TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH"

Transkripsi

1 TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH TOLIBIN ISKANDAR Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor ABSTRAK Skistosomiasis merupakan penyakit parasiter yang bersifat zoonosis, disebabkan oleh investasi cacing Schistosoma japonicum ditemukan di 3 daerah terpencil yaitu lembah Napu, lembah Besoa dan lembah danau Lindu. Siput sebagai pejamu perantara sedangkan hewan sebagai pejamu yang sifatnya reservoir yaitu rusa, sapi, kerbau, domba, babi, anjing, tikus dan celurut. Masalah kesehatan yang dihadapi pemerintah di Propinsi Sulawesi Tengah sejak lama, untuk menanggulang penyakit ini dengan melihat aspek biologi, dinamika transmisi, aspek klinik, dan pengobatan masal menggunakan praziquantel. Walaupun sudah diadakan pengendalian secara intensif dimulai tahun 1980, tetapi penularan skistosomiasis masih terus berlangsung. Untuk itu, perlu dirancang suatu pendekatan baru untuk menanggulangi penyakit tersebut. Kata kunci: Skistosomiasis, hewan, manusia PENDAHULUAN Skistosomiasis disebabkan oleh cacing golongan Trematoda yang dikenal sebagai cacing darah (Blood Fluke), menyerang beberapa negara sedang berkembang di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia (PUTRALI et al., 1988). Jenis cacing yang menyerang hewan dan manusia adalah Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, S. intercalatum dan S. mekongi. Daerah penyebaran S. mansoni di Afrika adalah Mesir, Sudan, Libia, Uganda, Tanzania, Mozambique, Rhodesia, Zambia, Congo, Senegal, Gambia, Nigeria, Gabon, Togo, Ghana, Pantai Gading, Liberia dan Sierra Lione. Sedangkan di Amerika Selatan ditemukan endemik di Venezuela, Brazil, Suriname, Republik Dominika, Pueterico, Guadelope, St. Marten, St. Lucia, St. Kitts dan Antiqua (BARRINGTON et al., 1979). S. haematobium di temukan di Timur Tengah antara lain di Yaman,, Aden, Saudi Arabia, Libanon, Syria, Turki, Irak dan Iran. S. interculatum di temukan di Libanon, Uganda, Kenya, dan Madagaskar (BARRINGTON et al., 1979). Skistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di daerah yang sangat terpencil di Sulawesi Tengah, yaitu di lembah Napu, Besoa dan dataran tinggi Lindu. Hewan yang bisa menjadi inang reservoar yaitu sapi, babi, anjing, kucing, kerbau, domba, rusa, kuda, tikus dan celurut (HADIDJAJA, 1982; EFFENDI et al., 1994; TJITRA, 1994). Sedangkan pada manusia pertama kali dilaporkan di Desa Tomado oleh Tesch pada tahun 1937 (MULLER dan TESCH, 1937). Penelitian selanjutnya telah menemukan penyebabnya, yaitu cacing Schistosoma japonicum. Inang perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971 di daerah pesawahan Paku oleh Pinardi Hadidjaja, dan oleh Davis yaitu siput (snail) yang diidentifikasi sebagai subspesies dari Oncomelania hupensis dan diberi nama Oncomelania lindoensis (DAVIS dan CARNEY, 1973). Penelitian yang mendalam mengenai siput penular tersebut telah dilakukan semenjak tahun 1972 dengan mendirikan laboratorium lapangan yang disebut le Petit Soleil atau Matahari Kecil. Penelitian yang intensif akhirnya menemukan bahwa siput tersebut bersifat amfibius tidak tahan akan kekeringan dan juga tidak dapat hidup dalam keadaan terendam air dalam waktu yang cukup lama (SUDOMO, 1994). Kelemahan siput tersebut 228

2 dimanfaatkan untuk memberantasnya dan memutuskan rantai penularan skistosomiasis di daerah endemik. Pemberantasan siput O. h. lindoensis tidak dapat dilakukan oleh sektor pertanian dan peternakan, kesehatan saja tetapi harus dilakukan bersama dengan sektor lain, karena habitat siput tersebut terdapat di daerah pertanian, hutan, sepanjang irigasi dan daerah penggembalaan. Kerjasama yang erat antara sektor-sektor terkait akan lebih berhasil dari pada penanganan oleh salah satu sektor saja. Makalah ini merupakan tinjauan mengenai penyakit Skistosomiasis yang bersifat endemik di Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah. Tujuannya agar penyakit tersebut diantisipasi jangan menyebar ke daerah lain. SISTEMATIK KLASIFIKASI DAN ASPEK BIOLOGI Berdasarkan morfologi dan anatomi, cacing Schistosoma di masukkan dalam kelas Trematoda karena bentuknya seperti daun sub kelas Digenea karena berkembang dalam tubuh tuan rumah perantara sebelum menjadi dewasa, kemudian di masukkan dalam super ordo Anepitheliocystidia, dari ordo Striglatoidea, sub ordo Schistosotoidea, family Schistosomatidae dan genus Schistosoma (SOULSBY, 1982). Larva Cercaria memiliki ekor terpisah (Fork tail), kelaminnya terpisah dan jenis betina umumnya digendong oleh jantan pada canalis gynaecoporus. Cacing ini hidup dalam saluran pembuluh balik definitif host terutama di vena-vena mesenterica, memakan sel darah merah (eritrosit), memiliki batil isap mulut (oral sucker) dan batil isap perut (ventral sucker). Batil isap mulut untuk melekat dan mengisap sedangkan batil isap perut untuk melekat dan memegang (SUDOMO, 1984). Cacing jantan berukuran antara 9,5 20 mm (panjang) dan 0,55 0,97 mm (lebar), cacing betina mm (panjang) dan 0,3 mm (lebar). Ukuran cacing betina yang lebih halus dan kecil memungkinkan baginya untuk masuk ke kapiler-kapiler dinding usus dan bertelur disitu. Demikian pula halnya pada dinding kantong air seni (vesica urinaria) untuk jenis haematobium. Telur-telur dapat tahan hidup di rongga usus sampai tiga minggu sebelum dikeluarkan bersama kotoran. Ciri-ciri lainnya dapat dikemukakan sebagai berikut: tubuh bersifat bilateral simetris, saluran pencernaan tanpa anus, tidak memiliki bagian pharynx, tubuh tak berongga melainkan diisi dengan parenchym, lapisan otot berkembang baik, tanpa sistim peredaran darah dan sistim pernapasan. Sistim pengeluaran terdiri dari sel api (Flame cell) yang berhubungan dengan kantong-kantong ekskresi. Sampah metabolisme di salurkan dari Flame cell ke canalis excretorius kemudian ke vesica urinaria melalui saluran pengumpul lalu dikeluarkan melalui lubang khusus yakni excretory pore yang terdapat di ujung caudal tubuh (HADIDJAJA, 1982). Sistim sarafnya sederhana terdiri dari satu pasang ganglion saraf depan atau saraf melingkar yang dihubungkan dengan satu sampai tiga pasang saraf longitudinal oleh saraf transversal. Sistim pencernaan terdiri dari mulut pada ujung anterior, kemudian oesophagus dengan kelenjar-kelenjar pencernaan, lalu bercabang (bifurcatio) menjadi dua saluran belakang (ceca), dan berakhir buntu tanpa anus. Sistim reproduksi jantan terdiri dari testis berlobi tujuh yang masing-masing berhubungan dengan saluran vas eferens kemudian bersatu pada vas deferens, masuk ke vesica seminalis sebagai depot spermatozoa. Akhir saluran kelamin ini adalah atrium genitalis dan porus genitalis yang terletak sedikit di bawah batil isap perut, atau diantara kedua batil tergantung jenisnya (SOULSBY, 1982). DAUR HIDUP CACING SCHISTOSOMA Daur hidup cacing S. japonicum mengikuti dua pola siklus hidup yakni pola siklus I mulai dari manusia kemudian ke siput penular dan akhirnya kembali ke manusia, pola siklus II mulai dari siput penular kemudian ke hewan dan akhirnya kembali ke siput (BARRINGTON et al., 1979). Kedudukan siput penular sangat penting dalam rantai penularan karena dari tubuh siput ini cercaria dapat menginfestasi baik manusia maupun hewan. 229

3 Dalam mekanisme perasukan cacing ini ke dalam tubuh inang, stadium kehidupan larva mirasidium, larva serkaria dan bentuk morfologi maupun anatomi Schistosomula sangat penting. Mirasidium berbentuk seperti pepaya atau daun. Pada tubuhnya terdapat bulu getar atau cilia, dalam keadaan hidup lebih langsing yang telah difiksasi. Ukuran panjang berkisar 82,8 144 µ, lebar antara 37,6 68,4 µ dengan angka rata-rata panjang 109,8 µ ± 11,9 µ dan lebar 54,6 µ ± 5,8 µ. Pada bagian luar tubuhnya terlihat sekitar 21 plat epidermal yang tersusun dalam 4 baris dengan sel-sel yang berbentuk segitiga, segiempat, lonjong dan bentuk perisai. Pada sel-sel ini terdapat banyak silia yang tidak terlihat di daerah interseluler, makin ke arah caudal silia makin panjang. Dengan perlengkapan silia ini mirasidium berenang mencari siput perantara dan menembus ke dalam tubuh siput kemudian berkembang menjadi sporokista induk, selanjutnya sporokista anak akhirnya keluar sebagai larva serkaria. Larva serkaria bersilia sepanjang permukaan tubuhnya, ekor bercabang, bergerak mundur (bagian kepala mengikuti ekor). Baik larva miracidium maupun cercaria bergerak mengapung di bawah permukaan air, bersifat fototaxis, gravitasi negatif, dan mobilitas dipengaruhi oleh temperatur sekitar. Larva mirasidium dan larva serkaria dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Larva mirasidium Larva serkaria berenang bebas di air untuk mencari inang tetap, manusia ataupun hewan sebagai inang perantara kemudian menembus kulit dan menjadi schistosomulum yang selanjutnya merasuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi dewasa, kemudian kawin dan menghasilkan telur. Dari telur sampai menjadi dewasa dibutuhkan waktu sekitar 40 hari, serkaria selama 24 jam dan selama 3 bulan sporokista dapat bertahan dalam siput penular (HADIDJAJA, 1982). PROSES PERAKSUKAN SKISTOSOMA Peraksukan cacing skistosoma ke dalam jaringan inang dimulai dengan perlekatan bagian-bagian tertentu dari parasit itu pada permukaan tubuh inang. Bagian-bagian tersebut yaitu batil isap mulut dengan papila apicalisnya, sebagai bagian yang paling utama, dibantu oleh batil isap perut (tidak untuk penetrasi), papila lateralis, reseptor-reseptor penunjang, papila dorsalis, canalis gynaecophorus yang secara makroskopis posisinya dapat ditunjukkan pada Gambar 2 (HADIDJAJA, 1984). P = Papilla (apicale lateral) bersifat aktif Gambar 2. Cacing Schistosoma japonicum Perlekatan dan peraksukan cacing tesebut dapat terjadi karena adanya struktur jaringan kulit dan jaringan dalam tubuh inang yang dapat dirusak setelah terjadi proses perlekatan. Tubuh inang memiliki alat pertahanan untuk melawan kehadiran cacing tersebut antara lain adalah: sistim pertahanan kulit, sistim pertahanan seluler (fagosit), sistim pertahanan humoral (Immunoglobulin, antibodi), dan sistim pertahanan jaringan khusus (Fixed tissue phagocytes). Sistim pertahanan kulit bersangkut paut dengan proses perlekatan dan penetrasi. Kulit merupakan pintu masuk cacing yang utama, tidak semua bagian kulit dapat menjadi pintu masuk tergantung pada jenis dan sturktur dari kulit tersebut (STIREWALT, 1956 dalam SOULSBY, 1982). 230

4 Bagian kulit yang terbuka merupakan tempat masuknya larva cacing. Pada tikus kebanyakan rambutnya berasal dari bagian sisik-sisik keras (bertulang) maka pintu masuknya berada di antara sisik-sisik itu. Pada domba dengan gerakan atau kontraksi otot maka cercaria akan masuk diantara lapisan selsel squamous dari stratum korneum kulit dan mengalami perubahan menjadi skistosomulum setelah melepaskan bagian ekornya. Dalam proses ini bekerja enzim proteolitik seperti hyaluronidase, yang bekerja pada serat-serat kolagen. Pada tupai, larva dapat masuk melalui pinggiran rambut (menyusur) ke kelenjar sebacea. Sedangkan pada manusia pintu masuknya pada bagian kerutan kulit, bila bagian kulit itu menebal dan tegang maka larva kurang bebas untuk mengadakan penetrasi (HADIDJAJA, 1982). Larva skistosomula memiliki sistim koordinasi gerakan yang kompleks. Dalam proses penetrasi serkaria dan masuknya skistosomula dalam jaringan diperlukan bahan pengaktif sebagai trigger berupa bahan kimia yakni host lipid, energi panas dan cahaya. Larva skistosomula ini akan berkembang selama perjalanannya melalui jaringan inang dan menjadi tahan terhadap tekanan osmotik serta salinitas yang tinggi (BARRINGTON et al., 1979). TINJAUAN HASIL PENELITIAN EPIDEMIOLOGI DI KABUPATEN POSO Lembah Napu Penelitian pada hewan di lembah Napu tahun 1982 mendapatkan kasus skistosomiasis pada tikus dengan angka infeksi 11,9%, angka infeksi siput 1,7% (HADIDJAJA, 1989). Peneliti lain di kecamatan Lore Utara (Lembah Napu) di desa Dodolo prevalensi pada anjing 3%, babi 0,2% pada kerbau 0,1% dan pada kuda 0,1% dengan gejala klinis demam, sakit perut dan diare (EFFENDI et al., 1993). Penelitian pada tahun hasilnya 35 hewan piaraan positif telur S. japonicum yaitu 31 ekor anjing, 2 ekor sapi, dan 2 ekor babi; dengan praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal. Angka kesembuhan praziquantel terhadap hewan piaraan adalah 87,9% (ANONIM. 1990). Hasil survai siput di Lembah Napu 0,9% positif mengandung serkaria (SUDOMO, 2000). Demikian pula ISKANDAR dan LUMENO (2002), menemukan tikus liar yang mengandung cacing S. japonicum dengan memasang 102 perangkap mati (snap-trap) yang tertangkap dibedah sebanyak 34 ekor tikus dari jenis Rattus hoffmani dan Rattus norvegicus 2 ekor (5,8%) diantaranya positif cacing pada hati Gambar 3. Gambar 3. Hati tikus yang terinfestasi S. japonicum Penelitian di lembah danau Napu pada tahun 1972 pada manusia (CARNEY et al., 1974) di 5 desa (Watumaeta, Wuasa, Alitupu, Winowonga dan Maholo) yang jumlah penduduknya 1843, mendapatkan angka infeksi S. japonicum 43% dari 583 tinja yang diperiksa. Pada tahun 1974 penelitian di 4 desa lain (Kaduwaa, Tamadue, Sedoa dan Watutau) dengan jumlah penduduk 1214, mendapat angka infeksi 31% dari 1003 tinja yang diperiksa (CARNEY et al., 1977). Penelitian ini kemudian (1981) dikembangkan di 3 desa (Maholo, Tamadue dan Winomanga) dengan jumlah penduduk 755 dan mendapatkan angka infeksi skistosomiasis 56% dari 633 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus adalah 1,65 % dan angka infeksi siput 4%. Disamping itu juga ditemukan 14 fokus siput yang positif. Setelah selama 6 bulan dilakukan pengobatan dengan praziquantel, kasus skistosomiasis enjadi 5% pada manusia, angka infeksi pada tikus 4,8%, 231

5 dan angka infeksi pada siput 6%. Kenaikan angka infeksi pada pada tikus dan siput karena ada variasi musim, yaitu penelitian dilakukan pada akhir musim kemarau (PUTRALI et al., 1988). Penelitian lain di lembah Napu (1982) mendapatkan kasus skistosomiasis 35,8% angka infeksi siput 1,7%, dan angka infeksi tikus 11,9% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian ulang (1983) di 3 desa (Maholo, Winowanga dan Tamadue) dengan jumlah penduduk 708 orang, mendapat angka infeksi skistosomiasis lebih tinggi yaitu 65,95% dari 241 tinja yang diperiksa. Kemudian diadakan pengobatan dengan prazinquantel dosis 30 mg/kg BB, diberi 2 kali dalam 1hari selama 6 bulan. Angka kesembuhan adalah 92,6% (SUDOMO, 2000). Lembah Besoa Lembah Besoa letaknya berdekatan dengan lembah Napu. Pada tahun dilakukan survai dengan pemeriksaan tinja di 10 desa dengan jumlah penduduk Kasus skistosomiasis yang ditemukan juga rendah yaitu 0,9% dari 2307 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus didapatkan 2,7% dan ditemukan 4 fokus siput yang positif. Dari 10 desa yang diteliti hanya 3 desa yang positif skistosomiasis yaitu : Torire dengan angka infeksi 1,5%, Talabosa 0,4%, dan Betue 9,9%. Gejala klinis yang ditemukan antara lain : splenomegali 6,8%, hepatomegali 1,1%, dan disentri 4% (RENYMANORA et al., 1988). Lembah Danau Lindu Pada tahun 1937, survai tinja dengan pemeriksaan langsung di daerah danau Lindu mendapatkan angka infeksi telur S. japonicum (BRUG dan TESCH, 1937). Kemudian berturutturut pada tahun 1940 dan 1956 dilakukan survai ulang dan didapatkan angka infeksi skistosomiasis yang lebih tinggi yaitu 55% dan 26% (BONNE dan SANDGROUND, 1940; BUCK dan UHRMANN, 1956). Pada tahun 1971, penelitian di 3 desa (Tomado, Langko, dan Anca) dengan jumlah penduduk 1459 dan mendapatkan kasus skistosomiasis 53% dari 126 tinja yang diperiksa (HADIDJAJA et al., 1972). Setahun kemudian (1972), penelitian diperluas menjadi 4 desa (Tomado, Langko, Anca dan Puroo) dengan jumlah penduduk 1500 orang dan mendapatkan angka infeksi 37,9% dari 1417 sampel yang diperiksa (CLARKE et al., 1974). Penelitian tersebut diikuti dengan penelitian klinis (1972) tanpa mengidentifikasi tandatanda dan gejala positif dari penderita skistosomiasis (GUNNING et al., 1972). Pada tahun 1974, penelitian diperluas lagi menjadi 5 desa (Tomado, Langko, Anca, Puroo dan Paku) dengan jumlah penduduk 1515 orang dan mendapatkan angka infeksi 37,5% dari 1423 sampel yang diperiksa (DAZO et al., 1976). Pada tahun 1981, penelitian di daerah danau Lindu dikembangkan dan mendapatkan kasus skistosomiasis 15,8%, angka infeksi siput 0,3%, dan angka infeksi tikus 2,44% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian dilanjutkan pada tahun 1984 di desa Langko dan mendapatkan kasus skistosomiasis 64,8% dengan pemeriksaan tinja, sedangkan dengan teknik Circumoval Precipitin Test (COPT) 64,4%. Kasus penderita berat yang dilaporkan adalah 25,4% sedang 30,3%, ringan 41,5%, dan tanpa gejala 2,8%. Gejala klinis dari penderitapenderita tersebut adalah demam (83,4%), sakit perut (70,2%), dermatitis (56,4%), diare (50,3%), mual-muntah (41,1%), nafas pendek (39,1%), perut tegang (35,1%), lemah (33,1%), splenomegali (27,8%), hepatomegali (25,2%) (HADIDJAJA, 1984). Setelah dilakukan usaha pemberantasan dengan pengobatan praziquantel, molluscide, perbaikan lingkungan dan penyuluhan kesehatan, angka infeksi skistosomiasis menjadi 1,14%, angka infeksi siput 1,14% dan angka infeksi tikus 1,32% (HADIDJAJA, 1989). Penelitian skistosomiasis tahun 1996 pada manusia di kawasan danau Lindu prevalensinya yaitu di desa Anca 0,3%, desa Tomado 1,1%, desa Kanawu 0,5%, desa Langko 3,0%, desa Puroo 0,9%, desa Salutui 2,1% (SUDOMO, 2000). Penyakit ini sulit dibrantas karena keadaan alam yang menunjang seperti habitat siput O. h. lindoensis terdapat di daerah pertanian, hutan, sepanjang irigasi dan daerah penggembalaan, penyakit ini disebut Demam Keong atau Penyakit Lindu (LUMENO, 2004). 232

6 KESIMPULAN Hewan piaraan yang menjadi pejamu perantara S. japonicum yaitu: sapi, kerbau, domba, babi, anjing, kuda. Lembah Napu, lembah Besoa, dataran tinggi lembah danau Lindu, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah merupakan daerah endemis skistosomiasis. Gejala klinis pada anjing demam, sakit perut dan mencret. Sedangkan pada manusia ditemukan terutama: demam, sakit perut, dermatitis, diare, dan muntah mual. Diagnosis dapat ditegakkan selain dengan pemeriksaan tinja, juga dapat dengan biopsi rektum atau biopsi hati atau Circumoval Precipitin Test (COPT). Praziquantel 20 mg/kg BB, dosis tunggal untuk pengobatan ternak cukup efektif. Sedangkan untuk manusia dosis 60 mg/kg BB, dibagi dalam 2 dosis dan diberikan selama 1 hari, cukup efektif. Pemberantasan multiintervensi dengan pengobatan penderita, pemberantasan siput dengan mulluscide dan perbaikan kebersihan lingkungan serta penyuluhan kesehatan berhasil menurunkan angka infeksi skistosomiasis. Walaupun skistosomiasis terdapat di daerah yang terbatas, tetapi dengan adanya migrasi penduduk, pembangunan dan perkembangan ekonomi, serta banyaknya ternak menjadi pejamu perantara, perlu dipikirkan kemungkinan penyakit ini dapat meluas dan meledak. DAFTAR PUSTAKA ANONIM Subdit Filariasis dan Schistosomiasis. Direktotar Jenderal PPM dan PLP, Depkes RI, Jakarta. BARRINGTON, E.R.S., A.J. WILLIS, and M. A. SLEICH A Series of Student Texts in Contemporary Biology. Edward Arnold Limited, London. BONNE, C., and J.H. SANDGROUND Billharzia japonicum aan het Lindoe meer. Geneesk Tijdschr Ned Indie. 80:477. BRUG, S.L. and J.W. TESCH Parasitaire wormen aan het Lindoe meer (Oa Paloe, Celebes). Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:2151. CARNEY, W.P., M. SJAHRUL SALLUDIN, and J. PUTRALI The Napu valley, a new schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 5: CARNEY, W.P., P.V.D. VAN PEENEN, R. SEE, and B. LIMA Parasites of man in remote areas of Central and South Sulawesi Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Hlth. 8: CLARKE, M.D., W.P. CARNEY, J.H. CROSS, S. OEMIJATI and A. JOESOEF Schistosomiasis and other human parasitoses of Lake Lindu in Central Sulawesi, Indonesia. American J. Trop. Med. and Hyg DAVIS, G.M., and W.P. CARNEY Description of Oncomelania hupensis lindoensis: first intermediate host of Schistosoma japonicum in Sulawesi. Proc. Acad. Nat. Sci. Philadelphia. 125:1-34. EFFENDI, N. ENDAH, ASMAN dan HERRY Survai Schistosomiasis pada hewan di lembah Napu, kecamatan Lore Utara kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Laporan BPPH Wilayah VII Ujung Pandang. HADIDJAJA, P., W.P. CARNEY, M.D. CLARKE, and S. OEMIJATI Schistosoma japonicum and intestinal parasites of the inhibitants of Lake Lindu, Sulawesi. A preliminary report. Southeast Asian J. of Trop. Med. and Pub. Hlth.3: HADIDJAJA, P Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Thesis Doktor Universitas Indonesia. HADIDJAJA, P Clinical study of Indonesian schistosomiasis at Lindu lake area, Central Sulawesi. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 15(4): HADIDJAJA, P Important trematodes in man in Indonesia. Bul. Penel. Kes. 17(2): ISKANDAR, T. dan H. LUMENO Isolasi penyebab demam keong dari tikus liar di sekitar danau Lindu Sulawesi Tengah. Pros. Sem. Nas. Teknologi Peternakan dan Veteriner Puslitbangnak, Deptan. Bogor. LUMENO, H Mekanisme infeksi cacing Schistosoma japonicum pada manusia dan hewan. Belum dipublikasi. MULLER, H. and J.W. TESCH Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77:

7 PUTRALI, J., N. SJAMSUDIN, M. SUDOMO, and P. HADIDJAJA Schistosomiasis control by mass treatment using praziquantel in Indonesia. Maj. Parasitol. Indon. 2(1 & 2): SUDOMO, M Ecology of schistosomiasis in Indonesia with certain aspects of control. Southeast asian J. trop. Med. Pub. Health.4:471. SUDOMO, M Schistosomiasis Control in Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 13(1-2):1-10. TJITRA, E Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran.96:

PENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2

PENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2 ISOLASI PENYEBAB DEMAM KEONG DARI TIKUS LIAR DI SEKITAR DANAU LINDU SULAWESI TENGAH (Isolation of snail fever cause from wild rat located around Lindu lake Central Sulawesi) TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN KEGIATAN PENELITIAN Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang

Lebih terperinci

POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH

POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH 2004 Yusuf Ridwan Posted 14 December 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2004 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.F (Penanggung

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 Rasyika Nurul 1, Muh. Jusman Rau 2, Lisdayanthi Anggraini 2 1.Bagian Promosi Kesehatan, Program Studi

Lebih terperinci

Hafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah

Hafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah 144 J. MANUSIA J. MANUSIA DAN DAN LINGKUNGAN, LINGKUNGAN Vol. 20, No. 2, Juli. 2013: Vol. 144 20, No. - 152 2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN MORFOLOGI SIPUT Ongcomelania hupensis lindoensis SEBAGAI HEWAN RESERVOIR

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 Infeksi Schistosoma Japonicum... (Made Agus Nurjana, Samarang) INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 THE INFECTION

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA

PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA Sudomo, M '. dan Pretty, M.D. ~asono. SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA Abstract. Schistosomiasis in Indonesia existing only in two endemic areas, Lindu and

Lebih terperinci

ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni**

ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni** ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni** THE TRANSMISSION OF SCHISTOSOMIASIS IN DODOLO AND MEKARSARI VILLAGES OF

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman : Revisi Halaman 1. Pengertian Skistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood fluke). 2. Tujuan Prosedur ini sebagai acuan dalam

Lebih terperinci

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma japonicum DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma japonicum DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma japonicum DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti)

Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti) Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti) KONTRIBUSI HEWAN MAMALIA SAPI, KERBAU, KUDA, BABI DAN ANJING DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU

Lebih terperinci

BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM

BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM Anis Nurwidayatir, Phetisya PFSr, htan Tr' Ristil,Balai Litban gp\b?donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan' Kementerian

Lebih terperinci

Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah http://dx.doi.org/10.22435/bpk.v45i4.7570.215-222 Situasi Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah... (Junus Widjaja, Hayani Anastasia, at.al) Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di

Lebih terperinci

INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH

INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH Infection Rate of The Intermediate Host and The Prevalence of Schistosoma Japonicum reservoirs

Lebih terperinci

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik A. Karakteristik PLATYHELMINTHES 1.Tubuh terdiri atas 3 lapisan sel: ektodermis, mesodermis, dan endodermis (triploblastik) 2. Hidup bebas atau parasit 3. Alat ekskresi berupa sel api 4. Alat pencernaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

ABSTRACT. Barodji '1, M. Sudomo '1, J. Putrali '1 dan M.A. Joesoef 2, PENDAHULUAN

ABSTRACT. Barodji '1, M. Sudomo '1, J. Putrali '1 dan M.A. Joesoef 2, PENDAHULUAN Bulletin Penelitian Karehatan (Health Studies in Indonesia) PERCOBAAN PEMBERANTASAN HOSPES PERANTARA SCHISTOSOMIASIS (ONCOMELA NZA H UPENSIS L IND OENSZS) DEI'GAN BAY LUSCIDE DAN KOMBINASI PENGERINGAN

Lebih terperinci

Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah https://doi.org/10.22435/blb.v13i2.5732.183-190 Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah The Relationship Between Elementary

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013,

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013, FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM MENCEGAH PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DI DUA DESA DI DATARAN TINGGI NAPU KAPUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2010 FACTORS RELATED TO COMMUNITY

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB.

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB. SIGI Vail Alfadri A. Mahmud 1, Yusran Haskas 2, Akmal 3 1 2 3 (Alamat

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trichuris trichiura Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang hidup di sekum dan kolon ascending manusia. Pejamu utama T.trichiura adalah

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS PARASITOLOGI OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS DEFINISI PARASITOLOGI ialah ilmu yang mempelajari tentang jasad hidup untuk sementara atau menetap pada/ di dalam jasad hidup lain dengan maksud mengambil sebagian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar

Annelida. lembab terletak di sebelah atas epithel columnar yang banyak mengandung sel-sel kelenjar Annelida Karakteristik 1.Bilateral simetris, memiliki tiga lapisan sel (triploblastik), tubuhnya bulat dan memanjang biasanya dengan segmen yang jelas baik eksternal maupun internal. 2.Appendages kecil

Lebih terperinci

Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.

Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal. SCHISTOSOMIASIS B7 Pendahuluan Penyakit infeksi merupakan masalah kesehatan dari masyarakan. Penyakit infeksi sendiri bisa muncul karena adanya bakteri, virus, kuman, ataupun parasite yang ada disekitar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Taenia saginata 2.1.1. Definisi Taenia saginata merupakan cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, dan filum Platyhelminthes. Hospes definitif Taenia

Lebih terperinci

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I TREMATODA Morfologi umum cacing penyebab : Pipih bilateral, seperti daun Hermaphrodit Tidak bersegmen Saluran pencernaan tdk sempurna Oral & Ventral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat:

Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: Cacing Tanah (Lumbricus terrestris) I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus digestorius

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit parasiter saat ini menjadi ancaman yang cukup serius bagi manusia. Ada 6 jenis penyakit parasiter yang sangat serius melanda dunia, yaitu malaria, schistosomiasis,

Lebih terperinci

CACING TANAH (Lumbricus terrestris)

CACING TANAH (Lumbricus terrestris) CACING TANAH (Lumbricus terrestris) Kode MPB2b Fapet I. TUJUAN PRAKTIKUM Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa praktikan dapat: a. Menyebutkan karakteristik Lumbricus terrestris b. Menunjukkan apparatus

Lebih terperinci

Mujiyanto* ), Jastal **)

Mujiyanto* ), Jastal **) PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM IDENTIFIKASI FOKUS BARU SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH Mujiyanto* ), Jastal **) *) Balai

Lebih terperinci

Ciri-ciri umum cestoda usus

Ciri-ciri umum cestoda usus Ciri-ciri umum cestoda usus Bentuk tubuh pipih, terdiri dari kepala (scolex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh (proglotid) Panjang antara 2-3m Bersifat hermaprodit Hidup sebagai parasit dalam usus vertebrata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

Spot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province

Spot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 5, No. 3, Juni 2015 Hal : 115-120 Penulis : 1. Anis Nurwidayati 2. Yusran Udin 3. Risti 4. Hasrida

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik adalah penyalit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

Diterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT

Diterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT KO-INFEKSI SCHISTOSOMA JAPONICUM DAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH DI DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS KECAMATAN LORE UTARA DAN LORE TIMUR, KAB. POSO, SULAWESI TENGAH Co-infection of Schistosoma japonicum and

Lebih terperinci

Proses Penularan Penyakit

Proses Penularan Penyakit Bab II Filariasis Filariasis atau Penyakit Kaki Gajah (Elephantiasis) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Filariasis disebabkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta Hasil penangkapan ikan air tawar dari Kali progo, Yogyakarta diketahui terdapat 7 jenis

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah penyakit akibat infeksi protozoa genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi. Gejala umumnya muncul 10 hingga

Lebih terperinci

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila,

Pada dasarnya morfologi cacing dewasa terdiri dari : - Kepala/scolec, - Leher, -Strobila, CESTODA JARINGAN Cacing dalam kelas Cestoidea disebut juga cacing pita karena bentuk tubuhnya yang panjang dan pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun pembuluh darah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

Terdiri dari 1. Nemathelminthes ( Cacing gilik / nema = benang) 2. Platyhelmintes (Cacing pipih) A. Trematoda (Cacing daun) B. Cestoda (Cacing pita)

Terdiri dari 1. Nemathelminthes ( Cacing gilik / nema = benang) 2. Platyhelmintes (Cacing pipih) A. Trematoda (Cacing daun) B. Cestoda (Cacing pita) Ani Radiati MKes Terdiri dari 1. Nemathelminthes ( Cacing gilik / nema = benang) 2. Platyhelmintes (Cacing pipih) A. Trematoda (Cacing daun) B. Cestoda (Cacing pita) NEMATODA USUS - Ascaris lumbricoides

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA

CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA CARA PERKEMBANGBIAKAN INVERTEBRATA Dalam perkembangbiakannya,invertebrata memiliki cara reproduksi sebagai berikut 1. Reproduksi Generatif Reproduksi generative melalui fertilisasi antara sel kelamin jantan

Lebih terperinci

POLA PENGOBATAN PENDERITA SCHISTOSOMIASIS (PENYAKIT DEMAM KEONG) DI DESA KADUWAA KECAMATAN LORE UTARA KABUPATEN POSO PROPINSI SULAWESI TENGAH

POLA PENGOBATAN PENDERITA SCHISTOSOMIASIS (PENYAKIT DEMAM KEONG) DI DESA KADUWAA KECAMATAN LORE UTARA KABUPATEN POSO PROPINSI SULAWESI TENGAH POLA PENGOBATAN PENDERITA SCHISTOSOMIASIS (PENYAKIT DEMAM KEONG) DI DESA KADUWAA KECAMATAN LORE UTARA KABUPATEN POSO PROPINSI SULAWESI TENGAH Joni Tandi Program Studi S1 Farmasi, STIFA Pelita Mas Palu

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing gelang Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang umum menyerang hewan jenis unggas. Ascaridia galli merupakan cacing parasit yang dalam kehidupannya mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9

Gambar 1. Perluasan lesi pada telapak kaki. 9 BAB 3 DISKUSI Larva migrans adalah larva cacing nematoda hewan yang mengadakan migrasi di dalam tubuh manusia tetapi tidak berkembang menjadi bentuk dewasa. Terdapat dua jenis larva migrans, yaitu cutaneous

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit parasit di Indonesia masih menempati posisi penting seperti juga penyakit infeksi lainnya. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '/ * i zt=r- (ttrt u1 la l b T'b ', */'i '"/ * I. JENIS.JENIS CACING PARASIT USUS YANG UMUM MENYERANG ANAK SEKOLAH DASAR-) Oleh : Dr. Bambang Heru Budianto, MS.**) I. PENDAHULUAN Penyakit cacing usus oleh masyarakat

Lebih terperinci

BLASTOMYCES DERMATITIDIS ABSTRAK

BLASTOMYCES DERMATITIDIS ABSTRAK NAMA : TRESA NIM : 078114005 BLASTOMYCES DERMATITIDIS ABSTRAK Blastomyces dermatitidis adalah jamur dimorfik termal yang tumbuh sebagai mold dalam biakan, menghasilkan hifa hyalin bersepta dan bercabang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. peternakan skala besar saja, namun peternakan skala kecil atau tradisional pun BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa Indonesia dan sektor peternak juga menjadi salah satu sektor yang menunjang

Lebih terperinci

Assalamu alaikum Wr. Wb. Biologi Task Identification of Annelida. By : Anjar Wicitra Wening Khalikul Haqqur Rahman Taufiqurrahman

Assalamu alaikum Wr. Wb. Biologi Task Identification of Annelida. By : Anjar Wicitra Wening Khalikul Haqqur Rahman Taufiqurrahman Assalamu alaikum Wr. Wb. Biologi Task Identification of Annelida By : Anjar Wicitra Wening Khalikul Haqqur Rahman Taufiqurrahman Ciri-ciri Annelida : ⱷ Tubuhnya tersusun atas cincin-cincin (gelang-gelang)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Giardiasis adalah penyakit diare yang disebabkan oleh protozoa patogen Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi protozoa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica

TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa ( Hystrix javanica 14 TINJAUAN PUSTAKA Landak Jawa (Hystrix javanica) Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia Famili

Lebih terperinci

BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST

BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST TERHADAP KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS JAPONICUM (Studi Kasus di Taman Nasional Lore-Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah) ARTIKEL PENELITIAN Untuk memenuhi persyaratan

Lebih terperinci

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA:

1. ASPEK BIOLOGI MORFOLOGI VIRUS EBOLA: Virus Ebola menyebabkan demam hemorrhagic. Semenjak dikenal tahun 1976, Virus Ebola menyebabkan penyakit yang fatal pada manusia maupun binatang primata (monyet, gorila dan simpanse). Dinamakan Virus Ebola

Lebih terperinci

Rickettsia prowazekii

Rickettsia prowazekii Rickettsia prowazekii Nama : Eva Kristina NIM : 078114026 Fakultas Farmasi Sanata Dharma Abstrak Rickettsia prowazekii adalah bakteri kecil yang merupakan parasit intraseluler obligat dan ditularkan ke

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DAN PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT LINDU TERKAIT KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH

PENGETAHUAN DAN PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT LINDU TERKAIT KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH PENGETAHUAN DAN PERILAKU KESEHATAN MASYARAKAT LINDU TERKAIT KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH KNOWLEDGE AND BEHAVIOUR HEALTH SCHISTOSOMIASIS AT HIGHLANDS COMMUNITY SIGI LINDU IN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak beberapa tahun terakhir ini, berbagai penyakit infeksi mengalami peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai belahan dunia

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci