Adisti SOIL TRANSM SDH Vol.2 No.2

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Adisti SOIL TRANSM SDH Vol.2 No.2"

Transkripsi

1 Adisti SOIL TRANSM SDH Vol.2 No.2 C SOIL TRANSMITTED HELMINTHIASIS PADA SISWA SDN TUMPAKREJO 04 KALIPARE MALANG Oleh Adisti Wulandari Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang INTISARI Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar angka kejadian infeksi cacingan dan penyuluhan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan kebiasaankebiasaan cara hidup sehat pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang. Cara Pemeriksaan parasitologi pada tinja dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis adalah dengan melihat sifat fisik dari tinja tersebut seperti kepadatan, bau (menyengat atau tidak), warna, lendir, darah, dan ada tidaknya cacing dewasa. Pemeriksaan mikroskopis yang bertujuan untuk mengetahui parasit apa saja yang terdapat dalam tinja tersebut. Pemeriksaan secara mikroskopis meliputi cara langsung (direct methode) dan cara tidak langsung/cara apung (indirect methode). Metode pemeriksaan spesimen tinja menggunakan cara langsung (direct methode) dengan alat dan bahan sebagai berikut; 1).Objek glass / gelas benda, 2).Cover glass,gelas penutup, 3).Lidi, 4).Spidol untuk label, 5). Larutan NACl 0,85% (garam faali) / PZ, 6). Larutan Lugol Iodine 1%. Sedang cara Apung tinja dicampur dengan larutan jernih sodium klorida (larutan jenuh garam dapur). Telur yang lebih ringan akan mengapung dipermukaan sehingga mudah dikumpulkan. Alat dan Bahan yang digunakan antara lain; 1).Tabung, 2). Spatula, 3).Gelas penutup, 4). Gelas benda, 5). Larutan jenuh garam dapur. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulankan bahwa Prevalensi atau angka kejadian infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminthiasis cukup tinggi yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang terjangkit infeksi cacing dengan prosentase 35.61% PENDAHULUAN Latar Belakang Soil Transmitted Helminthiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing golongan Nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektifnya. Sampai saat ini di negara-negara berkembang, contohnya Indonesia, terutama di pedesaan, daerah kumuh dan didaerah yang padat penduduknya. Sekitar 60 80% penduduknya menderita penyakit infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang (Hookworm) yaitu Necator americanus, Ancylostoma duodenale. Prevalensi kecacingan ini sangat bervariasi dari daerah satu ke daerah lain, tergantung dari beberapa faktor, antara lain : daerah penelitian (desa, kota, kumuh, dll), kelompok umur yang diperiksa, teknik pemeriksaan, kebiasaan penduduk setempat (tempat buang air besar, cuci

2 tangan sebelum makan, tidak beralas kaki, dll) dan pekerjaan penduduk. Diantara keempat cacing tersebut Ascaris lumbricoides adalah yang tertinggi prevalensinya, dan umumnya penderita menderita infeksi ganda. Penyakit kecacingan ini pada umumnya tidak akut dan tidak fatal tetapi menyebabkan penyakit kronis yang sulit diukur invaliditasnya. Gejala klinis yang ditimbulkan umumnya tidak jelas, mirip dengan penyakit lain terutama berupa sakit perut, diare, anemia, dan gizi kurang. Oleh karena itu untuk diagnosanya perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tinjauan Pustaka Nematoda Berdasarkan taksonomi, Nematoda merupakan kelas dari Nemathelmintes pada Helmintologi. Nematoda berasal dari bahasa Yunani nema yang artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik (gilik), tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 31 cm. Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospesparasit (host-parasite relationship). Nematoda usus di Indonesia lebih sering disebut sebagai cacing usus. Menurut cara penularannya nematoda usus dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, penularan yang melalui tanah (Soil Transmitted Helminth) dan penularan yang tidak melalui tanah. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah golongan cacing Nematoda usus yang penularannya terjadi melalui tanah, karena cacing ini memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi bentuk infektif (tanah sebagai hospes perantara). Ada 5 spesies terpenting bagi manusia yaitu : Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis dan Trichiris trichiura. A. Epidemiologi Di Indonesia prevalensi Askaris cukup tinggi terutama pada anak frekwensinya 60 80%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat mencuci dan pembuangan sampah serta penggunaan tinja sebagai pupuk akan mengakibatkan tercemarnya buah dan sayur-sayuran tersebut oleh pupuk tinja. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar C merupakan hal yang sangat baik untuk perkembangan telur Ascaris lumbricoides menjadi telur infektif. B. Morfologi Telur Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak butir dalam sehari, terdiri dari telur yang sudah dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi (fertil) berukuran panjang mikron, lebar mikron. Telur cacing ini mempunyai kulit yang tidak berwarna, diluarnya terdapat lapisan albumin yang permukaannya berdungkul (mamilation), telur berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu. Didalam kulit telur itu masih terdapat selubung vitelin tipis, tetapi lebih kuat dari pada kulit telur. Selubung tersebut berfungsi untuk meningkatkan daya tahan telur terhadap lingkungan sekitar sehingga dapat hidup setahun

3 lamanya. Telur yang sudah dibuahi ini mengandung sel ovum yang tak bersegmen. Kutub telur berbentuk lonjong atau bulat, ronggan udara tampak sebagai daerah terang berbentuk bulan sabit. Gambar 1 telur Ascaris lumbricoides fertil corticated & fertil decorticated Telur yang tidak dibuahi (unfertil) dijumpai didalam tinja, bila dalam tubuh hospes hanya terdapat cacing betina. Telur ini masih lebih lonjong dengan ukuran 80 x 50 mikron. Dinding tipis, berwarna coklat dengan lapisan albumin tidak teratur. Sel telur ini mengalami atrofi sehingga nampak butiran refraktil. Pada telur tidak dijumpai rongga udara. (Gambar 2) Didalam tinja manusia kadang ditemukan telur Ascaris yang kehilangan lapisan albumin, sehingga sulit menentukan diagnosa telur. Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides unfertil Cacing Dewasa Cacing Dewasa memiliki ukuran paling besar diantaranematoda usus lainnya. Cacing Dewasa bentuknya mirip cacing tanah. Cacing yang merupakan Nematoda usus terbesar pada manusia ini yang betina lebih besar ukurannya dibandingkan dengan jantan. Panjang cacing betina cm, sedangkan jantan cm. cacing yang berwarna kuning kecoklatan ini mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus, kedua ujung badan membulat. Mulut cacing mempunyai 3 bibir, satu dibagian dorsal yang lain dibagian subventral. Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang penting, melengkung ke arah ventral, mempunyai banyak papila kecil, mempunyai dua buah spikulum yang melengkung, yang masing-masing berukuran 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus. (Gambar 3)

4 Gambar 3. Cacing dewasa dan bentuk bibir Ascaris lumbricoides A. Daur Hidup Pada waktu telur yang dibuahi keluar bersama tinja penderita, telur belum infektif. Jika telur jatuh ditanah, maka telur akan tumbuh dan berkembang menjadi telur berembrio ( berisi larva ) yang bersifat infektif. Bila telur yang infektif tertelan manusia, dibagian atas dari usus halus dinding telur pecah dan larva akan lepas dari telur. Larva menembus dinding usus halus, memasuki vena porti hati, kemudian bersama aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Didalam paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak dua kali, kemudian menembus dinding alveoli. Migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari. Dari alveoli larva merangkak ke bronki, trakea, laring, untuk selanjutnya ke faring, pindah ke esofagus, turun kelambung dan akhirnya keusus halus. Disini terjadi pergantian kulit lagi dan cacing menjadi dewasa. Setelah dua bulan infeksi pertama, cacing betina mampu memproduksi telur sebanyak per hari. A. Patogenesis Pada umumnya orang terinfeksi cacing tidak menunjukkan gejala, tetapi ada bukti bahwa Ascaris lumbricoides menyebabkan masalah gizi yang menghambat pertumbuhan anak. Adakalanya penderita menunjukkan demam, urtikaria, malaise, kolik usus, muntah mual, diare dan gangguan syaraf sentral. Migrasi larva Ascaris ke paru-paru menimbulkan pneumonia. Pemeriksaan radiologi thorax menunjukkan bercak difus dan gambaran peribronkial yang jelas. Biasanya ada eosinofilia tinggi yang akan reda 7 10 hari, kecuali jika ada reinfeksi. B. Diagnosis Diagnosis biasanya didasarkan penemuan telur Ascaris didalam tinja. Kadang-kadang penderita mengandung cacing muda atau dewasa yang dikeluarkan bersama tinja, keluar dari anus, bahan muntahan atau hidung anak yang sakit. Diagnosis pasti viseral larva migran dapat menemukan larva atau potongan larva dalam jaringan yang sukar ditegakkan. Ada kalanya cacing dewasa dapat dilihat dalam usus dalam pemeriksaan radiologi barium. Reaksi imunologi dapat membantu menegakkan diagnosis. Tabel 1. Pemeriksaan parasitologi Ascaris lumbricoides No Spesimen Bentuk diagnostik 1 Tinja Telur, cacing dewasa 2 Cairan empedu Telur 3 Bahan muntahan Cacing dewasa

5 4 Sputum Larva 5 Otopsi jaringan paru Larva Ancylostoma duodenale dan Necator americanus Kedua parasit ini diberi nama Cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. Hospes definitif adalah manusia. Infeksi cacing tambang oleh Necator americanus disebut Necatoriasis, sedangkan infeksi oleh Ancylostoma duodenale disebut Ankilostomasis. Penyebaran cacing ini diseluruh wilayah katulistiwa dan ditempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya daerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia cukup tinggi terutama didaerah pedesaan sekitar 40%. pidemiologi orfologi Insiden tinggi ditemukan pada penduduk Indonesia terutama didaerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Sering kali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. Kebiasaan defekasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur dengan suhu optimum untuk Necator americanus C, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale C. Telur Dibawah mikroskop morfologi kedua telur cacing ini sukar dibedakan dengan jelas. Telur berbentuk lonjong seperti elips dengan ukuran 65 x 40 mikron. Telur yang tidak berwarna ini memiliki dinding tipis yang tembus cahaya dan mengandung embrio dengan mengandung 4 blastomer. Larva Gambar 5. Telur cacing tambang Terdapat dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform (tidak infektif) dan filariform (infektif). Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang 250 mikron, rongga mulut panjang, pada esofagusnya terdapat bulbus esofagus. Larva filariform langsing dengan panjang 600 mikron, rongga mulut panjang, tidak mempunyai bulbus esofagus, ekor runcing. Larva filariform mempunyai selubung (sheat) yang antara Ancylostoma duodenale tidak sama dengan

6 Necator americanus. Pada Ancylostoma duodenale sheat berbentuk polos, sedangkan pada Necator americanus sheat berbentuk garis melintang. americanus Gambar 6. Larva Ancylostoma duodenale dan Necator Cacing dewasa Cacing dewasa berbentuk silindrik dengan mulut besar dan berwarna putih keabuan. Cacing betina mempunyai panjang 9 13 mm sedangkan jantan 5 11 mm. di ujung posterio terdapat bursa kopulatrik yang berfungsi untuk memegang cacing betina pada saat kopulasi. Kedua spesies cacing ini mempunyai perbedaan morfologi pada bentuk tubuhnya, rongga mulut, dan bursa kopulatrik cacing jantan dan ada tidaknya spina kaudal pada cacing betina. Ancylostoma duodenale memiliki rongga mulut dengan 2 pasang gigi dan satu tonjolan. Bentuk tubuhnya seperti huruf C dan cacing betina memiliki spina kaudal. Bursa kopulatrik pada cacing jantan didaerah dorsal ray mempunyai cekungan yang dangkal dan pada ujungnya bercabang tiga. Necator americanus memiliki rongga mulut dengan 2 pasang plat pemotong (cutting plate). Ukurannya lebih kecil dan langsing dibanding Ancylostoma duodenale. Bagian tubuh anterior melengkung berlawanan dengan lengkungan tubuh, sehingga tubuh mirip huruf S. pada cacing betina tidak didapatkan spina kaudal. Bursa kopulatrik pada cacing jantan didaerah dorsal ray mempunyai cekungan yang dalam dan pada ujungnya bercabang dua (Gambar 7).

7 Gambar 7. Perbedaan cacing dewasa Ancylostoma duodenale dan Necator americanus aur Hidup Gambar 8. Daur hidup cacing tambang Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. Telur yang berisi embrio yang bersegmen keluar bersama tinja, didalam tanah dalam waktu 2 hari telur menetas menjadi larva rhabditiform berganti kulit dua kali menjadi larva filariform yang langsing dan infektif. Larva filariform yang terjadi lebih kurang 10 hari sesudah telur keluar dari tubuh hospes. Agar dapat melanjutkan siklus hidupnya larva filariform memasuki tubuh hospes dengan jalan menembus kulit sehat yang tidak tertutup. Sesudah melalui jaringan sub kutan larva memasuki pembuluh darah atau limfe, memasuki sirkulasi vena, mencapai jantung kanan, menuju ke kapiler paru, lalu menembus dinding kapiler memasuki alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trackea, laring, faring dan esofagus. Diesofagus terjadi pergantian kulit untuk ketiga kalinya dan mulai membentuk rongga mulut. Tahap migrasi berlangsung selama 10 hari. Dari esofagus larva menuju usus halus, berganti kulit dan menjadi dewasa. Dalam 4 minggu cacing betina mulai bertelur. atogenitas Larva-larva cacing tambang menyebabkan Ground itch pada tempat ia menembus kulit. Reaksi kulit akan semakin nyata bila makin sering terjadi infeksi ulangan. Migrasi larva melalui paru-paru tidak sehebat reaksi yang disebabkan larva Askaris, tetapi infeksi berulang dapat memberi reaksi yang nyata berupa sindroma Loffler. Larva Ancylostoma duodenale memasuki tubuh baik melalui makanan dan minuman atau penetrasi kulit oler larva filariform tetapi lebih berhasil melalui mulut. Larva ini tidak melalui proses perkembangan melalui paruparu, tetapi mengalami perkembangan didalam usus yang mengakibatkan gejala gangguan gastrointestinal, di Jepang dikenal sebagai Wakana diseases. Larva Necator mengalami perkembangan di paru-paru yang bisa berakibat pneumonia dan bronkitis biasanya lebih ringan dari pada sindroma Loffler yang terjadi karena Ascaris. Stadium pertumbuhan ini dan melekatnya pada usus biasanya tidak menimbulkan gejala namun pada infeksi berat dapat menyebabkan anemia hipokromik. Kehilangan darah terjadi karena cacing menghisap darah dan juga karena pendarahan yang berlanjut pada tempat melekatnya cacing. iagnosis

8 Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan larva dalam spodium atau bilas lambung. Sindroma loffler yang spesifik sering terlihat. Selama fase intestinal, diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa pada tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan pada sedimen basah langsung atau dari sedimen yang sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut karena muntah atau bersama dengan tinja. Tabel 2. Pemeriksaan parasitologi cacing tambang No Spesimen Bentuk diagnostik 1 Tinja Telur Cacing dewasa 2 Cairan duodenum Telur 3 Bahan muntahan Cacing dewasa 4 Bahan tinja Larva pidemiologi orfologi Telur Larva Strongyloides stercoralis Cacing ini disebut juga cacing benang (thread worm). Hospes utama cacing ini adalah manusia, walaupun ada yang ditemukan pada hewan. Cacing ini tidak mempunyai hospes perantara. Cacing dewasa hidup di membran usus halus terutama duodenum dan jejunum. Penyakitnya sebagai Strongylodiasis, umumnya ringan kecuali terjadi hiperinfeksi oleh karena terjadi autoinfeksi. Cacing ini tersebar luas didaerah tropik dengan kelembaban tinggi, sedangkan didaerah yang beriklim dingin jarang ditemukan. Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang sangat menunjang cacing Strongyloides strercoralis sehingga dapat terjadi daur hidup yang tidak langsung. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah yang gembur, berpasir dan humus. Bentuk lonjong mirip telur cacing tambang. Ukuran 55 x 30 mikron, mempunyai dinding tipis yang tembus sinar. Telur dikeluarkan dalam membran mukosa dan langsung menjadi larva, sehingga dalam tinja tak ditemukan telur. Mempunyai 2 stadium larva, rhabditiform dan filariform. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 225 x 16 mikron, rongga mulut pendek dengan pembesaran esofagus yang khas. Larva filariform ukurannya lebih panjang 630 x 16 mikron, langsing dan mempunyai rongga mulut yang pendek, dengan esofagus yang berbentuk silindrik, ekor bercabang dan tidak mempunyai selubung (sheat) (Gambar 9). Dalam mikroskop bentuk larva ini hampir sama dengan bentuk larva cacing tambang, tapi ada beberapa perbedaan untuk identifikasi. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3. Tabel 3. Perbedaan larva Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang Strongyloides stercoralis a. Rongga mulut pendek b. Genital primordium besar Larva rhabditiform Cacing tambang a. Rongga mulut panjang b. Genital primordium kecil

9 Larva filariform Strongyloides stercoralis Cacing tambang Esofagus memanjang sampai kira-kira a. Esofagus memanjang sampai 40% dari seluruh panjangnya kira-kira 25% dari seluruh Tidak berselubung (sheat - ) Ekor bercabang panjangnya b. Berselubung (sheat + ) c. Ekor runcing C. Daur hidup Gambar 9. larva Strongyloides stercoralis Cacing dewasa Cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup parasitik pada manusia pada umumnya adalah cacing betina. Cacing ini berbentuk benang halus, tidak berwarna, semi transparan dengan panjang ± 2,2 mm, dilengkapi sepasang uterus dan sistem reproduksi ovovivipar. Cacing dewasa yang hidup bebas (free living) hidup diluar tubuh manusia berukuran lebih pendek dibanding dengan yang parasitik. Esofagusnya mirip larva rhabditiform, yang jantan ekornya membengkok keventral dan dilengkapi spikulum.

10 Gambar 10. Daur hidup Strongyloides stercoralis Daur hidup cacing ini ada 3 macam cara, yaitu : 1. Siklus langsung Larva rhabditiform setelah berada 2 3 hari ditanah akan berubah menjadi larva filariform (bentuk infektif). Larva ini hidup ditanah dan menembus kulit manusia kemudian masuk kevena menuju jantung kanan dan paru-paru. Dalam paru-paru cacing menjadi dewasa kemudian menembus alveolus, masuk ke trackea dan laring. Hal ini menyebabkan batuk-batuk sehingga cacing terasa tertelan hingga ke usus halus bagian atas. Cacing betina bertelur kira-kira 28 hari setelah infeksi. 2. Siklus tidak langsung Pada siklus ini pada larva rhabditiform berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina bentuk bebas. Bentuk cacing gemuk, yang betina panjangnya mikron sedangkan jantan mikron. Ekor melengkung kearah ventral dilengkapi dengan dua spikulum. Telur cacing betina setelah dibuahi selanjutnya menetas menjadi larva rhabditiform berkembang menjadi larva filariform kemudian masuk ke hospes baru. Larva rhabditiform dapat mengulang fase bebas. 3. Auto infeksi Larva rhabditiform juga dapat berkembang menjadi filariform dirongga usus halus atau daerah perianal. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal maka terjadi daur perkembangan didalam hospes. Autoinfeksi dapat menyebabkan Strongyloidiasis didaerah nonendemis. D.Patogenesis Bila larva dalam jumlah besar menembus kulit maka terjadi creaping eruption yang disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada usus muda. Infeksi ringan dengan Strongyloidiasis pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang, menyebabkan rasa sakit seperti ditusuk pada daerah epigastrium tengah. Mungkin ada mual, muntah, diare dan konstipasi saling bergantian. Pada Strongyloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiper infeksi cacing dewasa yang hidup dapat ditemukan di traktus digestivus dan larva ditemukan diparu, hati, kandung empedu. Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia. C.Diagnosis Diagnosis klinis tidak pasti, karena Strongyloidiasis tidak memberikangejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti bila menemukan larva rhabditiform dalam tinja segar, biakan tinja dan aspirasi duodenum. No Spesimen Bentuk diagnostik 1 Tinja Larva rhabditiform 2 Cairan duodenum Larva rhabditiform 3 Perianal Larva rhabditiform Larva filariform 4 Biakan tinja Cacing dewasa free living Larva filariform Trichuris trichiura

11 demiologi Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup didalam usus besar terutama daerah sekum dan kolon. Ada kalanya cacing ditemukan dalam apendix dan ileum bagian distal. Penyakit yang disebabkan disebut Truchuriasis, cacing tersebar didaerah tropis yang lembab dan panas, merupakan Nematoda intestinal yang banyak ditemukan didaerah tropik seperti Asia tenggara. Yang penting untuk menyebarkan penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh ditanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30 C. di negara yang memakai tinja sebagai pupuk merupakan sumber infeksi utama. Frekwensi di Indonesia cukup tinggi 30 90% terutama didaerah pedesaan rfologi Telur Berukuran 50 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan dengan kedua ujungnya dilengkapi tutup operkulum dari bahan mokus yang jernih. Kulit luar telur berwarna kuning dan bagian dalam jernih. Berisi sel telur (tinja segar) yang sudah dibuahi di alam dalam waktu 3 6 minggu akan menjadi matang. Untuk melanjutkan perkembangannya telur membutuhkan tanah liat yang lembab dan terhindar dari sinar matahari. Gambar 11. Telur Trichuris trichiura cing dewasa Cacing betina panjangnya mm. cacing dewasa jarang ditemukan dalam tinja. Cacing ini disebut cacing cambuk karena bagian anterior sangat panjang (kira-kira 3/5 bagian tubuh) dan halus, bagian posterior (kira-kira 2/5 bagian tubuh) lebih tebal. Dalam usus kepalanya menembus dalam mukosa. Gambar 12. Cacing dewasa Trichuris trichiura

12 C. Daur Hidup Gambar 13. Daur hidup Trichuris trichiura Manusia akan terinfeksi cacing apabila menelan telur matang dan telur itu menetas dalam usus halus. Untuk perkembangan larvanya cacing tidak mempunyai siklus paru. Manusia merupakan sumber penularan untuk manusia lainnya, Trichuriasis pada hewan tidak menular pada manusia. Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh karena itu belum infektif. Bila tertelan manusia, didalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum untuk selanjutnya berubah menjadi dewasa. Untuk mengambil makanannya, cacing memasukkan bagian anteriornya ke dalam mukosa usus hospes. Setelah satu bulan cacing itu mampu bertelur dan dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia. ogenesis gnosis Perkembangan larva Trichuris trichiura didalam usus biasanya tidak menjadi gejala klinis yang berarti, walaupun ada kemungkinan dalam sebagian masa perkembangannya larva memasuki mukosa usus. Biasanya memberikan gangguan dan infestasi berat dapat berupa anemia berat, diare yang berdarah, nyeri dalam perut, tenesmus, berat badan menurun. Infestasi berat dan lama dengan sindrom disentri bahkan dapat menyebabkan prolapsus rektum (Gambar 15) dengan cacing nampak pada mukosa (seringkali terjadi pada anak-anak dan bayi ). Untuk menyebutkan diagnosa pasti dilakukan pemeriksaan tinja penderita untuk menemukan telur cacingyang khas bentuknya. Cacing dewasa dapat dilihat jika terjadi prolapsus rektum atau bila dilakukan pemeriksaan mukosa rektum. Tabel 5. Pemeriksaan Trichuris trichiura No Spesimen Bentuk diagnostik 1 Tinja Telur 2 Mukosa rektum Cacing dewasa 3 Prolasus rektum Cacing dewasa Pemberantasan dan Pencegahan Pemberantasan infeksi Soil Transmitted Helminths dapat diusahakan dengan pengobatan penderita, sanitasi lingkungan, penyuluhan kesehatan atau yang terbaik dengan

13 kombinasi ketiganya. Dalam keadaan tertentu pengobatan harus diberikan kepada penderita yang terinfeksi berat dengan gejala yang nyata, tetapi percuma bila mencoba memberantas dengan pengobatan saja, oleh karena itu harus diingat faktor reinfeksi sesudah pengobatan. Seringkali dijumpai seseorang berulangkali mendapat infeksi dari lingkungan sekitar. Langkah yang terpenting untuk pemberantasan infeksi ini dengan memberikan penyuluhan dan kesadaran kesehatan kepada masyarakat. Karena perkembangan dan penyebaran cacing ini tergantung pada pencemaran tanah. Karena kebiasaan tidak higienis dari masyarakat, maka sanitasi lingkumgan merupakan usaha pemberantasan yang paling efektif. Tanpa kesadaran masyarakat mengenai pentingnya penanggulangan tinja dan tanpa mereka menggunakan sarana tersebut setiap saat sebagai mana mestinya, semua jamban tersebut menjadi tidak berarti apa-apa, bahkan kadangkala dapat mengakibatkan keadaan yang sebaliknya, karena tanah disekitar jamban menjadi sangat kotor dan menjadi sumber infeksi. Suatu kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa insidensi infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, sangat erat hubungannya dengan tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi. Karena itu untuk pemberantasan dan pencegahan infeksi Soil Transmitted Helminths diperlukan aspek-aspek berikut : 1. Mengobati penderita Pengobatan merupakan usaha yang harus dianggap sebagai sekedar pelengkap pemberantasan dan pencegahan. Pengobatan masal pada umumnya bertujuan untuk mengurangi sementara sumber infeksi pada masyarakat. 2. Menghindarkan pencemaran tanah - Dalam hal ini tidak setiap anggota masyarakat harus disadarkan untuk setiap kali memperguankan jamban yang benar untuk tempat defekasi. - Menghindari pupuk tinja sebagai penyubur buah dan sayur-sayuran. 3. Menyiangi dan membersihkan halaman rumah Halaman rumah jangan dibiarkan terlalu teduh oleh karena tanah lembab yang terlindungi dari cahaya matahari merupakan tempat perkembangan atau pembiakan Soil Transmitted Helminths. 4. Menghindari makanan terutama sayur-sayurandari kontaminan Air untuk menyiram atau mengairi kebun sayur diawasi tidak tercemar tinja manusia. Pupuk sayuran jangan dipakai yang bercampur dengan tinja yang baru. Sayur yang akan dikonsumsi terlebih dahulu dicuci dengan air mengalir beberapa kali sebelum dimasak. Jadi dengan kesadaran dan kegiatan sanitasi yang sungguh-sungguh, maka mata rantai infeksi dapat diputuskan tanpa memerlukan banyak biaya. Yang paling penting dan mendasar adalah penyuluhan dan kesadaran kesehatan yang harus diusahakan tanpa jemu, baik kepada orang dewasa maupun anak-anak, sehingga kelak sanitasi lingkungan menjadi salah satu segi kehidupan sehari-hari pada masyarakat kota dan desa diseluruh indonesia. METODE PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar angka kejadian infeksi cacingan dan penyuluhan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dan kebiasaankebiasaan cara hidup sehat pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang. Cara Pemeriksaan

14 Pemeriksaan parasitologi pada tinja dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pada prinsipnya cara pemeriksaan makroskopis adalah dengan melihat sifat fisik dari tinja tersebut seperti kepadatan, bau (menyengat atau tidak), warna, lendir, darah, dan ada tidaknya cacing dewasa. Setelah melakukan pemeriksaan secara makroskopis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis yang bertujuan untuk mengetahui parasit apa saja yang terdapat dalam tinja tersebut. Pemeriksaan secara mikroskopis meliputi cara langsung (direct methode) dan cara tidak langsung/cara apung (indirect methode). Metode Pemeriksaan Spesimen Tinja yang didapat Menggunakan : Cara langsung (direct methode) Bahan Objek glass / gelas benda Cover glass? gelas penutup Lidi Spidol untuk label Larutan NACl 0,85% (garam faali) / PZ Larutan Lugol Iodine 1% a Sediakan gelas benda, lalu tetesksn : s larutan garam faali dibagian tengah dari separo bagian kiri s larutan Lugol Iodine 1% di bagian tengah dari separo bagian kanan 2. Dengan lidi, ambil tinja secukupnya (kira-kira sebesar pentul korek) pada gelas benda yang telah diberi larutan garam faali dan larutan Lugol Iodine 1%. Bila tinja : a. Berbentuk padat, ambil dari bagian dalam dan bagian permukaan. b. Berbentuk cair atau berlendir, ambil dari bagian permukaan cairan dan bagian berlendir dipermukaan. 4. Campur dan ratakan dengan masing-masing larutan yang ada pada gelas benda dengan menggunakan lidi. 5. Masing-masing tinja tersebut diberi gelas penutup ( sedapat mungkin cegah timbulnya gelembung udara). Beri label a periksa dibawah mikroskop dengan menggunakan pembesaran lensa objektif 10X dan 40 45X dimulai dari sebelah pojok kiri atas sampai sebelah pojok kanan bawah dan lakukan pada seluruh area. han Cara Apung Tinja dicampur dengan larutan jernih sodium klorida (larutan jenuh garam dapur). Telur yang lebih ringan akan mengapung dipermukaan sehingga mudah dikumpulkan. Tabung Spatula Gelas penutup Gelas benda Larutan jenuh garam dapur

15 1. Ambil contoh tinja secukupnya dan masukkan kedalam tabung. Tuangkan larutan jenuh garam dapur kedalam tabung sampai ¼ volume tabung. 2. Dengan pengaduk hancurkan tinja dan campur dengan baik. Kemudian tuangkan lagi larutan jenuh garam dapur sampai batas permukaan tabung. 3. Tempatkan gelas penutup secara hati-hati menutupi mulut tabung. Biarkan 10 menit. 4. Angkat gelas penutup dengan hati-hati, tempatkan gelas penutup pada gelas benda dan periksa dibawah mikroskop dengan pembesaran lensa objektif 10X dan 40 45X. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengamatan mikroskopis, didapatkan dari spesimen tinja yang diperiksa terdapat 73 sampel, yang positif diantaranya : umbricoides : sebanyak 19 sediaan yang positif churis trichiura : sebanyak 7 sediaan yang positif an 47 sediaan yang lain tidak diketemukan bentukan telur ataupun larva. Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Tinja Secara Mikroskopis No Spesies Sampel (+) Prosentase 1 Ascaris Lumbricoides Trichuris trichiura 7 9 Dari pengamatan makroskopis pada 73 spesimen tinja adalah sebagai berikut : Tabel 7 Hasil Pemeriksaan Spesimen Tinja Secara Makroskopis. No No. Nama Makroskopis Mikroskop Induk Bentuk Warna Dar Len is ah dir Dedi Hermanto Padat Coklat kehitaman Desianto Wahyu P Padat Kuning Ari Wibowo ½ Encer Kuning kecoklatan Aan Nurcholis ½ Padat Kuning kecoklatan Ahmad Handika F ½ Padat Kuning kecoklatan Chintia Nanda P ½ Encer Kuning Dimas Andi W Padat Coklat kehitaman Edo Setiawan ½ Encer Kuning Haris Nursafira Padat Coklat kehitaman Inge Evriana ½ Encer Kuning kecoklatan Moh.Sedik ½ Padat Kuning kecoklatan Maulana Fajar ½ Padat Kuning kecoklatan Novia Krismonika Padat Coklat kehitaman Niwang Jati P ½ Padat Kuning kecoklatan Susiana Mitrasari ½ Padat Kuning kecoklatan Vikri Trisna D ½ Encer Kuning Yanuar Rizky P ½ Encer Kuning Jepri Eko H Padat Coklat kehitaman Falentino F Anggoro Bayu P ½ Padat ½ Encer Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Anggi Dea R ½ Padat Kuning kecoklatan Astia Pratiwi ½ Padat Kuning kecoklatan +

16 Diah Safitri Padat Coklat kehitaman Elinda Yunitasari Padat Coklat kehitaman Hananidy L Padat Coklat kehitaman Mella Sadya F ½ Padat Kuning kecoklatan Febrian Alvando ½ Encer Kuning Miranti Dwi ½ Encer Kuning Qoirul Adi W ½ Encer Kuning Rizki Budianto Padat Coklat kehitaman Rian Pradana ½ Encer Kuning Yuni Indah Sari Padat Coklat kehitaman Retno Dewi A ½ Padat Kuning kecoklatan Tritia Septi Wati ½ Padat Kuning kecoklatan Adek Saputra A ½ Encer Kuning Ahmad Adi H ½ Padat Kuning kecoklatan Anggi Widyiawati ½ Padat Kuning kecoklatan Beni Indrawanto ½ Padat Kuning kecoklatan AA Kurniawan ½ Padat Kuning kecoklatan Ayu Adelia ½ Padat Kuning kecoklatan Andika Tritiya H ½ Encer Kuning Fandi Setiawan ½ Encer Kuning Iqbal Novarianto ½ Encer Kuning Imron Islam M ½ Padat Kuning kecoklatan Jovi Varnan ½ Padat Kuning kecoklatan Kristin Monika ½ Padat Kuning kecoklatan Novi Oktavia R ½ Encer Kuning Ricky Prastiawan ½ Padat Kuning kecoklatan Rizka Adining T ½ Padat Kuning kecoklatan Rico Dicaprio ½ Padat Kuning kecoklatan Rivan Rinanda ½ Encer Kuning Rendi Adi S ½ Padat Kuning kecoklatan Rebecca Grecy M ½ Padat Kuning kecoklatan Annas Mahfud ½ Padat Kuning kecoklatan Defi Indah L ½ Encer Kuning Erni Tri Sholika ½ Padat Kuning kecoklatan Sabita Dewi C ½ Padat Kuning kecoklatan Samuel David F ½ Padat Kuning kecoklatan Wella Putri R ½ Padat Kuning kecoklatan Andi Prasetiono Carissa Cunta A ½ Padat ½ Padat Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Desi Fitri A ½ Padat Kuning kecoklatan Gones Putri P ½ Encer Kuning Intan Oktafiani P ½ Encer Kuning Irfansyah Yogi P ½ Encer Kuning Kholiq Qocoul H ½ Padat Kuning kecoklatan Risky Putra F Padat Coklat kehitaman Resa Septiana Y Padat Coklat kehitaman Rohmad Andre S ½ Padat Kuning kecoklatan Tabrisal Sihafafi ½ Encer Kuning Yusron ½ Padat Kuning kecoklatan Aditya Jaya P Padat Coklat kehitaman Joko Renaldi H Padat Kuning + Pembahasan

17 Penelitian ini dilakukan pada tanggal September 2010 pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang. Sampel tinja yang diperoleh dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang tersebut sebanyak 73 sampel, yang masing-masing dikumpulkan dalam pot plastik bertutup. Berdasarkan data-data yang telah didapat dan dianalisa, terlihat bahwa prevalensi atau angka kejadian infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminthiasis cukup tinggi yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang terjangkit infeksi cacing dengan prosentase 35.61%. Tingginya angka infeksi disebabkan karena rendahnya kesadaran siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang untuk menjaga kebersihan baik secara pribadi ataupun kebersihan tempat tinggal, serta kebiasaan anak-anak yang suka bermain dan beraktifitas yang lainnya ditanah tanpa menggunakan alas kaki. Hal tersebut berhubungan dengan cacing golongan Nematoda, penyebab infeksi cacing ini memerlukan tanah untuk perkembangan infektifnya. Selain hal tersebut diatas keadaan sosial ekonomi juga sangat erat hubungannya dengan infeksi cacing ini. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini namun prevalensi tertinggi terjadi pada anak-anak. Penyuluhan yang diberikan kepada anak- anak SDN disambut dengan antusiasme yang tinggi oleh anak-anak SDN dengan datang ke tempat penyuluhan tepat waktu serta banyak mengajukan pertanyaan tentang kebersihan pribadi lingkungan tempat tinggal dan cara hidup sehat. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang, dapat ditarik kesimpulan bahwa : Dari hasil pemeriksaan spesimen tinja didapatkan: 19 spesimen positif telur Ascaris lumbricoides dengan prosentase sebanyak 26 % dan 7 spesimen positif telur Trichuris trichiura (penderita Trichuriasis) dengan prosentase 9 %. Prevalensi atau angka kejadian infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminthiasis cukup tinggi yaitu satu pertiga bagian dari siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang terjangkit infeksi cacing dengan prosentase 35.61% Untuk mencegah terjadinya penularan kepada anak anak SDN lainnya diharapkan untuk senantiasa menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggal, misal menjaga kebersihan kakus dan hendaknya kakus mendapatkan penerangan yang cukup dan disediakan sabun untuk keperluan kebersihan sesudah buang air besar, menjemur tikar, sarung yang telah dipakai segera dicuci dan dijemur, jangan dibiarkan dalam keadaan basah / lembab. Serta meningkatkan kesadaran untuk merubah kebiasaan-kebiasaan tidak sehat, contoh : selalu memakai alas kaki diluar rumah ( terutama ditanah ), selalu mencuci tangan sebelum makan, menggosok gigi, tidak menggigit jari. Dengan adanya penelitian dan pengarahan seperti ini diharapkan bisa membantu mendeteksi adanya infeksi cacing pada siswa SDN Tumpakrejo 04 Kalipare Malang tersebut dan penelitian yang seperti ini hendaknya terus dilakukan atau lebih dikembangkan supaya penularannya bisa dicegah dan prevalensi penyakit bisa diminimalisasi.

18 DAFTAR PUSTAKA Depary A.A, Soil Transmitted Helminthiasis, Majalah Medika No. 11, Jakarta, 2009, Hal ( ). Emiliana Tjitra, Penelitian-penelitian Soil Transmitted Helminth Di Indonesia, Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 72, Jakarta, 2001, Hal (12 16). Heru Prasetyo, Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran, Cetakan Pertama, Airlangga University Press, Surabaya, Heru Prasetyo, Pengantar Praktikim Helmintologi Kedokteran, Edisi Ke 2, Airlangga University Press, Surabaya, Jangkung Samidjo Onggowaluyo, Parasitologi Medik I, Edisi Ke 1, EGC, Jakarta,2001 S. Alisah N. Abidindan Henry D. Ilahude, pentingnya pemeriksaan Tinja untuk diagnosis infeksi cacing Usus, Majalah Parasitologi Indonesia Volum 5(1), P.T. Nuh Jaya, Jakarta. 1992, Hal (21 27 ) Soedarto, Helmintologi Kedokteran, Edisi Ke 1, EGC, Jakarta, 1991 Srisasi Gandahusada dkk, Parasitologi kedokteran, Edisi ke 3, Balai Penerbit FKUI, jakarta, 1998 Viqar Zaman Dan Loh Ah Keong, buku penuntun Parasitologi Kedokteran; Alih Bahasa Bintari Rukmono, Sri Oemijati, Wita Pribadi, Edisi Ke 1, Bina Cipta, Bandung, 1998.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Soil Transmitted Helminhs Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik. Panjang cacing ini mulai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Yang Siklus Hidupnya Melalui Tanah 1. klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes dan mempunyai kelas Nematoda, sedangkan superfamili

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang 70 80%. Air sangat penting bagi kehidupan jasad renik ataupun kehidupan pada umumnya,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

Nugraha Telur Cacing Vol.2 No.1

Nugraha Telur Cacing Vol.2 No.1 Nugraha Telur Cacing Vol.2 No. IDENTIFIKASI CACING PENYABAB PENYAKIT SOIL TRANSMITTED HELMINTHIASIS PADA SPESIMEN TINJA SISWA SDN 0 KECAMATAN NGAJUM KABUPATEN MALANG. Oleh NugrohoTristyanto dan Faisal

Lebih terperinci

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI Oleh: Muhammad Fawwaz (101211132016) FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA 1 DAFTAR ISI COVER... 1 DAFTAR ISI... 2 BAB I... 3 A. LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun 20 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminthiasis Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kecacingan Menurut asal katanya helminth berasal dari kata Yunani yang berarti cacing. Cacing merupakan hewan yang terdiri dari banyak sel yang membangun suatu jaringan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Helminthiasis Nematoda mempunyai jumlah spesies terbanyak di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing tersebut berbeda-beda dalam habitat,daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Tambang dan Cacing Gelang 1. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) a. Batasan Ancylostoma duodenale dan Necator americanus kedua parasit ini di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Soil Transmitted Helminths STH (Soil Transmitted Helminths) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan (Ascariasis dan Trichuriasis) 1. Definisi Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris lumbricoides dalam tubuh manusia. Spesies cacing yang

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-Transmitted Helminths Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan tanah yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit berupa cacing kedalam tubuh manusia karena menelan telur cacing. Penyakit ini paling umum tersebar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths (STH) Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Soil Transmitted Helminths (STH) Keberadan dan penyebaran suatu parasit di suatu daerah tergantung pada berbagai hal, yaitu adanya hospes yang peka, dan terdapatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih dari satu miliar orang terinfeksi oleh Soil Transmitted Helminth (STH) (Freeman et al, 2015).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths (STH) Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini, 2009). Cacing

Lebih terperinci

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI Diajukan Oleh : Restian Rudy Oktavianto J500050011 Kepada : FAKULTAS

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG MKM Vol. 03 No. 02 Desember 2008 PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG Jansen Loudwik Lalandos 1, Dyah Gita Rambu Kareri 2 Abstract: Kualitas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Enterobius vermicularis Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk kemulut tubuh melalui makanan, udara, tanah yang akan bersarang di usus besar pada waktu malam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global, khususnya di negara-negara berkembang pada daerah tropis dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %. Kejadian kecacingan STH yang tertinggi terlihat pada anak-anak, khususnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cacing tularan tanah merupakan cacing yang paling sering menginfeksi manusia, biasanya hidup di dalam saluran pencernaan manusia (WHO, 2011). Spesies cacing tularan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecacingan 1. Definisi Kecacingan secara umum merupakan infeksi cacing (Soil transmitted helminthiasis) yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Soil Transmitted Helminths (STHs) Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cacing Nematoda Usus (Soil Transmited Helminth) Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar penularannya melalui tanah maka di golongkan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak Sekolah Dasar merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan anak sekolah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nematoda Usus Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia, habitatnya didalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Nematoda Usus ini yang tergolong Soil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) adalah cacing golongan nematoda usus yang penularannya melalui tanah. Dalam siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan tanah untuk proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia masih menghadapi masalah tingginya prevalensi penyakit infeksi, terutama yang berkaitan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang

Lebih terperinci

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah45 PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN Oleh : Ersandhi Resnhaleksmana Dosen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Kecacingan 2.1.1 Definisi Kecacingan Helmintiasis (kecacingan) menurut WHO adalah infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam. perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. 6 BAB II TINJAUAN PUSATAKA 5 A. Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) STH adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) dalam perkembanganya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Yang termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang, terutama di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara tropis yang sedang berkembang seperti Indonesia, masih banyak penyakit yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan, salah satunya adalah infeksi

Lebih terperinci

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur Julia Suwandi, Susy Tjahjani, Meilinah Hidayat Bagian Parasitologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit parasit baik yang disebabkan oleh cacing, protozoa, maupun serangga parasitik pada manusia banyak terdapat di negara berkembang dan beriklim tropis,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi. BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah bersifat analitik karena dengan perlakuan berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam pemeriksaan metode

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminth (STH) atau penyakit kecacingan yang penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan masyarakat khususnya

Lebih terperinci

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN Fitria Nelda Zulita, Gustina Indriati dan Armein Lusi Program Studi

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Infeksi Kecacingan a. Pengertian Infeksi Kecacingan Infeksi kecacingan adalah masuknya suatu bibit penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme (cacing)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Higiene Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi telur Ascaris lumbricoides Secara morfologi dapat dibedakan menjadi 4 macam bentuk: fertil, infertil, dekortikasi, dan embrio.telur

Lebih terperinci

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014 Al-Sihah : Public Health Science Journal 12-18 Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014 Azriful 1, Tri Hardiyanti Rahmawan 2 1

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Diare Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Selain penyakit ini masih endemis di hampir semua daerah, juga sering muncul

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan permasalahan yang banyak ditemukan di masyarakat namun kurang mendapat perhatian. Di dunia lebih dari 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil-Transmitted Helminths (STH) STH adalah cacing yang dalam siklus hidupnya memerlukan tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Ukuran sangat bervariasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor meningkatnya kejadian infeksi adalah kebiasaan hidup yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang higinis adalah

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: KHOIRUN NISA NIM. 031610101084 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang prevalensinya sangat tinggi di Indonesia, terutama cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali diabaikan

Lebih terperinci

Undang Ruhimat. Herdiyana. Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK

Undang Ruhimat. Herdiyana. Program Studi D-III Analis Kesehatan STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya ABSTRAK GAMBARAN TELUR NEMATODA USUS PADA KUKU PETUGAS SAMPAH DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH CIANGIR KELURAHAN KOTA BARU KECAMATAN CIBEUREUM KOTA TASIKMALAYA Undang Ruhimat. Herdiyana Program Studi D-III

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kecacingan merupakan salah satu diantara banyak penyakit yang menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit kelas Nematoda yang dapat menginfeksi

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi cacing usus masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan maupun daerah perkotaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi cacing atau kecacingan merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang utama di negara miskin atau negara berkembang, dan menempati urutan tertinggi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan cacing kelas nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing yang termasuk STH antara lain cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Metode-metode pemeriksaan tinja Dasar dari metode-metode pemeriksaan tinja yaitu pemeriksaan langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan langsung adalah pemeriksaan yang langsung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang tersebar luas didaerah tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti banyak manusia di seluruh dunia. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih tetap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Belajar Para ahli banyak yang mengemukakan definisi belajar, tetapi pada kesempatan ini hanya akan dikemukakan definisi belajar menurut : 1. B.F Skinner (1985) berpendapat

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA Disusun Oleh: Mochamad Iqbal G1B011045 Kelompok : VII (Tujuh) LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminth STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Di Indonesia golongan cacing

Lebih terperinci