Eksistensi Lembaga Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Medis. Oleh: Evalina Alissa dan Arrie Budhiartie 1. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Eksistensi Lembaga Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Medis. Oleh: Evalina Alissa dan Arrie Budhiartie 1. Abstrak"

Transkripsi

1 Eksistensi Lembaga Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Medis Oleh: Evalina Alissa dan Arrie Budhiartie 1 Abstrak Sengketa medis merupakan perbedaan pendapat antara pihak pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan/kedokteran (health receivers) dengan dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kedokteran (health providers). Bila di dalam UU No. 29/2004 penyelesaian sengketa medis hanya dapat dilakukan melalui jalur litigasi dan pengaduan kepada MKDKI, maka sejak diundangkannya UU No.36/2009 tentang Kesehatan dan UU No.44/2009 diakuilah keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga penyelesai sengketa medis. Beberapa permasalahan mendasar yang berkaitan dengan eksistensi lembaga mediasi ini adalah kedudukan hukum lembaga mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa medis di luar pengadilan, bentuk-bentuk sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi serta kekuatan hukum keputusan mediasi medis. Oleh karena itu, ke depannya diperlukan suatu sosialisasi terhadap mekanisme dan fungsi lembaga mediasi medis ini agar didapatkan proses pelayanan kesehatan yang professional namun tetap humanis sesuai nilai-nilai Pancasila. Kata Kunci: sengketa medis, mediasi, pasien, dokter, alternatif penyelesaian sengketa. A. Pendahuluan Penyelenggaraan upaya kesehatan merupakan salah satu program pemerintah yang sangat penting mengingat pemenuhan terhadap hak atas derajat kesehatan yang merupakan bagian dari konsep hak asasi manusia, adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Seperti yang diutarakan dalam Teori John Locke 2 bahwa perlindungan hak-hak kodrati merupakan basis pendirian negara, dimana kekuasaan negara yang diberikan rakyat lewat kontrak sosialnya dan dilaksanakan melalui hukum yang dibentuk adalah ditujukan untuk melindungi hak-hak kodrati 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi. 2 Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia; Alumni; Bandung, hal

2 dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam keberadaan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. Meskipun Locke tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar, namun kesehatan adalah salah satu unsur yang menunjang manusia dalam menjalani dan mempertahankan hidupnya. Harus disadari bahwa hidup dan kebebasan manusia akan menjadi tanpa makna jika kesehatannya tidak terurus. Masalah kesehatan merupakan sebuah issue yang sangat krusial yang harus dihadapi setiap negara karena akan berkorelasi langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu supaya dapat hidup bermartabat. Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar rakyat yang harus dijamin oleh negara, seperti yang dinyatakan oleh Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkitngan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian hak atas pelayanan kesehatan (the rights of healty care) adalah bagian dari hak asasi manusia yang patut dilindungi oleh negara. Dalam implementasinya, pelaksanaan hak ini tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kendala yang menghadang pelaksanaan pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan tersebut. Salah satunya adalah yang terkait pada masalah kesadaran dan pemahaman hukum di bidang kesehatan yang berdampak pada munculnya sengketa medis terutama yang terkait pada masalah perlindungan hak pasien maupun hak tenaga kesehatan, dalam hal ini dokter. Kesenjangan persepsi dan kepentingan antara masyarakat dan pihak kedokteran sering berujung pada tuntutan dan gugatan hukum. Pada umumnya semua gugatan dan tuntutan hukum tersebut berawal dari fakta atau keadaan kesehatan yang dialami pasien yang bersangkutan pasca menjalani pengobatan dan sbagian besar disebabkan karena buruknya komunikasi yang tercipta antara health provider terhadap health receiver. Hingga tak jarang ketidakpuasan tersebut kemudian berujung pada tuntutan dan/atau gugatan hukum dari health receiver. 30

3 Dalam praktek kedokteran yang selama ini terjadi maka apabila terjadi sengketa antara dokter dan pasien maka penyelesaian sengketa medis tersebut akan diselesaikan melalui cara-cara sebagai berikut: 1. Perdamaian sengketa; yang dalam istilah kedokteran digunakan istilah penyelesaian dengan tali kasih, yang dilakukan oleh pihak rumah sakit sebagai institusi dimana dokter bekerja dengan pasien dan keluarganya; 2. Mengadukan permasalahan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia MKDKI, sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran; 3. Melalui pengadilan dengan prosedur beracara sesuai Hukum Acara Perdata maupun tuntutan pidana melalui pihak kepolisian dan hukum acara pidana. Meskipun cara kedua yakni melakukan pengaduan ke MKDKI telah banyak dilakukan oleh pihak pasien dan/atau keluarga atas dugaan pelanggaran disiplin kedokteran, namun masih belum sepenuhnya efektif karena kurangnya sosialisasi lembaga ini sekaligus keberadaannya yang hanya ada di Jakarta, sehingga menyulitkn pasien yang berada di daerah. Sehingga cara ketiga dianggap sebagai jalan keluar pasien sebagai upaya menyelesaikan sengketa medisnya dengan pihak dokter dan/atau rumah sakit. Namur cara litigasi ini pun memiliki kendala yang tidak ringan, yakni terletak pada unsur beban pembuktian, panjangnya waktu yang harus ditempuh, serta biaya yang tidak sedikit. Ditambah dengan berbagai resiko lain seperti kemungkinan adanya gugatan balik atas pencemaran nama baik dan sebagainya. Dengan demikian sebenarnya cara pertama merupakan upaya yang paling efektif untuk menyelesaikan suatu sengketa medis dengan resiko yang paling ringan bagi kedua belah pihak. Dalam konsep hukum, cara ini lebih dikenal dengan istilah negosiasi yang kemudian berkembang menjadi bagian dari upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative Dispute Resolution). Di dalam hukum positif ketentuan tentang penggunaan lembaga penyelesaian sengketa alternatif (ADR) ini telah diatur melalui Undang-Undang 31

4 Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyesaian Sengketa. Di dalam UU AAPS ini disebutkan bahwa lembaga penyelesaian sengketa yang termasuk di dalam APS antara lain konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan demikian, keberadaan lembaga mediasi yang dinyatakan di dalam UU Kesehatan pun seyogyanyalah merujuk pada lembaga mediasi yang diatur di dalam UU AAPS tersebut. Namun minimnya penjelasan dan sosialisasi keberadaan lembaga ini di dalam upaya penyeleseaian sengketa medis ternyata telah melahirkan banyak permasalahan seperti bagaimana proses mediasi yang harus dilakukan, siapakah yang berwenang menjadi mediator dan bagaimana kekuatan hukum keputusan lembaga tersebut dan sebagainya dan sebagainya. Kondisi ini pun diperparah dengan rendahnya/minimnya kesadaran masyarakat dalam memahami fungsi, peranan dan proses beracara melalui lembaga mediasi ini. Karena sebagai bagian dari sistem hukum yang lebih besar, keberadaan lembaga mediasi ini pun seharusnya mampu berfungsi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, sehingga dapat tercapai tujuan akhir pembangunan kesehatan itu sendiri yakni terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai bagiand ari investasi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Dari latar belakang tersebut penulis mencoba membatasi permasalahan yang berhubungan dengan eksistensi lembaga mediasi di bidang sengketa medis ini dengan merumuskannya dalam beberapa pertanyaan yakni: 1. Bagaimanakah kedudukan lembaga mediasi di dalam sengketa medis? 2. Apakah ruang lingkup sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi? 3. Bagaimanakah kekuatan hukum keputusan lembaga mediasi terhadap penyelesaian sengketa medis? 32

5 B. Pembahasan. 1. Dasar Hukum dan Kedudukan Lembaga Mediasi Di Dalam Penyelesaian Sengketa Medis. Menurut John W. Head 3 mediasi adalah suatu prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi antara para pihak, sehingga pandanga nmereka yang berbeda atas sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan, tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri. Sementara Prof. Takdir Rahmadi memberikan definisi mediasi sebagai suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus, yang disebut dengan mediator. 4 Dengan demikian dari definisi tersebut dapatlah diidentifikasikan beberapa unsur mediasi yakni: 1. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau consensus para pihak; 2. Para pihak meminta bantuan mediator sebagai pihak ketiga, yang harus netral dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa; 3. Kewenangan mediator bukan pada memutus sengketa namun hanya terbatas pada membantu para pihak mencari upaya penyelesaian yang dapat diterima kedua belah pihak. Untuk selanjutnya keberadaan lembaga mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa medis dapat dilihat di dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan khususnya Pasal 29 dan Penjelasannnya yang menyebutkan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Sementara di dalam Penjelasan menyebutkan alasan dan tujuan dilakukannya mediasi yakni bahwa mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara 3 Gatot Soemartono; 2005; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia; PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, hal Takdir Rahmadi; 2010; Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat; Rawali pers; Jakarta, hal

6 tenaga kesehatan dengan pasien, dimana mediasi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa. Sementara di dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak menyebutkan secara eksplisit tentang lembaga mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa medis, namun di dalam Pasal 60 yang mengatur tentang tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi disebutkan adanya kewenangan BPRS Provinsi ini untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa melalui jalan mediasi. Hal ini berarti bahwa sengekta medis yang terjadi di rumah sakit pun diupayakan untuk ditempuh melalui jalan mediasi. Hal ini didasari pemikiran bahwa sebagian besar sengketa medis terjadi di sebuah rumah sakit, sebagai institusi penyelenggara pelayanan kesehatan/kedokteran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan termasuk dokter/dokter gigi. Keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan diakui di dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 di dalam Pasal 1 ayat 10 yang menyebutkan bahwa APS adalah lembaga penyelesaia sengketa atau beda pendapat melalu prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Apabila lembaga arbitrase merupakan lembaga yang ditetapkan sebagai lembaga penyelesaiaan sengketa khusus di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa (Pasal 5 UU APS), maka lembaga mediasi mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yakni seluruh sengketa atau beda pendapat di bidang hukum keperdataan, yang akan diselesaikan dengan didasarkan pada itikad baik para pihak dalam upaya penyelesaianya (Pasal 6 ayat (1) UU AAPS). Adapun Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut dengan PERMA) nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Melalui PERMA RI ini maka pengadilan tidak saja bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Namun melihat 34

7 dari rumusan PERMA itu sendiri terlihat adanya perbedaan terhadap penerapan mediasi yang dikehendaki oleh UU Kesehatan dengan mediasi yang diatur oleh PERMA. Lembaga mediasi yang diatur di dalam PERMA no. 01/2008 di atas merupakan mediasi sebagai bagian dari upaya perdamaian suatu kasus hukum keperdataan yang telah memasuki upaya litigasi. Dalam arti bahwa mediasi yang diatur diatur oleh PERMA adalah mediasi sebagai bagian dari penyelesaian hukum keperdataan di pengadilan sebelum memasuki perkara pokok. Sementara mediasi yang dikehendaki oleh UU Kesehatan dan UU Rumah Sakit adalah mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa (medis) di luar pengadilan, dalam arti para pihak belum mengajukan gugatan hukum melalui pengadilan perdata. Dengan demikian hukum beracara yang ditetapkan oleh PERMA No.01/2008 pun tidak sepenuhnya dapat diterapkan kepada mediasi medis. Untuk itu kiranya diperlukan pemikiran akan perlunya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur kedudukan, fungsi dan prosedur mediasi medis agar diperoleh suatu proses penyelesaian sengketa medis yang berujung pada win-win solution tanpa mengabaikan berbagai asas umum di dalam hukum positif seperti asas keadilan, asas perikemanusiaan dan asas iktikad baik. 2. Kriteria/Bentuk Sengketa Medis yang Dapat Diselesaikan Melalui Lembaga Mediasi Di atas telah penulis sebutkan bahwa landasan yuridis keberadaan lembaga mediasi dalam sengketa medis hanya pada ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan dan Pasal 60 UU Rumah Sakit, karena prinsip mediasi yang dikehendaki adalah sebagai sebuah alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan belum kepada pengajuan pokok perkara melalui pengadilan. Namun karena belum adanya aturan khusus tentang eksistensi lembaga mediasi medis ini maka apa yang diatur di dalam UU AAPS dan PERMA RI No. 1 Tahun 2008 masih dainggap relevan sebagai landasan yuridis untuk menentukan criteria sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi. Di dalam UU AAPS khususnya pada Pasal 6 ayat (1) ditegaskan bahwa yang dapat diselesaikan melalui alternative penyelesaian sengketa (termasuk di 35

8 dalamnya adalah mediasi) oleh para pihak yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri adalah sengketa atau beda pendapat perdata. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) ini dapatlah dianggap sebagai landasan yuridis utama di dalam menentukan criteria sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yakni yang tidak termasuk bidang hukum pidana. Dengan demikian haruslah ditafsirkan terlebih dahulu konsep wilayah hukum perdata dalam sengketa medis sesuai ketentuan Pasal 29 UU Kesehatan. Pasal 29 UU Kesehatan memberikan rumusan bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,. Dengan merujuk pada Pasal 6 ayat (1) UU AAPS di atas, maka makna kelalaian dalam Pasal 29 UU Kesehatan tersebut haruslah dipandang dari aspek kelalaian secara hukum perdata, yakni yang bersandarkan pada ketentuan Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dengan demikian untuk menentukan ada tidaknya unsur kelalaian dokter tersebut haruslah dapat dibuktikan unsur-unsur: 1. Adanya perbuatan, dalam hal ini adanya hubungan terapeutik antara dokter-pasien yang dibuktikan dengan dokumen rekam medis dan informed consent; 2. Dimana perbuatan tersebut melawan hukum, dalam arti adanya pelanggaran terhadap kewajiban yang tertuang di dalam hubungan terapeutik tersebut; 3. Adanya kesalahan berupa kelalaian atau kekurang hatian-hatian yang pada umumnya berawal dari tindakan dokter; 4. Adanya kerugian bagi pihak pasien; dan 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan (dokter) dengan kerugian yang diterima pasien. Dan apabila pihak rumah sakit terlibat sebagai sebuah institusi yang mewadahi bekerjanya dokter di dalam melakukan praktik kedokteran maka akan diberlakukan Pasal 1367 sebagai landasan diberlakukannya Pasal 46 UU Rumah 36

9 Sakit tentang pertanggung jawaban rumah sakit atas kesalahan yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan. Sementara itu, untuk menentukan apakah ada atau tidaknya kesalahan yang berupa kelalaian atau kekurang hatian-hatian dari pihak dokter, maka biasanya agak sulit bagi pihak pasien untuk membuktikan hal tersebu karena terkait dengan standard prosedur operasional tindakan, standar profesi medis, standar pelayanan kesehatan rumah sakit, serta disiplin ilmu kedokteran. Oleh karena itu,menurut penulis diperlukan peran MKDKI sebagai lembaga terdepan dalam menentukan ada tidaknya kesalahan tersebut. Karena sesuai fungsi dan wewenang MKDKI yang ditetapkan oleh UU Praktik Kedokteran, lembaga ini merupakan lembaga yang berwenang untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dan bukan mengadili pelanggaran etika. Dalam UU Praktik Kedokteran disebutkan bahwa setiap orang yang dirugikan kepentingannya dapat mengajukan pengaduan kepada MKDKI apabila menyangkut masalah pelanggaran penegakan disiplin dokter dan dokter gigi. Yang dimaksud dengan penegakan disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi. Dan menurut MKDKI 5 yang termasuk sebagai pelanggaran disiplin apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. 2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai. 3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensiuntuk melaksanakan pekerjaan tersebut. 4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensidan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantiantersebut. 5 Buku Himpunan Peraturan MKDKI tahun 2008, diunduh dari 37

10 5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien. 6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien. 7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. 8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. 9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya. 10. Dengan sengaja tidak membuat atau menyimpan Rekam Medik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan atau etika profesi. 11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai Menyikapi kriteria tersebut, seperti juga yang diungkapkan oleh Dr. Drg Hargianti Dini M.Kes, mantan sekretaris MKDKI, bahwa MKDKI bukanlah lembaga mediasi dalam arti bahwa persidangan MKDKI akan terlepas dari masalah kesepakatan dan sebagainya karena yang diputuskan adalah ada tidaknya pelanggaran disiplin dari dokter/dokter gigi yang diadukan. Apabila terbukti adanya pelanggaran disiplin, maka adalah kewenangan MKDKI untuk memberikan sanksi disiplin yakni berupa pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat ijin praktik (SIP), dan atau printah untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan lebih lanjut. Hasil putusan sidang MKDKI inilah yang seharusnya menjadi panduan/landasan dilakukannya mediasi dalam suatu sengketa medis. Namun seperti telah penulis singgung di atas, bahwa keberadaan MKDKI yang hanya ada di Jakarta 38

11 menyulitkan pasien dan/atau keluarganya untuk mengajukan pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin tersebut. Criteria lain yang dapat dipergunakan adalah apabila tidak terdapat unsur-unsur tindak pidana seperti yang diatur di dalam KUHP maupun UU Kesehatan dan UU Praktik kedokteran itu sendiri. Dalam kondisi ini kembali pasien dihadapkan pada mekanisme yang kompleks karena untuk membuktikan ada tidaknya unsur-unsur tindak pidana adalah kewenangan yang dimiliki pihak penyelidik dan penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan. Beberapa ketentuan dalam KUHP yang berindikasi pada suatu tindakan medis antara lain ketentuan Pasal 333 tentang prampasan kemerdekaan seseorang, dalam hal terjadi tindakan penyanderaan bayi oleh pihak rumah sakit apabila orang tua bayi belum/tidak mampu membayar biaya persalinan, Pasal 304 tentang penelantaran terhadap orang yang harus ditolong sementara tidak ada orang lain yang berkompeten untuk melakukan perbuatan tersebut selain dirinya, Pasal 344 dan Pasal 345 tentang kemungkinan perbuatan yang menyebabkan orang lain mati, atas bantuannya, yang dalam istilah kedokteran sering disebut dengan euthanasia (aktif), Pasal 346 dan Pasal 347 jo Pasal 194 UU Kesehatan tentang aborsi yang tidak atas indikasi medis dan lain-lain. Dengan melihat ketentuan perundang-undangan di atas, maka penulis berpendapat bahwa sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi adalah sengketa yang termasuk di dalam hukum keperdataan dan bukan hukum public dimana diperlukan suatu persyaratan utama berupa adanya hubungan hukum keperdataan antara para pihak, dalam hal ini dokter dan pasien berupa hubungan terapeutik, serta tidak adanya indikasi tindak pidana di dalam perbuatan tersebut. Unsur lain yang harus diperhatikan para pihak adalah adanya kemungkinan overmacht dalam suatu tindakan medis berupa resiko medis yang melekat dalam tindakan tersebut seperti shock anafilaktik, maupun kecelakaan medis yang sulit dihindari meskipun telah dilakukan tindakan secara hati-hati seperti terjadinya emboli pada kasus-kasus pasca melahirkan melalui bedah Caesar. Kondisi overmacht tersebut hendaknya disikapi dengan keterbukaan informasi dari pihak 39

12 dokter dan rumah sakit hingga tidak menimbulkan salah prasangka dari pasien yang akan berujung pada sengketa medis itu sendiri. 3. Kekuatan Hukum Keputusan Lembaga Mediasi Terhadap Penyelesaian Sengketa Medis Hasil penyelesaian sengketa medis melalui lembaga mediasi mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan berbagai hasil mediasi lainnya seperti diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2003 jo PERMA RI Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan maupun UU No.30 Tahun 1999 tentang AAPS. Di dalam PERMA disebutkan bahwa apabila mendiasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak. Untuk selanjutnya para pihak menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah tercapainya kesepakatan perdamaian. Dan hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian dalam sebuah putusan hakim. Akta perdamaian yang telah ditandatangani kedua belah pihak yang bersengketa dan telah dikukuhkan oleh hakim pengadilan negeri setempat mempunyai kekuatan hukum mengikat kedua belah pihak dan bersifat final, dalam arti tidak membuka peluang untuk dilakukannya upaya hukum melalui jalur litigasi/pengadilan. Namun apabila penyelesaian sengketa dilakukan secara mediasi/ non litigasi maka hasil kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak dituangkan dalam sebuah bentuk akta tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah perjanjian bagi para pihak. Apabila ternyata salah satu pihak tidak melakukan kewajiban sesuai yang tercantum di dalam akta perdamaian mediasi tersebut, maka pihak lain yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur litigasi dengan menggugat pihak yang melanggar isi perjanjian dengan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata. Sementara akta perdamaian yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelumnya dapat diajukan sebagai alat 40

13 bukti ke pengadilan. Tetapi hasil mediasi itu sendiri tidak dapat dilakukan upaya banding seperti yang tertuang di dalam UU No. 30 Tahun Pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Di dalam Pasal 23 PERMA RI No. 01 Tahun 2008 diatur tentang kesepakatan di luar pengadilan. Disebutkan di dalam pasal tersebut bahawa para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pendailan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian denga cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatan harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. Hakim di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memneuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Sesuai kehendak para pihak b. Tidak bertentangan dengan hukum c. Tidak merugikan pihak ketiga d. Dapat dieksekusi e. Dengan iktikad baik. Perlu diperhatikan ketentuan tentang dokumen yang membuktikan ada sebuah hubungan hukum antara para pihak yang melakukan perdamaian sesuai ketentuan PERMA di atas. Di dalam sebuah hubungan terapeutik, dokumen penting yang terkait adalah dokumen informed consent maupun rekam medis yang melatarbelakangi terjadinya hubungan hukum yang disebut sebagai hubungan terapeutik. Oleh karena itu penting bagi dokter dan/atau dokter gigi untuk selalu mengedepankan kedua dokumen tersebut di dalam penyelenggaraan pelayanan kedokteran yang diberikan karena kedua dokumen tersebut akan 41

14 menjadi alat bukti yang kuat terhadap suatu tindakan medis tertentu yang diberikan pada pasien. C. Kesimpulan Berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan penyelenggaraan kedokteran serta di bidang upaya penyelesaian sengketa alternatif tidak ada yang memuat secara eksplisit kedudukan, serta kriteria dan bentuk sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi. Dan dengan demikian yang dapat dilakukan adalah memberikan berbagai penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut dengan menyimpulkan bahwa bahwa sengketa-sengketa medis yang dapat diselesaikan melalui upaya penyelesaian sengketa alternatif khususnya melalui mediasi adalah sengketa medis yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Sengketa medis yang terkait pada pelayanan kesehatan yang diterima atau berhubungan langsung dengan pasien. Dalam arti ada hubungan hukum antara pasien dan dokter. 2. Sengketa medis yang termasuk dalam katagori pelanggaran disiplin kedokteran 3. Bukan termasuk sebagai sebuah tindak pidana yang secara tegas disebutkan dalam UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran dan KUHPidana 4. Berdasarkan kehendak para pihak untuk memilih lembaga mediasi sebagai upaya penyelesaian sengketa dan dilakukan dengan iktikad baik. Oleh karena masalah mediasi sengketa medis belum mendapat pengaturan secara khusus maka mekanisme tersebut dapat diselengarakan melalui ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi di Pengadilan dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan PERMA RI No. 1 Tahun 2008 dan UU No. 30 Tahun 1999 maka ditetapkan bahwa kesepakatan perdamaian yang dilakukan sebagai bagian dari upaya perdamaian melalui jalur pengadilan (Litigasi) yang berhasil 42

15 dilakukan oleh para pihak melalui bantuan mediator harus dituangkan dalam sebuah akta perdamaian tertulis yang kemudian diajukan ke pangadilan negeri setempat untuk dikukuhkan sebagai sebuah putusan hakim. Hasil mediasi ini bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Namun apabila penyelesaian sengketa dilakukan secara mediasi/ non litigasi/ penyelesaian di luar pengadilan maka hasil kesepakatan mediasi yang dilakukan oleh para pihak dituangkan dalam sebuah bentuk akta tertulis yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah perjanjian bagi para pihak. Apabila ternyata salah satu pihak tidak melakukan kewajiban sesuai yang tercantum di dalam akta perdamaian mediasi tersebut, maka pihak lain yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur litigasi dengan menggugat pihak yang melanggar isi perjanjian dengan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1234 KUHPerdata. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dituangkan dalam akta tertulis tersebut adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dengan mengajukan gugatan untuk dikukuhkan dalam akta perdamaian oleh hakim Pengadilan Negeri setempat. Adapun saran yang dapat penulis ajukan adalah adanya pembentukan Komite Mediasi di setiap rumah sakit yang berfungsi sebagai lembaga mediasi bagi penyelesaian sengketa medis dengan pengawasan dan pembinaan dari Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan UU nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; serta segera dibentuk lembaga MKDKI Provinsi yang professional dan tidak memihak sehingga diperoleh kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dalam hal terjadinya sengketa medis tersebut. 43

16 Daftar Pustaka Chandra Irawan; 2010; Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Alternative Disputes Resolution) di Indonesia; Mandar Maju; Bandung Desriza Ratman; 2012; Mediasi Nonlitigasi Trhadap Sengketa Medik Dengan Konsep Win-Win Solution; Elex media komputindo; Jakarta. Gatot Soemartono; 2005; Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia; PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta Gunawan Widjaya; 2005; Alternatif Penyelesaian Sengketa; PT Raja Grafindo Persada; Jakarta Sudikno Mertokusumo; 1999; Mengenal Hukum; Liberty; Yogyakarta Syahrizal Abbas; 2009; Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional; Kencana; Jakarta Takdir Rahmadi; 2010; Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat; Rawali pers; Jakarta. Tince P. Soemoele; 2012; Alternative Penyelesaian Sengketa medic Di Rumah Sakit; PT Hidup Sehat Bermakna; Jakarta. Titon Slamet Kurnia; 2007; Hak Atas Derajat Kesehatan Optimal Sebagai HAM di Indonesia; Alumni; Bandung Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang N0. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses Mediasi di Pengadilan 44

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa

I. PENDAHULUAN. unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan manusia. Tanpa kesehatan manusia tidak akan produktif untuk hidup layak dan baik. Kesehatan

Lebih terperinci

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association of Forensic Medicine Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 Proceeding Annual Scientific Meeting 2017 PEMBUKTIAN MALPRAKTIK Syarifah Hidayah

Lebih terperinci

PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEMBATALAN SANKSI DISIPLIN PROFESI KEDOKTERAN OLEH PENGADILAN TATA USAHA NEGARA Andryawan 1 1 Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara Jakarta Email: andryawan@fh.untar.ac.id ABSTRAK Dokter merupakan salah

Lebih terperinci

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam Dugaan Pelanggaran Disiplin Kedokteran Dody Firmanda Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Ketua KSM Kesehatan Anak, RSUP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. 1 Untuk memelihara kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia karena kesehatan merupakan modal utama manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Melaksanakan upaya kesehatan yang

Lebih terperinci

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan MEDIASI Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Dasar Hukum : Pasal 130 HIR Pasal 154 RBg PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara manusia yang menjadi pemicu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.

BAB V PENUTUP. 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Miskin Menurut Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo. Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil.

BAB I PENDAHULUAN. bernegara, agar tercipta kehidupan yang aman, tertib, dan adil. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3). Ketentuan tersebut merupakan landasan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2003 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pengintegrasian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SURAT KESEPAKATAN PERDAMAIAN TERINTEGRASI DALAM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA I. PENDAHULUAN Bahwa dalam beracara di Pengadilan Agama tidak mesti berakhir dengan putusan perceraian karena ada beberapa jenis

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.985, 2012 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA. Mediasi Penyelenggaraan. Pedoman. Draft terbarmperaturan KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA NOMOR 59 A/KOMNAS HAM/X/2008

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.352, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Tata Cara. Penanganan. Kasus. Pelanggaran Disiplin. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia hidup diatas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan mendayagunakan. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kekayaan alam atau sumber daya alam yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia adalah tanah. Manusia hidup

Lebih terperinci

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK A. Penyelesaian Sengketa Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 1. Ketentuan Berproses Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan

Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan *drg. suryono, SH, Ph.D Abstract Perbedaan antara harapan dan hasil sering menjadi pemicu ketidak puasaan dari pasien atau keluarga pasien terhadap dokter

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN KASUS DUGAAN PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.617, 2015 KKI. Pelanggaran Disiplin. Dokter dan Dokter Gigi. Dugaan. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama? PANDUAN WAWANCARA Mediator: 1. Apa saja model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian? a. Bagaimana cara menerapkan model-model pendekatan agama dalam proses mediasi terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN Tentang KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. melalui mediasi dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : penyelesaian sengketa di pengadilan.

BAB V PENUTUP. melalui mediasi dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : penyelesaian sengketa di pengadilan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam menyelesaikan sengketa melalui mediasi dilakukan dengan berbagai cara,

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 93 Tahun 2016 Seri E Nomor 45 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 93 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PRAKTIK DOKTER MANDIRI Diundangkan dalam Berita Daerah Kota Bogor Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling baik untuk memperjuangkan kepentingan para pihak. Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. paling baik untuk memperjuangkan kepentingan para pihak. Pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum. Setiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh warga negara haruslah didasarkan pada hukum. Penegakan hukum berada diatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sebagai makhluk sosial manusia harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini tidak lepas

Lebih terperinci

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA

BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA BAB II PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA INDONESIA A. Kewenangan Pengadilan Agama Indonesia 1. Kewenangan Relatif Kewenangan relatif (relative competentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan

Lebih terperinci

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani Pendahuluan Setiap subjek hukum baik orang maupun badan hukum terdapat suatu kebiasaan untuk menyelesaikan suatu masalah masalah

Lebih terperinci

Apa yang perlu dokter ketahui agar tidak masuk penjara? Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F PIT IDI Tangerang 11 Februari 2018

Apa yang perlu dokter ketahui agar tidak masuk penjara? Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F PIT IDI Tangerang 11 Februari 2018 Apa yang perlu dokter ketahui agar tidak masuk penjara? Dr. Budi Suhendar, DFM, Sp.F PIT IDI Tangerang 11 Februari 2018 Pendahuluan Saat ini ada beberapa kasus hukum yang melibatkan dokter maupun tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Bouman, mengungkapkan bahwa manusia baru menjadi manusia. adanya suatu kepentingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 11).

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Bouman, mengungkapkan bahwa manusia baru menjadi manusia. adanya suatu kepentingan (Nurnaningsih Amriani, 2012: 11). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial ( zoon politicon) yang berarti bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.

Lebih terperinci

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM 1 (satu) Hari Kerja ~ waktu paling lama, Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan Pemberi Bantuan Hukum wajib memeriksa kelengkapan persyaratan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kredit macet merupakan masalah yang sangat penting dalam sejarah perbankan Indonesia terutama pada tahun 1999-2004. Banyaknya bank yang dilikuidasi sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Tujuan & Tugas KKI. Tujuan:

Tujuan & Tugas KKI. Tujuan: Tujuan & Tugas KKI Tujuan: 1. Memberikan perlindungan kepada pasien 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis 3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter/dokte gigi Tugas : Melakukan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran I. PEMOHON 1. Dr. Agung Sapta Adi, SP. An., sebagai Pemohon I; 2. Dr. Yadi Permana, Sp. B (K) Onk., sebagai Pemohon

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya

STIE DEWANTARA Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya Sengketa Bisnis & Penyelesaiannya Hukum Bisnis, Sesi 9 Timbulnya Sengketa Transaksi dalam dunia bisnis, termasuk bisnis syariah mengandung risiko Salah satu risiko yang mungkin dan sering terjadi adalah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG DISIPLIN PROFESIONAL DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG DISIPLIN PROFESIONAL DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG DISIPLIN PROFESIONAL DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan hukum, masing-masing pihak harus mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA. memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu para pihak BAB III PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN SYSTEM COURT CONNECTED MEDIATION DI INDONESIA Terintegrasinya mediasi dalam proses acara pengadilan adalah untuk memfasilitasi, berusaha dengan sungguh-sungguh membantu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan jasa dari para dokter. Dokter merupakan tenaga medis yang menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan jasa dari para dokter. Dokter merupakan tenaga medis yang menjadi pusat 1" BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang selanjutnya disebut dengan UUPK merupakan dasar hukum bagi profesi dokter dan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS

MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS MEDIASI ATAU KONSILIASI DALAM REALITA DUNIA BISNIS Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Disusun Oleh: Raden Zulfikar Soepinarko Putra 2011 200 206 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Introduction Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dikodratkan oleh sang pencipta menjadi makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dari sifat manusia inilah maka akan timbul suatu interaksi antara manusia

Lebih terperinci

Oleh Helios Tri Buana

Oleh Helios Tri Buana TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEWARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Perkara Nomor : 168/Pdt.G/2013/PN.Ska) Jurnal Ilmiah Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada

BAB IV. A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bangkalan. cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi, bila didasarkan pada BAB IV ANALISA TERHADAP PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BANGKALAN DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN A. Analisa terhadap Prosedur Mediasi

Lebih terperinci

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3).

dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktidak tidak baik (Pasal 17 ayat 3). MAKALAH : JUDUL DISAMPAIKAN PADA : MEDIASI DAN GUGAT REKONPENSI : FORUM DISKUSI HAKIM TINGGI MAHKAMAH SYAR IYAH ACEH PADA HARI/ TANGGAL : SELASA, 7 FEBRUARI 2012 O L E H : Dra. MASDARWIATY, MA A. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/11.2009 TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut. MEDIASI Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan serta pelayanan sosial lain yang diperlukan. orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian dan Bentuk-bentuk Sengketa Konsumen Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan telah

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Oleh : Abu Sopian, S.H., M.M.

PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Oleh : Abu Sopian, S.H., M.M. PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Oleh : Abu Sopian, S.H., M.M. Abstrak Dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilaksanakan secara kontraktual, tidak jarang terjadi

Lebih terperinci

vii DAFTAR WAWANCARA

vii DAFTAR WAWANCARA vii DAFTAR WAWANCARA 1. Apa upaya hukum yang dapat dilakukan pasien apabila hak-haknya dilanggar? Pasien dapat mengajukan gugatan kepada rumah sakit dan/atau pelaku usaha, baik kepada lembaga peradilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Pendahuluan PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum

Lebih terperinci

PENYUSUNAN RUU TENTANG PRAKTIK KEPERAWATAN * Oleh : F.X. Soekarno, SH

PENYUSUNAN RUU TENTANG PRAKTIK KEPERAWATAN * Oleh : F.X. Soekarno, SH PENYUSUNAN RUU TENTANG PRAKTIK KEPERAWATAN * Oleh : F.X. Soekarno, SH A. PENDAHULUAN Pasca amandemen UUD 1945, jaminan hak asasi manusia di Indonesia semakin kuat karena pengaturannya telah mendapat tempat

Lebih terperinci

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011 ENVIRONEMNTAL DISPUTE RESOLUTION Wiwiek iek Awiati SISTEMATIKAN PEMBAHASAN Environmental Dispute Resolution (EDR) secara umum Environmental Dispute Resolution (EDR) dalam sengketa Lingkungan Hak Gugat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap

KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap KODE ETIK MEDIATOR Drs. H. HAMDAN, SH., MH. Pendahuluan. Terwujudnya keadilan yang cepat, sedarhana dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap pencari keadilan dimanapun. Undang-Undang Nomor 48 Tahun

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon

Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon UPAYA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SECARA BIPARTIT, MEDIASI DAN KONSILIASI, SEBUAH KAJIAN YURIDIS Oleh: Marhendi, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Untag Cirebon ABSTRAK Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II. DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA Bagian I PERATURAN MEDIASI KLRCA Bagian II SKEMA Bagian III UU MEDIASI 2012 Bagian IV PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA 2 Pusat untuk Arbitrase Regional Kuala Lumpur Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal

BAB I PENDAHULUAN. saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal balik, bukan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas

BAB I PENDAHULUAN. tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hampir setiap hari surat kabar maupun media lainnya memberitakan tentang kecelakaan lalu lintas, bahkan pemberitaan tentang kecelakaan lalu lintas selalu menjadi bahan

Lebih terperinci