Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savanna Terinvasi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savanna Terinvasi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran"

Transkripsi

1

2 Removing Barriers to Invasive Species Management in Production and Protection Forests in South East Asia Indonesia Programme (FORIS Indonesia) Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savanna Terinvasi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran Ragil SB Irianto R Garsetiasih Soekisman Tjitrosoedirjo Titiek Setyawati Atok Subiakto Nanang Dwi Wahono Sunardi Pedoman Analisis Risko Tumbuhan Asing Invasif i

3 Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savanna Terinvasi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran 2016 FORIS Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Diterbitkan oleh: FORIS Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Isi dan Materi yang ada pada buku ini dapat direproduksi dan disebarluaskan tanpa mengurangi isi dan arti dokumen ini. Diperbolehkan mengutip isi buku ini dengan menyebutkan sumber. Tim Pengarah: Ir. Arief Yuwono, MA (Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Dr. Henry Bastaman, MES (Kepala Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Penulis: Irianto R, Garsetiasih R, Tjitrosoedirjo S, Setyawati T, Subiakto A, Wahono N, Sunardi Pedoman Pengendalian dan Restorasi Ekosistem kawasan Terinvasi Acacia nilotica. Bogor (ID): FORIS Indonesia. Kontributor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, GEF Trust Fund 0515 UNEP-CABI dan Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Desain Sampul Sunardi FORIS Indonesia Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Phone/Fax: Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica ii

4 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan tersusunnya Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savanna Terinvasi Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaksana teknis dilapangan dalam mengendalikan tumbuhan asing invasif. Metode dan teknik pengendalian yang dipaparkan pada panduan ini adalah hasil riset yang dilaksanakan oleh Tim FORIS Indonesia bekerjasama dengan Taman Nasional Baluran. Pedoman ini dapat digunakan dalam mengendalikan tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Baluran (TNB). Teknik pengendalian yang digunakan adalah kombinasi antara teknik pengednalian secara mekanik dan kimiawi. Pedoman ini disusun dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapangan sehingga dapat dipergunakan dan diterapkan dengan mudah oleh pihak pengelola. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan modul ini. Pada akhirnya kami mengharapkan pedoman ini dapat menjadi salah satu sumbangsih dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dari ancaman spesies asing invasif. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica iii

5 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv 1. Pendahuluan 1 2. Maksud dan Tujuan 2 3. Mekanisme Pengendalian 7 4. Monitoring dan Evaluasi Pengendalian Vegetasi Pioner Pengendalian Laju Invasi Kembali Acacia nilotica Pengendalian Gulma Retorasi Ekosistem 21 Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica iv

6 1. Pendahuluan Kondisi kawasan Taman Nasional Baluran yang berada di daerah tropis beriklim kering merupakan faktor penting pembentuk kekhasan ekosistem berikut keragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi ini sekaligus juga berkonsekuensi logis berupa potensi kebakaran tutupan lahan yang cukup tinggi terutama di dataran rendah. Kebakaran ini di daerah savana merupakan komponen penting dalam proses ekologis sampai dengan terbentuk dan bersiklusnya ekosistem dalam kondisi klimaks. Sementara di daerah bertutupan hutan (hutan musim, hutan pantai, gunung) kebakaran ini sangat merusak dan mengancam keragaman hayati yang ada. Hal ini yang kemudian melatar belakangi perlakuan introduksi akasia (Acacia nilotica) pada tahun 1969 sebagai tanaman sekat bakar untuk melokalisir terjadinya kebakaran antara savana dengan tipe vegetasi lainnya. Keberadaan jenis asing Acacia nilotica di savana ini kemudian berdampak pada terinvasinya savana sehingga menekan keberadaan jenis-jenis vegetasi asli (rerumputan) sampai dengan merubah tipe vegetasi savana menjadi tegakan homogen Acacia nilotica. Proses invasi ini terus meluas sampai dengan saat ini hampir di keseluruhan wilayah flat savanna dan sebagian wilayah undulating savanna. Disadarinya A. nilotica sebagai sebuah permasalahan ekologis pada tahun 1987 yang kemudian dimulai upaya penanganannya sampai dengan sekarang (selama ± 25 tahun), berbagai upaya pemberantasan dan rehabilitasi yang ada dinilai belum sebanding dengan kecepatan/laju invasi kembali A. nilotica. Hasil pemberantasan umumnya telah terinvasi kembali. Sebagian besar bahkan telah tertutup kembali menjadi tegakan homogen A. nilotica. Kecuali areal berumur 1-2 tahun pasca pemberantasan atau areal yang terus dilakukan perlakuan pemeliharaan intensif (kontinyu), yaitu: No Areal Lokasi Keterangan Kondisi Luas (Ha) 1. Bekol I Savana Bekol 2. Bama Savana Bama - Telah mengalami berbagai perlakuan berulang-ulang baik pemberantasan tegakan maupun seedling A. nilotica, pemberantasan gulma lainnya sampai dengan penanaman rumput. - Mulai tahun 2010 keseluruhan perlakuan penanganan diorientasikan sebagai rangkaian upaya restorasi ekosistem savana. Savana Bekol merupakan hasil pemeliharaan intensif mulai tahun 2010 yang meliputi : a. Pengendalian laju invasi kembali A. nilotica b. Pengendalian gulma c. Penanaman rumput lokal menahun d. Pemeliharaan tutupan rumput e. Pembakaran terkendali - Hasil Pemberantasan A. nilotica (th. 2011) - Telah dilakukan perlakuan pengendalian vegetasi pioner dan penanaman rumput (th. 2012) - Pemeliharaan lanjutan tahun 2013 dan 2014 yang direncanakan meliputi pengendalian gulma, pengkayaan rumput, pembakaran terkendali Pedoman Analisis Risko Tumbuhan Asing Invasif 1

7 Tabel 1. No Areal Lokasi Keterangan Kondisi Luas (Ha) 3. Balanan I 4. Balanan II 5. Bekol II 6. Bekol Bagian Timur Savana Balanan Savana Balanan Savana Bekol Savana Bekol - Pada awalnya merupakan areal hasil perlakuan pemberantasan tahun 2008 melalui pola kerjasama dengan swasta yang kemudian terinvasi kembali karena tidak adanya perlakuan pemeliharaan kontinyu. - Perlakuan pemeliharaan (pemberantasan ulang A. nilotica) tahun Pemeliharaan lanjutan tahun 2012, 2013 dan 2014 yang meliputi pengendalian gulma, pengkayaan rumput, pembakaran terkendali. - Pada awalnya merupakan areal hasil perlakuan pemberantasan tahun 2008 melalui pola kerjasama dengan swasta yang kemudian terinvasi kembali karena tidak adanya perlakuan pemeliharaan kontinyu. - Perlakuan pemeliharaan (pemberantasan ulang A. nilotica) tahun Pemeliharaan lanjutan tahun 2013 dan Pemberantasan A. nilotica (th. 2012) - Pemeliharaan lanjutan tahun 2013 dan Pemberantasan A. nilotica tahun Pemeliharaan lanjutan tahun ,36 13,43 64,43 JUMLAH 269,22 Areal hasil perlakuan pemberantasan selama ini yang masih dalam kondisi terpelihara dari laju invasi kembali oleh A. nilotica. 2. Maksud dan Tujuan Pedoman pengendalian dan restorasi ekosistem terinvasi Acacia nilotica disusun dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada semua pihak untuk melakukan pengendalian dan restorasi kawasan yang terinvasi oleh A. nilotica. Tujuan penyususnan pedoman ini adalah agar pelaksanaan pengendalian dan restorasi ekosistem dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 2

8 3. Kondisi Savana Taman Nasional Baluran a. Definisi Savana Kata savana berasal dari kosakata bahasa Spanyol yaitu zavana atau cavana dan diperkirakan asal Karibia. Ini berarti sebuah dataran berumput dengan pohon-pohon tersebar dan khususnya mengacu pada dataran di daerah tropis dan subtropis. Istilah ini digunakan juga untuk sebidang tanah yang ditumbuhi oleh vegetasi tingkat rendah atau daerah luas berpadang rumput di daerah tropis atau subtropis ditutupi sebagian dengan pohon-pohon dan semak-semak berduri (FAO 1977). Richards, 1952 (dalam FAO 1977), mengemukakan bahwa savanna adalah nama diterapkan untuk komunitas tanaman pada daerah yang bervariasi serta dapat ditemukan di berbagai kondisi iklim pada rentang yang cukup luas; beberapa berada pada beberapa tahapan iklim, sedangkan yang lain berada pada kondisi klimaks yang sudah stabil. Savanna yang didominasi oleh pohon (baik dengan atau tanpa tanah berumput terus-menerus) bisa saja mencapai kondisi klimaks iklim, tetapi banyak tipe-tipe savana yang dianggap sebagai hasil kilmaks-api. Savana terbuka dengan pohon-pohon yang tumbuh tersebar di hutan atau jarang-jarang, dan padang rumput tanpa pohon mungkin timbul oleh degradasi hutan atau savana hutan dengan budidaya berlebihan atau terbakar tetapi dalam beberapa kasus mereka mungkin merupakan klimaks yang dihasilkan dari faktor edafik karena kondisi tanah yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan pohon. Faktor-faktor yang menentukan kondisi-kondisi tersebut tidak dapat dipastikan dengan tepat tetapi satu faktor yang mungkin mempengaruhi dalam beberapa kasus adalah adanya pergantian musim yang ekstreem berupa kondisi basah (genangan) yang bergantian dengan kondisi kering setiap tahun. Menurut Horton (1992) padang rumput merupakan daerah terbuka bertumbuhan rumput dan semak, daerah ini terjadi karena adanya kebakaran hutan secara alami. b. Tipologi Savana Sedangkan savanna sendiri sebenarnya terdapat dalam berbagai tipe yang dapat digolongkan dalam beberapa bentuk. Savanna, yang didefinisikan sebagai formasi tumbuhan rerumputan yang memiliki tinggi setidaknya 80 cm, yang secara terus menerus membentuk lapisan yang mendominasi strata terendah; biasanya terbakar setiap tahun, berupa hamparan hijau berupa rumput, serta biasanya juga terdapat tanaman berkayu. Savana tersebut terbagi menjadi: a. Savanna woodland (hutan savana), savana yang memiliki pepohonan dan perdu sehingga membentuk canopi atau naungan dari cahaya matahari. b. Tree savanna (savana berpepohonan), merupakan bentuk savana dengan pohon dan perdu serta semak belukar yang tersebar. c. Shrub savanna (savana perdu). Merupakan bentuk savanna di mana selain rumput masih terdapat vegetasi lain berupa perdu maupun semak belukar. d. Grass savanna (savanna rumput/padang rumput), merupakan bentuk savana yang umumnya tidak terdapat pohon dan perdu (semak belukar) (FAO, 1977). Menurut Alikodra (1979) grazing area adalah suatu daerah yang cukup luas yang berbentuk padang rumput yang menjadi makanan herbivora di dalam suatu kawasan suaka alam. Maka idealnya komposisi vegetasi dari grazing area tersebut adalah didominasi oleh jenis rerumputan yang terutama disukai oleh satwa yang tumbuh berasosiasi dengan jenisjenis leguminosa sebagai pengikat N yang berfungsi menjaga kesuburan tanah. Jenis-jenis rumput yang dikehendaki untuk grazing area adalah jenis rumput yang disukai satwa, cepat Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 3

9 tumbuh, berdaur hidup menahun (bukan musiman), tahan injakan satwa, tahan api dan tahan kekeringan. Padang rumput merupakan sumber penyedia hijuan alami yang secara langsung dapat dimakan oleh hewan. Padang rumput yang baik dan ekonomis ialah yang terdiri atas campuran dari rumput dan leguminosa, dengan catatan leguminosa ini dalam pertumbuhannya tidak mengganggu pertumbuhan rumput. Dalam pengelolaan savana sebagai feeding ground (padang penggembalaan), pengaturan komposisi vegetasi savana perlu adanya pembedaan antara tumbuhan/tanaman pokok (utama) dan tumbuhan yang dapat di kelompokkan sebagai gulma. Pengelompokan tanaman utama dalam hal ini di dasarkan pada fungsi pokok savana sebagai feeding ground (padang penggembalaan) yaitu jenis-jenis tumbuhan yang merupakan pakan satwa atau jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh satwa. Bukan saja sebagai pakan, pada kebutuhan satwa yang lain seperti berteduh adanya pepohonan di savana yang dimanfaatkan oleh satwa sebagai tempat berteduh dan berlindung dapat dikelompokkan sebagai tanaman utama. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan lain yang tidak bermanfaat bagi kelangsungan hidup satwa dan memiliki kecenderungan untuk menghambat produktivitas tanaman utama maka dapat di kelompokkan sebagai gulma. c. Kondisi Awal Klimaks Savana Savana Baluran merupakan savana alami yang dilihat dari tipe vegetasinya merupakan formasi klimatis (sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim), dan komposisi vegetasinya merupakan bentuk klimaks dari kebakaran. Sehingga pada awalnya savana Baluran terutama didominasi oleh jenis rumput menahun yang toleran terhadap keberadaan api, yaitu dari jenis lamuran putih (Dichanthium caricosum), lamur (Polytrias amaura) jerenjeng (Heteropogon contortus). Serta jenis-jenis rumput semusim seperti merakan Themeda spp., letak (Sclerachne punctata), rayapan (Brachiaria reptans). Rerumputan tersebut umumnya berasosiasi dengan pepohonan yang merupakan jenis pohon selter terdiri dari pilang (Acacia leucophloea), widoro bukol (Ziziphus rotundifolia), mimbo (Azadirachta indica), mengkudu (Morinda tinctoria) dan lain-lain. Terdapat juga beberapa jenis perdu khas savanna seperti sokdoy (Azima sarmentosa), dlimoan (Randia spinosa), bama (Plumbago zeylanica) dan mustam (Xymenia americana). d. Invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran Berdasarkan kondisi topografinya, savana dalam kawasan TN Baluran dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu savana datar (flat savana) dan savana bergelombang (undulating savana). Luas savana datar berkisar antara ha yang berada di bagian tenggara kawasan. Sedangkan luas savana bergelombang ha, berada pada sisi utara dan timur laut kawasan. Savana ini sering terbakar. Untuk mencegah meluasnya kebakaran ke areal hutan disekitarnya, pada tahun 1969, A. nilotica di tanam di bagian selatan kawasan savana Bekol sepanjang 1,2 km dan lebar 8 m. Dalam waktu singkat A. nilotica menyebar dan menginvasi blok savana Bekol, Asem Sabuk, Kramat, Balanan, dan Curah Udang. Di savana Bekol pada tahun 1981 kerapatan A. nilotica 75 btg/ha, tahun 1986 meningkat btg/ha, dan tahun 1987 telah menjadi btg/ha (Tjitrosoedirdjo, 2002). Hasil pengukuran luas total areal terinvasi (sebaran) A. nilotica (dengan pendekatan interpretasi citra satelit dan ground check) saat ini telah mencapai 5.592,68 Ha (Taman Nasional Baluran 2013). Sebaran dan invasi A. nilotica tersebut meliputi tipe habitat : Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 4

10 - Savana, - Hutan musim dataran rendah, - Semak belukar, - Hutan tanaman (hutan produksi) di Blok Bitakol, - Areal sekitar perkebunan kapuk randu PT. Baluran Indah, dan - Arel pertanian dan pemukiman masyarakat eks pekerja HGU PT. Gunung Gumitir. Dengan tingkat invasi atau kepadatan bervariasi : - Kerapatan rendah (low density) < 500 btg/ha. - Kerapatan sedang (medium density) btg/ha. - Kerapatan tinggi (high density) > btg/ha. Tingginya kemampuan akasia untuk menginvasi daerah terbuka terutama savana terutama dikarenakan tingginya tingkat produktivitas benih akasia, penyebaran benih (biji) yang dibantu oleh satwa lewat kotorannya dan kemampuan tumbuh di berbagai kondisi habitat (kecuali pada lahan bertutupan vegetasi pohon). Jenis eksotik tersebut telah menginvasi sebagian besar wilayah savana di TN Baluran. Dan terkait keberadaan akasia di savana ini maka keseluruhan area savanna Baluran saat ini dapat dikelompokkan menjadi : a. Area savana yang belum terinvasi akasia. Berupa savana yang masih utuh belum terganggu oleh invasi akasia dengan komposisi vegetasi didominasi oleh jenis rumput menahun. Tersebar di sebagian besar wilayah undulating savana (Karangtekok) dan savana Palongan. b. Telah terinvasi akasia dan belum pernah dilakukan upaya pemberantasan. Umumnya sudah merupakan tegakan homogen akasia. Meliputi sebagian wilayah flat savana dan undulating savana di Blok Balanan, Sirase, Air Karang dan sebagian wilayah savana Semiang. c. Telah terinvasi akasia, telah diberantas tetapi terinvasi kembali. Berupa tegakan muda akasia sehingga masih didapati berasosiasi dengan vegetasi pioner lain termasuk jenis-jenis herba dan rumput (tumbuhan bawah). Meliputi wilayah Blok Kramat, Asem Sabuk, Curah Udang, Kajang Atas, Bama dan Derbus. d. Telah terinvasi akasia, telah diberantas dan terus dilakukan perlakuan intensif. Relatif bersih dari akasia tetapi masih terdapat kompetisi antara jenis rerumputan (vegetasi utama savana) dengan jenis-jenis herba dan semak belukar lainnya (gulma savana). Meliputi sebagian wilayah savana Bekol, seluas ± 100 ha. Tabel 2.1. Cakupan lokasi dan luas total areal pemeliharaan savana tahun No Lokasi No. Areal Luas (Ha) 1. Lokasi Savana Bekol 1. Areal Bekol I 112,13 2. Areal Bekol II 13,43 3. Areal Savana Bekol 64,43 Bagian Timur 2. Lokasi Savana Bama 3. Areal Bama 50,00 3. Lokasi Savana Balanan 4. Areal Balanan I 15,00 5. Areal Balanan II 16,36 JUMLAH 271,35 Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 5

11 Gambar 1. Cakupan areal pelaksanaan kegiatan pemeliharaan savana tahun 2014; melanjutkan areal pemeliharaan tahun 2013 (gambar 1), dan hasil pemberantasan A.nilotica tahun 2013 areal Savana Bekol Bagian Timur (gambar 2). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 6

12 4. Mekanisme Pengendalian Tahapan pekerjaan dan teknis pelaksanaan pada kegiatan Pengendalian A. nilotica dalam rangka Pemulihan Ekosistem Savana sebagai berikut: 1. Pra kondisi a. Penentuan areal. b. Penentuan jalur/jalan pendukung operasional kegiatan dan pemeriksaan. c. Pembuatan peta kerja. d. Penataan batas areal. Fisik batas areal menggunakan cat warna merah memanjang batas areal pada batasbatas alam permanen seperti batu besar yang tidak mungkin bergeser, batang pohon lokal berdiameter besar (dilingkari). e. Pembuatan jalan pendukung operasional kegiatan dan monitoring Jalur/jalan serta jalur pendukung kegiatan menggunakan jalan yang sudah tersedia pada areal kawasan. Direkomendasikan untuk tidak membuka jalur baru pada saat melakukan pengendalian. Hal tersebut bertujuan untk mencegah penyebaran infestasi baru (biji) hasil pengendalian A. nilotica. 2. Penyediaan alat bahan kegiatan. 3. Penyediaan pekerja dan pengawas dengan ratio 10:1. Uraian tugas pekerja sesuai dengan petunjuk teknis pelaksanaan pekerjaan pada rancangan teknis. Uraian tugas pengawas meliputi: a. Memberikan bimbingan dan pendampingan teknis pelaksanaan pekerjaan. b. Melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. c. Melakukan pengaturan/pembagian pekerjaan guna efisiensi pelaksanaan kegiatan. 4. Pelaksanaan pekerjaan teknis: a. Perlakuan pengendalian A. nilotica b. Pembersihan limbah hasil pengendalian c. Perlakuan ulang pada pohon target yang dianggap tidak sesuai prosedur 5. Sulaman Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan adalah melakukan perlakuan ulang terhadap Acacia nilotica yang dinyatakan belum mati atau aplikasi metode pengendalian tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh human error (kesalahan pekerja) atau kurangnya konsentrasi herbisida pada solar serta melakukan pembersihan dan pengolasan terhadap anakan-anakan (seedling) Acasia nilotica dan gulma lainnya yang masih terlewat pada kegiatan pemberantasan sebelumnya. 6. Monitoring dan Evaluasi Meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap hasil pekerjaan yang telah dilakukan serta melakukan pembetulan yang diperlukan sebelum dilakukan serah terima hasil pekerjaan. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 7

13 Gambar 1. Kegiatan penandaan batas areal kerja/kegiatan pemberantasan/eradikasi A. nilotica. Sumber: Tim IAS Baluran Gambar 2. Jalur/jalan yang digunakan sebagai pendukung operasional kegiatan pengendalian Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 8

14 a. Oles Batang (Stem Brushing) Teknik pengendalian oles batang optimal dilaksanakan pada musim kemarau sehingga saat awal musim hujan dapat dilakukan restorasi ekosistem dengan melakukan penanam rumput. 1) Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari : Alat Bahan Habis Pakai 1. GPS 1. Solar 2. Kamera 2. Herbisida 3. Batterai 3. Korek api 4. Timba (ember) 4. BBM 5. Kuas 6. Alat potong (sabit, buding, kapak) 7. Sarung tangan 8. Galah tarik dan galah dorong 9. Meteran 10. Traktor 2) Biaya Pengendalian Biaya pengendalian diasumsikan untuk satu hektar (1 ha) kawasan terinvasi A. nilotica. Alokasi pembiayaan dapat berubah sesuai dengan tingkat kerapatan akasia pada daerah pengendalian. Tabel 2. Biaya pengendalian A. nilotica menggunakan metode oles batang (stem brushing) No. Jenis Biaya Volume Unit Harga/Unit (Rp.) Total (Rp.) 1. Tenaga kerja 25 Orang , - 2. Solar 140 Liter , - 3. Garlon 2.8 Liter , - 4. Kuas 25 Buah , - 5. Ember 25 Buah , - 6. BBM 15 Liter , - Total , - 3) Pelaksanaan Pengendalian Pelaksanaan pekerjaan perlakuan pemberantasan tegakan A. nilotica dilakukan setelah tahapan prakondisi selesai dilaksanakan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Pembagian regu kerja terbagi atas: - Pembersih ranting sebanyak 10 orang - Pengoles batang sebanyak 15 orang b. Ranting-ranting yang masih hidup maupun mati pada ketinggian 50 cm dipotong sampai permukaan batang untuk memudahkan pelaksanaan pengolesan larutan herbisida c. Permukaan batang bagian pangkal dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah diolesi dengan herbisida dengan pelarut solar dengan dosis 10 cc/l solar. Pengolesan ini harus merata dan pada batang dengan diameter cm memerlukan larutan herbisida sebanyak 60 cc. d. Pelaksanaan pengolesan ini sebaiknya dilakukan pada cuaca cerah. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 9

15 b. Tebang Oles (Stump Brushing) Teknik pengendalian oles batang optimal dilaksanakan pada musim kemarau sehingga saat awal musim hujan dapat dilakukan restorasi ekosistem dengan melakukan penanam rumput. 1) Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari: Alat Bahan Habis Pakai 1. GPS 1. Solar 2. Kamera 2. Herbisida 3. Batterai 3. BBM 4. Timba (ember) 5. Kuas 6. Chainsaw 7. Sarung tangan 8. Galah tarik dan galah dorong 9. Meteran 10. Traktor 2) Biaya dan Alokasi Dana Pengendalian Biaya pengendalian diasumsikan untuk kawasan terinvasi A. nilotica dengan kategori kerapatan sedang. Alokasi pembiayaan dapat berubah sesuai dengan tingkat kerapatan akasia pada daerah pengendalian. Tabel 3. Biaya pengendalian A. nilotica menggunakan metode oles tunggak (stump brushing) No. Jenis Biaya Volume Unit Harga/Unit (Rp.) Total (Rp.) 1. Tenaga kerja 60 Orang , - 2. Solar 200 Liter , - 3. Garlon 4.2 Liter , - 4. Kuas 60 Buah , - 5. Ember 60 Buah , - 6. BBM Chainsaw 25 Liter , - 7. Sewa Chainsaw 1 Buah , - 8. Oli Bekas 10 Liter , - 9. BBM Limbah 1 Liter , - Total , - 3) Pelaksanaan Pengendalian Pelaksanaan pekerjaan perlakuan pemberantasan tegakan A. nilotica dilakukan setelah tahapan prakondisi selesai dilaksanakan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Penyiapan pekerja, alat dan bahan. b. Pengarahan pekerja berkaitan teknik/metode perlakuan, dan pemahaman aturan/etika beraktivitas di kawasan taman nasional. c. Pembuatan campuran bahan oles perlakuan pengolesan berupa herbisida dan solar (dosis 5 ml herbisida : 1 liter solar). d. Pelaksanaan pekerjaan berupa penebangan batang A. nilotica. yang selanjutnya dilakukan pengolesan tunggak, perancapan serta pembakaran e. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan (dilakukan dengan rasio pengawasan 1 pengawas untuk 10 pekerja). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 10

16 Gambar 3. Persiapan dan pengarahan pekerja pelaksana kegiatan pemberantasan A. nilotica. Gambar 4. Pembuatan campuran oles herbisida dan solar Gambar 5. Pelaksanaan pekerjaan perlakuan (pemotongan batang, pengolesan tunggak, perancaban, pembakaran Acacia nilotica serta tanaman pengganggu lainnya). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 11

17 Terdapat beberapa kendala/kesulitan dalam pelaksanaannya tetapi secara umum dapat ditolerir dan diantisipasi dengan baik hingga dapat menghasilkan hasil yang efektif sampai dengan selesainya kegiatan. Beberapa kendala/kesulitan tersebut diantaranya: a. Pengangkutan bahan perlakuan berupa solar dengan jumlah yang cukup banyak (200 liter/ha). Pada pengerjaan di musim kemarau pengangkutan alat, bahan dan pekerja dapat di lakukan menggunakan kendaraan traktor pada jalan pemeriksaan yang telah ada. b. Adanya pemahaman teknik/metode perlakuan yang bervariasi di tingkat pekerja sehingga dikhawatirkan berpotensi tidak seragamnya hasil perlakuan dan konsumsi bahan oles pada tiap batang A. nilotica. Kendala ini diantisipasi melalui pelaksanaan pengawasan yang mencakup peran pendampingan untuk memastikan perlakuan pengolesan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Gambar 6. Contoh pemahaman teknik yang bervariasi yang dapat menyebabkan tidak seragamnya hasil perlakuan dan konsumsi bahan oles Secara umum respon perlakuan pada tiap individu (meski dimungkinkan terdapat respon variatif pada tiap individu), di minggu pertama sampai keempat menunjukkan penampakan warna yang berbeda pada tunggak sisa tebangan ditandai dengan mengeringnya cambium pada lapisan luar tunggak dan berwarna agak pucat dan pada bagian tengah tunggak tampak pecah. Setelah 1-3 bulan pasca perlakuan umumnya ditandai dengan gejala mengeringnya tunggak sisa tebangan. Setelah lebih dari 3 bulan dapat disepakati merupakan durasi waktu yang tepat untuk menentukan mati tidaknya individu hasil perlakuan. Yaitu ditandai dengan tidak adanya daun trubusan sama sekali pada tunggak sisa tebangan dan lapisan kulit sampai kayu pada tunggak yang telah kering total. Gambar 7. Rata-rata hasil perlakuan setelah 1-4 minggu. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 12

18 Gambar 8. Perkembangan hasil perlakuan setelah 1-3 bulan. Gambar 9. Hasil perlakuan pengolesan batang setelah lebih dari 3 bulan, yang dapat dinyatakan telah mati. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 13

19 Pada individu-individu gagal perlakuan, penilaian gagal tidak dapat diketahui secara cepat. Setidaknya memerlukan waktu lebih dari 3 bulan pasca perlakuan. Pada minggu pertama sampai kedua umumnya keseluruhan individu hasil perlakuan menunjukkan respon/gejala yang relatif sama. Tetapi setelah lebih dari 3 bulan pada individu gagal ditandai dengan tumbuhnya tunas-tunas baru pada tunggak dengan jumlah bervariasi (Gambar 10). Gambar 10. Indikasi gagal perlakuan berupa tumbuhnya tunas baru pada tunggak sisa tebangan. 4) Ulangan Perlakuan (Sulaman) Keseluruhan pelaksanaan perlakuan di lokasi Savana Bekol Bagian Barat seluas 33,99 Ha membutuhkan waktu sekitar 4 bulan berturut-turut dari blok pojok savana bekol bagian barat kearah utara menuju kandang banteng kearah barat dan timur. Dengan demikian petak-petak yang dikerjakan pertama kali telah berumur 4 bulan pasca perlakuan untuk dapat ditentukan mati atau tidak. Perlakuan sulaman dilakukan dengan cara dikerjakan mulai dari petak-petak pertama berturut-turut sedemikian rupa sehingga pada saat sampai pada petak-petak terakhir telah didapatkan waktu cukup untuk menilai keseluruhan individu telah mati atau bertunas kembali yang kemudian diteruskan dengan perlakuan ulangan/sulaman. Gambar 11. Pelaksanaan pekerjaan perlakuan pengolesan ulangan pada individu-individu gagal perlakuan (tumbuh kembali). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 14

20 c. Tebang Bakar Teknik pengendalian tebang bakar optimal dilaksanakan pada musim kemarau sehingga saat awal musim hujan dapat dilakukan restorasi ekosistem dengan melakukan penanam rumput. Kelemahan dari teknik ini adlah memerlukan bahan bakar yang cukup untuk mematikan tonggak pohon akasi yang telah ditebang. Kemudian memerlukan pengawasan yang ketat sehingga pembakaran yang dilakukan tidak menyebar ke areal yang tidak dikehendaki. 1) Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan ini terdiri dari : Alat Bahan Habis Pakai 1. GPS 1. Solar 2. Kamera 2. BBM 3. Anglo 4. Sekop 5. Chainsaw 6. Sarung tangan 7. Sapu lidi 8. Meteran 9. Traktor 2) Biaya dan Alokasi Dana Pengendalian Biaya pengendalian diasumsikan untuk kawasan terinvasi A. nilotica dengan kategori kerapatan sedang. Alokasi pembiayaan dapat berubah sesuai dengan tingkat kerapatan akasia pada daerah pengendalian. Tabel 4. Biaya pengendalian A. nilotica menggunakan metode tebang bakar No. Jenis Biaya Volume Unit Harga/Unit (Rp.) Total (Rp.) 1. Tenaga kerja 30 Orang , - 2. Bahan Bakar 50 Liter , - 3. Sekop 15 Buah , - 4. BBM Chainsaw 25 Liter , - 5. Sewa Chainsaw 1 Buah , - 6. Oli Bekas 10 Liter , - 7. Anglo 38 Buah , - 8. Sapu lidi 15 Buah , - Total , - 3) Pelaksanaan Pengendalian Pelaksanaan pekerjaan perlakuan pemberantasan tegakan A. nilotica dilakukan setelah tahapan prakondisi selesai dilaksanakan, dengan tahapan sebagai berikut : a. Penyiapan pekerja, alat dan bahan. b. Pembagian regu kerja, yaitu: - Penebang - Pengumpul limbah - Pembakar tunggak c. Pengarahan pekerja berkaitan teknik/metode perlakuan, dan pemahaman aturan/etika beraktivitas di kawasan taman nasional. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 15

21 d. Penebangan pohon akasia menggunakan chainsaw, setelah ditebang pekerja mengumpulkan limbah hasil tebangan untuk dibakar e. Bara api hasil pembakaran kemudian diberikan ke tunggak pohon yang ditebang menggunakan anglo. f. Pembakaran tunggak dilakukan hingga benar-benar terbakar habis. Efektifitas pembakaran tunggak sangat ditentukan oleh pengewasan terhadap bara apai yang diberikan pada tunggak pohon g. Pengawasan pelaksanaan pekerjaan (dilakukan dengan rasio pengawasan 1 pengawas untuk 10 pekerja). 5. Monitoring dan Evaluasi Tahapan akhir pengendalian akasia adalah melakukan monitoring dan evaluasi. Hal tersebut dilakukan untuk melihat seberapa efektif pengendalian yang dilakukan. Kemudian kegiatan ini juga memantau apakah terdapat pertumbuhan kembali dari akasia serta pemantaua terhadap gulma yang muncul setelah area kawasan menjadi terbuka. Lahan yang terbuka memiliki resiko yang tinggi untuk diinvasi oleh tumbuhan asing maupun gulma berdaun lebar. Gambar 12. Areal hasil perlakuan stump brushing (oles tunggak). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 16

22 Tahapan ini dilakukan untuk memonitor progres capaian upaya pemulihan ekosistem dan efektivitas perlakuan. Dilakukan melalui pendekatan analisis vegetasi untuk mengukur tingkat keberhasilan perlakuan di tiap tahapan, sebagai acuan pelaksanaan perlakuan lanjutan berikutnya dan pemantauan tingkat keberhasilan restorasi ekosistem savana yang ditandai dengan mendominasinya tutupan rumput menahun. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam perlakuan dan metode ini diantaranya : 1. GPS 6. Kompas 2. Kamera 7. Tali ukur 3. Tally sheet 8. Roll meter 4. Panduan identifikasi jenis 9. Golok rintis 5. Alat tulis 10. Perangkat komputer Gambar 13. Skema PU dan ploting PU pada monitoring perkembangan tutupan vegetasi savana. Pengukuran dan monitoring dilakukan dengan pendekatan sampling menggunakan metode analisis vegetasi. Intensitas sampling sebesar 2 %. Menggunakan petak ukur bertingkat 20x20 m, ploting PU dilakukan secara sistematik yang diproyeksikan pada peta kerja sebagai acuan pelaksanaannya di lapangan. Hasil analisis kuantitatif dari analisa vegetasi digunakan untuk menjelaskan secara deskriptif gambaran struktur komunitas vegetasi yang ada, kondisi keberadaan A.nilotica, tutupan rumput dan vegetasi lainnya baik yang berperan sebagai komponen keragaman ataupun gulma. Gambaran kuantitatif dan deskriptif struktur komunitas vegetasi tersebut yang digunakan sebagai dasar pengukuran keberhasilan perlakuan dan progress suksesi restorasi ekosistem. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 17

23 6. Pengendalian Vegetasi Pioner Pengendalian vegetasi pioner dimaksudkan sebagai upaya untuk memberantas tumbuhan yang umumnya tumbuh serentak pasca pengendalian tegakan A. nilotica. Perlakuan ini diperlukan sebagai prakondisi sebelum dilakukannya perlakuan lanjutan terutama yang berupa penanaman rumput. Vegetasi pioner ini umumnya berkeragaman tinggi, didominasi tumbuhan herba berdaun lebar dan keseluruhan umumnya bersifat dan berperan gulma bagi rumput savana. Beberapa terbukti bersifat invasif seperti kapasan (Thespesia lampas), lampesan (Hyptis suaveolens), nyawon (Vernonia cinerea), ketul (Cosmos caudatus), jarak merah (Jatropha gossypifolia), widuri (Calotropis gigantea), kemangian (Ocimum spp.) dan lain-lain. Beberapa jenis memiliki daya persebaran rendah (lambat) tetapi sangat sulit dikendalikan (diberantas) yaitu otok-otok kebo (Flemingea linneata). Alat dan bahan yang dipergunakan dalam perlakuan dan metode ini diantaranya : 1. Sprayer gendong 9. Sarung tangan 2. Jerigen 10. Air 3. Gelas ukur 11. Herbisida 4. Corong 12. Tali ukur 5. Masker 13. Roll meter 6. Timba (ember) 14. Traktor (kendaraan angkut alat bahan dan pekerja) 7. Gayung 15. BBM 8. Kompas Tabel 4. Biaya pengendalian A. nilotica menggunakan metode tebang bakar No. Jenis Biaya Volume Unit Harga/Unit (Rp.) Total (Rp.) 1. Tenaga kerja 10 Orang , - 2. Herbisida 1 Liter , - 3. Gayung/Ember 5 Buah , - 4. BBM 25 Liter , - 5. Sprayer 5 Buah , - 6. Masker 10 Buah , - 7. Gelas Ukur 5 Buah , - 8. Corong 5 Buah , - 9. Jerigen 20 Buah , - Total , - Metode yang digunakan pada tahapan pengendalian vegetasi pioner ini yaitu dengan teknik penyemprotan menggunakan herbisida. Bahan semprot menggunakan herbisida triclopyr (bekerja sistemik, selektif terutama pada jenis-jenis berkayu berdaun lebar semusim ataupun menahun), dengan dosis yang disesuaikan dengan jenis-jenis vegetasi pioner yang ada sesuai dengan label yang tertera pada kemasan herbisida yang digunakan. Menurut Tjitrosoedirdjo et al. (2011), penyemprotan menggunakan herbisida triclopyr pada konsentrasi 1.0 ltr/ha diencerkan dengan air, dan dikalibrasikan untuk 400 ltr/ha ditambah surfactan (Agrictick) 2% dan diaplikasikan dengan semprotan (sprayer) memakai nosel T-jet berwarna biru pada pengendalian gulma Thespesia lampas mampu menurunkan persen penutupan gulma hingga tinggal 11,6 %. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 18

24 7. Pengendalian Laju Invasi Kembali Acacia nilotica Laju invasi kembali A. nilotica terutama terlihat signifikan pada saat awal musim penghujan. Yaitu ditandai dengan tumbuhnya secara serentak dan relatif merata di keseluruhan areal pasca pemberantasan A. nilotica. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam perlakuan dan metode ini diantaranya : 1. Sarung tangan 8. Timba 2. Tang 9. Kuas 3. Dlemok (sabit tebal) 10. Sprayer kecil 4. Linggis pipih 11. Herbisida 5. Golok 12. Solar 6. Kapak 13. Traktor (kendaraan angkut alat bahan dan pekerja) 7. Tali ukur 14. BBM Pengendalian dilakukan dengan pendekatan beberapa metode yang pelaksanaannya dikombinasikan sesuai kondisi semai dan kondisi lapangan yang ada di keseluruhan areal pemeliharaan, yaitu : a. Hand pulling (pencabutan langsung secara manual) b. Dilakukan secara langsung menggunakan tangan, sarung tangan atau tang pada individu A. nilotica berstrata semai (kecambah). Tata waktu perlakuan di awal musim hujan, pada saat masih kecil dan tanah masih basah/lunak sehingga mudah dilakukan. c. Pemotongan pangkal (pada bagian di bawah leher akar) d. Pemotongan menggunakan dlemok, sabit, linggis pipih pada bagian di bawah leher akar, dengan demikian efektif mematikan seedling pada individu A. nilotica berstrata seedling berukuran Ø < 2 cm. e. Cut stump (tebang oles) f. Pemotongan menggunakan golok atau kapak. Setelah dipotong segera dilakukan pengolesan tonggak menggunakan campuran herbisida dan solar. pada individu A. nilotica berstrata pancang berukuran Ø > 2 cm. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 19

25 8. Pengendalian Gulma Berbeda dengan vegetasi pioner (walaupun secara umum juga berpotensi gulma), gulma dimaksud merupakan tumbuhan pengganggu tutupan rumput alami ataupun hasil tanaman. Pengendalian diprioritaskan pada jenis-jenis yang berpotensi mengganggu pertumbuhan rumput secara signifikan seperti kapasan (Thespesia lampas), nyawon (Vernonia cinerea), lampesan (Hyptis suaveolens), ketul (Cosmos caudatus), otok-otok kebo (Flemingea linneata) dan lain-lain. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam perlakuan dan metode ini diantaranya : 1. Sarung tangan 8. Air 2. Tang 9. Herbisida 3. Mesin pemotong rumput 10. Jerigen 4. Sabit 11. Gelas ukur 5. Dlemok (sabit tebal) 12. Ember 6. Linggis pipih 13. Traktor (kendaraan angkut alat bahan dan pekerja) 7. Sprayer gendong 14. BBM Pengendalian dilakukan dengan pendekatan beberapa metode yang pelaksanaannya dikombinasikan sesuai kondisi semai dan kondisi lapangan yang ada di keseluruhan areal pemeliharaan, yaitu : a. Hand pulling (pencabutan langsung secara manual) b. Dilakukan secara langsung menggunakan tangan, sarung tangan atau tang pada target jenis-jenis gulma seperti tersebut di atas. c. Pemotongan sebelum fase generatif sebelum musim kemarau d. Pemotongan menggunakan mesin pemotong rumput atau sabit. Pada target jenis-jenis gulma seperti tersebut di atas. e. Pemotongan pangkal (di bagian bawah leher akar) f. Pemotongan menggunakan dlemok, sabit atau linggis pipih pada bagian di bawah leher akar di bawah permukaan tanah, dengan demikian efektif mematikan gulma. g. Over all spraying (penyemprotan) menggunakan herbisida h. Penyemprotan herbisida dilakukan pada awal penghujan di bulan Februari-Maret ketika vegetasi pioner masih cukup pendek (±10 cm). Bahan semprot menggunakan herbisida triclopyr (bekerja sistemik, selektif terutama pada jenis-jenis berkayu berdaun lebar semusim ataupun menahun). Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 20

26 9. Retorasi Ekosistem Restorasi/revegetasi savanna dilakukan setelah perlakuan pengendalian. Area yang telah terbebas dari invasi A. nilotica disemprot dengan herbisida yang bertujuan untuk mematikan jenis-jenis gulma dan rumput lain yang dianggap bukan merupakan pakan Banteng dan satwa herbivor lainnya. Kemudian dilakukan revegetasi dengan cara penanam rumput local dan disukai oleh Banteng. Sedangkan pada areal yang tumbuh rumput yang sesuai dengan hijauan pakan satwa Banteng maka tidak perlu disemprot dengan herbisida. Tahapan restorasi/revegetasi areal yang telah terbebas invasi A. nilotica adalah sebagai berikut: a. Pembuatan lubang tanam yang berukuran cm dengan jarak tanam 1 1 m. b. Pemberian pupuk kandang yang diberikan satu bulan sebelum penanaman (optional). c. Pemberian pupuk NPK sebanyak 8 g yang diberikan sebagai pupuk dasar dan diberikan pada saat penanaman. d. Pendongkelan bibit rumput yang dikehendaki dari areal savana dengan ukuran 15 (p) 15 (l) 10 (t) cm. e. Bibit tersebut sebaiknya ditanam pada hari yang sama dengan pendongkelan untuk menghindari kelayuan, atau disimpan maksimal semalam kemudian ditanam keesokan harinya. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 21

27 Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 22

28 Gambar 14. Pertumbuhan rumput pasca kegiatan pengendalian dan restorasi ekosistem DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S dan Palete, Ramon Potensi Makanan Banteng (Bos Javanicus) Di Cagar Alam Ujung Kulon. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonimous Savana Afforestation in Africa; FAO Forestry Paper. Food an Agriculture Organization (FAO) of the United Nations (UN). Rome. Heyne, K Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan, Jakarta. Hitchcock, A. S A Manual of Farm Grasses. Published by the Author. Washington, D. C. Francis, Mary Evans The Book of Grasses. An Illustrated Guide to the Common Grasses, and the Most Common of the Rushes and Sedges. Doubleday, Page and Company. Garden City. New York. Munandir, Jody Ilmu Gulma. Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang, Jawa Timur). Mutaqin, Ikin Zainal Upaya Penanggulangan Tanaman Eksotik Acacia nilotica di Kawasan Taman Nasional Baluran. Makalah pada Seminar Memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Dunia 2001, Bogor 22 Mei Sastroutomo, S.S Ekologi Gulma. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soerianegara, I. dan Irawan, A. (2005). Ekologi Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 23

29 Wind, Jan dan Amir, Harry Proposed Baluran National Park : Management Plan Field Report of UNDP/FAO. Nature Conservation Project. Bogor. Pedoman Pengendalian dan Restorasi Savana Terinvasi Acacia nilotica 24

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA. Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA. Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan REHABILITASI SAVANA BEKOL DENGAN PEMBERANTASAN GULMA Oleh : TIM PENGENDALI EKOSISTEM HUTAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 LAPORAN KEGIATAN REHABILITASI SAVANA BEKOL

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan

Lebih terperinci

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 1 BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Telah diketahui

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya

BAB I PENDAHULUAN. Alpert dkk., 2000). Menurut Indriyanto (2006), Invasi merupakan proses masuknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara ekologi, invasi merupakan pergerakan suatu spesies dari suatu area dengan kondisi tertentu menuju ke area lain dengan kondisi yang berbeda kemudian secara perlahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

Suhadi Department of Biology, State University of Malang

Suhadi Department of Biology, State University of Malang Berk. Penel. Hayati: ( ), 00 sebaran tumbuhan bawah pada tumbuhan Acacia nilotica (l) Willd. ex Del. di savana bekol taman nasional baluran Suhadi Department of Biology, State University of Malang ABSTRACT

Lebih terperinci

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN Ambar Kristiyanto NIM. 10615010011005 http://www.ppt-to-video.com Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional tertua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki

I. PENDAHULUAN. dan gajah yang keberadaannya sudah mulai langka. Taman Nasional. Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam taman nasional yang memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari tiga taman nasional yang ada di Sumatera yang dapat mewakili prioritas tertinggi unit konservasi

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN BAB III PERSIAPAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Kecamatan Medan Percut Sei Tuan dengan ketinggian tempat kira-kira 12 m dpl,

III. METODE PENELITIAN. Kecamatan Medan Percut Sei Tuan dengan ketinggian tempat kira-kira 12 m dpl, III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di Jl. Kolam No.1 Medan Estate Kecamatan Medan Percut

Lebih terperinci

Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica

Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Penggunaan Accu zuur Dalam Rangka Pemberantasan Sedling dan Trubusan Acasia nelotica Oleh : Nama : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

Lebih terperinci

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI 1 EFEKTIVITAS PENGGUNAAN HERBISIDA KONTAK TERHADAP GULMA CAMPURAN PADA TANAMAN KOPI Oleh NUR AYSAH NIM. 080500129 PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN JURUSAN MANAJEMEN PERTANIAN POLITEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia

I. PENDAHULUAN. lebih dari jenis tumbuhan terdistribusi di Indonesia, sehingga Indonesia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta kehidupan liar lain yang mengundang perhatian berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat lebih dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Teh termasuk famili Transtromiceae dan terdiri atas dua tipe subspesies dari Camellia sinensis yaitu Camellia sinensis var. Assamica dan Camellia sinensis var.

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan

Lebih terperinci

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut

Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut Penyusun E. Sutisna Noor Penyunting Arif Musaddad Ilustrasi T. Nizam Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 8. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kenampakan Secara Spasial Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara VIII Cimulang Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian III. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate, Kecamatan Percut

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Savana Taman Nasional Baluran

Savana Taman Nasional Baluran B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212 Savana Taman Nasional Baluran Baluran Nasional Park Savanna M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12 BAB III METODOLOGI PENELIT TIAN 31 Waktu dan Tempat Penelitian inii dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang berlokasi di TAHURA Inten Dewata dimana terdapat dua lokasi yaitu Gunung Kunci dan

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

E U C A L Y P T U S A.

E U C A L Y P T U S A. E U C A L Y P T U S A. Umum Sub jenis Eucalyptus spp, merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buana Sakti dan sekitarnya pada bulan November -- Desember 2011. B. Objek dan Alat Penelitian Objek pengamatan

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan Strategi Penyelamatan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dari... STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP

Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP VII. KALIBRASI PESTISIDA & ALAT SEMPROT KALIBRASI PESTISIDA DAN ALAT SEMPROT Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP MODUL-07 Department of Dryland Agriculture Management, Kupang State

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila),

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan Universitas Lampung (Unila), Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Ilmu Gulma Universitas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Desa Muara Putih Kecamatan Natar Lampung Selatan dengan titik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kegiatan penambangan telah meningkatkan isu kerusakan lingkungan dan konsekuensi serius terhadap lingkungan lokal maupun global. Dampak penambangan yang paling

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR 16 III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR A. Tempat Pelaksanaan Tugas Akhir Kegiatan Tugas Akhir dilaksanakan di Banaran RT 4 RW 10, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. B. Waktu

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R MODULE PELATIHAN 4 PENANAMAN POHON Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI Serial Number : PD 210/03 Rev. 3 (F)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Perencanaan Hutan Kota Arti kata perencanaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Fak. Ilmu Komputer UI 2008) adalah proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 4 praktek perambahan masyarakat lokal melalui aktivitas pertanian atau perladangan berpindah dan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan karakteristik usaha kehutanan yang

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gorontalo sebagian besar wilayahnya berbentuk dataran, perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian 0 2000 M di atas permukaan laut. Luas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten 30 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

Analisis Vegetasi Hutan Alam

Analisis Vegetasi Hutan Alam Analisis Vegetasi Hutan Alam Siti Latifah Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur hutan.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

TANAMAN HUTAN. Oleh : Sri Wilarso Budi R. ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4 th -6 th May

TANAMAN HUTAN. Oleh : Sri Wilarso Budi R. ITTO Training Proceedings, Muara Bulian 4 th -6 th May 5 MODULE PELATIHAN PEMELIHARAAN TANAMAN HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT IN DUSUN ARO, JAMBI Serial Number : PD 210/03

Lebih terperinci