BAB II KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II KONSEP MALU BAGI MASYARAKAT JEPANG DAN SEJARAH JUGUN IANFU DI INDONESIA 2.1. Konsep Malu dalam Masyarakat Jepang Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu kesempatan, atau karena salah berbicara. Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu pengakuan atau penebusan. Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi (malu khusus). Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu kouchi dan konsep malu shichi. 24

2 Kouchi atau Malu Umum Malu merupakan suatu reaksi psikologis. Dalam ilmu psikologi dikatakan bahwa reaksi timbul karena adanya suatu rangsangan, baik dari luar diri orang yang bersangkutan maupun dari dalam diri sendiri. Dalam bahasa Jepang, rangsangan yang berasal dari luar diri orang yang bersangkutan disebut bersifat gaimenteki sedangkan yang berasal dari dalam diri sendiri disebut bersifat naimenteki. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau dia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang (Ruth Benedict, 1989:233). Ruth Benedict (1989:105) juga menjelaskan bahwa malu akan muncul apabila seseorang tidak mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Oleh sebab itu, bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya kewajiban. Dan kewajiban itu mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil, yaitu on. On berarti suatu hutang atau suatu beban yang harus ia pikul sebaik mungkin. Hal tersebut juga dikuatkan oleh skema kewajiban-kewajiban bangsa Jepang dan pemenuhannya yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:125), yang isinya antara lain: I. On : kewajiban-kewajiban yang timbul secara pasif. Seseorang menerima on ; seseorang mengenakan on. Artinya : on adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si penerima yang pasif. 25

3 ko on oya on nushi no on shi no on : on yang diterima dari kaisar. : on yang diterima dari orang tua. : on yang diterima dari majikan atau tuan. : on yang diterima dari guru. II. Pemenuhan on. Si penerima on membayar kembali utang-utang ini; ia memenuhi kewajiban-kewajiban ini terhadap orang on nya. Artinya : ini adalah kewajiban yang dilihat dari sudut pembayaranya kembali secara aktif. Ada dua jenis pemenuhan on : A. Gimu : Pembayaran kembali yang maksimal pun dari kewajiban ini dianggap masih belum cukup, dan tidak ada batas waktu pembayarannya. chu ko nimmu : kewajiban terhadap kaisar, hukum dan negara. : kewajiban terhadap orang tua dan nenek moyang. : kewajiban terhadap pekerjaan seseorang B. Giri : Utang-utang ini wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima, dan ada batas waktu pembayarannya. 1. Giri terhadap dunia. - Kewajiban terhadap tuan pelindung. - Kewajiban terhadap sanak keluarga jauh. - Kewajiban terhadap orang-orang bukan keluarga karena on yang diterima dari mereka, misalnya hadiah uang, suatu kebaikan, pekerjaan yang mereka sumbangkan (dalam suatu kelompok kerja). 26

4 - Kewajiban terhadap keluarga yang tidak begitu dekat (paman, bibi, kemenakna pria dan wanita) walaupun on yang diterima bukan berasal dari mereka, melainkan dari nenek moyang yang sama. 2. Giri terhadap nama seseorang. Ini adalah versi Jepang dari die Ehre. - Kewajiban seseorang untuk membersihkan reputasinya dari penghinaan atau tuduhan atas kegagalan, yaitu kewajiban membalas dendam. - Kewajiban seseorang untuk tidak menunjukkan atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam melaksanakan jabatannya. - Kewajiban seseorang untuk mengindahkan sopan santun Jepang, misalnya melaksanakan semua perilaku ketakziman, tidak hidup diatas tempatnya yang sesuai, mengekang pengungkapan emosi pada kesempatan atau suasana yang tidak cocok, dan seterusnya. Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa malu merupakan suatu reaksi yang timbul akibat adanya rangsangan berupa kritik dan sejenisnya dari orang lain. Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa. 27

5 Shichi atau Malu Khusus Pada dasarnya malu akan timbul ketika seseorang mendapat kritik dari orang lain. Akan tetapi, bagi masyarakat Jepang rasa malu juga akan timbul pada saat ia mendapat pujian. Seperti yang dikatakan Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:14), kita merasa malu hanya ketika kita dihadapkan pada penolakan dari orang lain. Baik itu merupakan penolakan maupun pujian, pada saat kita mendapat perhatian khusus dari orang lain pun, kita akan merasa malu. Dari pernyataan Sakuta tersebut dapat kita simpulkan bahwa selain kritik, perhatian khusus dari orang lain juga dapat menimbulkan malu dalam diri orang Jepang. Hal inilah yang disebut shichi atau malu khusus. Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada bagaimana ia menempatkan keberadaannya. Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Berikut ini merupakan dua faktor yang menyebabkan munculnya shichi dalam diri orang Jepang, yaitu Shikou no Kuichigai dan Yuretsu Kijun. 1. Shikou no Kuichigai Shikou no Kuichigai ialah salah pengertian atau salah paham. Shikou no Kuichigai merupakan faktor yang muncul dari dalam diri orang yang bersangkutan yang disebut juga dengan naimenteki. Faktor ini muncul akibat dari adanya perhatian khusus dari pihak lain, sehingga timbul rasa malu di dalam diri orang yang bersangkutan. Max Scheler dalam Raphaela Dwianto (1991:16-17) mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: 28

6 Manusia digolongkan sebagai eksistensi universal dan eksistensi partikular. Pada saat anda mengharap dilihat sebagai manusia universal, meskipun orang lain memperhatikan anda sebagai eksistensi tersebut, anda tidak akan merasa malu (dalam kasus pragawati atau pasien). Di lain pihak, pada saat anda mengharapkan dilihat sebagai individu, dan anda diperhatikan seperti yang anda harapkan, maka akan sama halnya (dalam kasus sepasang kekasih). Dari pendapat Max Scheler tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa eksistensi seseorang dapat dilihat sebagai suatu eksistensi universal dan eksistensi partikular. Ketika seseorang berada pada eksistensi universal, maka orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang umum. Dan ketika seseorang berada pada eksistensi partikular, orang lain akan menilainya sebagai sesuatu yang khusus. Ketika berada di dalam dua golongan eksistensi ini, seseorang akan menjadi individu dan orang lain dalam dua posisi yang berbeda. Seseorang tidak akan merasa malu selama tidak terjadi kesalah pahaman dalam menilai eksistensi ini. Sebagai contoh, dapat kita lihat dalam kasus pragawati. Mereka tidak akan malu berjalan di atas panggung meskipun ditatap oleh ratusan orang. Hal ini terjadi akibat adanya kesadaran bahwa pada saat itu mereka berada dalam eksistensi universal dan orang-orang yang melihat mereka pun menempatkan dan menganggap mereka sebagai suatu eksistensi universal. Sebagai contoh lain, dapat kita lihat dalam suatu pasangan. Seseorang tidak akan merasa malu ketika pasangan nya memberikan perhatian khusus. Orang tersebut akan menempatkan dirinya dalam eksistensi partikular dan pasangannya tersebut juga melihatnya dalam eksistensi partikular. Namun, tidak jarang juga terjadi kesalah pahaman dalam diri seseorang ketika berada di dalam eksistensi ini yang menyebabkan timbulnya rasa malu di dalam diri orang tersebut. 29

7 Hal ini dapat kita lihat pada kasus seorang pasien yang canggung atau malu ketika memeriksakan dirinya ke dokter. Pada dasarnya, setiap dokter akan menempatkan dirinya kedalam eksistensi universal. Namun beberapa pasien menempatkan dirinya ke dalam eksistensi partikular. Kesalah pahaman seperti inilah yang biasanya akan menimbulkan rasa malu. Dari sini dapat kita lihat bahwa shiko no kuichigai merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan rasa malu bagi orang Jepang. Dan dapat kita simpulkan bahwa malu yang timbul merupakan malu yang berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan yaitu shichi. 2. Yuretsu Kijun Yuretsu Kijun merupakan faktor kedua yang dapat menimbulkan shichi. Yaitu standarisasi yang digunakan oleh orang Jepang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Di dalam yuretsu kijun, terdapat dua golongan standar yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain. Dengan adanya yuretsu kijun, seseorang akan masuk ke dalam golongan superior atau inferior. Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain berlaku secara umum di masyarakat luas, yuretsu kijun juga berlaku secara khusus dan bersifat pribadi. Berikut pernyataan Sakuta mengenai hal tersebut: Akan tetapi, standar superior dan inferior yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula standar yang lebih luas (misalnya kelas, etnis). Kemudian bila standar ini berbeda dari standar kelompok, maka standar kelompok disadari sebagai suatu standar diri pribadi. 30

8 Dari pernyataan Sakuta diatas, dapat kita lihat bahwa yuretsu kijun menjadi dasar timbulnya malu. Berbeda dengan Benedict yang dalam konsepnya tidak menjelaskan adanya standar tertentu yang dipakai masyarakat dalam mengkritik seseorang, Sakuta di sini secara jelas menagatakan bahwa adanya yuretsu kijun yang digunakan dalam menilai kadar superior dan inferior seseorang, yang kemudian menjadi dasar bagi timbulnya malu di dalam diri orang tersebut. Di sini dapat kita lihat dengan jelas bahwa shichi yang melibatkan yuretsu kijun ini, rangsangannya berasal dari dalam diri orang yang bersangkutan. Dan hal inilah yang membedakannya dari kochi yang proses timbulnya hanya dikaitkan dengan faktor rangsangan dari luar diri orang tersebut. Konsep malu umum atau kochi yang dikemukakan oleh Ruth Benedict bahwa rasa malu timbul karena adanya rangsangan berupa kritik dari masyarakat, menurut Sakuta belum cukup untuk menimbulkan gejala malu. Dasar bagi timbulnya malu adalah adanya perhatian dari orang lain. Perhatian ini melibatkan adanya shikou no kuichigai dan yuretsu kijun. Sakuta menegaskan bahwa di balik segala kritik dan ejekan orang lain, terdapat hal yang lebih mendasar yang dapat menimbulkan malu yaitu perhatian dari orang lain Kouchi, Shichi dan Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang Kouchi dan Shichi dalam Keluarga Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang tekun, ulet, disiplin dan berdedikasi tinggi. Karakteristik bangsa Jepang ini tidak diperoleh secara instan, melainkan melalui proses pengajaran yang turun temurun dari orang tua ke anak 31

9 untuk kemudian diwariskan ke cucu dan keturunan selanjutnya. Keluarga menjadi tempat pendidikan awal bagi anak sebelum memasuki masyarakat yang lebih luas. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang peranan nya sangat besar. Peranan yang sangat besar itu disebabkan oleh karena keluarga mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Fungsi yang sangat penting itu terutama dijumpai pada peranannya untuk melakukan sosialisasi, yang bertujuan untuk mendidik warga masyarakat agar memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianut, untuk pertama kalinya diperoleh dalam keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1992:40) bahwa pola perilaku yang benar dan tidak menyimpang untuk pertama kalinya dipelajari dari keluarga. Keluarga juga merupakan tempat pertama bagi seorang anak untuk belajar mengenal lingkungan di sekitarnya. Selain itu, keluarga juga menekankan nilainilai dan pendidikan moral dengan maksud agar anak tersebut dapat bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Ruth Benedict (1989:280) bahwa pembelajaran budaya malu dimulai dari sikap sopan dalam hal duduk melipat kaki, adab membungkuk, adab anak perempuan dalam hal tidur, adab sopan di meja makan, dan adab memegang sumpit, bahkan juga adab bertindak dalam pengetahuan pertamanya dalam ilmu seksologi. Pada umumnya, seorang individu akan berusaha semampunya untuk meraih prestasi maksimal pada masa remaja. Karena, ketika seorang individu tersebut berada pada tahap pendidikan sekolah dasar, ia telah diajarkan mengenai kompetisi dalam belajar dan nilai-nilai religius. Dan akan timbul rasa malu bagi 32

10 keluarganya apabila si anak tersebut memiliki kebiasaan buruk di sekolah yang menyebabkan prestasinya kurang memuaskan. Sehingga ketika ia sudah dewasa, apabila cita-cita yang ia harapkan tidak tercapai, akan timbul rasa malu di dalam diri individu tersebut. Menurut Ruth Benedict (1989:225), kaitan keluarga dengan budaya malu ialah, keluarga mengatas namakan rasa malu pada proses pembelajaran norma dan kaidah kehidupan. Maka dari itu, keluarga yang pada dasarnya dipimpin oleh orang tua, berperan aktif dalam menanamkan rasa malu pada setiap keluarganya. Seperti pengenalan displin waktu belajar dan bermain, penanaman prinsip bahwa seorang anak akan malu akibat menangis, dan pemahaman konsep yang mengajarkan bahwa anak laki-laki lebih berkuasa dari anak perempuan. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, shichi atau malu khusus yang berhubungan erat dengan shikou no kuichigai dan yuretsu kijun, merupakan hal yang sangat mempengaruhi ada tidaknya rasa malu dalam diri seorang individu pada saat berada dalam lingkungan keluarga. Selain itu Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:35) juga menyebutkan bahwa kedudukan keluarga dalam masyarakat sangat lemah. Pada umumnya, ketika salah seorang anggota keluarga diadili oleh masyarakat, keluarga tidak akan melindungi anggotanya tersebut bahkan ikut mengadilinya. Hal ini terjadi akibat keluarga merasa anggota tersebut pantas untuk menerima hukuman, karena dianggap telah membuat malu keluarganya di mata masyarakat. Dari sini dapat kita lihat bahwa keluarga tidak dapat menolak penilaian masyarakat dan tunduk pada tuntutan masyarakat. Dan jelas bahwa kedudukan keluarga adalah lemah diantara masyarakat. Hal ini membawa pengaruh 33

11 psikologis bagi anggota keluarga dan dianggap sebagai sifat mengarah keluar atau gaimenteki, berupa standarisasi penilaian pihak lain. Sifat gaimenteki ini akan menimbulkan perasaan di dalam diri anggota keluarga bahwa dirinya tidak memiliki arti penting dan muncul rasa kesepian. Dan pada situasi seperti ini biasanya akan mudah timbul kesalah pahaman akibat terlalu pekanya perasaan individu tersebut terhadap perhatian dari orang lain yaitu yang disebut dengan shikou no kuichigai dan juga akan berlanjut kearah sifat yuretsu kijun di dalam dirinya Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat Pada masyarakat Jepang, proses sosialisasi dirasakan sangat penting karena dalam sudut pandang kemasyarakatan, hal itu dilakukan untuk menjaga agar masyarakat terus memiliki anggota yang berkualifikasi (Lebra, 1976;137). Berkualifikasi maksudnya adalah mengerti dan mampu menjalankan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakatnya untuk kemudian menjadikannya sebagai identitas diri atau karakter. Masyarakat luas dalam bahasa Jepang diartikan sebagai taishu shakai. Tadashi Fukutake (1988:116) mendefenisikan taishu shakai sebagai berikut : Taishu shakai mengacu kepada masyarakat yang beranggotakan sejumlah besar individu. Individu-individu di dalam masyarakat tersebut saling terpisah, tidak membentuk organisasi yang satu dan menyeluruh secara erat. Tidak terdapat ikatan erat antar individu. Tiadanya hubungan erat ini menyebabkan rasa kesepian dan rasa tidak aman di dalam diri individu. Masyarakat taishu shakai muncul di Jepang sekitar tahun 1920-an, tepatnya setelah Perang Dunia I berakhir menjelang timbulnya fasisme Jepang. Dan masyarakat taishu shakai ini semakin berkembang pesat setelah Perang 34

12 Dunia II berakhir yang juga merupakan awal mula pendudukan Amerika Serikat, dan terus berlangsung hingga saat ini. Masyarakat taishu shakai merupakan masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional yang erat antar individu. Hubungan yang sering terjadi di antara individu hanya hubungan formal yang tidak akrab. Di dalam masyarakat taishu shakai juga tidak terdapat satu tradisi atau adat istiadat yang yang sama (Soerjono Soekanto, 1985:26). Hal inilah yang merupakan penyebab tidak dapat terjalinnya hubungan erat antar individu. Seperti pendapat Tadashi Fukutake tersebut diatas, individu dalam masyarakat taishu shakai tidak saling memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Tidak adanya ikatan erat ini menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap pandangan individu-individu lain yang ada di sekitarnya. Adanya pandangan atau perhatian dari orang lain, akan menyebabkan seseorang menempatkan dirinya pada eksistensi universal atau partikular yang menimbulkan munculnya shiko no kuichigai dan berakhir dengan timbulnya gejala malu. Dalam masyarakat taishu shakai terdapat suatu sistem sosial masyarakat yang mutlak, yaitu seorang individu hanya ditempatkan sebagai salah satu bagian yang sangat kecil di dalam mekanisme sosial yang sangat besar. Sehingga menimbulkan rasa kesepian dan ketidakberdayaan di dalam diri individu tersebut. Rasa kesepian dan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan seorang individu akan sangat peka terhadap perhatian orang lain. Sehingga timbul lah shiko no kuichigai dan yuretsu kijun yang secara mutlak akan menimbulkan rasa malu di dalam diri individu tersebut. 35

13 Fungsi Malu dalam Masyarakat Jepang Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum, fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif. 1. Fungsi Aktif Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif yang dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang individu untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan peran nya di dalam masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1990:264) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat, setiap anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status dan peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat. Dilihat dari defenisi nya, status dan peran hampir memiliki pengertian yang sama. Yaitu posisi atau kedudukan seseorang di mata masyarakat. Namun jika kita mengamatinya lebih dalam, status dan peran memiliki pengertian spesifik yang berbeda. Status merupakan kedudukan seorang individu di dalam masyarakatnya. Contohnya, status sebagai walikota, status sebagai bupati, status sebagai guru dan sebagainya. Sedangkan peran merupakan pola tindakan seorang individu dalam berinteraksi dan lebih tepatnya membantu masyarakat di sekitarnya. Sebagai contohnya dapat kita lihat seorang polisi. Seorang polisi pada hakekatnya merupakan seseorang yang berperan besar dalam menolong dan melindungi masyarakat. Seorang polisi diharapkan dapat menolong masyarakat 36

14 dalam memberantas kejahatan, menertibkan lalu lintas dan sebagainya sesuai dengan statusnya sebagai seorang polisi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Soerjono Soekanto (1985:37) bahwa status adalah posisi seseorang di dalam suatu sistem sosial masyarakat, sedangkan peran adalah pola perilaku yang berhubungan dengan dengan status orang tersebut. Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status, meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka akan selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya. Seseorang yang tidak menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam dirinya, karena telah gagal menjalankan perannya sebagaimana yang telah dituntut oleh masyarakatnya. Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan diatas. Maka, fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya. 37

15 2. Fungsi Pasif Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya, seorang guru akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal kepada orangorang di sekitarnya. Sehingga orang-orang disekitarnya tersebut akan sangat menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk dipanuti. Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang akan menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu juga dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan akhirnya akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan diri. Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki fungsi pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991:55). Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri. 38

16 2.3. Sejarah Jugun Ianfu Peran Wanita Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia Jepang semasa Perang Dunia II memiliki sesuatu yang kompleks dalam kemajuan industrinya, yaitu kemajuan industri berjalan seiring dengan dipertahankannya apa yang disebut-sebut sebagai tradisi khas. Hal ini berarti bahwa meskipun jepang berhasil mengadopsi kemajuan industri barat, tetapi tidak segala-galanya pikiran barat dipakai. Jepang tetap feodal,otoriter dan fasis. Tetapi sejalan dengan itu, industri Jepang terus merangsak maju dan persenjataan modern juga dimiliki, sehingga dimata dunia Jepang telah menjadi kekuatan baru yang patut diperhitungkan. Negeri Jepang yang pada satu sisi berhadapan dengan Sekutu, dan pada sisi yang lain dihantam oleh kontradiksi tajam di lingkungan internalnya terutama oleh kekuatan industri dan konservatisme feodal, pada dasarnya telah menampakkan corak rejim fasis yang vulgar. Franz Magnis (1995:27) mengatakan bahwa kekuasaan militer yang mutlak, cara memerintah yang totaliter dan genangan ideologi nasionalisme yang kental, merupakan sejumlah bukti dari fasisme Jepang. Realitas perwatakan Jepang yang demikian merupakan ancaman yang paling nyata bagi rakyat jajahannya. Tragedi kehidupan yang menimpa rakyat tersebut pada dasarnya mengenai siapa saja, tua-muda, laki-laki atau perempuan, tentu saja dengan skala dan bentuk yang berbeda-beda. Segi yang menimbulkan ironi adalah bahwa apa yang secara faktual berlangsung, dalam kenyataannya tidak semua dapat hadir berimbang dalam fakta sejarah. Apa yang cenderung hadir adalah adanya bias gender yang menyebabkan tempat bagi kaum laki-laki lebih besar daripada kaum perempuan. Kehadiran 39

17 peran kaum perempuan di masa pendudukan Jepang sangat kecil. Hal ini tampaknya seiring dengan pandangan yang sangat umum yang melihat bahwa dunia perang dan perjuangan adalah wilayahnya kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanyalah penjaga rumah atau pengasuh anak-anaknya. Setiap perang senantiasa berisi heroisme, kekuatan, kejantanan, dan semua atribut yang dikonstruksikan sebagai sifat laki-laki. Artinya, perang merupakan bagian atau dunia untuk kaum laki-laki, dan perempuan hanya menjadi pelengkap atau pendukung yang bisa aktif maupun pasif. Keterlibatan kaum perempuan dalam perang, lebih merupakan suatu keterlibatan yang dijatahkan, ketimbang suatu keterlibatan yang memang harus dipikulnya. Penjatahan tersebut merupakan gambaran hidup bagi perempuan sebagai kaum rendahan, yaitu mereka yang mengisi lapisan bawah struktur. Fakta sejarah menggoreskan bahwa kaum perempuan dikerahkan untuk kepentingan dua hal. Yang pertama, diperbantukan bagi keperluan organ-organ resmi Jepang, dan diperas tenaganya dalam pekerjaan-pekerjaan massal, maupun pekerjaan yang lazim dikatakan sebagai pekerjaan perempuan, seperti menjadi pembantu rumah tangga, bekerja sebagai pelayan, dan lain-lain. Yang kedua, untuk keperluan biologis balatentara jepang yaitu sebagai wanita penghibur. Hal tersebut, pada dasarnya adalah suatu pengerahan kaum perempuan, yang diproyeksikan sebagai pemuas nafsu seks orang jepang yang ada di negara jajahan nya pada masa pendudukan tersebut, baik kalangan militer maupun sipil. Apa yang di hadirkan oleh pemerintahan pendudukan tersebut tidak lain dari suatu praktek prostitusi, yang dikelola secara gelap. 40

18 Praktek kedua inilah yang pada dasarnya menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang paling tidak beruntung, dan merupakan suatu tindakan yang menjadi dalih lahirnya praktek Jugun Ianfu. Jugun Ianfu atau wanita penghibur adalah sebuah konsep yang belakangan ini berkembang, yang menunjuk kepada setiap wanita yang dinyatakan sebagai korban nafsu tentara Jepang selama masa pendudukan di daerah-daerah jajahannya Peristiwa Terjadinya Jugun Ianfu Jugun Ianfu adalah sebutan atau istilah untuk perempuan-perempuan Asia yang direkrut oleh pemerintah Jepang pada masa pendudukannya semasa Perang Dunia II untuk dijadikan budak nafsu seksual bala tentara Jepang. Diperkirakan 200 sampai 400 ribu perempuan Asia berusia 13 hingga 25 tahun dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang ( Sebenarnya hingga sekarang ini belum ada suatu kesepakatan bulat atas konsep Jugun Ianfu ini. Menurut Hartono dan Juliantoro (1997:81-82), setidaknya ada dua pendapat mengenai Jugun Ianfu ini. Satu pendapat menyatakan bahwa Jugun Ianfu adalah pelacur pada masa pendukan Jepang. Pelacur disini bermakna sebagai kaum perempuan yang memiliki profesi sebagai pekerja seks, tetapi dalam hal ini melakukan secara khusus kepada orang-orang Jepang selama masa pendudukan di negeri jajahannya tersebut. Pada dasarnya penjajah memang bertujuan untuk meraih keuntungan dari negara yang dijajah. Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Jepang pada masa jajahannya. Mereka mengeruk segala hasil bumi bahkan memanfaatkan 41

19 perempuan-perempuan dari negara jajahannya sebagai pelampiasan nafsu. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam bagi negara-negara bekas jajahan Jepang. Sebagian besar masyarakat yang mengetahui adanya keterlibatan perempuan, khususnya mereka yang dimasukkan ke dalam sebuah rumah bordil (khusus Jepang), tidak melihat bahwa keberadaan Jugun Ianfu sebagai akibat dari sebuah sistem penjajahan. Dalam hal ini mayarakat tidak percaya bahwa praktek yang dilakukan oleh para perempuan tersebut merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak dikehendaki, suatu tindakan paksa yang tidak bisa ditolak. Terlebih lagi posisi sosial,ekonomi dan politik mereka sangat lemah. Pendapat lain mengatakan bahwa Jugun Ianfu adalah keseluruhan perempuan yang menjadi korban nafsu seks bangsa Jepang (apakah itu bala tentara Jepang ataupun aparat sipil dari pemerintah Jepang tersebut). Pandangan ini sendiri, justru banyak berkembang di kalangan masyarakat Jepang sendiri, terutama mengacu kepada berbagai protes yang telah dilancarkan oleh kelompok masyarakat yang memberikan dukungan kepada eks Jugun Ianfu, khususnya dari Korea, Filipina, Singapura, Cina maupun Indonesia. Hadirnya konsep Jugun Ianfu ini, bukan saja berat bagi pihak yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, tetapi juga bagi mereka yang mengalami atau telah dipaksa menjadi Jugun Ianfu. Masalahnya tidak sematamata pada penderitaan, kesakitan fisik dan mental, bukan hanya pada kekerasan, bukan hanya pada kekasaran kata, bukan hanya kemiskinan yang mereka alami ketika itu, tetapi lebih-lebih kepada masa depan. Dalam situasi di mana Jugun Ianfu diidentikkan sebagai suatu pelacuran, dimana secara faktual mereka 42

20 melakukan suatu hubungan seksual dengan bangsa Jepang ketika itu, maka yang menjadi masalah adalah bahwa kejadian itu akan sangat sulit diterima oleh moral sosial. Membuka masa lalu dirasakan sama artinya dengan kembali kepada masa silam, yang dianggap hina dan tidak diterima oleh masyarakat. Mereka yang pada masa pendudukan Jepang menjadi Jugun Ianfu adalah perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan ada pula yang tidak berpendidikan. Faktor pendidikan ini, dalam banyak hal sangat berpengaruh kepada kemampuan mereka untuk mengakses pengetahuan dan juga kemauan mereka untuk mengakses informasi yang lebih luas. Oleh karena itu tampak behwa mereka adalah kaum perempuan yang bodoh, patuh atau bersedia dilakukan dengan semena-mena. Selain itu, kebanyakan dari para Jugun Ianfu adalah kaum perempuan dari desa, yang secara ekonomi dapat dikatakan berada di level bawah/ miskin (Hartono dan Juliantoro, 1997:89). Sebagian masih gadis, malah ada yang di bawah umur, ada pula yang sudah punya suami dan bahkan ada pula yang sudah punya anak. Dilihat dengan moral sosial, mereka dapat dikategorikan sebagai perempuan baik-baik, yang punya hubungan sosial yang baik dengan keluarga. Rekrutmen jugun ianfu biasanya dilakukan dengan adanya keterlibatan pihak-pihak tertentu, yang kebanyakan adalah aparat desa yang mempunyai akses langsung untuk suatu mobilisasi. Dari kedekatan hubungan dengan para calon jugun ianfu, maka pihak pengumpul atau pencari dapat dibedakan dalam : pihak yang punya hubungan dekat, seperti teman, tetangga, kenalan atau orang yang sudah dikenal; dan orang atau pihak yang sama sekali tidak dikenal, biasanya orang Jepang langsung. 43

21 Dilihat dari polanya, maka tampak dalam rekrutmen jugun ianfu ini, relasirelasi sosial yang ada dimanfaatkan untuk mempermudah proses pengerahan. Adanya pihak-pihak ini membuat proses rekrutmen berjalan cukup lancar, karena masing-masing unsur dari pihak pengumpul ini memiliki akses tersendiri pada kaum perempuan, baik di desa maupun di kota. Para wanita direkrut dengan alasan akan dijadikan penari atau penyayi di negeri Jepang. Secara sederhana, mereka terbuai oleh iming-imingan pemerintah Jepang tersebut, atau dalam kasus tertentu dipaksa oleh orang tua mereka yang harus tunduk pada pemerintah pendudukan tentara Jepang. Bahkan jika para wanita tersebut tetap bersikeras untuk menolak, mereka akan dibawa secara paksa. Seperti yang dikatakan oleh Koichi Kimura (2007:240) bahwa, ada tiga cara perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang terhadap perempuan yang akan dijadikan jugun ianfu antara lain: 1. Pemaksaan melalui kekerasan fisik 2. Pemaksaan dengan jalan menyebarkan perasaan takut dan ancaman disertai terror yang merupakan kekerasan psikologi. 3. Pemaksaan dengan cara tipu daya dengan iming-iming akan diberikan pekerjaan dan janji untuk disekolahkan. Setelah dikumpulkan, kaum perempuan yang akan dipekerjakan akan diseleksi. Mereka yang dinilai layak untuk dipekerjakan sebagai jugun ianfu-lah yang akan diambil. Sedangkan yang dinilai tidak sehat atau tidak layak pada umumnya akan dipekerjakan ditempat lain. Tempat lain yang dimaksud disini dapat berupa rumah makan, tempat hiburan, hotel atau di rumah tangga seorang pembesar militer. Sedangkan tempat penampungan utama dari mereka yang 44

22 dianggap sehat untuk dijadikan jugun ianfu adalah rumah bordil khusus, yaitu lokasi yang secara khusus disediakan bagi orang Jepang. Disebut khusus karena orang Indonesia atau suku bangsa lain tidak boleh masuk kelokasi tersebut. Bahkan, orang Jepang sendiri tidak bisa sembarangan masuk ke lokasi selain yang ditentukan oleh pihak penguasa. Berikut Skema Pengerahan Tenaga Jugun Ianfu : Pemerintahan Militer *Aparat Setempat, Calo, dan lain-lain yang punya akses terhadap perempuan MESIN KONTROL Masyarakat (di mana kaum perempuan berada) Individu (nonmassal) (Calon-Calon) Jugun Ianfu PRT (peran ganda) Hotel; Restoran; Rumah Hiburan Rumah Bordil Orang-Orang Jepang Sipil-Militer 45

23 Berakhirnya Jugun Ianfu Kenyataan di mana bala tentara Jepang akhirnya berhasil dikalahkan oleh sebuah koalisi besar antara negara-negara kapitalis dan negara-negara komunis yang dikenal dengan nama Sekutu, merupakan suatu berkat bagi para jugun ianfu. Pasukan Sekutu inilah yang berhasil menggempur Jepang dan menjadikannya manusia tahanan, yang bertekuk lutut, setelah sebelumnya anak-anak, kaum perempuan, orang tua dan banyak manusia lainnya habis dibumi hanguskan oleh bom atom. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Timur, memang digembirakan oleh berita kekalahan Jepang tersebut. Tetapi itulah paradoksnya, bahwa kebahagiaan itu adalah derita bagi rakyat Jeoang yang tinggal di Hiroshima dan Nagasaki. Seiring berakhirnya masa jajahan Jepang pada tahun 1945 mereka meninggalkan Indonesia sekaligus melepaskan para jugun ianfu. Beberapa diantara mereka dikembalikan ke wilayah asalnya masing-masing, namun sebagiannya masih terserak di wilayah-wilayah yang jauh dari tempat asal mereka. Seperti catatan-catatan yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, masih banyak perempuan mantan jugun ianfu yang tersebar di berbagai pulau dipelosok Indonesia. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Perawan Remaja dalam Cenkeraman MIliter menceritakan perempuan-perempuan yang terdapat di pulau Buru. Keadaan para jugun ianfu setelah Jepang melepaskan mereka adalah sesuatu yang menyedihkan. Sebagian dari perempuan yang telah diperlakukan tidak manusiawi itu ditinggalkan begitu saja di tempat mereka dilecehkan. Pulau Buru merupakan salah satu wilayah terpencil dan asing bagi para perempuan 46

24 malang tersebut. Mereka tidak dapat kembali karena tidak tahu jalan pulang, atau banyak juga yang malu untuk kembali karena keadaan mereka yang menganggap mereka memalukan. Mereka yang bertahan disana diambil orang-orang dari suku pedalaman untuk dijadikan istri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang menarik. Apabila dibandingkan dengan perempuan asli Buru, maka keadaan mereka akan sangat jauh berbeda. Perbedaan kulit dan wajah mereka sangat berbeda dengan penduduk asli Buru, maka tidak heran mereka menjadi tawanan disana. Penderitaan yang dialami para jugun ianfu berakhir seiring dengan berakhirnya perang dunia ke-2 dan Jepang kalah perang tahun 1945, ditandai dengan dibomnya sebuah asrama jugun ianfu yang terletak di daerah Telawang Kalimantan Selatan oleh tentara sekutu. Tentara Jepang yang berada di asrama Telawang menghilang, dan para jugun ianfu mengambil keputusan untuk kembali ke daerah asal mereka. Namun mereka tidak bisa pulang dengan mudah. Hal ini diketahui bahwa banyak perempuan jugun ianfu malu. Mereka yang pulang kembali ke daerah asal mereka dengan menanggung malu akibat 3 tahun mereka dijadikan pemuas nafsu Jepang. Sebagian masayarakat yang mengetahui masa lalu mereka menganggap mereka adalah pelacur. Seperti yang diungkapkan oleh Eka Hindra Koichi Kimura, masalahmasalah yang dirasakan para jugun ianfu adalah sebagai berikut: 1. Kesehatan yang buruk akibat kekerasan fisik, psikologis, dan seksual yang mereka alami selama menjadi jugun ianfu. Karena mereka tidak memiliki cukup uang untuk memelihara 47

25 kesehatannya, sebagian besar jugun ianfu meninggal karena tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. 2. Trauma akibat perbudakan seks yang harus mereka jalani pada usia yang masih sangat muda. 3. Tertekan secara sosial karena oleh masyarakat dianggap sebagai bekas pelacur dan manusia kotor, mengingat masyarakat tidak mendapatkan informasi yang benar tentang sejarah jugun ianfu. 4. Tertekan secara psikis karena perasaan bersalah telah menjadi jugun ianfu. 5. Sebagian besar jugun ianfu dalam keadaan miskin karena ditolak bekerja di tengah-tengah masyarakat dengan alasan bekas pelacur. Berakhirnya asrama-asrama pengelola layanan seksual antara lain Jepang tersebut, pada dasarnya meninggalkan sejumlah soal yang sangat serius bagi para eks jugun ianfu, yang telah ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang merekrut, yang memeras tenaga serta memperdaya mereka selama bertahun-tahun, yaitu stigma sosial, kepedihan, duka pribadi yang mendalam, masalah kesehatan pada sebagian besar eks jugun ianfu, dan ketidakpastian hidup. Keempat soal tersebut pada dasarnya adalah muatan dari suatu kondisi kehinaan yang mendalam sebagai manusia yang telah dipaksa melakukan perbuatan yang oleh moral sosial Indonesia dilaknat sebagai tindakan aib dan dosa. 48

ABSTRAK. Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas

ABSTRAK. Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas ABSTRAK Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak. Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedudukan perempuan berada

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedudukan perempuan berada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, kedudukan perempuan berada di bawah pengaruh laki-laki. Kadang perempuan dijadikan alat politik untuk memperoleh kekuasaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karakteristik geografis suatu Negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. tetapi sumber daya manusianya pun dipergunakan untuk kepentingan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. tetapi sumber daya manusianya pun dipergunakan untuk kepentingan BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasarkan hasil yang analisis data yang diperoleh dari penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Jepang bukan hanya memanfaatkan sumber daya alam Indonesia saja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dipaparkan beberapa sumber literatur utama dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dipaparkan beberapa sumber literatur utama dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dipaparkan beberapa sumber literatur utama dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulisan skripsi tentunya tidak lepas dari kajian pustaka yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi. kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi. kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh karakteristik geografis negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian politik imperealismenya di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB II GAMBARAN UMUM BAB II GAMBARAN UMUM 2.1. Jepang Pasca Perang Dunia II Pada saat Perang Dunia II, Jepang sebagai negara penyerang menduduki negara Asia, terutama Cina dan Korea. Berakhirnya Perang Dunia II merupakan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal dan keberadaannya disadari sebagai sebuah realita di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prostitusi merupakan persoalan klasik dan kuno tetapi karena kebutuhan untuk menyelesaikannya, maka selalu menjadi relevan dengan setiap perkembangan manusia dimanapun.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyesuaian diri merupakan salah satu persyaratan penting bagi terciptanya kesehatan mental remaja. Banyak remaja yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas suami istri dan anakanaknya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas suami istri dan anakanaknya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas suami istri dan anakanaknya, kerap sekali keluarga itu tidak hanya terdiri dari suami istri dan anakanaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007). 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan apabila berumur dibawah 18 tahun, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam

I. PENDAHULUAN. Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga adalah satuan sosial yang paling mendasar, dan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (baik yang dilahirkan ataupun diadopsi). Menurut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial

BAB V PENUTUP. A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Mantan Pekerja Seks Komersial Berbagai tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pernah dialami oleh lima orang mantan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sikap bahasa merupakan sebagian dari sosiolinguistik yang mengkaji tentang bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sikap bahasa merupakan sebagian dari sosiolinguistik yang mengkaji tentang bahasa. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Sikap bahasa merupakan sebagian dari sosiolinguistik yang mengkaji tentang bahasa. Jadi sikap bahasa tidak bisa lepas dari sosiolinguistik. Kebebasan memilih dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berinteraksi dengan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pekerja Seks Komersial Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktek prostitusi (Departemen

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Dampak skizofrenia bagi keluarga sangatlah besar, ini menyebabkan seluruh keluarga ikut merasakan penderitaan tersebut. Jika keluarga tidak siap dengan hal ini,

Lebih terperinci

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu Upaya orang tua dalam membina emosi anak akibat perceraian di Kecamatan Bukit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Suami Rosa biasa memukulinya. Ia memiliki dua anak dan mereka tidak berani berdiri di hadapan ayahnya karena mereka takut akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Panti Sosial Bina Remaja sebagai salah satu Panti Sosial dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Tengah di PalangkaRaya ini memiliki

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : NITALIA CIPUK SULISTIARI F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011). 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, manusia untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Pernikahan

Lebih terperinci

Negara Jangan Cuci Tangan

Negara Jangan Cuci Tangan Negara Jangan Cuci Tangan Ariel Heryanto, CNN Indonesia http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160426085258-21-126499/negara-jangan-cuci-tangan/ Selasa, 26/04/2016 08:53 WIB Ilustrasi. (CNN Indonesia)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke

BAB I PENDAHULUAN. calon mahasiswa dari berbagai daerah Indonesia ingin melanjutkan pendidikan mereka ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan manusia dari generasi ke generasi untuk menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter,

Lebih terperinci

Kalender Doa TWR Women of Hope Maret 2017 Berdoa Bagi Wanita Agar Berdampak Bagi Kebutuhan Dunia

Kalender Doa TWR Women of Hope Maret 2017 Berdoa Bagi Wanita Agar Berdampak Bagi Kebutuhan Dunia Kalender Doa TWR Women of Hope Maret 2017 Berdoa Bagi Wanita Agar Berdampak Bagi Kebutuhan Dunia Meskipun banyak rintangan dan tidak memperdulikan apakah mereka menerima pengakuan, para wanita biasanya

Lebih terperinci

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia 0 P a g e 1 Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia Perdagangan manusia (atau yang biasa disebut dalam udang-undang sebagai perdagangan orang) telah terjadi dalam periode yang lama dan bertumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang indah, tetapi tidak setiap remaja dapat menikmati masa remajanya dengan baik dan membahagiakan, sebab tidak jarang beberapa permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang

BAB I PENDAHULUAN. Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Indonesia merupakan masyarakat yang plural dan multikultural.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah mahkluk sosial, di manapun berada selalu terdapat penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh anggotanya, baik yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada

BAB VI PENUTUP. diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian. secara mendalam peneliti membahas mengenai self blaming pada 144 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa ketiga subjek mengalami self blaming. Kemudian secara mendalam peneliti membahas mengenai self

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon

BAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan aset, anak adalah titisan darah orang tua, anak adalah warisan, dan anak adalah makhluk kecil ciptaan Tuhan yang kelak menggantikan peran orang tua sebagai

Lebih terperinci

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang

Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat. Negara dan bangsa akan maju jika ada prinsip kejujuran. Salah satu bangsa yang BAB II GAMBARAN UMUM PRODUKTIFITAS ORANG JEPANG 2.1 Pengertian Karakter Menurut kamus bahasa Indonesia, Karakter memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan sering menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara bicara, cara berjalan, dan bentuk tubuh. Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak manusia lahir hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkandari penelitiansebelumnya,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkandari penelitiansebelumnya, 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan pustaka yang telah dikumpulkandari penelitiansebelumnya, ada beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan terbesar yang dihadapi siswa adalah masalah yang berkaitan dengan prestasi, baik akademis maupun non akademis. Hasil diskusi kelompok terarah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir semua manusia hidup terikat dalam sebuah jaringan dimana seorang manusia membutuhkan manusia lainnya untuk dapat hidup

Lebih terperinci

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS Di dunia ini Laki-laki dan perempuan memiliki peran dan status sosial yang berbeda dalam masyarakat mereka, dan Komisi diharuskan untuk memahami bagaimana hal ini berpengaruh

Lebih terperinci

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: SITI SOLIKAH F100040107 Kepada FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat lepas berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk berkomunikasi atau bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia dan negara-negara lain istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Wanita Tuna Susila. Ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberi makna kepada orang lain sesuai dengan konteks yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. memberi makna kepada orang lain sesuai dengan konteks yang terjadi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalu penggunaan simbol (Samovar, 2014,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah sekelompok orang yang menempati suatu wilayah tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah sekelompok orang yang menempati suatu wilayah tertentu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat adalah sekelompok orang yang menempati suatu wilayah tertentu yang secara langsung atau tidak langsung saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhannya

Lebih terperinci

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT

Abstraksi. Kata Kunci : Komunikasi, Pendampingan, KDRT JUDUL : Memahami Pengalaman Komunikasi Konselor dan Perempuan Korban KDRT Pada Proses Pendampingan di PPT Seruni Kota Semarang NAMA : Sefti Diona Sari NIM : 14030110151026 Abstraksi Penelitian ini dilatarbelakangi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah ada dalam jiwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari ketidakpuasan seseorang terhadap kondisi hidupnya sehingga melihat anak yang tidak berdaya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Panti sosial asuhan anak menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (2004:4) adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena berpacaran sudah sangat umum terjadi dalam masyarakat. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan memahami lawan jenisnya

Lebih terperinci

Kalender Doa Proyek Hanna Januari 2013

Kalender Doa Proyek Hanna Januari 2013 Kalender Doa Proyek Hanna Januari 2013 Kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat secara drastis, baik dalam angka, frekuensi maupun tingkat kekejamannya. Beberapa berita mengejutkan antara lain: Seorang

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. yakni Bagaimana struktur novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf? dan

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. yakni Bagaimana struktur novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf? dan 324 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Setelah melalui tahap analisis, sampailah kita pada bagian simpulan. Simpulan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan besar pada awal penelitian, yakni Bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang dikenal dengan kesopansantunannya. Hal ini bahkan sudah tersirat dalam ideologi negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA bahkan sampai ke Perguruan Tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA bahkan sampai ke Perguruan Tinggi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah, tidak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan

Lebih terperinci

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh : Yustina Permanawati F 100 050 056 FAKULTAS

Lebih terperinci

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penelitian Sekolah merupakan salah satu lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat. Sekolah sebagai organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai mahluk sosial, manusia akan senantiasa berinteraksi dengan mahluk lain sehingga aktivitas-aktivitas sosial mereka dapat terpenuhi. Interaksi sosial yang menjadi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma

BAB I PENDAHULUAN. dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Penyimpangan dari norma norma BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemenuhan kebutuhan seks di luar lembaga perkawinan dianggap sebagai sebuah tindakan yang menyimpang dari nilai, aturan, dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tren hidup masyarakat modern. Di Indonesia, budaya samen leven dianggap

BAB I PENDAHULUAN. tren hidup masyarakat modern. Di Indonesia, budaya samen leven dianggap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada zaman sekarang wanita dan pria hidup bersama tanpa ikatan pernikahan (samen leven) menjadi fenomena yang sudah biasa yang sulit diberantas. Hal ini didukung dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan kearah yang lebih baik tetapi perubahan ke arah yang semakin buruk pun terus berkembang.

Lebih terperinci

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK:

PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: PANDUAN PENDAMPINGAN DAN WAWANCARA TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ANAK: 1 The Regional Support Office of the Bali Process (RSO) dibentuk untuk mendukung dan memperkuat kerja sama regional penanganan migrasi

Lebih terperinci

BAB III INDIVIDU, KELUARGA DAN MASYARAKAT

BAB III INDIVIDU, KELUARGA DAN MASYARAKAT BAB III INDIVIDU, KELUARGA DAN MASYARAKAT A. INDIVIDU 1. Pengertian Individu Individu berasal dari kata latin individuum artinya yang tak terbagi/satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu

Lebih terperinci

erotis, sensual, sampai perasaan keibuan dan kemampuan wanita untuk menyusui. Payudara juga dikaitkan dengan kemampuan menarik perhatian pria yang

erotis, sensual, sampai perasaan keibuan dan kemampuan wanita untuk menyusui. Payudara juga dikaitkan dengan kemampuan menarik perhatian pria yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu menginginkan kehidupan yang bahagia dan tubuh yang ideal. Harapan ini adalah harapan semua wanita di dunia, tetapi kenyataannya tidak semua wanita memiliki

Lebih terperinci

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA Oleh: Alva Nadia Makalah ini disampaikan pada Seminar Online Kharisma ke-3, dengan Tema: Kekerasan Pada Anak: Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama Dunia Maya,

Lebih terperinci

www.rajaebookgratis.com. "Ih, Udah Gede Kok Nggak Punya Malu!" Rasa malu merupakan salah satu nilai moral yang patut diajarkan pada anak. Perasaan ini tidak ada kaitannya dengan sifat pemalu. Bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan manusia mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Contohnya, perubahan kebudayaan, adat istiadat, peradaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita, (Junaidi, 2012: 43). Waria adalah gabungan dari wanita-pria

Lebih terperinci

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Pedologi Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Fakultas Psikologi Yenny, M.Psi. Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Tipe-tipe Penganiayaan terhadap Anak Penganiayaan

Lebih terperinci

Kecemasan Terhadap Kematian

Kecemasan Terhadap Kematian Skema 1 Interelasi faktor subyek 1 Penanaman agama yang kuat sejak kecil Hubungan dengan orang tua cukup harmonis, kenangan salah satu orang tua telah meninggal Ancaman: Kematian dianggap ancaman karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek

BAB I PENDAHULUAN. Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia secara individu maupun secara sosial tidak pernah lepas dari aspek budaya dalam hal ini adat-istiadat. Setiap bangsa di dunia memiliki adat istiadat

Lebih terperinci