PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS"

Transkripsi

1 PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS SKRIPSI Oleh : DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075 JURUSAN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2003

2 PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS SKRIPSI untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat sarjana teknik Program Studi Teknik Geodesi-Geomatika diajukan oleh : DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075 kepada : JURUSAN TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA i

3 SKRIPSI PEMBUATAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL DARI SUMBER CITRA ASTER SECARA SEMI OTOMATIS dipersiapkan dan disusun oleh : DANIEL ADI NUGROHO NIM : 99/129265/TK/24075 telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 11 Oktober 2003 Susunan Dewan Penguji : Ketua/Pembimbing Anggota 1. Ir. Djurdjani, MS., M.Eng Ir. Hadiman, M.Sc. 2. Catur Aries Rokhmana, S.T., M.T. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai derajat sarjana teknik Program Studi Teknik Geodesi Tanggal... Ir. H. Sumaryo, M.Si. Ketua Jurusan Teknik Geodesi ii

4 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Yogyakarta, 11 Oktober 2003 Daniel Adi Nugroho iii

5 I dedicate this to The Lord to whom I belong, my parents who care for me, the one who lets me print this using her Canon BJC-2100SP. iv

6 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan anugerahnya sehingga penelitian tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan dalam mencapai derajat sarjana teknik pada Program Studi Teknik Geodesi-Geomatika. Dalam penulisan tugas akhir ini telah banyak pihak yang turut memberikan dukungan, baik berupa bimbingan, saran, maupun bantuan administratif yang sangat membantu kelancaran penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Ir. Sumaryo, M.Si., Ketua Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 2. Ir. Waljiyanto, M.Sc., Sekretaris Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. 3. Ir. Djurdjani, MS., M.Eng., dosen pembimbing tugas akhir atas bimbingan dan arahannya. 4. Heri Sutanta, S.T., M.Sc., yang telah memberikan motivasi dan masukan yang sangat berharga pada awal penelitian. 5. Ir. Soeta at, Dipl., Ph.E., yang telah memberikan saran dan kritik pada awal penelitian. 6. Harintaka, S.T., M.T., yang telah memberikan beberapa informasi pada awal penelitian. 7. Dr. Ming-Ying Wei, staf NASA Headquarters, yang telah memberikan ijin penggunaan data citra ASTER. 8. Ir. T. Aris Sunantyo, M.Sc., atas dukungan moral dan pinjaman bukubuku teksnya. 9. Inge Wijaya atas dukungan moral, ide awal penelitian serta print-out buku-buku teks, Hendro Prastowo dan Hermawan Eko S. atas CDwriternya, I Made Martawan atas bantuan CPU yang bertenaga, Dia lah Hokosuja H., atas pertimbangan least squares-nya, Sukamto atas printer v

7 BJC-1000SP-nya, dan juga saudaraku Ardhian Prabawa yang meminjamkan CPU-nya pada saat-saat akhir penulisan. 10. Chris Triwarseno, Edi Suryanto, WS Andirachman, Laswanto, Adi Permadi, Fachry Ansori, Yulieta, Niken ZS, Vitriani, Bisri Musthofa, Bayu Triyogo, serta rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu demi satu, atas dukungan moral dan persahabatan yang hangat. 11. Bapak Prayoga, Ibu Murwati, serta Kristi Puji Astuti atas semua bantuannya. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, terutama yang berkaitan dengan bidang fotogrametri, penginderaan jauh maupun pemetaan topografi. Yogyakarta, 11 Oktober 2003 Penulis vi

8 DAFTAR ISI Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... ii Halaman Pernyataan... iii Halaman Persembahan... iv Kata Pengantar... v Daftar Isi... vii Daftar Gambar... ix Daftar Tabel... x Daftar Lampiran... xi Intisari... xii BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang... 1 I.2. Tujuan... 2 I.3. Pembatasan Masalah... 2 I.4. Landasan Teori... 3 I.4.1. Sistem Satelit Terra... 3 I Karakteristik Sistem... 3 I Sensor-sensor pada Satelit Terra... 3 I.4.2. Sensor ASTER... 3 I Karakteristik Sensor ASTER... 3 I Sifat Stereoskopik pada Citra ASTER... 6 I.4.3. Data Citra ASTER... 7 I Pemrosesan Data Citra ASTER... 7 I Format Data Citra ASTER... 7 I.4.4. Pembentukan Model Permukaan Digital... 7 I Teknik Korelasi Silang... 7 I Penghitungan Paralaks dan Elevasi I Model Permukaan Digital I.4.5. Noise filtering I Simpangan Baku Lokal I Filter Median I.4.6. Hitung Kuadrat Terkecil I.4.7. Transformasi Polinomial I.4.8. Teori Kesalahan I.4.9. Acuan Ketelitian Baku I.4.9. Perangkat Lunak Komputer I IDL/ENVI I Delphi BAB II PELAKSANAAN II.1. Persiapan II.2. Materi Penelitian II.3. Alat Penelitian II.4. Alur Penelitian vii

9 II.4.1. Pemrograman Komputer II Perancangan Interface II Penulisan Kode Program II Uji Program dan Debugging II.4.2. Ekstraksi Band 3N dan 3B II.4.3. Pengukuran Koordinat pada Peta Rupabumi II Titik Kontrol Tanah dan Titik Ikat II Titik Cek II.4.4. Pengukuran Koordinat Titik Ikat pada Citra II.4.5. Pengolahan Data secara Otomatis II Registrasi Band 3B ke 3N secara Otomatis II Korelasi Stereo secara Otomatis II Noise filtering Model Permukaan Digital II Koreksi Elevasi secara Otomatis II Penyimpanan Data Model Permukaan Digital II.4.6. Georeferensi Model Permukaan Digital II.4.7. Evaluasi Ketelitian Model Permukaan Digital II.4.8. Visualisasi Model Permukaan Digital BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN III.1. Hasil Penelitian III.2. Registrasi Band 3B ke 3N III.3. Korelasi Stereo secara Otomatis III.3.1. Ukuran Daerah Selidik III.3.2. Ukuran Daerah Sasaran III.4. Noise filtering III.5. Koreksi Elevasi Model Permukaan Digital III.6. Georeferensi Model Permukaan Digital III.6. Ketelitian Model Permukaan Digital BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN IV.1. Kesimpulan IV.2. Saran IV.2.1. Pengembangan Program IV.2.2. Penelitian pada Daerah dengan Berbagai Variasi Terrain IV.2.3. Pengujian dengan Menggunakan MPD Acuan IV.2.4. Penggunaan Komputer dengan Kecepatan Tinggi Daftar Pustaka Lampiran viii

10 DAFTAR GAMBAR Gambar I.1. Diagram skematik linear array sensor... 4 Gambar I.2. Subsistem VNIR pada sistem sensor ASTER... 6 Gambar I.3. Geometri citra ASTER... 6 Gambar I.4. Korelasi silang 2 dimensi... 8 Gambar I.5. Estimasi koordinat sub-piksel Gambar I.6. Penentuan elevasi berdasarkan paralaks pada citra ASTER Gambar I.7. Proses penghitungan median filter Gambar I.8. Kurva distribusi normal Gambar II.1. Diagram alir penelitian Gambar II.2. Properties dan Events dalam Object Inspector Delphi Gambar II.3. Code Editor pada Delphi Gambar II.4. Ukuran citra ASTER Level-1B full scene Gambar II.5. Fasilitas New File Builder pada ENVI Gambar II.6. Distribusi titik GCP dan titik ikat yang digunakan Gambar II.7. Tampilan awal program DEMCreator Gambar II.8. Bagian pengaturan proses dalam program DEMCreator Gambar II.9. Daerah tepi yang tidak dapat dihitung nilai korelasi silangnya Gambar II.10. Citra dengan noise dan citra yang telah dihilangkan noise-nya Gambar II.11. Bagian pengaturan lanjut DEMCreator Gambar II.12. Pemilihan GCP untuk proses georeferensi Gambar II.13. Fasilitas Image to Map Registration untuk melakukan georeferensi model Gambar III.1. Selisih elevasi titik cek pada model terhadap elevasi titik cek pada peta rupabumi ix

11 DAFTAR TABEL Tabel I.1. Parameter orbit satelit Terra... 3 Tabel I.2. Karakteristik band Citra ASTER... 5 Tabel I.3. Faktor pengali σ untuk berbagai tingkat kepercayaan Tabel I.4. Hubungan antara skala peta, interval kontur, dan syarat tingkat ketelitian Tabel III.1. Nilai parameter transformasi polinomial satu dimensi Tabel III.2. Pengaruh ukuran daerah sasaran terhadap ketelitian korelasi otomatis Tabel III.3. Pengamatan secara visual hasil filter Tabel III.4. Nilai parameter transformasi dalam koreksi elevasi x

12 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran A Visualisasi Model Permukaan Digital Lampiran B Daftar Koordinat GCP dan Titik Ikat Lampiran C Hasil Uji Korelasi Otomatis Lampiran D Hasil Uji Noise filtering Lampiran E Hasil Uji Ketelitian Model Permukaan Digital Lampiran F Setting Program untuk Pembuatan Model Permukaan Digital Daerah Parengan, Tuban Lampiran G Panduan Singkat Penggunaan Program DEMCreator Lampiran H Flowchart Modul Program Korelasi Otomatis dan Filtering Lampiran I CD-ROM Dokumen Skripsi... folder DOC 2. Data Mentah... folder RAW 3. Data Hasil Olahan... folder DEM 4. Paket Program DEMCreator 4... folder SOFT xi

13 INTISARI Perkembangan teknik fotogrametri ke arah sistem digital berjalan dengan cepat seiring dengan semakin majunya teknologi komputer. Demikian pula dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh yang memberikan banyak inovasi baru dalam kaitannya dengan kegiatan pemetaan. Salah satunya ditandai dengan diluncurkannya satelit EOS-AM1/Terra yang memiliki sensor ASTER dengan kemampuan yang istimewa yaitu mengindera tempat yang sama dari dua posisi pencitraan dalam satu jalur orbit, sehingga didapatkan citra stereo. Dari pasangan citra stereo tersebut, dapat dibentuk model tiga dimensi dari permukaan daerah yang diindera. Penelitian ini memanfaatkan prinsip paralaks untuk menentukan elevasi titiktitik pada citra ASTER dalam pembentukan model permukaan digital. Dalam menentukan elevasi hanya diperhatikan dua faktor, yaitu B/H ratio sebesar 0,6 dan beda paralaks tiap piksel. Untuk menentukan titik-titik yang bersesuaian pada dua buah citra, dilakukan proses image-matching secara otomatis dengan teknik korelasi silang. Untuk melaksanakan korelasi otomatis serta penghitungan model permukaan digital ini disusun sebuah program komputer dengan menggunakan perangkat lunak pemrograman Delphi 5. Hasil utama yang didapat dari penelitian ini adalah sebuah model permukaan digital tergeoreferensi daerah Parengan, Tuban, Jawa Timur, berukuran 1132 piksel x 1131 piksel dengan resolusi spasial 15 meter secara horisontal dan 1 meter secara vertikal. Berdasarkan 150 buah titik sampel yang diambil dari titik-titik tinggi pada peta rupabumi didapatkan root mean square error (RMSE) pada komponen elevasi sebesar 8,8 meter atau setara dengan tingkat ketelitian sebesar 14,48 meter pada tingkat kepercayan 90%, sehingga memenuhi persyaratan ketelitian menurut United States National Map Accuracy Standards untuk keperluan pembuatan peta topografi dengan skala 1: atau lebih kecil lagi. xii

14 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pengukuran bentuk fisik dari permukaan bumi adalah pekerjaan yang sangat penting dalam geodesi dan kartografi. Dapat dikatakan semua penelitian yang melibatkan permukaan bumi memerlukan data topografi dan produk turunannya, seperti kemiringan lahan, aspek kemiringan, serta pola drainase. Pada kasus tertentu, misalnya untuk daerah bergelombang, data model permukaan digital diperlukan untuk memproduksi citra raster yang terektifikasi dan bergeoreferensi, yang merupakan suatu keharusan dalam integrasi data citra ke sebuah Sistem Informasi Geografis. Selain itu, data topografi juga diperlukan untuk melakukan koreksi geometrik, radiometrik, dan atmosferik terhadap data satelit yang dihasilkan oleh instrumen optis maupun gelombang mikro (Lang, 1999). Dalam pekerjaan pembuatan peta topografi, data elevasi permukaan bumi didapatkan dari berbagai sumber, seperti dari pemetaan terestris maupun dari pemetaan fotogrametri. Untuk wilayah yang luas, pemetaan secara terestris membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar, sehingga pemetaan secara fotogrametri merupakan alternatif menarik sebagai sumber data dalam pemetaan, terutama pada daerah yang sulit dijangkau. Selaras dengan perkembangan teknologi, teknik fotogrametri tidak hanya dapat diterapkan pada foto udara, namun juga dapat diterapkan pada data citra satelit. Citra satelit mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan foto udara konvensional, diantaranya adalah daerah cakupan yang lebih luas, akuisisi data yang lebih cepat dan murah daripada foto udara, dan penggunaan spektrum yang lebih luas. Perkembangan teknik fotogrametri ke arah sistem digital berjalan dengan cepat seiring dengan semakin majunya teknologi komputer. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh data digital apabila dibandingkan dengan data analog, serta semakin efisiennya pekerjaan yang dilakukan dengan menggunakan sistem digital merupakan pendorong utama transisi dari fotogrametri konvensional menuju fotogrametri digital. Pada pengolahan data citra satelit untuk pembentukan model 1

15 2 permukaan digital, proses otomasi mutlak diperlukan karena kuantitas data yang besar dan kerumitan dalam hitungan matematis yang terlibat di dalamnya. Salah satu metode yang digunakan untuk menentukan beda tinggi antar titik dalam fotogrametri adalah penggunaan paralaks, yaitu perubahan kenampakan posisi suatu objek terhadap kerangka acuan tertentu yang disebabkan oleh perpindahan posisi pengamat. Selama ini, prinsip paralaks telah diaplikasikan dengan bantuan stereoskop dan tongkat paralaks. Dari pengukuran beda paralaks dapat dihitung beda tinggi dengan menggunakan suatu rumusan matematis yang relatif lebih sederhana daripada penghitungan dengan prinsip kesegarisan dan kesebidangan. Pembuatan model permukaan digital dari citra satelit telah dilakukan pada citra-citra satelit yang mempunyai sifat stereoskopis, seperti SPOT, JERS-1, dan MOMS. Salah satu kelemahan dari citra satelit sebagai sumber data untuk pembuatan model permukaan digital adalah adanya selang waktu yang relatif lama antara dua pengambilan gambar pada daerah yang akan dibentuk model permukaan digitalnya. Adanya selang waktu ini memberikan dampak negatif pada proses pembentukan model stereo karena daerah yang akan ditinjau akan mengalami berbagai perubahan kenampakan, yang meliputi perubahan iluminasi, perubahan penutup lahan, perubahan cuaca, maupun perubahan geomorfologis lainnya. Pada citra ASTER, kelemahan ini dapat diatasi dengan adanya selang waktu yang singkat antara dua pengambilan citra stereo, yaitu sekitar 9 detik. I.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membentuk model permukaan digital dengan memanfaatkan prinsip paralaks. Untuk menentukan titik-titik yang bersesuaian pada dua buah citra, dilakukan proses image-matching dengan teknik korelasi silang. I.3. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, hanya dua faktor yang diperhitungkan dalam pembentukan model permukaan digital, yaitu beda paralaks serta perbandingan basis terhadap tinggi terbang sebesar 0,6. Pengaruh kesalahan orientasi sumbu-sumbu kamera, pengaruh kelengkungan bumi, pengaruh kesalahan orbit satelit, pengaruh variasi skala dalam satu scene, serta pengaruh kesalahan radiometris diabaikan.

16 3 I.4. Landasan Teori I.4.1. Sistem Satelit Terra (EOS AM-1) I Karakteristik Sistem. Pada bulan Desember 1999, National Aeronautics and Space Administration (NASA) meluncurkan sebuah satelit bernama EOS AM-1/Terra sebagai bagian awal dari misi Earth Observing System (EOS). EOS terdiri dari komponen ilmiah dan sistem informasi data yang memberikan dukungan kepada sejumlah satelit terkoordinasi dengan orbit kutub dan orbit berinklinasi rendah untuk observasi global jangka panjang dari permukaan daratan, biosfer, kerak bumi, atmosfer, dan lautan (Abrams, 2002). Tabel I.1. Parameter orbit satelit Terra (ASTER Science Team, 2001) Parameter Keterangan Orbit Sun synchronous, descending Sumbu semi-major (rerata) 7078 km Eksentrisitas 0,0012 Waktu lintas (lokal) ± 15 menit. Kisaran ketinggian km (705 km pada ekuator) Inklinasi 98,2 ± 0,15 Repeat cycle 16 hari (233 revolusi / 16 hari) Jarak antara orbit yang berdekatan 172 km Periode orbit 98,9 menit Satelit Terra berada pada orbit kutub yang bersifat sun-synchronous, 30 menit dibelakang Landsat ETM+; Terra melintasi ekuator pada sekitar pukul pagi waktu setempat. Parameter orbit satelit Terra ditunjukkan pada Tabel I.1. I Sensor-sensor pada Satelit Terra. Selain Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER), instrumen lain yang terpasang pada satelit Terra adalah Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), Multi-angle Imaging Spectro-Radiometer (MISR), Clouds and the Earth s Radiant Energy System (CERES), dan Measurements of Pollution in the Troposphere (MOPITT). I.4.2. Sensor ASTER I Karakteristik Sensor ASTER. ASTER (Advanced Spaceborne

17 4 Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah sebuah pengindera multispektral modern yang dipilih oleh NASA untuk dipasang pada satelit EOS AM- 1 (Terra) bersama dengan empat buah sensor yang lain. Konsep dasar dari ASTER adalah mengumpulkan data spektral kuantitatif dari radiasi yang dipantulkan dan dipancarkan dari permukaan bumi dalam jangkauan panjang gelombang 0,5 2,5 µm dan 8 12 µm. Tujuan umum dari penyelidikan ilmiah menggunakan ASTER adalah untuk mempelajari interaksi antara geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi, dari sudut pandang geofisika (ASTER Science Team, 2001). Salah satu kemampuan sensor ASTER pada satelit Terra yang cukup menarik adalah kemampuan stereoskopisnya pada arah jalur orbit, dimana waktu yang diperlukan untuk mencitrakan suatu daerah dari dua sudut yang berbeda (arah nadir dan arah lihat-belakang) relatif singkat, yaitu sekitar 64 detik. Dalam waktu yang sangat singkat itu, perubahan kenampakan permukaan bumi akibat perubahan cuaca atau penutup lahan akan dapat diminimalisasi. Selain itu, resolusi spasial yang ditawarkan cukup tinggi, yaitu 15 meter. Gambar I.1. Diagram skematik linear array sensor. (JARS, 1993) Sensor ASTER pada subsistem VNIR termasuk tipe pushbroom dengan 5000 buah detektor CCD (Charge Coupled Device) yang terbuat dari silikon. Pushbroom

18 5 scanner atau linear array sensor adalah sebuah sistem penyiam (scanner) yang tidak menggunakan cermin penyiam mekanis, melainkan menggunakan elemen-elemen semikonduktor padat yang disusun dalam satu baris sehingga memungkinkan perekaman satu baris citra secara simultan (JARS, 1993). Diagram skematik linear array sensor ditunjukkan pada gambar I.1. Tabel I.2. Karakteristik band Citra ASTER (ASTER Science Team, 2001). Subsistem Band VNIR SWIR TIR 1 2 3N 3B Kisaran spektral (µm) Resolusi Spasial Kuantisasi sinyal 15 m 8 bit 30 m 8 bit 90 m 12 bit Satu scene penuh dari citra ASTER meliputi daerah berukuran sekitar 60 km x 60 km. Tabel I.2. menunjukkan karakteristik kisaran spektral, resolusi spasial, dan kuantisasi sinyal dari semua band yang ada pada citra ASTER. ASTER terdiri atas tiga buah subsistem, yaitu: Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), yang memiliki 3 band (ditambah satu band pandangan ke belakang yang menggunakan sebuah teleskop lihat-belakang untuk kemampuan pandangan stereo) dengan resolusi spasial 15 meter; Shortwave Infrared Radiometer (SWIR) yang memiliki 6 band dengan resolusi spasial 30 meter; dan Thermal Infrared Radiometer (TIR) yang memiliki 5 band dengan resolusi spasial 90 meter. Kenampakan fisik dari subsistem VNIR ditunjukkan pada gambar I.2.

19 6 Gambar I.2. Subsistem VNIR pada sistem sensor ASTER I Sifat Stereoskopik pada Citra ASTER. Citra ASTER memiliki kemampuan stereoskopis pada arah jalur orbit (along track) karena dimilikinya sebuah sensor pada arah vertikal (nadir looking) dan sebuah sensor dengan arah miring ke belakang sebesar 27,6 terhadap vertikal (backward looking). Perbandingan jarak basis terhadap ketinggian terbang (B/H ratio) sebesar 0,6. Gambar I.3. Geometri citra ASTER (Lang, 1999).

20 7 Sebenarnya, untuk menghasilkan B/H ratio sebesar 0,6 diperlukan sudut miring sebesar 30,96 terhadap vertikal, namun untuk mengkompensasi pengaruh kelengkungan bumi, sudut miring diatur pada 27,6 (ASTER Science Team, 2001). Data yang dihasilkan oleh kedua sensor yang bekerja pada daerah gelombang tampak dan infra merah dekat (subsistem VNIR) ini direkam dalam band 3 pada tiap citra, yaitu pada band 3N (band 3 nadir) dan band 3B (band 3 backward). Untuk merekam satu stereo scene diperlukan waktu selama 64 detik. Kemampuan stereoskopis ini memungkinkan pembuatan model 3 dimensi dari daerah yang diamat oleh satelit Terra. Diagram skematik geometri pencitraan disajikan pada gambar I.3. I.4.3. Data Citra ASTER I Pemrosesan Data Citra ASTER. Pada produk citra ASTER dikenal adanya produk Level 1A dan 1B. Pada level 1A, citra belum dikoreksi secara geometris maupun radiometris, tetapi parameter-parameter untuk melakukan koreksikoreksi tersebut telah disertakan dalam header file citra. Sedangkan pada level 1B, citra sudah dikoreksi menggunakan data citra dari Level 1A dengan parameterparameter koreksi yang juga terdapat pada level 1A. I Format Data Citra ASTER. Format standar dari citra ASTER adalah EOS-HDF, sebuah implementasi khusus dari format HDF (Hierarchical Data Format), yang dapat dikenali oleh beberapa perangkat lunak seperti PCI Geomatica OrthoEngine, Matlab, ILWIS, dan IDL/ENVI. Satu scene penuh dari citra ASTER yang terdiri atas 14 band berukuran sekitar 120 MB. Data ini didistribusikan dalam berbagai media data, seperti CD-ROM (Compact Disc Read Only Memory), CCT (Computer Compatible Tape), maupun transfer data secara langsung melalui Internet dengan fasilitas FTP (File Transfer Protocol). I.4.4. Pembentukan Model Permukaan Digital I Teknik Korelasi Silang. Untuk mendapatkan koordinat titik yang bersesuaian pada kedua band, digunakan teknik korelasi silang. Korelasi silang adalah algoritma untuk menentukan lokasi bagian-bagian dari citra berdasarkan kesamaan tingkat keabuan. Sebuah titik referensi ditentukan pada citra referensi, dan

21 8 titik yang bersesuaian dicari pada citra pencarian. Untuk keperluan itu, citra referensi digerakkan pada citra pencarian, dan posisi dari kesamaan maksimum dari tingkat keabuan dapat dicari. Pada setiap posisi dari citra referensi dalam citra pencarian, sebuah nilai kesamaan, yaitu koefisien korelasi silang dari tingkat-tingkat keabuan, dihitung. Koefisien korelasi dihitung dengan persamaan I.1. (Rottensteiner, 2001). Gambar I.4. Korelasi silang 2 dimensi. Pencarian piksel yang bersesuaian pada kedua band dilakukan dengan membentuk daerah selidik dan daerah sasaran, seperti yang diilustrasikan pada gambar I.4.. Pada citra band 3N, piksel yang akan dicari pasangannya dibentuk sebuah daerah sasaran dengan ukuran tertentu dengan titik tersebut sebagai pusatnya, misalnya 3 x 3 piksel, 5 x 5 piksel, atau lebih besar lagi. Pada citra band 3B dibentuk daerah selidik dengan ukuran yang lebih besar dari daerah sasaran. Untuk tiap piksel pada daerah selidik, dibentuk daerah sasaran dengan piksel yang bersangkutan sebagai titik pusat. Kemudian, dihitung nilai korelasi antara daerah sasaran pada citra band 3N dengan daerah sasaran pada citra band 3B. Proses ini diulang untuk tiap piksel pada daerah selidik, dengan demikian diperoleh nilai korelasi untuk tiap piksel pada daerah selidik tersebut. Piksel dengan nilai korelasi paling tinggi merupakan piksel yang bersesuaian pada citra band 3N dan band 3B.

22 9 t t x= 1 y= 1 [ g ( x, y) g ( x, y) t t t t 2 [ g ( x, y) g m ] x= 1 y= 1 x= 1 y= 1 m ][ h h m δ = (I.1) [ h ( x, y) ] h m ] 2 dalam hal ini : δ : koefisien korelasi g (x,y) : derajat keabuan untuk piksel yang mempunyai koordinat (x, y) pada citra pertama. h (x,y) : derajat keabuan untuk piksel yang mempunyai koordinat (x, y) pada citra kedua. g m, h m : rerata nilai keabuan piksel dalam luasan jendela citra pertama dan citra kedua. Untuk mendapatkan ketelitian sub-piksel, maka piksel dengan nilai korelasi terbesar dijadikan pusat dari sebuah daerah interpolasi berukuran 3 x 3 piksel. Nilai koordinat piksel dan nilai korelasi untuk tiap piksel pada daerah tersebut digunakan untuk menghitung parameter dari suatu fungsi permukaan kuadratis. δ = a + (I.2) a1x + a2 y + a3 xy + a4 x a5 y dengan δ : koefisien korelasi a 0 a 5 : koefisien parameter polinomial x, y : koordinat piksel Setelah parameter fungsi permukaan kuadratis tersebut dihitung dengan menggunakan hitung kuadrat terkecil dengan persamaan I.2 sebagai persamaan observasi, maka dapat dihitung nilai koordinat piksel yang memiliki nilai korelasi yang maksimum dari derivatif pertama dari fungsi permukaan kuadratis dengan menggunakan persamaan I.3, dengan demikian, ketelitian sub-piksel dapat diketahui.

23 10 Ketelitian metode estimasi sub-piksel ini secara empiris diperoleh sekitar 0,2 0,3 piksel (Rottensteiner, 2001). δ = x a δ a y 1 2 2a4 + a3 a 3 2a 5 x y max max 0 = 0 (I.3) Gambar I.5. Estimasi koordinat sub-piksel (Rottensteiner, 2001). Menurut Lang (1999), ketelitian elevasi secara teoritis yang dapat dihasilkan dari citra satelit stereo dihitung dengan persamaan: H p h = (I.4) B dengan h = ketelitian teoritis p = asumsi kesalahan image-matching maksimum H = tinggi orbit satelit B = jarak basis Apabila ketelitian pada proses korelasi silang diasumsikan sebesar 1 piksel (15 meter), maka berdasarkan persamaan I.4 resolusi elevasi model adalah 25 meter. Sebuah model permukaan digital dengan resolusi elevasi sebesar 25 meter akan tampak berteras-teras pada daerah yang miring. Efek berteras (terraced effect) ini

24 11 akan tampak nyata pada daerah yang landai maupun daerah yang mendekati datar. Selain kualitas visual yang buruk, model dengan resolusi elevasi 25 meter akan cenderung menghilangkan detil lokal dari permukaan bumi. Untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul pada model dengan resolusi elevasi besar tersebut, digunakan proses korelasi silang dengan ketelitian sub-piksel sehingga resolusi elevasi dari model permukaan digital dapat ditingkatkan. Proses korelasi silang membutuhkan unjuk kerja komputasi yang handal karena proses korelasi dilakukan pada tingkat piksel untuk tiap piksel pada citra serta melibatkan banyak hitungan floating-point. Karena pada penghitungan elevasi diperlukan nilai beda paralaks pada sumbu y, maka proses korelasi silang dapat dipercepat dengan membatasi daerah sasaran dan selidik menjadi satu dimensi saja. Namun demikian, pada kenyataan, diperlukan toleransi sebesar masing-masing satu piksel ke arah sumbu x positif dan sumbu x negatif untuk mengkompensasi perubahan ketinggian satelit. Korelasi silang, sebagai salah satu metode image-matching berdasar area (area-based image-matching) mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: a. tidak memberikan solusi untuk daerah yang tingkat keabuannya homogen, misalnya salju, padang rumput, dataran pasir, dan lautan. b. tidak memberikan solusi untuk daerah yang sangat gelap, maupun sangat terang, seperti daerah bayang-bayang atau permukaan atas awan. c. tidak memberikan hasil yang tepat untuk daerah dengan perulangan pola tertentu (repeated patterns). d. tidak memberikan hasil yang tepat pada daerah yang sama sekali tidak mirip, misalnya apabila objek pada salah satu citra tertutup awan. I Penghitungan Paralaks dan Elevasi. Besarnya paralaks dari tiap piksel pada citra dapat ditentukan dengan proses image-matching menggunakan teknik korelasi silang, dimana untuk tiap piksel pada band 3N dicari piksel yang bersesuaian pada band 3B. Beda koordinat pada komponen sumbu y adalah beda paralaks pada sumbu y, sedangkan beda koordinat pada komponen sumbu x adalah beda paralaks pada sumbu x. Koordinat x dan y adalah dalam koordinat citra, merupakan sistem koordinat tangan kiri, dengan sumbu y sejajar arah orbit.

25 12 Beda tinggi dapat diketahui berdasarkan besar paralaks dan perbandingan antara basis citra terhadap tinggi terbang (B/H ratio). B/H ratio dari citra ASTER adalah sebesar 0,6. Hubungan matematis dari paralaks dan beda tinggi ditunjukkan dalam persamaan berikut: X 1 X h = 2 (I.5) tanα p = (I.6) tanα H p = (I.7) B Gambar I.6. Penentuan elevasi berdasarkan paralaks pada citra ASTER (Lang, 1999). Beda paralaks pada sumbu x pada citra yang terkoreksi harus sama dengan 0. Hal ini disebabkan karena sifat stereoskopis dari citra ASTER adalah untuk scene

26 13 yang terletak berurutan pada satu jalur terbang (along track), sehingga untuk kondisi ideal, paralaks yang ada hanyalah paralaks pada sumbu y saja. Namun pada kenyataannya, kemungkinan terdapat kesalahan geometrik sebesar 1 piksel pada sumbu x, yang disebabkan karena perubahan tinggi satelit (Lang, 1999). Kesalahan ini perlu dikompensasi pada saat proses image-matching. I Model Permukaan Digital. Pemodelan permukaan merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan suatu proses menyajikan permukaan nyata atau tiruan secara matematis. Pemodelan permukaan bumi merupakan kategori khusus dari pemodelan permukaan yang berkaitan dengan problem khusus untuk menyajikan bentuk permukaan bumi (Djurdjani, 1999). Model permukaan digital dapat disimpan dengan berbagai metode: a. Data berdistribusi teratur. Data disimpan dengan spasi yang teratur antar titik data sehingga membentuk suatu grid. Bentuk dasar dari grid yang paling sering digunakan adalah bentuk bujur sangkar. Data elevasi dicatat pada tiap jarak tertentu, sesuai dengan resolusi spasial dari grid. b. Data berdistribusi semi teratur. Pada metode ini, keteraturan terdapat pada salah satu unsur datanya, sedangkan unsur yang lain acak. Misalnya garisgaris kontur pada peta yang merepresentasikan ketinggian yang sama pada permukaan bumi dengan interval ketinggian tertentu yang konstan mempunyai keteraturan pada unsur Z, tetapi pada unsur X dan Y acak. c. Data berdistribusi acak. Pada metode ini, tidak ada keteraturan pada setiap unsur datanya. Salah satu bentuk struktur data acak adalah TIN (Triangulated Irregular Networks) dengan segitiga-segitiga tak beraturan sebagai satuan datanya. d. Fungsi permukaan. Permukaan bumi dapat pula disajikan dalam model matematis tertentu, namun pemodelan ini cenderung hanya memberikan gambaran umum permukaan (trend surface) serta menghilangkan detildetil lokal pada permukaan bumi, mengingat kenampakan fisik dari permukaan bumi sangat kompleks dan sulit dimodelkan melalui suatu fungsi matematis secara tepat.

27 14 I.4.5. Noise Filtering Dua tahap yang terlibat dalam proses noise filtering adalah deteksi noise dan eliminasi noise. Dalam penelitian ini noise dideteksi dengan menggunakan teknik simpangan baku lokal, sedangkan noise yang telah dideteksi dihilangkan dengan menggunakan filter median. I Simpangan baku lokal. Salah satu cara untuk mendeteksi adanya noise adalah dengan menggunakan simpangan baku lokal. Simpangan baku lokal adalah simpangan baku nilai ketinggian pada sebuah daerah window bujur sangkar berukuran tertentu. Nilai ketinggian yang melebihi ambang batas tertentu dianggap sebagai noise. Ambang batas dihitung dengan mengalikan simpangan baku dengan faktor pengali tertentu. 2 ( x i x) σ = (I.8) n dengan x i x n σ = nilai ketinggian pada piksel ke-i = nilai rerata ketinggian pada jendela = jumlah piksel pada jendela = simpangan baku I Filter Median. Filter median adalah filter yang memeriksa setiap nilai piksel yang tercakup dalam jendela filter dan mengurutkannya dari nilai terkecil sampai terbesar. Hasil dari filter median adalah nilai yang tepat berada di tengah urutan tersebut. Sebagai contoh, pada gambar I.7 diilustrasikan sebuah jendela filter berukuran 3 x 3 piksel. Nilai yang dihasilkan filter median pada ilustrasi tersebut adalah nilai yang berada pada bagian tengah hasil pengurutan, atau dalam hal ini nilai ke-4, yaitu 23. Nilai-nilai ekstrim akan berada pada awal maupun akhir dari daftar pengurutan, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai ekstrim dapat dihilangkan dengan filter median.

28 15 Jendela filter 3 x Hasil pengurutan dari 9 piksel yang ada pada jendela filter Gambar I.7. Proses penghitungan median filter. I.4.6. Hitung Kuadrat Terkecil Kuadrat terkecil adalah prosedur yang dilakukan untuk menghitung nilai yang paling mungkin dari suatu pengukuran yang mengandung kesalahan acak. Prinsip dasar yang dipakai dalam penyelesaian kuadrat terkecil adalah meminimumkan kuadrat residual, yaitu kuadrat selisih antara hasil pengamatan dengan hasil perataan. Penelitian ini memakai hitungan kuadrat terkecil metode parameter. Dalam metode parameter, harus dicari sejumlah parameter (besaran yang independen) sebanyak minimum data yang harus diketahui untuk menyelesaikan suatu sistem persamaan (u). Setelah parameternya diketahui, dapat disusun persamaan atau hubungan matematis antara hasil pengamatan dengan masing-masing parameter tersebut. Jumlah persamaan ini harus sama dengan jumlah pengamatan (n). Hubungan antara hasil pengamatan, nilai yang paling mungkin (pengamatan terkoreksi), dan nilai koreksi kesalahan adalah : l l l 1 2 n + v + v v 2 n = l a1 = l = l a2 an dengan l n = hasil pengamatan v n = residual l an = pengamatan terkoreksi (I.9)

29 16 Hubungan fungsional antara l a dan x berbentuk l a1... l an = a = a 1,1 x n,1 1 x 1 + a + a 1,2 x n,2 2 x a 1, u a x n, u u x + a u 1,0 + a n,0 (I.10) sehingga persamaan I.9 menjadi l 1... l n + v 1 + v n = a 1,1 = a x n,1 1 x + a 1 1,2 + a x n,2 2 x a 2 1, u a x n, u u x + a u 1,0 + a n,0 (I.11) maka didapat persamaan dalam fungsi v sebagai berikut v v 1... n = a = a 1,1 x n,1 1 x 1 + a 1,2 + a x n,2 2 x a 2 1, u a x n, u u x + a u 1,0 + a l n,0 1 l n (I.12) dalam bentuk matriks dapat dituliskan V = AX + F (I.13) dengan v1 V =... v n a A =... an 1,1,1 a a 1,2... n, a1, u... a n, u x1 X =... x u a1,0 l1 F = a n l n,0 V = matriks residual A = matriks koefisien X = matriks koefisien parameter F = matriks vektor sisa Jumlah kuadrat residual sama dengan transpos matriks V dikalikan matriks V. Supaya jumlah kuadrat residual minimum, maka turunan pertama dari V T V (jumlah kuadrat residual) terhadap X harus sama dengan nol.

30 17 V T V X Karena V T maka = 0 (I.14) T V = ( AX + F) ( AX + F) (I.15) T T T 2 X A A + 2F A = 0 X T A T T A + F A = 0 (I.16) (I.17) Apabila persamaan diatas ditranspos maka A T T AX + A F = 0 (I.18) Sehingga T 1 T X = ( A A) ( A F) (I.19) Nilai varian posteriori adalah : V T 2 σ 0 = (I.20) n V u dengan 2 σ = varian posteriori n = jumlah persamaan u = jumlah parameter I.4.7 Transformasi Polinomial Transformasi polinomial dipakai apabila hubungan antara kedua sistem yang akan ditransformasikan sulit diterangkan secara geometri, sehingga diasumsikan ada hubungan polinomial antara kedua sistem koordinat (Soeta at, 1999). Bentuk umum persamaan polinomial adalah: X T = x A y (I.21) T Y = x B y (I.22)

31 18 dengan a00 a01 a02... = a10 a11 a12... A (I.23) a a21 a b00 b01 b02... = b10 b11 b12... B (I.24) b b21 b dalam hal ini A, B = matriks koefisien polinomial [ 1 x 2 x 3 x...] [ 1 y 2 y 3 y...] x T = (I.25) y T = (I.26) Dalam penelitian ini, transformasi polinomial digunakan pada proses minimalisasi paralaks-x. Karena yang diperlukan pada proses ini hanya komponen absis saja, maka hitungan kuadrat terkecil untuk mencari nilai koefisien polinomial dibatasi pada matriks A (matriks koefisien polinomial untuk komponen absis), sedangkan matriks B (matriks koefisien polinomial untuk komponen ordinat) tidak dihitung Teori Kesalahan Kesalahan yang terjadi pada setiap pengukuran dapat digolongkan menjadi tiga jenis kesalahan, yaitu kesalahan kasar, kesalahan sistematis, dan kesalahan acak. Kesalahan kasar adalah kesalahan bernilai besar yang melebihi kesalahan maksimum yang diperbolehkan. Kesalahan sistematis adalah kesalahan yang mengikuti aturan atau pola tertentu yang diakibatkan oleh kesalahan prosedur atau kesalahan sistem pengukuran/pengolahan data.

32 19 Setelah kesalahan kasar dan kesalahan sistematik dihilangkan dari hasil pengukuran, masih ada kesalahan yang tersisa, yaitu kesalahan acak. Kesalahan acak terjadi diluar kendali pengukur, dan biasanya tidak mengikuti pola atau aturan tertentu. Karena itu, kesalahan acak perlu ditangani menurut hukum probabilitas. Pada kurva distribusi normal seperti yang diilustrasikan pada gambar I.8, ditunjukkan distribusi kesalahan untuk suatu pengukuran dengan µ sebagai nilai sebenarnya. Daerah dibawah kurva yang meliputi σ sampai +σ mempunyai luas 68% dari keseluruhan luas daerah dibawa kurva, atau dapat dikatakan bahwa 68% nilai data akan berada diantara σ dan +σ, dengan σ sebagai kesalahan baku (standard error). Gambar I.8. Kurva distribusi normal. Hal ini juga berarti bahwa untuk tiap kelompok pengukuran, terdapat kemungkinan sebesar 68% bahwa sebuah pengukuran mempunyai kesalahan diantara σ dan σ. Kesalahan baku didefinisikan sebagai akar pangkat dua dari rerata kuadrat kesalahan (error). 2 ( x i µ) σ = (I.27) n dengan σ = kesalahan baku x i = nilai hasil ukuran µ = nilai sebenarnya n = jumlah pengukuran

33 20 RMSE (Root Mean Square Error) adalah suatu nilai yang digunakan untuk menunjukkan ketelitian dengan melibatkan semua faktor kesalahan yang terjadi selama proses pengukuran atau produksi data. Definisi matematis dari RMSE mirip dengan kesalahan baku, yaitu akar pangkat dua dari rata-rata kuadrat kesalahan. Menurut Lang, 1999, nilai RMSE untuk elevasi (RMSEz) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: RMSEz = dengan RMSEz Z MAP Z DEM n ( Z MAP Z n DEM 2 ) = nilai root mean square error elevasi = nilai elevasi pada titik cek, berdasarkan peta rupabumi. = nilai elevasi pada model permukaan digital. = banyaknya titik cek. (I.28) Ketelitian pengukuran elevasi dengan tingkat kepercayaan 90% menurut Mauney, 2002, adalah sebagai berikut : Accuracy = E 90 x RMSEz (I.29) dengan Accuracy = ketelitian elevasi E 90 RMSEz = faktor pengali untuk tingkat kepercayaan 90% (Tabel I.3) = root mean square error untuk komponen z (elevasi) Tabel I.3. Faktor pengali σ untuk berbagai tingkat kepercayaan (Wolf, 1997). Tingkat kepercayaan Faktor pengali σ 50 % 0, % 1, % 1, % 2,576 99,7 % 2,965 99,9 % 3,29

34 21 I.4.9. Acuan Ketelitian Baku Persyaratan ketelitian baku dari peta topografi menurut United States National Map Accuracy Standards, 1947, adalah sebagai berikut: 1. Komponen horisontal Untuk peta skala 1 : atau lebih kecil lagi, sekurang-kurangnya 90% dari titik yang diteliti harus mempunyai ketelitian 0,508 mm (1/50 inci) pada peta. Dengan kata lain, ketelitian horisontal yang disyaratkan adalah sebesar 0,508 mm pada skala peta untuk tingkat kepercayaan 90%. 2. Komponen vertikal Sekurang-kurangnya 90% dari titik yang diteliti harus mempunyai kesalahan kurang dari 0,5 kali interval kontur pada peta. Dengan kata lain, ketelitian vertikal yang disyaratkan adalah sebesar 0,5 kali interval kontur pada peta untuk tingkat kepercayaan 90%. Untuk peta skala 1 : sampai dengan skala 1 : , hubungan antara skala peta, interval kontur dan syarat tingkat ketelitian menurut United States National Map Accuracy Standards, diringkas dalam tabel III.5. Tabel I.4. Hubungan antara skala peta, interval kontur, dan syarat tingkat ketelitian. Skala peta Interval kontur Tingkat ketelitian (m) (m) horizontal vertikal 1: ,5 12,7 6,25 1: ,4 12,5 1: ,8 25 1: ,5 1: I Perangkat Lunak Komputer I IDL/ENVI. Environment for Visualizing Images (ENVI) adalah paket perangkat lunak pemrosesan citra yang disusun menggunakan bahasa IDL (Interactive Data Language). ENVI mampu mengenali format HDF yang digunakan

35 22 dalam distribusi data citra ASTER dan mengkonversinya kedalam format lain. Sebagai perangkat lunak pemrosesan citra, ENVI memiliki fasilitas yang cukup lengkap untuk melakukan berbagai hal yang diperlukan dalam penelitian ini, seperti pemilihan dan pengukuran GCPs (Ground Control Points), rektifikasi, registrasi/geocoding citra, contrast-stretching, dan lain-lain. ENVI mampu mengukur koordinat suatu titik sampai pada ketelitian sub-piksel. Dalam penelitian ini digunakan ENVI versi 3.1, yang dijalankan dengan menggunakan IDL versi I Delphi 5. Bahasa pemrograman yang dipilih untuk pembuatan model permukaan digital ini adalah bahasa pemrograman yang dapat memberikan kecepatan maksimum pada proses hitungan, mengingat proses korelasi otomatis melibatkan hitungan floating-point dalam jumlah yang sangat besar. Pada citra ASTER berukuran 1000 piksel x 1000 piksel, dengan resolusi model permukaan digital 15 meter, maka titik yang harus diproses berjumlah titik. Oleh karena itu, bahasa-bahasa pemrograman seperti yang bersifat terinterpretasi, seperti Matlab, IDL, dan QBasic, bukan merupakan pilihan yang tepat. Pada bahasa terinterpretasi, program tidak secara langsung dieksekusi oleh komputer, melainkan melalui proses penerjemahan dahulu. Delphi dipilih karena kemampuannya membuat sebuah program yang langsung dieksekusi oleh CPU (Central Processing Unit), sehingga pengolahan data berlangsung lebih cepat. Delphi adalah salah satu bahasa pemrograman komputer yang merupakan perkembangan dari bahasa Pascal. Bahasa Pascal terkenal karena terstruktur, fleksibel, serta mudah dipahami dan dipelajari. Selaras dengan perkembangan teknologi informasi yang menuntut interaksi yang lebih mudah antara manusia dengan komputer, maka bahasa Pascal yang semula hanya berjalan pada modus teks dibawah sistem operasi DOS (Disk Operating System), dikembangkan menjadi perangkat pemrograman komputer yang dirancang untuk memanfaatkan keunggulan sistem operasi Windows. Delphi dirancang sebagai bahasa pemrograman berbasis RAD (Rapid Application Development) yang memungkinkan pembuatan program komputer secara cepat dan handal, sehingga pemrogram dapat memfokuskan diri pada

36 23 penyelesaian pekerjaan pemrograman, bukan pada detail teknis pemrograman itu sendiri. Dalam lingkungan Windows, interaksi antara pengguna dengan komputer dilakukan melalui tampilan grafis di layar monitor. Lembar kerja utama dimana komponen-komponen antarmuka seperti button, text box, check box, diletakkan adalah form. Tiap-tiap komponen mempunyai properties sendiri-sendiri yang mengatur penampilan maupun sifat dari komponen itu. Pemrograman dalam Windows bersifat event-driven, artinya kerja program dikendalikan oleh kejadian (event), seperti peng-klik-an mouse pada komponen button, pemilihan menu, pengisian text-box, dan lain-lain. Tiap kejadian membangkitkan serangkaian instruksi yang dikerjakan oleh komputer. Untuk memecah program menjadi bagian-bagian yang sederhana dapat dilakukan dengan membuat prosedur dan fungsi. Sebuah fungsi adalah serangkaian instruksi yang akan mengembalikan suatu nilai setelah fungsi tersebut dipanggil, sedangkan prosedur hanya melakukan serangkaian instruksi tanpa mengembalikan nilai apapun.

37 BAB II PELAKSANAAN II.1. Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan studi pustaka, penentuan daerah penelitian, pengajuan ijin penggunaan data citra ASTER, pencarian dan pengumpulan data penelitian yang antara lain berupa citra ASTER dalam format HDF dan peta rupabumi skala 1:25.000, serta penyiapan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang akan digunakan. II.2. Materi Penelitian Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Satu scene citra ASTER level 1B (local granule ID : pg-pr1b _006_001) dalam format EOS-HDF pada media CD-ROM yang meliputi daerah Tuban, dicitrakan pada tanggal 9 September Citra diperoleh dari LP-DAAC NASA, Amerika Serikat.. 2. Peta rupabumi daerah Parengan, Tuban, skala 1: Peta ini diperoleh dari Pusat Informasi Kebumian Bakosurtanal. II.3. Alat Penelitian Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Satu unit komputer dengan prosesor Intel Pentium III 800 MHz, memori 128 MB, hard disk berkapasitas 20 GB, dan sistem operasi Windows 98, untuk pembuatan dan eksekusi program. 2. Media penyimpan data berupa CD-ROM, CD-R, dan floppy disk 3½ inci. 3. Printer inkjet Canon BJC-2100SP untuk mencetak laporan penelitian. 4. Perangkat lunak IDL/ENVI 3.1, untuk melakukan proses georeferensi citra, serta untuk mengkonversi format HDF ke format standar ENVI. 5. Paket bahasa pemrograman Delphi 5, untuk menyusun program komputer. 6. Paket perangkat lunak Microsoft Office 2000, untuk pengetikan laporan penelitian serta pengolahan data numeris. 24

38 25 II.4. Alur Penelitian Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam diagram alir berikut : Peta Rupabumi ASTER L-1B Pemilihan dan pengukuran titik cek Pemilihan dan pengukuran GCP Ekstraksi band 3N dan 3B Pemrograman Komputer Pengujian Program Pemilihan titik ikat pada band 3N dan 3B Korelasi stereo untuk pembuatan MPD Paket Program Komputer Noise filtering MPD Koreksi elevasi pada MPD Georeferensi MPD Evaluasi Ketelitian MPD Pengumpulan data Pengolahan data Pembuatan program Proses otomatis Visualisasi MPD MPD : model permukaan digital Gambar II.1. Diagram alir penelitian.

39 26 II.4.1. Pemrograman Komputer Pengolahan data secara otomatis dengan menggunakan komputer memerlukan sebuah program yang harus disusun terlebih dahulu. Sebelum penulisan kode program, terlebih dahulu disusun dasar logika dan rangkaian tahapan yang perlu dilakukan. Kerangka logika program ini dituangkan dalam bentuk flow chart atau diagram alir untuk mempermudah pemahaman atas cara kerja dari program yang akan disusun. Hal ini sangat membantu dalam memecah program yang kompleks menjadi modul-modul yang lebih sederhana, misalnya flow chart pada lampiran H. II Perancangan Interface. Pada pemrograman visual, interface adalah bagian yang sangat penting dalam program, karena seolah-olah sebagian besar kode program menempel pada interface. Oleh karena itu perlu dilakukan perancangan interface terlebih dahulu supaya dapat direncanakan prioritas modul program yang apa saja yang akan ditulis. Selain harus mudah dimengerti oleh pengguna (userfriendly), interface juga harus sesuai dengan diagram alir program yang telah direncanakan. Delphi adalah bahasa pemrograman visual yang memberikan berbagai kemudahan dalam merancang tampilan program. Dalam bahasa pemrograman visual seperti Delphi, form adalah inti dari antarmuka pemakai (user interface) yang berperan sebagai sarana komunikasi antara pemakai komputer dengan program komputer. Form merupakan kanvas tempat pemrogram dapat meletakkan berbagai komponen dalam konsep graphical user interface (GUI) yang umum digunakan dalam berbagai sistem operasi modern, seperti tombol (button), combo-box, text-box, radio button, check-box, frame, panel, dan lain-lain. Komponen-komponen GUI itu disebut controls dalam Delphi. Desain antarmuka pemakai dilakukan dengan melakukan penempatan controls pada form sedemikian rupa sehingga program menjadi mudah dimengerti dan digunakan oleh pemakai program. Baik form maupun berbagai controls yang ada padanya memiliki properties dan methods yang lazim ada dalam pemrograman berorientasi objek. Properties adalah sekumpulan variabel yang mengatur sifat dari komponen/controls yang bersangkutan, seperti warna komponen, teks yang muncul pada komponen, tinggi dan lebar komponen dan sebagainya. Methods adalah

40 27 sekumpulan subrutin program yang digunakan untuk mengoperasikan komponen/controls yang bersangkutan, seperti menampilkan, menyembunyikan, atau membuang komponen dari memori. Gambar II.2. Properties dan Events dalam Object Inspector Delphi. Setiap komponen form akan membangkitkan kejadian (event) tertentu apabila pemakai melakukan sesuatu terhadap komponen tersebut, seperti meng-klik mouse, mengetik sesuatu pada keyboard, menyeret mouse (dragging), dan lain-lain. Karena pemrograman dalam visual umumnya bersifat event-driven, maka untuk event-event tertentu diberikan event-handler, sehingga misalnya saat pemakai program meng-klik sebuah tombol, maka serangkaian instruksi tertentu akan dilaksanakan oleh komputer. Properties dan events dapat dimanipulasi nilai dan cara penanganannya dengan menggunakan fasilitas Object Inspector pada Delphi (gambar II.2). II Penulisan kode program. Penulisan kode dimulai dengan membagi program menjadi beberapa modul utama berdasarkan logika dari flow chart. Masingmasing modul tersebut disusun dan diuji secara terpisah untuk memastikan bahwa tiap modul dapat berfungsi dengan benar. Proses penulisan kode dilakukan

41 28 menggunakan window Code Editor (gambar II.3). Melalui proses pengujian program kemungkinan besar akan timbul berbagai kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan penulisan kode (syntax error) program maupun kesalahan logika program. Untuk mengatasi masalah tersebut, program perlu diperbaiki dan ditinjau ulang algoritma serta implementasinya. Setelah diperbaiki, proses pengujian dilakukan lagi sampai modul program yang bersangkutan dapat dipastikan berjalan dengan baik. Gambar II.3. Code Editor pada Delphi. II Uji Program dan Debugging. Kesalahan penulisan kode program akan langsung dapat dideteksi pada proses kompilasi, yaitu proses penerjemahan baris-baris program dalam bahasa tingkat tinggi yang dimengerti manusia menjadi kode-kode mesin yang dapat dikenali oleh prosesor. Kesalahan syntax sangat mudah diperbaiki karena mudah dideteksi. Kesalahan logika adalah kesalahan yang terjadi akibat kesalahan dalam algoritma pemrograman, sehingga program tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kesalahan logika lebih sulit diselesaikan daripada kesalahan syntax, karena komputer tidak dapat memberikan petunjuk dimana kesalahan itu terjadi. Proses pelacakan kesalahan logika ini dikenal dengan

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati SATELIT ASTER Oleh : Like Indrawati ADVANCED SPACEBORNE THERMAL EMISSION AND REFLECTION RADIOMETER (ASTER) ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA

KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA PERANGKAT KERAS Perangkat keras : komputer mikro hingga super Single task dan single user hingga multi task & multi user Perangkat Keras Utama Ada dua macam perangkat keras

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi sistem ini merupakan tahap meletakkan perancangan sistem

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Konsep Dasar Pengolahan Citra Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Definisi Citra digital: kumpulan piksel-piksel yang disusun dalam larik (array) dua-dimensi yang berisi nilai-nilai real

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sekilas Mengenai Microsoft Visual Basic Versi 6 Microsoft Visual Basic adalah sebuah bahasa pemograman komputer. Bahasa pemograman adalah perintah perintah atau instruksi yang

Lebih terperinci

Pemrograman dengan C++ Builder 2004 Taryana S Pendahuluan C++ Builder adalah sebuah aplikasi yang digunakan untuk pengembangan dengan

Pemrograman dengan C++ Builder 2004 Taryana S Pendahuluan C++ Builder adalah sebuah aplikasi yang digunakan untuk pengembangan dengan 1.1. Pendahuluan C++ Builder adalah sebuah aplikasi yang digunakan untuk pengembangan dengan memanfaatkan keistimewaan konsep- konsep antar muka grafis dalam Microsoft Windows. Aplikasi yang dihasilkan

Lebih terperinci

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK 65 ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK A. TUJUAN: 1) Mahasiswa mampu melakukan koreksi geometric pada foto udara maupun citra satelit dengan software ENVI 2) Mahasiswa dapat menemukan berbagai permasalahan saat

Lebih terperinci

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 3 No. 3 September 2008:132-137 KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR Muchlisin Arief, Kustiyo, Surlan

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Citra adalah suatu representasi, kemiripan, atau imitasi dari suatu objek atau benda. Citra dapat dikelompokkan menjadi citra tampak dan citra tak tampak.

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB 3 PENGOLAHAN DATA BAB 3 PENGOLAHAN DATA 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data Pengolahan data dimulai dari pengolahan data citra ALOS-PALSAR level 1.0 yaitu data mentah (RAW) hingga menjadi peta deformasi. Gambar 3.1 berikut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fotogrametri adalah suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan sekitarnya melalui proses

Lebih terperinci

TUTORIAL TEKNIK PENENTUAN SUDUT MATAHARI PADA CITRA SATELIT MENGGUNAKAN SOFTWARE ENVI

TUTORIAL TEKNIK PENENTUAN SUDUT MATAHARI PADA CITRA SATELIT MENGGUNAKAN SOFTWARE ENVI TUTORIAL TEKNIK PENENTUAN SUDUT MATAHARI PADA CITRA SATELIT MENGGUNAKAN SOFTWARE ENVI KONSEP DASAR P ada konteks penginderaan jauh, khususnya penginderaan jauh dengan platform satelit, sudut matahari merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengantar 1.2 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengantar 1.2 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Kemajuan teknologi informasi yang dalam beberapa dekade ini berkembang sangat pesat, baik dalam hal perkembangan perangkat keras dan perangkat lunak seolah mengikis masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu Systema, yang artinya sekumpulan objek

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu Systema, yang artinya sekumpulan objek BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Pengertian Sistem Sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu Systema, yang artinya sekumpulan objek yang bekerja bersama-sama menghasilkan metode, prosedur, teknik yang digabungkan

Lebih terperinci

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data... DAFTAR ISI 1. BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Pertanyaan Penelitian... 4 1.4 Tujuan Penelitian... 4 1.5 Manfaat Penelitian... 4 2. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi sistem ini merupakan tahap meletakkan perancangan sistem

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM 5.1 Kebutuhan Perangkat Lunak Sistem Pendukung Keputusan Pendukung Penempatan Jabatan dibutuhkan perangkat lunak Visual Studio 2010 dengan menggunakan bahasa pemrograman C# untuk

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Pera ngkat Lunak. program aplikasi dengan baik adalah sebagai berikut:

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Pera ngkat Lunak. program aplikasi dengan baik adalah sebagai berikut: BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Pera ngkat Lunak 4.1.1 Spesifikasi Perangkat Keras Spesifikasi minimum hardware yang digunakan untuk menjalankan program aplikasi dengan

Lebih terperinci

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) A411 Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur) Wahyu Teo Parmadi dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL. Ratna Saraswati

PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL. Ratna Saraswati PRAKTIKUM INTERPRETASI CITRA DIJITAL Ratna Saraswati KONSEP PENGOLAHAN CITRA Citra dijital disimpan dalam bentuk matriks (array atau grid) 2 dimensi Masing-masing elemennya mewakili sebuah kotak kecil

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI 7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital Citra digital merupakan sebuah fungsi intensitas cahaya, dimana harga x dan y merupakan koordinat spasial dan harga fungsi f tersebut pada setiap titik merupakan

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI DAN UJI COBA. Pengenalan Pola dengan Algoritma Eigen Image, dibutuhkan spesifikasi

BAB IV IMPLEMENTASI DAN UJI COBA. Pengenalan Pola dengan Algoritma Eigen Image, dibutuhkan spesifikasi BAB IV IMPLEMENTASI DAN UJI COBA 4.1 Kebutuhan Sistem Sebelum melakukan implementasi dan menjalankan aplikasi Model Pengenalan Pola dengan Algoritma Eigen Image, dibutuhkan spesifikasi perangkat lunak

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No. 3 Vol. XIV Institut Teknologi Nasional Juli September 2010 Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m BAMBANG RUDIANTO Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Data adalah fakta atau bagian dari fakta yang digambarkan dengan simbol-simbol,

BAB 2 LANDASAN TEORI. Data adalah fakta atau bagian dari fakta yang digambarkan dengan simbol-simbol, BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Data dan Informasi Data adalah fakta atau bagian dari fakta yang digambarkan dengan simbol-simbol, gambar-gambar, nilai-nilai, bilangan-bilangan, uraian karakter yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian Bab III Pelaksanaan Penelitian Tahapan penelitian secara garis besar terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan kesimpulan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang : a. bahwa dalam penetapan standar ketelitian peta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi di bidang informasi spasial dan fotogrametri menuntut sumber data yang berbentuk digital, baik berformat vektor maupun raster. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. BAB III PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. 3.1 Lokasi Area Studi Dalam tugas akhir ini daerah Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI. A. Lingkungan Implementasi. Dalam hal kegiatan implementasi sistem ini adapun yang

BAB V IMPLEMENTASI. A. Lingkungan Implementasi. Dalam hal kegiatan implementasi sistem ini adapun yang BAB V IMPLEMENTASI A. Lingkungan Implementasi Dalam hal kegiatan implementasi sistem ini adapun yang meliputi kebutuhan didalamnya adalah perangkat lunak, perangkat keras, listing program yang sesuai,

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM. Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM. Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap BAB V IMPLEMENTASI SISTEM Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi sistem ini merupakan tahap meletakkan perancangan sistem

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan Citra SPOT 4 dan IKONOS yang digunakan merupakan dua citra yang memiliki resolusi spasial yang berbeda dimana SPOT 4 memiliki resolusi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan salah satu sarana transportasi darat yang penting untuk menghubungkan berbagai tempat seperti pusat industri, lahan pertanian, pemukiman, serta sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA A. Tujuan Praktikum - Praktikan memahami dan mampu melakukan register peta raster pada MapInfo - Praktikan mampu melakukan digitasi peta dengan MapInfo B. Tools MapInfo

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berlokasi di Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB IV. Ringkasan Modul:

BAB IV. Ringkasan Modul: BAB IV REKTIFIKASI Ringkasan Modul: Pengertian Rektifikasi Menampilkan Data Raster Proses Rektifikasi Menyiapkan Semua Layer Data Spasial Menyiapkan Layer Image Menambahkan Titik Kontrol Rektifikasi Menggunakan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN FORMOSAT-2

ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN FORMOSAT-2 ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN Suzyantie Lisa Dewi, Eko uli Handoko ST,MT, Hepi Hapsari Handayani ST, Msc Program Studi Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. yang dimaksud dengan data dan informasi? Data adalah fakta fakta yang

BAB 2 LANDASAN TEORI. yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. yang dimaksud dengan data dan informasi? Data adalah fakta fakta yang BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Informasi Sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang mengandung arti kesatuan dari bagian yang berhubungan satu dengan yang lain. Menurut Jogiyanto system adalah

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian. Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah :

Bab III Pelaksanaan Penelitian. Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah : 14 Bab III Pelaksanaan Penelitian III.1 Persiapan III.1.1 Daerah Penelitian Penentuan daerah penelitian dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah : 1. Lokasi penelitian pada google

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. CV Dokumentasi CV berisi pengolahan citra, analisis struktur citra, motion dan tracking, pengenalan pola, dan kalibrasi kamera.

BAB II DASAR TEORI. CV Dokumentasi CV berisi pengolahan citra, analisis struktur citra, motion dan tracking, pengenalan pola, dan kalibrasi kamera. BAB II DASAR TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan skripsi ini, meliputi pustaka OpenCV, citra, yaitu citra grayscale dan citra berwarna, pengolahan citra meliputi image enhancement

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengolahan Citra Pengolahan citra (image processing) merupakan proses untuk mengolah pixel-pixel dalam citra digital untuk tujuan tertentu. Beberapa alasan dilakukan pengolahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM. informasi telah digunakan oleh pengguna. Sebelum benar-benar bisa digunakan

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM. informasi telah digunakan oleh pengguna. Sebelum benar-benar bisa digunakan BAB V IMPLEMENTASI SISTEM 5.1 Tujuan Implementasi Sistem Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi adalah tahap dimana sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4. DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... v PERNYATAAN... vi PERSEMBAHAN... vii KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv DAFTAR ISTILAH... xvi INTISARI...

Lebih terperinci

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI Pada bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan tingkat kualitas data, terutama perbandingan dari segi geometri, selain itu juga akan dibahas mengenai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2. Pengertian Citra Citra (image) atau istilah lain untuk gambar sebagai salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak. aplikasi dengan baik adalah sebagai berikut:

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak. aplikasi dengan baik adalah sebagai berikut: BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Spesifikasi Perangkat Keras dan Perangkat Lunak 4.1.1 Spesifikasi Perangkat Keras Spesifikasi minimum hardware yang digunakan untuk menjalankan program aplikasi dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM 5.1 Lingkungan Implementasi Implementasi aplikasi ini meliputi kebutuhan perangkat lunak, perangkat keras, form program yang sesuai, query yang digunakan, pemrograman dan pengujian

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Istilah komputer (computer) berasal dari bahasa Latin Computare yang berarti

BAB 2 LANDASAN TEORI. Istilah komputer (computer) berasal dari bahasa Latin Computare yang berarti BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Komputer Istilah komputer mempunyai arti yang luas dan berbeda untuk orang yang berbeda. Istilah komputer (computer) berasal dari bahasa Latin Computare yang berarti

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, 2, (2016) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) A375 Analisis Ketelitian Geometric Citra untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang American Society of Photogrammetry (Falkner dan Morgan, 2002) mendefinisikan fotogrametri sebagai seni, ilmu dan teknologi mengenai informasi terpercaya tentang objek fisik

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM I GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI GEOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 20 Oktober 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B Nama

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 54 BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Implementasi Program 4.1.1 Spesifikasi Kebutuhan Program Spesifikasi Perangkat Keras Perangkat keras yang digunakan untuk merancang sistem ini adalah : Processor

Lebih terperinci

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini dibahas mengenai konsep-konsep yang mendasari ekstraksi unsur jalan pada citra inderaja. Uraian mengenai konsep tersebut dimulai dari ekstraksi jalan, deteksi tepi,

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: BAB III Pelaksanaan Penelitian Pada bab ini dibahas pelaksanaan ekstraksi unsur jalan secara otomatis yang terdiri dari tahap persiapan dan pengolahan data. Tahap persiapan yang terdiri dari pengambilan

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi adalah tahap dimana sistem yang dibuat telah digunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal, BAB II LANDASAN TEORI II.1 Citra Digital Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal, melainkan sebuah representasi dari citra asal yang bersifat analog [3]. Citra digital ditampilkan

Lebih terperinci

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM

BAB V IMPLEMENTASI SISTEM BAB V IMPLEMENTASI SISTEM Sistem setelah dianalisa dan dirancang, maka sistem tersebut siap diterapkan atau diimplementasikan. Tahap implementasi sistem ini merupakan tahap meletakkan perancangan sistem

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r) BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Kalibrasi Kamera Analisis kalibrasi kamera didasarkan dari hasil percobaan di laboratorium dan hasil percobaan di lapangan. 4.1.1. Laboratorium Dalam penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Microsoft Visual Basic 6.0 Microsoft Visual Basic merupakan salah satu bahasa pemrograman komputer. Bahasa pemrograman adalah perintah perintah yang dimengerti oleh komputer untuk

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci