Reformasi Regulasi Persaingan Usaha

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Reformasi Regulasi Persaingan Usaha"

Transkripsi

1 LAPORAN TAHUN 2007 Reformasi Regulasi Persaingan Usaha KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA Halaman 1 Laporan Tahun 2007

2 Halaman 2 Laporan Tahun 2007

3 B A B 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Reformasi Regulasi dalam prakteknya merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab dengan tindakan nyata yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, komitmen Pemerintah dituntut dalam peranannya sebagai Regulator. Sejalan dengan hal tersebut, KPPU terus mendorong Pemerintah untuk secara aktif mengembangkan reformasi regulasi terutama dalam mengeluarkan kebijakankebijakan yang langsung dapat mempengaruhi iklim usaha. Selain itu, reformasi regulasi juga diharapkan dapat menjadi suatu titik cerah dalam menciptakan kepastian dalam melakukan usaha yang sehat, dimana hal ini akan berdampak langsung terhadap pengembangan di bidang ekonomi agar dapat memberikan manfaat setinggi-tingginya bagi rakyat Indonesia, yang dilandasi oleh nilai-nilai positif persaingan usaha yang sehat. Istilah persaingan usaha yang sehat kini terasa semakin berkembang di tanah air. Tidak hanya bagi kalangan ahli hukum dan akademisi melainkan juga di kalangan masyarakat, perlahan tetapi pasti mulai memahami dan menyadari tujuan dan manfaat dari kelahiran UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Seperti yang telah diamanatkan undang-undang bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempunyai tugas untuk mengawasi dunia usaha di Indonesia guna menciptakan suatu iklim usaha yang sehat, dimana KPPU Halaman 3 Laporan Tahun 2007

4 mempunyai tugas dan tanggung jawab yang spesifik sebagai ujung tombak perencanaan dan pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha. Sepanjang tahun 2007, KPPU telah melaksanakan sejumlah program kerjanya dengan para anggota KPPU yang baru. Anggota KPPU yang bertugas untuk periode terdiri dari empat anggota KPPU periode sebelumnya dan sembilan anggota yang dipilih melalui proses seleksi. Ketiga belas anggota KPPU tersebut telah ditugaskan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59/P Tahun 2006 tanggal 12 Desember 2006 yang dituangkan dalam bentuk laporan tahunan. Laporan tahun 2007 difokuskan pada Reformasi Regulasi atau Regulatory Reform yang merupakan tema besar dalam pelaksanaan kegiatan KPPU. Reformasi regulasi dapat didefinisikan sebagai perubahan perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka perbaikan kinerja ekonomi, efektifitas biaya, serta administrasi pemerintahan. Bentuk reformasi dapat berupa revisi dan penataan ulang kerangka regulasi serta perbaikan proses yang mempertimbangkan 3 (tiga) kunci penggerak utama dalam reformasi regulasi, yaitu kebijakan pemerintah sebagai regulator, kebijakan persaingan, dan kebijakan keterbukaan pasar. Esensi reformasi regulasi adalah: Peningkatan kualitas regulasi melalui peningkatan kinerja, efektifitas biaya, kualitas regulasi, serta berbagai ketentuan formal lainnya. Reformasi berarti revisi, penghapusan, atau pembentukan tatanan regulasi berikut institusinya. Reformasi juga termasuk perbaikan kualitas penyusunan dan pembuatan kebijakan atau regulasi serta manajemen reformasi regulasi. Deregulasi merupakan bagian dari reformasi regulasi, yang berarti penghapusan sebagian dari perangkat regulasi untuk suatu sektor untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Halaman 4 Laporan Tahun 2007

5 Instrumen penting dalam reformasi regulasi terdiri atas: Deregulasi dan Privatisasi oleh Pemerintah (tingkat pusat dan daerah) untuk memaksimalkan efisiensi, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dari berbagai regulasi. Kebijakan Persaingan yang mencakup regulasi atau kebijakan perdagangan, industri, perpajakan, dan lain sebagainya dengan melibatkan pemerintah (departemen teknis terkait), regulator, serta otoritas pemerintah daerah. Hukum Persaingan Usaha yaitu UU No. 5/1999, dengan KPPU sebagai lembaga pengemban amanat undang-undang tersebut. Hukum persaingan usaha yang efektif diperlukan untuk menjamin terciptanya iklim persaingan usaha sehat. Dalam bidang kebijakan persaingan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam reformasi regulasi, diantaranya: Kebijakan persaingan dapat mendorong efisiensi dan mengeleminimasi aspekaspek yang menyebabkan hambatan persaingan. Tujuan dari kebijakan persaingan usaha yang terkait dan tidak terkait diharapkan dapat melindungi proses persaingan usaha yang terjadi dan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi. Kebijakan persaingan usaha dapat dijadikan sebuah mandat dalam melakukan advokasi untuk menginternalisasikan nilai-nilai persaingan dan meningkatkan efisiensi ekonomi, juga dapat meningkatkan kesadaran akan manfaat dari persaingan. Kebijakan persaingan dapat menciptakan iklim usaha yang sehat antara perusahaan yang dimiliki swasta maupun pemerintah. Berbagai indikator dan survei mengenai tingkat kondusifitas usaha serta hambatan birokrasi dalam hal perizinan semakin memperkuat dugaan bahwa dampak positif yang diharapkan muncul dari reformasi regulasi belum terasa di masyarakat. Bahkan pasca otonomi daerah, pengaturan regulasi serta retribusi di daerah dirasakan semakin memberatkan pelaku usaha dan masyarakat. Pada tingkat internasional, indikator global competitiveness index dan business competitiveness index Indonesia tahun 2006 juga mengindikasikan bahwa iklim untuk berusaha di Indonesia masih kurang kondusif. Posisi Indonesia ditinjau dari dua indikator dunia Halaman 5 Laporan Tahun 2007

6 usaha tersebut masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan sesama negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Sejalan dengan hal tersebut, masih ditemukan banyaknya sumber kebijakan Pemerintah yang belum sejalan dengan Undang-undang persaingan usaha tersebut antara lain karena kebijakan Pemerintah yang tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan yang jelas atau kebijakan yang belum selaras dengan semangat UU No. 5/1999. Dari pengamatan KPPU selama ini, kebijakan yang tidak selaras dengan UU No. 5/1999 dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kebijakan yang memberikan ruang lebih besar kepada pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau pelaku usaha tertentu. Kebijakan Pemerintah tersebut cenderung menciptakan entry barrier bagi pelaku usaha pesaingnya. Akibatnya muncul perilaku penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha tersebut. Kelompok kedua adalah kebijakan pemerintah yang memfasilitasi munculnya perjanjian antara pelaku usaha yang secara eksplisit bertentangan dengan UU No. 5/1999. Akibat dari munculnya perjanjian seperti itu, maka muncul perilaku anti persaingan dari pelaku usaha seperti menciptakan entry barrier dan pembatasanpembatasan kepada mitra yang melakukan perjanjian. Kelompok ketiga adalah kebijakan yang merupakan bentuk intervensi Pemerintah terhadap mekanisme pasar yang berjalan. Hal ini antara lain muncul dalam bentuk tata niaga atau regulasi yang membatasi jumlah pemain yang terlibat. Dilihat dari aspek persaingan, hal ini merupakan kemunduran, karena mencegah bekerjanya mekanisme pasar di sektor tersebut yang dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Pasar yang dibebaskan bersaing secara sehat dipercaya dapat memberikan banyak keuntungan dan peran Pemerintah diperlukan untuk mewujudkannya. Pada kasus tertentu, persaingan dapat berhasil dengan baik apabila Pemerintah tidak mengintervensi, apalagi bila intervensi yang terjadi cenderung menguntungkan segelintir pelaku usaha yang meraup keuntungan besar. Ironisnya, terkadang permasalahan dalam industri tersebut bersumber dari hal-hal di luar persoalan ekonomi, seperti penyelundupan. Sayangnya solusi yang diambil malah merusak Halaman 6 Laporan Tahun 2007

7 tatanan yang sudah berjalan dengan baik dan sesuai dengan mekanisme persaingan, contohnya adalah penanganan kebijakan industri gula. Kedepan, diharapkan melalui mekanisme reformasi regulasi yang sedang digulirkan saat ini akan menciptakan iklim perekonomian nasional yang lebih efisen dengan tujuan akhir adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 1.2 PENEGAKAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN DALAM KERANGKA REFORMASI REGULASI Pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama telah menghasilkan banyak kemajuan di berbagai bidang yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pembangunan ekonomi pada pembangunan jangka panjang pertama, namun menyisakan tantangan dan persoalan dalam sistem perekonomian nasional yang tidak lagi sesuai dengan kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha di dalam negeri, terlebih bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensi pada akhir era tahun 1990 yang telah memporakporandakan tatanan kehidupan yang telah dibangun dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Keinginan rakyat untuk keluar dari krisis ekonomi didukung dengan adanya reformasi dalam hukum, dimana salah satu upayanya adalah menata kembali regulasi dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik yang terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu. Cita-cita besar untuk dapat mewujudkan terciptanya persaingan usaha yang sehat diharapkan akan memberikan daya tarik kepada para investor baik dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi, dengan adanya investasi yang masuk ke Indonesia tentunya akan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan baru yang tentunya menjadi angin segar untuk mengurangi jumlah pengangguran yang angkanya cenderung meningkat. Dengan banyaknya pelaku usaha yang berinvestasi tentunya juga akan meningkatkan baik jumlah maupun pilihan terhadap barang dan atau jasa yang Halaman 7 Laporan Tahun 2007

8 tersedia di pasar dan masyarakat akan memiliki lebih banyak pilihan terhadap barang dan atau jasa dengan kualitas dan harga yang bersaing. Untuk menuju kepada terciptanya iklim usaha yang sehat, tentunya bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam hitungan hari, oleh karena itu dibutuhkan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat, termasuk pelaku usaha dan pemerintah. Adanya jaminan kepastian hukum merupakan salah satu penunjang dalam mencegah praktek-praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha yang akan meningkatan efisiensi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. KPPU sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat UU No. 5/1999 telah melakukan upaya penegakan hukum persaingan usaha sifatnya lebih menekankan kepada suatu permasalahan secara spesifik dalam industri atau pada pasar tertentu, misalnya mengenai masalah kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi, ritel, dan percetakan sekuriti, dengan mengurangi adanya hambatan-hambatan masuk dari pelaku usaha yang berada dalam posisi dominan bahkan menjadi monopolis di pasar bersangkutan. Saat ini merupakan waktunya untuk mengubah paradigma berpikir pemerintah dalam kerangka reformasi regulasi yang sebelumnya selalu menjadi penentu pasar menjadi pengatur saja dan persaingan diserahkan pada mekanisme pasar. Begitu juga dengan pola berbisnis pelaku usaha, perlu diberikan pemahaman bahwa banyak praktek-praktek bisnis yang selama ini mereka jalani dan yakini sebagai praktek bisnis yang lazim atau biasa menjadi suatu praktek bisnis yang dilarang semenjak disahkannya UU No. 5 /1999. Pemerintah selaku regulator, diharapkan dapat menelurkan sejumlah kebijakan yang sejalan dengan semangat persaingan yang sehat, hal ini diharapkan dapat menggerakan sektor ekonomi agar bisa berkembang dengan pesat. Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu kunci sukses bagi sistem ekonomi pasar yang wajar. Dalam implementasinya hal tersebut diwujudkan dalam dua hal, pertama melalui penegakan hukum persaingan, kedua melalui kebijakan persaingan yang kondusif terhadap perkembangan sektor ekonomi. Halaman 8 Laporan Tahun 2007

9 Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus jauh dari upaya mendistorsi pasar secara negatif, yang dapat mengakibatkan berbagai praktek bisnis yang tidak sehat dan akhirnya melahirkan iklim persaingan usaha yang tidak kondusif. Kedua hal tersebut harus bersinergi satu sama lain untuk menghasilkan sebuah iklim persaingan usaha yang sehat dalam ekonomi Indonesia. Motor bagi implementasi keduanya, dalam prakteknya dilakukan oleh lembaga persaingan, yang di Indonesia dipegang oleh KPPU sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5/1999. Terkait dengan upaya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam kebijakan pemerintah, KPPU selama ini memainkan perannya dengan senantiasa melakukan regulatory assessment dalam perspektif persaingan usaha, terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah ataupun lembaga regulator. Hasil dari aktivitas tersebut kemudian disampaikan kepada pemerintah atau lembaga regulator melalui proses advokasi dan harmonisasi kebijakan. Dalam hal inilah maka sebagian besar program KPPU senantiasa disinergikan dengan program-program pemerintah di sektor ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, kerangka sinergi program KPPU dengan agenda pemerintah, regulatory assessment difokuskan terhadap kebijakan dalam sektor yang memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya dalam sektor yang memiliki keterkaitan erat dengan pelayanan publik seperti telekomunikasi, pelabuhan, air minum, minyak goreng, buku pelajaran, pos, energi, kesehatan, dan transportasi. KPPU juga senantiasa melakukan assessment terhadap berbagai kebijakan tataniaga komoditas pertanian yang seringkali memberikan efek distorsi yang berdampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat, mengingat sektor pertanian sampai saat ini masih menjadi sektor di mana sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya. Penetapan sektor-sektor prioritas ini dilakukan untuk dapat mengoptimalkan peran KPPU dalam upaya mendorong lahirnya sektor ekonomi yang efisien yang dalam gilirannya akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan efektivitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan Halaman 9 Laporan Tahun 2007

10 terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Halaman 10 Laporan Tahun 2007

11 B A B 2 REFORMASI REGULASI DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN Rencana kerja pemerintah yang disusun dalam paket kebijakan ekonomi bertujuan untuk menentukan arah implementasi yang jelas terhadap kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM). Penjelasan tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian pada Seminar APEC OECD Integrated Checklist on Regulatory Reform yang diselenggarakan atas kerjasama KPPU dengan Sekretariat APEC pada tanggal 13 Juni 2007 di Jakarta. Reformasi regulasi didefinisikan sebagai perubahan perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas regulasi dalam rangka perbaikan kinerja ekonomi, efektifitas biaya serta administrasi pemerintahan. Bentuk reformasi dapat berupa revisi dan penataan ulang kerangka regulasi serta perbaikan proses penyusunan kebijakan yang mempertimbangkan 3 (tiga) kunci penggerak utama dalam reformasi regulasi yaitu kebijakan regulasi, kebijakan persaingan, dan kebijakan keterbukaan pasar dan dilakukan secara terintegrasi. Sejalan dengan konsep tersebut, maka dalam paket kebijakan ekonomi terbaru, yaitu Kebijakan Percepatan Perkembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UKM, pemerintah telah merancang kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian dalam bisnis dan meningkatkan insentif bagi investasi. Tujuan Halaman 11 Laporan Tahun 2007

12 utamanya adalah dapat meminimalkan hambatan regulasi bagi bisnis yang pada saat bersamaan juga mencapai tujuan pelayanan publik. Berdasarkan pengalaman yang ada, pendekatan ad hoc tidak dapat berjalan secara berkesinambungan berdasarkan dua alasan, yaitu birokrasi dan regulasi yang buruk. Strategi reformasi yang komprehensif dibutuhkan untuk hasil yang efektif dan berkelanjutan karena tantangan yang sesungguhnya akan dihadapi pada saat kebijakan tersebut mulai diimplementasikan. Sejauh ini, hambatan implementasi yang dihadapi adalah kepentingan golongan dan tekanan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat berjalan sendiri. Dukungan dari lembaga yang berwenang dalam implementasi kebijakan merupakan faktor penentu kebijakan tersebut berjalan sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu, tugas dan wewenang KPPU sangat berperan dalam meletakkan landasan pembangunan ekonomi yang konstruktif. Interaksi aktif di bidang ekonomi dan kerjasama antara KPPU dan pemerintah untuk masa mendatang sangat diperlukan bagi keberhasilan bersama KEBIJAKAN PERSAINGAN Berdasarkan program yang dikembangkan tahun-tahun sebelumnya, program kebijakan persaingan di tahun 2007 tidak jauh berbeda. Dalam tahun 2007 program kebijakan persaingan usaha antara lain meliputi kegiatan harmonisasi kebijakan yang ditujukan untuk menjalin kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah untuk memudahkan proses internalisasi nilai-nilai persaingan usaha dalam kebijakan pemerintah. Melalui kegiatan ini, diharapkan UU No. 5/1999 dapat menjadi konsideran pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan di sektor ekonomi. Kegiatan harmonisasi terdiri dari 3 (tiga) sub kegiatan yaitu membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan, evaluasi kebijakan pemerintah, dan pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah. Sub kegiatan membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan ditujukan untuk membangun mekanisme baku koordinasi antara KPPU dengan instansi Pemerintah dan lembaga regulator terkait dengan kebijakan persaingan. Sementara evaluasi kebijakan pemerintah ditujukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam perspektif persaingan usaha. Sub kegiatan yang merupakan tugas utama KPPU Halaman 12 Laporan Tahun 2007

13 yakni pemberian saran pertimbangan kepada pemerintah. Sub kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari beberapa hasil aktivitas KPPU seperti monitoring pelaku usaha, penanganan perkara, kajian sektor industri dan perdagangan, serta evaluasi kebijakan pemerintah. Dalam program kebijakan persaingan juga terdapat kegiatan kajian sektor industri dan perdagangan. Kegiatan ini ditujukan untuk menganalisis kondisi sebuah sektor industri dan perdagangan dilihat dari perspektif persaingan usaha. Selain itu, untuk memperluas pemahaman terhadap prinsip-prinsip persaingan usaha, khusus untuk tahun 2007 KPPU melakukan eksplorasi terhadap prinsip-prinsip dasar pengecualian yang terdapat dalam UU No. 5/1999. Fokus ketiga dalam program kebijakan persaingan adalah kegiatan pengembangan pranata hukum persaingan usaha yang ditujukan untuk mendukung implementasi tugas KPPU baik dalam penegakan hukum maupun pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Kegiatan pengembangan pranata hukum yang dilaksanakan sampai dengan pertengahan tahun anggaran 2007 antara lain meliputi penyusunan pedoman pelaksanaan UU No. 5/1999 dan pembahasan amandemen UU tersebut. Penyusunan pedoman pelaksanaan UU No. 5/1999 adalah salah satu tugas KPPU sebagaimana diamanatkan UU No. 5/1999 dalam Pasal 35 huruf f. Pedoman pelaksanaan bertujuan memberikan pengertian yang jelas sehingga dapat dijadikan dasar pemahaman atas suatu substansi ketentuan pengaturan dalam UU No. 5/1999. Melalui pedoman tersebut diharapkan terdapat persamaan persepsi dari seluruh stakeholders UU No. 5/1999 terhadap substansi yang diatur dalam UU tersebut. Kegiatan pembahasan amandemen UU No. 5/1999 dimaksudkan untuk menggali masukan-masukan dari berbagai pihak atas usulan amandemen yang telah disiapkan pada tahun sebelumnya. Dalam tahun 2007 ini pembahasan diharapkan paling tidak telah menyelesaikan koreksi-koreksi yang terkait dengan permasalahanpermasalahan yang paling mengganggu dalam implementasi UU No. 5/1999. Halaman 13 Laporan Tahun 2007

14 2.2. HARMONISASI KEBIJAKAN Harmonisasi kebijakan persaingan merupakan salah satu program utama KPPU untuk mendorong terjadinya reformasi regulasi menuju terciptanya kebijakan persaingan yang efektif di Indonesia. Melalui kegiatan ini diharapkan internalisasi nilai-nilai persaingan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah maupun lembaga regulator dapat dilakukan dengan lebih mudah. Fakta memperlihatkan bahwa sebagai akibat dari proses harmonisasi tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2007 beberapa instansi pemerintah secara intensif melakukan koordinasi dengan KPPU terkait dengan isu persaingan dalam beberapa sektor yang diaturnya. Harmonisasi kebijakan memiliki 3 (tiga) sub kegiatan yakni membangun sistem koordinasi kebijakan persaingan, evaluasi kebijakan pemerintah, serta pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah. I. Membangun Sistem Koordinasi Kebijakan Persaingan Berbagai bentuk partisipatif dan koordinatif KPPU dengan beberapa instansi pemerintah dan lembaga regulator, memperlihatkan bahwa proses harmonisasi kebijakan persaingan berlangsung dengan baik. Sampai dengan bulan Desember tahun 2007 beberapa aktivitas koordinasi kebijakan persaingan yang dilakukan oleh KPPU antara lain: 1. KPPU sebagai otoritas pengawas persaingan dilibatkan oleh pemerintah dalam proses penyusunan RPP Penataan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern yang dikoordinir oleh Departemen Perdagangan. Penyusunan RPP ini sebagai bentuk respon pemerintah terhadap perkembangan dalam industri ritel yang melahirkan persaingan tidak sebanding antara ritel kecil atau tradisional dengan ritel modern. Dalam hal ini KPPU memberikan masukan terhadap substansi penyusunan RPP tersebut berdasarkan hasil kajian KPPU terkait industri ritel serta dua penanganan perkara dalam industri ritel yakni kasus Indomaret yang terkait dengan permasalahan ritel modern dan ritel tradisional dan kasus Carrefour yang terkait dengan permasalahan hubungan ritel modern dengan pemasok. Halaman 14 Laporan Tahun 2007

15 2. Secara berkesinambungan KPPU juga terlibat sebagai bagian utama dari tim negosiasi perjanjian ekonomi (economic agreement) antara Indonesia dengan negara lain, khususnya terkait dengan substansi persaingan. Peranan KPPU dalam tim tersebut bertambah besar dengan munculnya kepercayaan untuk menjadi leader (pemimpin) negosiasi terkait dengan isu kebijakan persaingan. Beberapa progran yang melibatkan KPPU dalam proses perjanjian tersebut di tahun 2007 antara lain keterlibatan Indonesia dalam sub-fora CTI APEC, kemudian negosiasi ASEAN-Australia-New Zealand, serta keterlibatan dalam Trade Policy Review Meeting di WTO. 3. Terkait dengan kebijakan pengadaan barang dan jasa, KPPU melakukan koordinasi dengan beberapa instansi pemerintah dalam hal kebijakan pengadaan barang dan jasa milik pemerintah. Terdapat beberapa bentuk harmonisasi yang dilakukan. Secara khusus beberapa instansi mencoba berdiskusi dengan KPPU tentang persekongkolan tender yang bertentangan dengan UU No. 5/1999. Hal ini misalnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI. Di sisi lain, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang saat ini sedang berupaya melakukan perbaikan terhadap regulasi pengadaan barang dan jasa juga melibatkan KPPU untuk mendapatkan masukan terhadap kebijakan tersebut dalam perspektif persaingan usaha. 4. Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi kebijakan pemerintah dalam industri jasa konstruksi, proses harmonisasi antara KPPU dengan Departemen Pekerjaan Umum (DPU) terus dilaksanakan. DPU cukup responsif terhadap beberapa temuan KPPU, dan menjadi masukan penting bagi mereka dalam menyiapkan rancangan perubahan terhadap PP No. 20 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. Melihat nilai strategis dari prinsip-prinsip persaingan usaha, DPU juga berencana memasukkan KPPU sebagai salah satu instansi yang akan dilibatkan dalam proses pembekalan calon anggota Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) baik nasional maupun di daerah. 5. KPPU bersama dengan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) telah melakukan koordinasi terkait dengan persoalan penetapan fee penjaminan emisi sekuritas. Hal ini seiring dengan mencuatnya persoalan perang fee Halaman 15 Laporan Tahun 2007

16 yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa sekuritas di pasar modal. Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) mendesak Bapepam untuk menetapkan batas bawah tarif sebagai cara untuk meredam perang tarif yang dianggap sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat. Berkaitan dengan hal tersebut, KPPU memberikan pandangan kepada Bapepam bahwa batas bawah memiliki kecenderungan bertentangan dengan prinsip persaingan karena akan mereduksi kapabilitas pelaku usaha melakukan value creation berbasis efisiensi yang akan bermuara pada rendahnya fee penjaminan emisi. KPPU menyarankan agar Bapepam menggunakan instrumen lain untuk mendorong sehatnya industri efek dengan mengedepankan profesionalitas dan kesehatan perusahaan. 6. Sehubungan dengan munculnya berbagai wacana yang mengaitkan harga tiket dengan keselamatan penerbangan, Departemen Perhubungan bersama KPPU terlibat dalam dialog mengenai pengaturan tarif batas bawah. Dalam hal ini KPPU tetap menegaskan bahwa permasalahan keselamatan penerbangan angkutan udara Indonesia lebih terkait dengan proses penegakan peraturan teknis keselamatan daripada permasalahan tarif. Solusi terbaik adalah menegakkan peraturan keselamatan penerbangan dengan konsekuensi. Saat ini pemerintah secara intensif telah melakukan perbaikan yang signifikan dalam penegakan peraturan penerbangan, terutama keselamatan. 7. KPPU masih terus melakukan kerjasama yang erat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya Komisi VI, melalui mekanisme rapat dengar pendapat. Melalui kegiatan ini, KPPU mendapatkan masukan dari DPR berkaitan dengan perilaku persaingan usaha tidak sehat dan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan UU No. 5/1999 yang berada dalam sektor yang merupakan ruang lingkup kerja Komisi VI. Forum yang sama juga menjadi tempat bagi KPPU untuk menyampaikan berbagai penanganan kasus persaingan serta analisa kebijakan yang telah dilakukan oleh KPPU. Halaman 16 Laporan Tahun 2007

17 II. Evaluasi Kebijakan Pemerintah dalam Perspektif Persaingan Usaha Kegiatan ini merupakan upaya KPPU untuk menganalisis substansi kebijakan dalam perspektif persaingan usaha. Hal ini terkait dengan munculnya kekhawatiran bahwa terdapat beberapa kebijakan yang menjadi sarana bagi lahirnya perilaku pelaku usaha yang bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat sebagaimana tercantum dalam UU No. 5/1999. Kegiatan evaluasi kebijakan pemerintah di tahun 2007 berjumlah 14 (empat belas) kegiatan, dengan penjelasan garis besar masing-masing kegiatan sebagai berikut: 1. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Sektor Industri Perbukuan Evaluasi ini merupakan inisiatif KPPU setelah KPPU menerima Menteri Pendidikan Nasional dalam diskusi tentang industri perbukuan yang telah diubah model pengelolaannya dari monopoli menuju kompetisi. Berbagai kalangan menilai bahwa harga buku masih dirasakan sangat mahal oleh masyarakat. Berbagai usulan perbaikan bermunculan, salah satunya adalah dengan mengembalikan pengelolaan perbukuan ke dalam bentuk tata niaga. Hal ini dipandang sebuah kemunduran oleh Menteri Pendidikan Nasional. Mencermati hal tersebut kemudian KPPU melakukan evaluasi terhadap kebijakan perbukuan nasional. Dari sisi pengaturan KPPU melihat bahwa regulasi sudah selaras dengan persaingan usaha, tetapi implementasinya yang masih jauh dari harapan. Secara umum berikut adalah beberapa temuan KPPU: a. Terdistorsinya sistem ideal yang diinginkan pemerintah. Jejaring distribusi yang seharusnya penerbit distributor toko buku konsumen terdistorsi menjadi penerbit kepala sekolah guru siswa (konsumen), penerbit kepala dinas kepala sekolah guru siswa (konsumen), dan penerbit guru siswa (konsumen). Distorsi tersebut menyebabkan persaingan usaha yang sehat dalam sistem ideal yang diinginkan pemerintah terhambat. Persaingan yang seharusnya berujung pada efisiensi industri buku dengan muara akhir buku yang berkualitas dan murah, tidak terjadi. Efisiensi dalam industri Halaman 17 Laporan Tahun 2007

18 buku hanya berujung pada upaya kolusif dengan memberikan komisi sebesar-besarnya bagi pejabat dan atau pelaksana pendidikan nasional (kepala sekolah, guru, kepala dinas, dan beberapa pejabat pendidikan lainnya). b. Lemahnya kebijakan yang antara lain muncul dalam bentuk definisi pasar yang tidak tegas menyatakan toko buku, sehingga pengertian pasar menjadi multi interpretatif sesuai kepentingan masing-masing pihak terkait. Penerbit menyatakan bahwa pasar adalah konsumen akhir, sehingga tidak menjadi masalah ketika penerbit mendistribusikan ke sekolah. Kelemahan kebijakan lainnya terletak pada tidak adanya peraturan pelaksana (baik petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis). Akibat kondisi ini, maka pengaturan sistem ideal yang diinginkan pemerintah berhenti pada tataran kebijakan saja, dengan implementasi yang hampir tidak ada. c. Lemahnya implementasi yang disebabkan oleh beberapa permasalahan antara lain tidak tersedianya sarana dan prasarana untuk mengimplementasikan sistem ideal dalam hal ini minimnya toko buku. Kelemahan lainnya terletak pada pengawasan implementasi kebijakan yang berada pada tataran minimal. Tidak jelas siapa yang harus menjadi pengawas sekaligus memberikan sanksi bagi pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, pelanggaran terjadi dengan masal. Beberapa pihak bahkan memahami pelanggaran tersebut dengan mendalilkan rendahnya kesejahteraan guru. Akibat kondisi tersebut, sistem sanksi pun menjadi tidak jelas sehingga tidak mengherankan apabila pelanggaran terjadi dengan masif. d. Kebijakan harga buku saat ini dengan yang menyerahkannya kepada mekanisme pasar di mana para penerbitlah yang menetapkan harga buku dianggap tidak tepat, sekalipun dengan kewajiban penerbit untuk mencetak harga buku pada sampul sebagai Harga Eceran Tertinggi Halaman 18 Laporan Tahun 2007

19 (HET). Hal ini disebabkan buku merupakan komoditas publik dengan pasokan yang relatif terbatas dengan struktur industri yang cenderung mengarah ke oligopoli. Akibatnya potensi pengaturan harga yang excessive oleh pelaku usaha sangat besar. Dalam perspektif persaingan, umumnya kebijakan yang tepat untuk kondisi tersebut adalah dengan intervensi pemerintah melalui penetapan HET, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya eksploitasi konsumen (siswa). Dalam konsep HET, persaingan tetap terjadi karena ruang bagi pelaku usaha yang efisien tetap terjaga. e. Terdapat potensi persaingan usaha tidak sehat sebagai akibat dari distorsi sistem, serta tidak adanya pengawasan dan sanksi yang memadai. Potensi muncul dalam bentuk kartel penerbit yang justru banyak difasilitasi pejabat pemerintah. 2. Evaluasi terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Pos Evaluasi kebijakan ini merupakan inisiatif KPPU terkait dengan upaya pihak eksekutif dan legislatif untuk melakukan amandemen terhadap UU No. 6/1984 tentang Pos. Secara umum, substansi pengaturan yang ada baik dalam UU No. 6/1984 maupun dalam RUU Pos banyak berhubungan dengan persaingan usaha. Hal tersebut antara lain menyangkut terjadinya perubahan model pengelolaan dari monopoli menuju kompetisi. Melalui evaluasi kebijakan ini diharapkan KPPU dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait dengan reformasi regulasi pos diantaranya melalui amandemen terhadap UU No. 6/ Evaluasi Kebijakan Industri Kelapa Sawit Evaluasi kebijakan ini dilakukan sebagai respon KPPU terhadap kondisi aktual dalam industri Crude Palm Oil (CPO), di mana beberapa petani kelapa sawit mengeluhkan adanya pembatasan pabrik tanpa kebun yang menyebabkan mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual kelapa sawitnya. Sementara di sisi lain, perkebunan besar yang juga memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit mengeluhkan maraknya pabrik kelapa sawit tanpa Halaman 19 Laporan Tahun 2007

20 kebun yang justru kontraproduktif karena dianggap menggerogoti kinerja mereka. 4. Evaluasi Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Milik Pemerintah Mengingat kegiatan pengadaan barang/jasa melibatkan anggaran yang sedemikian besar dalam APBN/APBD, maka pelaksanaan pengadaan barang/jasa perlu dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Untuk menjamin hal tersebut, maka pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa menjadi sangat penting. KPPU selama ini telah menindak berbagai praktek kolusi dalam tender yang dapat berdampak negatif terhadap hasil dari kegiatan pengadaan. Upaya meningkatkan efektifitas pengadaan barang atau jasa tersebut tidak hanya dilakukan oleh KPPU melalui penangan perkara, namun juga melalui upaya pembenahan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dan kebijakan persaingan usaha perlu disinergikan dan dioptimalkan dalam rangka menciptakan pengadaan barang atau jasa yang efektif dan efisien. 5. Evaluasi Kebijakan Pemerintah Dalam Industri Jasa Konstuksi Evaluasi kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari hasil evaluasi kebijakan sebelumnya yang memperlihatkan bahwa persaingan usaha tidak sehat dalam industri jasa konstruksi, banyak dilatarbelakangi oleh penyalahgunaan terhadap kebijakan jasa konstruksi khususnya peran LPJK sebagai regulator dalam industri jasa konstruksi. Evaluasi juga dilakukan mengingat saat ini pemerintah tengah berupaya untuk melakukan perubahan PP No. 20 Tahun 2000 tentang usaha dan peran masyarakat jasa konstruksi di mana di dalamnya terdapat upaya untuk mengakomodasi beberapa temuan KPPU bahwa kebijakan jasa konstruksi banyak memfasilitasi terjadinya pelanggaran melalui pengaturan-pengaturan oleh pelaku usaha. 6. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Bahan Bakar Minyak Evaluasi kebijakan pemerintah di industri BBM pada tahun 2007 membahas mengenai implementasi dari UU No. 22 Tahun 2001 khususnya yang berkaitan dengan isu pembukaan pasar BBM. Ada dua hal yang dikaji dalam Halaman 20 Laporan Tahun 2007

21 evaluasi ini, yaitu mengenai pembukaan pasar BBM bersubsidi yang ditenderkan pada tahun 2007 serta pembukaan pasar avtur. Pemerintah saat ini telah mempersiapkan tahapan pembukaan pasar hilir migas, namun belum terlaksana seutuhnya. Perencanaan pentahapan pembukaan pasar menjelaskan bahwa secara perlahan BBM subsidi akan dikurangi. Mengenai rencana ini, ada hambatan yang dialami karena pasar BBM subsidi mencakup kepentingan orang banyak dan infrastruktur yang tersedia hanya dimiliki oleh Pertamina. Pelaku usaha di sisi hilir migas pada prinsipnya akan bertambah, akan tetapi hambatan yang seringkali timbul dan dirasakan pelaku usaha baru adalah belum jelasnya aturan main yang dikeluarkan oleh regulator sehingga mereka cenderung menunggu. Evaluasi kebijakan ini perlu dilanjutkan untuk mengawasi: a. Implementasi paska dikeluarkan aturan avtur oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). b. Implementasi kebijakan tender untuk Bahan Bakar Minyak Public Service Obligation (BBM PSO) yang juga akan direncanakan oleh BPH Migas. c. Isu perubahan Peraturan Pemerintah di sektor hilir migas selaku aturan yang menyempurnakan UU No. 22/2001 setelah diubah oleh Mahkamah Konstitusi. 7. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Telekomunikasi Secara umum permasalahan kebijakan kompetisi di sektor telekomunikasi antara lain adalah belum siapnya pemerintah Indonesia selaku regulator penyelenggaraan telekomunikasi untuk mengantisipasi perubahan bisnis telekomunikasi sehingga kebijakan sering tidak konsisten dan tidak sesuai dengan UU No. 5/1999. Ketidaksiapan kerangka hukum dan regulasi yang ada sehingga tidak mampu mengantisipasi perubahan bisnis dan teknologi telekomunikasi untuk mendorong kompetisi yang sehat dan menarik investor. Di sisi lain, para pemain baik operator incumbent maupun operator baru belum mempertimbangkan adanya aspek persaingan sehingga diperkirakan akan menimbulkan kecurangan-kecurangan yang bisa menghambat iklim persaingan usaha yang sehat. Halaman 21 Laporan Tahun 2007

22 Beberapa indikator/kecenderungan dalam industri telekomunikasi di Indonesia meliputi: a. Pertumbuhan yang berlanjut. Industri telekomunikasi akan terus tumbuh, karena kelanjutan pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan akan meningkatkan permintaan akan layanan telekomunikasi; b. Migrasi ke jaringan nirkabel. Layanan nirkabel akan semakin populer sebagai akibat dari semakin luasnya area cakupan dan membaiknya kualitas jaringan nirkabel, menurunnya biaya pesawat telepon genggam, dan meluasnya layanan prabayar; c. Meningkatnya persaingan. Pasar telekomunikasi akan semakin kompetitif sebagai akibat dari reformasi peraturan pemerintah. Berdasarkan situasi tersebut, maka KPPU perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan pemerintah di sektor telekomunikasi agar dapat sejalan dengan prinsip persaingan usaha. 8. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Minyak Goreng Evaluasi kebijakan terhadap industri minyak goreng bertujuan untuk mengidentifikasi keragaan pasar dan menganalisis kinerja pasar hulu (bahan baku minyak goreng sawit) industri minyak goreng sawit di Indonesia serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah dalam upaya stabilisasi harga minyak goreng sawit di pasar domestik terhadap keragaan dan kinerja pasar hulu dan industri minyak goreng sawit di Indonesia. Beberapa data dan informasi yang akan menjadi bahan analisis diantaranya mengenai Perkembangan volume produksi tandan buah segar, Crude Palm Oil (CPO), dan minyak goreng sawit; perkembangan volume ekspor CPO ke pasar luar negeri; perkembangan volume kebutuhan CPO untuk pasar domestik khususnya yang digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit; pergerakan harga CPO di pasar domestik dan internasional; pergerakan harga minyak goreng sawit di pasar domestik dan internasional; kebijakan pemerintah dalam industri CPO dan minyak goreng sawit. Halaman 22 Laporan Tahun 2007

23 Hasil evaluasi mengahasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan stabilisasi harga minyak goreng dengan instrumen kebijakan jangka pendek (Domestic Market Obligation, Pajak Ekspor, Subsidi, Bebas PPN) perlu didukung dengan instrumen kebijakan industri dan perdagangan yang lebih strategis. 2. Perlu dilakukan kajian lebih mendalam dan monitoring terhadap dugaan praktek usaha yang mengarah pada pengaturan dan pengendalian produksi yang diindikasikan dengan rendahnya tingkat utilisasi pabrik minyak goreng sawit nasional yang berkisar pada tingkat utilisasi pabrik sebesar 25 persen s/d 49 persen. 9. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Air Minum Sektor air minum merupakan sektor natural monopoly dan memiliki karakteristik public service obligation (PSO). Pengelolaan sektor air minum dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah) yang kemudian dapat didelegasikan kepada BUMN/BUMD. Berbagai keterbatasan yang dimiliki PDAM selaku pengelola tunggal sektor air minum, menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan dan kinerja perusahaan. Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pengelolaan air minum selama ini, maka Pemerintah mencoba melakukan peningkatan partisipasi swasta dalam pembangunan sektor air minum. Terdapat beberapa bentuk kerjasama dengan sektor swasta antara lain service contract, management contract, lease contract, BOT contract, dan konsesi. Dari hasil evaluasi kebijakan tersebut diperoleh beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Pemilihan mitra kerjasama PDAM untuk pengelolaan SPAM harus dilakukan melalui proses lelang/tender secara terbuka dan kompetitif; 2. Dari berbagai bentuk (model) kerjasama yang tersedia, model divestasi tidak diperkenankan karena bertentangan dengan peraturan perundangan SDA; 3. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa PDAM yang bekerjasama dengan mitra swasta dalam pengelolaan SPAM. Untuk ke depannya, Halaman 23 Laporan Tahun 2007

24 terdapat sekitar proyek kerjasama SPAM yang akan ditenderkan oleh pemerintah; 4. Kerjasama pengelolaan yang tidak melalui tender sebelum lahirnya UU NO 16/2004 tentang SDA tetap berlaku; 5. Proses penunjukkan langsung (kasus PAM Jaya dan PT. ATB Batam) mengindikasikan bahwa proses tersebut berpotensi menimbulkan permasalahan di tingkat implementasi. Dalam hal ini, penunjukan langsung mitra kerjasama dapat berdampak kepada timbulnya praktek monopoli dan atau penyalahgunaan posisi dominan oleh operator yang bersangkutan. Paling tidak, diperlukan penyesuaian terhadap PKS untuk lebih menyeimbangkan kepentingan komersial dan kepentingan pelayanan publik; 6. Pengaturan penetapan tarif air minum sudah tepat, yaitu dengan melibatkan stakeholder (konsumen dan legislatif) serta melalui usulan regulator/direksi PDAM. Namun dalam implementasinya tidak ada transparansi informasi dalam menetapkan tarif air minum. Keterlibatan stakeholder dalam prakteknya hanya sebatas pemberitahuan tentang rencana kenaikan tarif tetapi tidak ada mekanisme untuk mengakomodasi feedback dari stakeholder. 7. Penghitungan tarif air minum dengan metode full cost recovery serta subsidi silang antar pengguna merupakan metode yang tidak optimal dari sisi pelayanan publik dan memberatkan operator; 8. Beberapa PDAM sudah mampu menghasilkan kinerja keuangan positif, namun masih di bawah ambang batas target yang ditetapkan pemerintah (ROA 10%). Secara umum, biaya operasional dan maintenance masih sulit untuk ditutup oleh operator, terlebih dengan sistem subsidi silang antar pengguna; 9. Penyesuaian tarif secara periodik belum mempertimbangkan target efisiensi operator; 10. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Kepelabuhan Sumber usulan evaluasi kebijakan berawal dari adanya kesepakatan tarif pelayanan barang dan peti kemas LCL (Less than Container Load) impor di Pelabuhan Tanjung Priok yang dilakukan oleh para pelaku usaha penyedia Halaman 24 Laporan Tahun 2007

25 jasa dan pengguna jasa pelabuhan. Kesepakatan tersebut dilakukan karena mereka menganggap bahwa tarif pelayanan barang dan petikemas LCL impor Tanjung Priok bervariasi dan tidak jelas peruntukannya. Ketidakjelasan penetapan tarif tersebut yang menyebabkan terjadinya high cost economy yang harus ditanggung oleh importir. Kesepakatan tarif bersama yang dilakukan enam asosiasi yang terdiri dari asosiasi penyedia jasa; GAFEKSI, APBMI, INSA, APTESINDO, dan asosiasi pengguna jasa; GPEI dan GINSI berisi tentang kesepakatan komponen dan besaran tarif yang mengikat. Tarif kesepakatan ini, menurut enam asosiasi yang terlibat bertujuan untuk menurunkan high cost economy dalam perdagangan impor LCL. Model penetapan tarif tersebut nampaknya lebih terkait dengan kepentingan para pelaku usaha tertentu. Di sisi lain intervensi pemerintah dalam penetapan tarif dirasakan minim, untuk industri yang sifatnya natural monopoly seperti industri kepelabuhanan. Oleh karena itu dalam rangka internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat dalam dalam sektor tersebut, KPPU melakukan evaluasi dan dampak kebijakan persaingan dalam industri kepelabuhanan. Berkaitan dengan hasil analisa yang telah dilakukan KPPU menghasilkan rekomendasi sebagai berikut : Permasalahan biaya ekonomi tinggi di pelabuhan, seharusnya diatasi dengan kebijakan pengelolaan pelabuhan secara menyeluruh oleh pemerintah, bukan dengan kesepakatan tarif antar pelaku usaha. Melihat kondisi pelabuhan yang masih natural monopoly, maka diperlukan pengaturan tarif yang menjadi peran pemerintah sebagai regulator dan tidak diserahkan kepada asosiasi karena hal tersebut akan berpotensi menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Meski demikian, dalam kondisi pelabuhan yang secara umum masih natural monopoly, ada subsub usaha didalamnya yang dapat dikompetisikan. Maka, seluruh kegiatan di pelabuhan seharusnya dipetakan dan dicarikan alternatifnya yang terbaik untuk masing-masing jenis usaha. Melihat karakteristik gudang CFS yang bervariasi, maka kebijakan tarif yang sesuai adalah price cap dengan standar kualitas. Berdasarkan regulasi yang ada, untuk jenis, struktur, dan golongan tarif forwarding ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk KM, sampai saat ini Halaman 25 Laporan Tahun 2007

26 KM belum terbentuk. Oleh sebab itu, pemerintah perlu segera menyusun KM tersebut. 11. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Asuransi Kecelakaan di Luar Jam Kerja di wilayah DKI Jakarta Latar belakang dari kegiatan Evaluasi dan Kajian Dampak Kebijakan Pemerintah Yang Terkait Persaingan Usaha Dalam Industri Asuransi Pemerintah Daerah adalah lahirnya Pergub DKI Jakarta No. 82 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian Dalam Hubungan Kerja Untuk di Luar Jam Kerja (JKDK). Dalam Peraturan Gubernur tersebut diatur bahwa seluruh perusahaan di DKI Jakarta wajib mengikuti Program Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian Dalam Hubungan Kerja Untuk di Luar Jam Kerja (JKDK). Pada prakteknya, ditemukan fakta bahwa hanya ada satu perusahaan asuransi yang menjadi provider dalam Program JKDK tersebut. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya diselenggarakan analisa yang lebih jauh dari sisi persaingan usaha antara lain terkait masalah apakah mekanisme pemilihan penyedia jasa dalam Program JKDK yang diatur dalam Pergub 82/2006 telah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Berdasarkan analisa yang dilakukan KPPU, dapatdisimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Asuransi JKDK merupakan asuransi campuran yaitu gabungan antara asuransi umum dan asuransi jiwa. Penyedia jasa dalam industri asuransi tersebut cukup banyak di Indonesia, atau tidak eksklusif hanya dapat dilayani oleh satu/sedikit perusahaan saja. 2. Apabila dilihat dari sisi demand, perbandingan antara pegawai yang telah mengikuti program JKDK dengan yang belum juga menunjukkan bahwa pasar indusri ini masih terbuka luas. Hal ini ditunjukkan dengan masih kecilnya pegawai di DKI Jakarta yang dilindungi melalui program ini. 3. Regulasi JKDK di DKI Jakarta tidak menimbulkan entry barrier bagi perusahaan asuransi yang ingin menjadi provider dalam program JKDK. Hal ini disebabkan karena Pergub 82 tahun 2006 memberikan Halaman 26 Laporan Tahun 2007

27 kesempatan bagi setiap perusahaan asuransi yang tertarik untuk menjadi penyedia jasa dalam program JKDK, untuk mendaftar kepada Pemda DKI. 4. Meskipun demikian perlu adanya pengawasan yang ketat dari masyarakat atas proses seleksi yang dilakukan Pemda DKI Jakarta, sehingga proses seleksi tersebut dapat berjalan dengan adil dan transparan. 5. Regulasi JKDK DKI Jakarta mempunyai potensi menghilangkan pilihan konsumen, karena program ini bersifat wajib bagi setiap perusahaan di DKI Jakarta meskipun perusahaan tersebut telah mempunyai program serupa yang lebih baik. Berbeda dengan Jamsostek, yang hanya bersifat wajib bagi perusahaan yang belum mengikuti program tersebut. Sedangkan bagi yang telah mempunyai program yang lebih baik, tidak lagi diwajibkan mengikuti program Jamsostek. 6. Dalam regulasi JKDK di Kotamadya Tangerang dan Serang, diatur bahwa pelaku usaha penyedia jasa asuransi dalam Program JKDK, adalah perusahaan yang ditunjuk oleh Bupati atau Walikota. Kondisi tersebut mempunyai potensi persaingan usaha tidak sehat yang cukup besar, karena tidak adanya transparansi dalam porses seleksi serta tidak adanya batasan yang jelas bagi perusahaan asuransi yang dapat menjadi provider dalam program JKDK di kedua daerah tersebut. 12. Evaluasi Kebijakan Pemerintah di Industri Bawang Merah Harga bawang merah di tingkat petani kota Brebes kerap jatuh ke tingkat harga yang jauh di bawah biaya produksi, sementara harga di tingkat konsumen relatif stabil. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan masuknya bawang merah impor oleh beberapa pedagang, sekalipun Kab. Brebes merupakan sentra produsen bawang merah di Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Kab. Brebes berencana untuk mengeluarkan kebijakan (Perda) tentang tata niaga impor bawang merah. Dalam melaksanakan fungsi internalisasi prinsip-prinsip persaingan usaha, KPPU melakukan evaluasi terhadap rencana tata niaga tersebut. Tujuan evaluasi ini adalah untuk memetakan permasalahan yang terdapat pada industri dan perdagangan bawang merah. Halaman 27 Laporan Tahun 2007

28 Berdasarkan data produksi tahunan, sebenarnya jumlah produksi bawang merah Indonesia lebih besar dibandingkn dengan jumlah konsumsinya (over supply). Akan tetapi, bawang merah merupakan komoditas pertanian yang sifatnya musiman dan tidak tahan lama jika disimpan dengan penanganan yang kurang memadai. Sehingga pada saat di dalam negeri sedang mengalami musim paceklik, maka pedagang besar akan mengimpor bawang merah dari luar negeri. Berdasarkan analisa statistik, tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara volume bawang impor dengan fluktuasi harga bawang di Brebes. Dengan demikian, volume impor tidak berpengaruh terhadap penurunan harga bawang di tingkat petani Brebes. Titik permasalahan yang lebih besar justru terletak pada saluran pemasaran/distribusi perdagangan bawang merah. Pihak yang memiliki peran besar dalam mengendalikan pasokan bawang lintas daerah, termasuk bawang impor, adalah pedagang besar yang terletak di antara petani dan pengecer di pasar induk pasar sekunder. Pedagang besar tersebut memiliki kemampuan untuk menetapkan harga bawang merah (price maker). Dari hasil analisa jalur distribusi ditemukan fakta bahwa struktur pasar yang terbentuk pada perdagangan bawang merah adalah oligopoli/oligopsoni, dengan jumlah petani dan pedagang pengecer lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang besar. Hal ini pula yang memperkuat posisi pedagang sebagai price maker. Oleh sebab itu, pihak yang lebih berpengaruh dalam mengendalikan harga bawang merah di tingkat petani Brebes adalah pedagang besar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, KPPU merekomendasikan supaya dilakukan penataan jalur distribusi untuk meningkatkan efisiensi perdagangan dan meminimalisasi market power pedagang besar. Alternatif yang dapat dipilih antara lain : mengaktifkan peranan pasar (market creation) sebagai titik transaksi antara petani dan pedagang pengumpul/besar. memanfaatkan peran koperasi untuk meningkatkan bargaining power di tingkat petani. memanfaatkan mekanisme resi gudang untuk mengurangi resiko ketidakpastian harga bagi para petani. Halaman 28 Laporan Tahun 2007

Reformasi Regulasi Regulatory Reform

Reformasi Regulasi Regulatory Reform LAPORAN SEMESTER SATU TAHUN 2007 (Periode Januari-Juni 2007) Reformasi Regulasi Regulatory Reform KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA Halaman 1 Laporan Tahun 2007 Halaman 2 Laporan Tahun

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN DIKAITKAN DENGAN KINERJA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA ( KPPU )

PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN DIKAITKAN DENGAN KINERJA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA ( KPPU ) PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN DIKAITKAN DENGAN KINERJA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA ( KPPU ) Prof Dr Jamal Wiwoho,SH MHum Tujuan Pembentukan Undang-undang No. 5/1999 a.

Lebih terperinci

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU sukarmi@kppu.go.id 1 KEBERADAAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA KPPU dan Performanya dalam menjalankan UU No. 5/1999 2 - LATAR BELAKANG - 1 Masyarakat belum mampu berpartisipasi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah

Lebih terperinci

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999

Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999 Rancangan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 Huruf a UU No. 5 Tahun 1999 Dalam rangka penegakan hukum persaingan usaha, maka sangatlah penting untuk meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan Undang-undang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1 Tanto Lailam, S.H., LL.M. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta,

Lebih terperinci

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang

SALINAN. 50 Huruf a. Ketentuan Pasal. dalam Persaingan Usaha. Pedoman Pasal Tentang Pedoman Pasal Tentang Ketentuan Pasal 50 Huruf a dalam Persaingan Usaha KEPUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR : 253/KPPU/Kep/VII/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 50 HURUF a UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan melonjaknya harga bahan pangan pokok, banyak pihak yang mulai meninjau kembali peran dan fungsi BULOG. Sebagian pihak menginginkan agar status BULOG dikembalikan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara

KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009. Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara KEPUTUSAN KOMISI NO. 89/2009 Tentang Pengaturan Monopoli Badan Usaha Milik Negara Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 51 tentang Pengaturan Monopoli BUMN Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Melalui pembahasan dari Bab I sampai dengan pembahasan Bab IV dan sejumlah 5 (lima) pertanyaan yang dilampirkan pada rumusan masalah, maka kami dapat memberikan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berbagai kajian menunjukkan bahwa selama 20 tahun mendatang aliran peti kemas di Indonesia akan meningkat secara dramatis, dari 8,8 juta TEUs pada tahun 2009 diperkirakan

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan

PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN. Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan 1.1 Latar Belakang PEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 BAB I PENDAHULUAN Peranan negara dalam kegiatan ekonomi dapat diwujudkan dengan perbuatan administrasi negara, baik yang

Lebih terperinci

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN. SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 =========================

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN. SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 ========================= KEYNOTE SPEECH MENTERI PERDAGANGAN SEMINAR RETAIL NASIONAL 2006 (RETAILER DAY & AWARD 2006) JAKARTA, 25 Januari 2007 ========================= Yth. Ketua Umum APRINDO dan jajarannya, Yth. Ketua Komisi

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UMUM Pembangunan ekonomi pada Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE SIXTH PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES (PROTOKOL UNTUK MELAKSANAKAN KOMITMEN PAKET KEENAM DALAM PERSETUJUAN KERANGKA KERJA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. memadai untuk terciptanya sebuah struktur pasar persaingan. 1 Krisis ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pertumbuhan perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa iklim bersaing di Indonesia belum terjadi sebagaimana yang diharapkan, dimana Indonesia telah membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasca krisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktek persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PASAR DOMESTIK GAS BUMI TERBESAR ADA DI PULAU JAWA YANG MEMILIKI CADANGAN GAS BUMI RELATIF KECIL;

LATAR BELAKANG PASAR DOMESTIK GAS BUMI TERBESAR ADA DI PULAU JAWA YANG MEMILIKI CADANGAN GAS BUMI RELATIF KECIL; LATAR BELAKANG GAS BUMI MEMPUNYAI PERAN YANG SANGAT PENTING DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL, YAITU SEBAGAI SUMBER ENERGI, BAHAN BAKU DALAM NEGERI DAN SEBAGAI SUMBER PENERIMAAN NEGARA DAN DEVISA.; PERMINTAAN

Lebih terperinci

Laporan Pengendalian Inflasi Daerah

Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Gubernur Bank Indonesia Laporan Pengendalian Inflasi Daerah Rakornas VI TPID 2015, Jakarta 27 Mei 2015 Yth. Bapak Presiden Republik Indonesia Yth. Para Menteri Kabinet Kerja Yth. Para Gubernur Provinsi

Lebih terperinci

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016

SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 SAMBUTAN GUBERNUR BANK INDONESIA SOSIALISASI PROGRAM PENGENDALIAN INFLASI BI Jakarta, 25 April 2016 Yang kami hormati, Gubernur Jawa Tengah, Bapak H. Ganjar Pranowo, Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI I. UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RAPAT KERJA DENGAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN, MENTERI PERTANIAN, MENTERI PERINDUSTRIAN, MENTERI PERDAGANGAN,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS

KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA KEGIATAN USAHA HILIR MIGAS Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi DASAR HUKUM UU No. 22/2001 PP 36 / 2004 Permen 0007/2005 PELAKSANAAN UU NO. 22 / 2001 Pemisahan yang jelas antara

Lebih terperinci

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan Perkembangan Deregulasi 2015

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Laporan Perkembangan Deregulasi 2015 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Laporan Perkembangan Deregulasi 2015 Jakarta, 22 September 2015 A. RPP Tempat Penimbunan Berikat, (D1) B. RPP Perubahan PP Nomor 23 Tahun 2010, (F3) C. RPerpres

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

Brief RUU Minyak Bumi dan Gas Bumi versi Masyarakat Sipil

Brief RUU Minyak Bumi dan Gas Bumi versi Masyarakat Sipil Brief RUU Minyak Bumi dan Gas Bumi versi Masyarakat Sipil A. Konteks Sejak diberlakukan pada tahun 2001, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) telah tiga kali dimintakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2015 SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014 Bismillahirrohmanirrahim Yth. Ketua Umum INAplas Yth. Para pembicara

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian nasional dan dunia saat ini ditandai dengan berbagai perubahan yang berlangsung secara

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation-PSO) sampai saat ini belum berjalan dengan baik. Secara umum permasalahan tersebut antara lain adalah belum adanya persepsi yang sama tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (Bumn-K) Untuk Pengelolaan Minyak Dan Gas Bumi, Tepatkah? Oleh : Muhammad Yusuf Sihite *

Pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (Bumn-K) Untuk Pengelolaan Minyak Dan Gas Bumi, Tepatkah? Oleh : Muhammad Yusuf Sihite * Pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (Bumn-K) Untuk Pengelolaan Minyak Dan Gas Bumi, Tepatkah? Oleh : Muhammad Yusuf Sihite * Naskah diterima: 8 Februari 2016; disetujui: 15 Februari 2016 A. Latar

Lebih terperinci

KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL

KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL Oleh : Fery Dona (fery.dona@yahoo.com) ABSTRAK Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

Lebih terperinci

2 Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kerjasama Pemerintah dan badan u

2 Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kerjasama Pemerintah dan badan u No.62, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Kerja Sama. Infrastruktur. Badan Usaha. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2015 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU SALINAN GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara dalam mengelola kegiatan perekonomian yang berorientasi pasar. Langkah

I. PENDAHULUAN. negara dalam mengelola kegiatan perekonomian yang berorientasi pasar. Langkah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu elemen penting bagi suatu negara dalam mengelola kegiatan perekonomian yang berorientasi pasar. Langkah yang diambil oleh

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DRAFT Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2004 1 KATA

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009

KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 KEBIJAKAN PENGUATAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kamis, 16 Juli 2009 Â Krisis keuangan global yang melanda dunia sejak 2008 lalu telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor perekonomian, misalnya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2004 TENTANG KEGIATAN USAHA HILIR MINYAK DAN GAS BUMI UMUM Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah

Lebih terperinci

REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Jakarta, 13 Mei 2015

REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Jakarta, 13 Mei 2015 REKOMENDASI KEBIJAKAN Tim Reformasi Tata Kelola Migas Jakarta, 13 Mei 2015 Outline Rekomendasi 1. Rekomendasi Umum 2. Pengelolaan Penerimaan Negara Dari Sektor Minyak dan Gas Bumi 3. Format Tata Kelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI SUMBER DAYA ENERGI. Nasional. Energi. Kebijakan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang

BAB V PENUTUP. Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang 111 BAB V PENUTUP A.KESIMPULAN Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dari analisis berbagai data dan fakta yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu: 1. Untuk mengetahui mekanisme masukknya BBM

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5768 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEPABEANAN. Perdagangan. Ekspor. Impor. Kawasan Berikat. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 279). PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi

PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi PERSIAPAN DAERAH dalam menghadapi Outline 1 Gambaran Umum Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 2 MEA dalam RKP 2014 3 Strategi Daerah dalam Menghadapi MEA 2015 MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 Masyarakat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA

PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA PERSAINGAN USAHA DALAM INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA Latar belakang Perkembangan berbagai aspek kehidupan dan sektor ekonomi di dunia dewasa ini terasa begitu cepat, kecepatan perubahan tersebut sering

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA

BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA BISNIS RITEL WARALABA BERDIMENSI HUKUM PERSAINGAN USAHA Ritel Waralaba berdampingan dengan Warung Tradisional (Jl.Bung Km.11 Tamalanrea-Makassar) Drs. HARRY KATUUK, SH, M.Si dan AGNES SUTARNIO, SH, MH

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat

VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT. menjalankan kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian mereka dapat VII. KINERJA LEMBAGA PENUNJANG PEMASARAN DAN KEBIJAKAN PEMASARAN RUMPUT LAUT 7.1. Kinerja Lembaga Penunjang Pengembangkan budidaya rumput laut di Kecamatan Mangarabombang membutuhkan suatu wadah sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.279, 2015 KEPABEANAN. Perdagangan. Ekspor. Impor. Kawasan Berikat. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5768). PERATURAN

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN

BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN BAB 21 PENINGKATAN PENGELOLAAN BUMN Keberadaan badan usaha milik negara (BUMN) memiliki peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Untuk itu, BUMN diharapkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA -ii- -iii- LAMPIRAN PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 04 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGGUNAAN DAFTAR PERIKSA KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PEMERIKSAAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN/RANCANGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BALAI SIDANG JAKARTA, 24 FEBRUARI 2015 1 I. PENDAHULUAN Perekonomian Wilayah Pulau Kalimantan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci