BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional dengan mengambil studi analisis efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat tidak ada satu negara pun di belahan dunia ini di mana kaum perempuannya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) untuk beberapa derajat. Karenanya, signifikansi dari mendiskusikan hak-hak kaum perempuan (women s right) disebabkan perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami berbagai jenis pelanggaran hak-hak asasi manusia. Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang berusaha diwujudkan terus menerus. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan didalamnya, tentu bukanlah demokrasi yang sejati. 1 Bagaimana hal tersebut dapat diupayakan, tentu dengan adanya jaminan bahwa perempuan dapat menikmati hak-haknya secara bebas tanpa kungkungan diskriminasi. Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan, 1 Ani Widyani, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta : Kompas hlm.12.

2 menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik. Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Menurut Goran Melander, 2 CEDAW telah distrukturkan dalam suatu cara yang cukup tradisional mengenai konvensi HAM, yang dimulai dengan enumerasi (penyebutan satu demi satu) hak-hak perempuan dan selanjutnya diiringi oleh ketetapan-ketetapan yang berkesinambungan dengan implementasi konvensi tersebut. Sebagaimana umumnya berbagai convention HAM lainnya, CEDAW memandatkan pembentukan sebuah komite, yaitu komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli yang diajukan dan dipilih oleh negara yang telah menerima CEDAW setiap empat tahun. Sangat sering diujarkan bahwa komite seharusnya berkonsentrasi pada negara-negara yang sangat kental dengan pelanggaran HAM perempuan, namun hal tersebut tidak boleh dilaksanakan untuk alasan yang sangat pragmatis. Konvensi sesungguhnya hanya memungkinkan untuk menerima laporan negara (country report) dari negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW. Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan 2 Goran Melander and Gudmundur A, The Raoul Wallenberg Compilation of Human Rights Instruments, London : The Hague. hlm. 18.

3 yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut. Diskriminasi melanggar HAM, demikian pula diskriminasi terhadap perempuan melanggar hak azasi manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan agar perempuan-perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Realitas ini mendorong Komisi Status Perempuan PBB menyerahkan draft pertamanya tentang deklarasi anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1979 PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.7 Tahun Dengan demikian, Indonesia mempunyai konsekuensi mengakui dalam hukum dan dalam kehidupan sehari-hari prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Artinya, meskipun secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan, namun secara de facto pemerintah tetap masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah dalam mengimplementasikan CEDAW secara utuh. Indonesia telah mengupayakan berbagai hal untuk memproteksi HAM perempuan dengan mengaplikasikan CEDAW. Namun, konsistensi pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak perempuan masih perlu dibuktikan lebih jauh. Sebagaimana mengutip Rebecca J Cook Hanya negara dan agenagenya yang dapat melakukan pelanggaran HAM. Para aktor non-state secara umum tidak

4 bertanggung jawab di bawah hukum HAM internasional, namun negaralah yang acap kali harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM di negaranya. 3 Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Namun, dalam implementasinya Indonesia justru masih belum sepenuh hati. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa gambaran, diantaranya : ketidaktegasan pemerintah dalam mencantumkan prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang adanya, banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggenggkan melalui berbagai undang-undang, menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, serta banyaknya praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Artinya terdapat beberapa pasal dalam konvensi ini yang rancu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seperti permasalahan perkawinan, tentu hal ini sulit untuk disamaratakan dengan ketentuan konvensi dikarenakan Indonesia dipengaruhi syariah Islam untuk mengurusi masalah perkawinan. Merujuk pada deskripsi diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan tujuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur sejauh mana efektifitas konvensi perempuan internasional ini dapat diterapkan, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki kebhinekaan budaya dan kental adat ketimurannya. 3 Rebecca J.Cook (ed). (1994), Human Rights of Woman, National and International Perspective, Philadelphia : University of Pennsylvania Press. hlm. 634.

5 I.2. Rumusan Masalah Berangkat dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia? I.3. Batasan Masalah Sebuah penelitian membutuhkan ruang pembatasan masalah agar tidak melebar dan meluas, sehingga kiranya dapat mendapat hasil yang memuaskan sesuai dengan maksud tujuan penelitian, maka penelitian ini mempunyai batasan masalah : 1. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. 2. Penelitian dengan judul Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia merujuk pada pelaksanaan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women PBB (CEDAW) Tahun 1979.

6 I.4. Tujuan Penelitian Sebagai sebuah bahan kajian ilmiah maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia. I.5. Signifikansi Penelitian 1. Bagi Penulis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk melihat bagaimana efektifitas implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia. 2. Bagi Objek Yang Diteliti Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia dan menjadi sumbangan bagi institusi/lembaga, yaitu : Partai Politik, LSM dan LBH atau institusi yang berkaitan lainnya. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Secara akademis penelitian ini adalah suplemen baru dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori politik apakah masih sesuai dengan kondisi di lapangan (the real politics) khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik yang tertarik dengan masalah tersebut.

7 I.6. Kerangka Teori Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : I.6.1. Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara. 4 Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum. Sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut Undang-Undang No. 24/2000 yaitu Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina diatas, maka unsur-unsur perjanjian internasional adalah : 4 Dalam Seminar Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 5 7 September hlm.1.

8 a. Suatu persetujuan internasional; b. Dibuat oleh negara negara dalam bentuk tertulis; c. Didasarkan pada hukum internasional; d. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih; e. Memiliki nama apapun. I Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional a. Traktat (Treaty) Traktat adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar mereka. Traktat merupakan perjanjian internasional yang kekuatan mengikatnya sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara yang telah terikat tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa persetujuan pihak-pihak lain yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan demikian maka traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang paling formal. b. Konvensi (Convention) Konvensi lazim digunakan bagi persetujuan formal yang bersifat multilateral. Suatu konvensi tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Pokokpokok persoalan yang diatur tidak menghendaki pemecahan yang menyeluruh terhadap suatu bidang. Sama seperti traktat, konvensi pun harus dilegalisir oleh wakil-wakil berkuasa penuh (plenipotentiaries). c. Protokol (Protocol) Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak se-resmi traktat atau konvensi, dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Pada hakikatnya protokol dapat

9 berupa suplemen dari konvensi. Dalam hal ini protokol hanya mengatur masalahmasalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu. d. Persetujuan (Agreement) Persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Persetujuan lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi. e. Perikatan (Arrangement) Arrangement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. f. Deklarasi (Declaration) Deklarasi merupakan perjanjian internasional yang ada kalanya berbentuk traktat, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. Deklarasi akan menjadi traktat jika ia merupakan lampiran atau dilampirkan pada traktat atau konvensi. Sedangkan, jika mengatur hal-hal yang kurang urgen, deklarasi itu akan menjadi persetujuan tidak resmi. g. Piagam (Statue) Statue atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembagalembaga internasional.

10 h. Proses Verbal (Procces Verbal) Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik, atau dapat pula merupakan catatan suatu pemufakatan. Proses verbal lazimnya tidak diratifikasi. i. Pakta (Pact) Penggunaan istilah pakta sesungguhnya merupakan persamaan dari traktat dalam arti sempit dan jika dilihat dari keharusan ratifikasinya pakta sama dengan traktat. j. Modus Vivendi Perjanjian internasional seperti ini merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara. Hal itu berlangsung sampai berhasil diwujudkan suatu perjanjian yang lebih permanen, rinci dan sistematis. k. Pertukaran Nota (Exchange of Notes) Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral. l. Ketentuan Penutup (Final Act Arrangement) Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam suatu dokumen yang disebut Ketentuan Penutup. Ketentuan penutup meringkaskan hasil hasil konferensi, menyebutkan negara-negara peserta, utusanutusan dari negara yang ikut berunding serta masalah-masalah yang disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup juga memuat penafsiran ketentuan yang telah disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup tidak memerlukan ratifikasi.

11 m. Charter Charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi adaministratif. PBB membuat anggaran dasarnya dalam bentuk charter. n. Ketentuan Umum (General Act) Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional. I Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional. Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu diikat oleh suatu perjanjian bilamana: 1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau 2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tertentu mewakili negaranya untu maksud-maksud tersebut. Sementara itu Treaty Making Powers sendiri berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional berada ditangan the big three, yaitu : 1. Kepala Negara (Head of State), untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian;

12 2. Kepala Pemerintahan (Head of Government), untuk maksud menyetujui teks perjanjian antara negara pengirim dan negara di mana mereka diakreditasikan; 3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs), untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dalam konferensi, organisasi dan organnya. Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa Full Powers mereka tidak dapat menandatangani suatu perjanjian internasional. I Berlakunya Perjanjian Internasional 1. Suatu perjanjian mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara-negara perunding. 2. Perjanjian mulai berlaku segera setelah dilakukan ratifikasi/pengesahan. 3. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujui teks perjanjian itu atau setelah dilakukan pertukaran nota. I Berakhirnya Perjanjian Internasional 1. Kesepakatan para pihak tidak sesuai prosedur dalam perjanjian. 2. Tujuan perjanjian telah tercapai. 3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. 4. Salah satu pihak tidak melaksanakan/melanggar perjanjian. 5. Dibuat perjanjian baru menggantikan perjanjian lama.

13 6. Muncul norma baru dalam Hukum Internasional. 7. Habis masa berlakunya perjanjian internasional itu. 8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik Pada dasarnya Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sebagai variabel yang diteliti, merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan yang ada. Untuk itulah penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai dengan benar oleh setiap orang yang menggunakan penelitian ini, maka penulis berupaya menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud. I Pengertian Implementasi Kebijakan Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier 5 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin 5 Abdul S.Wahab, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta hlm. 51.

14 dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan. Berdasarkan pemahaman diatas, konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi ada kata-kata rangkaian terstruktur yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry (1978) 6 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut : 1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana. 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/sop). 6 Putra. F, Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Jakarta: Pustaka hlm. 81.

15 3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana. 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan. Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan. Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidak-berhasilan kebijakan akan diketahui. Bahkan Udoji 7 dengan tegas mengatakan The execution of policies is as important if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan. 7 Op.,Cit. hlm.59.

16 Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang. I Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi kebijakan, terdapat berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor). Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan diimplementasikan. Ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih untuk menyajikan teori Merilee S.Grindle yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi

17 teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini. a. Teori Merilee S. Grindle Menurut Merilee S. Grindle Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Di sini Grindle telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada implementability dari program tersebut. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle 8 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementation). Bahwa isi kebijakan terdiri dari kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan. Sementara konteks implementasi mengandung unsur kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. Sebagaimana terlihat pada gambar berikut : 8 Grindle,M.S. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press

18 Tujuan Kebijakan Tujuan yang Ingin Dicapai Program Aksi dan Proyek yang dibiayai Keberhasilan Implementasi : a. Isi Kebijakan : Kepentingan Tipe Manfaat Derajat Perubahan Letak pengambilan Keputusan Pelaksana Program Sumber Daya b. Konteks Implementasi : Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor Karakteristik budaya, lembaga/penguasa Kepatuhan dan daya tanggap Apakah Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan Model Implementasi Grindle Hasil Kebijakan : a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat Mengukur Keberhasilan Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9 Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektifitas implementasi kebijakan. 9 Sumber : Merilee S. Grindle dalam AG. Subarsono hlm. 94.

19 I Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dan unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi. 1. Faktor Pendukung Hoogwood dan Gunn (dalam Hill, 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut : 1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan / kendala yang serius. 2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai. 3. Perpaduan sumber sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

20 4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. 5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. 6. Ketergantungan harus kecil. 7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas tugas dirinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. 10. Pihak pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. Kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif. 2. Faktor Penghambat Di dalam bukunya Palumbo (1987) mengemukakan bahwa : legislative policy ambiquity is a prime cause to implementation failure (ketidakjelasan kebijaksanaan dalam perundang undangan adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya). Penjelasan terhadap berbagai alasan yang mendasari gagalnya suatu kebijakan publik adalah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :

21 1. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ekstern. 2. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang. 3. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis. 4. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber sumber pembantu (uang dan sumber daya manusia). 5. Teori yang mendasari dasar pelaksanaan kebijaksanaan itu tidak tepat. 6. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif. 7. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya. 8. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar. Dengan demikian resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab 10 menemukakan resiko kegagalan implementasi kebijakan dapat di telusuri pada tiga wilayah kerja (1) pelaksanaannya yang jelek (bad execution), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck). I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, 10 Abdul S.Wahab, Analisis Kebijaksanaan. Bumi Aksara: Jakarta Hlm. 23.

22 termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta prosesproses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 11 I.7.2. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari bukubuku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. I.7.3. Analisa Data Teknik untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Teknik analisis ini dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati orang-orang. 12 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman Nazir Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm Arief Furchan, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha nasional, 1992, hlm Lexy Maelong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta : Raja Grafindo Perkasa hlm.189.

23 I.8. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan. BAB II : TENTANG CEDAW dan PELAKSANAAN KONVENSI PEREMPUAN DI INDONESIA Pada bab ini akan membahas tentang Deskripsi CEDAW. Menyangkut sejarah lahirnya CEDAW, Pertimbangan dan Rekomendasi CEDAW, Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan mengenai Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia. BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini berisikan analisis tentang bagaimana efektifitas konvensi CEDAW yang selama ini telah diterapkan di Indonesia dilihat dari sudup pandang isi kebijakan dan konteks kebijakan. Dan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas implementasi pelaksanaan CEDAW di Indonesia.

24 BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisi tentang kesimpulan, saran, maupun rekomendasi yang didasari atas hasil analisis data dalam penelitian ini.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.

3. Menurut Psl 38 ayat I Statuta Mahkamah Internasional: Perjanjian internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya. I. Definisi: 1. Konvensi Wina 1969 pasal 2 : Perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Perjanjian Internasional yang dilakukan Indonesia Makna Perjanjian Internasional Secara umum perjanjian internasional

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M INTERMEDIATE HUMAN RIGHTS TRAINING BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Hotel Novotel Balikpapan, 6-8 November 2012 MAKALAH CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Oleh: Antarini

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI KONVENSI CEDAW PBB TAHUN 1979 TERHADAP UPAYA PENGHAPUSAN DISKRIMINASI PEREMPUAN DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Fakultas

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi: BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Implementasi Kebijakan Publik a. Konsep Implementasi: Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang bangun perumusan kebijakan proses implementasi kebijakan dan evaluasi

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (multi-ethnic society). Kesadaran akan kemajemukan tersebut sebenarnya telah ada sebelum kemerdekaan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Diskriminasi merupakan bentuk ketidakadilan. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan bahwa pengertian

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016 Pengakuan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik 1. Konsep Kebijakan Publik Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan

Lebih terperinci

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Ucapan Selamat Saya atas nama saya pribadi dan ASEAN Foundation mengucapkan:

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang masalah Negara mempunyai tugas untuk melindungi segenap warga negaranya, hal itu tercantum pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, ditambah dengan isi Pancasila pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014 PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan fundamental manusia melekat pada setiap orang tanpa kecuali, tidak dapat

Lebih terperinci

1. Mengelola penyampaian bantuan

1. Mengelola penyampaian bantuan KODE UNIT : O.842340.004.01 JUDUL UNIT : Pengaturan Bidang Kerja dalam Sektor Penanggulangan Bencana DESKRIPSIUNIT : Unit kompetensi ini mendeskripsikan keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja yang

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 1 KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1 A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan

Lebih terperinci

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak Perempuan merupakan hak-hak dasar yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia (HAM) sehingga patut untuk diketahui, dihargai, dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember 1984 mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mennunjukan komitmennya untuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menitikberatkan pada publik dan problem-problemnya. Dikatakan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menitikberatkan pada publik dan problem-problemnya. Dikatakan oleh BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kebijakan Publik Untuk menyelesaikan suatu masalah, pemerintah mempunyai alat yaitu sebuah kebijakan. Dewey mengatakan bahwa kebijakan publik menitikberatkan pada publik dan problem-problemnya.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani Istoria yang berarti ilmu yang biasanya diperuntukkan bagi

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari bahasa Yunani Istoria yang berarti ilmu yang biasanya diperuntukkan bagi 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Tinjauan Historis Secara etimologis konsep tinjauan historis terdiri dari dua kata yakni tinjauan dan historis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan

Lebih terperinci

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK A. KONDISI UMUM Dalam rangka mewujudkan persamaan di depan hukum, penghapusan praktik diskriminasi terus menerus dilakukan, namun tindakan pembedaan

Lebih terperinci

Health and Human Rights Divisi Bioetika dan Medikolegal FK USU WHO Definition of Health Health is a state t of complete physical, mental and social well- being and not merely the absence of disease or

Lebih terperinci

Silabus. Standar Kompetensi

Silabus. Standar Kompetensi Silabus Nama Mata Kuliah : Formulasi dan Implementasi Kode MK/SKS : /3 SKS Dosen Pembina : Drs. Karjuni Dt. Maani, M.Si Drs. Suryanef, M.Si Rahmadani Yusran, S.Sos, M.Si Standar Kompetensi : Mata kuliah

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA?

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? 48 Konvensi Hak Anak: Suatu Fatamorgana Bagi Anak Indonesia KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA? Endang Ekowarni PENGANTAR Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran bagi suatu kementrian atau lembaga merupakan nafas kehidupan suatu organisasi. Aktivitas-aktivitas kementrian atau lembaga dalam mencapai tujuannya

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA PELUNCURAN STRATEGI NASIONAL (STRANAS) PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM

HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM HAK AZASI MANUSIA DAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM Oleh : ANI PURWANTI, SH.M.Hum. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 PENGERTIAN HAM HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. No.20, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingkat dampak

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR I. Pendahuluan Banyaknya kebijakan yang tidak sinkron, tumpang tindih serta overlapping masih jadi permasalahan negara ini yang entah sampai kapan bisa diatasi. Dan ketika

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju globalisasi yang berkembang semakin cepat ini menuntut kebutuhan manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa mungkin tersaji dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN PADA PELAYANAN TERPADU KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 1 TAHUN 2000 (1/2000) TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 1998 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK-HAK ASASI MANUSIAINDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-3 Kedudukan Perwakilan Diplomatik di Indonesia Makna kata Perwakilan Diplomatik secara Umum Istilah diplomatik berasal

Lebih terperinci

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan No.1084, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Mengadili Perkara Perempuan. Pedoman. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN MENGADILI PERKARA PEREMPUAN BERHADAPAN

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 / HUK / 2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 / HUK / 2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 / HUK / 2014 TENTANG PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL TAHUN 2014 MENTERI SOSIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang

Lebih terperinci

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia KOMISI B KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia Mukadimah Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi laki-laki. Sistem patriarki hidup dalam realita sehari-hari, baik kelas bawah, di rumah,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NOMOR 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transparan, seolah-olah menjadi satu tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini

BAB I PENDAHULUAN. transparan, seolah-olah menjadi satu tanpa mengenal batas Negara. Kondisi ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Globalisasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang informasi dan komunikasi membuat dunia menjadi transparan, seolah-olah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.14/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERJANJIAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Against Women (CEDAW) dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Against Women (CEDAW) dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Ratifikasi Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai

Lebih terperinci

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Protokol Konvensi Hak Anak Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pronografi Anak Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002 Negara-negara peserta tentang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Paparan Metode Penelitian Penelitian tesis ini memfokuskan pada formulasi kebijakan kriminal dalam kaitan fenomena korupsi selama masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Lebih terperinci

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA MUKADIMAH Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang

Lebih terperinci

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional Konferensi Perburuhan Internasional Catatan Sementara 15A Sesi Ke-100, Jenewa, 2011 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA 15A/ 1 NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG

Lebih terperinci

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H.

MAKALAH. Mengenal Konvensi-konvensi. Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. Jamuan Ilmiah tentang Hukum Hak Asasi Manusia bagi Tenaga Pendidik Akademi Kepolisian Semarang Jogjakarta Plaza Hotel, 16 18 Mei 2017 MAKALAH Mengenal Konvensi-konvensi Oleh: M. Syafi ie, S.H., M.H. TRAINING

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel

No ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkel TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4919 DISKRIMINASI.Ras dan Etnis. Penghapusan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170) PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kacamata patriarkhi dengan lawan jenisnya, yaitu kaum laki-laki. Struktur

BAB I PENDAHULUAN. kacamata patriarkhi dengan lawan jenisnya, yaitu kaum laki-laki. Struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan, dalam masyarakat umum seringkali dipandang berdasarkan kacamata patriarkhi dengan lawan jenisnya, yaitu kaum laki-laki. Struktur biologis dan perilaku

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH (Mengenal Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Disampaikan dalam Workshop Perencanaan

Lebih terperinci

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia;

BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA. 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional hak-hak asasi manusia; BAB V INSTRUMEN-INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA A. Tujuan Instruksional Umum Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa dapat: 1. Memahami dan mengetahui sistem internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dalam melaksanakan pembangunan Nasional, perlu melakukan perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang ekonomi yang mengarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asia Tenggara merupakan kawasan yang mencakup Indochina, dan Semenanjung Malaysia, serta pulau pulau disekitarnya. Kawasan ini mempunyai suatu institusi regional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam mendukung pembangunan nasional, sehingga aspek yang penting diperhatikan untuk memberdayakan manusia menuju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak jalanan merupakan salah satu fenomena sosial di perkotaan yang semakin nyata. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan,

Lebih terperinci