BAB II KAJIAN PUSTAKA. terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan,"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sistem, Pendekatan Sistem, dan Model Sistem Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park, 1977). Sedangkan, Marimin (2004) mendefinisikan sistem sebagai suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Selanjutnya, Chechland (1981) menyatakan bahwa sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengasumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, dan (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut. Menurut Chechland (1981) ada beberapa persyaratan dalam berpikir sistem (system thinking) diantaranya (1) Holistik, system thinkers harus berpikir holistik 9

2 10 tidak reduksionis. Yang dimaksud holistik di sini adalah tidak mereduksionis permasalahan kepada bagian yang lebih kecil (segmentasi) atau tidak hanya berpikir secara parsial dari sudut pandang mono disiplin tapi harus interdisiplin; (2) Sibernetik ( goal oriented), system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah ( problem oriented). Jadi mulai dengan tujuannya apa, kemudian identifikasi masalah yaitu gap antara tujuan (kondisi informatif) dengan keadaan aktual baru problem solving; dan (3) Efektif, dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen di mana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Menurut Muhammadi et al (2001) untuk berfikir sistem (system thinkers) syaratnya adalah adanya kesadaran untuk mengapresiasi dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem (systemic approach). Kejadian apapun baik fisik maupun non fisik dilihat secara keseluruhan sebagai interaksi antar unsur sistem dalam batas lingkungan tertentu. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien. Jadi ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan lebih baik lagi bila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien Pendekatan sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan cara ini dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan

3 11 keberhasilan suatu organisasi atau sistem. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem (Marimin, 2004). Saat ini dalam dunia nyata banyak permasalahan yang kompleks dan beragam sehingga penyelesaiannya tidak mungkin dapat berhasil diselesaikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistem ( System Approach). Dalam teori sistem dinyatakan bahwa kesisteman adalah suatu meta disiplin, dimana proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh dan Carnavayal dalam Eriyatno, 1999). Keutamaan pendekatan sistem adalah dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks yang sulit diselesaikan dengan pendekatan lainnya. Seperti dinyatakan oleh Chechland (1981) bahwa system thinking muncul akibat dari reaksi terhadap ketidakmampuan natural science dalam memecahkan permasalahan dunia nyata yang kompleks. Selanjutnya, Manetsch dan Park (1977) berpendapat bahwa untuk permasalahan multidisiplin yang komplek pendekatan sistem memberikan penyelesaian masalah dengan baik. Persoalan yang diselesaikan dengan pendekatan sistem umumnya persoalan yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, di mana interaksi antar elemen cukup rumit, persoalan menyangkut multidisiplin dan multifaktor; (2) Dinamis, dalam arti, faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) Stokastik, yaitu diperlukannya fungsi peluang (probabilistik) dalam

4 12 inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Menurut Eriyatno (1999) dalam metodologi sistem ada enam tahap analisis sebelum tahap sintesa atau rekayasa, yaitu: (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, social, dan politik, dan (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Tahap ke satu sampai dengan ke enam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal sebagai analisis sistem Model Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch dan Park, 1977). Menurut Eriyatno (1999) model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan ( forecasting) dan evaluasi kebijakan yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif, 2004). Model dikelompokkan menjadi tiga tipe yaitu model kuantitatif, kualitatif, dan ikonik (Muhammadi et al, 2001). Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun

5 13 skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Menurut Manetsch dan Park (1977) model diklasifikasikan menjadi dua yaitu model makro dan model mikro, yang ada kaitannya dengan derajad agregasinya. Membangun model umum ( generic model) dimulai dengan menyusun elemen-elemen dasar yang menyusun sebuah sistem yang bersifat dinamis. Kemudian mengidentifikasi gejala sampai menghasilkan sruktur permasalahan untuk analisis kebijakan. Muhammadi et al. (2001) menyatakan b ahwa untuk menghasilkan model yang bersifat sistemik ada beberapa langkah yang harus ditempuh yaitu: (1) identifikasi proses yang menghasilkan kejadian nyata, (2) identifikasi kejadian yang diinginkan, (3) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, dan (5) analisis kebijakan. Dalam simulasi model setiap gejala dalam proses dapat distrukturkan ke dalam kategori atau kombinasi kategori tertentu seperti level, rate, auxilliary, constanta, flow, serta fungsi fungsi tertentu seperti delay, step, pulse, graph, if, table, dan timecycle. Perilaku dinamis dalam model ini dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model itu sendiri terdiri dari beberapa tahap yaitu: penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi (Eriyatno, 1999). Selanjutnya, dikatakan bahwa validasi hasil simulasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses

6 14 serta kecenderungan di masa depan, yang dapat dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan suatu kebijakan di masa mendatang. Validasi juga memberikan keyakinan sejauh mana model dapat dipertanggung jawabkan dalam analisis kebijakan untuk pemecahan masalah Pemodelan dinamik Pemodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi. Sistem yang dibatasi ini merupakan sistem yang meliputi semua konsep dan variabel yang saling berhubungan dengan permasalahan dinamik ( dynamic problem) yang ditentukan (Richardson dan Pugh, 1986). Forrester (1961) menyatakan bahwa model yang dikembangkan dengan sistem dinamik mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Menggambarkan hubungan sebab akibat dari sistem b. Sederhana dalam mathematichal nature c. Sinonim dengan terminology dunia industry, ekonomi, dan sosial dalam tatanama, dan d. Dapat melibatkan perubahan yang tidak kontinyu jika dalam keputusan memang dibutuhkan. Pada umumnya model dibangun untuk tujuan peramalan ( forecasting) atau perancangan kebijaksanaan. Berbeda dengan model statis, pendekatan model dinamik bersifat deduktif dan mampu menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam asumsi-asumsi yang dibuat sehingga kesepakatan atas asumsi-asumsi dapat

7 15 diperoleh. Model dinamik menekankan pada proses perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Karena perubahan memakan waktu, delay memjadi hal penting dalam pemodelan dinamik. Apabila dalam model statis tingkat variabel keadaan dan kelakuan sistem yang lalu menentukan tingkat stok dan kelakuan sistem sekarang, maka dalam model sistem dinamik hubungan temporal hanya berlaku untuk tingkat stok saja dan tidak untuk kelakuan sistem. Kelakuan sistem pada saat sekarang tidak dapat diterangkan oleh kelakuannya pada waktu yang lalu, melainkan oleh mekanisme interaksi struktur mikro dalam system (Tasrif, 1993). Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa penyusunan model dinamik mengalami tiga tingkatan alternatif yaitu: a. Verbal Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. b. Visual (analog model kualitatif) Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan hubungan sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana dan jelas. Analisis deskripsi visual dilakukan secara kualitatif. c. Matematis Model visual dapat direpresentasikan ke dalam bentuk matematis yang merupakan perhitungan-perhitungan terhadap suatu sistem. Semua bentuk perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk berperan sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam.

8 16 Permasalahan dalam sistem dinamik dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh dari luar namum dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Tujuan metodologi sistem dinamik berdasarkan filosofi kausal (sebab akibat) adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang tata cara kerja suatu system (Asyiawati, 2002). Tahapan dalam pendekatan system dinamik adalah: a. Identifikasi dan definisi masalah b. Konseptualisasi sistem c. Formulasi model d. Simulasi model e. Analisis kebijakan f. Implementasi kebijakan. Tahapan dalam pendekatan sistem dinamik ini diawali dan diakhiri dengan pemahaman sistem dan permasalahannya sehingga membentuk suatu lingkar tertutup. Proses dari pendekatan sistem dinamik dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat penting dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu dilakukan. Tahap selanjutnya adalah merupakan tujuan dan batas permasalahan dari sistem yang akan dimodelkan. Batas sistem menyatakan komponen-komponen yang termasuk dan tidak termasuk dalam pemodelan sistem. Batas sistem ini meliputi kegiatankegiatan di dalam sistem sehingga perilaku yang dipelajari timbul karena interaksi dari komponen-komponen di dalam sistem (Purnomo, 2003).

9 17 Implementasi model Pemahaman sistem Analisis Kebijakan Identifikasi masalah Simulasi model Konseptualisasi sistem Formulasi model Sumber: Widayani (1999) Gambar 2.1 Tahapan Pendekatan Sistem Dinamik Selanjutnya, konseptualisasi model dilakukan atas dasar permasalahan yang didefinisikan. Ini dimulai dengan identifikasi komponen atau variabel yang terlibat dalam pemodelan. Variabel-variabel tersebut kemudian dicari interrelasinya satu sama lain dengan menggunakan ragam metode seperti diagram sebab akibat (causal), diagram kotak panah (stock and flow), dan diagram sekuens (aliran). Konseptualisasi model ini memberikan kemudahan bagi pembaca agar dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem (Purnomo, 2003).

10 18 Pada tahap formulasi (spesifikasi) model dilakukan perumusan makna yang sebenarnya dari setiap relasi yang ada dalam model konseptual, ini dilakukan dengan memasukkan data kuantitatif ke dalam diagram model. Spesifikasi model dilakukan terhadap model variabel-variabel yang saling berhubungan dalam diagram. Pemodel dapat menentukan nilai parameter dan melakukan percobaanpercobaan terhadap pengembangan model dengan mengkomunikasikan kepada aktor-aktor yang terlibat. Dalam hal ini, model diformulasikan dengan persamaan matematik (Purnomo, 2003). Pada prinsipnya, model sistem dinamik dapat dinyatakan dan dipecahkan secara numerik dalam sebuah bahasa pemrograman. Perangkat lunak khusus untuk sistem dinamik telah banyak tersedia seperti Dynamo, Stella, Powersim, Vensim, Ithink, dan lain-lain. Pemilihan Powersim sebagai perangkat lunak untuk simulasi model adalah karena kemudahan dan kecanggihannya yang terus berkembang. Dalam Powersim, model kualitatif disajikan dalam bentuk grafik dari satu atau lebih variabel terhadap waktu. Pada model yang telah dibuat, data kuantitatif berupa data, informasi dimasukkan dengan mengklik variabel-variabel yang tersedia seperti level, rate, auxiliary, dan konstanta dan kemudian nilai/formula dimasukkan ke dalam variabel-veriabel tersebut. Selanjutnya, metode numerik dan time step dapat dipilih untuk mengkalkulasi model (Muhammadi et al. 2001). Tahap selanjutnya adalah melakukan simulasi terhadap model dan melakukan validasi model yang juga akan menimbulkan umpan balik terhadap permasalahan sistem. Menurut Muhammadi et al. (2001) simulasi model

11 19 dilakukan untuk memahami gejala atau proses sistem, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Sedangkan validasi model dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses perbaikan dan reformulasi model. Akhirnya dilakukan analisis kebijakan pada model yang telah valid dan ini akan menambah pemahaman sistem. 2.2 Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan yang dikemukakan para ilmuwan atau lembaga internasional bervariasi. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana setiap orang pada setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Riely et al. (1999, dalam Dharmawan dan Kinseng, 2006) di mana ketahanan pangan dirumuskan sebagai access for all people at all times to enough food for an active and healty life. Hal penting dari kedua konsep di atas adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan ketahanan pangan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi dan distribusi di suatu daerah serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber pangan tersebut. Ketahanan pangan berdasarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

12 20 aman, merata dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan di atas secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2001), yaitu : (1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (2 ) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (3 ) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, dan (4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Agak berbeda dengan pandangan sebelumnya, Maxwell dan Timothy (1992) memberikan batasan ketahanan pangan dengan menggunakan tolok ukur dimensi spasial dan temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua situasi kerawanan pangan yaitu: (1) kerawanan pangan kronis ( Chronic food in security: the inability of the people to meet food needs on going basis) dan (2) kerawanan pangan sementara atau transien (Transitory food insecurity: When the inability to meet food needs is temporary). Kerawanan pangan terjadi apabila rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu anggotanya. Kerawanan pangan kronis (terus menerus) biasanya sering terjadi pada kawasan yang kurang menguntungkan secara ekologis, kawasan terpencil atau

13 21 terisolasi, kawasan yang ekologisnya rusak dan terancam, sehingga bencana kelaparan berlangsung secara berulang, biasanya kerawanan pangan seperti ini terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan ekonomi, keterisolasian, ketidak berdayaan dalam mengontrol sumberdaya dan mengakses sumber pangan. Kerawanan pangan yang terjadi terus menerus seperti ini akan berdampak pada penurunan status gizi dan kesehatan. Sedangkan, kerawanan pangan sementara (transien) terbagi pada dua tipe yaitu (1 ) kerawanan pangan yang bersifat sementara, yang akan segera menghilang setelah faktor-faktor pengaruhnya dapat diatasi dan (2) kerawanan pangan yang bersifat siklikal, yang bergerak menguat dan melemah sesuai dengan perubahan waktu dan perubahan faktor- faktor eksternal yang ada. Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa konsep turunannya yaitu kemandirian pangan ( food resilience) dan kedaulatan pangan (food sovereignty). Di mana pengertian ketiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya (Dharmawan dan Kinseng, 2006). Kemandirian pangan menunjukkan kapasitas suatu kawasan (nasiona l) untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara swasembada (self sufficiency). Semakin besar proporsi pangan dan bahan pangan yang dipenuhi dari luar sistem masyarakat kawasan tersebut, maka semakin berkurang kemandiriannya dalam penyediaan pangan dan sebaliknya. Kemandirian pangan yang rendah juga ditunjukan oleh lemahnya kapasitas kawasan (nasional) untuk menyediakan pangan melalui usaha -usaha mandiri tanpa bantuan pihak lain. Sedangkan, kedaulatan pangan seperti pada kemandirian pangan tetapi dengan mengaitkan pada penguasaan atas sumber

14 22 pangan dan pangan yang tersedia di kawasan tersebut. Semakin tinggi proporsi penguasaan sumber pangan, jumlah produksi, distribusi, kontrol mutu dan keamanan pangan oleh anggota masyarakat lokal, semakin tinggi derajat kedaulatan pangannya. Sebuah sistem pangan dari suatu kawasan yang berdaulat berarti sistem tersebut telah melalui tahapan kemandirian pangan. Saad (1999) menyatakan indikator ketahanan pangan dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu: (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses pangan (food access) dan pemanfaatan pangan ( food utilization) yang saling berkaitan membentuk suatu sistem. Ketersediaan pangan tergantung pada sumberdaya (alam, manusia, fisik) dan produksi (usahatani dan non usahatani). Aksessibilitas pangan tergantung pada pendapatan (usahatani dan non usahatani), produksi dan konsumsi. Sedangkan, pemanfaatan pangan sangat tergantung pada nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh anak maupun dewasa. Ketahanan pangan di suatu daerah atau wilayah dapat dilihat dari berbagai indikator, indikator ketahanan pangan secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2.1. Peningkatan ketahanan pangan seperti yang tertulis di dalam GBHN sebaiknya dilaksanakan dengan berbasis sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dengan memperhatikan pendapatan para pelaku usaha skala kecil, dengan pengaturan yang didasari Undang-Undang. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebutuhan pangan sejauh mungkin harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, dengan mengandalkan keunggulan sumberdaya, kelembagaan, budaya, termasuk kebiasaan makan, yang beragam di masing- masing daerah. Selanjutnya, disebutkan juga pentingnya aspek pengembangan usaha bisnis

15 23 pangan dan pengembangan kelembagaan pangan yang dapat menjamin keanekaragaman produksi, penyediaan dan konsumsi pangan serta menjamin penyediaan gizi bagi masyarakat. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan mengandung makna makro maupun mikro. Makna makro terkait dengan penyediaan pangan di seluruh wilayah setiap saat, sedangkan makna mikro terkait dengan kemampuan rumah tangga dan individu dalam mengakses pangan dan gizi sesuai kebutuhan dan pilihannya untuk tumbuh, hidup sehat dan produktif. Sehingga ketahanan pangan sangat terkait pada individu, keluarga, masyarakat, wilayah hingga tingkat nasional. Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam: (1) memenuhi salah satu hak azasi manusia; (2) me mbangun kualitas sumber daya manusia; dan (3) membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional (Nurmalina, 2007). Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya karena tidak satupun negara dapat membangun perekonomiannya tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah pangannya. Ketidaktahanan atau kerawanan pangan sangat berpotensi memicu kerawanan sosial, politik maupun keamanan. Kondisi demikian tidak menunjang pelaksanaan program pembangunan secara keseluruhan, yang berarti ketahanan nasional tidak mungkin terwujud.

16 24 Ketersediaan Pangan Aksessibilitas Pangan Pengembangan Pangan Sumberdaya : Alam Fisik Manusia Produksi : Usahatani Non usahatani Pendapatan : Usahatani Non usahatani Konsumsi : Pangan Non pangan Nutrisi : Anak-anak Dewasa Indikator Kategori Indikator Kategori Indikator Kategori Indikator Kategori Indikator Kategori Sumberdaya Produksi Pendapatan Konsumsi Nutrisi Alam : 1.Curah hujan 2.Kualitas tanah 3.Ketersediaan air 4. Sumber daya hutan 5. Aksessibilitas ikan Fisik : 1. Infrastruktur 2. Kepemilikan hewan 3.Kepemilikan alat pertanian 4. Kepemilikan lahan 5.Aset fisik lainnya Manusia : 1. Pendidikan 2.Tingkat buta huruf 3. Rasio ketergantungan 4.Anggota RT 5.Umur anggota RT 6.Gender of household 1.Total areal tanam 2.Areal irigsi 3.Areal yang belum ditanami 4.Aksessibilitas pada penggunaan input 5.Produktifitas tanaman semusim 6.Crop diversity 7.Produksi 8.Jumlah pendapatan di luar usahatani 9.Cottage industry production 10. Gender division of labour 1.Total pendapatan 2.Pendapatan dari usahatani (tanaman dan ternak) 3.Upah tenaga kerja 4.Pendapatan migrasi 5.Pasar 1.Pengeluaran total 2.Harga pangan 3.Harga non pangan 4.Frekuensi makan 5.Dietary intake 1.Tingakt mortalitas 2.Tingkat morbedetas 3.Tingkat kesuburan 4.Akses fasilitas kesehatan 5.Akses pada sanitasi 6.Akses pada sanitasi yang memadai Sumber : Saad (1999) Gambar 2.2 Indikator Ketahanan Pangan 2.3 Konsumsi dan Ketersediaan Beras Stabilitas pasokan pangan terutama beras sangat penting peranannya dalam pemenuhan konsumsi masyarakat. Cadangan beras merupakan komponen yang

17 25 sangat penting dalam penyediaan pangan. Informasi mengenai stok beras ini sangat penting untuk mengetahui situasi ketahanan pangan, baik di tingkat rumah tangga, kabupaten, wilayah maupun nasional. Informasi stok beras pemerintah relatif lebih mudah diperoleh karena penyelenggaranya adalah instansi pemerintah (Dolog). Namun demikian, informasi mengenai stok beras di masyarakat lebih sulit diperoleh dan data stok ini tidak tersedia secara rutin (Pudjadi dan Harisno, 2007). Di sisi lain, data stok ini sangat dibutuhkan dalam penentuan kebijakan sector pertanian karena menyangkut ketersediaan beras dalam suatu wilayah. Konsumsi merupakan faktor yang sangat penting dalam menghitung kebutuhan beras di suatu wilayah baik tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Data konsumsi beras per kapita sampai saat ini sangat variatif, tergantung kepada masing-masing instansi pemerintah yang berkepentingan kepada data tersebut. Data produksi selama ini telah dikumpulkan oleh BPS dan Departemen/Kementerian Pertanian. Untuk menghitung ketersediaan beras di suatu wilayah diperlukan data produksi dan perdagangan (impor dan ekspor serta data antar pulau). Untuk menghitung kebutuhan beras diperlukan data konsumsi. Selisih antara ketersediaan dan kebutuhan merupakan stok. Besarnya stok perlu diuji sehingga perlu survei stok yang selanjutnya diolah menjadi model stok (Sugianto et al. 2002). Informasi ketersediaan dan kebutuhan beras yang dihitung dari konsumsi dan stok beras sangat diperlukan oleh pengambil kebijakan apakah harus melakukan impor atau tidak, apakah harus mendatangkan beras dari wilayah lain

18 26 atau tidak, apakah cadangan beras mencukupi dan haarga terjangkau. Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut maka diperlukan survei stok dan konsumsi gabah/beras di suatu wilayah. Konsumsi beras per kapita berdasarkan Susenas 2012 adalah sebesar kg/kapita/minggu atau 89,48 kg/kapita/tahun. Nilai tersebut hanya konsumsi rumah tangga, belum termasuk konsumsi di luar rumah tangga, seperti makanan yang dibeli dari luar dan tidak diolah di rumah. Perhitungan kebutuhan beras memerlukan data konsumsi langsung yaitu data konsumsi yang berasal dari rumah tangga dan dari luar rumah tangga (Pudjadi dan Harisno, 2007). 2.4 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian tentang penyediaan dan konsumsi beras nasional telah dilakukan, namun sebagian besar dilakukan dengan pendekatan ekonometrika, dan tidak terintegrasi dengan lingkungan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penyediaan dan konsumsi beras diantaranya sebagai berikut : Mulyana (1998) melakukan penelitian mengenai Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Peneliti menggunakan Analisis Model Ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan

19 27 permintaannya secara agregat nasional. Hasil pendugaan model Mulyana (1998) menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap harga gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa dan Bali. Secara umum hasil simulasi model Mulyana (1998) menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda dampaknya tehadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal itu adalah diperlukan penerapan kebijakan dan perbaikan kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984 sd 1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15,38 persen, menambah areal irigasi 3,61 persen, menambah areal intensifikasi 5,25 persen atau mendevaluasi rupiah 100 persen namun dampaknya berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen. Hasil peramalan Mulyana (1998) tanpa alternatif keb ijakan menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan

20 28 meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang sedangkan peranan wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakan akan berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif. Untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan, Mulyana (1998) merekomendasikan untuk meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usahatani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah, perlu diefektifkan kebijakan harga dasar yang didukung dengan peningkatkan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan beras/gabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek. Rachman (2001) melakukan penelitian yang berjudul Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia ( KTI). Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi beras terlihat mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI masih rendah dibandingkan

21 29 Nasional. Hasil analisis Rachman (2001) menunjukan bahwa proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data time series dari tahun adalah sebesar 28,47 juta ton, kemudian tahun 2010 sebesar 28,53 juta ton dan pada tahun 2015 adalah sebesar 28,59 juta ton. Proyeksi konsumsi beras tahun 2005 dan 2010 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah masing-masing sebesar 116,80 kg/kapita/tahun dan 113,15 kg/kapita/tahun. Sedangkan konsumsi beras tahun 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 109,5 kg/kapita/tahun, sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 menurut standar kecukupan gizi diperkirakan adalah sebesar 26,06 juta ton, 26,97 juta ton dan 27,77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka dari hasil analisis diketahui bahwa produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi permintaannya. Namun demikian perlu diwaspadai adanya peningkatan konsumsi beras per kapita sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi pada tahun 2015 mendatang. Sehingga kita harus selalu waspada dan selalu tetap berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola pangan pokok yang mengarah ke beras juga ditunjukkan oleh bergesernya pola pangan pokok di provinsi-provinsi wilayah Kawasan Timur Indonesia. Pada tahun 1979 hanya provinsi Kalimantan Selatan yang berpola pangan pokok beras, namun demikian pada tahun 1996 provinsi lainnya seperti Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi

22 30 Selatan menjadi provinsi-provinsi dengan pola pangan pokok beras. Beras sudah mengarah pada komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi beras dengan makin tingginya pendapatan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB (2002), melakukan penelitian mengenai Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2002 dengan menggunakan analisis ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 ada peluang Indonesia mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar dari pada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang lebih cepat dari pada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai kebijakan yang disimulasikan, ternyata kebijakan tersebut adalah peningkatan dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar. Lembaga Penelitian UI bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian (2002) melakukan penelitian Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear ( Trend Analysis). Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi (energi) dari tahun 2002 sampai dengan 2015 dilakukan

23 31 analisis berdasarkan angka kecukupan Zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan Kecukupan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian (khususnya beras) di satu sisi, dan masih rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal itu, maka konsumsi per kapita padi-padian, khususnya beras sepanjang diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat. Berdasarkan hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil dari pada fungsi ketersediaan. Pendapat bahwa fungsi ketersediaan pangan merupakan yang terpenting didukung oleh pendapat responden di semua provinsi contoh. Dengan demikian, pendekatan produksi dan availability masih menjadi tema yang dianggap mampu menjamin ketahanan pangan. Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya, pemerintah daerah tingkat II memainkan peranan penting sejak dari tahapan perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan bagi

24 32 pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga diharapkan menjadi penanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Namun ada satu komponen penting dimana peranan pemerintah pusat diharapkan tetap menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain, diharapkan sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari pemerintah pusat. Irawan (2005) melakukan penelitian Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis. Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun ( % per tahun) dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun Pada saat yang sama upaya peningkatan produktivitas padi sebesar persen per tahun sebagaimana prestasi yang pernah dicapai pada saat swasembada beras (1983 sd 1985) diperlukan. Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar Jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan

25 33 selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah. Shintasari (1988) melakukan penelitian terhadap dinamika persediaan daging sapi dengan pendekatan model dinamik untuk wilayah DKI Jakarta. Simulasi model dibuat berdasarkan fluktuasi tingkat persediaan daging sapi dengan software Dynamo untuk menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mampu mengatasi ketidakstabilan dalam produksi dan persediaan sehingga dapat menghemat sejumlah besar biaya. Waskito (2005) membuat pemodelan ekonom etrik dan dinamik sistem terhadap daya saing ekspor komoditas agroindustri karet alam Indonesia. Daya saing ekspor melalui pemodelan dinamik terbagi menjadi tiga subsistem (submodel) yaitu submodel agroindustri, submodel perdagangan, dan submodel makroekonomi. Pada setiap submodel terdapat faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam hubungan sebab akibat. Kajian disertasi ini menggunakan model sistem dinamik dengan pertimbangan bahwa model tersebut akan memberikan pandangan yang lebih holistik serta pemahaman terhadap perilaku sistem yang lebih dalam, khususnya untuk kajian wilayah Provinsi Bali. Model sistem dinamik juga lebih mampu memprediksi perubahan perilaku system yang dinamis dibandingkan alat manajemen ilmiah lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Dinamik Sistem dinamik didefinisikan sebagai sebuah bidang untuk memahami bagaimana sesuatu berubah menurut waktu (Forester, 1999 dalam Purnomo 2005). Sistem dinamik merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model 2.1.1. Sistem Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Beras merupakan makanan pokok utama penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus menjadikan kondisi tersebut sebagai titik

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 20 3. METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan agroindustri udang merupakan hal yang sangat penting dalam siklus rantai komoditas udang. Pentingnya keberadaan agroindustri udang

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik

Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik Seminar dan Konferensi Nasional IDEC 2017 ISSN: 25796429 Surakarta, 89 Mei 2017 Analisis Kebijakan Persediaan Beras Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik Wiwik Budiawan *1), Ary Arvianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rasio Konsumsi Normatif Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan antara total konsumsi dan produksi yang menunjukkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Rasio konsumsi

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi serta perubahan struktur sosial ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Pembangunan pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI ALTERNATIF MODEL KEBIJAKAN PENINGKATAN DAYA SAING KEDELAI LOKAL DALAM RANGKA MENCAPAI KEDAULATAN PANGAN NASIONAL TIM PENELITI Dr. Zainuri, M.Si (Ketua Peneliti)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Gardner (1987) menyatakan penanganan masalah perberasan memerlukan kebijakan publik yang merupakan bagian dari kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan ketahanan pangan

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan

Lebih terperinci

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI : Identifikasi Dan Pengembangan Komoditi Pangan Unggulan di Humbang Hasundutan Dalam Mendukung Ketersediaan Pangan Berkelanjutan Hotden Leonardo Nainggolan Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain yang sesuai dengan kebutuhan ternak terutama unggas. industri peternakan (Rachman, 2003). Selama periode kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. lain yang sesuai dengan kebutuhan ternak terutama unggas. industri peternakan (Rachman, 2003). Selama periode kebutuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Di daerah tropis seperti Indonesia, jagung memiliki kontribusi sebagai komponen industri pakan. Lebih dari 50% komponen pakan pabrikan adalah jagung. Hal ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng

ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG. Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng ARAHAN PERENCANAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN SOPPENG Maswirahmah Fasilitator PPSP Kabupaten Soppeng wiwifadly@gmail.com ABSTRAK Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah enganalisis dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI Juara 2 Lomba Menulis Esai Perum BULOG dalam Rangka HUT Kemerdekaan RI ke-63 MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI Wiwid Ardhianto Divisi Pengadaan Perum

Lebih terperinci

MODEL SIMULASI PENYEDIAAN KEBUTUHAN BERAS NASIONAL

MODEL SIMULASI PENYEDIAAN KEBUTUHAN BERAS NASIONAL 2002 Arief RM Akbar Posted 7 November, 2002 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Oktober 2002 Dosen : Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani V. PENDEKATAN SISTEM Sistem merupakan kumpulan gugus atau elemen yang saling berinteraksi dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau serangkaian tujuan. Pendekatan sistem merupakan metode pemecahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi

VII. SIMPULAN. Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi VII. SIMPULAN 7.1. Simpolan Berdasarkan basil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi terhadap ketahanan pangan nasional, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Model ekonometrika yang dibangun

Lebih terperinci

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN Achmad Suryana 1 PENDAHULUAN Pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional sudah bukan lagi topik perdebatan. Pemerintah dan rakyat, yang diwakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA BAB III KEBIJAKAN STABILISASI HARGA 131 132 STABILISASI HARGA DAN PASOKAN PANGAN POKOK Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Subsidi Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000), subsidi adalah cadangan keuangan dan sumber-sumber daya lainnya untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Industri agro memiliki arti penting bagi perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa fakta yang mendukung. Selama kurun waktu 1981 1995, industri agro telah

Lebih terperinci

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55 Ketahanan Pangan dan Pertanian disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55 Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Februari 2015 KONDISI KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih 1.1. Latar Belakang Pembangunan secara umum dan khususnya program pembangunan bidang pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan esensial dan komoditas paling strategis dalam kehidupan manusia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hak azasi manusia. Ketahanan pangan berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional selama ini mempunyai tugas utama untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menyediakan kesempatan kerja, serta

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.1.1 Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Serta Proyeksinya 5.1.1.1 Produksi Produksi rata - rata ubi kayu di sampai dengan tahun 2009 mencapai

Lebih terperinci

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN A. Landasan Hukum Memahami pentingnya cadangan pangan, pemerintah mengatur hal tersebut di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, khususnya dalam pasal

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA. Muhammad Firdaus Dosen STIE Mandala Jember

ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA. Muhammad Firdaus Dosen STIE Mandala Jember ANALISIS KINERJA DAN PROSPEK SWASEMBADA KEDELAI DI INDONESIA Muhammad Firdaus muhammadfirdaus2011@gmail.com Dosen STIE Mandala Jember Abstract This study aims: (1) To identify trends harvest area, production,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sistem pasokan bahan baku dalam suatu agroindustri merupakan salah satu faktor yang penting untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Sistem pasokan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN B. PENDEKATAN SISTEM

IV. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN B. PENDEKATAN SISTEM IV. METODOLOGI A. KERANGKA PEMIKIRAN Lele merupakan salah satu ikan air tawar yang sudah cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Banyak jenis maupun varietas yang ada dan dikembangbiakkan di Indonesia.

Lebih terperinci

TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL TANTANGAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL SEAFAST Center LPPM Dept Ilmu dan Teknologi Pangan INSTITUT PERTANIAN BOGOR Presentasi disampaikan pada acara Seminar dan Sosialisasi Program Indofood Riset Nugraha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi Pembangunan Nasional untuk mewujudkan Indonesia Sehat tahun 2010 telah dicanangkan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional pada tanggal 1 Maret 1999. Untuk mendukung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pertanian dan peternakan untuk mendapatkan keanekaragaman dan berkelanjutan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Agroforestri adalah sistem manajemen sumberdaya alam yang bersifat dinamik dan berbasis ekologi, dengan upaya mengintegrasikan pepohonan dalam usaha pertanian dan

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang

BAB I PENDAHULUAN. Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas pangan masyarakat Indonesia yang dominan adalah beras yang berfungsi sebagai makanan pokok sumber karbohidrat. Beras merupakan komoditi pangan yang memiliki

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci