self) Setiap pekerjaan memerlukan suatu keterampilan tertentu. Tingkat kesulitan suatu pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya dibutuhkan dalam melakukan suatu pekerjaan tersebut akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan kerja. 2. Pemimpin (leaders) Pemimpin yang baik berarti mau menghargai pekerjaan bawahan. Bagi bawahan, pemimpin sering dianggap sebagai figur ayah atau ibu dan sekaligus atasannya. 3. Teman sekerja (workers) Teman sekerja bisa berarti hubungan antara pegawai dengan atasan atau dengan pegawai lainnya, baik yang sejenis maupun yang berbeda jenis pekerjaan. 4. Promosi (promotion) Merupakan faktor yang berhubungan dengan ada atau tidaknya kesempatan untuk memperoleh peningkatan karir selama bekerja. 5. Upah (pay) Merupakan faktor pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap layak atau tidak. Robbins (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang mampu menggambarkan tingkat kepuasan kerja pegawai yaitu: 1. Mentally challenging work (kerja yang secara mental menantang) Pegawai biasanya cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk menggunakan keahlian dan kemampuan yang dimiliki serta pekerjaan yang menawarkan berbagai macam variasi tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai bagaimana hasil pekerjaan yang telah pegawai selesaikan. Karakter-karakter tersebut yang membuat suatu pekerjaan menantang secara mental. Pekerjaan yang kurang memiliki tantangan akan menciptakan kebosanan sedangkan pekerjaan yang tantangannya terlalu berlebihan akan menciptakan perasaan frustasi dan kegagalan. Dalam kondisi pekerjaan yang tantangannya cukup, pegawai akan mengalami kesenangan dan kepuasan. 30

23 2. Supportive working conditions (kondisi kerja yang mendukung) Pegawai peduli terhadap lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan dan keamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pegawai lebih menyukai keadaan lingkungan yang tidak berbahaya atau merepotkan. Selain itu kebanyakan pegawai lebih suka bekerja tidak jauh dari rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern serta dengan alat dan perlengkapan yang memadai. Temperatur, cahaya, kebisingan, dan faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem (terlalu banyak atau sedikit). 3. Equitable rewards (ganjaran yang pantas) Para pegawai menginginkan kebijakan sistem upah dan kebijakan promosi yang pegawai persepsikan sebagai adil, tidak kembar arti dan sesuai dengan harapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas maka kepuasan kerja akan tercapai. Tentu saja tidak semua orang mengejar uang. Banyak orang bersedia menerima uang yang lebih kecil untuk bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan serta mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan pada jam-jam kerja. Tetapi faktor kunci yang menghubungkan upah dengan kepuasan bukanlah jumlah uang yang dibayarkan namun yang lebih penting adalah persepsi keadilan. Begitu pula dengan kebijakan promosi. Promosi memberikan peluang bagi pertumbuhan pribadi, lebih banyak tanggung jawab dan meningkatkan status sosial. Pegawai berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang lebih banyak serta status sosial yang ditingkatkan. Oleh karena itu individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi dibuat dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan mengalami kepuasan dalam bekerja. 4. Supportive colleagues (rekan kerja yang mendukung) Bekerja bagi kebanyakan pegawai adalah untuk mengisi kebutuhan akan interaksi sosial sehingga tidak mengherankan apabila rekan sekerja yang ramah dan mendukung akan meningkatkan kepuasan dalam bekerja. Selain itu, perilaku atasan juga merupakan penentu utama dari kepuasan kerja. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kepuasan pegawai akan meningkat apabila atasan langsung bersifat ramah, bersahabat dan dapat memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat pegawai serta menunjukkan suatu minat pribadi pada pegawai. 31

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional 2.1.1 Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional Menurut Bass dalam Robbins & Judge (2009:90) gaya kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan

Lebih terperinci

Masih dari hasil penelitian Al-Ababneh (2010), tidak ada gaya kepemimpinan

Masih dari hasil penelitian Al-Ababneh (2010), tidak ada gaya kepemimpinan organisasi seperti rendahnya kepuasan, tingginya tingkat stres, dan rendahnya komitmen karyawan. Al-Ababneh (2010) menyatakan bahwa, menentukan hubungan langsung antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI & HIPOTESIS. Stoner mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai suatu proses

BAB II LANDASAN TEORI & HIPOTESIS. Stoner mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai suatu proses 11 BAB II LANDASAN TEORI & HIPOTESIS A. Definisi Kepemimpinan Stoner mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan kegiatan dari sekelompok

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB)

BAB II URAIAN TEORITIS. Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) BAB II URAIAN TEORITIS A. Penelitian Terdahulu Pembahasan mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) pernah dilakukan Marfirani (2008) dengan judul penelitian Hubungan Kepuasan Kerja dengan Organizational

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inovasi. Perusahaan yang ingin tetap bertahan dalam lingkungan bisnis harus

BAB I PENDAHULUAN. inovasi. Perusahaan yang ingin tetap bertahan dalam lingkungan bisnis harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manajemen sumber daya manusia sangat penting bagi perusahaan dalam mengelola, mengatur, dan memanfaatkan sumber daya manusia yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi pada perusahaan Keramik Pondowo malang, dengan hasil penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Junaidi (2000) dengan judul Pengaruh motivasi terhadap prestasi kerja karyawan bagian produksi

Lebih terperinci

BAB X KEPEMIMPINAN TRANFORMASIONAL DAN TRANSAKSIONAL

BAB X KEPEMIMPINAN TRANFORMASIONAL DAN TRANSAKSIONAL BAB X KEPEMIMPINAN TRANFORMASIONAL DAN TRANSAKSIONAL Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional,..

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu berkembangnya organisasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu berkembangnya organisasi yang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap organisasi baik itu swasta maupun pemerintah akan berupaya dan berorientasi pada tujuan jangka panjang yaitu berkembangnya organisasi yang diindikasikan dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kinerja Kinerja menurut Soetjipto (1997) merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN : 107). Mathis dan Jackson (2006 : 98) menyatakan kepuasan kerja adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Inovatif Kerja 1. Definisi Perilaku Inovatif Kerja West dan Farr (dalam West, 2006) mengatakan inovasi bisa diartikan sebagai pengenalan dan pengaplikasian ide, proses,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menghadapi persaingan di era globalisasi perusahaan dituntut untuk bekerja lebih efisien dan efektif. Persaingan yang semakin ketat menyebabkan perusahaan dituntut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efektivitas Kinerja. sesuatu yang tepat ( Stoner, 1996). Menurut Yukl (1994) efektivitas diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efektivitas Kinerja. sesuatu yang tepat ( Stoner, 1996). Menurut Yukl (1994) efektivitas diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Kinerja 1. Pengertian Efektivitas (efectiveness) secara umum dapat diartikan melakukan sesuatu yang tepat ( Stoner, 1996). Menurut Yukl (1994) efektivitas diartikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Manajemen SDM Dewasa ini dalam dunia praktik, manajer SDM semakin terlibat dalam komite strategis untuk menentukan arah strategis perusahaan. Manajemen SDM telah menjadi

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. sumbernya. Dalam hal ini diperoleh dari responden yang menjawab pertanyaan

III. METODELOGI PENELITIAN. sumbernya. Dalam hal ini diperoleh dari responden yang menjawab pertanyaan 43 III. METODELOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data 3.1.1 Data Primer Data yang dikelompokan melalui penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Dalam hal ini diperoleh dari responden

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pendahuluan Bab ini berisi uraian berbagai teori tentang kepuasan kerja yang menjadi dasar dalam penelitian ini. Pertama-tama akan dibahas tentang kepuasan kerja, kemudian diikuti

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja

Lebih terperinci

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi

BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi BAB II TELAAH LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Path Goal Theory Path-goal theory menjelaskan dampak gaya kepemimpinan pada motivasi bawahan, kepuasan dan kinerjanya (Luthans, 2006) dan

Lebih terperinci

PERTEMUAN 13 dan 14: KEPEMIMPINAN. DIKTAT KULIAH: TEORI ORGANISASI UMUM 1 Dosen: Ati Harmoni 1

PERTEMUAN 13 dan 14: KEPEMIMPINAN. DIKTAT KULIAH: TEORI ORGANISASI UMUM 1 Dosen: Ati Harmoni 1 Dosen: Ati Harmoni 1 PERTEMUAN 13 dan 14: KEPEMIMPINAN TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah memelajari Bab ini mahasiswa dapat memahami tentang teori dan tipe kepemimpinan SASARAN BELAJAR: Setelah memelajari Bab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian suatu proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat. modal, bahan-bahan mentah, tenaga kerja dan waktu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian suatu proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat. modal, bahan-bahan mentah, tenaga kerja dan waktu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proyek Konstruksi Pengertian suatu proyek adalah kegiatan-kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dalam satu bentuk kesatuan dengan menggunakan sumber daya untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepuasan Kerja Wexley dan Yukl mengartikan kepuasan kerja sebagai the way an employee feels about his or her job. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah cara pegawai merasakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB 2 LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bidang strategi dari organisasi. Manajemen sumber daya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja didefinisikan dengan sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang mendasari penelitian ini. Kajian pustaka memberikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DEFINISI DAN PENGUKURAN KEPUASAN KERJA

BAB II LANDASAN TEORI DEFINISI DAN PENGUKURAN KEPUASAN KERJA BAB II LANDASAN TEORI 2.1 KEPUASAN KERJA 2.1.1. DEFINISI DAN PENGUKURAN KEPUASAN KERJA Kepuasan kerja adalah suatu sikap yang dipunyai individu mengenai pekerjaanya. Hal ini dihasilkan dari persepsi mereka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Telah kita ketahui bersama bahwa manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam kegiatan suatu organisasi, karena manusia sebagai perencana,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tahap-Tahap Penelitian Proses penelitian merupakan suatu proses dimana antara satu tahap dengan tahap yang lain saling terkait sehingga menjadi sebuah susunan yang sistematik.

Lebih terperinci

LEADERSHIP DI SUSUN OLEH : HARRY SATRIA PUTRA ERPEN JUANDA

LEADERSHIP DI SUSUN OLEH : HARRY SATRIA PUTRA ERPEN JUANDA LEADERSHIP DI SUSUN OLEH : HARRY SATRIA PUTRA 112.6211.060 ERPEN JUANDA 112.6211.068 Manajer Vs Pemimpin Manajer Ditunjuk untuk posisinya. Dapat mempengaruhi didasarkan pada wewenang formal yang melekat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 PRODUKTIVITAS KERJA 1.1.1 Pengertian Produktivitas Kerja Produktivitas kerja adalah suatu ukuran dari pada hasil kerja atau kinerja seseorang dengan proses input sebagai masukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kepada keputusan-keputusan, peraturan-peraturan dan nilai-nilai tinggi dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kepada keputusan-keputusan, peraturan-peraturan dan nilai-nilai tinggi dari BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Disiplin Kerja 2.1.1 Pengertian Disiplin Kerja Disiplin Kerja adalah suatu kekuatan yang berkembang di dalam tubuh pekerja sendiri dan menyebabkan dia dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap masa depan kemudian mereka menyatukan orang dengan. Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwasanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap masa depan kemudian mereka menyatukan orang dengan. Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwasanya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepemimpinan Menurut Robbins (2008:93) kepemimpinan menyangkut hal mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan kemudian

Lebih terperinci

Kepemimpinan PRESENTED BY: M ANANG FIRMANSYAH

Kepemimpinan PRESENTED BY: M ANANG FIRMANSYAH Kepemimpinan PRESENTED BY: M ANANG FIRMANSYAH Arti kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi sekelompok anggota agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran Teori Kepemimpinan Teori Sifat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. muka bumi, manusia juga merupakan makhluk yang penuh dengan rencana,

BAB 1 PENDAHULUAN. muka bumi, manusia juga merupakan makhluk yang penuh dengan rencana, BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah khalifah yang menjadi penguasa dan pengelola di muka bumi, manusia juga merupakan makhluk yang penuh dengan rencana, namun sebagai seorang manusia tentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Divisi Regional Wilayah Barat Medan. Hasil penelitian menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Divisi Regional Wilayah Barat Medan. Hasil penelitian menunjukkan 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu 1. Panggaribuan (2008) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Motivasi Kerja Pegawai Pada PT. Indosat, Tbk. Divisi Regional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompensasi 2.1.1 Pengertian Kompensasi Menurut Rachmawati (2007:146) kompensasi adalah keseluruhan balas jasa yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa dari pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Lamba dan Choudary (2013) menyebutkan bahwa komitmen adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Lamba dan Choudary (2013) menyebutkan bahwa komitmen adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Komitmen organisasional Lamba dan Choudary (2013) menyebutkan bahwa komitmen adalah semacam ikatan antara karyawan dan

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia. pada bidang sumber daya manusia yang tidak lagi dianggap sebagai faktor

II. LANDASAN TEORI. 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia. pada bidang sumber daya manusia yang tidak lagi dianggap sebagai faktor 17 II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen sumber daya manusia secara khusus menitikberatkan perhatiannya pada bidang sumber daya manusia yang tidak lagi dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya tidak dapat dilepaskan dari peran pemimpinnya. Dalam suatu perusahaan, seorang pemimpin bukan semata-mata sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugastugas yang menjadi tanggung jawab guru tersebut secara tepat waktu, disamping

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pegawai Honorer Menurut Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2005 dalam Diantari (2013:51) menyebutkan bahwa tenaga honorer adalah Seseorang yang diangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya pada sektor usaha yang berorientasi pada laba, sektor pendidikan juga

BAB I PENDAHULUAN. hanya pada sektor usaha yang berorientasi pada laba, sektor pendidikan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Semua organisasi pasti memerlukan manajemen yang berkaitan dengan usaha usaha untuk mencapai tujuan tertentu bagi organisasi tersebut. Tidak hanya pada sektor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan ritel (eceran) merupakan bagian yang penting dalam kehidupan perokonomian suatu negara, terutama dalam proses distribusi barang dan jasa dari produsen ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan terjadi di hari esok, segalanya serba tak menentu, akan tetapi kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. akan terjadi di hari esok, segalanya serba tak menentu, akan tetapi kondisi ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Belakangan ini, lingkunagn bisnis mengalami perubahan yang sangat cepat. Globalisasi, libealisasi perdagangan, dan kemajuan teknologi informasi menciptakan realitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dengan seefektif mungkin. suatu tujuan perusahaan. Pengertian kepemimpinan adalah kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dengan seefektif mungkin. suatu tujuan perusahaan. Pengertian kepemimpinan adalah kemampuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan, yaitu mengoptimalkan laba.

Lebih terperinci

Interpersonal Communication Skill

Interpersonal Communication Skill Modul ke: Interpersonal Communication Skill Perkenalan Mata Kuliah, Kontrak Belajar dan Pemahaman Soft Skill November 2016 Fakultas Ilmu Komunikasi Gadis Octory, S.Ikom, M.Ikom Program Studi Periklanan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sumber daya manusia dan sumber daya yang lainnya secara efektif dan efisien. untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

BAB II LANDASAN TEORI. sumber daya manusia dan sumber daya yang lainnya secara efektif dan efisien. untuk mencapai suatu tujuan tertentu. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya yang lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk ativitas. Brahmasari (2004) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Setiap organisasi atau perusahaan pada umumnya memiliki tujuan-tujuan tertentu, dimana tujuan tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. ketidakpuasannya akan pekerjaannya saat ini. Keinginanan keluar atau turnover BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Turnover Intention Keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan yakni mengenai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi

Lebih terperinci

PENDEKATAN STUDI KEPEMIMPINAN

PENDEKATAN STUDI KEPEMIMPINAN PENDEKATAN STUDI KEPEMIMPINAN PENDEKATAN UNTUK MEMPELAJARI KEPEMIMPINAN Fred E. Fiedler dan Martin M. Chamars, dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Leadership in Effectives Management mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompensasi Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Handoko, 2001:155). Masalah kompensasi merupakan fungsi manajemen

Lebih terperinci

pengaruh variabel bebas (X1, dan X2) adalah besar terhadap adalah kecil terhadap variabel terikat (Y). BAB II URAIAN TEORITIS

pengaruh variabel bebas (X1, dan X2) adalah besar terhadap adalah kecil terhadap variabel terikat (Y). BAB II URAIAN TEORITIS 3). Koefisien determinasi (R²) Koefisen determinasi digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan model dalam menerangkan variabel terikat. Jika R² semakin besar (mendekati satu), maka dapat dikatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Motivasi Terbentuknya persepsi positif pekerja terhadap organisasi, secara teoritis merupakan determinan penting terbentuknya motivasi kerja yang tinggi. Para pekerja adalah manusia

Lebih terperinci

PENDEKATAN DALAM STUDI KEPEMIMPINAN IKA RUHANA

PENDEKATAN DALAM STUDI KEPEMIMPINAN IKA RUHANA PENDEKATAN DALAM STUDI KEPEMIMPINAN IKA RUHANA Pendekatan Untuk Mempelajari Kepemimpinan 1. Pendekatan Ciri. Pendekatan ini menekankan pada atribut / sifat yang ada pada pemimpin. 2. Pendekatan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mencapai tujuan yang telah ditetapkan adalah kepuasan kerja para karyawan. Bagi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mencapai tujuan yang telah ditetapkan adalah kepuasan kerja para karyawan. Bagi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan adalah kepuasan kerja para karyawan. Bagi para pemimpin,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Gaya Kepemimpinan Fungsi kepemimpinan dalam suatu organisasi, tidak dapat dibantah merupakan suatu fungsi yang sangat penting bagi keberadaan dan kemajuan organisasi yang bersangkutan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja bukanlah berarti seberapa keras atau seberapa baik seseorang bekerja, melainkan seberapa jauh seseorang menyukai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang artinya menggerakkan (Steers

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang artinya menggerakkan (Steers BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Motivasi Kerja 1.1 Definisi Motivasi Kerja Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang artinya menggerakkan (Steers & Porter, 1975 dalam Wijono, 2010). Motivasi juga sering

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. penggerak yang mendorong perubahan organisasi. dikaji dan diteleti, karena paling sering diamati namun merupakan fenomena

BAB I. Pendahuluan. penggerak yang mendorong perubahan organisasi. dikaji dan diteleti, karena paling sering diamati namun merupakan fenomena BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Pemimpin sebagai panutan dalam organisasi, sehingga perubahan harus dimulai dari tingkat yang paling atas yaitu pemimpin itu sendiri. Maka dari itu, organisasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Setiap orang yang bekerja mengharapkan memperoleh kepuasan dari tempatnya bekerja. Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk

BAB 2. Tinjauan Pustaka. Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk BAB 2 Tinjauan Pustaka 2. Tinjauan Pustaka 2. 1 Kepuasan Kerja Setiap orang pada dasarnya orang yang bekerja mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kepemimpinan 2.1.1.1 Pengertian Kepemimpinan Menurut Stephen P. (2002:135) Dalam suatu organisasi kepemimpinan merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bagian ini akan dibahas tentang teori dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang akan mendasari penelitian ini. Pemabahasan ini akan menjadi panduan dalam memahami secara

Lebih terperinci

BAB 8 KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP)

BAB 8 KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP) BAB 8 KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP) KEPEMIMPINAN Pokok-pokok bahasan: Definisi kepemimpinan Kepemimpinan dan kekuasaan (power) Pendekatan studi kepemimpinan Pendekatan Sifat (Trait Approach) Pendekatan Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang dapat diandalkan. SDM memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang dapat diandalkan. SDM memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap organisasi atau perusahaan membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang dapat diandalkan. SDM memegang peranan yang sangat penting dalam suatu organisasi

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006:3), Manajemen Sumber Daya Manusia adalah rancangan sistem-sistem formal

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORETIS. Penelitian yang dilakukan oleh Arafah (2007) dengan judul Pengaruh

BAB II URAIAN TEORETIS. Penelitian yang dilakukan oleh Arafah (2007) dengan judul Pengaruh BAB II URAIAN TEORETIS A. Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Arafah (2007) dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Manajer Operasi terhadap Prestasi Karyawan PT. Bank Muammalat Medan. Hasil

Lebih terperinci

Analisis interaksi motivasi...puji Lestari, FPsi UI, PENDAHULUAN

Analisis interaksi motivasi...puji Lestari, FPsi UI, PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Berbagai perubahan tatanan global dalam dunia bisnis begitu berpengaruh terhadap Indonesia. Hal ini menimbulkan semangat antimonopoli dan proteksi yang memaksa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan bagian dari ilmu perilaku

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan bagian dari ilmu perilaku BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Teori Extra Role Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan bagian dari ilmu perilaku organisasi, OCB merupakan bentuk perilaku

Lebih terperinci

II. KAJIAN PUSTAKA. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak

II. KAJIAN PUSTAKA. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak 12 II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Motivasi Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak atau menggerakkan. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan sumber daya yang menggerakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Kontingensi Teori kontingensi dalam kepemimpinan pemerintah adalah salah satu teori yang berdasarkan pada tiga hal yakni hubungan atasan dengan bawahan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepuasan Kerja 2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Sunyoto (2012), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kinerja Karyawan 2.1.1 Pengertian Kinerja Karyawan Kinerja merupakan hasil atau dampak dari kegiatan individu selama periode waktu tertentu, dimana dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu yang telah lama bekerja. Mereka yang telah lama bekerja akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. individu yang telah lama bekerja. Mereka yang telah lama bekerja akan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Karir 2.1.1. Pengertian Pengembangan Karir Seorang individu yang pertama kali menerima tawaran pekerjaan akan memilki pengadaan yang berbeda tentang pekerjaan,

Lebih terperinci

MODUL KELIMA KEPEMIMPINAN. Di Susun Oleh: Erna Multahada, M.Si

MODUL KELIMA KEPEMIMPINAN. Di Susun Oleh: Erna Multahada, M.Si MODUL KELIMA KEPEMIMPINAN Di Susun Oleh: Erna Multahada, M.Si UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI JURUSAN TEKNIK INDUSTRI 2011 1 MODUL KELIMA KEPEMIMPINAN 1. Tujuan Instruksional Umum Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tenaga Kerja BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tenaga kerja adalah salah satu komponen dari perusahaan dan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam operasional perusahaan. Menurut Biro Pusat Statistik

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. Menurut Lussier (2005: 486) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi

II. LANDASAN TEORI. Menurut Lussier (2005: 486) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi 16 II. LANDASAN TEORI A. Definisi Iklim Organisasi Menurut Lussier (2005: 486) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi pegawai mengenai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pegawai jika tidak mendapatkan kepuasan dalam bekerja, akan

BAB I PENDAHULUAN. Seorang pegawai jika tidak mendapatkan kepuasan dalam bekerja, akan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seorang pegawai jika tidak mendapatkan kepuasan dalam bekerja, akan berdampak terhadap kegagalan perwujudan visi dan misi organisasi. Kepuasan kerja pegawai merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini persaingan antar perusahaan semakin ketat. Di satu pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien, dan di lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II A. LANDASAN TEORI TINJAUAN PUSTAKA 1. Gaya kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah perilaku atau cara yang dipilih dan dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap dan perilaku

Lebih terperinci

PENGARUH KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT DAN LIRIS DI SUKOHARJO

PENGARUH KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT DAN LIRIS DI SUKOHARJO PENGARUH KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT DAN LIRIS DI SUKOHARJO SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini sangat banyak merek mobil yang digunakan di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini sangat banyak merek mobil yang digunakan di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki era globalisasi ini, perkembangan perekonomian khususnya di Indonesia berkembang dengan pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya perusahaan-perusahaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wibowo (2011:501) kepuasan adalah sikap umum terhadap pekerjaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wibowo (2011:501) kepuasan adalah sikap umum terhadap pekerjaan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Wibowo (2011:501) kepuasan adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang yang menunjukkan perbedaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaya Kepemimpinan 2.1.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan pada dasarnya sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin yang menyangkut kemampuannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Penelitian Uraian 1. Judul Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu digunakan sebagai landasan dalam menyusun penelitian saat ini. Penelitian terdahulu dalam penelitian ini dijelaskan pada tabel 2.1 sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Ada berberapa pendapat para ahli mengenai pengertian manajemen sumber daya manusia seperti: Menurut Hasibuan (2013:10), Manajemen Sumber

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. untuk melakukan atau bertindak sesuatu. Keberadaan pegawai tentunya

BAB II KAJIAN TEORI. untuk melakukan atau bertindak sesuatu. Keberadaan pegawai tentunya BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pengertian Motivasi Kerja Motivasi adalah proses seseorang untuk mendorong mereka melaksanakan sesuatu yang telah ditetapkan. Sedangkan motivasi kerja adalah keinginan yang timbul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa ini setiap perusahaan harus lebih mampu berkompetisi dan bersaing

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa ini setiap perusahaan harus lebih mampu berkompetisi dan bersaing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa ini setiap perusahaan harus lebih mampu berkompetisi dan bersaing dengan perusahaan lain. Keberhasilan suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada manajemen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja menurut Martoyo (2004:132) adalah keadaan emosional karyawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan kerja menurut Martoyo (2004:132) adalah keadaan emosional karyawan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja menurut Martoyo (2004:132) adalah keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan pekerjaannya. Manusia sebagai tenaga kerja haruslah

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan pekerjaannya. Manusia sebagai tenaga kerja haruslah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manajemen sumber daya manusia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perusahaan untuk mencapai tujuannya. Sumber daya manusia terdiri dari orang-orang yang ada

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Manajemen Robbins & Coulter (2011) manajemen melibatkan aktivitas aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. Newstrom (dalam Arijanto, 2011:1) mengemukakan bahwa job satisfaction is the

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. Newstrom (dalam Arijanto, 2011:1) mengemukakan bahwa job satisfaction is the 2.1 Kajian Teoretis BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1.1 Kepuasan Kerja Guru Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang menunjukkan sikap positif atas hasil yang dicapai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori motivasi Vroom (1964) Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa seseorang tidak akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam komponen yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan perusahaan. Komponen-komponen yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bekerja merasa kebutuhannya sudah terpenuhi,maka akan timbul kepuasan bekerja dalam diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bekerja merasa kebutuhannya sudah terpenuhi,maka akan timbul kepuasan bekerja dalam diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KEPUASAN KERJA 2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja Manusia dalam hidup mempunyai kebutuhan mendasar yang tidak mungkin dapat dihilangkan, karena kebutuhan tersebut mendasari perilaku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013) 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komitmen Organisasional 2.1.1. Pengertian Komitmen Organisasional Komitmen organisasional adalah tingkat sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II KERANGKA TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Model Penelitian Terdahulu Tanveer et al., (2011) melakukan penelitian tentang hubungan antara praktek sumber daya manusia dan kinerja karyawan pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. persaingan bisnis di dunia semakin terbuka. Setiap perusahaan harus bersaing

BAB 1 PENDAHULUAN. persaingan bisnis di dunia semakin terbuka. Setiap perusahaan harus bersaing 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini kita hidup di era globalisasi, suatu era yang membuat persaingan bisnis di dunia semakin terbuka. Setiap perusahaan harus bersaing secara terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk berbenah diri untuk bisa menangkap peluang dan menyesuaikan diri dari

BAB I PENDAHULUAN. untuk berbenah diri untuk bisa menangkap peluang dan menyesuaikan diri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi menyebabkan persaingan bisnis menjadi semakin kompetitif sehingga mengakibatkan perubahan lingkungan bisnis dan organisasi berjalan sangat cepat

Lebih terperinci