PERBEDAAN PROPORSI ANTARA ASMA TERKONTROL PENUH DAN TIDAK TERKONTROL PENUH ANTARTRIMESTER KEHAMILAN BERDASARKAN KRITERIA ASTHMA CONTROL TEST

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN PROPORSI ANTARA ASMA TERKONTROL PENUH DAN TIDAK TERKONTROL PENUH ANTARTRIMESTER KEHAMILAN BERDASARKAN KRITERIA ASTHMA CONTROL TEST"

Transkripsi

1 PERBEDAAN PROPORSI ANTARA ASMA TERKONTROL PENUH DAN TIDAK TERKONTROL PENUH ANTARTRIMESTER KEHAMILAN BERDASARKAN KRITERIA ASTHMA CONTROL TEST SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Yuniarida Dwijayanti G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

2 ABSTRAK Yuniarida Dwijayanti, G , 2012, Perbedaan Proporsi antara Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh Antartrimester Kehamilan Berdasarkan Kriteria Asthma Control Test. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. Metode Penelitian: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah wanita hamil dengan asma persisten yang berusia tahun di Poliklinik, Rawat Inap Penyakit Paru dan Poliklinik, Rawat Inap Penyakit Kandungan RSUD Dr. Moewardi, Balai Pengobatan Fosmil Surakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, besar sampel sebanyak 60 orang. Tingkat kontrol asma diukur menggunakan kuesioner Asthma Control Test, sedangkan tingkat trimester kehamilan didapat melalui wawancara, dikonfirmasi dengan data rekam medik. Pengumpulan data dilakukan dari bulan April - September Analisis data menggunakan uji Chi Square dengan derajat kemaknaan 0,05 (p < 0,05) dan Odds Ratio (OR), yaitu dengan membandingkan trimester II dan trimester I (OR II ) dan membandingkan trimester III dan trimester I (OR III ). Hasil Penelitian: Diperoleh 20 sampel pada masing-masing kelompok trimester kehamilan (trimester I, II, dan III). Sebanyak 14 orang di trimester I, 13 orang di trimester II, dan 7 orang di trimester III yang mengalami asma terkontrol penuh. Analisis statistik dengan Chi Square didapatkan perbedaan bermakna proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test (p = 0,002), dengan OR II = 4,33 (IK 95 % 1,15-16,32) dan OR III = 13,22 (IK 95 % 2,79-62,67). Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan bermakna proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test, dengan risiko sebesar 4,33 kali pada trimester II dan 13,22 kali pada trimester III untuk mengalami asma tidak terkontrol penuh dibanding trimester I. Kata Kunci : Asma terkontrol, trimester kehamilan, Asthma Control Test iv

3 DAFTAR ISI PRAKATA... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian... 4 D. Manfaat Penelitian... 4 BAB II LANDASAN TEORI... 5 A. Tinjauan Pustaka...5 B. Kerangka Pemikiran C. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian B. Lokasi Penelitian C. Subjek Penelitian D. Teknik Sampling...31 E. Besar Sampel.. 31 vii

4 F. Rancangan Penelitian G. Identifikasi Variabel H. Definisi Operasional Variabel I. Sumber Data.. 36 J. Instrumentasi Penelitian dan Cara Kerja K. Teknik dan Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

5 DAFTAR TABEL Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Sebelum Pengobatan Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) Tabel 2. Klasifikasi Klinik Asma Berdasarkan Derajat Berat Asma serta Implikasi Terapi Farmakologik...17 Tabel 3. Jenis Obat Asma 20 Tabel 4. Kenaikan Mediator dalam Serum Selama Kehamilan Tabel 5. Sitokin - Sitokin Proinflamasi Tabel 6. Distribusi Umur Subjek Penderita Asma Tiap Trimester Kehamilan Tabel 7. Distribusi Jenis Pekerjaan Subyek Penderita Asma Tiap Trimester I, II, dan III Kehamilan Tabel 8. Distribusi Derajat Asma Sebelum Kehamilan Tiap Trimester I, II, III Kehamilan Tabel 9. Distribusi Tingkat Kontrol Asma Berdasarkan Derajat Asma Sebelum Kehamilan Tabel 10. Proporsi antara Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh Antartrimester Kehamilan. 43 Tabel 11. Hasil analisis dengan Uji Chi Square (X 2 ) Tabel 12. Proporsi Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh antara Trimester I dan II Beserta Nilai OR II ix

6 Tabel 13. Proporsi Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh antara Trimester I dan III Beserta Nilai OR III x

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Patogenesis Asma (dikutip dari GINA 2008) Gambar 2. Kerangka Pemikiran.. 29 Gambar 3. Rancangan Penelitian xi

8 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Data Primer Hasil Kuesioner Responden Wanita Hamil Trimester I dengan Riwayat Asma Persisten Lampiran 2. Data Primer Hasil Kuesioner Responden Wanita Hamil Trimester II dengan Riwayat Asma Persisten Lampiran 3. Data Primer Hasil Kuesioner Responden Wanita Hamil Trimester III dengan Riwayat Asma Persisten Lampiran 4. Surat Persetujuan Partisipasi dalam Penelitian dan Kuesioner Asthma Control Test Lampiran 5. Hasil Uji Chi Square (X 2 ) Lampiran 6. Hasil Uji OR II Lampiran 7. Hasil Uji OR III Lampiran 8. Nilai Chi Square (X 2 ) Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian di RSUD Dr. Moewardi Lampiran 10. Surat Ijin Penelitian di Balai Pengobatan FOSMIL Surakarta Lampiran 11. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian xii

9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas terhadap berbagai rangsangan (Patu, 2007). Diperkirakan lebih dari 20 % populasi di seluruh dunia menderita penyakit yang dimediasi IgE, termasuk asma alergi (WHO, 2003). Berdasarkan perkiraan WHO, terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita asma dan terjadi penambahan 100 juta orang penderita asma pada tahun Hal tersebut menjadikan asma sebagai masalah kesehatan yang paling potensial, terutama asma yang terjadi pada kehamilan karena penyakit tersebut juga sering dijumpai selama kehamilan. Schatz dan Dombrowski (2009) menyatakan bahwa sekitar 8 % wanita hamil mengalami kejadian asma menurut survei nasional di Amerika Serikat pada tahun 2000 sampai Pravelensi Asma di Indonesia berkisar antara 5 % - 7 % dari jumlah penduduk menurut Alsagaff dan Mukty (2009) dan prevalensinya dalam kehamilan sekitar 3,7 % - 4% dari populasi yang menderita asma (Najoan, 2008). Sebagai penyakit kronik saluran pernapasan, asma pada wanita hamil dapat mempengaruhi kehamilannya. Namun, Sundaru dan Sukamto (2007) menyebutkan beberapa pencetus serangan asma salah satunya adalah dari faktor kehamilan, maka penting diketahui pengaruh kehamilan terhadap 1

