KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PELAKSANAAN PIDANA BAGI PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PELAKSANAAN PIDANA BAGI PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PELAKSANAAN PIDANA BAGI PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH. MH 1 A. PENDAHULUAN Pembaharuan hukum pidana adalah suatu cita-cita besar bangsa Indonesia yang hingga saat ini belum mampu untuk diwujudkan. Sekalipun pada faktanya pelaksanaan pembaharuan hukum pidana telah berjalan selama hampir 52 tahun (terhitung sejak tahun 1963 hingga sekarang) dan telah dilaksanakan secara menggenerasi dan terus menerus dari pencetus Konsep RKUHP I hingga peneruspenerusnya. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan mengingat pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kemerdekaan bangsa Indonesia yang sudah dicapai di tahun Pembaharuan hukum pidana merupakan kebutuhan dan keharusan bagi bangsa atau negara yang telah merdeka. Mengingat di masa penjajahan, sistem hukum yang diberlakukan bukanlah sistem hukum bangsa sendiri melainkan sistem hukum negara penjajah. Setelah Perang Dunia kedua berakhir, banyak negara-negara di dunia melakukan reorientasi dan reformulasi terhadap sistem hukum pidananya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat banyak negara menganut sistem hukum pidana yang asas-asas dan dasar-dasar tata hukumnya tidak diletakkan pada asas-asas dan dasar-dasar tata hukum aslinya. Dengan kata lain menganut sistem hukum asing yang secara filosofis, ideologis dan sosiologis berbeda dengan sistem hukum aslinya. 1 Penulis adalah Dosen Bagian Hukum Pidana FH UNUD, Magister Hukum lulusan PMIH UNDIP Semarang dibawah bimbingan Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH dan Dr. Eko Soponyono, SH. MH. Saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Pidana pada FH UNUD. 1

2 Indonesia juga mengalami hal tersebut, sistem hukum pidana yang dianut saat ini merupakan warisan dari masa penjajahan Belanda. Dalam sejarahnya diceritakan bahwa pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia dikarenakan ketentuan Pasal 75 Regelings Reglement yang mewajibkan pemberlakuan hukum penjajah di negara jajahan berdasarkan asas konkordansi. Implikasinya hukum asli bangsa Indonesia terintimidasi secara perlahan dan kemudian tidak dipergunakan namun tetap dibiarkan hidup di dalam masyarakat. Inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis yang pada masa penjajahan Belanda dan masa berlakunya KUHP WvS tidak mendapatkan pengakuan sama sekali. Barda Nawawi Arief mengatakan tidak diakuinya (diharamkannya) hukum tidak tertulis dengan bertolak pada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) sangat tidak relevan dengan jiwa/semangat UUD Beliau menerangkan, hukum tidak tertulis diharamkan pada masa lahirnya asas legalitas (zaman revolusi Perancis) adalah hukumnya raja penguasa (yang tidak tertulis). Hal ini tidak dapat disamakan dengan hukum tidak tertulis di Indonesia, yang pada hakikatnya merupakan hukum rakyat atau hukum yang hidup di masyarakat. 3 Dengan demikian, apa yang dikemukakan Barda Nawawi Arief tersebut menunjukkan bahwa secara filosofis bangsa Indonesia termasuk dalam bangsa yang komunal dan bukan individualis. Ini karena pola pikir bangsa Indonesia yang tidak formalistik dan individualis. Dengan demikian bangsa Indonesia terbiasa berpikir secara luas dan tidak kaku selalu memperhatikan kepentingan bersama. Filosofi demikian menunjukkan bahwa perilaku masyarakat Indonesia adalah diupayakan untuk mencapai keseimbangan. Dalam konteks pembaharuan hukum pidana, keseimbangan ini merupakan satu dasar tata letak akan seperti apa hukum pidana Indonesia di masa yang akan 2 Barda Nawawi Arief, 2008, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister, Semarang. hal. 13 (selanjutnya disebut sebagai Barda Nawawi Arief I) 3 Ibid. 2

3 datang. Dengan dianutnya paham monodualistik dalam RKUHP maka di masa yang akan datang akan terjadi perluasan-perluasan terhadap asas-asas hukum pidana Indonesia. Termasuk adanya perluasan dalam sumber hukum yang berlaku di masa yang akan datang. sebagaimana diketahui KUHP saat ini hanya mengaku adanya sumber hukum tertulis sebagai satu-satunya sumber hukum pidana. Ini dapat diketahui dari dianutnya asas legalitas formal yang mengedepankan aturan tertulis sebagai dasar untuk memidana suatu perbuatan. Di masa yang akan datang sumber hukum yang dicita-citakan bukan hanya sumber hukum tertulis saja melainkan juga sumber hukum tidak tertulis. Artinya di masa yang akan datang, hukum pidana Indonesia akan melandaskan asasnya pada dua sumber hukum yaitu hukum tidak tertulis dan hukum tertulis sekalipun hukum tidak tertulis hanya akan menjadi penyeimbang bagi hukum tertulis. Adapun perluasan sumber hukum pidana dalam RKUHP ini didasarkan pada : 1. Adanya berbagai kebijakan produk legislative nasional setelah kemerdekaan; 2. Kajian sosiologis mengenai karakteristik sumber hukum/asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistic dan terpisah-pisah/parsial; 3. Berbagai hasil penelitian hukum adat; 4. Kesepakatan ilmiah/seminar nasional; 5. Berbagai hasil kajian komparatif dan dokumen/statement pertemuan internasional. 4 Dengan demikian jelaslah bahwa kehendak untuk memasukkan sumber hukum tidak tertulis bukan semata-mata kehendak tanpa alasan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi urgensi masuknya sumber hukum tidak tertulis sebagai bagian dari RKUHP di masa yang datang. Masuknya sumber hukum tidak tertulis ke dalam RKUHP memberikan implikasi terjadinya perluasan sumber hukum yang juga akan berimplikasi 4 Ibid. hal. 22 3

4 terhadap asas-asas hukum pidana yang akan berlaku di masa yang akan datang. Dengan kata lain masuknya sumber hukum tidak tertulis akan memberikan pengaruh terhadap 3 (tiga) masalah pokok dalam hukum pidana yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Salah satunya terlihat dalam permasalahan pidana dan pemidanaan di masa yang akan datang, khususnya dalam stelsel sanksi pidana tambahan yang memuat pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai bagian dari stelsel sanksi pidana di masa yang akan datang. Pidana pemenuhan kewajiban adat pada dasarnya adalah sanksi yang hidup di dalam masyarakat adat. Pidana pemenuhan kewajiban adat merupakan reaksi adat yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum adat. Dalam praktek beracara (formal) saat ini, pidana pemenuhan kewajiban adat (reaksi adat) jarang diterapkan oleh hakim. Hal ini secara tidak disadari menimbulkan permasalahan ketidakpercayaan masyarakat adat terhadap hukum pidana nasional. Ketidakmampuan hukum pidana nasional menjangkau perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan adat akan berefek kurang baik terhadap hukum pidana nasional sendiri. Hal inilah yang nampaknya ingin dicegah oleh RKUHP dengan memfungsionalisasikan kembali hukum yang hidup dengan memasukkan pidana pemenuhan kewajiban adat sehingga di masa yang akan datang sehingga hakim dapat menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat kepada pelaku yang melakukan tindak pidana berunsurkan adat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa RKUHP telah menerima sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat sebagai bagian dari stelsel sanksi pidana di masa yang akan datang. Ini artinya di masa yang akan datang, hakim dapat mempertimbangkan penerapan sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat terhadap pelaku tindak pidana berunsurkan adat. Permasalahan yang akan timbul adalah bagaimana melaksanakan pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang, mengingat ada begitu banyak masyarakat adat yang memiliki hukum adatnya masing-masing dengan cara berhukum yang berbeda- 4

5 beda. Disini perlu ada standar tentang pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Terkait dengan hal itu disadari bahwa ada semacam kekosongan hukum terkait hukum pelaksanaan pidana yang harus segera dipertimbangkan untuk diformulasikan mengingat hukum pelaksanaan pidana juga merupakan salahsatu bagian dari pembaharuan hukum pidana substansial selain pembaharuan terhadap hukum pidana materiel (KUHP) dan pembaharuan terhadap hukum pidana formal (KUHAP). Khusus dalam hal ini kekosongan juga terjadi terhadap pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. B. PEMBAHASAN 1. KEBIJAKAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA ADAT DALAM RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Sebagaimana telah diketahui, pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya yang dilakukan bangsa Indonesia untuk memiliki sistem hukum pidana nasional yang sesuai dengan nilai sosio-filosofis, sosio-ideologis, dan sosio-politis masyarakat Indonesia. Adanya hukum pidana nasional yang lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia diharapkan akan dapat memberikan kesejahteraan (kemanfaatan) yang pada akhirnya akan memberikan keadilan dan kepastian. Banyak dijumpai perkembangan-perkembangan baru dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Salah satunya adalah perluasan sumber hukum pidana di masa yang akan datang. Perluasan sumber hukum ini sejatinya merupakan kehendak dari seluruh masyarakat Indonesia. Ini terekam dalam hasilhasil seminar-seminar hukum nasional yang menghendaki penggalian terhadap hukum yang tidak tertulis (hukum yang hidup) seperti misalnya : 1. Hasil Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 Bidang Asas-Asas Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Pidana : 5

6 - Angka 4 yang menyebutkan yang dipandang sebagai perbuatan jahat tadi, adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsurunsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lainnya. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa. - Angka 8 yag menghendaki agar hukum agama dan hukum adat dijalankan dalam KUHP 2. Hasil Seminar Hukum Nasional III Tahun 1974 dalam kesimpulan angka 1 disebutkan bahwa pembinaan huum nasional harus memperhatikan hukum ada yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). 3. Hasil Seminar Hukum Nasional VI Tahun 1994 : - Sub B mengenai Materi Hukum angka 1 tentang Hukum Tertulis menyebutkan bahwa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat komplementer. - Sub B mengenai Materi Hukum angka 3 tentang Hukum Kebiasaan huruf a mengatakan bahwa hukum kebiasaan mengandung dua pemahaman : 1) Dalam arti : identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat. 2) Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan (decision maker), sehingga lambat laun menjadi hukum (gewonte recht, customary law). Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tatanegara, hukum kontrak, hukum ekonomi dan lain sebagainya. 5 Hasil-hasil Seminar Hukum Nasional yang dilaksanakan Indonesia tersebut menunjukkan bahwa ada pengakuan dan penerimaan terhadap hukum yang tidak tertulis. Menunjukkan pula adanya kehendak untuk menjadikan hukum tidak tertulis sebagai bagian dari hukum nasional di masa yang akan datang. Konseptual selanjutnya tentang sumber hukum ini dapat dijumpai dalam ketentuan Tap MPR- 5 Barda Nawawi Arief, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Penerbit Pustaka Magister, Semarang 6

7 RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan yang menentukan : (1)Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. (2)Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. (3).. Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari perspektif kajian perbandingan dan kajian keilmuan, pengakuan terhadap eksistensi hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum bukanlah sesuatu hal yang asing. Terangnya, dari kajian keilmuan adanya teori/doktrin/ajaran SMH (sifat melawan hukum) Materiel, teori perbuatan fungsional atau pengertian perbuatan dari sudut ilmiah, adanya doktrin tiada pidana tanpa kesalahan, dan diakuinya pendapat ahli/pakar atau ilmu pengetahuan dalam praktek penegakan hukum, pada dasarnya mengandung arti bahwa yang dapat menjadi sumber hukum ( sumber kepastian ) tidak hanya kepastian formal menurut UU (hukum tertulis), tetapi juga kepastian yang bersifat materiel/substansial berdasarkan hukum yang hidup (tidak tertulis) dan berdasarkan ilmu hukum/kajian ilmiah/ilmu pengetahuan lainnya (misalnya di bidang medis, teknik dsb). Jadi tidak hanya ada certainty of law/written law atau formal certainty, tetapi juga ada certainty of (by/in) unwritten law atau substantive/materiel certainty, bahkan ada pula scientific certainty. 6 Terkait dengan pandangan Barda Nawawi Arief tersebut di atas dipahami bahwa persoalan perluasan sumber hukum merupakan hal yang biasa terjadi. Hanya karena pemahaman hukum di Indonesia bersifat legalistis formalistis maka perluasan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum menjadi hal yang tidak biasa. Di lain sisi, perkembangan dunia internasional menghendaki adanya fungsionalisasi terhadap extra legal system dalam upaya penanggulangan kejahatan. Dengan adanya fungsionalisasi terhadap hal-hal diluar sistem hukum positif seperti misalnya lembaga hukum adat akan dapat membantu terwujudnya 6 Barda Nawawi Arief, 2008, OpCit., hal

8 pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Terkait dengan ini, penggunaan hukum tidak tertulis bersama-sama dengan hukum tertulis sebagai sarana atau alat dalam penanggulangan kejahatan nampak sejalan dengan pendapat Eugene Ehrlich yang membedakan antara positive law dan living law bahwa : the positive law can be effective only when it corresponds to the living law; that is, when legal codes are based on underlying social norms or real life. In other words, law is to be understood as part of the social order. 7 (terjemahan bebasnya : hukum positif hanya akan efektif apabila berkesesuaian dengan hukum yang hidup; artinya, ketika aturan hukum berdasarkan pada norma sosial yang berlaku atau dalam kehidupan nyata. Dalam kata lain, hukum akan lebih dipahami sebagai bagian dari tatanan sosial.) Di Indonesia, sumber hukum tidak tertulis dapat dijumpai dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia bisa meliputi hukum agama dan hukum adat. Sebagai hukum yang hidup, hukum agama dan hukum adat (khususnya pidana adat) mengandung nilai-nilai hukum masyarakat yang umumnya ditaati dan dipatuhi sebagai aturan berperilaku, Dalam konteks ini kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang hidup boleh dikatakan cukup tinggi terutamanya pada masyarakat yang masih memegang teguh hukum adatnya. Dengan demikian penggunaan hukum tidak tertulis (khususnya hukum adat) bersama-sama dengan hukum tertulis nantinya akan bermuara pada persoalan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Jembatan yuridis yang dapat dipergunakan saat ini untuk mengaktualisasi hukum tidak tertulis (khususnya hukum pidana adat) ke dalam kerangka hukum pidana nasional terdapat dalam Pasal 5 ayat 3 (b) UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentnag Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan jembatan teoritisnya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif maupun negative. 7 Eugene Ehrlich dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal

9 Sehubungan dengan itu Muladi mengatakan bahwa penggunaan hukum pidana adat dapat mencakup pada hal-hal berikut : 1. Menjadi sumber hukum positif 2. Menjadi sumber hukum yang negative dalam arti bisa menjadi alasan pembenar, bisa menjadi alasan peringan pidana atau bisa menjadi alasan pemberat pidana. 8 Muladi mengingatkan bahwa secara sistemik hukum pidana adat janganlah ditempatkan dalam kelompok instrumental input tetapi merupakan bagian dari environmental input. Yang masuk instrumental input hendaknya segala hukum positif yang memuat doktrin-doktrin dasar (Pancasila, UUD 1945, GBHN, KUHP dll). Sedangkan yang masuk environmental input adalah aspirasi hukum yang berasal dari lingkungan strategis baik nasional, regional maupun internasional. 9 Ini berarti bahwa ada pembatasan-pembatasan terhadap berlakunya hukum tidak tertulis (hukum pidana adat). Dengan kata lain, keberadaan hukum tidak tertulis (hukum pidana adat) dalam ius constituendum hanya sebagai pelengkap dan pendamping bagi hukum tertulis. Mensinergikan bekerjanya kedua sumber hukum ini di masa yang akan datang dapat saja dilakukan secara bersama-sama dengan mendasarkan pemikiran pada upaya untuk memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian pada masyarakat. Dalam konteks ini tujuan pemidanaan haruslah berorientasi pada tujuan nasional yaitu mencapai kesejahateraan bersama. Di masa yang akan datang, hukum pidana adat sebagai sumber hukum tidak tertulis akan menjadi bahan pertimbangan untuk menerapkan hukum yang sesuai. Hukum pidana adat akan membantu memberikan gambaran mengenai nilai dalam masyarakat berkaitan dengan patut/tidak patutnya atau benar/tidak benarnya suatu perbuatan. 8 Muladi, 1994, Hukum Pidana dalam Kontemplasi Tentang Asas Legalitas, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 1 9 Ibid., hal. 4 9

10 Sebagaimana termaktub dalam salah satu laporan simposium pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang yang menyatakan sebagai berikut : masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas satu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut di hukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat PEMIDANAAN TERHADAP DELIK ADAT Tidak dapat dipungkiri bahwa aspirasi untuk memasukkan sumber hukum tidak tertulis dalam RKUHP di masa yang akan datang merupakan suatu usaha yang positif dalam rangka memberikan kepastian dan keadilan bagi masyarakat khususnya masyarakat adat yang memerlukan perbaikan terhadap keseimbangan makro dan mikro kosmos-nya sebagai akibat adanya perbuatan yang melanggar ketentuan adat. Hal ini juga menunjukkan adanya bentuk penghormatan para pembentuk RKUHP pada sistem hukum asli yang sudah ada jauh sebelum masuknya sistem hukum Civil Law ke Indonesia. Sehubungan dengan masuknya pidana pemenuhan kewajiban adat dalam stelsel pidana di masa yang akan datang, perlu dipahami mengenai konsep-konsep pemidanaan dalam hukum adat. Sebagaimana diketahui, hukum adat tidak mengenal pembidangan hukum layaknya dalam pembidangan hukum dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Sekalipun tidak terdapat pembidangan hukum namun faktanya dalam hukum adat tetap dikenal ada ranah-ranah peristiwa yang dapat diidentifikasi selayakna ranahranah dalam hukum. Seperti misalnya hukum adat tidak mengenal pembedaan antara hukum perdata dan hukum pidana namun dalam hukum adat dijumpai 10 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, OpCit., hal

11 adanya pemikiran tentang penjatuhan sanksi adat (reaksi adat) terhadap suatu perbuatan yang dianggap telah melanggar ketentuan adat. Perbuatan sedemikian dikenal sebagai pelanggaran adat. Apabila diseksamai maka pelanggaran adat dan reaksi adat identik dengan tindak pidana dan sanksi dalam hukum pidana. Oleh karena itu walau tidak terdapat pembidangan hukum seperti dalam ilmu pengetahuan hukum pidana secara implisit terlihat bahwa di dalam hukum adat terdapat anatomi pelanggaran adat yang dapat diberikan reaksi adat. Reaksi adat atau sanksi adat ini menyerupai hukuman dalam hukum pidana. Reaksi adat atau sanksi adat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang menurut ketentuan adat tidak dapat dibenarkan. Jenis reaksi adat dalam hukum pidana adat juga bermacam-macam dan dijatuhkan sesuai berdasarkan berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan melanggar ketentuan adat. Jadi semakin berat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tersebut maka semakin berat juga reaksi yang akan diberikan. Selain itu ada kekhususan dari penjatuhan reaksi adat yaitu reaksi adat selalu diterapkan secara luas. Artinya reaksi adat tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pelaku kejahatan saja tetapi juga termasuk kepada korban dan masyarakat. Model penjatuhan reaksi adat demikian dilatarbelakangi oleh pemikiran masyarakat tradisional Indonesia yang cenderung komunal, bahwa segala sesuatunya saling berkait satu sama lain. Perbuatan melanggar ketentuan hukum adat tersebut dipandang timbul sebagai adanya kegagalan bersama masyarakat dalam upaya menjaga alam makro dan mikro tetap dalam keadaan seimbang. Oleh karena itu penjeraan harus diberikan kepada seluruh aspek yang termasuk dalam lingkup alam makro dan mikro kosmos. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran masyarakat tradisional Indonesia sangat holistik dalam memandang dirinya sendiri. Hal ini memberikan gambaran bahwa nilai-nilai yang dianut masyarakat tradisional sudah jelas berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh hukum positif yang cenderung legalis, individualis dan formalistis. 11

12 Terkait dengan itu disadari bahwa upaya pemidanaan terhadap delik adat saat ini sangat sulit untuk dilakukan. KUHP yang saat ini berlaku tidak mengenal delik adat dan juga sanksi adat. Kondisi ini juga yang mengakibatkan pemidanaan terhadap delik yang mengandung unsur adat seringkali tidak memuaskan bagi masyarakat adat karena pemidanaan didasarkan pada tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP. Contohnya ketika terjadi tindak pidana pencurian pretima beberapa waktu yang lalu dan juga tindak pidana penadahan pretima oleh orang asing di Bali. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim disesuaikan dengan pencurian biasa padahal pretima yang merupakan benda suci tersebut bagi masyarakat Bali sama sekali tidak bisa dinilai hanya dengan dijatuhkannya pidana pokok berupa penjara kepada pelaku. Hal ini sempat menimbulkan ketidakpuasan dalam masyarakat adat Bali sehingga timbul wacana-wana pro-kontra dalam memandang delik adat dan reaksi adat serta penjatuhan pidana oleh hakim. Bahkan sempat muncul wacana untuk melahirkan kembali pengadilan adat sebagai bentuk keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum nasional. Kondisi ini tentu memprihatinkan mengingat pentingnya hukum sebagai alat kontrol sosial yang bertugas untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat tanpa memandang latar belakang masyarakat bersangkutan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan filosofi tentang kehidupan, alam serta hubungan manusia dengan manusia lain. Namun sangat disayangkan kekayaan akan filosofi demikian nampaknya tidak dapat diakomodir oleh undang-undang bahkan oleh orang Indonesia sendiri. Sehubungan dengan itu, diketahui bahwa pemidanaan delik adat sejatinya dapat diakomodir oleh penegak hukum dengan menggunakan dasar ketentuan UU Drt No. 1 Tahun 1951 Pasal 5a ayat 3 sub b yang pada intinya mengatakan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam KUHP Sipil maka dianggap diancam dengan hukum yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda Rp. 500,00 (lima ratus rupiah (kala itu)), yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh yang 12

13 terhukum. Selanjutnya dalam ketentuan pasal yang sama juga dikemukakan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yanga ada bandingan dalam KUHP maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu. Jika diseksamai maka ketentuanketentuan ini pada dasarnya memberikan peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana adat dengan ancaman pidana 3 (tiga) bulan penjara atau denda sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman dalam hukum adat tidak dilaksanakan. Sebetulnya ini juga memberi peluang kepada hakim untuk menambah berat pidana. Sayangnya dalam fakta beracara di lapangan pasal ini kurang sering dimanfaatkan oleh hakim untuk memberikan pidana tambahan kepada pelaku tindak pidana yang mengandung unsur adat sehingga pidana yang dijatuhi umumnya mengikuti bandingannya dalam KUHP yang paling mirip. Seperti misalnya pencurian pretima yang kepada pelakunya dijatuhkan pidana penjara sama seperti pencurian biasa. Pada dasarnya pemidanaan terhadap tindak pidana yang mengandung unsurunsur adat dapat dijatuhkan oleh hakim berdasarkan ketentuan dalam KUHP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 5a ayat 3 sub b dari UU Drt No. 1 Tahun Akan tetapi penjatuhan pidana yang hanya didasarkan pada ketentuan KUHP pada faktanya tidak memberikan rasa keadilan pada masyarakat adat. Sebab esensi utama penjatuhan pidana dalam hukum adat bukanlah penjeraan fisik seperti pidana penjara, pidana kurungan dan lain-lain melainkan lebih merupakan kepada penjeraan batin dan moral dari pelaku. Oleh karena itu sangatlah penting bagi hakim disamping menjatuhkan pidana pokok berdasarkan KUHP juga melakukan penggalian terhadap nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat agar hakim dalam menjatuhkan pidana mampu memberikan keadilan, kepastian sekaligus kemanfaatan. 3. KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PELAKSANAAN PIDANA PEMENUHAN KEWAJIBAN ADAT DI MASA YANG AKAN DATANG 13

14 Dengan telah diterimanya jenis-jenis sanksi baru dalam RKUHP di masa yang akan datang secara tidak langsung memberikan konsekuensi perubahan terhadap sistem pemidanaan di Indonesia. Artinya sistem pemidanaan akan mengalami perombakan-perombakan khususnya yang berkaitan dengan aturan pidana dan pedoman, cara-cara penjatuhan pidana dan bagaimana pidana tersebut akan dilaksanakan terhadap jenis-jenis sanksi baru tersebut. Seperti misalnya sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat yang telah masuk sebagai pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat 1 huruf e RKUHP tentang pidana tambahan. Menurut ketentuan dalam Pasal 67 ayat 2 RKUHP, pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lainnya. Ini artinya hakim di masa yang akan datang dapat menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat baik sebagai pidana tambahan terhadap pidana pokok dan juga tambahan bagi pidana tambahan lainnya maupun sebagai pidana tambahan yang berdiri sendiri. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat 1 RKUHP, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 hakim dapat menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup. Ini artinya di masa yang akan datang, hakim wajib untuk memperhatikan kemungkinan penjatuhan pidana pemenuhan kewajiban adat khususnya terhadap tindak pidana-tindak pidana yang ada unsure adatnya. Berbicara mengenai sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat dipahami bahwa pidana ini merupakan suatu bentuk reaksi adat dari masyarakat adat terhadap adanya suatu perbuatan yang melanggar ketentuan adat. Dasar filosofis pengenaan reaksi adat (sanksi adat) adalah adanya keseimbangan alam makro dan mikro kosmos yang terganggu oleh perbuatan itu sehingga perlu untuk dipulihkan kembali keseimbangannya agar tidak merusak tatanan kehidupan seluruh masyarakat. Dasar filosofis inilah yang terus menerus dipegang oleh masyarakat adat dalam menerapkan sanksi/reaksi adat kepada seseorang. Jadi bukan semata- 14

15 mata melakukan pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang melainkan bagaimana seseorang itu berniat untuk mengembalikan kembali kerusakan yang telah ditimbulkannya. Dengan demikian jelaslah bahwa pengenaan pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang harus memperhatikan dasar filosofis ini, yakni untuk memulihkan keseimbangan yang rusak dan bukan memberikan pembalasan kepada pelaku. Dalam konteks ini, pidana pemenuhan kewajiban adat sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dianut RKUHP di masa yang akan datang yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat serta tidak menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Sehubungan dengan itu penjatuhan pidana pemenuhan kewajiban adat oleh hakim seyogyanya memperhatikan untuk mempertimbangkan dasar filosofisnya agar dapat memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat. Berkaitan dengan itu hakim penting untuk memperhatikan Pasal 100 ayat 2 KUHP yang merumuskan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana disebut dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 RKUHP. Ketentuan ini semakin menguatkan bekerjanya pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang khususnya terhadap delik-delik yang dipandang bertentangan dengan hukum yang hidup. Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh RKUHP tentang pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang, untuk selanjutnya perlu dipertimbangkan adanya suatu pedoman mengenai pelaksanaan pidana tersebut di masa yang akan datang. Ini penting mengingat di Indonesia terdapat ribuan masyarakat adat dengan hukum adatnya masing-masing. Artinya setiap masyarakat adat memiliki cara berhukumnya masing-masing. Jadi jika kedepannya pidana pemenuhan kewajiban adat diterima penting menentukan bagaimana cara melaksanakannya. 15

16 Telah diteliti dalam RKUHP termasuk dalam penjelasannya tidak dijumpai adanya suatu pedoman yang mengarahkan tentang pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Hal ini perlu dipikirkan mengingat kembali bahwa pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat tidak bisa dilakukan seperti pelaksanaan pidana-pidana lainnya yang tata cara pelaksanaan dan prosedurnya ditugaskan kepada infrastruktur penitensier yang dibentuk pemerintah, seperti LAPAS misalnya. Terkait pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini rasanya akan sulit dilaksanakan oleh infrastruktur penitensier. Bahkan kemungkinannya infrastruktur penitensier tidak bisa memasuki ranah kehidupan masyarakat adat. Sehubungan dengan ini perlu diformulasikan sebuah hukum pelaksanaan pidana bagi pidana pemenuhan kewajiban adat atau setidak-tidaknya perlu diformulasikan suatu pedoman pelaksanaan pidana bagi pidana pemenuhan kewajiban adat. Pedoman pelaksanaan ini memuat standarisasi pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat yang nantinya dapat digunakan dalam setiap masyarakat adat. Tujuan utamanya agar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat tetap menjunjung harkat dan martabat manusia serta masyarakat adat sebagai satu kesatuan hukum yang eksistensinya diakui oleh UUD NRI Jadi standarisasi pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini diusulkan untuk menjaga hak-hak masyarakat adat dalam menjalankan hukumnya sendiri. Dalam konteks ini, negara hanya berperan untuk mengayomi kehendak masyarakat adat berkaitan dengan pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Tujuan pengayoman ini adalah agar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI 1945 serta prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa. Hal-hal yang perlu diformulasikan oleh pedoman pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang berkaitan dengan waktu, tempat, dan siapa yang berwenang melaksanakan, proses atau mekanisme pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Sedang kedudukan hakim dan lembaga-lembaga penitensier lain seperti kejaksaaan, dan LAPAS adalah sebagai pengawas pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. 16

17 Dikarenakan hukum pidana Indonesia belum memiliki hukum pelaksanaan pidana yang berdiri sendiri maka standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini dapat dibuatkan dalam peraturan pelaksanaan pidana tersendiri atau setidak-tidaknya dapat menjadi bagian dari penjelasan RKUHP sehingga akan memperluas rumusan Pasal 100 di masa yang akan datang. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian mengenai pembahasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa sanksi pidana pemenuhan kewajiban adat atau sanksi adat di masa yang akan datang akan menjadi bagian dari stelsel sanksi dalam RKUHP. Ini artinya ada konsekuensi logis yang harus dilaksanakan terkait pemidanaan terhadap delikdelik yang ada unsur adatnya dan terhadap pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat di masa yang akan datang. Oleh karena itu penting diformulasikan suatu standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat yang dapat menjadi pedoman bagi hakim maupun infrastruktur penitensier lainnya. Standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban ini nantinya akan memberikan dasar-dasar yang bersifat nasional mengenai pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat sehingga dapat menjadi pedoman yang berlaku nasional. Mengingat Indonesia memiliki banyak hukum adat. Dasar-dasar tersebut berkaitan dengan waktu, tempat, siapa yang berwenang dan mekanisme prosedur pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Dalam konteks ini hakim, jaksa dan LAPAS akan mengambil peran sebagai pengawas jalannya pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini di masa yang akan datang dapat diupayakan dalam bentuk peraturan tentang pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Namun dikarenakan belum ada konsep tentang hukum pelaksanaan pidana maka sementara standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban ini dapat dimasukkan ke dalam penjelasan Pasal 100 RKUHP. Jadi dengan sudah adanya standar pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat ini dalam penjelasan Pasal 100, di masa yang akan datang pidana 17

18 pemenuhan kewajiban adat sudah dapat dilaksanakan terutamanya apabila RKUHP telah diterima sebagai hukum pidana nasional. 18

19 DAFTAR BACAAN BUKU-BUKU Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta Astiti, Tjok Istri Putra, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Udayana University Press, Denpasar A.B Wiranata, I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Abidin Farid, HA Zainal, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal, PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia, Jakarta Barda Nawawi Arief, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanagan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2007, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Universitas Diponegoro, Semarang , 2007, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang , 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep RKUHP Baru, PT. Kencana Prenada Media Group, Jakarta , 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I s/d VIII dan Konvensi Hukum Nasional Penerbit Pustaka Magister, Semarang

20 , 2008, Perkembangan Asas Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Pustaka Magister, Semarang Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung UNDANG-UNDANG UU No. 1 Tahun 1946 jo. UU No. 7 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia UU Drt. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2012

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Syarifa Yana Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Riau Kepulauan Di dalam KUHP dianut asas legalitas yang dirumuskan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN

itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN itu asas-asas dan dasar-dasar tata hukum MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA YANG pidana dan hukum pidana colonial MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEADILAN Haryono* ABSTRAK Sistem hukum Indonesia adalah sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut J.C.T. Simorangkir, S.H dan Woerjono Sastropranoto, S.H, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) HUKUM PIDANA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) HUKUM PIDANA Mata Kuliah : Hukum Pidana Kode/Bobot : 3 sks Waktu Pertemuan : 3 x 50 Menit Pertemuan : 1 (Satu) A. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mengerti dan dapat menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM GARIS-GARIS BESAR POKOK PENGAJARAN (GBPP) : HUKUM PIDANA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM GARIS-GARIS BESAR POKOK PENGAJARAN (GBPP) : HUKUM PIDANA Mata Kuliah Dosen Deskripsi Singkat Tujuan Instruksional Umum : : ENDRI, S.H., M.H : Mata Kuliah Hukum mempelajari ilmu hukum pidana yang ada di Indonesia. : Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang meletakkan hukum sebagai supremasi kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara hukum dalam berbangsa

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana, merupakan salah satu masalah besar dalam agenda kebijakan /politik hukum Indonesia.Khususnya

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

HUKUM (SANKSI) PIDANA ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

HUKUM (SANKSI) PIDANA ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL Masalah - Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, April 2016, Halaman 123-130 p-issn : 2086-2695, e-issn : 2527-4716 HUKUM (SANKSI) PIDANA ADAT DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL Nyoman Serikat Putra Jaya

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (Pengantar Diskusi) Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 1 A. NDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu masalah yang ada di dalam kehidupan masyarakat, baik dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang berbudaya modern

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan

Lebih terperinci

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) maka pidana menempati suatu posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan mempunyai

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Pande I Putu Cahya Widyantara A. A. Sri Indrawati Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Assessing criminal law,

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana Abstract Titles in this writing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN 2.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dari dapat dipidananya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan unsur-unsur tindak pidana tanpa hak memiliki menyimpan atau menguasai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap sistem hukum menunjukan empat unsur dasar, yaitu : pranata peraturan, proses penyelenggaraan hukum, prosedur pemberian keputusan oleh pengadilan dan lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa cita-cita Negara Indonesia ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai kumpulan manusia, karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada sesudah meninggal.

Lebih terperinci

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang didasarkan atas hukum bukan didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) amandemen ke-3 Undang-Undang

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari 21 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari perkataan wordt gestraf menurut Mulyanto merupakan istilah-istilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ---------------------------------------------------

Lebih terperinci

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP) Subaidah Ratna Juita Fakultas Hukum, Universitas Semarang email: ratna.shmh@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER UMSU 2016 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA FAKULTAS PROGRAM STUDI : HUKUM : ILMU HUKUM RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH (MK) KODE RUMPUN MK HUKUM PIDANA BOBOT

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING Abstract: Oleh M. Dody Sutrisna I Ketut Mertha Gde Made Swardhana Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan

PENDAHULUAN. nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, oleh karena itu mengabaikan perlindungan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, karena melindungi anak berarti melindungi manusia dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : Bagus Surya Darma Marwanto Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT : Criminal fines are one

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu hangat untuk diperbincangkan dari masa ke masa, hal ini disebabkan karakteristik dan formulasinya terus

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN

BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN BAB IV SIMPULAN A. SIMPULAN 1. Pengaturan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil tidaklah berbeda dengan penyalahgunaan yang dilakukan oleh masyarakat umum, sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana

Lebih terperinci

Sistem Pidana dan Tindakan Double Track System Dalam Hukum Pidana di. Indonesia. Gita Santika Ramadhani, Barda Nawawi Arief, Purwoto*)

Sistem Pidana dan Tindakan Double Track System Dalam Hukum Pidana di. Indonesia. Gita Santika Ramadhani, Barda Nawawi Arief, Purwoto*) Sistem Pidana dan Tindakan Double Track System Dalam Hukum Pidana di Indonesia Gita Santika Ramadhani, Barda Nawawi Arief, Purwoto*) gitaramadhani_23@yahoo.co.id Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia

I. PENDAHULUAN. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Hakekat pembangunan nasional adalah membangun seluruh manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan perekonomian seluruh rakyat Indonesia pada khususnya. Perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan penanggulangan kejahatan pengedar narkotika dengan pidana penjara ditinjuau dari Pemidanaan terhadap pengedar narkotika terdapat dalam pasal-pasal dalam

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

BAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain: BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana dalam tindak pidana korupsi. Terbukti

Lebih terperinci

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP Oleh Bram Suputra I Gusti Nyoman Agung Bagian Hukum Pidana Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT

DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT KETUT ABDIASA I GUSTI KETUT ADNYA WIBAWA Fakultas Hukum Universitas Tabanan ABSTRAK Secara yuridis pengertian pidana atau pemidanaan adalah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan izin tinggal merupakan suatu peristiwa hukum yang sudah sering terjadi di dalam tindak pidana keimigrasian. Izin tinggal yang diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang dapat merusak baik fisik, mental dan spiritual anak. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kelangsungan hidup manusia dan merupakan kunci pokok keberlangsungan hidup bangsa dan negara. 1 Anak-anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni : I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) menentukan secara tegas, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 ayat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT Oleh Ida Bagus Gede Angga Juniarta Anak Agung Sri Utari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The pratima thievery

Lebih terperinci

Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Seminar Menyongsong Perspektif Baru Perlindungan Saksi dan Korban dalam Revisi Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) JAKARTA, 10 April 2013 1 Daftar Isi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

Prakoso, D, (1988), Hukum Penitensir di Indonesia, Bandung: Armico.

Prakoso, D, (1988), Hukum Penitensir di Indonesia, Bandung: Armico. 87 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Achmad, M. F, (2012), Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arief, B. N, (2011), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta : Kencana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo 1. Pengertian Tindak Pidana Kumpul Kebo Tindak Pidana kumpul kebo adalah perbuatan berhubungan antara laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di dalam sistem hukum. Penegakan hukum pidana dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berkembangnya teknologi dan masuknya modernisasi membawa dampak yang cukup serius bagi moral masyarakat. Sadar atau tidak, kemajuan zaman telah mendorong terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan

I. PENDAHULUAN. beberapa opini juga dapat menyebabkan seseorang sebagai korban dikarenakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Santet pada umumnya memang sulit untuk dipahami atau dimengerti makna nya, namun pada dasarnya santet merupakan bagian dari ilmu gaib yang memang dipercaya atau diyakini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari sedikitnya hak-hak korban

Lebih terperinci