BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan sumber penghidupan makhluk hidup di permukaan bumi, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Ketersediaan air di suatu wilayah dipengaruhi oleh potensi sumberdaya air itu sendiri dan pemanfaatannya. Potensi sumberdaya air meliputi kondisi akuifer dan curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Letak geografis Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Benua Australia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta terletak pada sekitar garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia mengalami iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Apabila kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator bagian tengah dan timur menghangat (El-Nino), maka menyebabkan terjadinya kekeringan. Berdasarkan analisis iklim pada 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa adanya kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian, yakni bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan (Rahayu, 2011). Kekeringan pada suatu wilayah dapat disebabkan karena faktor meteorologis maupun geomorfologis. Faktor meteorologis meliputi curah hujan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kondisi iklim selama kurun waktu tertentu. Kondisi suhu dan kelembaban udara pada musim kemarau berpengaruh kuat pada penguapan lengas tanah. Wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan dicirikan oleh kondisi geomorfologi yang khas, yakni berupa satuan bentuklahan yang berada pada daerah bayangan hujan, perbukitan maupun pegunungan. Hal tersebut mempengaruhi distribusi curah hujan yang kontras apabila letaknya berada pada lembah yang cukup dalam. Secara pedologis, wilayah yang sering mengalami kekeringan memiliki struktur tanah gumpal pada horison B. (Sartohadi, 2010) Analisis kekeringan meteorologis mencakup analisis keseimbangan air antara jumlah curah hujan dengan jumlah penguapan yang terjadi di suatu wilayah 1

2 (Thornthwaite, 1948). Kajian kekeringan meteorologis tidak memperhatikan adanya kapasitas penyimpanan air pada satuan bentuklahan maupun pemanfaatan sumberdaya air oleh makhluk hidup. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi sumberdaya air yang melimpah dengan kualitas air yang baik, yakni pada lereng kaki hingga dataran aluvial kaki Gunungapi Merapi. Apabila kondisi fisik tidak diimbangi dengan pemanfaatan sumberdaya air secara terpadu, maka akan menimbulkan permasalahan air seperti kekeringan akibat adanya peningkatan kebutuhan air. Kekeringan juga dapat dipengaruhi oleh jenis tanah maupun kondisi batuan di daerah penelitian, seperti wilayah karst di Kabupaten Gunungkidul yang mempunyai sumberdaya air permukaan terbatas sehingga ketika musim kemarau rentan terjadi kekeringan geomorfologis. Selain itu, bagian-bagian tertentu dari Perbukitan Baturagung, Kabupaten Gunungkidul dan Pegunungan Menoreh di Kulonprogo juga berpotensi mengalami defisit air. Kekeringan juga dipengaruhi oleh pemanfaatan air oleh penduduk setempat. Daerah yang semula kecukupan air mengalami kekeringan akibat konsumsi air yang melebihi daya dukung sumberdaya air. Konsumsi air untuk kebutuhan domestik yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Selain itu, aktivitas penduduk juga semakin beragam seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan tingkat ekonomi masyarakat. (Bappenas, 2004). Sekitar 139 desa di Yogyakarta termasuk dalam kategori ancaman kekeringan tinggi pada musim kemarau tahun 2012 yang di prediksi berlangsung pada bulan Juli hingga Oktober. Ancaman kekeringan tertinggi di Kabupaten Gunungkidul karena secara umum kondisi geomorfologisnya merupakan perbukitan karst (Republika, 19 Juli 2012). Kekeringan juga menyebabkan para peternak kesulitan mencari pakan. Di Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul misalnya, mereka menjual sebagian ternaknya untuk membeli pakan di daerah lain, yakni Klaten, Jawa Tengah (Radio Star Jogja, 1 Oktober 2013). Untuk itu, pemerintah daerah di Indonesia, khususnya di 2

3 Yogyakarta akan memperbanyak embung dan waduk guna mengantisipasi kekurangan atau krisis air (Harian Jogja, 7 September 2013) Permasalahan Penelitian Kondisi fisik Daerah Istimewa Yogyakarta cukup beragam, baik itu berupa kondisi geomorfologis dan meteorologis daerah penelitian. Berdasarkan komponen kondisi fisik, kekeringan dapat dibedakan menjadi kekeringan meteorologis dan geomorfologis. Analisis kekeringan meteorologis dilakukan berdasarkan kondisi topografi, suhu udara dan jumlah curah hujan dibawah normal pada suatu musim pada daerah penelitian. Kekeringan geomorfologis dilakukan melalui analisis satuan bentuklahan, yakni berdasarkan morfologi/ relief, material penyusun (pedologis dan litologis permukaan) dan proses yang bekerja di masa lampau sampai sekarang serta penggunaan lahan di daerah penelitian. Pemanfaatan sumberdaya air juga mempengaruhi ketersediaan air di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemanfaatan sumberdaya air yang melebihi potensi maupun ketersediaan air juga dapat menimbulkan kekeringan. Kekeringan berdasarkan kebutuhan air domestik dilakukan untuk menganalisis keseimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan air penduduk. Pemanfaatan air pada suatu daerah dengan daerah lain tidak sama bergantung pada kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Umumnya pemanfaatan air pada masyarakat pedesaan berupa pemenuhan kebutuhan peternakan dan pertanian. Masyarakat perkotaan menggunakan air untuk kebutuhan industri, perkantoran maupun kebutuhan manusia itu sendiri. Pada penelitian ini difokuskan pada analisis kebutuhan air domestik Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan permasalahan penelitian, maka disusunlah pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Berapa besar potensi penyimpanan air berdasarkan kondisi geomorfologis pada setiap satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta? b. Berapa besar potensi air meteorologis pada setiap satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta? 3

4 c. Berapa besar kebutuhan air domestik setiap satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta? d. Bagaimana melakukan penilaian kekeringan geomorfologis di Daerah Istimewa Yogyakarta secara komprehensif? Berdasarkan komponen kekeringan geomorfologis, dilakukan analisis yang mengkaji kekeringan secara integratif dengan memperhatikan informasi spasial berupa distribusi kekeringan daerah penelitian yang kemudian disebut Pendekatan Geomorfologi untuk Analisis Kerentanan Kekeringan di Daerah Istimewa Yogyakarta 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian yang ada, maka tujuan yang dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengkaji kekeringan berbasis analisis bentuklahan berupa satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta b. Mengkaji kekeringan berbasis analisis meteorologis setiap satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta c. Mengkaji kekeringan berbasis analisis kebutuhan air domestik setiap satuan bentuklahan di Daerah Istimewa Yogyakarta d. Menganalisis kekeringan geomorfologis secara komprehensif di Daerah Istimewa Yogyakarta 1.4. Manfaat Penelitian Dengan mendapatkan nilai potensi kekeringan geografis di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, maka penelitian ini bermanfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu referensi terkait permasalahan manajemen sumberdaya air khususnya airtanah yang berkaitan dengan perubahan kondisi iklim (suhu dan curah hujan). Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi bagi pemodelan kondisi iklim dan distribusi hidrologi. 4

5 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah, masyarakat dan stakeholders lain yang terkait, dalam kaitannya dengan manajemen sumberdaya air Penelitian Sebelumnya Penelitian yang mengkaji tentang kekeringan berdasarkan analisis geomorfologis ini didukung oleh penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan berbagai macam metode. Nurjani (1996) meneliti tentang Agihan Hujan dan Kekeringan Menggunakan Metode Palmer Serat Kecenderungannya di Daerah Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat (Studi di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan) yang bertujuan untuk mempelajari agihan hujan dan kecenderungan hujan, agihan kekeringan dan kecenderungan kekeringan di daerah Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan, dan mempelajari hubungan antara faktor penyebab kekeringan dan indeks kekeringan serta mengetahui terjadinya kekeringan secara maksimal serta siklusnya. Penelitian ini menggunakan Metode Palmer untuk analisis kekeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah studi agihan hujan dan indeks kekeringan dipengaruhi oleh faktor ketinggian dan berbanding terbalik. Indeks kekeringan menunjukkan hubungan yang erat dengan curah hujan yang jatuh serta garis kecenderungan hujan dan kekeringan mempunyai pola yang sama. Sarwono (1999) melakukan penelitian tentang Agihan dan Kecenderungan Kekeringan serta Hubungannya dengan Aliran Sungai di Sub Daerah Aliran Sungai (SubDAS) Keduang Wonogiri. Penelitian bertujuan untuk mengetahui agihan tingkat kekeringan di daerah penelitian, mengetahui kaitan antara kekeringan terhadap aliran sungai yang terjadi di daerah penelitian, dan mengetahui kecenderungan kekeringan serta aliran sungai di daerah penelitian. Metode yang digunakan untuk analisis kekeringan pada penelitian ini adalah Metode Thornthwaite-Mather. Hasil penelitian berupa tingkat kekeringan di daerah penelitian yang dipengaruhi oleh faktor topografi (ketinggian tempat), 5

6 kecenderungan kekeringan tahun di daerah penelitian dan indeks kekeringan rerata subdas daerah penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Sudibyakto, dkk. (1999) pada Daerah Aliran Sungai Progo, yaitu menganalisis curah hujan sebagai antisipasi kekeringan dan mitigasi dengan Metode Thornthwaite-Mather. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik hujan menurut ruang dan waktu untuk menentukan neraca air meteorologis serta menganalisa indeks kekeringan. Penelitian ini memperoleh hasil berupa pembagian zona kekeringan di wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis, yaitu kekeringan ringan, kekeringan sedang, dan kekeringan tinggi. Selain itu, untuk mengurangi resiko kekeringan upaya mitigasi atau pencegahannya antara lain dengan memperbaiki teknik konservasi tanah dan air, penghijauan, pembuatan sumur resapan, serta pembuatan waduk-waduk buatan. Suwarti (2008) meneliti tentang Evaluasi Kekeringan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan Metode Thornthwaite. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi di DAS Opak, mengetahui hubungan indeks kekeringan dengan tipe iklim dan melakukan evaluasi terhadap tingkat kekeringan yang terjadi di DAS Opak. Hasilnya berupa pembagian tingkat kekeringan pada daerah penelitian yang berkaitan erat dengan tipe iklim. Kecenderungan hujan dan kecenderungan kekeringan di daerah penelitian dibedakan menjadi empat pola yaitu pola 1 berupa kecenderungan hujan yang meningkat dengan kecenderungan kekeringan meningkat, pola 2 berupa kecenderungan hujan turun yang diikuti kecenderungan kekeringan meningkat, pola 3 kecenderungan hujan meningkat dengan kecenderungan kekeringan menurun, dan pola 4 dengan kecenderungan hujan dan kecenderungan kekeringan menurun. Putranto (2011) melakukan penelitian Agihan Tingkat Kerentanan Kekeringan Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Parameter- Parameter Geomorfologi dan Meteorologi dengan Metode Thornthwaite-Mather 6

7 dan Standardized Precipitation Index (SPI). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat kekeringan meteorologi dan geomorfologi yang terjadi di Provinsi DIY, serta menentukan agihan tingkat kerentanan kekeringan berdasarkan parameterparameter meteorologi dan geomorfologi yang dikaji. Hasil penelitan berupa klasifikasi tingkat kerentanan kekeringan meteorologi, geomorfologi, dan geografi di Daerah Istimewa Yogyakarta, karakteristik daerah yang memiliki tingkat kerentanan kekeringan geomorfologi, serta karakteristik curah hujan rata-rata tahunan, nilai SPI, dan nilai Ia yang menunjukkan adanya defisiensi air pada musim panas pada daerah yang memiliki tingkat kerentanan kekeringan meteorologi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang peneliti lakukan disajikan pada Tabel 1.1 7

8 Tabel 1.1. Perbedaan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian yang Peneliti Lakukan Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian Emilya Menggunakan Nurjani (1996) metode Palmer Agihan Hujan dan Kekeringan Menggunakan Metode Palmer Serat Kecenderungannya di Daerah Pantai Utara Jawa Tengah Bagian Barat (Studi di Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan) 1. Mempelajari agihan hujan dan kecenderungan hujan, mempelajari agihan kekeringan dan kecenderungan kekeringan di daerah Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. 2. Mempelajari hubungan antara faktor penyebab kekeringan dan indeks kekeringanserta mengetahui terjadinya kekeringan secara maksimal serta siklusnya. - Daerah studi agihan hujan dan indeks kekeringan dipengaruhi oleh faktor ketinggian dan berbanding terbalik. - Indeks kekeringanmenunjukkan hubungan yang erat dengan curah hujan yang jatuh serta garis kecenderungan hujan dan kekeringan mempunyai pola yang sama. Sarwono (1999) Agihan dan Kecenderungan Kekeringan serta Hubungannya dengan Aliran Sungai di Sub Daerah Aliran Sungai (SubDAS) Keduang Wonogiri 1. Mengetahui agihan tingkat kekeringan di daerah penelitian. 2. Mengetahui kaitan antara kekeringan terhadap aliran sungai yang terjadi di daerah penelitian. 3. Mengetahui kecenderungan kekeringan serta aliran sungai di daerah penelitian. Menggunakan metode Thornthwaite- Mather - Daerah penelitian memiliki dua buah tingkat kekeringan, tingkat kekeringan rendah di bagian utara serta tingkat kekeringan sedang di sebelah selatan dan tengah daerah penelitian. - Agihan kekeringan berkaitan secara signifikan dengan faktor topografi (ketinggian tempat), sehingga daerah yang lebih rendah cenderung memiliki indeks kekeringan yang lebih tinggi. - Kecenderungan kekeringan tahun di daerah penelitian menunjukkan peningkatan di seluruh stasiun penakar hujan dan begitu juga indeks kekeringan rerata subdas. 8

9 Sudibyakto, dkk (1999) Eko Suwarti (2008) Analisis Curah Hujan untuk Antisipasi Kekeringan dan Mitigasinya di Daerah Aliran Sungai Progo Yogyakarta Evaluasi Kekeringan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Opak di Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan Metode Thornthwaite 1. Mempelajari karakteristik hujan menurut ruang dan waktu untuk menentukan neraca air meteorologis serta menganalisa indeks kekeringan 1. Mengetahui tingkat kekeringan yang terjadi di DAS Opak. 2. Mengetahui hubungan indeks kekeringan dengan tipe iklim. 3. Melakukan evaluasi terhadap tingkat kekeringan yang terjadi di DAS Opak. Metode Thornthwaite Metode Thornthwaite 1. Wilayah DAS Progo secara hidrometeorologis dapat dibedakan menjadi tiga zone kekeringan yaitu kekeringan ringan, kekeringan sedang, dan kekeringan tinggi. 2. Untuk mengurangi resiko kekeringan upaya mitigasi atau pencegahannya antara lain dengan memperbaiki teknik konservasi tanah dan air, penghijauan, pembuatan sumur resapan, serta pembuatan waduk-waduk buatan. 1. Daerah penelitian terbagi menjadi tiga buah tingkat kekeringan yaitu daerah sebelah utara yang memiliki tingkat kekeringan rendah atau tanpa kekeringan dengan Ia < 16,6 %, sedang daerah di sebelah selatan dan tengah memiliki tingkat kekeringan sedang dengan Ia 16,6 % - 33,33 %, dan tingkat kekurangan air yang besar dengan Ia > 33,33 % terjadi di sebelah selatan, tetapi hanya di stasiun Barongan dan Terong. 2. Indeks kekeringan erat kaitannya dengan tipe iklim, jika tipe iklim yang ada sifatnya semakin kering, maka indeks kekeringan yang ada juga akan semakin besar dan sebaliknya, semakin basah sifat suatu tipe iklim tertentu, maka indeks kekeringannya juga semakin kecil. 3. Kecenderungan hujan dan kecenderungan kekeringan di daerah penelitian dibedakan menjadi empat pola yaitu pola 1 berupa kecenderungan hujan yang meningkat dengan kecenderungan kekeringan meningkat, pola 2 berupa kecenderungan hujan turun yang diikuti kecenderungan kekeringan meningkat, pola 3 kecenderungan hujan meningkat dengan kecenderungan kekeringan menurun, dan pola 4 dengan kecenderungan hujan dan kecenderungan kekeringan menurun. Subhakti Adi Putranto (2011) Agihan Tingkat Kerentanan Kekeringan 1. Mengkaji tingkat kekeringan meteorologi yang terjadi di Provinsi DIY. Metode Tornthwaite, SPI 1. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki lima tingkat kerentanan kekeringan meteorologi, geomorfologi, dan Geografi, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan 9

10 Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Menggunakan Parameter- Parameter Geomorfologi dan Meteorologi 2. Mengkaji tingkat kekeringan geomorfologi yang terjadi di Provinsi DIY. 3. Menentukan agihan tingkat kerentanan kekeringan berdasarkan parameterparameter meteorologi dan geomorfologi yang dikaji. sangat tinggi. 2. Daerah yang memiliki tingkat kerentanan kekeringan geomorfologi sangat tinggi memiliki lereng agak curam hingga sangat curam; batuannya tidak mampu menyimpan air, seperti batugamping, breksi, dan material piroklastik; dan kapasitas air yang tersedia rendah. Contohnya di daerah kerucut Gunungapi Merapi. 3. Daerah yang memiliki tingkat kerentanan kekeringan meteorologi sangat tinggi memiliki curah hujan rata-rata tahunan <1750 mm/tahun; nilai SPI kering hingga sangat kering; nilai Ia menunjukkan adanya defisiensi air pada musim panas; klasifikasi iklim Oldeman D dan E. Contohnya ialah daerah Nanggulan, dan Rongkop bagian selatan. Arum Puspitorukmi (2013) Kajian Geomorfologi untuk Analisis Potensi Kekeringan Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Melakukan kajian kekeringan berbasis analisis bentuklahan berupa morfologi dan material penyusun di Daerah Istimewa Yogyakarta 2. Melakukan kajian kekeringan berbasis analisis meteorologis di Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Melakukan kajian kekeringan berbasis analisis kebutuhan air domestik di Daerah Istimewa Yogyakarta 4. Melakukan analisis kekeringan geomorfologis secara komprehensif di Daerah Istimewa Yogyakarta Metode Tornthwaite, scoring dan crosstab Hasil yang diperoleh : 1. Analisis kekeringan geomorfologis berdasarkan morfologi dan material penyusun Daerah Istimewa Yogyakarta 2. Analisis kekeringan meteorologis Daerah Istimewa Yogyakarta 3. Analisis kebutuhan air domestik Daerah Istimewa Yogyakarta 4. Analisis kekeringan geomorfologis secara komprehensif di Daerah Istimewa Yogyakarta 10

11 1.6. Tinjauan Pustaka a. Kajian Geomorfologis Geomorfologi merupakan ilmu tentang bentuklahan (landform) yang membentuk permukaan bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan laut, yang menekankan pada genesis dan perkembangan yang akan datang, sejalan dengan konteks lingkungannya (Zuidam dan Cancelado, 1983). Geomorfologi merupakan ilmu yang mendeskripsikan bentuklahan dan proses pembentuknya dan menyelidiki secara spesifik kaitan antara proses dan bentukan atau hasil prosesnya (Zuidam dan Cancelado, 1985). Berdasarkan kedua definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa geomorfologi adalah ilmu tentang bentuklahan yang berada dipermukaan bumi (darat maupun laut), hubungan antara proses dan hasil proses serta dinamika dalam konteks lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa objek kajian utama geomorfologi adalah bentuklahan yang menekankan pada asal proses pembentukannya (genesis). Obyek kajian utama geomorfologi menurut Zuidam dan Cancelado (1985) adalah bentuklahan yang mencakup 4 (empat) aspek utama, yaitu: a. Morfologi, mengkaji tentang bentuk atau seluk-beluk permukaan bumi, baik morfografi yang sifatnya pemerian atau desktiptif, maupun morfometri yang mencakup ukuran secara kuantitatif; b. Morfogenesis, mengkaji berbagai proses geomorfologis yang mengakibatkan perubahan bentuklahan dalam waktu pendek maupun panjang, baik proses oleh tenaga endogen maupun eksogen; c. Morfokronologi, mengkaji masalah evolusi pertumbuhan bentuklahan, urutan, dan umur pembentukannya, dikaitkan dengan proses yang bekerja padanya; dan d. Morfoaransemen, mengkaji hubungan antara kondisi geomorfologi dengan lingkungannya, yaitu hubungan antara bentuklahan dengan unsur-unsur bentanglahan lainnya, seperti: batuan, struktur, tanah, air, vegetasi, dan penggunaan lahan. 11

12 Sutikno (1992) dan Santosa (1995) menyebutkan bahwa 4 (empat) aspek utama penyusun bentuklahan, yaitu: morfologi, struktur, proses, dan litologi. Salah satu pendekatan geomorfologi untuk kajian air tanah adalah hidromorfologi karena faktor penyusun bentuklahan mempengaruhi karakteristik dan dinamika tanah. Satuan hidromorfologi merupakan satuan bentuklahan yang mencirikan secara spesifik karakteristik airtanah yang ada di dalamnya (Meijerink, 1982; Verstappen dan Zuidam, 1968 dalam Sutikno, 1992). b. Curah Hujan Curah hujan adalah ketebalan air hujan yang mencapai permukaan bumi selama selang waktu tertentu (Prawirowardoyo, 1996). Curah hujan merupakan salah satu bentuk dari prespitasi. Menurut Wisnusubroto (1986), prespitasi merupakan air dalam bentuk padat maupun cair yang jatuh sampai ke permukaan bumi. Intensitas curah hujan merupakan jumlah curah hujan yang dinyatakan dalam tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu, yang terjadi pada satu kurun waktu air hujan terkonsentrasi (Wesli, 2008). Besarnya intensitas curah hujan berbeda-beda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang sempit. Pada daerah luas jarang mengalami intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit (Suroso, 2006). Terjadinya curah hujan ini juga tidak lepas dari distribusi curah hujan baik secara geografis dan distribusi menurut waktu (Subarkah, 1980). Distribusi secara geografis dipengaruhi oleh letak lintang, posisi dan luas daerah, kedekatan dari sumber air, efek geografis, dan ketinggian (Seyhan, 1977). Curah hujan terpusat merupakan curah hujan yang diperoleh dari hasil pencatatan penakar hujan. Data yang dihasilkan berupa data mentah dalam satuan millimeter per detik, menit, jam, harian maupun bulanan. Apabila ingin menggunakan data curah hujan harus diolah terlebih dahulu. Curah hujan wilayah 12

13 digunakan sebagai komponen penyusun suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir. Curah hujan yang digunakan berupa curah hujan rata-rata di seluruh daerah penelitian. Data diperoleh dari beberapa stasiun yang ada di daerah penelitian. c. Kekeringan Kekeringan menurut Bapennas (2003) adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan berkaitan dengan neraca air berupa presipitasi (inflow) dan evapotranspirasi (ouflow). Kekeringan merupakan kondisi normal dari iklim di setiap wilayah. Kekeringan adalah fenomena alam yang terjadi berulang dengan karakterisitik berbeda di setiap wilayahnya, sesuai dengan intensitas, durasi dan luasan wilayah. Kekeringan merupakan penyimpangan yang berkaitan dengan musim. Kegersangan (aridity) merupakan batasan antara keadaan kering dan curah hujan wilayah rendah. Kekeringan dapat dibagi menjadi dua, yakni kekeringan meteorologis dan kekeringan geomorfologis. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan pada kondisi normal dalam satu musim. Selain kondisi curah hujan, kondisi geomorfologis yang meliputi jenis tanah (kekeringan pedologis) dan jenis batuan (kekeringan litologis) serta jenis penggunaan lahan di daerah penelitian juga mempengaruhi tingkat kekeringan. Kekeringan juga dapat terjadi ketika kebutuhan air suatu daerah lebih besar daripada ketersediaan air. Kebutuhan air merupakan besarnya sumberdaya air yang dibutuhkan oleh manusia, meliputi kebutuhan air domestik, kebutuhan air untuk pertanian, kebutuhan air industri dan perikanan. Pada penelitian ini menganalisis kebutuhan air domestik sebagai kekeringan akibat dari pemanfaatan air di Daerah Istimewa Yogyakarta. Indeks kekeringan geomorfologis ditentukan dengan menggabungkan komponen-komponen kekeringan di atas, yakni kekeringan meteorologis, kekeringan geomorfologis (satuan bentuklahan) serta kebutuhan air domestik. Perbedaan potensi kekeringan di daerah penelitian dipengaruhi oleh faktor dominan yang ada di wilayah penelitian. Banyaknya curah hujan yang turun ke 13

14 permukaan bumi, tidak menjamin suatu wilayah bebas dari ancaman kekeringan. Apabila jenis tanah atau jenis batuan tidak mampu menyerap, menyimpan maupun meloloskan air, maka berpotensi kekeringan. Selain itu, kebutuhan air domestik setempat juga mempengaruhi ketersediaan airtanah. Pertumbuhan penduduk maupun peningkatan ekonomi, baik disektor usaha perniagaan, industri maupun pertanian juga dapat meningkatkan kebutuhan air. Apabila pemanfaatan air dilakukan secara besar-besaran dan tidak memperhatikan ketersediaan air, maka akan terjadi penurunan airtanah yang berujung pada kekeringan. d. Neraca Air Meteorologis Neraca air meteorologis merupakan pemodelan kuantitatif yang menghubungkan antara jumlah curah hujan dengan besarnya evapotranspirasi yang terjadi. Neraca air menunjukkan hubungan antara aliran air yang masuk (inflow) dan aliran air yang keluar (outflow) di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu dari proses sirkulasi air (Sosrodarsono, 1977). Prinsip neraca air adalah jumlah masukan air pada suatu ruang tertentu sama dengan jumlah keluaran dan simpanan air pada periode waktu tertentu. Selain untuk mengetahui adanya surplus atau defisit pada periode waktu tertentu, neraca air meteorologis digunakan untuk evaluasi ketersediaan air hujan pada suatu wilayah. Perhitungan neraca air menggunakan penaksiran kemampuan tanah dalam menyimpan air dan perhitungan evapotranspirasi potensial. Dalam melakukan penaksiran kemampuan tanah menggunakan peta tanah untuk menentukan jenis tanah yang ada di daerah penelitian dan peta penggunaan lahan untuk menentukan kedalaman zona perakaran berdasarkan jenis tanaman. Kedua komponen WHC (Water Holding Capacity) kemudian dikonversi ke dalam tabel konversi Tornthwaite. Penentuan bulan basah pada perhitungan neraca air meteorologis menurut Tornthwaite apabila curah hujan lebih besar daripada evapotranspirasi potensial. Sebaliknya, dinyatakan bulan kering apabila jumlah curah hujan lebih rendah daripada evapotranspirasi potensial. Nilai lengas tanah digunakan untuk evapotranspirasi aktual (soil moisture use). Selisih antara evapotranspirasi aktual dengan curah hujan disebut dengan soil moisture deficit. 14

15 e. Indeks Kekeringan Thornthwaite Hasil perhitungan neraca air digunakan untuk menentukan indeks iklim, seperti soil moisture use (pemakaian lengas tanah untuk evapotranspirasi aktual), perhitungan surplus dan defisit air yang terjadi. Perhitungan surplus dan defisit air kemudian digunakan untuk menentukan nilai aridity index (Ia) yang menggambarkan kondisi kekeringan suatu wilayah. Tornthwaite (1985) menyebutkan bahwa tiga parameter indeks iklim andalah aridity index (Ia), moisture index (Im) dan humidity index (Ih). Im digunakan untuk menyatakan indeks iklim secara keseluruhan. Ih menyatakan indeks iklim berdasarkan aspek surplus air, dan Ia untuk menentukan iklim berdasarkan aspek defisit air. f. Kebutuhan Air Domestik Pemanfaatan air oleh penduduk untuk domestik ditinjau melalui jumlah penduduk pedesaan dan perkotaan. Perbedaan jumlah pemanfaatan air di wilayah kota dan desa sesuai dengan kegiatan perekonomian dan sosial budaya setempat. Kebutuhan air domestik dalam penelitian ini dihitung berdasarkan Standar Nasional Indonesia tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Bagian 1: Sumberdaya Air Spasial, yakni 120 liter/hari/kapita untuk daerah perkotaan dan 60 liter/hari/kapita untuk daerah perdesaan. Klasifikasi desa kota dilakukan berdasarkan data BPS tahun Kerangka Pikir Penelitian Kajian geomorfologi untuk analisis potensi kekeringan Daerah Istimewa Yogyakarta secara garis besar mencakup tiga hal, yakni analisis indeks kekeringan meteorologis, indeks kekeringan geomorfologis dan indeks kebutuhan air domestik. Hasil yang diharapkan adalah Peta Potensi Kekeringan Geografis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara rinci kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar

16 Kekeringan Meteorologis Geomorfologis Kebutuhan Air Domestik Agrikultural Data Meteorologis Data Klimatologis Material Penyusun Proses Morfologi/ Relief Sosiokultural Tidak di analisis dalam penelitian ini Unit Bentuklahan Sumber Air Cadangan Lengas Tanah Pemanfaatan Peta Potensi Kekeringan Geomorfologis di Daerah Istimewa Yogyakarta Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian 16

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air TINJAUAN PUSTAKA Neraca Air Neraca air adalah model hubungan kuantitatif antara jumlah air yang tersedia di atas dan di dalam tanah dengan jumlah curah hujan yang jatuh pada luasan dan kurun waktu tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengantar 1.1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki dua tipe musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hal tersebut dapat menyebabkan Indonesia mengalami berbagai masalah bencana.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Bila suatu saat Waduk Jatiluhur mengalami kekeringan dan tidak lagi mampu memberikan pasokan air sebagaimana biasanya, maka dampaknya tidak saja pada wilayah pantai utara (Pantura)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR..... ii DAFTAR ISI...... iv DAFTAR TABEL..... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN.... 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah. 7 C. Tujuan Penelitian......

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan Negara agraris yang amat subur sehingga tidak dapat dipungkiri lagi sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Data dalam Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan mutlak bagi seluruh kehidupan di bumi. Air juga merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Tetapi saat ini, ketidakseimbangan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. BAB III METODOLOGI 3.1 Umum Metodologi merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus Hidrologi dan Neraca air Menurut Mori (2006) siklus air tidak merata dan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi (suhu, tekanan atmosfir, angin, dan lain-lain) dan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Airtanah merupakan sumber daya penting bagi kelangsungan hidup manusia. Sebagai sumber pasokan air, airtanah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

DAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan Skripsi... ii Halaman Pernyataan... iii Halaman Persembahan... iv Kata Pengantar... vi Daftar Isi... vii Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... x Daftar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena El Nino merupakan peristiwa peningkatan suhu rata-rata permukaan air laut di Pasifik Ekuator tengah yang di atas normal. Hal ini biasanya diikuti dengan penurunan

Lebih terperinci

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat. 11 yang akan datang, yang cenderung mengalami perubahan dilakukan dengan memanfaatkan keluaran model iklim. Hasil antara kondisi iklim saat ini dan yang akan datang dilakukan analisis dan kemudian dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Studi Hidrogeologi dan Identifikasi Intrusi Air asin pada Airtanah di Daerah Samas, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ketika kesetimbangan neraca air suatu daerah terganggu, maka terjadi pergeseran pada siklus hidrologi yang terdapat di daerah tersebut. Pergeseran tersebut dapat terjadi

Lebih terperinci

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien.

dan penggunaan sumber daya alam secara tidak efisien. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan komponen penting bagi proses kehidupan di bumi karena semua organisme hidup membutuhkan air dan merupakan senyawa yang paling berlimpah di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di

BAB I PENDAHULUAN. bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Salah satu bencana yang banyak melanda daerah-daerah di Indonesia adalah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018 KATA PENGANTAR Prakiraan Musim Kemarau 2018 Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2018 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN 3.1. Tinjauan Umum Kota Yogyakarta Sleman Provinsi Derah Istimewa Yogyakarta berada di tengah pulau Jawa bagian selatan dengan jumlah penduduk 3.264.942 jiwa,

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP Prakiraan Musim Hujan 2016/2017 Provinsi Jawa Barat PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Geofisika Kelas 1 Yogyakarta / Pos Klimatologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu,

Lebih terperinci

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng)

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng) BAB II DISKRIPSI DAERAH 2.1 Letak Geografi Kabupaten Klaten termasuk daerah di Propinsi Jawa Tengah dan merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan zat yang tidak dapat dipisahkan dari makhluk hidup di kehidupan sehari-harinya. Zat tersebut sangatlah dibutuhkan ketersediannya di berbagai waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor

BAB I PENDAHULUAN. atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016), bencana tanah longsor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap bencana tanah longsor. Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) dari BNPB atau Badan Nasional

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kejadian Bencana Alam di Asia Tahun (Anggraini, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kejadian Bencana Alam di Asia Tahun (Anggraini, 2007) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pulau Jawa merupakan pulau yang mempunyai penduduk paling padat di Indoensia. Kepadatan penduduk ini dipengaruhi oleh kondisi pulau Jawa yang subur dan keindahan alamnya.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi bentanglahan Vink (1983) dalam Samadikun (2009) menyatakan studi bentanglahan merupakan sebuah studi yang mengaitkan hubungan erat antara ruang dan waktu diantara fenomena

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL INDEKS KEKERINGAN KABUPATEN SUKOHARJO MENGGUNAKAN METODE SPI (STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX)

ANALISIS SPASIAL INDEKS KEKERINGAN KABUPATEN SUKOHARJO MENGGUNAKAN METODE SPI (STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX) ANALISIS SPASIAL INDEKS KEKERINGAN KABUPATEN SUKOHARJO MENGGUNAKAN METODE SPI (STANDARDIZED PRECIPITATION INDEX) Rahmanita Lestari, Nurul Hidayah, dan Ambar Asmoro Fakultas Geografi UMS E-mail: rahmanovic1993@gmail.com

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Februari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh

mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul dikatakan sebagai daerah miskin air dan bencana kekeringan menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memiliki ibukota Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar

Lebih terperinci

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi?

4/8/2011 PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA. Permasalahan atau. isu yang muncul : 1. Adanya berbagai persepsi. pemetaan geomorfologi? PEMETAAN GEOMORFOLOGI UNTUK GEOLOGI ATAU GEOFISIKA Suroso Sastroprawiro Bambang Kuncoro Hadi Purnomo Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Contact person: 08122953788

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air BAB I PENDAHULUAN I. Umum Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Definisi banjir ialah aliran air sungai yang tingginya melebih muka air normal, sehinga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di

Lebih terperinci

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU

ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU ANALISIS KARAKTERISTIK INTENSITAS CURAH HUJAN DI KOTA BENGKULU Arif Ismul Hadi, Suwarsono, dan Herliana Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu, Telp. (0736)

Lebih terperinci

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...) Disampaikan pada PELATIHAN PENGELOLAAN DAS (25 November 2013) KERJASAMA : FORUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi tanah, di laut atau badan-

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa kota dan kabupaten seperti Kabupaten

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara 7 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Gunungkidul adalah daerah yang termasuk dalam wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunungkidul memiliki luas 1.485,36 Km 2 terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kimia airtanah menunjukkan proses yang mempengaruhi airtanah. Perubahan kimia airtanah dipengaruhi oleh faktor geologi dan faktor antropogen. Nitrat merupakan salah

Lebih terperinci

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Pemanfaatan Peta Geologi dalam Penataan Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Yogyakarta, 21 September 2012 BAPPEDA DIY Latar Belakang UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5%

BAB I PENDAHULUAN. ini. Terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard Km 3 air dengan persentase 97,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan pokok untuk semua makhluk hidup tanpa terkecuali, dengan demikian keberadaannya sangat vital dipermukaan bumi ini. Terdapat kira-kira

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Buletin Analisis Hujan Bulan April 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2013 KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan April 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan

Lebih terperinci

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS MONEV TATA AIR DAS ESTIMASI KOEFISIEN ALIRAN Oleh: Agung B. Supangat Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Jl. A.Yani-Pabelan PO Box 295 Surakarta Telp./fax. (0271)716709, email: maz_goenk@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perencanaan pembangunan, pendekatan wilayah merupakan alternatif lain dari pendekatan sektoral yang keduanya bisa saling melengkapi. Kelebihan pendekatan wilayah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang berada pada iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi memiliki tingkat kerawanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan mengakibatkan

Lebih terperinci

USULAN PENELITIAN MANDIRI TAHUN ANGGARAN 2015

USULAN PENELITIAN MANDIRI TAHUN ANGGARAN 2015 1 USULAN PENELITIAN MANDIRI TAHUN ANGGARAN 2015 INTENSITAS KEKERINGAN DI WILAYAH KABUPATEN BENGKULU UTARA Oleh : Drs. Nofirman, MT FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS Prof. Dr. HAZAIRIN,

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Hidrologi adalah ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam, yang meliputi bentuk berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makhluk hidup lainnya, yang berperan penting di berbagai sektor kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dan makhluk hidup lainnya, yang berperan penting di berbagai sektor kehidupan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang mutlak diperlukan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya, yang berperan penting di berbagai sektor kehidupan. Dalam siklus hidrologi

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air adalah salah satu sumber daya alam yang tersedia di bumi. Air memiliki banyak fungsi dalam kelangsungan makhluk hidup yang harus dijaga kelestariannya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana longsor lahan (landslide) merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Longsor lahan mengakibatkan berubahnya bentuk lahan juga

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan penting pada pemenuhan kebutuhan makhluk hidup untuk berbagai keperluan. Suplai air tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang terjadinya, pergerakan dan distribusi air di bumi, baik di atas maupun di bawah permukaan bumi, tentang sifat fisik,

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016 ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016 Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi Oleh: LILIS ISTIYANI

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum Semua makhluk hidup di dunia ini pasti membutuhkan air untuk hidup baik hewan, tumbuhan dan manusia. Begitu besar peran air dalam kehidupan membuat air termasuk kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Januari 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun dan pos hujan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Topografi Bali Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km dengan jarak sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis,

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi

Gambar 2.1. Diagram Alir Studi 2.1. Alur Studi Alur studi kegiatan Kajian Tingkat Kerentanan Penyediaan Air Bersih Tirta Albantani Kabupaten Serang, Provinsi Banten terlihat dalam Gambar 2.1. Gambar 2.1. Diagram Alir Studi II - 1 2.2.

Lebih terperinci

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7) 7 Persamaan-persamaan tersebut kemudian dikonversi menjadi persamaan volumetrik (Persamaan 5) yang digunakan untuk mendapatkan nilai kadar air tanah dalam % volume. 3.3.5 Pengukuran Curah Hujan dan Tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pandang geologi. Wilayah ini dikontrol oleh hasil aktifitas tumbukan dua

BAB I PENDAHULUAN. pandang geologi. Wilayah ini dikontrol oleh hasil aktifitas tumbukan dua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penelitian berada di Kabupaten Garut Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki daya tarik tersendiri, khususnya dari sudut pandang

Lebih terperinci

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD) SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD) Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu. Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu. Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta II yang mempunyai luas 1.364.072 ha, terutama pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu yang merupakan Daerah

Lebih terperinci