PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM KEMARAU TAMAN NASIONAL BALURAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM KEMARAU TAMAN NASIONAL BALURAN"

Transkripsi

1 LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM KEMARAU TAMAN NASIONAL BALURAN

2 2006 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasinal Baluran merupakan kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman satwa dan habitat alamnya dengan berbagai tipe komunitas.tipe vegetasi yang dimiliki oleh Taman Nasional Baluran antara lain hutan payau, hutan rawa, hutan pantai, savana dan hutan musim. Hutan musim terdiri dari dua tipe vegetasi yaitu hutan musim alam dan hutan tanaman jati. Hutan musim dijumpai dari lereng Gunung Baluran sampai mendekati pantai, kawasan hutan musim mempunyai nilai penting sebagai perlindungan ekosistem dan merupakan habitat mamalia besar seperti Banteng ( Bos javanicus ), Kerbau liar ( Bubalus bubalis ) dan Rusa Timor ( Cervus timorensis ). Padang rumput di Taman Nasional tersebar diberbagai tempat diantaranya di Karangtekok, Balanan, Semiang, Kramat, Talpat dan Bekol. Padang rumput merupakan habitat yang penting bagi kehidupan berbagai jenis satwa liar, karena baik padang rumput maupun savanna ternyata bukan hanya sekedar tempat untuk mencari makan, tetapi juga merupakan tempat untuk melakukan komunikasi sosial, memelihara / mengasuh dan membesarkan anaknya ( Alikodra, 2002 ). Peningkatan penyebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran telah meluas di seluruh areal savana. Penyebaran ini juga terjadi di savanna Bekol yang mengakibatkan berkurangnya ruang tumbuh species tumbuhan asli savana Bekol yang sebagian besar merupakan makanan herbivora. Penurunan jumlah makanan herbivora didukung pula oleh suksesi sekunder yang berjalan dengan baik akibat tidak adanya pemutusan pergerakan ini. Kondisi hijauan rumput di savana sangat dipengaruhi oleh jumlah satwa, persaingan jenis rumput, musim serta perubahan ekosistem yang disebaakan oleh campur tangan manusia ( Setyawati dan Mukhtar dalam Budi Utomo, 1997 ) Peningkatan produktivitas savanna diperlukan usaha usaha perbaikan yang dituangkan kedalam program program pengelolaan habitat yang menjamin

3 kelesatarian satwa liar beserta lingkungannya. Pengelolaan padang rumput dan savaana meliputi beberapa tujuan antara lain, untuk mempertahanakan kesuburan tanah, mencegah kerusakan tanah, baik karena erosi ataupun injakan kaki satwa, memberantas tumbuhan pengganggu dan memelihara produktivitas hijauan makanan satwa. Kegiatan praktisnya di lapangan terdiri dari : penggunaan pupuk, penggunaan api, system tanaman campuran, pemberantasan tumbuhan pengganggu dan penggemburan lapisan olahan ( top soil ) ( Alikodra, 1999 ). Penurunan kualitas savanna bekol sebagai habitat herbivora tidak dapat dibiarkan terus menerus berlangsung. Untuk meningkatkan kualitas savanna diperlukan berbagai data mengenai penyebab menurunnya kualitas savanna tersebut. Untuk mempertahankan kondisi populasi satwa herbivora maka hijauan sebagai pakan yang merupakan faktor pembatas diusahakan selalu tersedia dalam jumlah cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Penggunaan makanan oleh satwa ditentukan oleh perubahan ketersediaan dan kualitas jenis jenis makanan di dalam lingkungannya. Pada umumnya dari tahun ke tahun selalu terjadi perubahan tingkat kelimpahan makanan. Oleh sebab itu perlu diketahui produktivitasnya ( Alikodra, 2002 ) Untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu didukung data mengenai kondisi dan produktivitas savanna Bekol. Untuk memperoleh data tersebut diatas maka perlu diadakan penelitian mengenai kondisi dan produktivitas savana guna mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi populasi flora dan faunanya. Tujuan Tujuan pegumpulan data dan informasi produktifitas Savana Bekol musim kemarau adalah untuk mengetahui daya dukung rumput untuk pakan satwa pada Savana Bekol dalam rangka pembinaaan habitat pakan satwa.

4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Padang Rumput Padang rumput merupakan salah satu komponen lingkungan hidup herbivora terpenting, karena padang rumput menyediakan makanan, selanjutnya akan menentukan populasi karnivora. Oleh karena itu untuk melestarikan dan mengembangkan populasi herbivora, kualitas dan kuantitas makanan di padang rumput harus diperhatikan dengan seksama. Menurut Horton ( 1992 ) padang rumput merupakan daerah daerah terbuka bertumbuhan rumput rumputan dan semak, daerah ini terjadi karena adanya kebakaran hutan secara alami. Menurut Alikodra ( 1979 ) grazing area adalah suatu daerah yang cukup luas yang berbentuk padang rumput yang menjadi makanan herbivora di dalam suatu kawasan suaka alam. Jenis jenis rumput yang dikehendaki untuk grazing area adalah jenis rumput yang disukai satwa, cepat tumbuh, tahan injakan satwa, tahan api dan tahan kekeringan. Mcllory (!977 ) mengemukakan bahwa pada umumnya padang rumput alam di dunia diklasifikasikan ke dalam lima tipe yang sesuai dengan sifat tumbuh tumbuhan penutupnya yaitu : 1. Padang rumput savana mempunyai rumput penutup tanah yang hampir rapat dengan pohon pohon yang tumbuh terpencar yang kadang cukup rapat untuk membentuk hutan, tetapi tidak cukup rapat untuk menaungi sehingga menghambat pertumbuhan rumput. Sebagian besar tanah tanah penggembalaan di daerah tropik termasuk dalam kategori ini. 2. Stepa rumput hampir seluruhnya terdiri dari rumput tanpa leguminosa dan sangat sedikit ditumbuhi semak. Pada umumnya tidak terdapat pohon pohon dan belukar. Rumpu rumput asli yang umumnya tumbuh di daerah itu termasuk tipe yang membentuk rumpun. 3. Stepa semak ditumbuhi oleh semak semak yang tumbuhnya rendah seringkali tidak lebih tinggi dari 90 cm.

5 4. Belukar gurun, dicirikan dengan rumput penutupnya terdiri dari tanaman tahunan yang tumbuh setelah hujan lebat. Selama musim kemarau kehidupan ternak ternak tergantung dari pucuk pucuk daun belukar tersebut. Belukar gurun merupakan vegetasi khas daerah kering ( arida ) dan setengah kering ( semi arida ) tropika. 5. Padang rumput alpin sangat erat sekali hubungannya dengan stepa-rumput dan dapat dijumpai di Skotlandia, di Pegunungan Alpen, di Pegunungan Himalaya dan sebagainya. Tumbuh tumbuhan penutup terdiri dari rumput rumput yang pendek dan tidak terdapat leguminosa. Padang rumput merupakan sumber penyedia hiajuan alami yang secara langsung dapat dimakan oleh hewan. Padang rumput yang baik dan ekonomis ialah yang terdiri atas campuran dari rumput dan leguminosa, dengan catatan leguminosa ini dalam pertumbuhannya tidak mengganggu pertumbuhan rumput. B. Produktifitas Padang Rumput Produktivitas merupakan hasil yang dipungut atau dipanen persatuan bobot, luas dan waktu. Sedangkan biomassa adalah hasil yang dipanen atau dipungut persatuan luas dan bobot ( Hafis, 1993 dalam Budi Utomo 1993 ). Produktivitas rumput diperoleh dengan cara memotong dan menimbang rumput yang terdapat di areal tersebut. Untuk mendapatkan angka yang baik pemotongan dilakukan setiap bulan atau menurut interval waktu tertentu. Produktivitas yang baik menurut Wind & Amir ( 1997 ) dalam Setyawati & Mukhtar ( 1992 ) yaitu 6000 kg per ha atau 150 kg/ha/hari. Menurut Mcllory pemotongan rumput dilakukan pada ketinggian yang telah ditentukan, pada umumnya sangat dekat dengan permukaan tanah. Jadi semua jenis rumput terukur hanya sebatas bagian yang berada di atas permukaan tanah. Mcllory ( 1997 ) menyatakan bahwa produktivitas padang rumput tergantung pada beberapa faktor yaitu : 1. Persistensi ( daya tahan ), yaitu kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang secara vegetatif. 2. Agresivitas ( daya saing ) yaitu, kemampuan memenangkan persaingan dengan species lain yang tumbuh bersama.

6 3. Kemampuan untuk tumbuh kembali setelah injakan dan pengembalaan yang berat. 4. Sifat tanah kering dan tahan kering. 5. Penyebaran produksi musiman. 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat berkembangbiak secara vegetatif. 7. kesuburan tanah. 8. Iklim, terutama besarnya curah hujan dan distribusi hujan. Spedding ( 1997, dalam Budi Utomo 1997 ) menyatakan bahwa hasil rumput ( hijauan makanan satwa ) tahunan dari pertumbuhan rumput biasanya dicirikan oleh musim yang lebih baik. Pola pertumbuhan ini dapat dirubah dengan cara pemupukan dan pemangkasan. Kecepatan pertumbuhan rumput akan berbeda tergantung pada habitat tumbuh dan perbedaab temperature tanah. Menurut Alikodra ( 1979 ) produktivitas kawasan merupakan modal yang secara ekonomis paling menguntungkan untuk mengembangkan populasi satwa sampai pada tingkat tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas padang rumput antara lain : 1. Suksesi, yaitu suatu proses perubahan dari unsur biotik dan abiotik sesuai dengan ekosistemnya. 2. Persaingan jenis rumput, terutama pada padang rumput alam kemungkinana jenis rumput tidak disukai oleh satwa akan muncul menggantikan jenis jenis yang disukai oleh satwa. 3. Pengaruh musim, yaitu dalam musim kemarau mengalami kekeringan, sehingga mengalami masalah produksi makanan menurun. 4. Over grazing, yaitu suatu keadaan yang menunjukkan bahwa jumlah satwa yang merumput telah melebihi daya dukung padang rumput. Stamfort ( 1960 ) dalam Mcllory ( 1997 ) menaytakan bahwa kesalahan kesalahan yang biasa terjadi pada pengukuran kuantitas hijaun dapat disebabkan karena : 1. Variasi produksi antar petak petak. 2. Kesalahan cuplikan acak ( random sampling ) dalam menduga produksi.

7 3. Variasi konsumsi yang disebabkan oleh perbedaan perbedaan hijaun dalam hal jumlah tersedia, palatabilitas dan nafsu makan satwa. 4. Kesalahan cuplikan acak dalam menduga sisa hitungan yang tidak termakan. 5. Kesalahan dalam pemotongan dan penimbangan, menyebabkan bias dalam pendugaan produksi dan hijauan. Pola pertumbuhan padang rumput dipengaruhi banyak oleh suhu, biasanya suhu rendah. Naungan dapat mempengaruhi produktivitas padang rumput karena iklim lokal berubah. Demikian juga suhu yang tinggi berpengaruh sama yang dapat menyebabkan kekeringan yang merupakan faktor penentu utama pada pola pertumbuhan disbanding dengan suhu yang rendah.

8 III. METODE PENGUMPULAN DATA A. Lokasi Data diambil dari Savana Bekol setelah melakukan penelitian studi produktifitas Savana Bekol periode musim kemarau. C. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adantara lain : gunting rumput, rol meter plastic, raffia, meteran, penggaris, kompas, kamera, timbangan, patok amboo, parang dan gergaji. D. Metode Pengambilan dan Analisis Data Metode pengambilan data dilakukan secara langsung ( data primer ) dan tidak langsung ( data sekunder ). Data primer meliputi hasil survei analisa vegetasi, pengukuran produktivitas rumput. Survei atau studi lapangan dilakukan pada awal dan akhir penelitian untuk mengetahui kondisi savana secara umum terutama mengenai luas, topografi lapangan dan kondisi vegetasi. E. Data Primer Produktifitas padang rumput Untuk mendapatkan data produktivitas padang rumput dibuat petak petak contoh dengan ukuran 1 m x 1 m sebanyak 20 plot. Penentuan petak contoh dilakukan dengan random yaitu dilakukan pengundian yang didasarkan pada penempatan petak contoh analisa vegetasi. Pertama dilakukan pengundian untuk petak contoh yang tidak dipagar sebanyak 10 buah, kemudian dilakukan pengundian untuk petak contoh yang dipagar sebanyak 10 buah. Untuk selanjutnya diaplikasikan ke lapangan. Untuk menghitung produksi rumput dilakukan pemotongan rumput pada 10 plot yang telah ditentukan. Hasil pemotongan rumput ditimbang bertanya yang merupakan produksi rumput pada keadaan alami. Setelah pemotongan awal rumput yang telah dipotong dibiarkan selama 40 hari yang dilanjutkan dengan pemotongan kedua

9 sebagai produksi per plot selama 40 hari. Untuk menghindari aktifitas merumput dari satwa dilakukan pemagaran terhadap 10 plot rumput pada kondisi alami, sedangkan 10 plot rumput yang lain dibiarkan tanpa pemagaran. Untuk mengetahui jumlah rumput yang dimakan satwa setiap harinya dapat dilakukan pendekatan dengan cara membandingkan hasil penimbangan rumput pada plot yang dipagar dengan plot yang tidak dipagar, dimana rumput masing masing dalam kondisi alami. Pengolahan data menggunakan rumus yang seperti dikemukakan oleh Widyatna ( 1982, dalam Setyawan, 1996 ) yaitu dari hasil penimbangan rumput pada petak petak contoh dapat diketahui produksi rumput seluruh areal dengan menggunakan rumus : P = P L l P : Produksi rumput padang rumput L : luas padang rumput. P : Produksi rumput seluruh petak contoh. L : Luas seluruh petak contoh. Untuk mengetahui produktivitas rumput seluruh areal dapat digunakan rumus produktivitas menurut Widyatna ( 1982, dalam Setyawan, 1966 ) yaitu : Produktivitas = Produksi seluruh areal padang rumput Interval waktu pengamatan ( 40 hari ) F. Data Sekunder Data sekunder berfungsi melengkapi data primer yang sangat diperlukan dan menunjang hasil penelitian. Data ini diperoleh dengan menghimpun data data yang telah ada ( terdahulu ) dan studi pustaka. Adapun data data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi : data iklim, data kondisi fisik wilayah penelitian, data curah hujan, data flora dan fauna serta data lain yang menunjang.

10 IV. KONDISI UMUN KAWASAN A. Kondisi Fisik A.1. Status Kawasan, Letak dan Luas Pada awalnya kawasan Baluran berstatus sebagai kawasan suaka margasatwa atas perintah Direktur kebun raya Bogor ( K.W. Waderman ) pada tahun 1937, kemudian pada tahun 1982 dengan surat keputusan Menteri Pertanian, status kawasan Baluran diubah menjadi Taman Nasional Baluran. Taman Nasional Baluran terletak di ujung timur Pulau Jawa. Sebelah Utara dibatasi oleh Selat Madura, sebelah Timur oleh Selat Bali dan bagian Selatan berturut turut dibatasi oleh Dusun Pandean Desa Wonorejo, Sungai Bajulmati, Sungai Kelokoran, Dusun Karangtekok dan Desa Sumberanyar. Berdasarkan letak administratif pemerintahan, Taman Nasional Baluran berada di Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, sedangkan secara geografis terletak pada 7º29 10 sampai 7º55 55 Lintang Selatan dan 114º29 20 sampai 114º39 10 Bujur Timur. Luas Taman Nasional Baluran berdasarkan surat penunjukan Menteri Kehutanan Nomor : 279/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Maret 1997 seluas hektar, yang dalam system pengelolaannya dibagi menjadi beberapa zonasi yaitu : - Zona inti - Zona rimba - Zona pemanfaatan intensif - Zona pemanfaatan khusus - Zona rehabilitasi Dalam kawasan seluas tersebut di atas terdapat bekas HGU atas nama PT Gunung Gumitir seluas 363 Ha di daerah Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, Transmigrasi Lokal angkatan Darat ( Translok ) di Dusun Pandean seluas 57 Ha dan tanah sengketa ( penyerobotan lahan ) Blok Gentong seluas 22 Ha.

11 A.2. Iklim, Topografi dan Tanah Taman Nasional Baluran beriklim Monsooon dengan musim kemarau yang panjang. Musim penghujan terjadi pada Bulan Desember sampai dengan Bulan April, sedangkan bulan kemarau terjadi pada Bulan Mei sampai dengan Bulan Nopember. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Taman Nasional Baluran termasuk ke dalam kelas hujan tipe E dengan temperature berkisar antara 27,2º C sampai 30,9º C, kelembaban udara 77%, kecepatan angina 7 knots dan arah angina dipengaruhu arah tenggara yang kuat. Pengaruhnya terlihat dalam distribusi musim panas dan hujan dimana pada Bulan April samapai dengan Oktober musim kemarau dan Bulan Oktober sampai dengan awal April musim hujan ( Anonimus, 1995 dalam Balai Taman Nasional Baluran, 2002 ). Taman Nasional Baluran memiliki topografi datar sampai bergunung gunung dan mempunyai ketinggian antara 0 samapai 1,27 m dpl. Dataran rendah di kawasan ini terletak di sepanjang pantai yang merupakan batas kawasan sebelah timur dan utara. Sedangkan di Selatan dan Barat mempunyai bentuk lapangan relatif bergelombang. Daerah tertinggi terletak di tengah tengah kawasan, diantaranya Gunung Baluran ( m ). Daerah ini memiliki topografi berbukit sampai bergunung. Kawasan Taman Nasional Baluran didominasi oleh batuan vulkanik tua dan batuan alluvium. Batuan vulkanik tua hampir mendominasi seluruh kawasan sedangkan batuan alluvium terletak disepanjang pantai meliputi daerah Pandean, Tanjung Sedano, Tanjung Sumber Batok dan Tanjung Lumut. Jenis jenis tanah yang ada di Taman Nasional Baluran antara lain, Andosol ( 5,52% ).Latosol ( 20,23% ), Mediterani Merah Kuning dan Grumusol ( 51,25% ) serta Alluvium ( 23% ). Jenis tanah di Taman Nasional Baluran dikelompokkan pada jenis tanah yang ada di daerah datar hingga cekung, berombak, berbukit sampai bergunung. Jenis tanah yang mempunyai penyebaran di daerah bukit adalah Andosol dan Latosol. Daerah yang lebih rendah jenis tanahnya terdiri dari Mediteran Merah Kuning dan Grumusol, sedangkan daerah yang paling rendah ( cekung ) jenis tanahnya didominasi oleh Alluvium. Tanah yang berwarna hitam yang menyelimuti setengah daerah dataran rendah ( antara lain Bekol ), ditumbuhi rumput yang sangat subur sehingga disenangi oleh satwa pemakan rumput.

12 Namun tanah jenis ini mempunyai cirri khas mudah longsor dan sangat berlumpur pada musim penghujan. Sebaliknya bila musim kemarau berlangsung tanah akan menjadi pecah pecah dengan patahan sedalam lebih kurang 10 cm - 80 cm. B. Lingkungan Biotik B.1. Ekosistem Taman Nasional Baluran memiliki tipe ekosistem yang beraneka ragam. Tipe tipe tersebut antara lain hutan pantai, hutan payau, savana dan hutan musim. Hutan pantai terdapat di daerah Popongan, Kelor, Bama, Gatel dan Dadap. Hutan payau dijumpai di daerah Bama, Bilik, Kelor, Mesigit dan Tanjung Sedano. Savana merupakan tipe vegetasi yang dijumpai hampir di seluruh bagian kawasan Taman Nasional baluran dan merupakan habitat satwa Banteng dan Kerbau Liar serta berbagai jenis satwa lainnya. Hutan musim terbagi menjadi dua yaitu hutan musim dataran rendah yang tersebar hampir di seluruh kawasan Taman Nasioanl ( kecuali dibagian tengah ) dan hutan musim dataran tinggi yang terdapat di bagian tengah kawasan. B.2. Flora Taman Nasional Baluran mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi. Dari berbagai vegetasi yang ada terdapat kurang lebih 422 jenis tumbuhan yang termasuk dalam 87 familia ( Anonimus, 1995 ). Sebaran jenis dominant pada setiap tipe vegetasi yang ada di Taman Nasional baluran dapat diuraukan sebagai berikut : a. Hutan Mangrove Tipe hutan ini terdapat di aderah Pantai Utara dan timur kawasan seperti, Bilik, Lempuyang, Mesigit, Tanjung Sedano dan Kelor. Jenis jenis Flora yang umum dijumpai antara lain Api api ( Avicennia spp ), Bakau ( Rhizophora spp ) dan Tanjung ( Bruguiera spp ). Di beberapa tempat seperti Pandean, Mesigit dan sebelah Barat Mesigit terdapat hutan mangrove yang telah rusak,daerah ini akan menjadi Lumpur pada musim hujan tetapi akan berubah menjadi keras dan kering dengan lapisan garam dipermukaannya pada musim kering. Jenis tumbuhan yang sering ditemukan di daerah ini antara lain Api api ( Avicennia spp ) dan truncum ( Lumnitzera racemosa ).

13 b. Hutan Payau Hutan payau di Baluran merupakan daerah ekoton yang berbatasan dengan savanna atau hutan pantai. Penyebaran hutan ini sebagian besar tedapat di Popongan, Kelor, bagian Timur Bama serta Barat laut Gatel. Jenis jenis pohon yang hijau sepanjang tahun dijumpai pada hutan ini. Jenis jenis tersebut antara lain Excocaria agallocha, Syzygium polianthum dan Buchanania arborecens. c. Savana Tipe habitat ini merupakan klimaks kebakaran yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Tipe habitat ini dapat dibedakan menjadi dua sub tipe yaitu savanna datar dan savanna permukaan bergelombang. Savana datar terdapat pada tanah Alluvial berbatu batu, sub tipe savanna ini terdapat di bagian Tenggara kawasan, yaitu daerah sekitar Plalangan dan bekol dengan luasan sekitar 1500 Ha sampai dengan 2000 Ha. Sebagian besar dari populasi banteng, rusa dan kerbau liar menggunakan areal ini untuk merumput. Kondisi saat ini sebagian besra savanna terutama Bekol, Kramat Kajang dan sebagian Balanan telah terinvasi Acacia nillotica yang sebelumnya ditanam ( 1969 ) sebagai sekat baker karena tumbuhan ini tahan api, namun karena pertumbuhannya sangat cepat dan dapat tumbuh pada daerah yang sengat kering, tumbuhan ini akan menjadi ancaman yang serius bagi keberadaan savanna. d. Hutan musim Hutan musim ( Monsoon forest ) yang ada di Taman Nasional Baluran dapat dikelompokkanm menjadi dua jenis yaitu hutan musim dataran tinggi dan hutan musim dataran rendah. Daerah transisi kedua hutan ini terletak pada ketinggian m dpl. B.3. Fauna Keanekaragaman jenis satwa / fauna di Taman nasional Baluran dapat dibedakan menjadi empat ordo yaitu Mamalia, Aves, Pisces dan Reptilia. Jenis Mamalia besar yang sering dijumpai anatara lain Banteng ( Bos javanicus ), Kerbau Liar ( Bubalus bubalis ), Rusa ( Cervus timorensis ), Kijang ( Muntiacus muntjak ), Babi hutan ( Sus sp ), Macan Tutul ( Panthera pardus ) dan Ajak atau anjing hutan ( Cuon alpinus ).

14 Jenis jenis Primata anatara lain Monyet Ekor Panjang ( Macaca fascicularis ) dan Budeng ( Tracyphitecus auratus cristatus ). Sedangkan dari golongan Aves diperkirakan sebanyak 155 jenis. Jenis endemik Jawa yaitu Tulung Tumpuk ( Megalaima javanesis ), Raja Udang ( Pelargopsis capensis ) dan Cekaka ( Halcyon cyanoventris ). Didaerah ini juga terdapat Ayam Hutan ( gallus sp ) dan Burung Merak ( Pavo muticus ). Dari golongan ikan ( Pisces ) belum banyak diketahui informasinya walaupun terdapat jenis yang memiliki nilai ekonomis yaitu Bandeng ( Chanos chanos ), jenis jenis lainnya adalah Dascylus melampus, Bomochantoides imperator, Centopyre bibicca, Chromis caerulous dan beberapa jenis ikan Hiu. Reptilia besar tidak banyak dijumpai di daerah ini, jenis yang sering dijumpai adalah Biawak ( Varanus salvator ) ( Anonimus, 1995 ).

15 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Savana Produktivitas Savana Bekol dihitung dengan menggunakan rumus yang digunakan Widyatna ( 1982 ), yaitu : Produktivitas = Produksi seluruh areal padang rumput Interval waktu pengamatan ( 40 hari ) Untuk menghitung produksi rumput seluruh areal savana digunakan rumus : P = P L l P : Produksi rumput padang rumput L : luas padang rumput. p : Produksi rumput seluruh petak contoh. l : Luas seluruh petak contoh. Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut : A. Produksi seluruh savanna yang diperoleh dari petak petak yang tidak dipagar : P = m² x gr 10 m² = x 454 gr = gr = gr/ha = 4540 Kg/ha Produktivitasnya = gr 40 = gr/hari = gr/ha/hari = 113,5 Kg/ha/hari

16 B. Produksi seluruh savanna yang diperoleh dari petak petak yang dipagar yaitu : P = m² x 5850 gr 10 m² = x 585 gr = gr = gr/ha = 5850 Kg/ha Produktivitasnya = gr 40 = gr/hari = gr/ha/hari = 146,25 Kg/ha/hari Dari hasil penghitungan produktivitas rumput petak contoh yang dipagar lebih besar daripada petak contoh yang tidak dipagar. Hal ini disebabkan karena petak contoh yang digar terhindar dari aktivitas satwa yang ada di savanna, sedangkan pada petak contoh yang tidak dipagar terpengaruh oleh aktivitas satwa. Menurut Alikodra ( 1979 ) bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas padang rumput salah satunya adalah overgrazing yaitu suatu keadaan yang menunjukkan bahwa jumlah satwa yang merumput telah melebihi daya dukung padang rumput, selain itu persaingan antar jenis rumput dan musim juga berpengaruh terhadap kualitas padang rumput. Dari interval waktu pengamatan maka produktivitas savanna Bekol pada saat penelitian diperoleh sebesar113,5 Kg/ha/hari. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya Setyawan ( 1996 ) diperoleh data produktivitas Savana Bekol sebesar 13,7 Kg/ha/hari dan Budi Utomo ( 1997 ) diperoleh data produktivitas savanna Bekol sebesar 86,125 Kg/ha/hari, maka produktivitas pada penelitian ini dikatakan mengalami peningkatan. Meningkatnya produktivitas disebabkan beberapa faktor antara laian ; semakin luasnya kawasan yang telah dibuka dari pengaruh Acasia nilotica mengakibatkan jumlah jenis tumbuhan bawah semakin merata. Menurut Hasanbahri ( 1995 ) bahwa jumlah jenis tumbuhan bawah akan bertambah setelah dilakukan pencabutan Acasia nilotica yaitu adanya usaha pengurangan faktor kompetisi terhadap cahaya telah mampu

17 merangsang pertumbuhan jenis tumbuhan bawah. Hal ini disebabkan karena sinar matahari intensitasnya bisa langsung ke tanah, sehingga sangat membantu pertumbuhan tumbuhan bawah termasuk jenis rumput. Faktor meningkatnya produktivitas juga disebabkan oleh jumlah satwa yang merumput, sesuai pendapat Alikodra ( 1979 ) bahwa satwa yang berlebihan di savanna maka akan merusak habitat, pengaruhnya yang besar terhadap semak ( tumbuhan bawah ). Untuk menghasilkan produktivitas rumput yang baik, menurut Wind dan Amir ( 1997, dalam Budi Utomo 1997 ) bahwa produktivitas rumput yang baik yaitu 150 Kg/ha/hari. Kurang mampunya padang rumput untuk menghasilkan produktivitas yang baik disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor intern tumbuhan itu sendiri dan faktor ekstern ( lingkungan ). Faktor intern anatara lain, persaingan, kemampuan atau daya tahan untuk hidup dan berkembang secara vegetatif, serta tahan injakan satwa. Sedangkan faktor ekstern antara lain kesuburan tanah, iklim dan aktivitas satwa. Seperti yang dikemukakan Mcllory ( 1977 ) bahwa produktivitas padang rumput tergantung pada beberapa faktor yaitu, persistensi ( daya tahan ), agresivitas ( daya saing ), kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan yang berat, sifat tahan kering dan tahan dingin, penyebaran produksi musiman dan kesuburan tanah serta iklim, terutama besarnya curah hujan dan distribusi hujan.

18 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan : Dari hasil penelitian di savanna Bekol dapat disimpulkan : Produktivitas Savana Bekol pada musim hujan sebesar 113,5 Kg/ha/hari, ternyata masih belum memenuhi kriteria produktivitas yang baik. Menurut Wind dan Amir ( 1997, dalam Budi Utomo 1997 ) produktivitas rumput yang baik adalah 150 Kg/ha/hari. B. Saran : Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh Acasia nilotica terhadap habitat satwa yang ada di dalamnya serta tumbuhan yang hidup di bawahnya

19 DAFTAR PUSTAKA Budi Utomo, Studi produktifitas Savana Bekol, Malang. H.S. Alikodra, Pengelolaan Satwa Liar, IPB, Bogor. PEH Baluran, Program Kerja Pengendali Ekosistem Baluran, Taman Nasional Baluran. Richard B. Primack dkk, Biologi Konservasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Arif P dkk, Plot Pengamatan Rumput, PEH Taman Nasional Baluran

20 KATA PENGANTAR Penelitian Produktifitas savana Bekol merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar produktifitas savana, sehingga akan diketahui kemampuan savana dalam pemenuhan kebutuhan hijauan pakan satwa. Rumput merupakan salah satu unsur utama kehidupan mamalia besar oleh karena itu perlu mendapat perhatian yang serius agar keberadaan satwa tetap lestari. Penulis mengucapkan terimakasih kepada, Kepala Seksi Konservasi II Bekol atas motivasinya dan rekan rekan PEH dan POLHUT atas kerjasamanya, sehingga penelitian dapat berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan dan makalah hasil Penelitian Produktifitas Savana Bekol dapat diselesaikan dengan baik. Semoga makalah ini dapat menjadi bahan kajian / masukan dalam pengelolaan Taman Nasional Baluran, dan dapat dipertimbangkan angka kreditnya dalam Jabatan Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan. Penulis mengharapkan kritik / saran / masukannya baik dari segi isi maupun penulisan agar laporan ini sempurna. Semoga dari makalah ini akan ada action plant untuk pembinaan habitat mamalia besar, khususnya di Seksi Konservasi Wilayah II Bekol. Semoga makalah ini berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Bekol, April 2006 Penulis

21 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 2 C. Pembatasan Masalah... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Padang Rumput... 3 B. Produktifitas Padang Rumput... 4 III. METODE PENELITIAN... 7 A. Lokasi dan Waktu Penelitian... 7 B. Obyek Penelitian... 7 C. Alat... 7 D. Metode Pengambilan dan Analisis Data... 7 E. Data Primer Produktifitas Padang Rumput... 7 F. Data Sekunder... 9 IV. KONDISI UMUM KAWASAN A. Kondisi Fisisk A.1 Status kawasan, Letak dan luas A.2 Iklim, Topografi dan Tanah B. Lingkungan Biotik B.1 Ekosistem B.2 Flora B.3 Fauna... 13

22 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produksi seluruh areal yang tidak dipagar B. Produksi seluruh areal yang dipagar... VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran... 20

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN

LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN LAPORAN KEGIATAN Pengendali Ekosistem Hutan PENGUMPULAN DATA DAN INFORMASI PRODUKTIFITAS SAVANA BEKOL PADA MUSIM PENGHUJAN TAMAN NASIONAL BALURAN 2006 I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Savana merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM

POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN. Ambar Kristiyanto NIM POTENSI EDUWISATA KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BALURAN Ambar Kristiyanto NIM. 10615010011005 http://www.ppt-to-video.com Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu taman nasional tertua

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Fisik 1. Sejarah Penetapan Menurut Buku Informasi (2001), Taman Nasional Baluran ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan pengumuman Menteri Pertanian

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi

Lebih terperinci

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah, Letak dan Luas Kawasan Upaya penunjukan kawasan Baluran menjadi suaka margasatwa telah dirintis oleh Kebun Raya Bogor sejak tahun 1928, rintisan tersebut

Lebih terperinci

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK

SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN

Lebih terperinci

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang

Balai Penelitian Kehutanan Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km. 6,5 Punti Kayu PO. BOX. 179 Telp./Fax Palembang PENDEKATAN MODEL SISTEM DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN POPULASI RUSA (Cervus timorensis Mul. & Schl. 1844) DI TAMAN NASIONAL BALURAN (System Model Approach in Management Policy of Deer (Cervus timorensis

Lebih terperinci

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E

Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi DISUSUN OLEH : DYDIK SETYAWAN E i PEMODELAN SPASIAL ARAH PENYEBARAN KEBAKARAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO PROVINSI JAWA TIMUR BULAN OKTOBER TAHUN

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Ujicoba Teknik Pembakaran Terkendali Dalam Upaya Pemeliharaan Savana Bekol BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 1 BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Telah diketahui

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Hasil Monitoring Pergerakan Dan Penyebaran Banteng Di Resort Bitakol Taman Nasional Baluran Nama Oleh : : Tim Pengendali Ekosistem Hutan BALAI TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian 4.1.1 Letak dan Luas Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak antara 6 0 21-7 0 25 Lintang Selatan dan 106 0 42-107 0 33 Bujur

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan

MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan MAKALAH Pengendali Ekosistem Hutan ANALISA PERKEMBANGAN KONDISI BANTENG (Bos javanicus) DI TAMAN NASIONAL BALURAN Oleh : Nama : Mochammad Yusuf Sabarno NIP : 710031517 TAMAN NASIONAL BALURAN 2007 ANALISA

Lebih terperinci

Savana Taman Nasional Baluran

Savana Taman Nasional Baluran B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 3, Nomor 1 Januari 2002 Halaman: 207-212 Savana Taman Nasional Baluran Baluran Nasional Park Savanna M. YUSUF SABARNO Balai Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

Suhadi Department of Biology, State University of Malang

Suhadi Department of Biology, State University of Malang Berk. Penel. Hayati: ( ), 00 sebaran tumbuhan bawah pada tumbuhan Acacia nilotica (l) Willd. ex Del. di savana bekol taman nasional baluran Suhadi Department of Biology, State University of Malang ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas

BAB II LANDASAN TEORI. komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini penulis akan menjelaskan teori-teori yang melandasi proses pengerjaan laporan kerja praktik ini. 2.1 Film Film adalah bagian dari karya cipta seni dan budaya yang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak, Luas, Status dan Sejarah Pengelolaan Kawasan Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran menyatu dengan Cagar Alam (CA) Pangandaran, merupakan semenanjung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal ,31 ha secara geografis 19 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Tahura WAR mencakup luas areal 22.249,31 ha secara geografis terletak diantara 105⁰ 02 42,01 s/d 105⁰ 13 42,09 BT dan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER

LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER LAPORAN PRAKTIKUM GEOGRAFI REGIONAL INDONESIA (GPW 0101) ACARA V: PEMAHAMAN FENOMENA BIOSFER Disusun oleh : Nama NIM : Mohammad Farhan Arfiansyah : 13/346668/GE/07490 Hari, tanggal : Rabu, 4 November 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 24 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI 4.1 Sejarah Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu merupakan kawasan yang berubah peruntukannya dari kebun percobaan tanaman kayu menjadi taman wisata di Kota Palembang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya.

SUKSESI AUTEKOLOGI. Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. SUKSESI SUKSESI EKOLOGI AUTEKOLOGI SYNEKOLOGI Daubenmire (1962) Autekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu tumbuhan dan lingkungannya. Synekologi adalah ilmu yang mempelajari struktur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunung aktif paling aktif di dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-7 tahun sekali merupakan

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 20 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Singkat Perum Perhutani dan KPH Banyumas Barat Perum Perhutani adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbasis sumberdaya hutan yang diberi tugas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari Bryophyta (Giulietti et al., 2005). Sedangkan di Indonesia sekitar 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan flora

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN

LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN. PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN LAPORAN SEMENTARA KEGIATAN PENELITIAN PEMODELAN KESESUAIAN HABITAT AKASIA BERDURI (Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del) DI TAMAN NASIONAL BALURAN AGUNG SISWOYO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN 35 IV. GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN A. Kabupaten Lampung Barat Menurut Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2011) bahwa Kabupaten Lampung Barat dengan ibukota Liwa merupakan pemekaran dari Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo :

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1)

EKOLOGI TANAMAN. Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) EKOLOGI TANAMAN Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI (1) Pokok Bahasan II KONSEP EKOLOGI 2.1. Ekosistem 2.2. Proses Produksi dan Dekomposisi 2.3. Konsep Homeostatis 2.4. Energi dalam Ekosistem 2.4.1. Rantai

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI

III. KEADAAN UMUM LOKASI III. KEADAAN UMUM LOKASI Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN

PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 TEKNOLOGI PERTANIAN PEMANTAUAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL BALURAN MONITORING LANDCOVER CHANGE USING GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM APPLICATION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI

GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI GEOGRAFI REGIONAL ASIA VEGETASI ASIA PENGAJAR DEWI SUSILONINGTYAS DEP GEOGRAFI FMIPA UI Selamat Pagi, Semoga hari ini menjadi hari yang menyenangkan DTI_09 VEGETASI ASIA Iklim merupakan faktor utama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol)

APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol) APLIKASI CITRA SPOT 7 UNTUK ESTIMASI PRODUKSI HIJAUAN RUMPUT PAKAN DI TAMAN NASIONAL BALURAN JAWA TIMUR (Kasus Padang Rumput Bekol) Habib Sidiq Anggoro sidiqanggoro@gmail.com Sigit Heru Murti B S sigit@geo.ugm.ac.id

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Hayati Tanah Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis dan ekosistem pada suatu daerah.

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Lawu adalah gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung ini mempunyai ketinggian 3265 m.dpl. Gunung Lawu termasuk gunung dengan

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2

SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2 SMA/MA IPS kelas 10 - BAHASA INDONESIA IPS BAB 8. TEKS NEGOSIASILatihan Soal 8.2 1. Cermati teks negosiasi berikut! Terima Kasih Bu Mia Kamis pagi usai pelajaran olahraga, Bu Mia, guru Kimia masuk kelas

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas hektar. Desa yang terdiri

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas hektar. Desa yang terdiri 27 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Biofisik dan Tata Guna Lahan Desa Margasari terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur Provinsi Lampung. Desa ini memiliki luas 1.702

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL

PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan PENDAYAGUNAAN PLOT PERMANEN DI SAVANA BEKOL Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN NASIONAL BALURAN 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI Indonesia terdiri atas pulau-pulau sehingga disebut negara kepulauan. Jumlah pulau yang lebih dari 17.000 buah itu menandakan bahwa Indonesia merupakan suatu wilayah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah 2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas Taman Nasional Manupeu Tanahdaru (TNMT) secara geografi terletak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur pada 119º27-119º55 BT dan 09º29`-09º54` LS sedangkan secara administratif

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

BAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA

BAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA BAB V EKOSISTEM, BIOSFER & BIOMA EKOSISTEM: lingkungan biologis yang terdiri dari semua organisme hidup di daerah tertentu, serta semua benda tak hidup (abiotik), komponen fisik dari lingkungan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

BAB I PENDAHULUAN. dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci