BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst), terdapat hal-hal penting yang terlebih dahulu harus diketahui sebelum membahas permasalahan dalam penelitian. Tindak pidana yang penulis kaji dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah PT Giri Jaladhi Wana dan pada tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Untuk menjawab isu hukum yang diangkat oleh penulis, dalam hal ini penulis memunculkan dua rumusan masalah meliputi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, namun tidak diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Sistem Pemidanaan Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari pidana dan pemidanaan, karena suatu tindak pidana apabila dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut adalah penjatuhan pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum pidana yang menganut aliran dualistis yang memandang bahwa tindak pidana mempunyai 49

2 50 struktur yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, artinya terjadi pemisahan antara actus reus atau criminal act dengan mens rea atau criminal responsibility. Menurut pendapat Chairul Huda, aturan hukum pidana yang menentukan adanya tindak pidana merupakan primary rules, sedangkan pertanggungjawaban pidana diejawantahkan dalam secondary rules, artinya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seyogianya dipisahkan (Chairul Huda, 2006:20). Muladi dan Dwidja Priyatno mengungkapkan bahwa pandangan dualistis yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu tindak pidana yang masuk ke dalam perbuatan dan yang mana masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana, sehingga mempunyai dampak positif dalam menjatuhkan putusan dalam proses peradilan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:68). Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dipidananya pelaku tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya suatu perbuatan pidana, terdapat syarat lain yaitu pelaku harus memiliki kesalahan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan kemudian dijatuhi pidana. Penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana merupakan suatu pengaplikasian dari sistem pertanggungjawaban pidana. Dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat asas yang sangat fundamental yaitu kesalahan atau dikenal dengan berlakunya asas tiada pidana pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Ada atau tidaknya kesalahan, merupakan hal yang penting bagi aparat penegak hukum untuk menentukan apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya patut dipidana. Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana, yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:101). Sehubungan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, muncul pertanyaan apabila korporasi dituntut atas suatu tindak pidana, dapatkah korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab unsur

3 51 utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang hanya dimiliki oleh manusia. Kemudian terkait cara mengkonstruksikan unsur kesalahan yang hanya dimiliki oleh manusia tersebut terhadap korporasi sehingga korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait dengan adanya asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai asas yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana, menurut penulis hal ini berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi. Sehubungan dengan kesalahan pada pertanggungjawaban pidana korporasi, Van Bemmelen dan Jan Remmelink sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa pengetahuan bersama anggota direksi dalam badan hukum dianggap kesengajaan atau kelalaian badan hukum sebagai kesalahan, adanya kesalahan pada setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan merupakan perwujudan kesalahan dari korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:102). Penulis menyimpulkan pendapat yang disampaikan oleh Van Bemmelen dan Jan Remmelink tersebut menunjukkan bahwa korporasi memiliki kesalahan yang berasal dari kesalahan setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan Van Bemmelen dan Jan Remmelink, kemudian penulis mengkaitkan pandangan ini dengan realitas proses pengambilan keputusan dalam korporasi modern yang tidak lagi mendesain struktur organisasinya dengan kewenangan yang jelas, sebaliknya korporasi memiliki beberapa pusat kewenangan yang saling bekerja sama dan melengkapi satu sama lain dalam mengambil suatu kebijakan dan keputusan. Oleh karena itu, kesalahan setiap anggota direksi diatributkan sebagai kesalahan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi. Korporasi dapat memiliki kesalahan, apabila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya atau orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi. Kesalahan dianggap tidak bersifat

4 52 individual karena mengenai badan sebagai suatu kolektivitas, kesalahan itu disebut sebagai kesalahan kolektif yang dapat dibebankan kepada pengurus korporasi yang memberi cukup alasan untuk menganggap badan atau korporasi mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya karena badan atau korporasi menerima keuntungan yang terlarang, hal ini diungkapkan Suprapto yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:101). Penulis sependapat dengan Suprapto, Van Bemmelen dan Jan Remmelink yang menyatakan bahwa korporasi memiliki kesalahan seperti halnya dengan manusia, kesalahan pada korporasi dimaksud dapat berupa pengetahuan atau kehendak bersama dari kumpulan pengurus korporasi atau pengetahuan dan kehendak bersama setiap individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi yang diatributkan sebagai kesalahan korporasi. Pada dasarnya, korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurus korporasi atau karyawan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi berdasarkan berlakunya teori pelaku fungsional, hal ini sesuai dengan pendapat Mardjono Reksodiputro yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa kesalahan yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi itu sendiri (Mahrus Ali, 2013:152). Sedangkan menurut Mahrus Ali, kesalahan pada korporasi berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum manusia, karena dasar dari penetapan kesalahan pada korporasi adalah tidak dipenuhinya fungsi kemasyarakatan korporasi termasuk tetapi tidak terbatas untuk menghindari tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:153). Menurut penulis, Mahrus Ali memiliki pandangan yang berbeda mengenai penentuan kesalahan korporasi yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penilaian kesalahan pada korporasi ditentukan oleh dipenuhi atau tidaknya fungsi kemsayarakatan korporasi sehingga dapat dicela ketika suatu tindak pidana terjadi, adanya kesalahan itu berasal dari kesalahan pelaku

5 53 fungsional yang dapat dilakukan oleh pengurus korporasi atau karyawan korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Menurut Elliot dan Quin sebagaimana dikutip Mahrus Ali, pembenaran pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut: 1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari korporasi; 2. Apabila perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak pidana yang dilakukan, bukan pegawainya; 3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaanperusahaan untuk menekan para pegawainya dalam memperoleh keuntungan kegiatan usahanya harus dilakukan secara legal; 4. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan dapat mencegah perusahaan-perusahaan lain untuk melakukan kegiatan usaha yang ilegal (Mahrus Ali, 2013:104). Penulis sependapat dengan pandangan Eliot dan Quinn mengenai pentingnya pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sebab menurut penulis pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong korporasi untuk menjalankan kegiatan usaha yang legal dan tidak melanggar undangundang, selain itu juga memberikan pesan bahwa pencapaian tujuan negara untuk kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat jauh lebih penting dibandingkan dengan hanya keuntungan materi yang diperoleh korporasi secara ilegal, serta merupakan pencegahan bagi korporasi lain untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang yang dapat merugikan negara maupun masyarakat dengan mengontrol pengurus korporasi maupun terhadap kegiatan usaha korporasi itu sendiri. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa untuk

6 54 adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Subjek tindak pidana yang telah diakui dalam hukum pidana di Indonesia adalah manusia dan korporasi, terhadap pengertian subjek tindak pidana memiliki konsekuensi yaitu siapa yang melakukan tindak pidana dan siapa yang dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pembuat tindak pidana, tetapi tidak selalu demikian karena tergantung pada cara perumusan sistem pertanggungjawaban pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:82). Menurut penulis hal tersebut juga berlaku terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat atau pelaku tindak pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus diketahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasinya. Dalam hal ini terdapat sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali yaitu: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggung jawab; 2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab;dan 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Mahrus Ali, 2013:133). Terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, Sutan Remy Sjahdeini menambahkan bentuk yang keempat yaitu sebagai berikut: 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana; 2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasilah yang bertanggung jawab secara pidana; 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana;dan 4. Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya yang harus bertanggung jawab secara pidana (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:59). Alasan Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, apabila hanya pengurus korporasi saja yang diminta pertanggungjawaban pidananya akan menimbulkan ketidakadilan bagi

7 55 masyarakat, karena pengurus dalam melakukan perbuatan tersebut adalah untuk dan atas nama korporasi yang memberikan keuntungan baik finansial maupun non finansial kepada korporasi. Kedua, apabila hanya korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidananya maka pengurus korporasi akan dengan mudahnya berlindung dibalik korporasi dengan mengatakan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya adalah untuk dan atas nama korporasi dan bukan untuk kepentingan pribadi. Ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vicarious dan segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan maupaun sebaliknya, hanya pengurus korporasi yang dipertanggungjawabkan secara pidana sedangkan korporasinya bebas (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:62-64). Penulis sependapat dengan pertimbangan yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini terkait dengan penambahan bentuk keempat sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, alasan penulis didasarkan pada perkembangan korporasi pada era globalisasi yang multidimensional ini memiliki peran dan kekuasan di semua aspek kehidupan masayarakat, sehingga dietapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana tidaklah cukup karena hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus tidak sebanding dengan keuntungan besar yang diterima korporasi dalam melakukan tindak pidana dan kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun negara. Alasan yang diungkpakan oleh penulis mengenai keuntungan besar yang telah diterima oleh korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi sejalan dengan pandangan Mahrus Ali yang menyatakan bahwa korporasi merupakan makhluk yang rasional ekonomis dalam menimbang ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan yang akan didapat, artinya ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan

8 56 ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:264). Dengan hanya dipidananya pengurus saja tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tidak akan lagi melakukan tindak pidana apabila keuntungan besar diperoleh korporasi dengan melakukan tindak pidana. Menurut penulis, arah penegakan hukum yang dikehendaki masyarakat disamping mempertanggungjawabkan pidana pengurus korporasi yang melakukan tindak pidana juga korporasi yang selama ini jarang dihadapkan di pengadilan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan korporasi. Hal ini didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan yang telah mendukung dengan mengatur mengenai syarat-syarat pemidanaan terhadap korporasi, contohnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehubungan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan diterimanya korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP, menurut penulis, terdapat hubungan antara tahap-tahap diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, penulis menjelaskan hubungan tersebut dalam tabel sebagai berikut: Tabel 1. Hubungan Tahap Diterimanya Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana dengan Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi No. Tahap Diterimanya Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. I Menurut Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, berdasarkan pemikiran dari abad ke-19 korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana, karena masih dianut asas Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang harus bertanggung jawab secara pidana.

9 57 universitas delinquere non potest (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:161);dan Hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana. 2. II Hanafi Amrani dan Mahrus Ali menyatakan bahwa sesudah perang dunia I, korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana;dan Pertanggungjawaban pidana menjadi beban pengurus korporasi yang memberikan perintah atau bekerja untuk dan atas nama korporasi (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:163). 3. III Hanafi Amrani dan Mahrus Ali menyatakan bahwa tahap ketiga ini merupakan permulaan, diakuinya korporasi dapat melakukan tindak pidana dan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan korporasi (Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015:164);dan Korporasi dapat dikenai sanksi pidana. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi bertanggung jawab secara pidana;dan Korporasi dan pengurus sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya dapat bertanggung jawab secara pidana.

10 58 Hubungan antara diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan bahwa pada saat korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana yang memiliki arti sebagai subjek yang melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana telah berjalan secara beriringan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Hubungan tersebut ditunjukkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana yang ditunjukkan dalam Pasal 1 butir 3 dan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Pasal 20. Terkait dengan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu dapat dilihat dari diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan korporasi, penentuan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi, pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sanksi pidana yang tepat bagi korporasi dan tujuan pemidanaan terhadap korporasi. Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan sebagai berikut: Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Yang dimaksud dengan korporasi dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 1 butir 1 sebagai berikut: Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

11 59 Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dihubungkan dengan subjek tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasalnya, menurut penulis tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh korporasi, hal ini dikarenakan perumusan subjek tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menggunakan beberapa istilah diantaranya yaitu setiap orang, hakim, pemborong, ahli bangunan, orang dan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut penulis, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi yang subjek tindak pidananya dirumuskan dengan kata setiap orang yang memiliki pengertian orang perseorangan termasuk korporasi. Selanjutnya, kapan dinyatakan bahwa suatu korporasi telah melakukan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat dalam perumusan Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut: tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Maka suatu tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh korporasi dengan batas atau ukuran apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi baik sendiri maupun bersama-sama (garis bawah penulis). Menurut penulis perumusan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan penyempurnaan perumusan tindak pidana ekonomi yang dilakukan korporasi dalam Undang-Undang Nomor Drt. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang sering disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Undang-Undang

12 60 Nomor Drt. 7 Tahun 1955 pengaturan tindak pidana ekonomi dilakukan oleh korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut: suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasiranasir pidana tersebut. Sehubungan dengan perumusan tersebut diatas Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di dalam perumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi memang ada perumusan yang seolah-olah menjelaskan kapan suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi suatu tindak pidana...dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum... dan seterusnya. Dengan adanya kata dilakukan juga, jelas bahwa rumusan tersebut hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum tetapi dianggap telah dilakukan juga oleh badan hukum. Jadi, perumusan diatas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu dikatakan melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku tindak pidana, kemudian penyempurnaan perumusan pada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain...dan seterusnya (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:93). Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi belum memberikan ketegasan mengenai batasan dan ukuran yang dipakai untuk

13 61 menentukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi, hanya saja dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan: 1. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain;atau 2. Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:94). Menurut penulis, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan atau ukuran mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang memberikan batasan dan ukuran yang sama. Mencermati batasan dan ukuran tersebut, baik Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki kelemahan yang sama yaitu tidak adanya penjelasan yang lebih lanjut mengenai hubungan kerja maupun hubungan lainnya yang bertindak dalam lingkungan korporasi pada perumusan maupun penjelasannya untuk menentukan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan mengenai siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga tindak pidana korupsi tersebut dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi, maka kedepannya harus diperbaiki dalam formulasi perumusan pasalnya maupun penjelasannya. Setelah mengetahui mengenai tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi dengan mengetahuinya melalui perumusan subjek tindak pidananya dan menentukan kapan korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi, maka apabila korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, selanjutnya yang sangat penting adalah terkait pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah menyatakan sebagai berikut:

14 62 1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan pengurusnya. 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain 5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor. 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga). Berdasarkan uraian Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut secara gramatikal menurut penulis terdapat tiga bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut: 1. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung jawab secara pidana; 2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana;dan 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, dan yang bertanggung jawab secara pidana adalah korporasi serta pengurus korporasi. Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut penulis telah sampai tahap ketiga yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan korporasi dapat bertanggung

15 63 jawab secara pidana bersama pengurusnya. Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, menurut penulis walaupun telah mengakui korporasi dapat melakukan tindak pidana korupsi dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun masih belum ada penjelasan yang tegas dan spesifik mengenai kapan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dipertanggungjawabkan oleh korporasi atau pengurus atau korporasi dan pengurus secara bersamaan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menurut penulis merupakan suatu kelemahan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang harus diperbaiki dalam formulasinya di masa yang akan datang untuk menghindari ketidakjelasan penafsiran. Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menurut penulis, merupakan bagian dari proses sistem pemidanaan yang pada hakikatnya berpijak pada pemikiran tujuan dipidananya korporasi, sanksi apa yang tepat diancamkan untuk korporasi dan penjatuhan pidana yang tepat untuk korporasi serta mengenai bentuk pengaturannya. Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk menanggulangi masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan yaitu kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu menurut Setiyono, dengan menggunakan sanksi berupa sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar urgensinya (Setiyono, 2003: ). Sehubungan dengan urgensi pemidanaan korporasi yang berangkat dari motivasi bahwa dengan hanya memidana pengurus korporasi saja dalam delik ekonomi tidaklah cukup apabila melihat keuntungan besar yang diterima korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi dan akibatnya berupa kerugian yang dialami negara maupun masyarakat sangat besar. Penulis menerima pendapat yang diungkapkan oleh Yoshio Suzuki yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa dalam

16 64 penjatuhan pidana pada korporasi, misalnya dalam bentuk penutupan seluruh atau sebagian usaha korporasi harus dilakukan secara hati-hati (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Hal ini disebabkan dampak penjatuhan pidana tersebut terhadap korporasi tidak hanya berdampak pada korporasi sendiri, tetapi juga berdampak pada buruh atau karyawan korporasi yang tidak bersalah. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu untuk mempertimbangkan peringatan Sudarto yang dikutip oleh Setiyono, bahwa sanksi pidana akan menemui kegagalan dan mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak menggunakan ancaman pidana dapat 2003:117). mengakibatkan devaluasi dari undang-undang pidana (Setiyono, Penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara cermat, hati-hati dan manusiawi agar bermanfaat dalam keadaan yang tepat. Oleh karena itu Packer sebagaimana dikutip oleh Setiyono menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar anggota masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan masyarakat dan tidak dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting; 2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten dengan tujuan-tujuan pemidanaan; 3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi atau merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan; 4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah dan tidak bersifat diskriminatif; 5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif;dan 6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana tersebut guna menghadapi perilaku tersebut (Setiyono, 2003:117). Selanjutnya menurut penulis, perlakuan secara hati-hati untuk memidana atau menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus didasarkan pada kriteriakriteria yang tepat dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana terhadap korporasi, dalam hal ini menurut penulis beberapa kriteria yang menentukan kapan sanksi pidana diarahkan pada korporasi, kriteria tersebut bersifat alternatif

17 65 sehingga tidak perlu harus terpenuhi semuanya, kriteria tersebut dikemukakan oleh Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno serta diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: 1. The degree of loss to the public (Tingkat kerugian terhadap publik); 2. The lever of complicity by high corporate managers (Tingkat keterlibatan oleh jajaran manajer); 3. The duration of the violation (lamanya pelanggaran); 4. The frequensi of the violation by the corporation (Frekuensi pelanggaran oleh korporasi); 5. Evidence of intent to violate (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan pelanggaran); 6. Evidence of extortion, as in bribery cases (Alat bukti pemerasan, semisal dalam kasus suap); 7. The degree of notoriety engendered by the media (Derajat pengetahuan publik tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media); 8. Precedent in law (Jurisprudensi); 9. The history of serious, violation by the corporation (Riwayat pelanggaranpelanggaran serius oleh korporasi); 10. Deterence potential (Kemungkinan pencegahan);dan 11. The degree of cooperation evinced by the corporation (Derajat kerja sama yang ditunjukkan oleh korporasi) (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Penulis mendasarkan pertimbangan untuk pemidanaan terhadap korporasi didasarkan oleh kajian menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum tahun 1980/1981 yang menyatakan bahwa jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti (Muladi

18 66 dan Dwidja Priyatno, 2010:146). Hal ini berarti dipidananya pengurus saja tidak dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan tindak pidana. Terkait hal ini, menurut penulis, kedudukan korporasi ketika terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas tindak pidana yang dilakukan korporasi, pemidanaan terhadap korporasi harus didasarkan pada tujuan pemidanaan yang bersifat preventif dan represif. Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup: 1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya, sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan tindak pidana lagi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat; 2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu. Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan suatu tindak pidana; 3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara;dan 4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak

19 67 dengan alasan-alasan prevensi general apapun (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010: ). Dengan demikian, menurut penulis, pemidanaan terhadap korporasi secara global haruslah sesuai dengan pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan, yaitu dalam fungsinya sebagai sarana preventif atau pencegahan baik secara umum dan khsusus, selanjutnya tujuan pemidanaan yang bersifat represif tercermin dalam tujuan pemidanaan korporasi untuk perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau keseimbangan. Berbeda dengan tujuan pemidanaan secara global yang bersifat integratif, menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai digunakan bagi korporasi adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation) (Mahrus Ali, 2013:263). Digunakannya teori pencegahan didasarkan pada motivasi atau orientasi bahwa korporasi ketika melakukan tindak pidana didasarkan kepada motivasi ekonomi atau orientasi untung rugi dalam hal dilakukan pada tindak pidana apapun. Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berpikir secara rasional dengan tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika keuntungan yang diperoleh korporasi lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan korporasi, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus Ali, 2013:264). Selanjutnya mengenai teori rehabilitasi, Mahrus Ali mengemukakan bahwa alasan digunakannya teori rehabilitasi karena tidak jarang tindak pidana yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup (Mahrus Ali, 2013:265). Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat yang memerlukan pengobatan, dalam artian hukuman yang dijatuhkan harus cocok dengan kondisi korporasi dan bukan dengan sifat kejahatannya (Mahrus Ali, 2013:266).

20 68 Menurut penulis, teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh Mahrus Ali hanya tepat untuk digunakan dalam pemidanaan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan orientasi penggunaan teori rehabilitasi yang dikemukakan Mahrus Ali lebih mengarah kepada rehabilitas lingkungan hidup yang rusak akibat tindak pidana yang dilakukan korporasi, oleh karena itu pendapat mengenai teori rehabilitas yang dinyatakan Mahrus Ali menurut penulis mengarah kepada perlakuan yang tepat terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dengan memanfaatkan program rehabilitasi diharapkan agar korporasi dapat bersinergi kembali dengan masyarakat. Terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, pada penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang telah sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Frase mencegah dan memberantas merupakan ide dari teori tujuan pemidanaan yang menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif dan represif, tujuan tersebut secara normatif direalisasikan melalui pertanggungjawaban pidana korporasi. Tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif artinya tujuan dipidananya korporasi agar korporasi tercegah untuk melakukan tindak pidana korupsi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat represif artinya tujuan dipidananya korporasi adalah agar negara dapat menuntut korporasi untuk mengembalikan kerugian keuangan negara

21 69 yang telah dipergunakan secara melawan hukum. Selain itu, teori tujuan pemidanaan korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dilihat pada substansi pengaturan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk kedudukan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi. Sehubungan pemidanaan terhadap korporasi, hal penting yang selanjutnya harus diketahui adalah mengenai sanksi pidana pokok bagi korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya berupa denda, berikut bunyi pasalnya: Pidana pokok yang dapat digunakan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3. Menurut penulis, berdasarkan penjelasan pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (7) merupakan sanksi yang dirumuskan secara tunggal yang tidak memberikan alternatif pidana pokok lain yang dapat dipilih. Hal ini menjadi permasalahan sekaligus kelemahan tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP dalam Pasal 30 ayat (2) yang mengatur tentang denda yang tidak dibayar dapat dikenakan pidana kurungan pengganti denda yang hanya dapat dijatuhkan terhadap manusia bukan korporasi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi di Indonesia, selain ketentuan pidana pokok berupa denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, juga terdapat pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dapat berupa: 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana

22 70 korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; (Pasal 18 ayat (2) menjelaskan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti) 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun;dan (pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan) 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Dalam hal pemidanaan terhadap korporasi dengan dijatuhkannya sanksi pidana terhadap korporasi, penulis akan memberikan sedikit catatan mengenai dampak negatif dari pemidanaan korporasi yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap buruh atau karyawan. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengungkapkan bahwa untuk menghindarkan dampak efek negatif pemidanaan terhadap korporasi, dapat dilakukan dengan mengasuransikan pekerja atau buruh atau karyawan korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Terkait hal ini, apabila tidak ada asuransi terhadap pekerja, pemidanaan korporasi harus tetap dilakukan, namun dilakukan dengan sangat hati-hati. Penulis menambahkan bahwa dampak negatif yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana merupakan konsekuensi yang harus terjadi dalam pemidanaan, hal ini tidak berbeda dengan pemidanaan terhadap manusia alamiah yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana. Dalam artian bahwa pemidanaan baik terhadap manusia alamiah maupun korporasi akan menimbulkan pengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana yang akan menghukum pihak yang tidak bersalah. Inti yang dimaksud dari penjelasan penulis adalah dampak negatif dari pemidanaan manusia alamiah yang berdampak pada pihak-pihak disekitar terpidana sama halnya yang akan terjadi pada pemidanaan korporasi, akan tetapi pemidanaan terhadap manusia alamiah

23 71 tentu tidak dihapuskan karena adanya dampak negatif terhadap pihak disekitar terpidana, demikian halnya dengan pemidanaan terhadap korporasi yang tentu tidak harus dihapuskan karena adanya hal tersebut. Berdasarkan uraian penjelasan di atas yang telah dipaparkan oleh penulis, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sehubungan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang merupakan bagian dalam proses sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa kelemahan dalam substansi pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Tidak adanya penjelasan mengenai hubungan kerja dan hubungan lain untuk menentukan siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga tindak pidana korupsi dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi menimbulkan ketidakjelasan penafsiran; 2. Tidak adanya kejelasan mengenai kapan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi itu dipertanggungjawabkan terhadap korporasi saja atau pengurus saja atau terhadap korporasi dan pengurus secara bersamaan;dan 3. Pidana pokok hanya berupa denda yang tidak ada alternatif lainnya mengenai pidana pokok terhadap korporasi menimbulkan permasalahan ketika denda tidak dibayarkan oleh korporasi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP Pasal 30 ayat (2) menjelaskan bahwa jika denda tidak dibayarkan yaitu dapat dikenakan pidana kurungan pengganti yang hanya dapat diterapkan terhadap manusia alamiah.

24 72 B. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diterapkan Sebagai Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN/BJM yang Seharusnya Dapat Diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst 1. Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Pembangunan dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin a. Kasus Posisi Bahwa PT Giri Jaladhi Wana ditunjuk oleh Pemerinah Kota Banjarmasin berdasarkan Surat Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tanggal 13 Juli 1998 sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kerja sama kontrak bagi tempat usaha untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari, dengan perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan dengan membangun (enam ribu empat puluh lima) unit toko, kios, los, lapak dan warung tanpa persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin dimana seharusnya PT Giri Jaladhi Wana hanya membangun (lima ribu seratus empat puluh lima) unit, sehingga terjadi penambahan sejumlah 900 (sembilan ratus) unit. Penambahan 900 (sembilan ratus) unit tersebut dijual oleh PT Giri Jaladhi Wana dengan harga Rp ,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam rupiah) dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin. Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana tidak membayarkan kewajiban untuk membayar retribusi dan penggantian uang sewa ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp ,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). PT Giri Jaladhi Wana yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar Sentra Antasari dari

25 73 tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 tidak pernah membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan memberikan alasan melalui Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu Stevanus Widagdo kepada Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari terkumpul dana sebesar Rp ,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Padahal sebelum dibangun menjadi pasar modern, Pemerintah Kota Banjarmasin menerima hasil retribusi sebesar Rp ,00 (delapan ratus juta rupiah) dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari. Berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan perbuatan PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah merugikan keuangan negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp ,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah). Dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri Jaladhi Wana melalui Direktur Utamanya Stevanus Widagdo mengajukan kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., akan tetapi dalam menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., PT Giri Jaladhi Wana melakukan berbagai penyimpangan yang merugikan PT Bank Mandiri sebesar Rp ,65 (seratus sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen). Berdasarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan PT Giri Jaladhi Wana dalam hal pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas perbuatan-perbuatannya tersebut PT Giri Jaladhi Wana ditetapkan sebagai Terdakwa. Penetapan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa

26 74 berawal dari putusan berkekuatan hukum tetap empat terdakwa sebelumnya yaitu Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, Direktur PT Giri Jaladhi Wana, mantan Walikota Banjarmasin dan Kepala Dinas Pasar Kota Banjarmasin. Penanganan tindak pidana korupsi penyalahgunaan pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin. b. Dakwaan Penuntut Umum Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu: Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang termasuk korporasi; 2) Dengan melawan hukum; 3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan 5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut. Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Setiap orang termasuk korporasi; 2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya;

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi merupakan proses semakin terbukanya kemungkinan interaksi ekonomi, politik, sosial, dan ideologi antar manusia sebagai individu maupun kelompok,

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI Setelah menyajikan tinjauan pustaka dalam Bab II dan Pembahasan Kasus di Bab III, maka dalam Bab ini, penulis menyajikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

JENIS-JENIS SANKSI PIDANA YANG DAPAT DITERAPKAN TERHADAP KORPORASI

JENIS-JENIS SANKSI PIDANA YANG DAPAT DITERAPKAN TERHADAP KORPORASI JENIS-JENIS SANKSI PIDANA YANG DAPAT DITERAPKAN TERHADAP KORPORASI Kristian 1 Abstract With the acceptance of the corporation as the subject of criminal law that was considered to be of a criminal act

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D 101 07 638 ABSTRAK Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. 1 Pertumbuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 2007/85, TLN 4740] 46. Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi meskipun telah diatur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Bab XII : Pemalsuan Surat

Bab XII : Pemalsuan Surat Bab XII : Pemalsuan Surat Pasal 263 (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama perempuan dan anak, termasuk sebagai tindak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI ASAS TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN (ASAS KESALAHAN) DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI Oleh : A.A. Ngurah Wirajaya Nyoman A. Martana Program Kekhususan Hukum Pidana, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan semua uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan mengenai pembuktian terbalik/pembalikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu Pasal 242 (1) Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan yang diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa konsep Korporasi sebagai subyek tindak pidana telah dirumuskan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan A. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang dapat dikatakan sebagai sumber utama dari permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA 16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah

BAB I PENDAHULUAN. Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi adalah perubahan fungsi yang dijalankan dalam masyarakat, yakni terjadinya spesialisasi melalui

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II. A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. 1. Pengertian Korporasi. Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan

BAB II. A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. 1. Pengertian Korporasi. Berbicara tentang korporasi maka kita tidak bisa melepaskan BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DAN PEMIDANAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Pengertian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada saat ini penegakan hukum yang paling ditunggu masyarakat adalah penegakan hukum tindak pidana korupsi. Adanya tuntutan dari masyarakat untuk dilakukanya upaya pemberantasan

Lebih terperinci

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM

KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM KEJAHATAN KORPORASI (CORPORATE CRIME) OLEH: Dr. Gunawan Widjaja,SH.,MH.,MM 1. Pengertian Kejahatan yang dilakukan oleh Korporasi Yang bertanggung jawab adalah Korporasi Korporasi = badan hukum => Perseroan

Lebih terperinci

Kasus Korupsi PD PAL

Kasus Korupsi PD PAL Kasus Korupsi PD PAL banjarmasinpost.co.id Mantan Direktur Utama Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PD PAL) Banjarmasin yang diduga terlibat dalam perkara korupsi i pengadaan dan pemasangan jaringan

Lebih terperinci

Public Review RUU KUHP

Public Review RUU KUHP Public Review RUU KUHP Oleh: agustinus pohan Tujuan: Implikasi pengaturan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP Sejauh mana kebutuhan delik korupsi diatur dalam RUU KUHP. Latar belakang RUU KUHP KUHP dipandang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makumur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi menerima pembebanan sebagai akibat dari sikap tindak sendiri atau pihak lain, (WJS. Poerwadarminta,

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA: PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA DALAM RUU KUHP O L E H PUTERI HIKMAWATI PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Dasar Hakim dalam Menerapkan Sanksi Pidana Di Bawah Minimum. Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Dasar Hakim dalam Menerapkan Sanksi Pidana Di Bawah Minimum. Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Dasar Hakim dalam Menerapkan Sanksi Pidana Di Bawah Minimum Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia dari tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN. MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas keamanan negara, masyarakat, serta merugikan keuangan negara. Di Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1951 TENTANG PENIMBUNAN BARANG-BARANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pemerintah berhubung dengan keadaan dalam dan luar negeri

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk mengatur

Lebih terperinci

KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016

KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016 KUALIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI PASCA TERBITNYA PERMA RI NO. 13 TAHUN 2016 Kristian 1 E-mail : yehezkiel.kristian90@gmail.com Aji Mulyana 2 E-mail : ajimulyana94@gmail.com

Lebih terperinci

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH.

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH. KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH. Abstrak Pendayagunaan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI Disampaikan dalam kegiatan Peningkatan Wawasan Sistem Manajemen Mutu Konsruksi (Angkatan 2) Hotel Yasmin - Karawaci Tangerang 25 27 April 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1992/31, TLN 3472] BAB VIII KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 46 (1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059] BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 111 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara berbentuk Persero (selanjutnya disebut BUMN Persero) sering terjadi. Perkara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI UNSUR KESALAHAN DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI OLEH: AGUSTINUS POHAN DISAMPAIKAN DALAM PUBLIC SEMINAR ON CORPORATE CRIMINAL LIABILITIES JAKARTA 21 FEBRUARI 2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERTANGGUNGJAWABAN

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh : Wahyu Beny Mukti Setiyawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Surakarta Hp : 0857-2546-0090, e-mail : dosenbeny@yahoo.co.id A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum.

Lebih terperinci

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI. Komisi Pemberantasan Korupsi MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU PANDUAN UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI Penyusun Desain Sampul & Tata Letak Isi MPRCons Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan narkoba memiliki dimensi yang sangat kompleks, baik dari sudut medis, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial ekonomi, politik, sosial,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi. Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Peranan KPK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB III PIDANA BERSYARAT

BAB III PIDANA BERSYARAT 36 BAB III PIDANA BERSYARAT A. Pengertian Pidana Bersyarat Pidana bersyarat yang biasa disebut dengan pidana perjanjian atau pidana secara jenggelan, yaitu menjatuhkan pidana kepada seseorang akan tetapi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 728 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci