DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI DAFTAR ISI KATA PENGANTAR"

Transkripsi

1

2

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tentang Buku Ini... 7 C. Metodologi... 8 D. Struktur Buku BAB II PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH: KERANGKA TEORETIK A. Kewajiban Negara dalam Pemenuhan Hakhak Ekonomi, Sosial dan Budaya B. Hak atas Pendidikan (1) Instrumen Internasional (2) Instrumen Nasional (3) Indikator (a) Ketersediaan (availability) (b) Keterjangkauan (accessibility) (c) Keberterimaan (acceptability) (d) Kebersesuaian (adaptability) C. Hak atas Perumahan (1) Instrumen Internasional (2) Instrumen Nasional (3) Indikator (a) Keamanan Hukum Kepemilikan (security of legal tenure) (b) Aksesibilitas (accessibility) (c) Keterjangkauan Biaya (affordability) (d) Layak Huni (habitalitity) (e) Lokasi (f) Kelayakan Budaya ii iii

4 D. Otonomi Daerah dan Desentralisasi E. Monitoring dan Advokasi oleh Masyarakat Sipil...77 BAB III ANALISIS SITUASI PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN DI KOTA LHOKSEUMAWE DAN KABUPATEN ACEH UTARA, NANGRO ACEH DARUSSALAM...81 A. Data Umum Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara (1) Letak Geografis (2) Data Demografis (3) Kondisi Sosial Ekonomi (4) Kondisi Politik B. Kondisi Umum Pemenuhan Hak atas Pendidikan dan Perumahan...87 (1) Hak atas Pendidikan (a) Infrastruktur Pendidikan di Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe (b) Tingkat partisipasi pendidikan (c) Angka putus sekolah (d) Sketsa Kasus...96 (2) Hak atas Perumahan...99 (a) Review atas Kebijakan Tata Ruang...99 (b) Angka Alih Fungsi Lahan Dari Pertanian, Sawah Untuk Perumahan (c) Korelasi Tingkat Pertumbuhan Penduduk Dengan Penyediaan Lahan Untuk Perumahan (d) KasusKasus Perumahan C. Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah (1) Review Atas Kebijakan dan Regulasi Daerah (a) Kebijakan Pendidikan (i) Pemerataan dan Perluasan Akses (ii) Mutu, Relevansi, dan Daya Saing iv (iii) Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik (iv) Penerapan Sistem Pendidikan Bernuansa Islami (b) Kebijakan Perumahan (2) LangkahLangkah Legislasi (3) Alokasi Anggaran D. Monitoring dan Advokasi oleh Civil Society E. Peran Pengadilan BAB IV ANALISIS SITUASI PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN DI KABUPATEN SLEMAN, KOTA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA A. KABUPATEN SLEMAN (1) Data Umum Daerah (a) Letak Geografis (b) Data Demografis (c) Kondisi Sosial Ekonomi (d) Kondisi Politik dan Pemerintahan (2) Kondisi Umum Pemenuhan Hak atas Pendidikan dan Perumahan (a) Hak atas Pendidikan (i) Infrastruktur Pendidikan (ii) Tingkat Partisipasi Pendidikan (iii) Angka Putus Sekolah (iv) Fasilitas Pendidikan (v) Korupsi: Tindakan Amoral Pencurian Hak Anak (b) Hak atas Perumahan (I) Kebijakan Pemerintah Daerah tentang Hak Atas Perumahan (ii) Angka alih fungsi lahan dari pertanian dan sawah untuk perumahan (3) Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Bidang Pendidikan dan Perumahan v

5 (a) Review atas Kebijakan dan Regulasi Daerah (b) Alokasi Anggaran (4) Monitoring dan Advokasi oleh Civil Society (5) Peran Pengadilan B. KOTA YOGYAKARTA (1) Data Umum Kota Yogyakarta (a) Letak Geografis (b) Kondisi Sosial Ekonomi (i) Jumlah Penduduk (ii) Perekonomian (iii) Tenaga Kerja (iv) Pendidikan (c) Pemerintahan (2) Kondisi Umum Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan (a) Hak Atas Pendidikan (i) Infrastruktur Pendidikan (ii) Tingkat Partisipasi Pendidikan (iii) Angka Putus Sekolah (iv) Sketsa Kasus (b) Hak Atas Perumahan (i) Review atas Perda Tata Ruang (ii) Angka Alih Fungsi Lahan dari Pertanian dan Sawah untuk Perumahan (iii) Korelasi Tigkat Pertumbuhan Penduduk dengan Penyediaan Lahan Untuk Perumahan (3) Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan (a) Review atas Kebijakan dan Regulasi (b) Alokasi Anggaran (4) Monitoring dan Advokasi oleh Masyarakat Sipil C. KABUPATEN BANTUL (1) Data Umum Daerah (a) Letak Geografis vi (b) Gambaran Umum Demografis (i) Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk (ii) Penduduk Miskin (iii) Indeks Pembangunan Manusia (c) Kondisi Sosial Ekonomi (i) Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (ii) Keuangan Daerah (2) Kondisi Umum Pemenuhan Hak atas Pendidikan dan Perumahan (a) Hak atas Pendidikan (i) Infrastruktur Pendidikan (ii) Tingkat Partisipasi Pendidikan (iii) Pemerataan Pendidikan (3) Hak Atas Perumahan (4) Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Hak atas Pendidikan dan Perumahan (a) Review atas Kebijakan dan Regulasi (b) Alokasi Anggaran (5) Monitoring dan Advokasi oleh Masyarakat Sipil (6) Peran Pengadilan BAB V ANALISIS SITUASI PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN HAK ATAS PERUMAHAN DI KOTA TARAKAN DAN KABUPATEN BULUNGAN, KALIMANTAN TIMUR A. KOTA TARAKAN (1) Data Umum Daerah (a) Letak Geografis (b) Data Demografis (c) Kondisi Sosial Ekonomi (d) Kondisi Politik dan Pemerintahan (2) Kondisi Umum Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan (a) Hak Atas Pendidikan vii

6 (i) Infrastruktur Pendidikan Di Kota Tarakan (ii) Tingkat Partisipasi Pendidikan di Kota Tarakan (iii) Angka Putus Sekolah (iv) Sketsa Kasus (b) Hak Atas Perumahan (i) Review Terhadap Perda Tata Ruang Kota Tarakan (ii) Alih Fungsi Lahan Dari Pertanian, Sawah Untuk Perumahan di Kota Tarakan (iii) Korelasi Tingkat Pertumbuhan Penduduk Dengan Penyediaan Lahan Untuk Perumahan (iv) Sketsa Kasus (3) Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan (a) Review Kebijakan dan Regulasi Kota Tarakan yang Berkaitan dengan Pendidikan dan Perumahan (b) LangkahLangkah Legislasi (c) (regelling dan beschiking) Alokasi Anggaran Pendidikan dan Perumahan di Kota Tarakan (4) Monitoring dan Advokasi Oleh Civil Society (5) Peran dan Putusan Pengadilan B. KABUPATEN BULUNGAN (1) Data Umum Daerah (a) Letak Geografis (b) Data Demografis (c) Kondisi Sosial Ekonomi (d) Kondisi Politik dan Pemerintahan (2) Kondisi Umum Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Kabupaten Bulungan (a) Hak Atas Pendidikan (i) Infrastruktur Pendidikan Di Kabupaten Bulungan (ii) Tingkat Partisipasi Pendidikan di Kabupaten Bulungan (iii) Angka Putus Sekolah (iv) Sketsa Kasus (b) Hak Atas Perumahan di Kabupaten Bulungan (i) Review Terhadap Perda Tata Ruang Kabupaten Bulungan (ii) Alih Fungsi Lahan Dari Pertanian, Sawah Untuk Perumahan di Kabupaten Bulungan (iii) Korelasi Tingkat Pertumbuhan Penduduk Dengan Penyediaan Lahan Untuk Perumahan (iv) KasusKasus Yang Berkaitan Dengan Perumahan di Kabupaten Bulungan (3) Komitmen dan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan (a) Review atas Kebijakan dan Regulasi Kabupaten Bulungan yang berkaitan dengan Pendidikan dan Perumahan (b) LangkahLangkah Legislasi (c) (regelling dan beschiking) Alokasi Anggaran Pendidikan dan Perumahan di Kabupaten Bulungan (4) Monitoring dan Advokasi Oleh Civil Society (5) Peran dan Putusan Pengadilan BAB VI KESIMPULAN A. Situasi Pemenuahan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Nanggroe Aceh Darussalam B. Situasi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Daerah Istimewa Yogyakarta C. Situasi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan di Kalimantan Timur DAFTAR PUSTAKA DAFTAR SINGKATAN viii ix

7 PENGANTAR PENERBIT Puji Syukur ke hadirat Allah swt atas izinnya sehingga hasil penelitian ini dapat diterbitkan menjadi sebuah buku yang bisa hadir di tengahtengah pembaca yang budiman. Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan publikasi hasil penelitian yang berjudul Status dan Kondisi Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan Di Aceh, Yogyakarta dan Kalimantan Timur. Penelitian ini dilakukan untuk menguji sejauh mana komitmen pemerintah daerah setelah diberlakukannya otonomi daerah dalam melaksanakan kewajiban pemenuhan hakhak ekonomi, social dan budaya masyarakat. Penelitian ini menjadi sesuatu yang menarik karena dilakukan di tiga wilayah yang berbeda dengan basis ekonomi, social dan budaya yang juga berbedabeda. Wilayah Aceh merepresentasikan wilayah yang cukup kaya, namun baru selesai menghadapi persoalan serius yaitu konflik yang sedemikian panjang dan terjadinya bencana tsunami. Status sebagai daerah otonom dengan disahkannya UU No. 11 Tahun 2006 memberikan implikasi luar biasa pada sistem pemerintahan dan sistem sosial budayanya. Sayangnya hasil penelitian yang dilakukan di Aceh tidak memberikan warna yang berbeda. Nuansa unifikasi kebijakan masih sangat terlihat dan akhirnya hasil penelitiannya memperlihatkan situasi yang tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah lain. Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih untuk mewakili daerah dengan situasi tengah. Dikenal sebagai kota pendidikan, daerah yang aman, masyarakatnya toleran namun pendapatan daerah sangat kecil. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata tidak terlalu memiliki kebijakan yang berbeda dengan daerah lain terutama berkaitan dengan kebijakan pendidikan. Anggaran pendidikan pada APBD telah melebihi target 20% seperti yang diamanatkan oleh UndangUndang Dasar namun hampir semuanya habis digunakan untuk biaya operasional administratif semata. Kalimantan Timur dipilih untuk mewakili daerah yang kaya akan sumber daya ekonomi. Pertanyaan yang ingin dijawab antara lain apakah ada perbedaan yang signifikan antara daerah yang kaya dan daerah yang tergolong miskin sumber daya ekonomi. Setelah dilakukan penelitian, hasilnya ternyata tidak terlalu jauh berbeda dengan daerah yang lain. Alokasi APBD untuk pendidikan telah dianggarkan sebanyak 20% lebih, namun semuanya habis untuk biaya operasional administratif sebagaimana yang terjadi di daerah yang lain. Sehingga tujuan semula untuk mencari kondisi yang berbeda antar berbagai daerah tersebut tidak sepenuhnya dapat dicapai. Penelitian ini dilakukan oleh tiga tim yang meneliti di masingmasing wilayah. Wilayah Aceh, penelitian dilakukan oleh Mirza Alfath, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Aceh. Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta penelitian dilakukan oleh tim dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia yaitu Supriyanto Abdi, M.A., Eko Riyadi, S.H. dan Imran, S.H., M.Hum. Sedangkan Wilayah KIalimantan Timur, penelitian dilakukan oleh Yahya A. Zein, S.H., M.H. dosen pada Fakultas Hukum Universitas Borneo. Oleh karenanya kami mengucapkan terimakasih kepada para peneliti yang telah merampungkan penelitian ini dengan baik. Kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, para hakim di berbagai Pengadilan Negeri dan jajaran pemerintah daerah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta, jajaran pemerintah daerah Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Tarakan di Daerah Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe di Nangro Aceh Darussalam kami mengucapkan terimakasih atas kesediaannya untuk dijadikan narasumber pada penelitian kami ini. Mohon buku ini x xi

8 dijadikan bahan otokritik bagi kita semua dengan harapan ke depan akan semakin lebih baik. Secara khusus kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Soetandyo Wignyosoebroto yang telah berkenan memberikan pengantar pada buku ini sehingga mampu memberikan bobot tambahan tersendiri bagi buku ini. Terakhir, sebagai Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, saya mengucapkan terimakasih kepada Director of Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway yang telah memberikan dukungan sedemikian besar sehingga penelitian ini dapat dilakukan hingga hasilnya dapat diterbitkan menjadi buku ini. Terimakasih juga saya ucapkan kepada segenap tim PUSHAM UII dan semua pihak atas berbagai perannya sehingga buku ini dapat diterbitkan. Semoga buku ini dapat bermanfaat. Terimakasih. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. Direktur PUSHAM UII Yogyakarta KATA PENGANTAR Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Bukanlah Kebaikan Pemerintah, Melainkan Hak Rakyat Yang Harus Dipenuhi Pemerintah Buku yang tengah Bapak/Ibu pegang dan baca kali ini adalah buku yang hendak mengetengahkan persoalan hakhak asasi manusia (HAM). Adapun yang dimaksudkan dengan 'hak asasi manusia' itu, dalam definisinya yang umum, tak lain daripada seluruh hak yang melekat pada diri manusia berkat kodrat kelahirannya, pertamatama berkenaan dengan kelestarian hidup dan kebebasannya sebagai wargamasyarakat dan warganegara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan kemudian daripada itu juga untuk mengupayakan serta memperoleh kesejahteraannya di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam berbagai wacana, hak asasi manusia tersebut pertama disebut dengan akronim hakhak sipil dan politik (sipol), sedangkan yang tersebut kedua disebut dengan akronim hakhak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Menilik isinya, buku yang berjudul Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Perumahan di Era Otonomi Daerah: Analisis Dari Tiga Daerah ini akan lebih berkonsentrasi pada hakhak ekosob, khususnya seperti yang tertera di judul buku dalam ihwal pemenuhan hak rakyat atas perumahan dan pendidikan. Walaupun tak hendak memaparkan seluruh persoalan hak asasi manusia, pilihan persoalan yang tengah dikemukakan dalam buku ini, sebagaimana yang dipercontohkan oleh hasil penelitian di dan dari tiga daerah, amatlah bermakna. Dikemukakan dalam buku ini sederet fakta betapa kerja merealisasi hak ekosok di negerinegeri berkembang tidaklah semudah menggagas, membicarakan dan menuliskannya ke dalam risalah atau rencana kerja. Selama hak ekosob tetap dianggap sebagai kewenangan pemerintah dan bukan sebagai xii xiii

9 hak rakyat yang asasi, maka masalah akan tetap saja timbul. Sesungguhnya sudah pada tahun 2005 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui UndangUndang No. 11 Tahun Dengan demikian, pemerintah Indonesia di tingkat pusat ataupun daerah akan berkewajiban menurut hukum untuk dengan segera mengambil langkah yang diperlukan guna merealisasi terwujudnya kesejahteraan ekosob sebagaimana yang telah dijanjikan oleh kovenan internasional dan hukum perundangan nasional. Sejelas itu isi pasal di dalam aturan hukumnya, namun demikian, selama pejabat pemerintah di pusat dan di daerah tidak menyadari upaya realisasi kesejahteraan sebagai hak rakyat, melainkan sebagai kewenangan pemerintah untuk antara lain menentukan skala prioritas dan waktu pelaksanaannya, maka perintah hukum untuk dengan segera mengambil langkah... tidaklah akan demikian saja akan direspons. Sementara itu, di lain pihak, apabila wargamasyarakat pun terlanjur tersosialisasi dan/atau terindoktrinasi bahwa apapun yang dikerjakan oleh pemerintah dalam era pembangunan itu sesungguhnya merupakan kewenangan pemerintah demi kepentingan nasional, maka, alihalih menyadari hakhaknya, massa rakyat justru terlanjur tahu diri untuk ikut berkorban demi kejayaan nusa dan bangsa. Apabila dalam proses pembangunan ada setetes dua tetes hasil pembangunan yang didistribusikan dalam bentuk layananlayanan publik, rakyat pun sudah terlanjur dibikin percaya bahwa semua yang mereka terima itu adalah berkah kebaikan para pejabat yang tahu berzakat; dan bahwa sesungguhnya yang mereka terima itu bukan sekalikali berpenanda sebagai hak mereka yang dijamin dan dilindungi oleh hukum, melainkan berpenanda sebagai budi baik para pejabat yang menyayangi rakyatnya. Buku ini secara eksplisit maupun implisit berkehendak untuk mengajak para pembaca melihat dan menilai sejauh mana pemerintah pengemban kekuasaan negara telah berupaya memenuhi kewajibannya, untuk secara bertahap namun segera, merealisasi hakhak ekosok rakyat. Dikatakan oleh penyusun buku ini bahwa ada dua indikator utama yang diperlukan untuk melihat kesungguhan usaha pemerintah itu, yakni komitmen dan taraf kekuatan sumberdaya finansialnya. Namun dalam hubungan ini perlu diingat, bahwa sesungguhnya dalam persoalan hakhak ekosob yang asasi bagi rakyat itu, kewajiban pemerintah bukanlah mengerahkan sumberdaya untuk sepenuhnya memberikan (!) melainkan hanya untuk membangun infrastruktur publik (!). Dana anggaran tidak untuk diobral dan dibagikan cumacuma melainkan untuk membangun infrastruktur, demikian rupa agar wargamasyarakat secara bebas mendapatkan peluang yang luas berkat terbangunnya infrastruktur yang baik itu untuk berusaha memperoleh kesejahteraannya. Maka yang menjadi persoalan di sini ialah kewajiban dan komitmen pejabat pemerintahan, tidak untuk berzakatzakat melainkan untuk membangun infrastruktur yang memudahkan rakyat dalam usahausaha mereka, yang bebas dan mandiri, tatkala mengupayakan kesejahteraannya. Buku tentang potret keadaan faktual dari tiga daerah, yang berkisah tentang pemenuhan hak rakyat atas pendidikan untuk anakanak mereka dan atas perumahan untuk keluarganya berikut ini, sebenarnya juga hendak lebih lanjut lagi mengajak para pembaca untuk menelaah, mengkritik dan ikut mencari solusi. Solusi tidak seyogyanya kalau hanya akan berarah ke saransaran untuk menggerakkan kampanye guna menggugah komitmen para pejabat, khususnya dalam hal perencanaan dan pengalokasian anggaran yang people centered. Solusi mestilah juga berarah ke gerakan sosial macam lain, ialah yang berarah ke upaya pemberdayaan rakyat. Sesungguhnya komitmen para pejabat itu tidak hanya harus digugah, akan tetapi juga harus didesak. Maka, akhirakhir ini, kecuali mengembangkan tekanan opini guna mengubah perilaku konservatif para pejabat, gerakan sosialxiv xv

10 politik juga dibangun untuk menggugah kesadaran rakyat bukan pertamatama untuk menyadari kewajiban hukumnya melainkan pertama kesadaran akan hakhak mereka di hadapan kekuasaan negara dan para pejabatnya. Hanya rakyat yang tahu posisi dan keberdayaannya dalam percaturan hukum yang akan memperoleh respek dari para pejabat pemerintahan. Akhirulkalam, buku yang tengah berada di tangan para pembaca ini sesungguhnya tidak harus dimaknakan secara terbatas sebagai tambahan bacaan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merupakan buku pencerahan yang berguna baik bagi mereka yang tengah dipercaya mengemban kewajiban untuk mengelola kekuasaan pemerintahan dengan cara yang baikbaik, maupun bagi rakyat yang masih perlu disadarkan hakhaknya untuk berpikir, beranalisis dan berwacana guna menemukan solusi; suatu solusi yang tidak hanya tertuju demi kemajuan nusa dan bangsa, akan tetapi juga untuk dan demi kesejahteraan wargabangsanya. Surabaya, 03 Agustus 2009 Soetandyo Wignjosoebroto xvi xvii

11 A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Tidak berbeda dengan hakhak sipil dan politik, hakhak ekonomi, sosial dan budaya merupakan bagian yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional; dua kelompok hak tersebut samasama menjadi bagian dari the international bill of human rights. Sebagai bagian dari the international bill of human rights, kedudukan hakhak ekonomi, sosial dan budaya dengan demikian sangat penting dalam hukum hak asasi manusia internasional dan tidak dapat 1 ditempatkan di bawah hakhak sipil dan politik. Pengakuan normatif terhadap hakhak ekonomi, sosial dan budaya itu diwujudkan dengan positifikasi hakhak tersebut ke dalam bentuk perjanjian multilateral (treaty). Rumusannya tertuang dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1966 bersamasama dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Hingga saat ini, setidaknya sudah 150 negara yang menjadi Negara Pihak Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan 2 Budaya (KIHESB) ini. Tingginya tingkat ratifikasi terhadap Kovenan menunjukkan bahwa Kovenan ini memiliki karakteristik universalitas yang sangat kuat. Sebagian ahli hukum hak asasi manusia internasional bahkan menganggap perjanjian dengan karakter seperti ini telah memiliki kedudukan sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang mengikat setiap negara 3 dengan atau tanpa ratifikasi. Pembahasan dari sudut hukum ini menunjukkan kesamaan kedudukan hukum antara hakhak ekonomi, sosial dan budaya dan hakhak sipil dan politik, tetapi persepsi atau pandangan yang berkembang mengenai hakhak ekonomi, sosial dan budaya menunjukkan realitas yang lain; hakhak ini diposisikan dalam kedudukan yang tidak berimbang dengan hakhak sipil dan politik. Dalam waktu yang lama telah berkembang persepsi yang menyangkal keberadaan hakhak ekonomi, sosial dan budaya ini dalam rezim hukum hak asasi manusia karena hakhak ini tidak dianggap sebagai benar 4 benar hak (not really right). Kalaupun dianggap sebagai hak, hakhak ekonomi, sosial dan budaya cenderung diaggap sebagai hak yang tidak menuntut pemenuhan dengan segera karena ia sangat terkait dengan tingkat ketersediaan sumber daya setiap negara yang berbedabeda. Formulasi yang berbeda tentang kewajiban negara dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) biasanya dijadikan alasan pembedaan ini. Dalam Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) dinyatakan bahwa: 1 2

12 Setiap negara peserta Kovenan berjanji untuk mengambil langkahlangkah, baik secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya bantuan teknis dan ekonomi, sampai maksimum sumberdaya yang ada (to maximum available resources), dengan maksud untuk mencapai secara bertahap perwujudan penuh (progressive realization) hak yang diakui dalam Kovenan dengan menggunakan semua sarana yang memadai (all appropriate means), termasuk pengambilan langkahlangkah legislatif. Frase maximum available resources dan progressive realization yang terdapat dalam Kovenan tersebut seringkali disalah artikan sebagai dasar argumen bahwa pemenuhan hakhak ekonomi sosial dan budaya akan terwujud setelah atau apabila suatu negara telah mencapai tingkat perkembangan ekonomi tertentu. Kajiankajian mutakhir menunjukkan bahwa anggapan 5 tersebut tidak berdasar. Pasal 2 Kovenan di atas memang tidak dirumuskan secara ketat, sehingga seringkali diartikan secara negatif seakan hakhak ekonomi, sosial dan budaya bukan hak asasi manusia. Namun demikian, rumusan itu sesungguhnya tidak menghilangkan karakter hak asasi dari 6 hakhak ekonomi, sosial budaya. Lebih dari itu sudah ada berbagai upaya dan dokumen yang menjelaskan kandungan hak tersebut. Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB, misalnya, telah menguraikan lingkup kewajiban negara dalam General Comment (Komentar Umum) No. 3, masyarakat akademik juga mencoba mendefinisikan dalam Limburg 7 Principles (PrinsipPrinsip Limburg) dan Maastricht 8 Guideline (Panduan Maastricht). Di samping itu Pelapor Khusus, Danilo Turk, telah merumuskan sejumlah postulat dasar pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya, di antaranya adalah bahwa ketersediaan sumber daya tidak bisa menjadi alasan untuk menjamin pemenuhan hakhak 9 ekonomi, sosial dan budaya. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan rumusan dalam Kovenan tersebut adalah kewajiban semua negara peserta untuk mewujudkan hakhak ekonomi, sosial dan budaya, terlepas dari tingkat perkembangan ekonominya atau tingkat kekayaan nasionalnya. Rumusan dalam kovenan itu tidak bisa diartikan sebagai memberi peluang negaranegara untuk menunda usahanya tanpa batas waktu tertentu untuk menjamin realisasi hak yang digariskan dalam kovenan. Rumusan tersebut justru mewajibkan negara untuk bergerak secepat mungkin ke arah pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Kewajiban negaranegara peserta untuk merealisasikan hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan demikian, tidak tergantung pada tingkat ketersediaan sumber daya dan karenanya seluruh sumber daya yang ada harus digunakan dengan cara yang paling efektif bagi realisasi hak. Dengan kata lain, argumen progressive realization dan maximum available resources tidak dapat digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan segera hakhak tersebut. Negara memiliki kewajiban yang memiliki efek segera 10 (immediate effect). 3 4

13 Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) pada 30 September 2005 melalui UndangUndang No. 11 Tahun Dengan demikian, negara Indonesia berikut seluruh organnya, termasuk pemerintah daerah, terikat secara hukum untuk memenuhi kewajiban internasionalnya untuk mematuhi ketentuanketentuan yang ada dalam Kovenan tersebut, termasuk kewajiban untuk dengan segera mengambil langkahlangkah dalam upaya mewujudkan secara progresif hakhak yang termuat di dalamnya. Namun demikian, hakhak ekonomi, sosial dan budaya pada kenyataannya belum banyak dipahami. Pemerintah seringkali memandang hakhak ekonomi, sosial dan budaya lebih sebagai tujuan/citacita yang hendak dicapai ketimbang sebagai hak asasi yang harus dijamin pemenuhannya dalam kondisi apapun. Dalam kaitan ini penting untuk melihat dan menilai sejauh mana negara telah berupaya memenuhi kewajibannya dalam merealisasikan secara bertahap hakhak ekonomi, sosial dan budaya, dengan melihat dua indikator utama, yakni kemauan (willingness) dan kemampuan (capacity) pemerintah. Pembedaan antara kemauan dan kemampuan ini penting dilakukan karena seringkali pemerintah tidak memenuhi kewajibannya dalam merealisasiakan hak asasi dengan dalih kurangnya sumber daya, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kurangnya komitmen. Kemauan (willingness) dimaknai sebagai kemauan hukum dari pemerintah untuk mengadopsi dan mengesahkan undangundang yang relevan dengan 11 pemenuhan hak asasi manusia. Sedangkan kapasitas atau kemampuan (capacity) dimaknai sebagai pelaksanaan yang progresif setiap hak sesuai dengan sumberdaya finansial yang dimiliki. Hal yang lebih penting dalam konteks kemampuan sebuah negara adalah adanya alokasi anggaran yang cukup 12 bagi pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, di mana sejumlah wewenang dan kewajiban pemerintah pusat, termasuk yang menyangkut pelayanan publik dan pemenuhan hakhak dasar warga, dilimpahkan ke pemerintah daerah, juga penting untuk menilai sejauh mana kesiapan pemerintah daerah dalam memenuhi secara bertahap hakhak ekonomi, sosial dan budaya di tingkat lokal. Di tingkat daerah, komitmen dan kapasitas pemerintah bisa dilihat dari upayaupaya yang dilakukan pemerintah daerah beserta capaiannya. Komitmen dan kapasitas pemerintah daerah itu dapat diukur di antaranya dengan mengacu pada beberapa indikator seperti: (1) dijalankannya harmonisasi berbagai kebijakan dan regulasi daerah dengan cara merevisi atau mencabut kebijakan dan regulasi yang potensial melanggar HAM dan membuat kebijakan dan regulasi yang mendukung realisasi hak; (2) adanya alokasi anggaran yang memadai dan diupayakan terus meningkat untuk pelaksanaan hak asasi; (3) adanya langkahlangkah konkrit pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya yang dapat diakses dan dinikmati masyarakat, 5 6

14 khususnya kelompok marjinal; (4) disediakannya upayaupaya remedial, termasuk judicial remedy atas pelanggaran terhadap hak atas baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun aktor nonnegara. B. Tentang Buku Ini Berdasarkan latar belakang seperti dipaparkan di atas, buku ini mencoba memotret situasi dan kondisi pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya setelah pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) pada Seiring dengan berlakunya otonomi daerah di era reformasi, buku ini secara khusus mencoba menganalisis situasi umum pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya tersebut di sejumlah daerah dalam beberapa aspek, termasuk komitmen dan kapasitas pemerintah daerah. Karena luasnya cakupan hakhak ekonomi, sosial dan budaya, pembahasan dan analisis dalam buku ini difokuskan pada pemenuhan dua hak ekonomi, sosial dan budaya, yakni hak atas pendidikan dan hak atas perumahan. Secara lebih spesifik buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana kondisi umum pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di daerah? Sejauh mana pemerintah daerah mengambil kebijakan dan langkahlangkah legislatif dalam pemenuhan secara progresif hak atas pendidikan dan perumahan? Seberapa besar pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kebijakan dan programprogram pemenuhan dan perlindungan hak atas pendidikan dan perumahan? Bagaimana peran lembaga peradilan dalam menangani kasuskasus pelanggaran terhadap hak atas pendidikan dan perumahan? Bagaimana pula peran civil society dalam upaya pemantauan dan advokasi pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di tingkat lokal? Lingkup geografis pembahasan buku ini dibatasi pada tiga daerah, yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kalimantan Timur. Tiga daerah ini dipilih secara purposive dengan pertimbangan bahwa ketiganya dapat dianggap cukup mewakili keragaman geografis, sumber daya dan kekayaan daerah serta dinamika politik lokal. Di Nanggroe Aceh Darussalam, analisis difokuskan pada Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhoksemawe, di Daerah Istimewa Yogyakarta analisis dibatasi pada Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul sedangkan di Kalimantan Timur kajian dibatasi pada konteks Kota Tarakan dan Kabupaten Bulungan. C. Metodologi Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis. Dalam hal ini, penelitian ini mencoba menggambarkan dan menjelaskan serta menganalisis halhal yang berkaitan dengan status dan kondisi pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di tiga daerah tersebut di atas. Penelitian ini 7 8

15 menggunakan pendekatan kualitatif dengan pertimbangan bahwa pendekatan tersebut menyediakan beberapa perangkat yang fleksibel bagi pengumpulan dan analisa data. Definisi generik dari penelitian kualitatif adalah menggunakan berbagai metode, serta melibatkan pendekatan naturalistik 13 dan interpretatif terhadap subjek persoalannya. Data yang dikumpulkan dalam buku ini adalah data yang bersifat primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah berbagai produk hukum dan kebijakan pemerintah daerah serta hasil wawancara dengan aktoraktor kunci, baik dari pihak pemerintah daerah yang relevan (bupati/walikota, kepalakepala dinas yang relevan), kalangan masyarakat sipil (aktivis LSM, akademisi), maupun masyarakat miskin sebagai sasaran utama kebijakan pemerintah daerah. Adapun data sekunder berasal dari hasil penelitian kepustakaan. Data ini terdiri dari hasilhasil penelitian sebelumnya, dokumen, buku, dan artikel yang terkait. Data yang telah terkumpul dianalisis melalui dua tahap. Pada tahap pertama menggunakan strategi analisis umum yang disebut strategi mengandalkan proposisiproposisi teoritis (relying on theoretical prepositions), dan pada tahap berikutnya menggunakan teknik analisis yang disebut dengan explanation building. Strategi analisis umum dengan mengandalkan proposisiproposisi teoritis adalah analisis data dengan cara mengikuti proposisiproposisi yang menuntun seluruh rangkaian studi. Proposisiproposisi dilakukan untuk memfokuskan perhatian pada data tertentu dan mengabaikan data yang lain, dan membantu mengorganisasi keseluruhan studi serta mendefinisikan penjelasan alternatif untuk diuji. Adapun teknik analisis explanation building digunakan karena model analisis ini dibutuhkan untuk menjelaskan suatu rangkaian hubungan kausal tentang fenomena atau kasus tertentu, yang bersifat kompleks dan sulit diukur secara pasti. D. Struktur Buku Setelah bab ini, Bab 2 akan memaparkan kerangka teoretik yang menjadi pijakan analisis buku ini. Dalam bab ini akan dijelaskan sejumlah kerangka teori yang relevan, yaitu teori tentang kewajiban negara dalam pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya; insctrumen internasional dan nasional hak atas pendidikan dan perumahan berikut indikatorindikator pemenuhannya oleh negara; teori desentralisasi dan otonomi daerah, serta teori monitoring dan advokasi oleh masyarakat sipil. Tiga bab berikutnya akan menyajikan analisis situasi pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di tiga lokasi berbeda. Bab 3 memberikan analisis situasi di Nanggroe Aceh Darussalam, Bab 4 menganalisis situasi di Kalimantan Timur dan Bab 5 mengkaji situasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Masingmasing bab akan menyoroti situasi pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di tiga daerah tersebut dalam 9 10

16 beberapa aspek, yaitu: (a) kondisi umum pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan; (b) komitmen dan kapasitas pemerintah daerah berdasarkan dua indikator, yakni kebijakan dan regulasi serta alokasi anggaran; (c) advokasi dan monitoring pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan oleh masyarakat sipil; dan (d) peran pengadilan dalam penanganan kasus pelanggaran terhadap hak atas pendidikan dan perumahan. Bab terakhir kemudian akan mengemukakan beberapa kesimpulan umum dari pemaparan dan analisis dalam tiga bab sebelumnya serta sejumlah rekomendasi berdasarkan kesimpulankesimpulan tersebut. BAB 2 PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN DI ERA OTONOMI DAERAH: KERANGKA TEORETIK Buku ini berupaya menggambarkan dan menganalisis situasi pemenuhan hak atas pendidikan dan perumahan di era desentralisasi dan otonomi daerah dewasa ini. Sebagai pijakan bagi analisis yang akan diberikan, buku ini menggunakan sejumlah kerangka teori. Setidaknya ada empat kerangka teoretik yang relevan bagi pembahasan dan analisis dalam buku ini, yaitu: (a) kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya secara umum; (b) instrumen internasional dan nasional hak atas pendidikan dan perumahan serta indikatorindikator pemenuhannya oleh negara; (c) desentralisasi dan otonomi daerah; dan (d) monitoring dan advokasi masyarakat sipil. A. Kewajiban Negara dalam Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Hak asasi manusia pada dasarnya mengatur hubungan antara individuindividu dengan negara. Hak asasi manusia telah disepakati sebagai hukum internasional yang dapat menjadi standar yang kuat bagaimana negara harus memperlakukan individuindividu di dalam wilayah 11 12

17 yurisdiksinya. Dengan kata lain, hak asasi manusia memberikan jaminan moral dan hukum kepada individuindividu untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dalam praktikpraktik kekuasaan negara terhadap individuindividu, memastikan adanya kebebasan individu dalam berhubungan dengan negara, dan meminta negara memenuhi kebutuhankebutuhan dasar individuindividu yang berada di dalam wilayah yurisdiksinya. Di sinilah negara menjadi pihak yang memiliki tugas dan kewajiban (dutybearer) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia dan individuindividu yang berdiam di wilayah jurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights 14 holder). Pada masamasa awal, ada anggapan, sesuai dengan teori status George Jellinek (status negativus = hakhak liberal untuk tidak campur tangan, status activa = hakhak partisipasi demokratis, status positivus = hakhak sosial yang membutuhkan tindakan positif negara) dan teori tiga generasi hak asasi manusia, bahwa negara, berkenaan dengan hakhak sipil dan politik, hanya diwajibkan untuk tidak ikut campur, sedangkan mengenai hakhak ekonomi dan sosial mereka diwajibkan untuk memberikan pelayanan positif saja. Dengan kata lain, hak ekonomi, sosial dan budaya cenderung dibedakan secara tajam dari hakhak sipil politik dengan kategorisasi bahwa yang pertama merupakan hakhak positif (positive rights), sementara yang kedua dikatakan sebagai hak 15 hak negatif (negative rights). 13 Namun demikian, kajiankajian mutakhir menunjukkan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya itu tidak sepenuhnya merupakan hakhak positif. Sejumlah hak ekonomi, sosial dan budaya menuntut negara agar tidak mengambil tindakan (state obligation not to do something) guna melindungi hakhak tersebut. Ini dapat dilihat pada klausulklausul seperti hak berserikat, hak mogok, kebebasan memilih sekolah, kebebasan melakukan riset. Oleh karena itu, dan setelah tampak jelas bahwa hak asasi manusia tidak bisa dibagi dan saling tergantung, secara berangsur diterima pendapat bahwa pada prinsipnya negara diwajibkan untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfil) dan melindungi (to protect) semua jenis hak asasi manusia, baik hakhak sipil politik maupun hak 16 hak ekonomi sosial dan budaya. Kewajiban untuk menghormati (to respect) merujuk pada kewajiban negara untuk menghindari intervensi atas kedaulatan dan kebebasan individu. Intervensi yang tidak terjustifikasi dengan demikian merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfil) merujuk pada kewajiban negara untuk mengambil langkahlanglah legislatif, administratif, yudisial dan praktis yang diperlukan u n t u k m e m a s t i k a n b a h wa h a k a s a s i m a nu s i a diimplementasikan seluas mungkin. Sedangkan kewajiban untuk melindungi (to protect) lebih ditujukan untuk menghindari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak swasta. Kewajiban negara untuk melindungi dengan kata lain 14

18 ditunjukkan dengan mengambil tindakan terhadap segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia (human rights abuses) 17 atau ancaman terhadap hak asasi menusia setiap individu. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) memaksakan sekurangkurangnya kewajiban moral bagi semua negara untuk berupaya mewujudkan terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun melalui Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) NegaraNegara Peserta telah mengemban kewajibankewajiban hukum yang mengikat untuk mengambil langkahlangkah bagi pengelolaan sumber daya yang tersedia secara maksimal, untuk secara progresif mencapai pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya secara penuh. Kata pencapaian secara progresif menetapkan kewajibankewajiban yang jelas bagi NegaraNegara Peserta untuk bergerak secepat mungkin menuju perwujudan hakhak 18 tersebut. Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) menyatakan: Setiap Negara Peserta Kovenan ini berupaya untuk mengambil langkahlangkah, secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekconomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumber daya yang tersedia, yang mengarah pada pencapaian secara bertahap dari realisasi sepenuhnya dari hakhak yang diakui dalam Kovenan ini dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkahlangkah legislatif. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban umum yang diemban oleh Negara Peserta Kovenan. Penggunaan istilah Setiap Negara Peserta berupaya mengambil langkahlangkah sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) Kovenan ini memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun 19 demikian, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Komentar Umum No. 3 menjelaskan bahwa:..walaupun realisasi sepenuhnya atas hakhak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, langkahlangkah ke arah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan. Dengan kata lain, kewajiban untuk secara bertahap mencapai realisasi sepenuhnya hakhak tersebut mengharuskan Negara Peserta bergerak secepat mungkin ke arah terwujudnya hakhak tersebut. Dalam keadaan apapun hal ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mengandung arti bahwa negara berhak untuk mengulur usaha secara tidak terbatas untuk memastikan realisasi sepenuhnya. Sebaliknya semua Negara Peserta mempunyai kewajiban untuk dengan segera mulai mengambil langkahlangkah untuk memenuhi kewajibankewajiban mereka berdasarkan Kovenan. Beberapa kewajiban berdasarkan Kovenan mengharuskan pelaksanaan sepenuhnya dengan segera oleh semua Negara Peserta, seperti larangan diskriminasi dalam pasal 2 Kovenan. Kewajiban terhadap pencapain secara bertahap ada dan tidak tergantung 15 16

19 pada peningkatan sumber daya. Kewajiban ini membutuhkan 20 penggunaan sumbersumber yang tersedia secara efektif. Karena itu frasa undertakes to take steps, to achieve progressively dan to maximum of its available resources pada Pasal 2 ayat (1) KIHESB harus dilihat sebagai ketentuan yang memiliki hubungan yang dinamis dengan semua pasal lainnya. Hakikat kewajiban hukum yang timbul dari pasal ini bukan hanya menuntut negara berperan aktif, tetapi juga menuntut negara tidak mengambil tindakan (pasif). Karena itu kurang tepat, tanggung jawab negara di bidang hakhak ekonomi, sosial dan budaya ini dibedakan antara obligation of conduct dan obligation of result. Kedua kewajiban itu merupakan kewajiban yang sekaligus harus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Misalnya, untuk mencukupi kebutuhan pangan, negara harus mengambil langkahlangkah dan kebijakan yang tepat agar tujuan mencukupi pangan tersebut berhasil (obligation of result). Tetapi dalam waktu yang bersamaan, negara juga tidak diberbolehkan mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasan memilih pekerjaan atau sekolah (obligation of conduct). Jadi jelas keliru jika tanggung jawab negara dikatakan terbatas pada obligation 21 of result. PrinsipPrinsip Limburg juga menegaskan hal yang serupa. Kumpulan prinsip yang disusun oleh para ahli hukum 22 internasional itu yang didesain untuk memberi pedoman dalam mengimplementasikan KIHESB berusaha meletakkan arah baru dalam melihat tanggung jawab negara dalam konteks hakhak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu dengan tidak memandangnya melulu bersifat positif. Hal ini dapat dibaca pada paragraf ke16 PrinsipPrinsip Limburg yang mengatakan: Some obligations unders the Covenant require immediate implementation in full by all States parties, such as the probihation of discrimination in article 2(2) of the Covenant. Jadi, meskipun KIHESB menetapkan pencapaian secara bertahap dan mengakui realitas keterbatasan sumberdaya yang tersedia di satu sisi, pada sisi lain ia juga menetapkan berbagai kewajiban yang memiliki efek segera (immediate effect). Itu artinya hakhak ekonomi, sosial dan budaya tidak lagi dapat dilecehkan sebagai bukan merupakan hak yang sebenarnya alias sekedar statemen politik. Argumen maximum available resources atau progressive realization tidak dapat digunakan untuk mengesampingkan pemenuhan 23 segera hakhak tersebut. Interpretasi Komite tersebut berkaitan dengan kewajiban melakukan (obligation of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result) bermaksud mengakui pentingnya sumber daya bagi pemenuhan hakhak ini, tetapi tidak menganggap bahwa keterbatasan sumber daya sebagai alasan untuk lepas dari kewajiban. Dalam kasus semacam ini, Komite meyatakan bahwa dalam kasus di mana sejumlah 17 18

20 cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hakhak orangorang ini memang di luar kendali. Di sinilah konteks gagasan kewajiban minimum 24 (minimum core obligation) yang dikembangkan Komite. Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai contoh, jika terdapat penduduk secara massal menderita kelaparan, tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tidak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan negara gagal menjalankan obligasinya berdasarkan Kovenan. Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya sumber daya yang ada, kewajiban negara tetap harus dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang seluasseluasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan pada saat terjadi keterbatasan sumber daya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan perlindungan dengan diadopsinya programprogram yang dirancang relatif murah. Dengan demikian, konsep kewajiban minimum dikembangkan untuk menyangkal alasan tidak adanya sumber daya sebagai faktor yang mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa negara mempunyai kewajiban minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang minimum. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). Kewajiban negara terhadap hakhak ekonomi, sosial dan budaya pada tingkatan paling utama adalah menghormati (to respect) sumber dayasumber daya yang dimiliki baik oleh individu maupun kolektif serta menghormati kebebasan untuk menggunakan sumber daya yang diperlukan baik sendiri maupun bekerja sama guna memenuhi kebutuhan 25 hidupnya. Kewajiban ini juga mensyaratkan negara untuk tidak ikut campur tangan dalam upaya pemenuhan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam tingkat kewajiban ini, negara diharuskan untuk tidak mengambil tindakantindakan yang mengakibatkan tercegahnya akses seseorang terhadap hakhaknya. Termasuk di dalamnya adalah mencegah melakukan sesuatu yang dapat menghambat warga memanfaatkan sumbersumber daya alam materil yang tersedia. Dalam konteks hak atas perumahan, misalnya, negara tidak diperkenankan melakukan penggusurann (paksa)

21 Kewajiban negara pada tahap kedua mencakup kewajiban melindungi (to protect). Kewajiban ini pada dasarnya mengharuskan negara mengontrol aktoraktor lain yang berada di bawah yuridiksinya dan mengambil tindakan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh satuansatuan bukan negara. Kewajiban ini mencakup tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa pihak swasta atau perorangan, termasuk perusahaan transnasional di mana mereka mempunyai yurisdiksi, tidak meniadakan hakhak perorangan atas ekonomi, sosial dan budaya. Negara bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dari kegagalan untuk melaksanakan pengawasan yang ketat terhadap tingkah laku para pelaku nonnegara 26 tersebut. Kewajiban negara untuk melindungi hak ekonomi, sosial dan budaya juga meluas ke partisipasinya dalam organisasi internasional, di mana negaranegara itu bertindak bersamasama. Sangat penting bahwa negaranegara menggunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa pelanggaranpelanggaran tersebut tidak timbul dari program dan kebijakan organisasiorganisasi di mana mereka adalah anggotanya. Dihapuskannya pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hal yang sangat penting bagi organisasi internasional, termasuk lembaga keuangan internasional, untuk memperbaiki kebijakan dan tindakan mereka sehingga tidak menyebabkan hilangnya hak ekonomi, sosial dan budaya. Negaranegara anggota dari organisasi semacam itu, secara sendirisendiri atau melalui badanbadan yang memerintah, maupun sekretariat serta lembaga swadaya masyarakat harus mendorong dan menggeneralisasikan kecenderungan dari beberapa organisasi semacam ini untuk meninjau ulang kebijakan dan program mereka dengan mempertimbangkan masalah mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya, terutama ketika kebijakan dan program ini dilaksanakan di negara yang kekurangan sumber daya untuk melawan tekanan dari lembaga internasional terhadap pembuatan keputusan yang mempengaruhi hak 27 ekonomi, sosial dan budaya. Pada tahap ketiga, negara mempunyai kewajiban untuk membantu (to assist) dan memenuhi (to fulfil) hak setiap orang di 28 bawah ketentuan hakhak ekonomi, sosial dan budaya. Jika kewajiban menghormati pada intinya membatasi tindakan negara, kewajiban 'memenuhi' mengharuskan negara untuk melakukan tindak proaktif yang bertujuan memperkuat akses masyarakat atas sumbersumber daya. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang paling menuntut intervensi negara (positive measures) sehingga terjamin hak setiap orang atas kesempatan memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi melalui usaha sendiri. Dalam kewajiban ini masalah anggaran 29 belanja negara menjadi sangat penting. Dari paparan tentang kewajiban dan tanggung jawab negara tersebut, tampak jelas bahwa tanggungjawab negara 21 22

22 (state obligation) dalam memajukan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya dalam bentuk obligation of result, tetapi sekaligus dalam bentuk obligation of conduct. Dalam konteks tanggungjawab yang demikian ini, maka kebijakankebijakan negara dalam memajukan hak ekonomi, sosial dan budaya harus dapat menunjukkan terpenuhinya kedua bentuk kewajiban tersebut. Artinya, ketika negara merancang kebijakan kebijakan pendidikan, ia harus sudah menimbang hasilnya dapat menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan tersebut. Begitu pula negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada rakyat untuk menuntut apabila hakhak tersebut tidak terpenuhi. Dalam kontek pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, kewajiban negara tidak terkait dengan pilihan sistem ekonomi yang diterapkan negara tersebut, apakah propasar atau sistem komando. Sekalipun kebijakan ekonomi suatu negara didasarkan pada sistem pasar bebas atau liberalisme seperti yang sekarang diterapkan pemerintahan saat ini, negara tersebut tetap memikul kewajiban merealisasi hak ekonomi, sosial dan budaya warganya di dalam sistem ekonomi tersebut. Apabila kebijakan ekonomi negara tersebut gagal memberi jaminan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya warganya, maka negara dapat dikatakan melanggar hakhak yang terdapat dalam Kovenan tersebut (violations of covenant obligations). Apalagi setelah sebuah 30 negara menjadi pihak dari Kovenan tersebut. Karena hak ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana hak sipil dan politik, juga mengharuskan negara untuk menahan diri (negative rights) dan intervensi agar pemenuhan hak tercapai (positive rights), pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya dapat berupa pelanggaran by ommission (melalui tindakan pembiaran) maupun by commission (dengan sengaja melakukan tindakan itu sendiri). Panduan Maastrich merinci sejumlah tindakan yang 31 dapat dikategorikan sebagai pelanggaran by commission: a. meniadakan aturan yang sangat penting bagi pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya; b. adanya perlakuanperlakuan diskriminatif; c. mengeluarkan peraturan atau kebijakan yang menambah pelanggaran hak asasi manusia. Tentu jika kebijakan itu memiliki tujuan yang jelasjelas dapat meningkatkan persamaan dan memberi perlindungan lebih pada kelompok rentan, kebijakan itu bukan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya. d. pemotongan atau relokasi anggaran yang mengakibatkan tidak dinikmatinya hakhak ekonomi, sosial dan budaya, seperti peralihan biaya pendidikan dan pelayanan dasar kesehatan untuk pembelanjaan alatalat militer. Sedangkan pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan dengan pembiaran (by omission) merujuk pada 23 24

MAKALAH HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Grand Angkasa Medan, 2-5 Mei 2011 MAKALAH HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

Lebih terperinci

Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh. oleh Pusham UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan Norwegian Centre for Human Rights.

Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh. oleh Pusham UII bekerjasama dengan Komisi Yudisial RI dan Norwegian Centre for Human Rights. Hkhk Hak-hak hkek Ekonomi, Sosial dan Budaya Ifdhal Kasim Disampaikan ik pada Pelatihan Hakim Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia untuk Hakim Seluruh Indonesia pada 5 May 2011, di Medan. Diselenggarakan

Lebih terperinci

Makalah. WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Makalah. WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan. Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Makalah WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan Yogyakarta, 13-15 November 2007 Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Oleh: Ifdhal Kasim, S.H. (KOMNAS

Lebih terperinci

MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Hotel Santika Makassar, 30 Mei 2 Juni 2011 MAKALAH HAK SIPOL & HAK EKOSOB Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta Ifdhal Kasim

Lebih terperinci

HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA

HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-9 FH UNSRI LATAR HISTORIS Dirumuskan di bawah pengaruh konteks internasional ketika itu, yakni Perang Dingin; Dirumuskan dalam satu kovenan

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Pengantar Memahami Hak Ekosob M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Manusia dan Perjuangan Pemajuan Hak Asasinya Semua manusia memperjuangkan hak hidup layak. Agama menginspirasi perjuangan manusia itu. Berbagai

Lebih terperinci

Hak Atas Standar Penghidupan Layak dalam Perspektif HAM. Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights

Hak Atas Standar Penghidupan Layak dalam Perspektif HAM. Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights Hak Atas Standar Penghidupan Layak dalam Perspektif HAM Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights Hak atas standar penghidupan layak Dasar hukum: 1) Konstitusi Pasal 27 (2) 2) Pasal 25 Deklarasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

Lebih terperinci

Annex 5: Panduan Maastricht mengenai Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Annex 5: Panduan Maastricht mengenai Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Annex 5: Panduan Maastricht mengenai Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya I. Signifikansi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya 1. Sejak Prinsip Limburg diadopsi pada tahun 1986, kondisi ekonomi

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 1 KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan

Lebih terperinci

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet Oleh Asep Mulyana Revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran Internet telah mengubah pola dan gaya hidup manusia yang hidup di abad modern,

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM NO. 03

KOMENTAR UMUM NO. 03 1 KOMENTAR UMUM NO. 03 SIFAT-SIFAT KEWAJIBAN NEGARA ANGGOTA Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya HRI/GEN/1/Rev. 1 at 45 (1994) Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. di berbagai belahan dunia. Di titik ini, norma-norma HAM menyebar luas ke seluruh

BAB V KESIMPULAN. di berbagai belahan dunia. Di titik ini, norma-norma HAM menyebar luas ke seluruh BAB V KESIMPULAN Pasca Perang Dunia II terdapat perubahan penting dalam sistem sosial dan politik di berbagai belahan dunia. Di titik ini, norma-norma HAM menyebar luas ke seluruh dunia dan mengalami proses

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No.1690, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Materi Muatan HAM dalam pembentukan Peraturan Perundang-ndangan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

Problem Pelaksanaan dan Penanganan

Problem Pelaksanaan dan Penanganan Problem Pelaksanaan dan Penanganan Pelanggaran Hak Atas Pangan Sri Palupi Institute t for Ecosoc Rights Disampaikan dalam acara Workshop Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

Deklarasi Dhaka tentang

Deklarasi Dhaka tentang Pembukaan Konferensi Dhaka tentang Disabilitas & Manajemen Risiko Bencana 12-14 Desember 2015, Dhaka, Bangladesh Deklarasi Dhaka tentang Disabilitas dan Manajemen Risiko Bencana, 14 Desember 2015 diadopsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Pengantar

Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Pengantar Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Pengantar R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hak Asasi Manusia Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 18 April 2008 Pokok Bahasan

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Menuju Perlindungan Indonesia, diselenggarakan oleh PUSHAM UII, bekerjasama dengan Noewegian Centre

Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Menuju Perlindungan Indonesia, diselenggarakan oleh PUSHAM UII, bekerjasama dengan Noewegian Centre Penguatan Status Legal Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Konstitusi dan Sistem Hukum Nasional: Potensi dan Tantangan Oleh : Rafendi Djamin Koordinator HRWG (Human Rights Working Group) hrwg@cbn.net.id

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Urgensi Pengembangan Indikator HAM

Urgensi Pengembangan Indikator HAM Urgensi Pengembangan Indikator HAM Oleh Pihri Buhaerah Pendahuluan Gerakan dan pegiat pembangunan sudah sejak lama mengembangkan indikator-indikator yang terarah dan terukur dalam mengevaluasi kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia (HAM) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. Orang lain tidak

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI)

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA. Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi MUKADIMAH

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM no. 08

KOMENTAR UMUM no. 08 1 KOMENTAR UMUM no. 08 KAITAN ANTARA SANKSI EKONOMI DENGAN PENGHORMATAN TERHADAP HAK- HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1997/8

Lebih terperinci

Health and Human Rights Divisi Bioetika dan Medikolegal FK USU WHO Definition of Health Health is a state t of complete physical, mental and social well- being and not merely the absence of disease or

Lebih terperinci

HAK HAK SIPIL DAN POLITIK

HAK HAK SIPIL DAN POLITIK 2010 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia STANLEY ADI PRASETYO Wakil Ketua HAK HAK SIPIL DAN POLITIK Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak hak setiap orang, terutama hak hak yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang : a. bahwa kemiskinan adalah masalah

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

HAM DAN PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN. Oleh: Johan Avie, S.H.

HAM DAN PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN. Oleh: Johan Avie, S.H. HAM DAN PERLINDUNGAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN Oleh: Johan Avie, S.H. Disampaikan dalam TRAINING POLMAS DAN HAM BAGI TARUNA AKADEMI KEPOLISIAN DEN 47 TAHUN 2015 oleh PUSHAM UII Yogyakarta

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Annex 1: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Diambil dan terbuka untuk ditandatangani, diratifikasi dan diaksesi oleh resolusi Mahkamah Umum 2200A (XXI) pada 16 Desember 1966, berlaku

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK: MASYARAKAT ADAT/BANGSA PRIBUMI

HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK: MASYARAKAT ADAT/BANGSA PRIBUMI Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 24 Agustus 2007 HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK: MASYARAKAT ADAT/BANGSA

Lebih terperinci

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007 PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK Supriyadi W. Eddyono, S.H. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Jl Siaga II No 31 Pejaten Barat, Jakarta 12510 Telp

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun 1945 Dr.Hj. Hesti HAK ASASI MANUSIA NASIONAL INTERNASIONAL LOKAL / DAERAH INTERNASIONAL dalam konteks pergaulan antar bangsa (Internasional) Penghargaan dan

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan dalam perspektif Teori Locke Perlindungan hak-hak Kodrati (hak. asasi manusia) merupakan dasar pendirian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. bahkan dalam perspektif Teori Locke Perlindungan hak-hak Kodrati (hak. asasi manusia) merupakan dasar pendirian suatu negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prinsipnya persoalan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam semua aspek termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan bagian dari

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM no. 12

KOMENTAR UMUM no. 12 1 KOMENTAR UMUM no. 12 HAK ATAS BAHAN PANGAN YANG LAYAK Komite Persatuan Bangsa-bangsa untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya E/C.12/1999/5 Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, (Sidang ke 20,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 25 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN PERBAIKAN RUMAH TIDAK LAYAK HUNI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 MUKADIMAH Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta sarana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015):

Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Point penting dari diskusi Panel Dalam First Session IGWG Meeting on Binding Treaty for TNCs (6-10 July 2015): Panel 1 Intinya tidak ada pertentangan antara The GP dengan legally binding treaty process,

Lebih terperinci

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, PERSETUJUAN PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT TANGGAL 10 DESEMBER 1982 YANG BERKAITAN DENGAN KONSERVASI DAN PENGELOLAAN SEDIAAN IKAN YANG BERUAYA TERBATAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2011-2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, Copyright (C) 2000 BPHN UU 5/1998, PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN

Lebih terperinci

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH

DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA 1 MUKADIMAH Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM

Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM Kedudukan Pemda Kewajiban Negara atas HAM Negara Pihak terikat dalam perjanjian HAM internasional yang diratifikasi. Kewajiban Negara atas HAM: (i) menghormati;

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016 Keterangan tertulis Komnas HAM di hadapan MK, 2 Mei 2007 Kesimpulan: Konstitusi Indonesia atau UUD 1945, secara tegas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN RAYA IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN

Lebih terperinci

BAHAN AJAR HAK ASASI MANUSIA PEMENUHAN HAK ATAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP PARA TENAGA KERJA

BAHAN AJAR HAK ASASI MANUSIA PEMENUHAN HAK ATAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP PARA TENAGA KERJA BAHAN AJAR HAK ASASI MANUSIA PEMENUHAN HAK ATAS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA TERHADAP PARA TENAGA KERJA Oleh: I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH MH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2014 PEMENUHAN HAK ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

RISALAH KEBIJAKAN. Mendorong Regulasi Penggusuran Sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia

RISALAH KEBIJAKAN. Mendorong Regulasi Penggusuran Sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia RISALAH KEBIJAKAN Mendorong Regulasi Penggusuran Sesuai dengan Standar Hak Asasi Manusia LBH Jakarta November 2015 Tim Penyusun: Alldo Fellix Januardy, Yunita, & Riesqi Rahmadhiansyah RISALAH KEBIJAKAN

Lebih terperinci

MAKALAH. Kelompok Rentan, HAM & Tanggungjawab Polisi. Oleh: M. Syafi ie, S.H. PUSHAM UII Yogyakarta

MAKALAH. Kelompok Rentan, HAM & Tanggungjawab Polisi. Oleh: M. Syafi ie, S.H. PUSHAM UII Yogyakarta Training HAM Lanjutan Bagi Tenaga Pendidik Akpol Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Vulnerable Groups) Hotel Horison Semarang, 15-17 Januari 2014 MAKALAH Kelompok Rentan, HAM & Tanggungjawab Polisi

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERLANTAR BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO Salinan PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOJONEGORO NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI KABUPATEN BOJONEGORO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi

Lebih terperinci

KORUPSI DAN PELANGGARAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA

KORUPSI DAN PELANGGARAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA KORUPSI DAN PELANGGARAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA Oleh : ROBBY DARWIS NASUTION Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Ponorogo ABSTRAK Korupsi merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011

R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 2 R-201: Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Rangga, 2011 R201 Rekomendasi tentang Pekerjaan Yang Layak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci