BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah patron berasal dari bahasa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah patron berasal dari bahasa"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patron Klien Teori ini hadir untuk menjelaskan bahwa dalam suatu interaksi sosial masing-masing aktor melakukan hubungan timbal-balik. Hubungan ini dilakukan secara vertikal (satu aktor kedudukannya lebih tinggi) maupun secara horizontal (masing-masing aktor kedudukannya sama). Istilah patron berasal dari bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132). Patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung pada zaman Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para klien secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka. Ikatan antara patron dan klien mereka bangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun (Pelras, 2009: 21). Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari sebuah ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosioekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi 10

2 seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Adapun arus patron ke klien yang dideteksi oleh Scott (1994) berkaitan dengan kehidupan petani adalah: 1. Penghidupan subsistensi dasar yaitu pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocoktanam. 2. Jaminan krisis subsistensi, yaitu patron menjamin dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh permasalahan pertanian (paceklik dll) yang akan mengganggu kehidupan kliennya 3. Perlindungan dari tekanan luar 4. Makelar dan pengaruh. Patron selain menggunakan kekuatannya untuk melindungi kliennya, ia juga dapat menggunakan kekuatannya untuk menarik keuntungan/hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas perlindungannya. 5. Jasa patron secara kolektif. Secara internal patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomisnya secara kolektif, yaitu mengelola berbagai bantuan secara kolektif bagi kliennya. Adapun pertukaran dari klien ke patron, adalah jasa atau tenaga yang berupa keahlian teknisnya bagi kepentingan patron. Adapun jasa-jasa tersebut berupa jasa pekerjaan dasar/pertanian, jasa tambahan bagi rumah tangga, jasa 11

3 domestik pribadi, pemberian makanan secara periodik. Bagi klien, unsur kunci yang mempengaruhi tingkat ketergantungan dan loyalitasnya kepada patron adalah perbandingan antara jasa yang diberikannya kepada patron dan dan hasil/jasa yang diterimannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan patron-klien itu menjadi sah dan legal. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana didalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Norma-norma tersebut akan bertahan jika patron terus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan dasar bagi klien. Usaha-usaha tersebut kemudian dianggap sebagai usaha pelanggaran yang mengancam pola interaksi tersebut karena kaum elit/patronlah yang selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut demi mempertahankan keuntungannya. Hubungan ini berlaku karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Peran ini ada berdasarkan fungsi masyarakat atau kelompok, ataupun aktor tersebut dalam masyarakat, sehingga apa yang terjadi adalah hubungan antar kedua posisi. Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola hubungan patron klien ini melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang terjadi kemudian legitimasi bukanlah 12

4 berfungsi linear dari neraca pertukaran itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada tuntutan dari pihak klien terhadap patronnnya untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran dan fungsinya. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi pola hubungan yang terjadi antara toke dengan petani kemenyan, apakah pola patron klien yang disebutkan Scott memang berlaku pada petani Pandumaan atau sudah mengalami pergeseran. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan patron klien dilakukan oleh Astuti (2012) yang berjudul Relasi Sosial Petani dengan Buruh Tani Dalam Produksi Pertanian. Penelitian ini mengkaji tentang relasi patron klien yang terjadi antara petani dengan buruh tani. Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Relasi yang yang terjalin antara petani dengan buruh tani dalam produksi pertanian tidak hanya relasi kerja melainkan relasi tersebut telah meluas pada relasi-relasi sosial yang berbeda-beda diantara petani dengan buruh tani. 2) Relasi sosial ini terjalin dalam berbagai bentuk yaitu relasi sosial petani dengan buruh tani bebas, relasi sosial petani dengan buruh tani langganan, dan relasi sosial petani dengan buruh tani tetap dan (3) Relasi sosial disini seakan sudah terpola dan sudah menjadi suatu kebiasaan yang terjadi secara turun temurun sejak lama. Adapun penelitian lainnya yang membahas hubungan patron klien berasal dari Kurniawan dan Kolega (2011). Hasil penelitian ini adalah : 1) Pola hubungan Petani karet dengan tauke yang terjadi pada masyarakat petani Desa Muara Musu adalah hubungan produksi dan saling menguntungkan. Dalam melakukan hubungan patron klien ini antara petani karet dengan tauke tidak saja bermotifkan 13

5 hubungan ekonomi, tetapi meluas hingga hubungan sosial. Umumnya terlihat pada kesediaan tauke untuk menjamin kebutuhan petani pada masa sulit misalnya: musim hujan dan kemarau yang panjang. Di sisi lain petani bersedia membantu tauke bila diperlukan tanpa mengharapkan imbalan apapun. 2) Kerjasama antarapetani karet dengan tauke berlangsung dalam proses produksi yang mana tingginya tingkat ketergantungan antara petani karet terhadap tauke karena didasarkan sama-sama mempunyai kepentingan. 2.2 Hubungan Eksploitatif Hubungan patron klien yang dilihat Scott sebagai melindungi yang lemah, bagi Popkin adalah suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah, yaitu tenaga kerja. Petani diberi kesempatan untuk hal-hal kecil seperti mencari butir-butir padi yang tersisa agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Pada hakekatnya, Popkin (dalam Kosala dan Kolega,2011) menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional. Namun, teori pilihan rasional juga tak berlaku dalam kasus dimana perhitungan perorangan secara mudah atas untung-rugi bukan model yang tepat dalam pembuatan keputusan petani, juga ketika masalah free- riders tidak signifikan mempengaruhi perilaku kolektif. Premis dasar terciptanya pola hubungan eksploitasi disebabkan oleh adanya stratifikasi sosial, yakni adanya perbedaan status diantara pelaku ekonomi. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Pihak yang mengeksploitasi semata- 14

6 mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka.. Kelompok dengan sumber daya yang melimpah dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi. Pertama, harus dilihat sebagai suatu hubungan antara perorangan, dan ada pihak yang mengeksploitasi dan dieksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Eksploitasi berbeda dengan resiprositas dalam hubungan patron klien. Resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa individu atau kelompok harus membantu mereka yang pernah membantunya atau jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima bagi si penerima menimbulkan satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakatmasyarakat tradisional (Scott, 1994). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaran yang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil (Hettne, 2001:289). Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengidentifikasi pola hubungan yang terjadi antara petani kemenyan dengan toke apakah termasuk pola yang 15

7 eksploitatif pada petani Pandumaan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan yang ekslpoitatif dilakukan oleh Purnamasari (2002:111) menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Hasil penelitian ini adalah: 1. Ponggawa dengan aset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas (timbal-balik). 2. Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, disamping hubungan ponggawa-petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat (berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu). Adapun penelitian yang masih berhubungan dengan pola eksploitatif adalah penelitian Alhada (2011) tentang konstruksi sosial buruh tani tembakau terhadap eksploitasi yang dilakukan majikannya di Desa Mayang, Kecamatan Mayang, KabupatenJember. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buruh tani yang bekerja keras setiap kali diminta untuk mengerjakan lahan pertanian milik majikan sangatlah pasrah terhadap keadaan yang ada. Tak ayalnya banyak sekali kita temui beberapa buruhtani bekerja sepanjang hari mendapat upah yang relatif minim. Pemberian upah yang tidak sebanding dengan kerja keras yang buruhtani 16

8 untuk menggarap lahan majikan ini nampaknya menimbulkan ketimpangan yang cukup berarti. Fenomena tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal misalnya: kuasa majikan yang cenderung bertindak sewenang-wenang, majikan menganggap bahwa posisi majikan lebih tinggi dibandingkan dengan posisi buruhtani, adanya pemikiran dari mayoritas buruhtani bahwa memang sudah sewajarnya buruh harus tunduk dan menuruti kemauan majikan tersebut merupakan suatu kesepakatan masyarakat di Desa Mayang dan tidak dapat diubah lagi. 2.3 Pola Mutualisme Pola mutualisme merupakan suatu bentuk hubungan yang dilakukan oleh dua orang yang mengutamakan keuntungan masing-masing dan dinilai setimpal atas apa yang dikerjakan. Popkin (dalam Kosala, 2011) mengungkapkan tentang rasional ekonomi petani. Petani adalah orang-orang kreatif yang penuh perhitungan rasional.ada beberapa perdebatan antara James Scott dan Samuel Popkin. Rasionalitas petani menurut Scott adalah moral ekonomi petani yang hidup di garis batas subsistensi, yaitu dengan norma mendahulukan selamat dan enggan mengambil resiko. Bagi Scott hal ini merupakan perilaku yang rasional.namun Popkin melihat bahwa fenomena tersebut jangan diartikan sempit. Itu hanya terjadi dalam kondisi mendesak saja, sehingga mereka akan lebih memprioritaskan diri dan keluarga mereka. Popkin yakin, pada hakekatnya petani terbuka terhadap pasar dan siap mengambil resiko, sepanjang kesempatan tersebut ada, dan hambatan dari pihak patron dapat diatasi.intinya, Popkin mengkritik Scott dan menyakini bahwa petani pada hakekatnya ingin meningkatkan 17

9 ekonominya dan berani mengambil resiko. Bahkan, bila kesempatan terbuka maka mereka ingin mendapatkan akses ke pasar. Mereka ingin kaya, dan mampu menerapkan praktek untung rugi. Rasionalitas petani akan lebih menonjol jika ditunjang oleh adanya independensi petani, karena mampu mendorong tumbuhnya kreativitas. Perpaduan antara rasionalitas dan independensi mampu menumbuhkan keberanian menghadapi resiko. Pola ini sesuai dengan teori Pilihan Rasional. Teori pilihan rasional Coleman (dalam Hariyanto,2014) merupakan tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional memusatkan perhatiannya pada aktor. Aktor dilihat sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor memiliki tujuan dan tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan tersebut. Aktorpun dipandang memiliki pilihan (nilai atau keperluan). Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang terpenting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Relevan dengan tindakan rasional tersebut, Coleman (dalam Hariyanto, 2014) mengembangkan melalui teori pilihan rasional yang menyatakan bahwa, tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Pernyataan Coleman bersumber dari akar pemikiran ilmu ekonomi yang melihat aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya, dan menyatakan bahwa basis minimal untuk sistem sosial 18

10 tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan, terlibat dalam sistem tindakan. Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang memberikan ciri saling bergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan mutualisme dilakukan oleh Hariyanto (2014) menunjukkan bahwa petani sebagai aktor dan lahan sebagai sumber daya yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Jadi, hubungan diantara keduanya adalah kuasa dan kepentingan (Coleman, 2011:37). Sumber daya yang dimiliki oleh seorang petani memiliki daya tarik sendiri bagi orang lain untuk memilikinya. Proses terbentuknya pilihan rasional dalam konteks ini yaitu ketika seorang petani menyewakan lahannya untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya seperti biaya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Lahan merupakan sumber daya yang dimiliki oleh petani yang mana petani memiliki kuasa dan kepentingan. Kuasa disini maksudnya petani pemilik lahan berhak untuk menggarap, menyewakan, atau bahkan menjual lahan tersebut untuk memenuhi kepentingan atau tujuannya. Ketika berbicara kepentingan, maka tidak semua sumber daya yang dimiliki petani bisa memenuhi kepentingannya. Masih ada beberapa sumber daya yang tidak dimiliki oleh petani dan dimiliki oleh orang lain sehingga untuk memilikinya diperlukan adanya pertukaran (transaksi) untuk memenuhi kepentingan dari masing-masing individu. Penyewaan lahan dilakukan karena petani sebagai pemilik lahan membutuhkan 19

11 uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sedangkan pihak penyewa membutuhkan lahan untuk memperluas lahan pertaniannya. Konsep ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi hubungan yang terjadi antara petani dengan toke. Apakah hubungan petani dengan kemenyan yang terjalin diantaranya hanya berdasarkan keuntungan saja atau mencari jaminan perlindungan dan subsistensi akibat sedikitnya bantuan yang diperoleh dari saudara mereka sendiri seperti yang dikatakan Scott (1994) dalam moral ekonomi petani. 2.4 Hutan Adat Hutan adat adalah kawasan hutan yang dijadikan hutan larangan melalui keputusan masyarakat atas dasar kesepakatan bersama (Alfitri,2010). Pengawasan kawasan ini dilakukan oleh ketua adat, kelompok marga sertakepala desa. Hutan adat dijadikan sebagai aset perekonomian yang bisa dimanfaatkan oeh masyarakat untuk melakukan kegiatan berladang guna memenuhi kepentingan ekonomi keluarga berupa kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan adat yang bukan berasal dari desa/ menikah dengan masyarakat adat di desa tersebut, terlebih dahulu harus melapor dan mendapat izin dari Ketua adat sebagai kepala pemerintahan marga. Hutan adat pada prinsipnya dikelola oleh pemerintahan marga dengan aturan sebagai berikut: 1. Semua keluarga yang ingin membuka hutan marga berhak atas pengelolaan lahan seluas kemampuan membabat hutan. Jika suatu keluarga mampu membuka lahan seluas dua hektar, tetap diizinkan oleh ketua adat. 20

12 2. Keluarga yang membuka hutan tidak boleh menanam tanaman keras dengan alasan bahwa tanaman tersebut berumur pendek, sehingga bisa dilakukan penggiliran bagi keluarga lain. 3. Hasil dari tanaman dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bukan untuk dijual atau memperoleh keuntungan ekonomi. 4. Hutan adat yang sudah beberapa tahun (empat sampai lima tahun berturut-turut) ditanam oleh masyarakat harus dihutankan kembali (dibiarkan menjadi hutan) agar tanah hutan menjadi subur kembali 5. Keluarga yang menggunakan hutan adat diwajibkan membayar pajak marga dalam satu tahun, jika ingin melanjutkan kembali diharuskan mengajukan pengusulan ulang kepada Ketua adat. 6. Keluarga yang melanggar aturan adat dapat dikenakan sanksi adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan oleh rapat dewan marga. Dari keenam prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa pengelolaan hutan adat masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Walaupun sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat adat, yaitu antara lain : a. Masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang luas dan dijaga keseimbangannya. 21

13 b. Adanya hak penguasaan atau kepemilikan bersama komunitas atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan. c. Adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalahmasalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumber daya hutan. d. Adanya sistem pembagian kerja dan penegakan hutan adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar. e. Ada mekanisme pemerataan distribusi hasil panen-panen sumber daya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Alfitri,2010). Menurut hasil penelitian Silaya (2008) menyatakan : 1) Masyarakat Desa Walakone masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeens-chap)karena memiliki ikatan-ikatan kekeluargaan seperti marga, mata rumah, soa, dll.2) Masyarakat desa ini memiliki kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adat,memiliki wilayah hukum adat yang jelas, pranata serta perangkat hukum, khususnyaperadilan adat, yang masih ditaati. Selain itu masyarakatnya masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhanhidup sehari-hari. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zoraya (2002) menyatakan: 1) Hutan Tana Toa diakui sebagai hutan adat yang berfungsi sebagai pengatur tata air, tempat pelaksanaan upacara adat (fungsi sosial) dan 2) menanam dua jenis pohon hingga tumbuh dengan baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat adat. 22

14 Kelestarian hutan dapat terjaga karena adanya patang yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat keamatoaan, adanya tokoh Amma Toa, ketegakan hukum, keteguhan dan ketaatan dalam melaksanakan ajaran pasang. Dengan demikian keberadaan hutan adat merupakan warisan secara turuntemurun dari leluhur marga mereka. Para leluhur, mewariskan hutan tersebut untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari para generasi mereka. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap ketersediaan sumber daya alam membuat masyarakat lokal sangat mematuhi aturan-aturan marga mereka terutama dalam hal pemanfaatan pepohonan (Wulandari dan Kolega,2010). 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Pola Hubungan Patron Klien Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989, hlm 1-18) melihat bahwa petani yang berada di daerah Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. seperti struktur dan sistem ekonomi. Namun, pengaruh internal juga sangat menentukan.

BAB II. Kajian Pustaka. seperti struktur dan sistem ekonomi. Namun, pengaruh internal juga sangat menentukan. BAB II Kajian Pustaka Umumnya bertumbuhnya ekonomi selalu dijelaskan lebih karena faktor eksternal seperti struktur dan sistem ekonomi. Namun, pengaruh internal juga sangat menentukan. Strategi utama yang

Lebih terperinci

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti Bab II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Patron Klien pada Masyarakat Petani Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti ayah (father). Karenanya, Ia adalah seorang yang memberikan perlindungan

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT KAMPUNG KUTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah Tuhan yang memiliki dan fungsi yang sangat besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat menjaga kesegaran udara

Lebih terperinci

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN Linayati Lestari, S.IP, MA Dosen Fisipol, Universitas Riau Kepulauan, Batam Bagi para peminat dan pengamat sosial, tentu sering menemukan beragam pola atau bentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara

BAB I PENDAHULUAN. Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini. difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak program pembangunan ekonomi yang berlangsung saat ini difokuskan pada pengembangan industrialisasi. Salah satu di antara pengembangan bidang industrialisasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri. Bangsal. Dalam perkembanganya norma, kepercayaan, resiprositas dan

BAB V PENUTUP. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri. Bangsal. Dalam perkembanganya norma, kepercayaan, resiprositas dan BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Dari analisis data pada bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Modal sosial memiliki peran penting dalam perkembangan industri batu bata, karena

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT * Oleh : Aladin Nasution DISTRIBUSI PEMILIKAN TANAH PERTANIAN Pemilikan tanah mempunyai arti penting bagi masyarakat pedesaan karena merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial juga makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dalam artian bahwa sesungguhnya manusia hidup dalam interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani dan didukung

Lebih terperinci

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 38 BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL 5.1 Pola Pemilikan Lahan Lahan merupakan faktor utama bagi masyarakat pedesaan terutama yang menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Pada masyarakat pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON

PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON PERATURAN DESA PATEMON NOMOR 03 TAHUN 2015 TENTANG TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR DESA PATEMON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA PATEMON Menimbang : a. bahwa Tata Kelola Sumber Daya Air Desa Patemon

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tradisi yang berkaitan dengan peristiwa kelahiran, kematian dan perkawinan, serta berbagai peristiwa lainnya ternyata banyak ragamnya. Bagi masyarakat Jawa berbagai

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG EKONOMI

PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG EKONOMI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TENTANG EKONOMI Konsep Aktor (ekonomi) Titik tolak analisis ekonomi adalah individu Individu adalah makhluk yang rasional, senantiasa menghitung dan membuat pilihan yang dapat memperbesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN PATRON KLIEN PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN PATRON KLIEN PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah garis khatulistiwa, hal tersebut menjadikan Indonesia beriklim tropis yang mempunyai dua musim (musim

Lebih terperinci

SISTEM BAGI HASIL PETANI PENYAKAP DI DESA KRAI KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG

SISTEM BAGI HASIL PETANI PENYAKAP DI DESA KRAI KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG Jurnal Pendidikan Ekonomi: Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, dan Ilmu Sosial 26 SISTEM BAGI HASIL PETANI PENYAKAP DI DESA KRAI KECAMATAN YOSOWILANGUN KABUPATEN LUMAJANG Mochammad Kamil Malik

Lebih terperinci

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 39 BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN 5.1 Penguasaan Lahan Pertanian Lahan pertanian memiliki manfaat yang cukup besar dilihat dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 51 BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN 6.1 Keragaman Penguasaan Lahan Penguasaan lahan menunjukkan istilah yang perlu diberi batasan yaitu penguasaan dan tanah.

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yuvenalis Anggi Aditya, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia pendidikan dewasa ini lebih menekankan pada penanaman nilai dan karakter bangsa. Nilai dan karakter bangsa merupakan akumulasi dari nilai dan karakter

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Moral Ekonomi Pedagang Kehidupan masyarakat akan teratur, baik, dan tertata dengan benar bila terdapat suatu aturan yang sudah disepakati dalam masyarakat tersebut. Salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan Tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai kaitan yg erat dg penegakan keadilan dlm masyarakat umumnya dan bisnis khususnya. Tanggung jawab sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial Kemampuan komunitas untuk mengatur individunya merupakan modal sosial (social capital) yang mampu membuat individu individu yang ada didalam komunitas tersebut berbagi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Budaya Feodalisme Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu berorientasi pada atasan, senior, dan pejabat untuk menjalankan suatu kegiatan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah BAB II TEORI DASAR Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Sistem Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah (Bab 2.1) Sistem Kepemilikan Tanah (Bab 2.2), Hukum Pertanahan Adat (Bab 2.3), dan Kedudukan Hukum Adat

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai Provinsi Kepulauan. Bangka

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai Provinsi Kepulauan. Bangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangka Belitung adalah daerah otonom yang resmi berdiri pada bulan november 2000 melalui UU No. 27 Tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Lebih terperinci

Kode Perilaku VESUVIUS: black 85% PLC: black 60% VESUVIUS: white PLC: black 20% VESUVIUS: white PLC: black 20%

Kode Perilaku VESUVIUS: black 85% PLC: black 60% VESUVIUS: white PLC: black 20% VESUVIUS: white PLC: black 20% Kode Perilaku 2 Vesuvius / Kode Perilaku 3 Pesan dari Direktur Utama Kode Perilaku ini menegaskan komitmen kita terhadap etika dan kepatuhan Rekan-rekan yang Terhormat Kode Perilaku Vesuvius menguraikan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan rumusan masalah pertama yakni mengenai kepemilikan sawah di Kecamatan Rengasdengklok pada tahun 1974-1998, dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. modal yang dimiliki melalui kegiatan tertentu yang dipilih. Suharto (2009:29) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Strategi Bertahan Strategi bertahan hidup menarik untuk diteliti sebagai suatu pemahaman bagaimana rumah tangga mengelola dan memanfaatkan aset sumber daya dan modal yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masyarakat dan kebudayaan merupakan hubungan yang sangat sulit dipisahkan. Sebab masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Untuk itu dalam rangka mempertahankan usahanya sales keliling menjalin

BAB V PENUTUP. Untuk itu dalam rangka mempertahankan usahanya sales keliling menjalin BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sales keliling sebagai pedagang ritel tradisional keberadaannya kian terancam oleh maraknya pasar modern yang dewasa ini semakin berkembang. Untuk itu dalam rangka mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Manusia pada hakikatnya adalah sebagai mahluk individu sekaligus mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial dimana manusia itu sendiri memerlukan interaksi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA, SUMBER PENDAPATAN DESA, KERJA SAMA DESA, LEMBAGA ADAT, LEMBAGA KEMASAYARATAN DAN

Lebih terperinci

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang

Pilihan Strategi dalam Mencapai Tujuan Berdagang Bab Dua Kajian Pustaka Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang berhubungan dengan persoalan penelitian tentang fenomena kegiatan ekonomi pedagang mama-mama asli Papua pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaannya diserahkan hukum adat (Pasal 1 UU No.41 tahun 1999). Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaannya diserahkan hukum adat (Pasal 1 UU No.41 tahun 1999). Masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan hukum adat (Pasal 1 UU No.41 tahun 1999). Masyarakat hukum adat tidak diakui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi.

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam penyediaan pangan, pangsa pasar, dan hasil produksi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sektor pertanian berpengaruh bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, terutama pada wilayah-wilayah di pedesaan. Sektor pertanian juga memegang peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan lain: Berdasarkan analisis pada Bab IV maka yang dapat disimpulkan oleh Penulis, antara 1. Harta buang merupakan salah satu dari sekian banyak adat istiadat di Selaru yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------ RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. (imperata cylindrical). Bukit Batu Agung merupakan area perladangan

BAB V PENUTUP. (imperata cylindrical). Bukit Batu Agung merupakan area perladangan BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Bukit Panjang merupakan bagian dari hamparan Bukit Batu Agung yang berada di Nagari Paninggahan dengan kondisi area yang didominasi oleh alangalang (imperata cylindrical). Bukit

Lebih terperinci

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 36 BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA 5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. petani ikan dan sebagainya. Menurut Loekman (1993:3) Besarnya fungsi sektor pertanian bagi masyarakat Indonesia tentu saja harus

BAB I PENDAHULUAN. petani ikan dan sebagainya. Menurut Loekman (1993:3) Besarnya fungsi sektor pertanian bagi masyarakat Indonesia tentu saja harus 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, baik bertani sayuran, padi, holtikultura, petani ikan

Lebih terperinci

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN

PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN PROGRAM RINTISAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PEREKONOMIAN KAWASAN BERBASIS IPTEK (KIMBIS) DI LAMONGAN Oleh : Budi wardono Istiana Achmad nurul hadi Arfah elly BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL JAMES S. COLEMAN DAN TEORI. KEBUTUHAN PRESTASI DAVID McCLELLAND. dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan tersebut.

BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL JAMES S. COLEMAN DAN TEORI. KEBUTUHAN PRESTASI DAVID McCLELLAND. dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan tersebut. BAB II TEORI PILIHAN RASIONAL JAMES S. COLEMAN DAN TEORI KEBUTUHAN PRESTASI DAVID McCLELLAND A. Konsep Rasional Untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat oleh peneliti, yaitu strategi bertahan hidup

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga

Lebih terperinci

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA 1 KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Mukadimah Negara-negara Pihak Kovenan ini, Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang diumumkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

Lebih terperinci

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA

BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA SALINAN BUPATI FLORES TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI FLORES TIMUR,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH

CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH Yang bertanda tangan di bawah ini: 1. ( n a m a ), ( u m u r ), ( pekerjaan ), ( alamat lengkap ), ( nomer KTP / SIM ), dalam hal ini bertindak atas nama diri

Lebih terperinci

BAB III PRAKTIK TEBUSAN GADAI TANAH SAWAH YANG DIKURS DENGAN REPES DI DESA BANGSAH

BAB III PRAKTIK TEBUSAN GADAI TANAH SAWAH YANG DIKURS DENGAN REPES DI DESA BANGSAH 39 BAB III PRAKTIK TEBUSAN GADAI TANAH SAWAH YANG DIKURS DENGAN REPES DI DESA BANGSAH A. Latar Belakang Obyek 1. Jenis pemanfaatan tanah No. Jenis pemanfaatan Luas 1. 2. 3. 4. 5. Tanah perumahan Tanah

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DESA.. KECAMATAN. KABUPATEN... NOMOR :... TAHUN 20... TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER AIR DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA Menimbang : a. bahwa sumber air sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Jaringan Sosial Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubunganhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian

BAB I PENDAHULUAN. peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara agraris. Sebagai negara agraris, salah satu peran pertanian bukan hanya menghasilkan produk-produk domestik. Sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA. Judul : Pola Ketergantungan Petani Penyewa terhadap Pemilik Tanah

LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA. Judul : Pola Ketergantungan Petani Penyewa terhadap Pemilik Tanah LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara untuk Petani Penyewa PEDOMAN WAWANCARA Nama : Sebastian R.S. Saragih NIM : 030901012 Judul : Pola Ketergantungan Petani Penyewa terhadap Pemilik Tanah (Studi Kasus di Desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia dan keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia mendapat julukan sebagai Macan Asia dan keberhasilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan Indonesia periode Orde baru menunjukkan hasil yang signifikan dalam beberapa bidang, mulai dari pengentasan kemiskinan, pembangunan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi,

I. PENDAHULUAN. Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan memiliki berbagai fungsi bagi kehidupan. Ditinjau dari aspek ekonomi, hutan memiliki peranan besar dalam perekonomian nasional, antara lain sebagai penghasil devisa

Lebih terperinci

PENGELOLAAN ENERGI SECARA TEPAT SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN STABILITAS EKONOMI NASIONAL

PENGELOLAAN ENERGI SECARA TEPAT SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN STABILITAS EKONOMI NASIONAL Paper ini merupakan contoh paper yang baik. Memuat footnote yang menjadi sumber bacaan si penulisnya. Disamping itu isi paper telah menghubungkan isi materi kuliah Hukum Ekonomi dengan tema/topik yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA BUPATI TULUNGAGUNG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB IV ANALISIS PENELITIAN BAB IV ANALISIS PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan tentang keberadaan masyarakat, status tanah, hak atas tanah, serta alat bukti hak atas tanah adat di Kampung Naga dan Kasepuhan Ciptagelar, sebagai

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, WALIKOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, BUPATI ALOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, penanaman modal

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2. 1 TAHUN 2002

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2. 1 TAHUN 2002 QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2. 1 TAHUN 2002 T E N T A N G I I ENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH

Lebih terperinci