DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN"

Transkripsi

1 7 DISAIN TEKNIS REHABILITASI LAHAN Technical Design for Land Rehabilitation I. LATAR BELAKANG L Sufardi Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Syamaun A. Ali, dan Khairullah Program Studi Ilmu Tanah,Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Sugianto Program Studi Konservasi Sumberdaya Lahan, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah yang kaya dengan bahan organik. Berbeda dengan tanah mineral, tanah gambut mempunyai kandungan C-organik > 18% yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karena itu, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa (swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0-5,4 ton CO 2 ha -1 tahun -1 (Agus et al., 2011). 229

2 230 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Apabila hutan gambut ditebang dan lahan dilakukan pengeringan yang berlebihan melalui pembuatan sistem drainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan mudah teroksidasi menjadi gas CO 2 yang dianggap sebagai salah satu gas rumah kaca (GRK) dan mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka (Wosten et al., 1997; WWF, 2008, Hairiah et al., 2011). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengkonversi hutan rawa bergambut menjadi areal pertanian lahan kering. Perencanaan harus mengacu pada hasil studi yang mendalam mengenai karakteristik gambut setempat dan dampaknya bila hutan gambut dikonversi (Widjaja-Adhi et al., 1992). Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem hidrologi ekosistem hilir suatu DAS karena mampu menyerap air sampai beberapa kali lipat dari bobotnya (Riwandi, 2003; Stevenson, 2004) dan juga merupakan penyimpan cadangan karbon yang sangat besar, baik di atas maupun di bawah permukaan tanah (Wahyunto et al., 2005). Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut (Galbraith et al., 2005). Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO 2 menjadi sangat tinggi (Hooijer et al., 2006; Handayani, 2009). Terlepas dari berbagai kendala yang ada pada lahan gambut, di Indonesia ternyata pemanfaatan lahan ini untuk areal pertanian khususnya untuk perkebunan kelapa sawit telah banyak dilakukan seperti di Kalimantan, Riau, Sumatera Selatan, dan Aceh. Di Provinsi Aceh, salah satu wilayah ekosistem rawa bergambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan dan pertanian terdapat di areal Hutan Gambut Rawa Tripa (Tripa peat swamp forest = TPSF) yang berada Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Sebelum dikonversi menjadi lahan perkebunan dan penggunaan lainnya areal TPSF ini merupakan hutan rawa yang mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dan mengandung karbon yang cukup tinggi karena sebagian dari rawa ini terdapat bahan gambut yang banyak mengandung unsur karbon. Beberapa laporan menyebutkan bahwa kandungan C pada ekosistem hutan rawa gambut Tripa ini mencapai juta ton (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008). Selain sebagai tempat penyimpan karbon, jika di lihat dari sudut pandang agroekologi, hutan rawa ini disamping sebagai daerah penyangga dan tempat penyimpan air bagi masyarakat dan pengatur untuk iklim lokal juga terdapat aneka satwa yang unik dan dilindungi yaitu tempat hidup satwa liar Orang utan Sumatera yang sudah masuk dalam kategori langka (WWF, 2008). Namun dalam satu dekade terakhir ini, areal TPSF ini diperkirakan telah mengalami degradasi lahan/hutan seiring dengan meningkatnya aktifitas masyarakat/swasta untuk melakukan ekspansi lahan hutan menjadi areal pertanian. Konversi hutan ini akan terjadi perubahan pada pola penggunaan lahan yang memberikan implikasi luas pada perubahan tata lingkungan dan pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Berdasarkan permasalahan ini maka perlu dilakukan studi terhadap dinamika perubahan ekologis pada ekosistem TPSF untuk menentukan upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi agar dampak negatif akibat degradasi lahan dapat diminimalkan. LAPORAN UTAMA

3 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 231 II. TUJUAN DAN LINGKUP STUDI Studi ini bertujuan untuk melakukan : (1) Deskripsi dan analisis kondisi biofisik lahan di areal Hutan Rawa Gambut Tripa (Tripa Peat Swamp-Forest = TPSF) untuk mendukung pelaksanaan teknis budidaya hutan (silvikultur) dan perlakuan lainnya untuk rehabilitasi lahan (2) Analisis dan pemetaan tingkat degradasi lahan, tanaman, dan lingkungan di areal TPSF (3) Penyusunan rencana rehabilitasi lahan dan tanaman di areal TPSF. Ruang lingkup Disain Teknis Rehabiliatsi lahan adalah sebagai berikut : (1) Melakukan survai lapangan dan analisis laboratorium terhadap kondisi biofisik di areal TPSF yang meliputi : a. Analisis pola penutupan lahan dan identifikasi kondisi biofisik lahan. b. Identifikasi dan analisis penyebab dan tingkat degradasi lahan dan tanaman c. Menetapkan dan pemetaan areal untuk rencana rehabilitasi d. Identifikasi vegetasi lokal yang mungkin digunakan untuk rehabilitasi e. Identifikasi ancaman yang mungkin membahayakan upaya rehabilitasi. f. Menetapkan (analisis) biaya dan jadwal rencana pelaksanaan program rehabilitasi g. Membuat rancangan dan persiapan format monitoring dan evaluasi proses rehabilitasi. (2) Membuat deskripsi umum dan pemetaan tentang kondisi biofisik wilayah dan penutupan lahan dan tingkat degradasi lahan di areal TPSF. (3) Perancangan dan pendekatan teknis rehabilitasi Hutan Gambut Rawa Tipa (TPSF) Output kegiatan dari kajian ini adalah Rancangan/Disain Teknis Rehabilitasi Lahan di areal Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF). III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di areal yang menjadi ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh yang luasnya ,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan dan Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (Gambar 1). Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai Maret - Agustus C. Bahan dan Peralatan Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan studi ini antara lain : a. Peta-peta dasar berupa peta administrasi wilayah yang menunjukkan areal ekosistem Hutan rawa gambut Tripa sekala 1: , peta jenis tanah, peta citra landsat, peta geologi, dan peta hidrologi. b. Bahan kimia untuk uji sampel di lapangan yang meliputi larutan akuades, 0,5 N HCl, larutan Hidrogen perokasida (H 2 O 2 ) 10 dan 30%, dan bahan kimia lainnya untuk analisis sampel tanah, air, dan tanaman di laboratorium. Peralatan yang digunakan di dalam kegiatan studi ini meliputi peralatan lapangan dan peralatan laboratorium. Peralatan lapangan antara lain bor tanah, bor gambut, ring sampel, kantong sampel, soil test kits, ph meter (ph tancap), Buku Warna Tanah Munsell, altimeter, kompas, GPS, parang, pisau, cangkul, sekop, meteran, kemah, kamera, sepatu boat, mantel hujan, kantong sampel, dan alat-tulis menulis. Peralatan laboratorium yang akan digunakan untuk analisis sampel tanah, air, dan tanaman antara Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

4 232 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST lain: ph meter, EC-meter, Spektrofotometer, oven, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), dan lain-lain sesuai kebutuhan analisis. Gambar 1. Peta Lokasi Areal Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) D. Metode Penelitian Studi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu melalui kegiatan survai dan pengamatan lapangan serta analisis laboratorium. Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan parameter utama yaitu berupa kondisi biofisik wilayah dan data ekologis yang diperoleh dengan pengukuran lapangan dan analisis laboratorium, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang berkaitan dengan kondisi iklim, hidrologi, dan sosial ekonomi budaya (sosekbud) masyarakat di dalam dan di luar Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) yang diperlukan untuk analisis dan penyusunan program rehabilitasi lahan. Adapun parameter biofisik yang dibutuhkan dalam studi ini meliputi : a. Data iklim berupa tipe iklim, curah hujan selama 10 tahun tahun terakhir. b. Data hidrologi yang menggambarkan frekuensi banjir dan genangan, ketinggian muka air, kualitas air, dan pola drainase. c. Keadaan dan pola penutupan lahan /hutan beserta jenis-jenis tanaman silvikultur, kerapatan tanaman, serta satuan-satuan penggunaan lahan. d. Bentuk wilayah (kelerengan), dan peta jenis tanah serta penampang profil tanah (morfologi) dan ketebalan gambut. e. Karakteristik sifat-sifat fisika tanah/gambut seperti tekstur tanah, struktur, warna, konsistensi, kematangan gambut, kadar air gambut/tanah, Bobot isi, permeabilitas, porositas dan distribusi pori, dan daya pegang air. f. Sifat-sifat kimia tanah seperti ph (dalam H 2 O, KCl, dan H 2 O 2 ), C-organik, N-total, P- tersedia, kadar Ca-, Mg-, K-, dan Na-dapat ditukar, KTK, DHL (daya hantar listrik), dan potensi bahaya pirit. LAPORAN UTAMA

5 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 233 g. Data kandungan karbon (C) dari vegetasi dan emisi karbon dioksida serta kadar abu. h. Kualitas air seperti ph air, TDS (total dissolved sediment) DHL (daya hantar listrik), dan lain-lain melalui kajian hidrologi. i. Keanekaragaman hayati (data pendukung) yang meliputi jenis tanaman hutan rawa yang ada di areal TPSF (hasil kajian biodiversitas). j. Keadaan sosial ekonomi dan budaya yang dibutuhkan sebagai data pendukung studi untuk penyusunan teknis rencana rehabilitasi lahan dan tanaman di areal TPSF. E. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan studi dibagi atas beberapa tahapan, yaitu persiapan, pra-survai, survai/pengamatan lapangan, analisis laboratorium, dan penyusunan laporan /dokumen studi. Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang keahlian. Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan. Survai lapangan Tahap awal (pra-survai) survai lapangan adalah melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi TPSF untuk orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian tentang rencana titiktitik pengamatan lapangan dan prediksi jumlah sampel dan/atau responden saat pelaksanaan survai utama. Kegiatan Pra-survai ini dilaksanakan selama 5 hari yaitu mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mei Survai utama dilaksanakan untuk mengamati secara langsung di lapangan sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Survai lapangan dilakukan untuk melakukan pengamatan dan pengukuran terhadap kondisi biofisik wilayah TPSF (data primer) dan pengumpulan data primer dan sekunder tentang keadaan sosekbud setempat yang dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai kajian lainnya. Survai utama ini dilaksanakan pada Mei hingga Agustus Teknik Sampling Sesuai dengan rencana kerja survai utama, maka untuk pengambilan sampel tanah dan gambut dilaksanakan dengan menggunakan metode sampling landform system (berdasarkan satuan lahan) yang dibentuk berdasarkan overlapping peta penutupan lahan (existing), peta jenis tanah dan peta fisiografi (landform) dengan skala pemetaan 1: Namun karena areal TPSF ini memiliki topografi seragam yaitu datar dan ketebalan gambut yang berbeda, maka penentuan dan pengambilan sampel tanah/pengeboran dilakukan dengan menggunakan sistem grid dengan intensitas sampling 1 titik untuk luas areal 500 ha. Sebanyak 42 titik pengeboran/sampling telah ditetapkan sebagai lokasi pengamatan. Satuan lahan defenitif dibedakan berdasarkan hasil pemetaan jenis tanah, ketebalan gambut, dan jenis penutupan lahan serta kondisi hidrologis setempat. Untuk mengetahui perubahan karakteristik gambut, maka dilakukan pengamatan dan pengambilan sampel tanah/gambut pada berberapa tipe penggunaan lahan yang meliputi areal hutan rawa gambut, perkebunan kelapa sawit usia tanam < 3, 3-9 dan > 10 tahun dan pada kebun campuran usia < 9 tahun dan > 10 tahun. Analisis Laboratorium Analisis laboratorium dilakukan terhadap sampel-sampel tanah/gambut, air, dan tanaman yang diambil pada titik-titik pengamatan lapangan. Metode analisis warna Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

6 234 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST tanah gambut dengan munsel soil chart, ketebalan gambut (cm) dan kedalaman air tanah (cm) dengan pengeboran langsung di lapangan, kematangan/komposisi gambut dengan metode cepat di lapangan (McKinzie). Pengukuran kadar air (%) dengan metode gravimetri, ph H 2 O, H 2 O 2 dan KCl (1:2,5 dan 1:5) dengan ph-meter, C-organik (%) dengan metode Walkley and Black/metode gravimetrik dan kadar abu (%) dengan metode gravimetrik. Penentuan kadar pirit dalam gambut dilakukan dengan menggunakan bahan uji peroksida (H 2 O 2 ) 30% yang diukur pada lapisan profil tanah gambut kedalaman 0-20 cm, dan pada kedalaman cm. Jika hasil pengukuran ph H 2 O 2 30% pada lapisan tanah > 60 cm menunjukkan ph < 3,5, maka tanah gambut tersebut memiliki lapisan pirit (Mansur, 2001). Karakteristik biofisik lahan gambut dianalisis secara deskriptif dan untuk melihat perubahan sifat-sifat morfologi profil dan perubahan massa bahan gambut pada berbagai tipe penggunaan lahan. Untuk lebih jelas, jenis parameter dan metode yang digunakan untuk analisis laboratorium disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Parameter Analisis Tanah/gambut dan Metode Analisisnya Sifat-sifat yang dianalisis Metode Analisis Alat yang digunakan A. Sifat-sifat Kimia Tanah : ph H 2 O (1:5) Elektrometrik ph meter ph KCl (1:5) Elektrometrik ph meter ph H 2 O 2 (1:5) Elektrometrik ph meter Salinitas/DHL Elektrometrik EC-meter C-organik (%) Pengabuan kering & Walkley & Black Moven/Unit destruksi N-total (%) Kjeldahl N destiller, Titrasi P tersedia (mg kg -1 ) Bray 1 Spektrofotometer Ca-dd. (cmol kg -1 ) Ektraksi 1N NH 4 OAc ph7 AAS/Titrasi Mg-dd. (cmol kg -1 ) Ektraksi 1N NH 4 OAc ph7 AAS/Titrasi K-dd. (cmol kg -1 ) Ektraksi 1N NH 4 OAc ph7 FES Na-dd. (cmol kg -1 ) Ektraksi 1N NH 4 OAc ph7 FES KTK (cmol kg -1 ) Ektraksi 1N NH 4 OAc ph7 Destilasi/Titrasi Kejenuhan basa (KB), % Perhitungan B. Sifat-sifat Fisika Tanah : Tekstur 3 fraksi (%) Penyaringan & pipet Filtrasi/shaker BV (bulk density) (Mg m -3 ) Volumetrik Ring sampler Porositas (%) Pressure Apparatus/Kurfa pf Gravimetrik Permeabilitas (cm jam -1 ) Gravimetrik Permeameter Kadar Air Tanah (%) Gravimetrik Oven Sumber : Laboratorium Penelitian Tanah dan Tanaman Unsyiah (2013) G. Analisis Data dan Pemetaan Data yang dikumpulkan di lapangan melalui pengamatan, analisis laboratorium, wawancara responden, dan pengumpulan data sekunder selanjutnya digunakan untuk analisis sebagai berikut : a. Mendeskripsikan kondisi biofisik dan jenis tanah, dan pola pemanfaatan ruang b. Pemetaan ketebalan dan tingkat perkembangan gambut serta penetapan satuan peta lahan (SPL) LAPORAN UTAMA

7 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 235 c. Evaluasi sistem hidrologi, kualitas air dan ancaman banjir, serta kebakaran lahan d. Evaluasi kandungan karbon dari biomassa vegetasi pada permukaan tanah pada biomassa organik tanah (gambut) dan estimasi emisi CO 2. e. Penilaian Kelas Kemampuan Lahan menurut prosedur USDA, f. Penilaian Kesesuaian lahan/tanaman untuk berbagai tipe penggunaan lahan khususnya untuk beberapa tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao, kopi robusta, dan kemiri), tanaman semusim, dan tanaman kehutanan/rawa. Penilaian kesesuaian lahan dilakukan dengan menggunakan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian Sumberdaya Lahan Pertanian Tahun g. Evaluasi dan pemetaan degradasi lahan/gambut, hutan/vegetasi dan lingkungan /ekologi dilakukan dengan membandingkan perubahan sifat-sifat tanah/gambut dari berbagai jenis tanah dan tipe penggunaan lahan dan dengan melihat laju degradasi hutan dan perubahan kualitas lahan di wilayah studi. h. Penyusunan program dan rencana aksi rehabilitasi lahan serta sistem monitoring dan evaluasi kegiatan rehabilitasi. Penyusunan rekomendasi dan arahan rehabilitasi dan konservasi ekosistem TPSF didasarkan pada pedoman dan ketentuan yang berlaku dalam tata ruang wilayah dan tata ruang lahan perkebunan yaitu (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (2) Keppres. No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Ekosistem Lindung, (3) Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (4) Permentan No 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. (4) Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. i. Analisis kebutuhan biaya untuk program rehabilitasi lahan/tanaman. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Tanah Hasil pengamatan profil tanah, ternyata dalam areal ekosistem Rawa Tripa bukan hanya jenis tanah gambut yang dijumpai di sana, akan tetapi juga tersebar jenis tanah lain seperti yang disajikan pada Tabel 2. sedangkan peta sebaran jenis tanah di ekosistem Hutan rawa gambut Tripa dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Peta Sebaran Jenis Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

8 236 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Ordo Histosol Tanah ordo histosol yang tersebar dalam areal TPSF dapat dibedakan atas tiga great group, yaitu Typic Haplofibrist, Typic Haplohemist, dan Typic Haplosaprist, yang masing masing setara dengan organosol fibrik, organosol hemik dan organosol saprik pada sistem Klasifikasi Tanah Nasional Indonesia Tabel 2. Sebaran Jenis Tanah di Ekosistem Rawa Tripa (TPSF) No Siatem Klassifikasi Tanah Luas Soil Taxanomi USDA SN (2011) Ordo Great Group (ha) (%) 1 Histosol Typic Haplofibrist Organosol Fibrik 4.930,97 8,13 Typic Haplohemist Organosol Hemik 3.679,24 6,07 Typic Haplosaprist Organosol Saprik ,87 42,77 2 Entisol Typic Tropopluvent Alluvial Eutrik ,58 25,88 Typic Tropaquent Alluvial Gleik 3.759,97 6,20 3 Inceptisol Typic Distropepts Alluvial Distrik 6.647,66 10,96 Jumlah ,29 100,00 Sumber: Hasil pengamatan lapangan dan identifikasi profil tanah (2013) a. Typic Haplofibrist Great group tanah menurut sistem klassifikasi USDA(2010) ini setara dengan jenis tanah organosol fibrik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun Ciri utama tanah ini adalah terdapat lapisan gambut pada lapisan permukaan dengan ketebalan yang lebih dari 50 cm dengan tingkat kematangan fibrik, yakni kebanyakan bahan organiknya masih berupa jaringan tanaman yang masih utuh dan masih dikenal bahan asalnya. Drainase permukaan sangat terhambat, erosi tidak ada, ancaman banjir tidak pernah dan fraksi batuan tidak ada, ph lapangan 5,8. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit. b. Typic Haplohemist Sama seperti tanah dalam great group Typic Haplofibrist, tanah yang setara dengan jenis organosol hemik ini juga berbahan gambut di lapisan permukaan hingga kedalaman 50 cm, hanya saja bahan gambut pada tanah ini kematangannya baru pada tingkat hemik, yakni bahan sudah melapuk, tetapi masih banyak bahan yang masih dikenal jaringan asalnya. Pada tanah ini drainase permukaan juga sangat terhambat, erosi tidak ada, ancaman banjir tidak pernah dan fraksi batuan tidak ada, ph lapangan 5,2. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit. c. Typic Haplosaprist. Tanah dalam great group ini setara dengan jenis organosol saprik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun Cirinya sama dengan great group lainnya dalan ordo Histosol, hanya saja kematangan bahan gambutnya pada tanah ini sudah sangat matang atau telah mencapai pada tingkat saprik atau telah melapuk sempurna dan tidak nyata lagi komponen bahan asalnya. Pada tanah ini juga terlihat bahwa LAPORAN UTAMA

9 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 237 drainase permukaan sangat terhambat, erosi tidak ada, fraksi batuan tidak ada, ph lapangan 4,0. Warna Tanah 10 YR 2/3. Bahan mineral pada lapisan di bawah bahan gambut berupa pasir halus, dan tidak ada gejala akumulasi bahan pirit. Ordo Entisol Ordo tanah ke dua yang tersebar dalam ekosistem Rawa Tripa adalah entisol, yakni tanah tanah muda yang belum berkembang dan belum mengalami diferensiasi horizon. Ada dua great group dari ordo entisol yang ditemukan dalam wilayah studi, yaitu Typic Tropopluvent dan Typic Tropaquent. a. Typic Tropopluvent Tanah ini setara dengan jenis Alluvial Eutrik pada sistem klassifikasi tanah Nasional Indonesia Pada hakekatnya tanah ini berasal dari ordo histosol yang telah mengalami pengayaan bahan mineral dari endapan sungai yang sering meluap ke dalam areal ini, sehingga profil tanahnya telah memperlihatkan pelapisan antara bahan organik di lapisan bawahan dan bahan mineral di lapisan atasnya. Pada Kedalaman 0-20 cm merupakan lapisan mineral warna Tanah 10 YR 4/3 (Yellowish Brown) tekstur lapang lempung berdebu dengan konsistensi agak lekat Pada kedalaman cm merupakan lapisan mineral dengan tekstur lapang liat berat dan licin dominan liat berdebu, konsistensi lekat warna tanah 10 YR 5/3 (Yellowish Brown). Pada kedalaman cm merupakan lapisan gambut kembali dengan serat yang masih kasar terdiri dari kayu dan perakaran yang belum melapuk warna tanah 10 YR 2/2 (Brownish Black). Pada kedalaman 220 merupakan lapisan mineral kembali dengan tekstur dominan fraksi pasir. b. Typic Tropaquent Tanah setara dengan Alluvial gleik pada Sistem Klassifikasi Nasional Indonesia Tahun Ciri utamanya adalah tanah mineral yang terendam air sepanjang tahun dengan profil yang bercirikan hidromorfik, atau perkembangan profil yang sangat sedikit akibat kedalaman air tanah yang sangat dangkal dan bersifat fluktuatif sepanjang tahun. Tanah bersolum sangat dalam (90 cm), akan tetaoi kedalaman efektif sangat dangkal akibat dangkalnya air tanah, atau bahkan terendam sepanjang tahun. Tekstur tanah lapisan atas berpasir dan semakin halus dengan kedalaman. ph tanah lapang 5,4, bebas batuan permukaan dengan perakaran yang sedikit mulai dari lapisan permukaan sampai lapisan bawah. Ordo Inseptisol Dalam ekosistem Rawa Tripa hanya satu great group dari ordo ini yang ditemukan, yaitu Typic Distropepts yang setara dengan Alluvial Distrik pada Sistem Klassifikasi Tanah Nasional Indonesia Tahun Ciri utama tanahnya adalah lapisan permukaan tertutup bahan organik dengan ketebalan kurang dari 40 cm, lapisan pada kedalaman > 40 cm berupa bahan mineral dengan kejenuhan basa rendah, tekstur liat berdebu, warna 4,5 YR 2/1, perakaran halus banyak hingga kedalaman 50 cm, dan kasar sedikit hingga kedalaman 50 cm. Solum tanah ini cukup dalam, namun kedalaman efektif dangkal (50 cm), karena kedalaman air tanahnya yang sangat dangkal. B. Pemetaan Ketebalan Gambut Pengukuran ketebalan bahan gambut dalam areal ekosistem Rawa Tripa dilakukan dengan menggunakan bor khusus yang terbuat dari pipa besi ukuran 0,5 inchi yang Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

10 238 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST diukur dari permukaan tahah (gambut) hingga kedalaman dimana ditemukan lapisan bahan mineral di bawah lapisan gambut. Hasil pengukuran kedalaman gambut pada titik-titik pengamatan dalam wilayah ekosistem Rawa Tripa disajikan pada Gambar 3, sedangkan pemetaan ketebalannya disajikan pada Gambar 4. Hasil pemetaan ketebalan gambut di areal TPSF (Tabel 3.) memperlihatkan bahwa lahan di TPSF dapat dibagi atas empat kategori yaitu lahan yang terdiri atas tanah mineral (gambut tercampur bahan mineral) seluas ,20 ha, lahan dengan gambut kurang dari 200 cm seluas 2.844,46 ha, lahan dengan ketebalan gambut antara cm seluas ,22 ha, dan lahan dengan gambut lebih dari 300 cm seluas ,22 ha. Gambar 3. Pemetaan Titik Sampling dan Pengeboran Tanah di Areal TPSF Gambar 4. Pemetaan Ketebalan Gambut di Areal TPSF LAPORAN UTAMA

11 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 239 Tabel 3. Kedalaman Bahan Gambut dalam Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa No Kedalaman Bahan Gambut (cm) Luas Areal (ha) (%) 1 Kurang 50 cm ,20 43, ,46 4, ,22 32,00 4 > ,22 20,27 Jumlah ,29 100,00 Sumber: Hasil survai lapangan (diolah) tahun 2013 Dari hasil pengamatan dan pengukuran ketebalan bahan gambut, ternyata dalam ekosistem Rawa Tripa tidak seluruh arealnya berupa tanah gambut. Akan tetapi hanya sebagian saja yang berupa tanah gambut, sedangkan sebagian lainnya sudah berupa asosiasi dengan bahan mineral hasil pengendapan dari sedimen yang berasal dari luapan beberapa sungai yang ada dalam wilayah tersebut. Sebagian lainya memang berupa tanah mineral dari proses alluviasi yang menghasilkan tahan tanah Alluvial. Mengacu pada hasil pengukuran kedalaman bahan gambut, maka dapat dinyatakan bahwa dalam ekosistem Rawa Tripa terdapat sekitar 20,27% (12.296,22 ha) lahan yang tidak layak dijadikan sebagai areal usaha pertanian, karena ketebalan bahan gambutnya lebih dari 3 m, sedangkan 79,73 % (48.361,07 ha) lahannya sangat layak dijadikan sebagai lahan usaha pertanian, dan 24 % di antara lahan ini dapat dijadikan sebagai areal budidaya pertanian, namun pertumbuhan dan hasil tanaman yang diusahakan dapat terhambat bila tidak dibarengi dengan upaya pengelolaan yang memadai. Hasil pengamatan dan analisis laboratorium pada setiap titik sampling juga menunjukkan bahwa lahan gambut yang ada di ekosistem Rawa Tripa memiliki tingkat kematangan yang bervariasi. Umumnya gambut tersebut telah terjadi perubahan sehingga sebagian besar mempunyai tingkat kematangan saprik. Tabel 4 memperlihatkan bahwa gambut dengan tingkat kematangan hemik-saprik (kematangan sedang hingga kematangan tinggi) lebih dominan dibandingkan dengan gambut muda (fibrik). Gambut fibrik umumnya tedapat pada lahan yang masih terdapat vegetasi hutan atau lahan yang baru dibuka. Tabel 4. Pemetaaan Tingkat Kematangan Gambut dalam Areal Ekosistem TPSF No Kedalaman Bahan Gambut (cm) Luas Areal (ha) (%) 1 Gambut Campuran tanah mineral ,20 43,04 2 Hemik-Saprik , Febrik 5.372,79 8,86 Jumlah ,29 100,00 Sumber: Hasil survai lapangan (diolah) tahun 2013 Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kematangan gambut di lokasi studi cukup baik. Kematangan ini tejadi akibat perkembangan gambut yang telah mengalami dekomposisi aerobic akibat pengeringan lahan. Adapun sebaran wilayah berdasarkan perbedaan tingkat kematangan gambut disajikan pada Peta Gambar 5. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

12 240 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Gambar 5. Peta Tingkat Kematangan Gambut di Areal TPSF C. Satuan Pemetaan Lahan (SPL) Satuan pemetaan lahan pada lokasi studi Hutan rawa gambut Tripa (TPSF = Tripa Peat Swampt Flores) dibuat berdasarkan hasil tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta dasar seperti peta lereng/topografi, peta rupa bumi/peta penggunaan lahan, peta jenis tanah/peta tanah tinjau, dan peta geologi/landform. Karakteristik lahan pada setiap satuan peta disajikan pada Tabel 5 sedangkan sebaran wilayah berdasarkan satuan peta lahan dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan hasil tumpang tindih peta tersebut, maka wilayah studi ternyata hanya terdapat 4 (empat) satuan lahan yang terbentuk hanya dari empat pola penggunaan lahan, yaitu : hutan rawa, kebun campuran (kebun sawit dan tanaman lahan kering), kebun sawit (lahan perkebunan), dan lahan terbuka/alang-alang. Informasi dasar ini selanjutnya setelah dilakukan observasi dan ground check ke lapangan akan dibuat peta detail tentang sebaran litologi/bahan induk (peta litologi), jenis tanah, ketebalan dan kematangan gambut, tipe penggunaan lahan (land utilization types), dan peta satuan lahan. Berdasarkan hasil pengamatan profil tanah/gambut dan karakteristik lahan seperti ketebalan gambut, tingkat kematangan gambut, drainase di lapangan serta analisis sifat-sifat fisika dan kimia tanah di laboratorium, maka wilayah studi dapat dibagi atas 16 satuan lahan. Tabel 5 memperlihatkan bahwa wilayah studi Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa memiliki karakteristik lahan yang cukup beragam setelah dilakukan pengukuran dan pengamatan di lapangan. Perbedaan satuan lahan tersebut terjadi karena adanya variasi terhadap jenis tanah, ketebalan gambut dan tingkat kematangan gambut serta sifat-sifat fisika dan kimia tanah/gambut yang diambil pada beberapa titik dan lapisan tanah/gambut. Secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah studi terbentuk atas dua formasi litologi yaitu bahan alluvial dan bahan organik sehingga membentuk dua jenis tanah utama yaitu tanah mineral dan tanah organik (gambut). Kedua asal bahan ini di dalam ekosistem rawa gambut ini ternyata bisa terjadi saling mempengaruhi sehingga menghasikan jenis tanah yang bervariasi walaupun tipologi lahan seragam yaitu rawa. LAPORAN UTAMA

13 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 241 No SPL Simbol SPL Tabel 5. Karakteristik Lahan pada Setiap Satuan Peta (SPL) di lokasi studi Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) Litologi 1 1AAd1 Endapan Aluvial (A) 2 1AAe1 Endapan Aluvial (A) 3 1AAg1 Endapan Aluvial (A) 4 2GHf1 Bahan Organik /Gambut 5 2GHf2 Bahan Organik /Gambut 6 2GHh1 Bahan Organik /Gambut 7 2GHh2 Bahan Organik /Gambut 8 2GHs1 Bahan Organik /Gambut 9 2GHs2 Bahan Organik /Gambut 10 2GHs3 Bahan Organik /Gambut 11 2GHs4 Bahan Organik /Gambut 12 2GHs5 Bahan Organik /Gambut 13 2GHs6 Bahan Organik /Gambut 14 1AAg2 Endapan Aluvial (A) 15 1AAd2 Endapan Aluvial (A) 16 2GHs9 Bahan Organik /Gambut Macam/JenisTanah (SNI/USDA) Ketebalan Gambut Non gambut Non gambut Non gambut Pemanfaatan Lahan Luar Areal (ha) (%) Aluvial Distrik (Typic Dystropepts) Kebun Campuran 4.415,01 7,28 Aluvial Eutrik Kebun ,28 25,78 (Typic Tropofluvent) campuran Aluvial Gleik Hutan 2.478,50 4,09 (Typic Tropaquent) Organosol Fibrik > 3 m Hutan 2.916,00 4,81 (Typic Haplofibrist) Organosol Fibrik 2-3 m Hutan 1.925,28 3,17 (Typic Haplofibrist) Organosol Hemik > 3 m Hutan 2,566,59 4,23 (Typic Haplohemiist) Organosol Hemik 2-3 m Kebun Kelapa 1.122,78 1,85 (Typic Haplohemiist) Sawit Organosol Saprik 2-3 m Kebun 7.663,92 12,63 (Typic Haplosaprist) Campuran Organosol Saprik > 3 m Kebun Kelapa 6.034,74 9,95 (Typic Haplosaprist) Sawit Organosol Saprik 2-3 m Kebun 3.488,20 5,75 (Typic Haplosaprist) Campuran Organosol Saprik < 2 m Kebun Kelapa 2.844,37 4,69 (Typic Haplosaprist) Sawit Organosol Saprik > 3 m Hutan 779,18 1,28 (Typic Haplosaprist) Organosol Saprik 2-3 m Kebun Kelapa 2.028,91 3,24 (Typic Haplosaprist) Sawit Aluvial Gleik Non Kebun 1.368,24 2,26 (Typic Tropaquent) Gambut Campuran Aluvial Distrik Non Kebun Kelapa 2.204,67 3,63 (Typic Dystropepts) Gambut Sawit Organosol Saprik 2-3 m Kebun Kelapa 1.183,61 5,25 (Typic Haplosaprist) Sawit Jumlah ,29 100,00 Sumber : Hasil Pengamatan Lapangan dan Analisis Peta (2013) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa tanah dari bahan Aluvial ini membentuk tiga macam/jenis tanah yaitu Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent), Aluvial Distrik (Typic Dystropepts), dan Aluvial Gleik (Typic Tropaquent). Dengan demikian maka berdasarkan jenis tanah tersebut, maka menurut Taksonomi Tanah USDA (2008), di areal ini terdapat tiga ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol dan Histosol. Tabel 6 memperlihatkan bahwa kualitas tanah di ekosistem TPSF berdasarkan parameter kesuburan tanah ternyata secara umum baik sampai sangat baik dengan tingkat kesuburan tanah sedang hingga sangat tinggi. Indikator yang menggambarkan kesuburan tanah dapat dilihat dari kandungan C organik, KTK dan kejenuhan basa. Ketiga parameter kimia tersebut menunjukkan nilai yang bervariasi dari rendah hingga sangat tinggi sehingga tingkat kesuburan tanah secara umum bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jika di lihat dari aspek tanah, maka lahan gambut ini jika dikelola secara bijaksana dan tepat akan sangat berpotensi untuk pertanian. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

14 242 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Gambar 6. Peta Satuan Lahan di Areal TPSF Tabel 6. Karakteristik Tanah pada setiap Satuan Peta (SPL) di lokasi Studi Hutan Rawa Gambut Tripa No SPL Macam/JenisTanah (SNI/USDA) 2 Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent) 1 dan 15 3 dan 14 4 dan 5 Aluvial Distrik (Typic Dystropepts) Aluvial Gleik (Typic Tropaquent) Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist) Deskripsi/Sifat dan Ciri Tanah Tanah mineral yang terbentuk dari bahan aluvial sungai yang telah bercampur dengan biomassa organic tanah dengan tekstur agak halus, ph 5,6-6,12 (agak asam), kejenuhan > 50 % dan berdrainase agak terhambat. BV tanah ,12. KTK > 35 cmol kg -1. Tanah mineral yang terbentuk dari sedimen halus, bertekstur halus hingga agak kasar, ph 5,23-5,76 (asam), kejenuhan pada cm dari permukaan < 50 % dan berdrainase baik hingga agak terhambat. BV tanah ,12. KTK > 35 cmol kg -1 Tanah mineral yang terbentuk dari endapan laut dan sungai dalam kondisi tergenang lama, bertekstur halus hingga agak kasar, ph 5,0-5,5 (asam), dan berwarna kelabu pada kedalaman cm. BV tanah ,02. KTK > 35 cmol kg -1 Gambut muda berbahan fibrik, serat kasar > 75 % pada kedalaman < 80 cm, BV 0,24-0,43, dan terbentuk di atas tanah mineral pada keda-laman 2 - >5 m, ph 4,5-5,5 serta memliki drainase terhambat. Luar Areal (ha) (%) ,25 25, ,68 10, ,74 6, ,18 7,98 LAPORAN UTAMA

15 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 243 Tabel 6. (Lanjutan) 6 dan 7 Organosol Hemik (Typic Haplohemiist) 8, 9, Organosol Saprik 10, 11, (Typic 12, 13, Haplosaprist) 16 Sumber : Interpretasi Hasil Analisis Tanah (2013) Tanah gambut dengan tingkat kematangan sedang (hemik), serat kasar % pada lapisan < 80 cm, BV 0,46-0,68, terbentuk di atas tanah mineral pada kedalaman 3-5 m, ph 4,8-5,5 serta berdrainase terhambat. KTK > 35 cmol kg ,37 6,08 Tanah gambut matang (saprik), serat kasar < ,94 42,90 % pada lapisan < 80 cm, terjadi konsolidasi, BV 0,65-0,89, berlumpur halus, hitam pekat, berada di atas tanah mineral sedalam 1 hingga > 3 m, ph 5,2-5,8 serta berdrainase terhambat. KTK > 35 cmol kg -1. Jumlah ,29 100,0 Hasil pengamatan di lapangan juga terlihat bahwa ada beberapa lahan gambut yang telah dijadikan lahan perkebunan sawit dan pertanian lahan kering, ternyata pertumbuhan tanaman sangat baik. Hal ini dapat mudah dilihat terutama pada lahanlahan yang dikelola dengan baik. Namun, di sisi lain ada juga aspek negatif yang ditimbulkan dengan konversi lahan ini yaitu terjadinya degradasi tanah dan kualitas lingkungan. Berdasarkan Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa secara umum kualitas lahan di areal TPSF bervariasi antara jenis tanah terutama antara tanah gambut (Histosol) dengan tanah gambut yang telah mengalami perubahan menjadi tanah alluvial (Entisol dan Inceptisol). Persoalan utamanya adalah ph tanah yang rendah (masam) kejenuhan basa yang sangat rendah hingga rendah (kecuali pada tanah Aluvial), dan BV tanah yang rendah serta drainase permukaan yang buruk. Kapasitas tukar kation tanah umumnya sangat tinggi namun jumlah kation basa sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai KTK tidak mencerminkan ketersediaan hara kation yang tinggi pada tanah gambut ini. Informasi kualitas sifat-sifat tanah selanjutnya akan dibahas lebih detail pada kajian aspek-aspek degradasi lahan/tanah. Adapun sifat-sifat kimia tanah pada setiap satuan lahan disajikan dalam Lampiran 1. D. Penilaian Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen-komponen lahan yang secara sistematis dan pengelompokannya ke dalam berbagai kategori berdasar sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan (Arsyad, 2009). Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakantindakan pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

16 244 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Klasifikasi kemampuan lahan untuk ekosistem Hutan rawa gambut Tripa dilakukan dengan menggunakan pedoman yang dikembangkan oleh Klingebel dan Montgomery (1961), seperti yang tertuang dalam USDA Agriculture Handbook (1982). Sistem klasifikasi ini mengelompokkan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan. Kelas kemampuan lahan terdiri atas 8 (delapan) kelas yaitu I sampai dengan VIII yang didasarkan kepada kriteria/faktor pembatas lahan. Ringkasan terhadap hasil penilaian kemampuan lahan di areal Hutan rawa gambut Tripa disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Penilaian Kelas Kemampuan Lahan di Areal TPSF dan Faktor Penghambat Penggunaan Lahan pada setiap Satuan Lahan Kelas/Subkelas No SPL Luas Areal Faktor Penghambat lahan ha % III-O 2 1, 3, 15 Ancaman genangan/banjir 9.098,19 15,00 IV-O 3 2,8,9,10, Ancaman genangan/banjir ,44 70,94 11,12, 13, 14, 16 VII-P 4 6, 7 Permeabilitas 3.689,38 6,08 VIII-P 5, Fb 4, 5 Permeabilitas, kematangan gambut 4.841,29 7,98 Total ,29 100,00 Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013) Hasil penilaian kemampuan lahan pada setiap satuan peta lahan memperlihatkan bahwa areal Hutan rawa gambut Tripa dapat dibedakan atas 4 (empat) kelas kemampuan lahan, yaitu kelas III, IV, VII, dan VIII. Menurut kriteria penilaian kemampuan lahan, kelas yang sesuai untuk lahan pertanian adalah kelas I sampai IV (Arsyad, 2009). Berdasarkan hal ini, maka lahan yang layak diusahakan untuk pertanian terdapat pada SPL 1 sampai 3, kemudian SPL 8 sampai 16 dengan luas total areal adalah ,63 hektar atau sekitar 85,94 persen dari total luas ekosistem Rawa Tripa. Lahan dengan kelas VII dan VIII tidak layak untuk lahan usaha pertanian dan sebaiknya harus dilakukan konservasi. Hasil penilaian menunjukkan bahwa faktor pembatas lahan pada subkelas III-O 2 dan IV- O 2, adalah ancaman banjir/genangan. Hal ini terjadi karena areal yang termasuk ke dalam subkelas tersebut merupakan daerah datar dan depresi yang berada di antara 4 sungai utama. Akibatnya jika terjadi hujan, acapkali menggenangi wilayah ini (Kajian Hidrologi PIU SERT Unsyiah, 2013). Lahan dengan subkelas VII-P 4 dan VIII-P 5, Fb merupakan areal yang tidak layak untuk pertanian karena memiliki permeabilitas yang sangat cepat serta bergambut dengan tingkat kematangan fibrik atau mempunyai gambut yang belum matang. Lahan ini jika diusahakan untuk pertanian akan mudah terjadi subsiden dan harus dipertahankan menjadi ekosistem konservasi. Dengan demikian, lahan yang harus dipertahankan untuk areal konservasi berdasarkan pada penilaian kemampuan lahan adalah seluas 8.530,67 Hektar atau sekitar 14,01 persen dari luas ekosistem Rawa Tripa yang terdapat pada SPL 4, 5, 6, dan 7. Satuan lahan ini merupakan jenis tanah gambut atau Organosol Fibrik (Typic Haplofibrist) dan Organosol Hemik (Typic Haplohemist). Lahan yang dapat diarahkan menjadi areal konservasi ini berdasarkan hasil pengamatan dan pemetaan menunjukkan bahwa lahan ini ternyata masih berupa vegetasi hutan rawa dan hanya sebagian kecil yang telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit. Dari informasi ini maka LAPORAN UTAMA

17 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN 245 jika lahan ini dikembalikan menjadi areal konservasi, sangat memungkinkan karena masih berupa hutan. Adapun sebararan wilayah berdasarkan kelas kemampuan lahan lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Peta Kemampuan Lahan di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) E. Penilaian Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Agus et al., 2011). Untuk Areal TPSF ini analisis kesesuaian lahan dilakukan secara actual (saat ini) pada seluruh areal yang ada dalam ekosistem yang didasarkan pada sifat-sifat/karakteristik dari setiap satuan peta lahan (SPL). Tujuan dilakukan penilaian kesesuaian adalah untuk mengetahui seberapa jauh tingkat kecocokan lahan untuk beberapa tanaman budidaya yang telah dikembangkan atau yang memungkinkan untuk dikembangkan di ekosistem TPSF ini dengan mempertimbangkan sisi kelayakan ekonomi dan lingkungan. Saat ini sebagian besar areal dalam ekosistem Tripa ini telah digunakan sebagai areal perkebunan dengan penanaman kelapa sawit, dan tanaman lainnya, baik yang dilakukan oleh perusahaan HGU maupun oleh masyarakat walaupun ekosistem ini merupakan areal hutan rawa bergambut. Pengusahaan budidaya kelapa sawit dan tanaman pertanian lainnya berdasarkan ketentuan Menteri Pertanian (2009) masih dapat dilakukan di lahan gambut dengan memenuhi kriteria yang dapat menjamin kelestarian fungsi lahan gambut, yaitu: (a) diusahakan hanya pada lahan masyarakat dan ekosistem budidaya, (b) ketebalan lapisan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

18 246 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST gambut kurang dari 3 (tiga) meter, (c) substratum tanah mineral di bawah gambut bukan pasir kuarsa dan bukan tanah sulfat masam; (d) tingkat kematangan gambut saprik (matang) atau hemik, dan (e) tingkat kesuburan tanah gambut eutropik. Penilaian kesesuaian lahan di wilayah survai (TPSF) dilakukan untuk melihat kelayakan lahan saat ini untuk beberapa alternatif penggunaan, yaitu : (a) Lahan usaha eksisting yang digunakan oleh pemilik lahan yaitu untuk usaha perkebunan seperti Kelapa Sawit, Kakao, Karet, kemiri, dan Kopi serta tanaman pangan seperti jenis sayuran dan buah-buahan. (b) Penggunaan lahan untuk tanaman kehutanan seperti untuk tanaman jabon, sentang, jati, kayu hutan (meranti, medang, jelutung, dan lain-lain) sebagai tanaman alternatif yang perlu dikembangkan dalam mendukung usaha-usaha konservasi lahan dan tanaman/hutan. Penilaian lahan dilakukan dengan menggunakan petunjuk teknik evaluasi sumberdaya lahan yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian Tanah dan Sumberdaya Lahan Deptan (2011) dan menggunakan metode FAO/CSR (1976) dan pendekatan lainnya untuk beberapa tanaman kehutanan. Hasil penilaian dari setiap satuan lahan (SPL) selanjutnya wilayah survai dibagi kepada beberapa tipe penggunaan lahan saat ini, yaitu: (a) Hutan primer/hutan rawa, (b) Kebun campuran, (c) perkebunan kelapa sawit, dan (c) Lahan terbuka/alang-alang. 1. Kesesuaian Lahan untuk Perkebunan Hasil penilaian kesesuaian lahan menunjukkan bahwa di areal TPSF saat ini dapat dibagi kepada 3 (tiga) kelas kesesuaian lahan yaitu S2 (cukup sesuai), S3 (agak sesuai), dan N (tidak sesuai). Adapun subkelas kesesuaian lahan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan di areal TPSF dan pada setiap Satuan Lahan untuk Tanaman Perkebunan Luas Areal No Kelas/Subkelas No SPL Faktor Penghambat ha % lahan 1. S2-fh 2, 3, 14 Bahaya banjir ,00 32,12 2. S2-nr, fh 1, 15 Retensi hara, bahaya banjir 6.619,68 10,91 3. S3-rc 11 Retensi hara 2.844,37 4,69 4. N-oa, rc 4, 5 Ketersediaan oksigen, retensi 4.842,29 7,98 hara/ketebalan & kematangan gambut 5. N-rc 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16 Retensi hara/ketebalan gambut ,95 44,30 Total ,29 100,00 Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013) Walapun kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa hampir 80 persen ekosistem telah dikonversi menjadi lahan perkebunan atau lahan pertanian lainnya, namun hasil penilaian menunjukkan bahwa lahan yang sesuai untuk beberapa komoditi perkebunan terpilih seperti kelapa sawit, karet, kakao, kemiri, dan kopi robusta adalah sekitar hektar dengan subkelas kesesuaian S2-fh seluas ,00 ha, S2-nr, fh seluas 6.619,68 ha, dan S3-rc seluas 2.844,37 ha. Faktor pembatas pada subkelas antara lain retensi hara (ph tanah yang masam), ketersediaan hara yang rendah, dan drainase permukaan yang buruk serta bahaya banjir/genangan. Lahan yang sesuai ini terdapat pada SPL 1, 2, 3, 11, LAPORAN UTAMA

19 DISAIN TEKNIK REHABILITASI LAHAN , dan 15. Selebihnya atau ada sekitar hektar areal ternyata tidak sesuai untuk tanaman perkebunan dengan subkelas N-rc seluas 4.842,29 ha, dan N-oa, rc, seluas ,95 ha. Pembatas utama pada lahan adalah ketebalan gambut mencapai 2-3 meter dan sifat kimia tanah yang masam (ph < 5,5) serta ketersediaan oksigen yang terbatas akibat sering terjadi genangan dan drainase yang buruk /terhambat. Tabel 9. Kesesuaian Lahan Aktual untuk Tanaman Perkebunan pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan saat ini di areal TPSF No Penggunaan Lahan Luas Areal Subkelas Faktor Penghambat Saat ini ha % 1. Hutan primer N-rc Genangan, ketebalan gambut, ,45 20,53 /hutan rawa N-Oa, rc dan tingkat kematangan 2. Kebun campuran N-rc Retensi hara, genangan, ,15 50,02 S 3, rc S2-nr, fh S2-fh ketersediaan hara 3. Kebun Kelapa Sawit N-rc Ketebalan gambut, retensi ,58 25,09 S 3, rc S2-nr, fh S2-fh hara, ketersediaan hara, genangan/banjir 4. Lahan terbuka S 3, rc Ketebalan gambut, retensi 2.905,86 4,79 hara Total ,29 100,00 Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013) Selanjutnya pada Tabel 4.11 menunjukkan bahwa jika dilihat tingkat kesesuaian lahan untuk setiap pola penggunaan lahan, ternyata pada seluruh areal hutan rawa, lahannya tidak sesuai untuk tanaman perkebunan, sementara pada kebun campuran dan kebun kelapa sawit, kelas kesesuian lahannya bervariasi dari S2 (cukup sesuai), S3 (agak sesuai), dan N (tidak sesuai). Pada lahan terbuka, semua lahan menyatakan cukup sesuai (S3). Adapun faktor pembatas kesesuaian lahan antara lain retensi hara, genangan atau ancaman banjir, dan ketersediaan hara untuk kelas sesuai, sedangkan untuk kelas tidak sesuai, pembatasnya adalah ketebalan gambut dan tingkat kematangannya. Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua areal yang telah diusahakan untuk perkebunan sesuai menurut persyaratan lahan, namun telah terlanjur dibuka untuk areal kebun. Akibatnya banyak tanaman kelapa sawit yang bermasalah dengan pertumbuhan seperti terjadi kerebahan dan keracunan pada daun. Lahan yang tidak sesuai (N) untuk tanaman perkebunan yang masih berupa hutan rawa/hutan luasnya sekitar ,45 hektar atau sekitar 20,53 persen sedangkan pada pola kebun campuran dan kebun kelapa sawit luasnya bervariasi. Faktor hambatan yang membuat lahan ini tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit adalah ketebalan gambut di atas 200 cm, tingkat kematangan fibrik, dan adanya genangan (darinase sangat terhambat). 2. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Semusim Hasil penilaian kesesuaian lahan pada setiap satuan lahan (SPL) untuk beberapa tanaman semusim lahan kering seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang panjang, buah-buahan dan sayur-mayur di lokasi studi menunjukkan bahwa pola kesesuaian lahan di wilayah ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa untuk tanaman semusim lahan kering ini sama dengan tanaman perkebunan yaitu ada tingkat kesesuian lahan yaitu S2, Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

20 248 SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST S3, dan N. Hal ini terjadi karena faktor pembatas kesesuaian lahan relatif sama yaitu untuk kelas lahan yang tidak sesuai (N) adalah ketebalan gambut melebihi 200 cm dan tingkat kematangan gambut fibrik. Sedangkan sifat-sifat pembatas lain yang terdapat untuk kelas lahan yang sesuai (S2 dan S3) sama yaitu genangan, retensi hara dan ketersediaan hara. Demikian pula jika dilihat kesesuaian lahan untuk tanaman semusim pada masing-masing pola penggunaan lahan saat ini ternyata juga memberikan pola yang tidak berbeda dengan tanaman perkebunan. Lebih detail tentang luas lahan berdasarkan subkelas kesesuaian lahan dapat dilihat pada Tabel 10 sedangkan hubungan antara subkleas kesesuaian lahan pada setiap pola penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 11. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman semusim lahan kering dan tanaman perkebunan dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 10. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan di areal TPSF pada setiap Satuan Lahan untuk Tanaman Semusim Lahan Kering Luas Areal No Kelas/Subkelas No SPL Faktor Penghambat ha % lahan 1. S2-fh 2, 3, 14 Bahaya banjir ,00 32,12 2. S2-nr, fh 1, 15 Retensi hara, bahaya banjir 6.619,68 10,91 3. S3-rc 11 Retensi hara 2.844,37 4,69 4. N-oa, rc 4, 5 Ketersediaan oksigen, retensi 4.842,29 7,98 hara, ketebalan/kematangan gambut 5. N-rc 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 16 Retensi hara/ketebalan gambut, Kematangan gambut ,95 44,30 Total ,29 100,0 Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013) Tabel 11. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman semusim lahan kering pada berbagai pola penggunaan lahan saat ini di areal TPSF No Penggunaan Lahan Saat ini 1. Hutan primer /hutan rawa Subkelas N-rc N-Oa, rc 2. Kebun campuran N-rc S 3, rc S2-nr, fh S2-fh 3. Kebun Kelapa Sawit N-rc S 3, rc S2-nr, fh S2-fh Faktor Penghambat Genangan, ketebalan gambut, dan tingkat kematangan Retensi hara/ketebalan gambut, genangan, ketersediaan hara Ketebalan gambut, retensi hara, ketersediaan hara, genangan/banjir Luas Areal ha % ,45 20, ,15 50, ,58 25,09 4. Lahan terbuka S 3, rc Ketebalan gambut, retensi 2.905,86 4,79 hara Total ,29 100,00 Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013) Lahan yang tidak sesuai (N) untuk tanaman perkebunan ditemukan pada lahan yang masih berupa hutan rawa/hutan. Luas lahan ini diperkirakan mencapai ,45 hektar LAPORAN UTAMA

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 13 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I. KESIMPULAN M engakhiri laporan ini, maka berdasarkan hasil-hasil kajian yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993) TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei serta

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahanpertanaman ubi kayu yang telah ditanami

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahanpertanaman ubi kayu yang telah ditanami 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahanpertanaman ubi kayu yang telah ditanami selama 35 tahun dan kebun campuran di Desa Adi Jaya, Kecamatan Terbanggi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH : KENDALA DAN SOLUSI

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH : KENDALA DAN SOLUSI PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI AREAL HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA PROVINSI ACEH : KENDALA DAN SOLUSI Use of Tripa Peat-Swamp Forest for Palm Oil Plantation in Aceh Province: Constraints

Lebih terperinci

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2013, No.1041 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 5 2013, No.1041 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) 1. Karakteristik Tanaman Ubi Jalar Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan, dan terdiri dari 400 species. Ubi jalar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Lahan adalah lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi dan vegetasi dimana faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaan lahannya (Hardjowigeno et

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor II. TINJAUAN PUSTAKA Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi.di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 79/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN KESESUAIAN LAHAN PADA KOMODITAS TANAMAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa kesesuaian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan Mei-Agustus 2015 di 5 unit lahan pertanaman

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deskripsi Profil

Lampiran 1. Deskripsi Profil Lampiran 1. Deskripsi Profil A. Profil pertama Lokasi : Desa Sinaman kecamatan Barus Jahe Kabupaten Tanah Karo Simbol : P1 Koordinat : 03 0 03 36,4 LU dan 98 0 33 24,3 BT Kemiringan : 5 % Fisiografi :

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 47 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang yang terletak di Kabupaten Gowa (Gambar 3). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tanggal : 16 Februari 2009 PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Peningkatan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa sawit

Lampiran 1. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa sawit Lampiran 1. Kriteria Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa sawit Persyaratan penggunaan lahan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata ( C) 25-28 22 25 28 32 Kelas keesuaian lahan S1 S2 S3 N Ketersedian

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

IV. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Analisis terhadap sampel tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas

IV. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu. Analisis terhadap sampel tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di 4 (empat) desa di Kecamatan Windusari yaitu Desa Balesari, Desa Kembangkunig, Desa Windusari dan Desa Genito. Analisis terhadap

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya LEMBAR KERJA SISWA KELOMPOK :. Nama Anggota / No. Abs 1. ALFINA ROSYIDA (01\8.6) 2.. 3. 4. 1. Diskusikan tabel berikut dengan anggota kelompok masing-masing! Petunjuk : a. Isilah kolom dibawah ini dengan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. lahan pasir pantai Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen dengan daerah studi

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. lahan pasir pantai Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen dengan daerah studi IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember sampai bulan April di lahan pasir pantai Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen dengan daerah studi terdiri

Lebih terperinci

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa)

Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) Soal Jawab DIT (dibuat oleh mahasiswa) 1. Cara memperbaiki tanah setelah mengalami erosi yaitu dengan cara?? Konservasi Tanah adalah penempatansetiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Gambaran Umum Lahan Pertanian di Area Wisata Posong Desa Tlahap terletak di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung tepatnya pada koordinat 7 19 20.87-7

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Prosedur Penelitian dan Parameter Pengamatan 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di beberapa lokasi daerah sebaran duku di Propinsi Jambi, di 8 (delapan) kabupaten yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) Kelapa sawit (Elaeis guineensis) berasal dari Afrika dan Brazil. Di Brazil, tanaman ini tumbuh secara liar di tepi sungai. Klasifikasi dan pengenalan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada lahan pertanaman ubi kayu (Manihot esculenta

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada lahan pertanaman ubi kayu (Manihot esculenta 29 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lahan pertanaman ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) monokultur dan kebun campuran di Desa Seputih Jaya Kecamatan Gunung

Lebih terperinci

KAJIAN KORELASI KARAKTERISTIK AGROEKOLOGI TERHADAP PRODUKSI KELAPA SAWIT DAN KARET DI PROVINSI LAMPUNG

KAJIAN KORELASI KARAKTERISTIK AGROEKOLOGI TERHADAP PRODUKSI KELAPA SAWIT DAN KARET DI PROVINSI LAMPUNG KAJIAN KORELASI KARAKTERISTIK AGROEKOLOGI TERHADAP PRODUKSI KELAPA SAWIT DAN KARET DI PROVINSI LAMPUNG Andarias Makka Murni Soraya Amrizal Nazar KEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA BALAI PENGKAJIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium Sentraldan Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

KONDISI UMUM PERUSAHAAN KONDISI UMUM PERUSAHAAN Sejarah Kebun PT. National Sago Prima dahulu merupakan salah satu bagian dari kelompok usaha Siak Raya Group dengan nama PT. National Timber and Forest Product yang didirikan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di kebun kelapa sawit Panai Jaya PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2009

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan

Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Analisis Kesesuaian Lahan Pertanian dan Perkebunan Oleh : Idung Risdiyanto 1. Konsep dan Batasan Evaluasi Lahan dan Zonasi Pertanian 1.1. Pengertian Dasar (dikutip dari Evakuasi Lahan Puslitanak) Dalam

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. General Description of The Regions I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS

KEADAAN UMUM WILAYAH. General Description of The Regions I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS KEADAAN UMUM WILAYAH 5 2 KEADAAN UMUM WILAYAH General Description of The Regions I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS A real Hutan Rawa Gambut Tripa (Tripa Peat Sweamp-Forest = TPSF) merupakan suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST executive summary UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 SYI A KUALA PROJECT IMPLEMENTATION UNIT STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA AS IT H Collaboration Between Syiah Kuala University and United

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006) digolongkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Ubi Kayu Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) ialah tumbuhan tropika dan subtropika dari famili Euphorbiaceae yang terkenal sebagai sumber utama karbohidrat dan daunnya

Lebih terperinci

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA PENYEBAB Kebakaran hutan penebangan kayu (illegal logging, over logging), perambahan hutan, dan konversi lahan Salah

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 14/Permentan/PL.110/2/2009 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd TANAH / PEDOSFER OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd 1.Definisi Tanah adalah kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon, terdiri dari campuran bahan mineral organic, air, udara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis tanaman budidaya yang dimanfaatkan bagian akarnya yang membentuk umbi

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kacang Tanah di Desa Sampuran, Kecamatan Ranto Baek, Kabupaten Mandailing Natal

Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kacang Tanah di Desa Sampuran, Kecamatan Ranto Baek, Kabupaten Mandailing Natal KESESUAIAN LAHAN Jurnal Nasional Ecopedon JNEP Vol. 2 No.2 (2015) 001-004 http://www... Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Kacang Tanah di Desa Sampuran, Kecamatan Ranto Baek, Kabupaten Mandailing Natal Endang

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Data suhu udara di daerah Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang ( 0 C)

Lampiran 1 : Data suhu udara di daerah Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang ( 0 C) Lampiran 1 : Data suhu udara di daerah Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang ( 0 C) Bln/Thn 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Total Rataan Jan 25.9 23.3 24.0 24.4 24.7

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Desa Panapalan, Kecamatan Tengah Ilir terdiri dari 5 desa dengan luas 221,44 Km 2 dengan berbagai ketinggian yang berbeda dan di desa

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN DI POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH UNTUK BUDIDAYA KEDELAI

KESESUAIAN LAHAN DI POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH UNTUK BUDIDAYA KEDELAI TOPIC KESESUIAN OF MANUSCRIPT LAHAN Jurnal Nasional Ecopedon JNEP Vol. 2. No.2 (2015) 17-21 http:www... KESESUAIAN LAHAN DI POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH UNTUK BUDIDAYA KEDELAI Puspita Handayani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

PENINGKATAN EFEKTIVITAS PUPUK DI LAHAN MARGINAL UNTUK KELAPA SAWIT. Research & Development of Fertilizer Division SARASWANTI GROUP

PENINGKATAN EFEKTIVITAS PUPUK DI LAHAN MARGINAL UNTUK KELAPA SAWIT. Research & Development of Fertilizer Division SARASWANTI GROUP PENINGKATAN EFEKTIVITAS PUPUK DI LAHAN MARGINAL UNTUK KELAPA SAWIT Research & Development of Fertilizer Division SARASWANTI GROUP PERKENALAN SARASWANTI GROUP HEAD OFFICE: AMG Tower Lt.19-21 Jl. Dukuh Menanggal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan pemetaan tanah merupakan suatu kesatuan yang saling

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan pemetaan tanah merupakan suatu kesatuan yang saling 14 TINJAUAN PUSTAKA Survei Tanah Survei tanah merupakan pekerjaan pengumpulan data kimia, fisik dan biologi di lapangan maupun di laboratorium dengan tujuan pendugaan lahan umum maupun khusus.survei merupakan

Lebih terperinci

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor Indonesia memiliki lahan rawa yang cukup luas dan sebagian besar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2.

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2. III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bagian timur Kabupaten Natuna, yaitu Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan dan Bunguran Timur

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Bahan dan Alat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Februari sampai dengan November 2009 bertempat di lapangan dan di laboratorium. Penelitian lapangan dilakukan pada lahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian, data yang dikumpulkan bisa berupa data primer maupun

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi. wilayahnya. Iklim yang ada di Kecamatan Anak Tuha secara umum adalah iklim V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah terdiri dari 12 desa dengan luas ± 161,64 km2 dengan kemiringan kurang dari 15% di setiap

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6 1. Komponen tanah yang baik yang dibutuhkan tanaman adalah.... bahan mineral, air, dan udara bahan mineral dan bahan organik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Pasir Pantai. hubungannya dengan tanah dan pembentukkannya. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Pasir Pantai Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim relief/topografi,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH

IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH IDENTIFIKASI JENIS-JENIS TANAH DI INDONESIA A. BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA TANAH Tanah adalah salah satu bagian bumi yang terdapat pada permukaan bumi dan terdiri dari massa padat, cair, dan gas. Tanah

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA

11. TINJAUAN PUSTAKA 11. TINJAUAN PUSTAKA, r,. t ' -! '. 2.1. Evaluasi Kesesuaian Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang darat (land scape) yang mencakup lingkungan fisik seperti iklim, topografi, vegetasi alami yang semuanya

Lebih terperinci

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA

3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA 1. TAHAP PERSIAPAN 2. TAHAP SURVEI LAPANGAN a) PRA SURVEI b) SURVEI UTAMA 3. TAHAP ANALISA CONTOH TANAH 4. TAHAP ANALISA DATA 1 GARIS BESAR KEGIATAN SURVEI TANAH Peta Dasar Mosaik Foto Digitasi Peta Persiapan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. sampel dilakukan di satu blok (25 ha) dari lahan pe rkebunan kelapa sawit usia

METODOLOGI PENELITIAN. sampel dilakukan di satu blok (25 ha) dari lahan pe rkebunan kelapa sawit usia III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 s/d juni 2014. Lokasi penelitian dilaksanakan di perkebunan PT. Asam Jawa Kecamatan Torgamba, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN Terbentuknya gambut pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi,

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP

PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PEDOSFER BAHAN AJAR GEOGRAFI KELAS X SEMESTER GENAP PENGERTIAN TANAH Pedosfer berasal dari bahasa latin yaitu pedos = tanah, dan sphera = lapisan. Pedosfer yaitu lapisan kulit bumi yang tipis yang letaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

I. PENDAHULUAN. induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah masam yang terbentuk dari bahan bahan induk batuan sedimen masam (Soil Survey Staff, 2006). Di Indonesia jenis tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk

TINJAUAN PUSTAKA. penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dayun Kecamatan Dayun Kabupaten Siak. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Riau.

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian 1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai September 2014 di Dukuh Kaliwuluh, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah Ananas comosus (L) Merr. Tanaman ini berasal dari benua Amerika, tepatnya negara Brazil.

Lebih terperinci

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Rawa Gambut Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) Acacia Crassicarpa Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet 57 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Lahan Kesesuaian Tanaman Karet Sektor pekebunan dan pertanian menjadi salah satu pilihan mata pencarian masyarakat yang bermukim

Lebih terperinci

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah

Berdasarkan TUJUAN evaluasi, klsifikasi lahan, dibedakan : Klasifikasi kemampuan lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Kemampuan : penilaian komponen lah KUALITAS LAHAN SUNARTO ISMUNANDAR Umum Perlu pertimbangan dalam keputusan penggunaan lahan terbaik Perlunya tahu kemampuan dan kesesuaian untuk penggunaan ttt Perlu tahu potensi dan kendala EL : pendugaan

Lebih terperinci

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi No Tahun Bulan Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 1987 206 220 368 352 218 17 34 4 62 107 200 210 1998 2 1989 183 198 205 301 150

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini terkait dengan mobilitas manusia dan barang yang memerlukan komponen

Lebih terperinci

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan dimana bagian dari lautan lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi karena daratan adalah bagian dari kulit bumi yang dapat kita amati langsung

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Iklim Daerah aliran sungai (DAS) Siulak di hulu DAS Merao mempunyai luas 4296.18 ha, secara geografis terletak antara 101 0 11 50-101 0 15 44 BT dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lahan padi sawah irigasi milik Kelompok Tani Mekar

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lahan padi sawah irigasi milik Kelompok Tani Mekar 26 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di lahan padi sawah irigasi milik Kelompok Tani Mekar Desa Tulung Balak dengan luas 15 ha yang terletak pada wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sifat Fisikokimia Tanah Percobaan dan Sifat Kimia Kotoran Sapi 4.1.1. Kakteristik Ultisol Gunung Sindur Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah disajikan pada tabel.1.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Gambar 1. Tabung (ring) tembaga dengan tutup Tahapan-tahapan pengambilan contoh tanah tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. =^

Gambar 1. Tabung (ring) tembaga dengan tutup Tahapan-tahapan pengambilan contoh tanah tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. =^ m. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, di mulai pada bulan Mei sampai Juli 2010, meliputi pelaksanaan survei di lapangan dan dilanjutkan dengan analisis tanah di

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian telah dilakukan di lahan pertanaman padi sawah (Oryza sativa L.) milik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian telah dilakukan di lahan pertanaman padi sawah (Oryza sativa L.) milik III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan di lahan pertanaman padi sawah (Oryza sativa L.) milik 6 kelompok tani di Kelurahan Tejosari Kecamatan Metro Timur Kota

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api,

TINJAUAN PUSTAKA. A. Material Vulkanik Merapi. gunung api yang berupa padatan dapat disebut sebagai bahan piroklastik (pyro = api, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Material Vulkanik Merapi Abu vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan

Lebih terperinci