10 2 perburukan gejala penyakit asma. Faktor-faktor yang mungkin cenderung memperburuk asma selama kehamilan di antaranya karena perubahan anatomi wanita hamil yang menyebabkan penurunan kapasitas residu fungsional, perubahan fisiologis yang diperankan hormon progesteron dan estrogen yang kadarnya semakin meningkat selama kehamilan menyebabkan hiperaktivitas bronkus dan peningkatan refluk gastroesofagus (Rey dan Boulet, 2007; Belanger dkk., 2010). Hal ini diperkuat dengan data hasil penelitian yang dilakukan Wirasiti dkk. (2006). Dalam penelitian prospektif tersebut dilakukan pengamatan tentang pengaruh progesteron terhadap perjalanan asma dan didapatkan peningkatan skor total gejala klinis yang bermakna selama kehamilan dibandingkan setelah melahirkan. Murphy dkk. (2005) melaporkan hasil penelitiannya bahwa sebagian besar serangan asma selama kehamilan terjadi pada asma berat (52 % - 65 %) dari pada asma ringan (8 % - 13 %). Tetapi beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa gejala asma selama kehamilan pada sebagian penderita ada yang mengalami perbaikan dan sisanya menetap selama hamil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Juniper dan Newhouse dalam Schatz (1999) yang menyatakan bahwa sepertiga wanita hamil mengalami perbaikan asma, sepertiga menetap, dan sepertiga memburuk selama kehamilan. Dewayanti dkk. (2006) juga melaporkan dari hasil penelitiannya didapatkan gejala asma membaik pada 21 (63,64 %) subjek, menetap pada 1 (3,03 %) subjek dan mengalami perburukan pada 11 (33,33 %) subjek.

11 3 Oleh karena adanya kesenjangan - kesenjangan penelitian tersebut, maka untuk memperkuat pengaruh kehamilan diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kontrol asma pada wanita hamil. Karena menurut Dombrowski (2006) dan Cydulka (2006) asma kontrol yang buruk dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin yang berisiko pada kehamilan antara lain meningkatkan insidensi perdarahan pervaginam, kelahiran preterm, berat badan lahir rendah, dan kematian perinatal, maka diteliti tingkat kontrol asmanya, yakni asma tekontrol penuh dan tidak terkontrol penuh menggunakan Asthma Control Test (ACT). Sehingga dengan pencapaian asma kontrol yang maksimal selama kehamilan dapat meningkatkan kesehatan optimal bagi ibu dan janin. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dan belum pernah dilakukan penelitian pada pasien hamil di Surakarta, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui perjalanan penyakit asma dilihat dari proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. B. Perumusan Masalah Apakah ada perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test dan seberapa besar risiko asma tidak terkontrol penuh tiap trimester kehamilan?

12 4 C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Untuk menambah data ilmiah khususnya ilmu penyakit paru yaitu membuktikan adanya perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. b. Dasar penelitian lebih lanjut tentang perjalanan penyakit asma selama kehamilan. 2. Manfaat aplikatif Sebagai bahan pertimbangan manajemen asma untuk mencapai asma kontrol yang maksimal selama kehamilan guna mencegah risiko komplikasi pada ibu dan janin akibat penyakit asma.

13 BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Asma a. Definisi Asma Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2004, asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk terutama pada malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Alsagaff dan Mukty (2009), Sundaru dan Sukamto (2007) menyimpulkan bahwa untuk mencapai batasan yang sesuai, secara praktis para ahli berpendapat asma adalah penyakit paru dengan 3 karakteristik, yakni inflamasi saluran napas, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernapasan terhadap berbagai rangsangan, dan obstruksi saluran napas yang reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan. 5

14 6 b. Faktor Risiko Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan (GINA, 2008). 1) Faktor pejamu a) Genetik Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma. Banyak gen terlibat dalam patogensis asma dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, NOS1, GSTP1, reseptor agonis β2 (PDPI, 2004). b) Alergik (atopi) Atopi ialah produksi IgE yang berlebihan dalam kontak dengan alergen lingkungan. Atopi ditunjukkan dengan peningkatan serum IgE total maupun spesifik. Kadar serum IgE yang tinggi telah diketahui ada hubungan dengan kromosom 5q, 11q, dan 12q (Maranatha, 2010). c) Gender dan ras Asma pada anak lebih sering dijumpai pada anak laki-laki tetapi menjadi berlawanan pada saat pubertas dan dewasa (GINA, 2008). Resiko ini tidak berhubungan dengan jenis kelamin namun lebih berkaitan dengan penyempitan dan peningkatan tonus jalan nafas pada laki - laki sehingga menimbulkan obstruksi saluran nafas

15 7 sebagai respon terhadap berbagai rangsangan. Perbedaan ini akan menghilang dengan bertambahnya usia (lebih dari 10 tahun) ketika rasio diameter dan panjang saluran nafas menjadi sama (Surjanto, 2001). Di Amerika Serikat ras kulit hitam diketahui mempunyai resiko tinggi kematian (Maranatha, 2010). 2) Faktor lingkungan Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan presdisposisi asma untuk berkembang menjadi asma menyebabkan eksaserbasi atau gejala - gejala asma menetap (PDPI, 2004). Yang termasuk dalam faktor lingkungan antara lain: a) Alergen Indoor allergen : tungau, alergen binatang (kucing, anjing, tikus), alergen kecoak dan jamur (alternaria, aspergillus, clasdoporium, candida). Outdoor allergen: tepung sari, biji - bijian, rumput - rumputan, jamur (Maranatha, 2010). b) Bahan - bahan lingkungan kerja Lebih dari 300 substansi yang berhubungan dengan penyebab asma. Substansi - substansi ini termasuk molekul - molekul kecil dengan reaktifitas tinggi, seperti isosianat, serpihan platina, kompleks senyawa tanaman, hasil produk biologi hewan, yang secara keseluruhan menstimulasi produksi IgE (GINA, 2008).

16 8 c) Asap rokok Pada perokok aktif terdapat penurunan progresif dari fungsi paru penderita asma, meningkatkan morbiditas asma, menurunkan respon terapi inhalasi dan sistemik glukokortikoid, sehingga menghambat pencapaian asma terkontrol. Paparan asap rokok pada perokok pasif meningkatkan risiko disfungsi saluran napas bagian bawah pada bayi dan anak - anak (GINA, 2008). d) Polusi udara Ada 2 polutan yang mempunyai kontribusi perburukan gejala asma yaitu: polutan outdoor (asap industri dan asap fotokimia, seperti ozone dan nitrogen oksida) dan polutan indoor (sisa pembakaran rumah tangga, cat dan vernis yang mengandung formaldehid dan isosianat (Maranatha, 2010). c. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antarsel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling (Rahmawati dkk., 2003; Sundaru, 2001). 1) Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular diperankan oleh sel

17 9 limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik Cluster Differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL - 2), IL - 3, Granulocytet Monocyte Colony Stimulating Factor (GMCSF), Interferon - (IFN -) dan Tumor Necrosis Factor- (TNF -). Sedangkan Th2 mensekresi IL - 3, IL - 4, IL - 5, IL - 9, IL - 13, IL - 16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer (Primary Antigen Presenting Cells/APC). Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) kelas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin (Ig). Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel - sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan

18 10 dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi. Selain mempengaruhi dan mengontrol aktivitas sel limfosit B, limfosit T (Th2) yang teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL - 3, IL - 4, IL - 5, IL - 9, IL - 13 dan GM-CSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness/ AHR). (Rahmawati dkk., 2003). Gambar 1. Patogenesis Asma (dikutip dari GINA 2008)

19 11 Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi yang berakibat terbentuk IgE spesifik. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat. Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator: histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Setelah 6-8 jam maka terjadi proses yang disebut reaksi asma lambat. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat (Sundaru, 2001). Masing-masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi mediator lipid LTC4 dan Platelet Activating Factor (PAF). Eosinofil yang mengandung granul protein ialah Eosinophil Peroxidase (EPO), Eosinophil Cathionic Protein (ECP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas sehingga dapat merusak jaringan. Sel makrofag yang merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma, mensekresi IL - 8, leukotrien, Platelet Activating Factor (PAF), Regulation on Activation Normal T cell Expressed and

20 12 Secreted (RANTES). Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodelling (PDPI, 2004). Menurut Maranatha (2010) inflamasi saluran napas asma mencerminkan ketidakseimbangan Th1 dan Th2. Terdapat teori Hygiene Hypothesis yang berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun bayi baru lahir bergeser ke arah pembentukan sitokin Th2. Surjanto dan Purnomo (2009) mengemukakan bahwa perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL - 4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL - 4 dan IL - 13 yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gamma (IFN - γ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE. 2) Patofisiologi asma Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupakan dasar kelainan faal. Akibat dari inflamasi ini maka terbentuk hiperesponsivitas saluran napas dan berakhir pada obstruksi saluran napas. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena pada fase tersebut secara fisiologis saluran napas menyempit. Akibatnya udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu

21 13 fungsional, dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar (Sundaru dan Sukamto, 2007). Akibat obstruksi saluran napas terdapat daerah - daerah di paru yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, maka tubuh melakukan hiperventilasi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO 2 menjadi berlebihan sehingga PaCO 2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadi pertukaran gas dan kerja otot - otot pernapasan bertambah berat. Yang terjadi selanjutnya adalah peningkatan produksi CO 2 disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO 2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik. Apabila berlangsung lama maka menyebabkan asidosis metabolik dan kontriksi pembuluh darah paru, akibatnya akan memperburuk hiperkapnia (Sundaru dan Sukamto, 2007).

22 14 d. Diagnosis Diagnosis asma ditegakkan dengan: 1) Riwayat penyakit/gejala klinis a) Obstruksi jalan napas yang bersifat kumat - kumatan (episodik), sering reversibel dengan atau tanpa pengobatan. b) Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak. c) Gejala timbul/memburuk terutama malam atau dini hari. d) Diawali faktor pencetus yang bersifat individu. e) Berespon terhadap pemberian bronkodilator. (PDPI, 2004) 2) Pemeriksaan fisik: Mengi saat ekspirasi pada auskultasi sering ditemukan pada pemeriksaan fisik. Pada keadaan serangan terjadi hiperesponsivitas saluran napas sehingga kerja pernapasan meningkat dan menimbulkan tanda klinis berupa hiperinflasi, mengi dan sesak napas. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain, misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (PDPI, 2004). 3) Tes faal paru Tes ini merupakan alat utama untuk penegakan diagnostik asma. Tes faal paru ini menggunakan spirometri dan Arus Puncak Ekspirasi

23 15 (APE). Obstruksi jalan napas dapat diketahui dari nilai rasio volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dengan kapasitas vital paksa (KVP), VEP1 / KVP < 75 % atau VEP1 < 80 % nilai prediksi. Adanya reversibiliti diketahui dari perbaikan VEP1 15 % secara spontan atau setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral hari atau setelah pemberian kortikostreoid (inhalasi/oral) 2 minggu. Reversibiliti dapat membantu diagnosis asma (PDPI, 2004). 4) Pemeriksaan penunjang lain a) Uji provokasi bronkus: mempunyai sensitivitas tinggi tetapi spesifitas rendah (PDPI, 2004). b) Pengukuran status alergi: melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma (PDPI, 2004). c) Pemeriksaan radiologi: pada pemeriksaan toraks sebagian besar menunjukkan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan atau mencari penyakit penyulit, seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, pneumoni (Maranatha, 2010). e. Klasifikasi Asma Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang.

24 16 Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Sebelum Pengobatan Menurut Global Initiative For Asthma (GINA 2008) Tahap 4 Persisten Berat Tahap 3 Persisten Sedang Tahap 2 Persisten Ringan Tahap 1 Intermitten Gejala Gejala Malam Faal Paru 1. terus menerus Sering a. VEP1 60% 2. sering kambuh prediksi 3. aktivitas fisik terbatas b. variabilitas APE > 30% 1. tiap hari a. VEP1 60% - 80% 2. penggunaan bronkodilator prediksi tiap hari > 1 kali/minggu 3. Saat serangan mengganggu b. variabilitas APE aktivitas dan tidur >30% 1. 1 kali/minggu, tetapi < 1 > 2 kali/bulan a. VEP1 80% kali perhari prediksi 2. serangan dapat mengganggu aktivitas dan b. variabilitas APE tidur 20% - 30% 1. < 1 kali/minggu 2. tanpa gejala di luar serangan 3. serangan singkat < 2 kali/bulan a. VEP1 80% prediksi b. variabilitas APE < 20% Tabel 2. Klasifikasi Klinik Asma Berdasarkan Derajat Berat Asma serta Implikasi Terapi Farmakologik (Tjandra, 2004) PERSISTEN BERAT Pengobatan pencegahan jangka panjang Pengobatan pelega Obat-obatan pengendali dalam kombinasi; Bronkodilator kerja cepat, agonis beta-2 steroid inhaler dosis tinggi, bronkodilator kerja inhaler menurut kebutuhan. lama, steroid oral jangka panjang. PERSISTEN SEDANG Pengobatan pencegahan jangka panjang Pengobatan pelega a. Kortikosteroid inhaler 500 mg. b. Dan bila diperlukan bronkodilator kerja lama; agonis beta-2 inhaler atau tablet kerja lama, teofilin lepas lambat. c. Pertimbangkan penggunaan antagonis leukotrien PERSISTEN RINGAN Pengobatan pencegahan jangka panjang a. Kortikosteroid inhaler dosis rendah mcg. b. Atau Teofilin lepas lambat agonis beta-2 inhaler kerja cepat menurut kebutuhan tidak lebih dari 3-4 kali per hari. Pengobatan pelega agonis beta-2 inhaler kerja cepat menurut kebutuhan tidak lebih dari 3-4 kali per hari.

25 17 f. Pencapaian Asma Terkontrol Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat - obatan yang benar (Baratawidjaja, 2003). Obat - obatan dapat membantu penderita asma untuk melakukan aktivitas secara normal. Tujuan pengobatan pada penderita asma adalah untuk mengontrol gejala asma (PDPI, 2004). Berdasarkan GINA (Global Initiative for Asthma) (2008), seorang penyandang asma dikatakan terkontrol apabila memiliki 6 kriteria, di antaranya: 1) Tidak atau jarang mengalami gejala asma (maksimal 2 kali seminggu). 2) Bebas dari hambatan aktivitas, termasuk olahraga. 3) Tidak pernah terbangun di malam hari karena asma. 4) Tidak pernah atau jarang menggunakan obat pelega (maksimal 2 kali seminggu). 5) Hasil tes fungsi paru normal atau mendekati normal. 6) Tidak pernah mengalami serangan asma Dengan mencapai kontrol asma yang baik, diharapkan dapat mencegah terjadinya eksaserbasi, menormalkan fungsi paru, memperoleh aktivitas sosial yang baik, meningkatkan kualitas hidup dan akhirnya mencegah kematian karena asma (Sundaru, 2009).

26 18 Pada prinsipnya penatalaksanaan asma agar dapat memperoleh pencapaian kontrol asma yag baik, diklasifikasikan menjadi (Depkes RI, 2008): a) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah : (1) Bronkodilator (2) Kortikosteroid sistemik b) Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: edukasi, obat asma (pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus - menerus.

27 19 Tabel 3. Jenis Obat Asma (Depkes RI, 2008). Jenis Obat Golongan Nama Generik Bentuk / Kemasan Obat Pengontrol (Antiinflamasi) Steroid inhalasi Flutikason propionat Budesonide IDT IDT, turbuhaler Antileukokotrin Zafirlukast Oral (tablet) Kortikosteroid sistemik Metilprednisolon Prednison Oral (injeksi) Oral Agonis beta-2 kerjalama Prokaterol Formoterol Salmeterol Oral Turbuhaler IDT kombinasi steroid dan Agonis beta-2 kerjalama Flutikason + Salmeterol. Budesonide + formoterol IDT Turbuhaler Pelega (Bronkodilator) Agonis beta-2 kerja cepat Salbutamol Oral, IDT, rotacap solution Terbutalin Oral, IDT, turbuhaler, solution, ampul (injeksi) Prokaterol IDT Antikolinergik Fenoterol Ipratropium bromide IDT, solution IDT, solution Metilsantin Teofilin Aminofilin Teofilin lepas lambat Oral Oral, injeksi Oral Kortikosteroid Metilprednisolon Oral, inhaler sistemik Prednison Oral IDT : Inhalasi Dosis Terukur = Metered Dose Inhaler/MDI Solution: Larutan untuk penggunaan nebulisasi dengan nebuliser Oral : Dapat berbentuk sirup, tablet Injeksi : Dapat untuk penggunaan subkutan, IM dan IV

28 20 2. Pengaruh Kehamilan Pada Asma Kehamilan dapat berpengaruh pada asma melalui berbagai macam cara antara lain: a. Perubahan Sistem Respirasi Kehamilan menyebabkan perubahan besar bagi seorang ibu sehingga memberikan perubahan yang signifikan pada fisiologi pernapasan. Perubahan fisiologi pernapasan ini dipengaruhi oleh perubahan anatomis, hormonal dan faal paru selama kehamilan. Semakin uterus membesar, diafragma bergeser ke atas sejauh 4 cm, diameter antero posterior dan tranversus dada meningkat, sehingga membuat lingkar dinding dada menjadi lebih lebar (Cunningham dkk., 2006). Pemendekan dan pelebaran rongga toraks juga menyebabkan pergeseran apeks jantung ke atas dan lateral pada gambaran foto toraks (Rosenbluth dan Popovich, 2008). Kapasitas residu fungsional dan volume residu berkurang sebagai akibat meningginya diafragma, tetapi volume tidal meningkat akibat efek progesteron. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap penurunan resistensi saluran napas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida sehingga terjadi hiperventilasi (Febriana, 2010). Selain itu peningkatan ventilasi juga terjadi karena peningkatan produksi metabolik karbon dioksida (Subijanto, 2008). Karena peningkatan metabolisme basal pada wanita hamil dan juga karena tubuhnya yang besar,

29 21 jumlah total oksigen yang dipakai oleh ibu sesaat sebelum kelahiran bayi sekitar 20 % di atas normal dan terbentuk jumlah karbon dioksida yang sebanding (Guyton dan Hall, 2007). Sesak napas secara fisiologis dapat terjadi pada awal kehamilan dan tidak mengganggu aktivitas harian. 60 % - 70 % wanita hamil mengalami sesak napas pada awal kehamilan karena hiperventilasi. Usia kehamilan 30 minggu sekitar 75 % mengalami sesak napas saat aktifitas. Sesak saat istirahat atau aktifitas ringan dianggap biasa dan sering menunjukkan sesak napas fisiologis (Wise dkk., 2006). b. Perubahan Sistem Hormonal Pada wanita hamil terjadi perubahan besar dalam sistem hormonal dibandingkan sebelum hamil. Selama kehamilan, plasenta membentuk sejumlah besar human chorionic gonadotropin, estrogen, progesteron, human chorionic somatomammotropin. Dengan tiga hormon pertama dan mungkin juga yang keempat, semuanya penting untuk berlangsungnya kehamilan normal (Guyton dan Hall, 2007). Estrogen menyebabkan edema jaringan, kongesti kapiler dan hiperplasi kelenjar mukosa saluran napas. Progesteron menyebabkan hiperemis mukosa jalan napas atas dan bawah. Progesteron meningkat 10 kali lipat diantara minggu ke - 6 sampai 36, estrogen berupa estradiol meningkat lebih dari 100 kali dan estriol lebih dari 1000 kali dibandingkan tidak hamil. Peningkatan progesteron menurunkan kontraktilitas otot polos

30 22 uterus, sedangkan pada otot polos bronkus tidak menunjukan efek yang sama (Gluck dan Gluck, 2006). Gen CRH (Corticotropin Releasing Hormone) yang ditemukan pada hipotalamus ternyata juga ditemukan pada trofoblas, amnion, korion, dan desidua, tetapi fungsi CRH yang dihasilkan oleh plasenta ini sampai sekarang belum diketahui. Diduga peran CRH plasental ini berhubungan dengan relaksasi otot polos (baik miometrium maupun pembuluh darah), imunosupresi, dan merangsang pembentukan prostaglandin plasenta (Hadisaputro, 2008). Perubahan - perubahan hormonal yang berlangsung selama kehamilan ini dapat mempengaruhi variabilitas kontrol asma. Selama kehamilan hiperaktifitas saluran napas dapat meningkat pada penderita asma (Blais dan Forget, 2008). c. Perubahan Sistem Imun Pada penelitian - penelitian sebelumnya ditunjukkan bahwa dominasi sitokin - sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Th1 akan berkorelasi dengan peningkatan kejadian keguguran. Oleh karena itu yang dianggap sebagai sitokin yang akan mempertahankan kehamilan adalah sitokin - sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2. Sitokin - sitokin tersebut tidak hanya dihasilkan oleh sel - sel imun, tetapi juga oleh sel - sel trofoblas (Sumapraja, 2008). Sel Th2 akan meningkatkan sintesis IL - 4 dan IL Kedua interleukin ini akan memberikan sinyal positif ke sel B yang pada akhirnya

31 23 akan meningkatkan produksi IgE (Surjanto dan Purnomo, 2009). Kenaikan mediator tertentu dalam serum selama kehamilan juga mempunyai pengaruh yang potensial pada perjalanan alergi dan asma pada kehamilan (Mukty, 2000). Tabel 4. Kenaikan Mediator dalam Serum Selama Kehamilan (Mukty, 2000) Cyclic AMP Cyclic GMP Histamine Histaminase Prostaglandin F Prostaglandin E (Trimester III) Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular (Judarwanto, 2011). Mediator histamin akan menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil yang pada akhirnya dapat menyebabkan hiperesponsivitas saluran napas (Rahmawati dkk., 2003). Terdapat kaitan antara jenis kelamin janin dengan perburukan gejala asma. Kelamin janin sudah ditentukan sejak konsepsi. Apabila terdapat kromosom Y, akan terbentuk testis, sebaliknya apabila tidak terdapat testis

32 24 maka akan terbentuk gonad dan fenotip perempuan (Winkjosastro, 2008). Akhir - akhir ini dilaporkan bahwa keberadaan janin perempuan berhubungan dengan perburukan gejala asma selama kehamilan. Wanita hamil yang mengandung janin perempuan lebih rentan mengalami eksaserbasi asma (Bakhireva, 2008). Terjadi peningkatan signifikan ekspresi TNF-, IL - 1, IL - 6, IL - 8, dan IL - 5 pada plasenta janin perempuan dengan ibu yang menderita asma ringan, tetapi dari pengamatan tidak terjadi perubahan pada plasenta janin laki - laki (Scott dkk, 2009). Selain itu studi prospektif lain menyatakan bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin laki - laki dapat meringankan gejala asma (Subijanto, 2008). Berikut ini adalah aktivitas - aktivitas yang ditimbulkan sitokin - sitokin tersebut. Tabel 5. Sitokin - Sitokin Proinflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009) TNF- IL - 1 IL - 5 IL - 6 IL - 8 Regulator inflamasi, sitotoksik untuk sel dengan transformasi Induksi respon fase akut Merangsang pertumbuhan eosinofil Mengatur respon fase akut, inflamasi Mengatur inflamasi, melalui pemberian sinyal kemotaktik, merangsang angiogenesis IL - 5 merupakan sitokin yang dikeluarkan dari aktivasi limfosit Th2 yang berperan dalam patogenesis asma. Selain merangsang pertumbuhan eosinofil, sitokin ini menyebabkan degranulasi eosinofil, mengeluarkan

33 25 berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness/ahr) (Rahmawati dkk., 2003). 3. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Perjalanan Penyakit Asma Selama Kehamilan Pengaruh kehamilan pada asma bervariasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan perbaikan dan perburukan penyakit asma selama kehamilan. Interaksi faktor - faktor tersebut pada setiap individu berbeda - beda sehingga perubahan perjalanan penyakit ini akan berbeda pula, pada sebagian penderita akan mengalami perbaikan, menetap, atau perburukan gejala asma selama kehamilan. Beberapa mekanisme potensial yang dapat memperburuk perjalanan penyakit asma selama kehamilan antara lain (Schatz, 1999; Rey dan Boulet, 2007; Murphy dkk., 2004): a. Efek kompetitif ikatan reseptor glukokortikoid dengan progesteron, aldosteron, atau deoksikortikosteron menyebabkan penurunan efek kortisol pada paru. b. Bronkokonstriksi karena Prostaglandin F2a. c. Penurunan kapasitas residual fungsional disertai penutupan saluran napas saat pernapasan tidal sehingga rasio ventilasi - perfusi O 2 menurun menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

34 26 d. Peningkatan protein dasar plasenta yang mencapai paru - paru. e. Peningkatan infeksi virus atau bakteri pada saluran napas sebagai pemicu asma karena perubahan imunitas selama hamil. f. Peningkatan refluks gastroesofagus yang menginduksi serangan asma. g. Peningkatan stres. Refluks gastroesofagus pada kehamilan merupakan keluhan yang umum terjadi dan dapat memicu serangan asma. Peningkatan refluks gastroesofagus selain disebabkan karena peningkatan tekanan abdomen karena pendesakan uterus juga disebabkan karena relaksasi otot polos esofagus akibat pengaruh progesteron sehingga terjadi peningkatan tekanan intra abdomen (Strub, 2008). Interaksi dari faktor - faktor tersebut bervariasi pada setiap individu dan karakteristik perjalanan penyakit asma pada tiap individu hamil berbeda - beda (Elsayegh dan Shapiro, 2008). 4. Asthma Control Test (ACT) Untuk menilai dengan mudah dan cepat apakah penyakit asma seseorang telah terkontrol atau belum, dibuat suatu metode baru penilaian terhadap penyakit penderita. Metode itu adalah Asthma Control Test (ACT), dalam metode ini penderita diminta menjawab 5 pertanyan mengenai penyakitnya. Pertanyaan tersebut tentang gangguan aktivitas karena asma, sesak napas, gangguan tidur terbangun malam hari karena gejala asma,

35 27 penggunaan obat pelega napas, penilaian pasien tentang seberapa terkontrol penyakit mereka (Yunus, 2005). Kuesioner ini dikeluarkan oleh American Lung Association dengan tujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien dalam mengevaluasi asma penderita yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi pemeliharaan. Masing - masing pertanyaan mempunyai skor 1-5. Sehingga jumlah skor dari 5 pertanyaan tersebut memiliki skor minimal 5 dan dinyatakan sebagai asma sangat tidak terkontrol dan skor maksimal 25 yang dinyatakan sebagai asma terkontrol penuh. (Nathan dkk., 2004). GINA (2008) membuat penyederhanaan kategori tersebut menjadi 3 kriteria, yakni asma tidak terkontrol (total skor 19), asma terkontrol sebagian (total skor 20-24), dan asma terkontrol sepenuhnya (total skor 25). Tujuan Asthma Control Test ini adalah menyeleksi asma yang tidak terkontrol, mengubah pengobatan yang tidak efektif menjadi lebih tepat, melaksanakan pedoman pengobatan secara lebih tepat dan memberikan pendidikan atau pengetahuan tentang bahaya keadaan asma yang tidak terkontrol (Yunus, 2005). Kuesioner ini telah diteliti dan divalidasi sehingga dapat dipakai secara luas untuk menilai dan memperbaiki kondisi asma seseorang (Nathan dkk., 2004; Yunus, 2005; Schatz dkk., 2006).

36 28 B. Kerangka Pemikiran TRIMESTER I KEHAMILAN TRIMESTER II TRIMESTER III Perubahan Anatomi dan Fisiologi Sistem Imun Pergeseran Limfosit T Trofoblas Plasenta janin Estrogen Sistem Hormon Progesteron Sistem Respirasi Kapasitas Residu Fungsional Volume Tidal Sistem Metabolik Laju Metabolik Th2 IL-5 Refluk Rasio ventilasi - perfusi Kebutuhan O 2 Produksi CO 2 IL-4 IL-13 Sel B Edema, kongesti kapiler, dan hiperplasi kelenjar mukosa saluran napas gastroesofagus Hiperemi mukosa saluran napas Antagonis kompetitif kortisol terhadap reseptor glukokortikoid paru Hiperventilasi IgE Sel Mast Eosinofil Histaminase Hiperesponsivitas Bronkus Prostaglandin F Tingkat Kontrol Asma (Asthma Control Test) Asma Terkontrol Penuh Asma Tidak Terkontrol Penuh Keterangan: Efek meningkat seiring bertambahnya trimester kehamilan Menyebabkan

37 29 C. Hipotesis Terdapat perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test.

38 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian sectional. Penelitian ini bersifat observational analitik dengan pendekatan cross B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik, Rawat Inap Penyakit Paru dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Moewardi, Balai Pengobatan Fosmil Surakarta. C. Subjek Penelitian Ibu hamil yang didiagnosis dokter menderita asma persisten sebelum hamil dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kriteria Inklusi: a. Umur tahun b. Kooperatif dan bersedia mengikuti penelitian serta menandatangani Inform Consent. 30

39 31 2. Kriteria Eksklusi: a. Menderita penyakit lain sebagai diagnosis banding asma, yaitu penyakit gagal jantung, PPOK, emboli paru, bronkitis kronis berdasarkan rekam medik. b. Mengkonsumsi obat-obatan aspirin, beta blocker, anti - inflamasi nonsteroid (OAINS) yang diduga sebagai pencetus serangan asma dalam 1 bulan terakhir berdasarkan kuesioner. c. Perokok aktif, yakni merokok lebih dari 100 sigaret sepanjang hidupnya dan pada saat ini masih merokok atau telah berhenti merokok kurang dari satu tahun (Kang dkk., 2003). D. Teknik Sampling Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan atas ciri - ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi. Sampel yang digunakan dipilih sesuai syarat inklusi dan eksklusi (Murti, 2006). E. Besar Sampel Besar sampel pada penelitian diperoleh berdasarkan rumus (Taufiqurohman, 2004): n = (1,96) 2 (0,04) (0,96) (0,05) 2

40 32 Keterangan: n = (3,8416) (0,0384) 0,0025 n = 59 p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi yaitu 4 % (Najoan, 2008) Zα : nilai statistik Zα pada kurva normal standart pada tingkat kemaknaan, yaitu 1,96 dengan α = 0,05 q : 1 - p yaitu 0,96 d : presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi (5 %) Pada penelitian ini digunakan sampel sebanyak 60 orang yang dibagi menjadi tiga kelompok (trimester I, trimester II, trimester III) masing - masing terdiri dari 20 orang.

41 33 F. Rancangan Penelitian Populasi Ibu Hamil Dengan Asma Persisten Inklusi Eksklusi Sampel Hamil Trimester I Hamil Trimester II Hamil Trimester III Asthma Control Test Asthma Control Test Asthma Control Test Terkontrol Penuh Tidak Terkontrol penuh Terkontrol penuh Tidak Terkontrol penuh Terkontrol penuh Tidak Terkontrol penuh Analisis Data G. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Trimester kehamilan 2. Variabel terikat : Tingkat kontrol asma 3. Variabel luar a. Variabel luar terkendali: 1) Umur 2) Derajat asma sebelum hamil b. Variabel luar tidak terkendali: polutan, diet, psikis, iklim.

42 34 A. Definisi Operasional Variabel 1. Variabel bebas: Trimester kehamilan a. Definisi Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan sebagai nidasi atau implantasi pada dinding uterus (Adriaans dan Hanafiah, 2008). Pada penelitian ini digunakan sampel wanita hamil trimester tertentu yang didapatkan di waktu penelitian, lalu dibagi menjadi 3 kelompok: trimester I, trimester II, trimester III dengan kriteria sebagai berikut: 1) Kelompok trimester I : usia kehamilan 0-12 minggu 2) Kelompok trimester II : usia kehamilan minggu 3) Kelompok trimester III : usia kehamilan minggu Diagnosa kehamilan berdasarkan kuesioner dan dikonfirmasi dengan rekam medik. b. Alat Ukur : Kuesioner, rekam medik c. Skala : Ordinal 2. Variabel terikat: Tingkat kontrol asma a. Definisi Pada penelitian ini digunakan kategori tingkat kontrol asma sesuai dengan kriteria Asthma Control Test (ACT). Pada penelitian ini menggunakan kategori yakni asma terkontrol penuh bila mendapat nilai 25 dan asma tidak terkontrol penuh bila mendapat nilai 24. Kategori asma tidak terkontrol penuh merupakan gabungan antara asma

43 35 terkontrol sebagian dengan nilai dan asma tidak terkontrol dengan nilai 19 menurut kriteria ACT. b. Alat Ukur : Kuesioner ACT c. Skala : Ordinal 3. Variabel luar : a. Umur 1) Definisi Umur dalam tahun yang dihitung berdasarkan selisih tahun wawancara dengan tahun kelahiran (Mulyono dkk., 2003). Sampel yang digunakan pada penelitian adalah pasien hamil yang berumur tahun. 2) Alat Ukur : Kuesioner 3) Skala : Rasio b. Derajat asma sebelum hamil 1) Definisi Pada penilitian ini digunakan pasien yang telah didiagnosis dokter menderita asma persisten ringan, sedang, berat sebelum hamil. 2) Alat ukur : Rekam medik, kuesioner 3) Skala : Ordinal

44 36 B. Sumber Data Sumber data primer diperoleh dari kuesioner ACT dan data sekunder dari rekam medik. C. Instrumentasi Penelitian dan Cara Kerja 1. Instrumen : kuesioner ACT, rekam medik 2. Cara Kerja : a. Pasien datang diberi penjelasan mengenai tujuan dan manfaat penelitian. b. Bila pasien bersedia mengikuti penelitian, peneliti membimbing untuk mengisi inform consent. c. Menentukan umur kehamilan trimester tertentu dan derajat asma sebelum kehamilan. Kemudian mengelompokkannya menjadi 3 kelompok: trimester I, II, III. d. Menanyakan pada pasien apakah mempunyai penyakit lain sebagai diagnosis banding asma dan dikonfirmasi dengan rekam medik. e. Pasien mengisi kuesioner ACT (Asthma Control Test) untuk mendapatkan hasil akhir. D. Teknik dan Analisis Data Analisis dilakukan secara bertahap yaitu: 1. Analisis Univariat Untuk melihat distribusi dan persentase dari tiap - tiap variabel. Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

45 37 2. Analisis Bivariat Untuk mengetahui adanya perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh pada 3 kelompok sampel, maka akan dianalisis menggunakan Uji Chi Square (Uji X 2 ) tabel kontingensi 3 x 2 dengan Interval Kepercayaan (IK) 95 % (derajat kemaknaan α = 0,05) dan dicari Odds Ratio. Trimester I sebagai kontrol sedangkan trimester II dan III sebagai kasus. Sehingga akan didapatkan 2 nilai OR, yaitu trimester II dibanding trimester I (OR II ) dan trimester III dibanding trimester I (OR III ). Hipotesis : H 0 = Tidak terdapat perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. H 1 = Terdapat perbedaan proporsi antara asma terkontrol penuh dan tidak terkontrol penuh antartrimester kehamilan berdasarkan kriteria Asthma Control Test. Pengambilan keputusan didasarkan pada Uji X 2, yaitu : Jika X 2 hitung < X 2 tabel (p > 0,05), maka H 0 diterima dan H 1 ditolak. Jika X 2 hitung X 2 tabel (p < 0,05), maka H 0 ditolak dan H 1 diterima.

46 BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Poliklinik, Rawat Inap Penyakit Paru dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Moewardi, Balai Pengobatan Fosmil Surakarta, pada bulan April - September 2011, didapatkan subjek penelitian sebanyak 60 wanita hamil yang telah terdiagnosis asma persisten sebelum kehamilan dan terbagi dalam tiga kelompok trimester (I, II, III) masing - masing terdiri atas 20 wanita hamil tiap trimester. A. Distribusi Subjek Penelitian Tabel 6. Distribusi Umur Subjek Penderita Asma Tiap Trimester Kehamilan Kelompok Usia (tahun) Trimester I Trimester II Trimester III N % n % n % Total (%) % 2 10 % 1 5 % 4 (6,7 %) % % % 32 (53,3 %) % 8 40 % 7 35 % 24 (40 %) Jumlah % % % 60 (100 %) (Data primer April September 2011) Dari Tabel 6 tampak bahwa penyakit asma terbanyak pada wanita hamil terjadi di kelompok usia tahun dengan total 32 (53,3 %) orang, masing - masing 10 orang (50 %) pada trimester I dan II dan 12 orang (60 %) pada trimester III. Sedangkan kelompok usia 20 tahun paling sedikit 38

47 39 jumlahnya dengan total 4 orang, masing-masing 1 orang (5 %) pada trimester I dan III dan 2 orang (10 %) pada trimester III. Tabel 7. Distribusi Jenis Pekerjaan Subjek Penderita Asma Tiap Trimester I, II, dan III Kehamilan Jenis Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Trimester I Trimester II Trimester III n % n % n % Total (%) % % % 35 (58,3 %) Buruh 4 20 % 2 10 % 3 15 % 9 (15 %) Pegawai Toko Wiraswasta/ pedagang 1 5 % 1 5 % 3 15 % 5 (8,3 %) 2 10 % 3 15 % 1 5 % 7 (11,7 %) Guru/PNS 1 5 % 1 5 % 1 5 % 3 (5 %) Jumlah % % % 60 (100 %) (Data primer April September 2011) Dari tabel 7 diketahui pekerjaan yang paling banyak dimiliki responden sebagai ibu rumah tangga dengan total keseluruhan 35 orang, masing - masing 12 orang (60 %) pada trimester I dan II dan 13 orang (65 %) pada trimester III. Sedangkan yang paling sedikit bekerja sebagai guru/pns yakni 3 orang, masing - masing 1 orang (5 %) di tiap trimester.

48 40 Tabel 8. Distribusi Derajat Asma Sebelum Kehamilan Tiap Trimester I, II, III Kehamilan Derajat Asma Persisten Ringan Persisten Sedang Persisten Berat Trimester I Trimester II Trimester III n % n % n % Total (%) 9 45 % 9 45 % 9 45 % 27 (45 %) 7 35 % 8 40 % 9 45 % 24 (40 %) 4 20 % 3 15 % 2 10 % 9 (15 %) Jumlah % % % 60 (100 %) (Data primer April September 2011) Dari Tabel 8 di atas didapatkan bahwa asma persisten ringan sebelum kehamilan sebanyak 9 orang (45 %) dialami kelompok trimester I, II, III. Jumlah asma persisten sedang sebelum kehamilan bejumlah 7 orang (35 %) di trimester I, 8 orang (40 %) di trimester II, dan 9 orang (45 %) di trimester III. Sedangkan jumlah asma persisten berat sebelum kehamilan berjumlah 4 orang (20 %) di trimester I, 3 orang (15%) di trimester II, dan 2 orang (10 %) di trimester III.

49 41 Tabel 9. Distribusi Tingkat Kontrol Asma Berdasarkan Derajat Asma Sebelum Kehamilan Tingkat Kontrol Asma Asma Persisten Ringan Asma Persisten Sedang Asma Persisten Berat n (%) n (%) n (%) Total (%) Terkontrol Penuh Tidak Terkontrol Penuh 22 (81,5 %) 11 (45,8 %) 1 (11,1 %) 34 (56,7 %) 5 (18,5 %) 13 (54,2 %) 8 (88,9 %) 26 (43,3 %) Jumlah 27 (100 %) 24 (100 %) 9 (100 %) 60 (100 %) (Data primer April September 2011) Dari Tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan subyek yang menderita asma persisten ringan sebanyak 27 orang, dan yang mengalami asma terkontrol penuh pada kelompok tersebut sebanyak 22 orang dan sisanya 5 orang mengalami asma tidak terkontrol penuh. Jumlah keseluruhan subjek yang menderita asma persisten sedang sebanyak 24 subjek, dan yang mengalami asma terkontrol penuh pada kelompok tersebut sebanyak 11 orang dan asma tidak terkontrol penuh sebanyak 13 orang. Sedangkan jumlah keseluruhan subjek yang menderita asma persisten sedang sebanyak 9 orang, dan yang mengalami asma terkontrol penuh pada kelompok tersebut hanya 1 orang dan selebihnya 8 orang mengalami asma tidak terkontrol penuh.

50 42 B. Analisis Statistika Tabel 10. Proporsi antara Asma Terkontrol Penuh dan Tidak Terkontrol Penuh Antartrimester Kehamilan Tingkat Kontrol Asma Trimester I Trimester II Trimester III n % n % n % Total (%) Terkontrol Penuh Tidak Terkontrol Penuh % % 7 35 % 34 (56,7 %) 6 30 % 7 35 % % 26 (43,3 %) Jumlah % % % 60 (100 %) (Data primer April September 2011) Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa dari jumlah subjek penelitian pada tiap kelompok trimester sebanyak 20 orang yang mengalami asma terkontrol penuh pada trimester I sebanyak 14 orang (70 %), trimester II sebanyak 13 orang (65 %), dan trimester III sebanyak 7 orang (35 %). Sedangkan yang mengalami asma tidak terkontrol penuh pada trimester I sebanyak 6 orang (30 %), trimester II sebanyak 7 orang (35 %), dan trimester III sebanyak 13 orang (35 %). Data penelitian yang telah diperoleh tersebut kemudian dianalisis dengan uji Chi Square yang merupakan uji nonparametrik dengan program SPSS for Windows. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebesar 60 sampel, maka syarat uji Chi Square yang harus terpenuhi adalah semua nilai expected > 5. Dari hasil analisis data, didapatkan nilai expected masing - masing kolom sebesar 12 dan 8 (lihat lampiran 5). Dari hasil tersebut dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA Oleh : dr. Safriani Yovita Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma adalah penyakit paru kronik yang sering terjadi di dunia. Data mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade terakhir (Mchpee

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 37 BAB III METODE PENELITIAN 38 A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan secara cross sectional, variabel bebas dan variabel terikat diobservasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional di mana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas,

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH I Made Kusuma Wijaya Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk proses respirasi. Respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Asma merupakan penyakit yang sering di jumpai di masyarakat, asma

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka A.1. Definisi asma Asma adalah inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan hipereaktivitas saluran napas sehingga mengakibatkan terjadinya episode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif

Lebih terperinci

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan. A S M A DEFINISI Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun tertentu. Asma dimanifestasikan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control retrospektif/studi kasus kontrol retrospektif. Penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini zaman semakin berkembang seiring waktu dan semakin memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. Saat ini tingkat ozon naik hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan yang kronik dan heterogenous. Penyakit ini dikatakan mempunyai kekerapan bervariasi yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Lokasi Penelitian Rumah sakit paru dr. Ario Wirawan beralamat di jalan Hasanudin, No. 806 Salatiga, Jawa Tengah. Sesuai dengan SK mentri kesehatan RI.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seluruh individu di dunia tentunya ingin memiliki kesehatan salah satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga kesehatannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG. sedang berkembang. Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang paling sering BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BALAKANG Asma merupakan penyebab mortilitas dan morbiditas kronis sedunia dan terdapat bukti bahwa prevalensi asma meningkat dalam 20 tahun terakhir. Prevalensi penyakit asma

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI Dr. Taufik SpP(K) Bagian Pulmonologi FKUA/RSUP Dr.M.Djamil Padang PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit saluran nafas yang menjadi masalah kesehatan global saat ini. Kekerapannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Asma adalah suatu penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible, bahwa trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma

Lebih terperinci

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan penyakit saluran pernafasan kronik yang menjadi masalah kesehatan di masyarakat.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa derajat penyakit

Lebih terperinci

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono ASTHMA Wiwien Heru Wiyono Dept. of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine - University of Indonesia Persahabatan Hospital - Jakarta INTRODUCTION Asthma is the most common and serious

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi

Lebih terperinci

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA

PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA PENGARUH YOGA TERHADAP KONTROL ASMA NASKAH PUBLIKASI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagaian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Fisioterapi Disusun Oleh: NOVI LIQMAYANTI Nim : J120110036 PROGRAM STUDI S1 FISOTERAPI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak terjadi di masyarakat adalah penyakit asma (Medlinux, (2008). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam

Lebih terperinci

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Triya Damayanti M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, 2000. Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007. Ph.D. :Tohoku University, Japan, 2011. Current Position: - Academic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya pendapatan masyarakat. Di sisi lain menimbulkan dampak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor industri saat ini makin berkembang, dari satu sisi memberi dampak positif berupa bertambah luasnya lapangan kerja yang tersedia dan meningkatnya pendapatan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K)

Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Dr. Masrul Basyar Sp.P (K) Program Penatalaksanaan Asma 1. Edukasi 2. Monitor penyakit berkala (spirometri) 3. Identifikasi dan pengendalian pencetus 4. Merencanakan Terapi 5. Menetapkan pengobatan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, biaya ekonomi untuk asma dianggarkan melebihi gabungan anggaran tuberkulosis dan HIV/AIDS di seluruh dunia. Saat ini,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR TESIS HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR NI KETUT DONNA PRISILIA. T FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017 TESIS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian terbesar di dunia. Telah ditemukan bukti adanya peningkatan prevalensi asma pada anakanak dalam 20 tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Aktivitas Aktivitas adalah keaktifan atau kegiatan berupa usaha, pekerjaan, kekuatan dan ketangkasan dalam berusaha atau kegairahan (Alwi, 2003). Aktivitas yang dimaksudkan di

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI KARYA TULIS ILMIAH Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013. 28 BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian pulmonologi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1 Definisi atau Pengertian Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.pengetahuan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Subyek Penelitian ini diberikan kuesioner ISAAC tahap 1 diberikan kepada 143 anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan kuesioner yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan permasalahan terkait kebiasaan merokok yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah batang rokok

Lebih terperinci

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUHAN. kelahiran hidup, 334/ kelahiran hidup, dan 307/ kelahiran

BAB I PENDAHULUHAN. kelahiran hidup, 334/ kelahiran hidup, dan 307/ kelahiran 1 BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang Pada saat ini, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. Gambaran penurunan AKI menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI Tinjauan Kepustakaan V Selasa 7 Januari 2014 EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI Penyusun: Rina Puspasari S., dr. Pembimbing: Marina Moeliono, dr., SpKFR(K) Penilai: Marietta Shanti P., dr.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Arah kebijaksanaan dalam bidang kesehatan yang diamanatkan dalam ketetapan MPR R.I No. IVMPR/1999 tentang GBHN 1999/2004 salah satunya adalah meningkatkan mutu sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maju maupun di negara-negara sedang berkembang. berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makrofag, neutrofil

BAB I PENDAHULUAN. maju maupun di negara-negara sedang berkembang. berbagai sel imun terutama sel mast, eosinofil, limposit T, makrofag, neutrofil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang. Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 2013, WHO, (2013) memperkirakan terdapat 235 juta orang yang menderita asma hingga saat ini. Prevalensi asma di Indonesia tahun 2003 berdasarkan hasil survei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci