II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat Kegiatan pertambangan adalah secara aman dan menguntungkan mengambil bahan mineral dari dalam tanah (Acton 1973 UdalamU Rani 2004). Berdasarkan definisi sumber daya alam tidak terbarukan adalah sumber daya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, maka barang tambang dapat dikatakan sebagai sumber daya tidak terbarukan. Karena sifatnya yang tidak terbarukan ini, maka dalam kurun waktu tertentu cadangan sumberdayanya akan habis dan dapat menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan lingkungan sosial. Pada dasarnya kegiatan pertambangan akan menyebabkan perubahan bentang alam sehingga berpotensi mengubah tatanan ekosistem suatu wilayah. Permasalahan pembangunan ekonomi adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan pembangunan dapat dilakukan seiring dengan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan. Pada dasarnya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam akan mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan ke arah yang lebih buruk, sedangkan lingkungan merupakan fondasi dasar bagi kegiatan pembangunan. Oleh karena itu, diperlukan konsep keberlanjutan dalam kegiatan pembangunan. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan upaya agar generasi saat ini dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus mengurangi kemampuan dan kesempatan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Haris (2000) UdalamU Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu: 8

2 Keberlanjutan ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Lingkungan, sosial, dan ekonomi merupakan suatu kesatuan dan dengan pemahaman dari ketiga aspek ini maka pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan pertambangan, sebagai salah satu pendukung dalam mempertahankan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga perlu memperhatikan aspek lingkungan. Dengan terjaganya kelestarian lingkungan kegiatan pertambangan dapat berjalan secara berkelanjutan. Selain itu, pengelola harus memperhatikan tingkat ekstraksi dalam penambangannya agar kegiatan pertambangan dapat dilakukan selama mungkin. Menurut Djajadiningrat (2007) ciri-ciri praktek pertambangan yang baik, secara umum adalah sebagai berikut: 9

3 1. Mematuhi kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Mempunyai perencanaan yang menyeluruh tentang teknik pertambangan dan mematuhi standar yang telah ditetapkan; 3. Menerapkan teknologi pertambangan yang tepat dan sesuai; 4. Menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan di lapangan; 5. Menerapkan prinsip konservasi, peningkatan nilai tambah, serta keterpaduan dengan sektor hulu dan hilir; 6. Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan; 7. Melindungi dan memelihara fungsi lingkungan hidup; 8. Mengembangkan potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat; 9. Menghasilkan tingkat keuntungan yang memadai bagi investor dan karyawannya; 10. Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang. 2.2 Pertambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, penambangan pasir termasuk salah satu jenis pertambangan mineral. Pertambangan pasir merupakan pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak, dan gas bumi, serta air tanah. 10

4 Menurut Soedarmo dan Hadiyan (1980), terdapat dua pasir kwarsa, yaitu pasir kwarsa putih dan pasir kwarsa hitam. Pasir kwarsa putih, yang kita sebut sehari-hari sebagai pasir putih, adalah batuan yang terbentuk karena pengendapan dari hasil pelapukan batuan, dan akhirnya dicuci oleh alam misalnya oleh air atau angin. Oleh karena itu, pasir putih banyak terdapat di tepi sungai, pantai-pantai laut dan dasar laut. Adanya warna yang abu-abu disebabkan karena adanya kotoran: seperti oksida logam dan bahan organik. Jenis dan banyaknya kotorankotoran yang melekat pada pasir kwarsa merupakan hal yang penting untuk menentukan mutu dan tujuan pemakaiannya. Pasir kwarsa hitam adalah pasir biasa yang kita kenal sehari-hari, yang berwarna kehitam-hitaman dan biasa dipakai bahan bangunan. Pasir ini terutama terdiri dari kristal-kristal silikat (SiO 2 ). Terbentuknya pasir ini sama dengan terbentuknya pasir kwarsa putih akan tetapi berhubung banyaknya berbagai macam kotoran-kotoran yang melekat padanya, terutama kotoran-kotoran yang terdiri dari oksida-oksida logam dan bahan organik, maka warnanya tidak putih bersih lagi, tapi menjadi kehitam-hitaman. Pasir kwarsa hitam yang terdapat di tepi-tepi sungai, danau dan laut, bentuknya agak bulat dan licin, sedangkan di daratan umumnya runcing-runcing dengan permukaan yang agak besar. Mutu dari pasir kwarsa hitam bergantung dari bentuk butiran-butiran dan banyaknya kotoran-kotoran yang melekat padanya. Kotoran-kotoran yang dianggap berbahaya untuk keperluan bangunan adalah lempung, bahan-bahan organik, dan garam sulfat. Pasir kwarsa digunakan sebagai bahan utama atau bahan pelengkap dalam industri-industri gelas, barang-barang tahan api, keramik, pengecoran logam, 11

5 semen, dan sebagainya. Pasir kwarsa juga digunakan sebagai bahan baku untuk fero silicon/silicon karbit dan bahan baku pembuatan amplas. Dalam pertambangan umum kita mengenal beberapa macam cara penambangan yaitu penambangan dalam (under-ground mining), penambangan terbuka (open-pit mining), penambangan hydrolis (hydraulic mining), dan pengerukan (dredging), yang dapat dilakukan di darat maupun di laut (Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1976). Shenyakov (1970) UdalamU Rani (2004) menyatakan bahwa pertambangan bahan bangunan pasir dan batu menggunakan sistem pertambangan terbuka (open-cut mining). Hal ini dilakukan karena jenis bahan galian tersebut berada di permukaan tanah atau dalam kedalaman yang tidak terlalu dalam. Penambangan pasir dapat dilakukan dengan cara konvensional dan cara mekanis. Menurut Handoyo et al. (1999) UdalamU Rani (2004), penambangan pasir dengan alat mekanis menggunakan peralatan Back Hoe, Excavator, Loader, dan Bulldozer. Penambangan pasir secara mekanis meliputi kegiatan: 1. Pengupasan, yaitu kegiatan memindahkan lapisan tanah penutup (over burden) yang tebalnya sekitar 0,5-5 meter dengan menggunakan alat berat Back Hoe dan Excavator. 2. Penggalian dan pemuatan, yaitu kegiatan penggalian lasir dari sumber lapisan dan sekaligus memuatnya ke dalam truk. Alat yang digunakan adalah Back Hoe, Excavator, dan Wheel Loader. 3. Pengangkutan, yaitu kegiatan mengangkut/memindahkan bahan galian pasir dari tempat penggalian ke tempat penimbunan atau langsung kepada konsumen dengan menggunakan truk berkapasitas ± 6m 3. 12

6 Cara penambangan konvensional dilakukan dengan menggunakan alat-alat sederhana seperti linggis, cangkul, dan sekop. Penambangan dilakukan dengan cara berkelompok terdiri dari 4-5 orang. 2.3 Dampak Kegiatan Penambangan Pasir Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, pengangkutan dan penjualan tidaklah menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang berarti untuk dipersoalkan. Penambangan, pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan lingkungan hidup yang cukup besar, apabila tidak dilakukan pengaturan-pengaturan sebagaimana mestinya. Kegiatan penambangan dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan permukaan tanah. Usaha pengolahan dan pemurnian dapat mengakibatkan pencemaran air (sungai, danau, laut) dan pencemaran udara akibat adanya bahanbahan kimia atau kotoran-kotoran sisa yang terjadi dalam pengolahan dan pemurnian atau sebagai akibat penggunaan bahan-bahan kimia tertentu dalam proses pengolahan dan pemurnian. Beberapa cara penambangan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Menurut Barrow (1991) UdalamU Rani (2004), pertambangan permukaan terbuka (open-cut mining) akan mengakibatkan gangguan seperti menimbulkan lubang besar pada tanah, penurunan muka tanah atau cekungan pada sisa bahan galian 13

7 yang dikembalikan ke dalam lubang galian. Bahan galian apabila ditumpuk/disimpan dapat mengakibatkan bahaya longsor atau senyawa beracun tercuci ke daerah hilir, serta kebisingan suara, debu, getaran, dari mesin-mesin dan ledakan bahan peledak. Sedangkan BPHN (1976) menyatakan bahwa penambangan dalam dapat mengakibatkan tanah runtuh apabila pengisian ruang-ruang kosong di bawah tanah tidak dilakukan. Penambangan dalam dapat juga mengakibatkan turunnya permukaan air tanah (ground water level). Penambangan terbuka dapat mengakibatkan tanah longsor, genangan-genangan air, dan mengakibatkan tanah menjadi gersang sehingga sukar untuk dihijaukan kembali. Dengan demikian maka masalah lingkungan hidup di pertambangan terutama berada dalam kegiatan-kegiatan eksploitasi dan pengolahan. Dan menurut cara penambangannya, masalah yang besar akan timbul pada penambangan dalam dan penambangan terbuka, termasuk cara pengerukan (dredging), jika kegiatan penambangan ini dilakukan tanpa menerapkan prinsip konservasi dan upaya rehabilitasi lahan. Menurut Wardoyo et al. (1999) UdalamU Rani (2004), dampak fisik akibat pertambangan pasir adalah: 1. Perubahan bentang alam Perubahan bentang alam merupakan dampak pertambangan yang terlihat jelas. Permukaan lahan ini akan mengakibatkan tingginya run off. Kondisi bentang alam sebelum pertambangan merupakan perbukitan yang rata-rata Kemiringannya adalah Setelah adanya kegiatan pertambangan kemiringan akan mencapai disertai lubang-lubang bekas galian. 14

8 2. Perubahan iklim mikro Kegiatan pertambangan pasir akan mengakibatkan perubahan arah angin, kecepatan angin, dan suhu. 3. Terganggunya habitat biologi Perubahan lahan dan hilangnya vegetasi akan mengakibatkan terganggu dan hilangnya habitat flora dan fauna. 4. Terganggunya jalur akuifer air tanah Pemotongan bukit akan mengganggu jalur akuifer air tanah. Akuifer air tanah merupakan sumber air tanah bagi masyarakat. 5. Berkurangnya produktivitas tanah Penurunan kualitas tanah akibat hilangnya lapisan top soil akan mengakibatkan kesuburan tanah berkurang. 2.4 Alih Fungsi Lahan Utomo, et al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan adalah alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di 15

9 Kelurahan Mulyaharja, Sihalaho (2004) memaparkan bahwa konversi lahan dipengaruhi dua faktor utama, yakni (1) faktor pada aras makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, dan marginalisasi ekonomi atau kemiskinan ekonomi, (2) faktor pada aras mikro yang meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi) Faktor Penyebab Konversi Lahan Konversi lahan pada umumnya dipengaruhi oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan perumahan. Secara umum, pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997). Konversi lahan erat kaitannya dengan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Rusli (1995) mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penduduk, rasio antara manusia dan lahan menjadi semakin besar, sekalipun 16

10 pemanfaatan setiap jengkal lahan sangat dipengaruhi taraf perkembangan kebudayaan suatu masyarakan. Pertumbuhan penduduk menyebabkan makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang Dampak Konversi Lahan Konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indicator kesejahteraan masyarakat desa (Furi, 2007). Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non pertanian (sektor informal). Menurut Munir (2008), dampak konversi lahan pertanian menjadi penambangan pasir dan batu di Desa Candimulyo, Wonosobo dapat dilihat pada berbagai kehidupan masyarakat berupa dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya kesejahteraan rumah tangga petani, tingkat keamanan yang meningkat, serta berkurangnya tingkat pengangguran karena banyaknya masyarakat yang pada awalnya menganggur ikut bekerja menjadi buruh penambangan pasir dan batu. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah perubahan sikap sebagian masyarakat selalu ingin mengambil bagian keuntungan dari orang lain dan dampak lingkungan yang menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak Produktifitas Lahan Produktifitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari usahataninya. Semakin rendah produktifitas lahan sawah, maka produk yang 17

11 dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah dan selanjutnya pendapatan yang diterima oleh petani akan semakin rendah. Rendahnya pendapatan petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktifitas lahan sawah akan menyebabkan petani memutuskan untuk mengkonversi lahan sawahnya dan beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non pertanian dipandang dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktifitas rendah (Utama, 2006). 2.5 Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Indonesia memilki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, namun bangsa Indonesia belum dapat menghargai/menilai sumberdaya alam ini secara benar dan semestinya. Nilai yang diberikan terhadap sumberdaya alam hanya sebatas nilai pasarnya dan nilai pasar ini pada umumnya didasarkan atas kegunaan dari sumberdaya alam tersebut. Akibatnya sumberdaya alam yang belum diapresiasi pasar memiliki nilai yang rendah, bahkan tidak bernilai sama sekali. Dan pada akhirnya masyarakat Indonesia menjadi kurang peduli atas sumberdaya alamnya,termasuk kondisi lingkungan. Pengelolaan sumberdaya alam selalu ditujukan untuk memperoleh manfaat, baik manfaat nyata (tangible benefits) maupun manfaat tidak nyata (intangible benefits). Untuk memahami manfaat sumberdaya alam ini, perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut. Nilai dari suatu barang atau jasa lingkungan sangat membantu seorang individu, masyarakat atau organisasi dalam mengambil keputusan (Ansahar, 2005). Sedangkan menurut Kramer et al. (1994) UdalamU 18

12 Handayani (2002), penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan sumberdaya alam yang semakin langka. Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai sumberdaya alam ini sangat bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup: apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilai dan sebagainya (Davis dan Johnson UdalamU Ansahar 2005). Terdapat hubungan timbal balik yang erat antara aktivitas ekonomi/pembangunan dan lingkungan. Kegiatan ekonomi/pembangunan menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Diperlukan apresiasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, agar daya dukung lingkungan terhadap pembangunan tidak menurun. Sumberdaya alam dan lingkungan (SDAL) menghasilkan barang yang dapat dikonsumsi langsung sebagai energi dan merupakan penyedia jasa lingkungan yang memberi bentuk manfaat lain yang berasal dari fungsi ekologis sistem lingkungan. Selain itu, SDAL memiliki manfaat potensial yang kemungkinan baru diketahui di masa yang akan datang dan perlu dipertahankan 19

13 keberadaannya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan kata lain, sumberdaya alam dan lingkungan memiliki fungsi ekonomis dan ekologis dan keduanya perlu diapresiasi untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. Nilai dari sumberdaya alam dan lingkungan merupakan total dari barang dan jasa yang perlu diapresiasi tersebut. Untuk kemudahan dalam menentukan nilai tersebut, diperlukan tolak ukur yang relatif mudah dan relatif dapat diterima dari berbagai sudut pandang keilmuan, yaitu harga. Ada tiga langkah yang dikemukakan oleh Ruitenbeek (1991) UdalamU Wawo (2000) dalam menilai suatu ekosistem secara ekonomi, yaitu: (1) identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem, (2) kuantifikasi segenap manfaat ke dalam nilai uang, dan (3) pilihan dan evaluasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung dalam ekosistem itu. Seperti dijelaskan sebelumnya, penentuan harga/nilai SDAL ini pada umumnya didasarkan pada nilai pasar. Nilai pasar untuk SDAL dapat dikatakan masih terlalu rendah. Oleh karena itu, penilaian ekonomi terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan biasanya dicerminkan dengan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total dianggap sama dengan manfaat bersih yang diterima individu dari sumberdaya alam dan lingkungan. 20

14 Nilai Ekonomi Total Nilai Penggunaan Nilai Non-Penggunaan Nilai guna langsung Nilai guna tidak langsung Nilai pilihan Nilai keberadaan Nilai warisan Gambar 1. Nilai ekonomi total Penjelasan mengenai komponen-komponen nilai ekonomi total: 1. Nilai Kegunaan Konsumtif (use value) Merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan dari sumber daya alam. Use value, seperti terlihat dalam gambar 1. terdiri dari : a. Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu dari pemanfaatan langsung sumberdaya alam dimana individu tersebut berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan. b. Nilai guna tak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. 2. Nilai Kegunaan Non Konsumtif ( non-use value) Merupakan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang muncul karena keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai ini lebih sulit untuk diukur karena didasarkan pada preferensi individual terhadap sumberdaya alam dan lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Non-use value, seperti terlihat dalam gambar terdiri dari: 21

15 a. Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai yang didasarkan pada terpeliharanya SDA tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut. b. Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai yang diberikan oleh generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang. Selain kedua manfaat tersebut ada juga nilai lain yaitu nilai pilihan (option value), yaitu nilai pemeliharaan SDAL untuk kemungkinan dimanfaatkan pada masa yang akan datang. Manfaat dari penentuan nilai ekonomi total adalah: (1) apresiasi yang tinggi terhadap SDAL, (2) merupakan data/informasi penting untuk menentukan kebijakan pengelolaan SDAL, (3) sebagai bahan analisis dalam menentukan proyek pemanfaatan SDAL. 2.6 Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Methode) Menurut Dewi (2006), metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi asset produktif yang rusak karena penurunan kualitas sumberdaya atau kesalahan pengelolaan. Biaya ini diperlukan sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan menunjukkan perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota-biota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek lain, misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat : Hilangnya tempat bertelur (spaning ground) 22

16 Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) Penurunan produktivitas primer diperairan. Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk nilai uang, maka hasil perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan. 2.7 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai penambangan pasir masih relatif sedikit jumlahnya. Penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ansahar (2005), mengenai valuasi ekonomi dan dampak lingkungan pada penambangan pasir darat di Tarakan. Dalam penelitiannya, Ansahar juga mencoba mengidentifikasi dampak dari kegiatan penambangan pasir darat dan menilainya. Terdapat perbedaan komponen biaya pengganti yang digunakan sebagai penilaian kerusakan lingkungan antara penelitian yang dilakukan Ansahar dengan penelitian ini. Ansahar menggunakan tiga komponen biaya pengganti, yaitu biaya dampak kualitas udara dan partikel debu; biaya penurunan tanaman produktif; dan biaya dampak erosi tanah, sedimentasi dan kerusakan lahan. Selain itu, penambangan pada penelitian Ansahar bersifat legal, sedangkan penambangan pasir di Kecamatan Tamansari bersifat liar dan tidak memiliki izin. Hasil dari penelitian Ansahar menunjukan bahwa nilai ekonomi dari aktifitas penambangan pasir lebih besar dibandingkan nilai kerusakan lingkungannya. Penelitian yang dilakukan Rani (2004) lebih menunjukan kepada pengaruh fisik akibat penambangan pasir, yaitu bagaimana kualitas tanah dan produktivitas lahan. Nilai dampak akibat penambangan pasir tidak diperhitungkan. 23

ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN

ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam,

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam, baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN

REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN REKLAMASI LAHAN BEKAS PENAMBANGAN PENDAHULUAN Masalah utama yang timbul pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi berdampak terhadap air tanah dan air permukaan. Perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran

BARANG TAMBANG INDONESIA II. Tujuan Pembelajaran K-13 Geografi K e l a s XI BARANG TAMBANG INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami kegiatan pertambangan. 2. Memahami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law. Pengertian Istilah bahasa inggris ; Mining law. Hukum pertambangan adalah hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan biji-biji dan mineralmineral dalam tanah. (ensiklopedia indonesia). Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa pada umumnya setelah manusia berhasil menguasai sebidang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II. K e l a s. C. Pertanian Organik

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II. K e l a s. C. Pertanian Organik Kurikulum xxxxxxxxxx2013 Geografi K e l a s XI KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batu Bara Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia (Gregory, 1983 disitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan ruang, mineral tentang alam, panas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam merupakan salah satu kekayaan alam yang harus tetap dijaga kelestariannya. Saat ini banyak daerah yang memanfaatkan sumber daya alamnya untuk

Lebih terperinci

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Pengertian Pertambangan Pertambangan adalah : 1. Kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, baik itu dalam hal politik maupun perkembangan ekonomi. Sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu sumber daya air harus dilindungi

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia

02/03/2015. Sumber daya Alam hayati SUMBER DAYA ALAM JENIS-JENIS SDA SUMBERDAYA HAYATI. Kepunahan jenis erat kaitannya dengan kegiatan manusia SUMBER DAYA ALAM (SDA) Kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kemaslahatan manusia SUMBER DAYA ALAM TIM ILMU LINGKUNGAN FMIPA UNSYIAH JENIS-JENIS SDA Sumber daya alam yang dapat diperbaharui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi.

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi. TINJAUAN PUSTAKA Fungsi Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Menurut fungsinya hutan mempunyai fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan yang mempunyai fungsi konservasi adalah kawasan hutan

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: -2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); Dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Banjir Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir Kegiatan penambangan galian C di Kecamatan Tamansari sudah berlangsung sejak sekitar 50 tahun

Lebih terperinci

KERUSAKAN LINGKUNGAN

KERUSAKAN LINGKUNGAN bab i KERUSAKAN LINGKUNGAN A. KONSEP KERUSAKAN LINGKUNGAN Kerusakan lingkungan sangat berdampak pada kehidupan manusia yang mendatangkan bencana saat ini maupun masa yang akan datang, bahkan sampai beberapa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL - 2 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2013 Nomor : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, sehingga dalam pengelolaannya harus sesuai dengan kemampuannya agar tidak menurunkan

Lebih terperinci

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3.

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3. GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 22 PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995) selama periode 1950-1980

Lebih terperinci

PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN

PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN PELINGKUPAN (SCOPING) DAMPAK LINGKUNGAN PERTAMBANGAN (Studi Kasus : Pertambangan Kapur dan Tanah Liat PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kecamatan Kayen dan Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia yang sangat melimpah

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia yang sangat melimpah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia yang sangat melimpah merupakan modal dasar pembangunan nasional dalam hal pengembangan wisata alam dan devisa Negara dari sektor

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup

Geografi PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I. K e l a s. xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013. A. Kerusakan Lingkungan Hidup xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUN BERKELANJUTAN I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut.

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memang diberi karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan sumberdaya alam yang kaya raya. Namun penyebaran sumberdaya alam di Indonesia tidak merata, hal ini sesuai

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa Jawa Barat memiliki endapan pasir besi yang berpotensi

Lebih terperinci

BAB I. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk sebesar-besarnya kemakmuran

BAB I. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, untuk sebesar-besarnya kemakmuran 1 BAB I A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara beriklim tropis yang secara geografis terletak digaris khatulistiwa dan kaya akan sumber daya alam dimana seluruh pengurusan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. Permukiman perlu ditata agar dapat berkelanjutan dan

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG A. Kondisi Lahan Bekas Tambang Batu bara merupakan salah satu sumber energi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Batu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN

CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN CARA PENGELOLAAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN keberadaan UU No.32 Tahun 2009 KHLS (Kajian Lingkungan hidup Strategis) Tata ruang Baku mutu lingkungan Kreteria baku kerusakan lingkungan Amdal UKL-UPL Perizinan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI,

MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, Keputusan Menteri Pertambangan Dan Energi No. 1211 k Tahun 1995 Tentang : Pencegahan Dan Penaggulangan Perusakan Dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum MENTERI PERTAMBANGAN DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertambahan penduduk telah meningkatkan kebutuhan terhadap sandang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertambahan penduduk telah meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk telah meningkatkan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan energi. Hal tersebut mengakibatkan eksploitasi terhadap sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pertambangan adalah bagian dari kegiatan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci