BAB II LANDASAN TEORI. A. Strategi Pemecahan Masalah Akademis. 1. Pengertian Strategi Pemecahan masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. A. Strategi Pemecahan Masalah Akademis. 1. Pengertian Strategi Pemecahan masalah"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Strategi Pemecahan Masalah Akademis 1. Pengertian Strategi Pemecahan masalah Menurut Debono (dalam Elliot, Thomas, Joan, dan John, 1999) strategi pemecahan masalah adalah cara menempatkan hal-hal pada tempatnya dengan cermat dan dengan penuh pemikiran dengan harapan sesuatu akan terjadi dari kondisi yang sebelumnya. Sedangkan, menurut Henson & Ben (1999) strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik penyelesaian masalah yang digunakan dalam pencarian solusi. Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut. Beberapa strategi yang sering digunakan adalah: 1. Algoritma. Algoritma adalah metode yang selalu menghasilkan suatu solusi yang benar dari setiap penyelesaian masalah (Matlin, 2005). Algoritma merupakan sebuah langkah prosedur yang menjamin kesuksesan jika langkah-langkah prosedur tersebut diikuti dengan benar. Dengan kata lain, algoritma memiliki susunan urutan yang baku dalam menyelesaikan suatu masalah dan berlaku secara umum.

2 2. Heuristik Menurut Matlin (2005) dalam pemecahan masalah, heuristik adalah suatu strategi yang mengabaikan beberapa penjelasan serta hanya menggunakan alternatif yang paling disukai untuk mendapatkan suatu solusi. Bagaimanapun, heuristik tidak menjamin individu akan memecahkan masalah dengan benar. Menurut Matlin (2005), ada tiga heuristik yang paling sering digunakan yaitu: 1. Heuristik Hill-Climbing Salah satu strategi pemecahan masalah yang paling mudah biasanya disebut dengan heuristik hill-climbing. Heuristik hill-climbing adalah ketika individu memiliki masalah, maka individu tersebut memilih solusi secara sederhana terhadap alternatif jawaban yang tampak untuk menyelesaikan masalah. (Lovett dalam Matlin, 2005). Heuristik hill-climbing dapat digunakan ketika individu tidak cukup menemukan informasi mengenai alternatif-alternatif solusi yang dipilih oleh individu tersebut (Dunbar dalam Matlin, 2005). Heuristik hillclimbing digunakan oleh individu ketika: a. Memilih solusi yang tampak secara cepat dan sederhana dari masalah yang dihadapi b. Apabila solusi pertama dianggap gagal, maka individu memilih solusi berikutnya dari masalah yang dihadapi

3 2. Heuristik Means-Ends Menurut Matlin (2005), heuristik Means-Ends memiliki dua komponen yaitu: a. Individu membagi masalah kedalam sub-sub masalah atau kedalam masalah yang lebih kecil b. Individu mencoba untuk mengurangi perbedaan mengenai keadaan awal dengan kondisi tujuan terhadap masing-masing sub masalah Heuristik means-ends tepat karena mengharuskan individu untuk mengidentifikasi tujuan yang diinginkan dan kemudian mencari tahu cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 3. Pendekatan analogi Menurut Matlin (2005) ketika individu menyelesaikan masalah dengan menggunakan pendekatan analogi, individu menggunakan solusi yang sama dengan masalah sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang baru. Adapun indikator individu menggunakan pendekatan analogi, antara lain: a. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa terhadap masalah serupa yang ia hadapi. b. Individu menggunakan solusi yang sama atau serupa ketika masalah yang ia hadapi sama atau serupa dengan masalah yang pernah dihadapi oleh orang lain.

4 Berdasarkan dari beberapa strategi pemecahan masalah yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi pemecahan masalah merupakan suatu teknik atau cara yang digunakan oleh individu untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalahnya, antara lain dengan menggunakan teknik algoritma atau heuristik. 2. Masalah Akademis Menurut Witz (2000), masalah akademis adalah kurangnya kemampuan siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan, sehingga mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut. Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kurangnya keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar untuk memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa yang memiliki kekurangan dalam hal kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa masalah akademis merupakan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu

5 materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut. 3. Strategi Pemecahan Masalah Akademis Strategi pemecahan masalah akademis merupakan penggunaan teknik algoritma atau heuristik untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan masalah akademis siswa yang berkaitan dengan kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran tersebut. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Pemecahan Masalah Menurut Matlin (2005), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi pemecahan masalah adalah: 1. Keahlian Individu yang memiliki keahlian dapat menjelaskan secara konsisten dalam menampilkan kinerja yang luar biasa dalam mengerjakan tugas dengan sesuatu dengan cara yang khusus (Ericsson & Lehmann). Hal tersebut dapat dilihat melalui individu yang memiliki pengetahuan dasar, memori, representasi, kecepatan dan keakuratan, serta kemampuan metakognitif.

6 2. Mental set Ketika pemecahan masalah menggunakan mental set, individu terus menggunakan solusi yang sama yang telah mereka gunakan pada masalah sebelumnya, meskipun masalah tersebut dapat dipecahkan menggunakan metode berbeda yang lebih mudah. Mental set adalah kebiasaan mental yang mencegah individu untuk berhati-hati dalam memikirkan masalah dan pemecahannya secara efektif. (Langer, 1997; Langer & Moldoveanu, 2000 ; Lovett, 2002 dalam Matlin, 2005) B. Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa: tuna adalah rugi dan netra adalah mata dan secara keseluruhan tunanetra adalah cacat mata. Istilah tunanetra yang mulai popular dalam dunia pendidikan dirasa cukup tepat untuk menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan istilah buta pada umumnya melukiskan keadaan mata yang rusak, baik sebagian (sebelah) maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (Pradopo dkk, 1977). Menurut Hallahan & Kauffman (1998) menyatakan bahwa tunanetra ialah seseorang yang memiliki ketajaman visual dari 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. Ketajaman visual 20/200 memiliki arti

7 dimana seseorang tersebut dapat melihat 20 kaki sedangkan 200 kaki bagi orang yang berpenglihatan normal. Sedangkan menurut Heward (1996), seseorang dapat dianggap tunanetra apabila: a. Akuitas penglihatan seseorang adalah 20/200 atau kurang pada mata normal setelah koreksi sebaik mungkin dengan lensa atau lensa kontak. b. Bidang penglihatannya sangat terbatas. Disaat memandang lurus ke depan, mata normal mampu melihat objek-objek dalam interval sekitar 180 derajat. Beberapa individu yang memilki bidang penglihatan terbatas, menjelaskan persepsinya seperti melihat dunia melalui tabung sempit ataupun jalur komunikasi yang kecil. c. Jika dibatasi sampai daerah 20 derajad atau kurang dari bidang normal 180 derajat bagi individu yang memiliki fungsi visual yang normal, maka akan menurun secara perlahan selama periode waktu tertentu dan penurunan ini tidak terdeteksi pada anak-anak dan orang dewasa. Menurut Geniofam (2010), individu yang dikatakan tunanetra adalah jika tidak dapat melihat dua jari dimukanya atau hanya melihat sinar yang dapat digunakan untuk orientasi mobilitas dan individu tunanetra tidak dapat meggunakan huruf selaian huruf Braille. Jadi, individu yang dikatakan tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan, tetapi tidak mampu menggunakan penglihatanya untuk membaca tulisan.

8 2. Klasifikasi Tunanetra Menurut Pradopo, dkk (1977), klasifikasi tunanetra secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: 1. Waktu terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra. Apakah sejak lahir, semasa usia sekolah, sesudah dewasa, ataukah usia lanjut dalam rangka program pendidikan penderita tunanetra. Ditinjau dari terjadinya kecacatan tersebut diatas, para penderita tunanetra dapat digolongkan sebagai berikut: a. Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan. b. Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, adalah yang sudah memiliki kesan-kesan mengenai pengalaman visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan. c. Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, adalah yang memiliki kesan-kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi. d. Penderita tunanetra pada usia dewasa, adalah yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri. e. Penderita tunanetra dalam usia lanjut, adalah yang sebagaian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan menyesuaikan diri. 2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat, yakni sebagai berikut: a. Penderita tunanetra ringan (defective vision/low vision), yakni mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan, seperti para

9 penderita rabun, juling, myopia ringan. Mereka ini masih dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum atau masih mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan penglihatan yang baik. b. Penderita tunanetra setengah berat (partially sighted), yakni mereka yang kehilangan sebagian daya penglihatan. Hanya dengan menggunakan kacamata pembesar mereka masih bisa mengikuti program pendidikan biasa atau masih mampu membaca tulisan-tulisan yang berhuruf tebal. c. Penderita tunanetra berat (totally blind), yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat, atau yang biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah buta. Disamping kedua pembagian tersebut diatas, Slayton French (dalam Pradopo dkk, 1977), menggolongkan para tunanetra sebagai berikut: a. Buta total, ialah mereka yang sama sekali tidak dapat membedakan antara gelap dan terang. Indera penglihatannya demikian rusak atau kedua matanya sama sekali telah dicabut. b. Penderita tunanetra yang masih sanggup membedakan antara terang dan gelap, dalam wujud bayangan objek, melalui sinar langsung atau reflek cahaya. c. Penderita tunanetra yang masih bisa membedakan terang dan gelap serta warna, sampai ke tingkat pengenalan bentuk dan gerak objek dan masih bisa melihat judul tulisan biasa huruf-huruf besar.

10 d. Penderita tunanetra yang kekurangan daya penglihatan (defective vision), dimana mereka dengan pertolongan alat atau kacamata masih mampu memperoleh pengalaman visual yang cukup. e. Buta warna, yakni mereka yang mengalami gangguan penglihatan sehingga tidak dapat membedakan warna-warna tertentu 3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan Menurut Pradopo, dkk (1977), ada dua faktor pokok yang menyebabkan seorang anak menderita tunanetra, yaitu: 1. Faktor endogen, adalah faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunanetraan yang disebabkan faktor keturunan ini, dapat dilihat pada sifat-sifat keturunan yang mempunyai hubungan pada garis lurus, silsilah dan hubungan sedarah. Anak tunanetra yang lahir sebagai akibat faktor endogen (faktor keturunan) memperlihatkan cirri-ciri: bola mata yang normal, tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar. Kadang-kadang seluruh bola matanya seperti tertutup oleh selaput putih dan keruh. Kelainan lain pada indera penglihatan yang bersifat faktor pembawaan ialah juling, teleng, dan myopia. 2. Faktor exogeen adalah faktor luar, misalnya yang disebabkan oleh penyakit seperti:

11 a. Xerophthalmia, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin A. Penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium xerosis (selaput putih kiri-kanan dan selaput bening kelihatan kering) dan stadium keratomalacia (selaput bening menjadi lunak, keruh dan hancur). b. Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput putih, kemudian perubahan pada selaput bening dan pada stadium terakhir selaput putih menjadi keras, sakit dan luka. c. Cataract, Glaucoma, dan penyakit lain-lain yang dapat menimbulkan ketunanetraan Faktor exogeen lain ialah kecelakaan yang langsung dan tidak langsung mengenai bola mata. Misalnya kecelakaan karena kemasukan kotoran karena barang keras, benda tajam atau kena barang cairan yang berbahaya. 4. Karakteristik Ketunanetraan 1. Karakteristik Psikologi Tunanetra Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemungkinan-kemungkinan berkembang yang dialami oleh anak normal. Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tunanetra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi

12 anak normal tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual. Sehubungan dengan hal tersebut, maka timbul berbagai masalah antara lain ialah tumbuhnya rasa curiga terhadap orang lain, sangat mudah tersinggung perasaannya dan tumbuhnya rasa ketergantungan yang berlebihan (Pradopo dkk, 1977) a. Curiga terhadap orang lain Rasa curiga mula-mula timbul oleh karena terbatas kemampuan anak tunanetra berorientasi terhadap lingkungannya. Keterbatasan ini menimbulkan pengalaman yang kurang enak bagi dirinya yang menumbuhkan rasa kecewa. Apabila tumbuh secara berlebihan menjadikan anak tunanetra mudah curiga terhadap orang lain. b. Perasaan mudah tersinggung Perasaan mudah tersinggung pada anak tunanetra dapat pula disebabkan oleh terbatasnya rangsangan visual yang diterimanya, tetapi tidak diimbangi dengan memberikan peranan lebih oleh indera yang lainnya, sehingga karena pengalaman sehari-hari menumbuhkan perasaan kecewa membuat anak-anak tunanetra menjadi lebih emosionil sekalipun terhadap hal-hal kecil dan tidak perlu. c. Ketergantungan yang berlebihan Yang dimaksud dengan ketergantungan adalah suatu sikap yang tidak mau untuk mengatasi kesulitan diri sendiri, cenderung untuk mengharapkan pertolongan orang lain. Pada anak tunanetra rasa ketergantungan yang berlebihan tumbuh karena disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum

13 berusaha sepenuhnya dalam mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan mengharapkan pertolongan atau disebabkan oleh rasa kasih sayang yang berlebihan dari pihak lain dengan cara selalu memberkan pertolongan-pertolongan kepada anak tunanetra sehingga karenanya ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun. Oleh karena itu, untuk mengatasinya anak tunanetra perlu diberi kesempatan untuk menolong dirinya sendiri. 2. Perkembangan Bahasa Kebanyakan ahli percaya bahwa kurangnya fungsi penglihatan tidak dapat mengubah kemampuan untuk mengerti dan menggunakan bahasa. Dari studi yang dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa siswa tunanetra tidak berbeda dengan orang yang melihat dalam tes intelegensi verbal. Hanya beberapa aspek komunikasi seperti gestur memiliki perbedaan pada individu yang memiliki kekurangan pada fungsi penglihatan. Anak tunanetra tetap dapat mendengar bahasa dan mungkin lebih termotivasi dibandingkan anak yang dapat melihat karena merupakan hal yang utama bagi anak-anak tunanetra dalam berkomunikasi (Hallahan & Kauffman, 1998). Kelompok profesional lainnya juga mempercayai bahwa anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang berbeda, karena anakanak tunanetra tersebut memiliki kelebihan dan memilki kekurangan. 3. Kemampuan Intelektual Menurut Hallahan & Kauffman (1998), beberapa kemampuan intelektual pada tunanetra adalah:

14 a. Performansi Pada Standarisasi Tes Inteligensi Samuel P.Hayes dalam Contributions to a Psychology of Blindness melaporkan bahwa ketunanetraan tidak secara otomatis menghasilkan intelegensi yang rendah. Pada studinya tahun 1950, Hayes mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menemukan siswa tunanetra dalam keadaan yang merugikan, terutama sekali dalam intelegensi verbal dan tidak ada hubungan antara kebutaan dengan IQ (Intelligence Quotient). b. Kemampuan Konseptual Perkembangan konseptual atau kemampuan kognitif pada anak yang mengalami kebutaan cenderung tertinggal daripada anak yang dapat melihat. Pada anak tunanetra, besar kemungkinan lebih rendah dalam tugas yang menuntut berpikir abstrak dan lebih mungkin untuk menyelesaikan tugas secara konkrit. c. Konsep Spasial Konsep yang muncul pada anak yang mengalami kebutaan lebih sulit dibandingkan yang lainnya. Tetapi banyak penelitian menunjukkan bahwa konseptualisasi spasial tidaklah mustahil bagi anak tunanetra. Individu yang tunanetra, ternyata belajar konsep spasial dengan penggunaan indera perasa selain indera penglihatan. d. Tactual dengan Pengalaman Visual Menurut Lowenfeld (dalam Hallahan, 1998) persepsi tactual dibedakan atas dua yakni synthetic touch dan analytic touch. Synthetic touch berdasar pada eksplorasi tactual seseorang dari objek yang cukup kecil yang dapat dipegang dengan satu atau kedua tangan. Sedangkan analytic touch yaitu meliputi sentuhan

15 pada berbagai bagian dari suatu objek dan kemudian secara mental membentuknya menjadi bagian yang terpisah. 4. Pencapaian Prestasi Menurut Hallahan & Kauffman (1998) sangat sedikit studi mengenai pencapaian prestasi pada anak yang mengalami gangguan pada penglihatan dengan anak yang penglihatannya normal. Ada sedikit bukti yang menyatakan bahwa baik anak yang sebagian fungsi penglihatannya masih dapat digunakan dan anak yang buta, mental age nya berada di belakang teman sebaya mereka yang dapat melihat. Kesimpulan lainnya adalah bahwa pencapaian prestasi pada anak yang memiliki gangguan pada penglihatannya tidak berpengaruh besar seperti yang ada pada anak yang mengalami gangguan penglihatan. Pada proses belajar mendengar lebih penting daripada melihat. Oleh karena itu stimuli untuk belajar lebih mudah dan efektif diberikan pada individu yang tidak dapat melihat daripada individu yang tidak dapat mendengar. 5. Karakterisrik Perilaku Tunanetra Menurut Heward (1996), orientasi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan satu posisi dan hubungannya dengan lingkungan melalui penggunaan alat indera yang tertinggal. Mobilitas adalah kemampuan berpindah dengan aman dan efisien dari satu poin ke poin lain. Untuk kebanyakan murid lebih banyak membutuhkan usaha untuk teknik orientasi dibanding teknik

16 mobilitas. Anak dengan kesulitan pengihatan diajarkan tentang konsep dasar yang familiar dengan mereka melalui tubuh dan lingkungan mereka. 5. Pendekatan Pendidikan Ketika berbicara tentang guru dari anak-anak yang memiliki gangguan penglihatan kita sering terpikir tentang alat-alat khusus seperti braille, alat perekam, dan lain-lain. Walaupun media dan material ini mempunyai peran penting dalam pendidikan anak dengan gangguan penglihataan, namun guru yang efektif harus lebih tahu daripada hanya cara menggunakan peralatan tersebut. Banyak pendidik dan psikolog yang telah menggambarkan halangan-halangan belajar oleh siswa yang mengalami gangguan penglihatan (Heward, 1996). Braille adalah sarana utama keaksaraan untuk orang-orang yang buta (Schroeder dalam Smith, 2006). Braille adalah sistem membaca dan menulis berupa huruf, kata, angka, dan sistem lain yang dibuat dari pengaturan titik yang timbul. Sistem ini dikembangkan sekitar tahun 1830 oleh Louis Braille, seorang berkebangsaan Perancis muda yang buta. Meskipun sistem braille sudah lebih dari 165 tahun, namun ini adalah cara yang paling efisien untuk membaca dengan sentuhan dan merupakan keterampilan penting bagi orang-orang yang memiliki susah untuk membaca cetak. Siswa yang buta bisa membaca huruf braille jauh lebih cepat daripada dari alphabet standar. Pendekatan pendidikan lain yang dapat membantu siswa tunanetra dalam belajar menurut Smith (2006) adalah calculation aids (alat bantu menghitung). Dalam pelajaran matematika, sempoa telah menjadi suatu alat bantu yang penting

17 bagi siswa tunanetra, dengan memainkan biji sempoa penghitungan matematika dasar dapat dilakukan dan hasilnya terdapat dalam bentuk taktil yang dapat diraba dengan jari tangan. C. Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam Yayasan Perguruan Trisakti Lubuk Pakam merupakan suatu sekolah yang berbasis swasta yang beralamat di Jl. P. Siantar No.80A Lubuk Pakam, kabupaten Deli Serdang. Yayasan pendidikan ini terdiri dari beberapa lembaga pendidikan yaitu SD Trisakti, SMP Trisakti, SMA Trisakti, STM, SMK Pariwisata, dan SMK Akutansi. Namun, peneliti hanya menyoroti permasalahan yang terjadi di tingkat SMA-nya saja. Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa yang berkebutuhan khusus, yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Yayasan Perguruan Trisakti menerima siswa tunanetra dikarenakan siswa tunanetra memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di jenjang pendidikan yang mereka inginkan. Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebituhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya dan ketika ujian mereka dipisah. Selama belajar mereka diperlengkapi dengan alat bantu seperti huruf Braille dan mesin ketik. SMA Trisakti sendiri memiliki harapan untuk mengahasilkan siswa-siswi yang berkualitas dalam setiap bidang dan tetap mengutamakan aspek moralitas

18 yang dijunjung tinggi. Harapannya ke depan SMA Trisakti ini bisa menjadi salah satu sekolah yang terbaik di Provinsi Sumatera Utara. 1. Struktur Kurikulum SMA Trisakti Lubuk Pakam Struktur kurikulum SMA Trisaksti Lubuk Pakam meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas X sampai dengan kelas XII dan terdiri atas sejumlah mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Struktur kurikulum disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Kompetensi mata Pelajaran (SKMP). Pengorganisasian kelas pada SMA Trisakti Lubuk Pakam dibagi dalam dua kelompok yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik dan kelas XI dan XII merupakan program penjurusan yang terdiri atas dua program yaitu IPA dan IPS. Pendidikan kecakapan hidup yang meliputi kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademis dan atau kecakapan vokasional juga dikembangkan di SMS Lubuk Pakam secara terintegrasi dalam setiap kegiatan pembelajaran untuk seluruh mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPA Komponen A. Mata Pelajaran 1. Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan XI IPA Semester 1 XI IPA Semester 2 XII IPA Semester 1 XII IPA Semester

19 3. Bahasa indonesia Bahasa inggris Matematika Fisika Biologi Kimia Seni Budaya Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 10. Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 11. Teknologi Informasi & Komunikasi 12. Bahasa Perancis A. Muatan Lokal/Elektronika B. Pengembangan Diri 2* 2* 2* 2* JUMLAH * Ekuivalensi 2 jam pembelajaran Tabel struktur kurikulum kelas XI dan XII IPS Komponen XI IPS Semester 1 XI IPS Semester 2 XII IPS Semester 1 XII IPS Semester 2 A. Mata Pelajaran Pendidikan Agama 2. Pendidikan Kewarganegaraan 3. Bahasa indonesia Bahasa inggris Matematika Geografi Sosiologi Sejarah Ekonomi Seni Budaya Pendidikan Jasmani, Olahraga & Kesehatan 12. Teknologi Informasi & Komunikasi

20 13. Bahasa Perancis B. Muatan Lokal/Elektronika C. Pengembangan Diri 2* 2* 2* 2* JUMLAH * Ekuivalensi 2 jam pembelajaran D. Strategi Pemecahan Masalah Akademis pada Siswa Tunanetra di Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti Lubuk Pakam Indera penglihatan merupakan salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar diri siswa tunanetra. Melalui indera penglihatan, sebagian besar rangsangan atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsangan tersebut (Matlin, 2005). Hal ini tidak dialami oleh siswa tunanetra sehingga kecenderungan siswa tunanetra menggantikan indera penglihatan dengan pendengaran sebagai saluran utama dalam penerimaan informasi dari luar dan mengakibatkan pembentukan pengertian atau konsep hanya berdasar pada suara atau bahasa lisan (Somantri, 2007). Menurut Hallahan & Kauffman (1998) tunanetra adalah seseorang yang memiliki ketajaman visual kurang lebih 20/200 dalam menggunakan fungsi penglihatan meskipun baik dengan koreksi atau jangkauan pandang dengan jarak diameter tidak lebih dari 20 derajad. Pada saat ini walaupun pemerintah sudah mendirikan sekolah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan bagi individu yang berkebutuhan khusus terutama bagi siswa tunanetra yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi, namun ternyata tidak semua siswa tunanetra dapat

21 bersekolah di sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan dalam mendirikan sekolah tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan demi menunjang kelancaran akademis siswa tunanetra. Selain masalah biaya, ternyata sumber daya manusia juga terbatas sehingga membuat terbatasnya akses pada siswa-siswa tunanetra dalam pendidikan. Dengan kondisi seperti ini mengharuskan individu tunanetra untuk menuntut ilmu di sekolah umum sama seperti anak normal lainnya. Salah satu sekolah yang menerima siswa tunanetra adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) Trisakti, Lubuk Pakam. Sekolah ini menerima siswa yang berkebutuhan khusus yaitu siswa yang menyandang tunanetra namun masih dalam kategori/tingkatan rendah (mereka masih bisa mengikuti proses belajar-mengajar). Setiap tahunnya sekolah ini menamatkan siswa yang berkebutuhan khusus tersebut. Dalam proses belajar mengajar mereka disamakan dengan siswa normal lainnya. Berdasarkan fenomena di lapangan yaitu di SMA Trisakti sendiri ditemui bahwa siswa tunanetra yang bersekolah disekolah umum tersebut, menemukan masalah akademis karena siswa tunanetra sendiri harus menyesuaikan diri untuk belajar bersama dengan siswa normal dengan metode belajar yang sama. Menurut Rathvon (2004) menyatakan bahwa masalah akademis dapat dikarakteristikkan sebagai kekurangan keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya dalam proses belajar memahami materi. Kekurangan keterampilan mengacu pada kurangnya keahlian yang memadai yang berkaitan dengan keterampilan akademis yang telah diajarkan sebelumnya. Kurangnya kelancaran mengacu pada kurangnya keterampilan yang dilakukan secara akurat. Siswa

22 dengan kurangnya kinerja memiliki keterampilan yang memadai dan kelancaran tetapi tidak menghasilkan karya dengan kuantitas maupun kualitas yang memuaskan. Kondisi yang demikian membuat siswa tunanetra harus tetap semangat untuk mengikuti proses kegiatan akademis untuk dapat mengoptimalkan potensi mereka dan meningkatkan prestasi belajar melalui strategi pemecahan masalah akademis yang dilakukan oleh siswa tunanetra. Menurut Matlin (2005) strategi pemecahan masalah adalah ketika dinyatakan adanya suatu masalah, maka harus menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan berbagai cara atau pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut. Berdasarkan penelitian Taplin (1994) ketika siswa tidak mencapai jawaban yang memuaskan dari solusi terhadap permasalahan mereka, maka siswa tersebut akan memutuskan untuk mengambil beberapa tindakan lagi dan memodifikasi atau mengubah strategi dengan segera. Terlebih lagi, siswa tersebut akan mengeksplorasi pertanyaan tentang penggunaan strategi pemecahan masalah untuk menjadi fleksibel dalam menggunakan strategi tersebut. Hal ini menggambarkan urutan strategi yang digunakan paling konsisten oleh siswa yang sukses. Dalam strategi pemecahan masalah terdapat tiga strategi pemecahan masalah heuristik yang paling sering digunakan yaitu heuristik hill-climbing, heuristik means-ends, dan pendekatan analogi (Matlin, 2005). Dalam strategi pemecahan masalah terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu keahlian dan mental set.

23 Paradigma Berpikir Pendidikan Siswa berkebutuhan khusus Siswa tunanetra - Sekolah Luar Biasa (SLB) - Sekolah Inklusi Sekolah umum Menemukan masalah akademis kurangnya kemampuan siswa dalam hal keterampilan, kelancaran, kinerja maupun kombinasi dari ketiganya untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu pelajaran tersebut (Rathvon, 2004) Diatasi dengan strategi pemecahan masalah Heuristik Hill-Climbing Heuristik Means-ends Pendekatan Analogi Faktor-faktor yang mempengaruhi Keahlian Mental set

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab

Lebih terperinci

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada seluruh anak untuk memperoleh layanan pendidikan tanpa adanya diskriminasi, yaitu pendidikan

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA A. Jarimatika Ama (2010) dalam http://amapintar.wordpress.com/jarimatika/ mengemukakan bahwa jarimatika merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan

BAB 1 PENDAHULUAN. semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Mata mengendalikan lebih dari 90 % kegiatan sehari-hari. Dalam hampir semua jabatan, organ visual ini memainkan peranan yang menentukan. Badan kesehatan dunia

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disability (kekhususan) merupakan konsekuensi fungsional dari kerusakan bagian tubuh, atau kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

BAB II TUNANETRA (LOW VISION)

BAB II TUNANETRA (LOW VISION) BAB II TUNANETRA (LOW VISION) 2.1. Difabel. Difabel adalah sekelompok masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan masyarakat non-difabel, ada yang memiliki kelaianan pada fisiknya saja, ada

Lebih terperinci

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM)

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL () KELAS X 3 Bahasa Indonesia 65 B 5 Matematika 60 B 6 Fisika 60 B 7 Biologi 60 B 8 Kimia 60 B 9 Sejarah 65 B 10 Geografi 65 B 11 Ekonomi 65 B 12 Sosiologi 65 B 13 Kesenian

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan ini, tidak semua orang berada pada kondisi fisik yang sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan ada

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan oleh siswa sehingga menjadi kebiasaan. Dalam pendidikan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tunanetra adalah orang yang mengalami kerusakan pada mata, baik itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk hidup di lingkungan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Setiap manusia pada hakikatnya pasti ingin dilahirkan secara sempurna dan normal secara fisik. Pada kenyataannya, tidak semua manusia mendapatkan keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu sebagai salah satu sumber daya yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi mungkin agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menjadi seseorang yang memiliki keterbatasan bukan keinginan atau pilihan hidup setiap manusia. Tentunya semua manusia ingin hidup dengan kondisi fisik maupun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap individu karena harus menjalani hidup dengan keterbatasan fisik, sehingga dapat menghambat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian anak Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikaruniakan kepada suatu keluarga yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi

Lebih terperinci

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI)

BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI) BAGAIMANA MENGAJAR ANAK TUNANETRA (DI SEKOLAH INKLUSI) Nandiyah Abdullah* Abstrak : Anak tunanetra cenderung memiliki berbagai masalah baik yang berhubungan dengan pendidikan, sosial, emosi, kesehatan,

Lebih terperinci

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA DISUSUN OLEH : Chrisbi Adi Ibnu Gurinda Didik Eko Saputro Suci Novira Aditiani (K2311013) (K2311018) (K2311074) PENDIDIKAN FISIKA A 2011 FAKULTAS KEGURUAN DAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi membawa dampak pada terjadinya persaingan di segala bidang kehidupan. Persaingan, baik di bidang ekonomi, pendidikan, teknologi politik, menuntut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Makna Hidup 1. Definisi Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana teori ini dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama logoterapi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bervariasi dalam suatu proses pembelajaran. Perbedaan tersebut dapat menjadi

I. PENDAHULUAN. bervariasi dalam suatu proses pembelajaran. Perbedaan tersebut dapat menjadi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kemampuan setiap peserta didik berbeda antara yang satu dengan lainya, hal ini dapat terlihat dari hasil belajar yang dicapai dan prestasi siswa yang

Lebih terperinci

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi Guru PAI Tunanetra di SLB se-indonesia Wisma Shakti Taridi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara. Pendidikan di Indonesia telah memasuki tahap pembaruan dimana pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri Setiap individu dituntut untuk menguasai keterampilanketerampilan sosial dalam berinteraksi dan kemampuan penyesuaian diri terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata sebagai indera penglihatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd

Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Lisza Megasari, S.Pd Merayakan Ulangtahun Sebagai Strategi Pembelajaran Kosakata Abstrak (Tanggal, Bulan, Tahun) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu kelas 3 SLB Negeri Binjai Oleh: Pendahuluan Anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ialah salah satu hal penting bagi manusia, karena dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan potensinya melalui pembelajaran. Melalui pendidikan

Lebih terperinci

Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak

Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Oleh Didi Tarsidi Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bidang yang memiliki peran penting dalam peningkatan daya saing suatu negara adalah pendidikan. Pendidikan saat ini menunjukkan kemajuan yang sangat pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya baik jasmani dan rohani dengan suatu hasil atau prestasi. Pendidikan juga berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang SLB-B Putra Harapan Bojonegoro merupakan salah satu sekolah luar biasa khusus penyandang cacat tunarungu yang ada di Bojonegoro yang berada di bawah naungan yayasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan dunia ini tidak ada apa-apanya, karena semua berasal dari pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan siswa setelah melaksanakan pengalaman belajar. 1

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan siswa setelah melaksanakan pengalaman belajar. 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang sadar tujuan. Tujuan dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan siswa setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang indah, dimana seorang ibu mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Pada Bab I telah dipaparkan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian Pemetaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang pada dasarnya merupakan suatu proses

Lebih terperinci

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN Hubungan kemampuan menyimak dan kemampuan membaca dengan kemampuan berkomunikasi lisan pada pengajaran bahasa Indonesia anak tunagrahita kelas D-5B di SLB-C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2006/2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang semakin modern seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu sangat mendambakan dirinya terlahir dalam keadaan sempurna (jasmani dan rohani). Dengan kesempurnaannya tersebut, ia akan berkembang secara normal.

Lebih terperinci

Model Penyelenggaraan Peminatan Kurikulum 2013 di SMA KATA PENGANTAR. 2014,Direktorat Pembinaan SMA-Ditjen Pendidikan Menengah ii

Model Penyelenggaraan Peminatan Kurikulum 2013 di SMA KATA PENGANTAR. 2014,Direktorat Pembinaan SMA-Ditjen Pendidikan Menengah ii KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 3 C. Ruang Lingkup... 3 BAB II JUDUL BAB II... 4 A. Pengertian Peminatan,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati, S.

PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA. Oleh: Siti Rachmawati, S. JRR Tahun 23, No. 2, Desember 204 06-2 PENGGUNAAN MEDIA BLOCK CARD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MEMBUAT DENAH PADA SISWA TUNANETRA Oleh: Siti Rachmawati, S.Pd SLB N Semarang ABSTRAK Kemampuan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA

IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA IDENTIFIKASI PROSES BERPIKIR BERDASARKAN ASIMILASI DAN AKOMODASI DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI PADA SISWA SMP PENYANDANG TUNANETRA Veny Sri Astuti, S.Pd. Prodi Pend.Matematika, Program Pascasarjana

Lebih terperinci

Erwin Arsadani Masruro, Winarti Pendidikan Fisika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adi Sucipto No 1

Erwin Arsadani Masruro, Winarti Pendidikan Fisika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adi Sucipto No 1 PENGEMBANGAN MODUL IPA FISIKA SMP MATERI SUHU UNTUK SISWA TUNANETRA Erwin Arsadani Masruro, Winarti Pendidikan Fisika, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Marsda Adi Sucipto No 1 Email : eamfis@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu bidang kehidupan yang penting bagi setiap negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengutamakan pentingnya pendidikan, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan dengan kesempurnaan yang berbeda-beda, kesempurnaan tidak dapat hanya dilihat dari keadaan fisiknya saja. Melainkan kita harus melihat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang telah mengalami banyak perkembangan, majunya ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut juga dipengaruhi

Lebih terperinci

BIODATA CALON PESERTA DIDIK SMA Negeri 1 Cianjur

BIODATA CALON PESERTA DIDIK SMA Negeri 1 Cianjur BIODATA CALON PESERTA DIDIK SMA Negeri 1 Cianjur No. Registrasi (diisi petugas) : Diterima di kelas (diisi petugas) : Titimangsa (diisi petugas) : 1 NO INDUK (siswa baru kosongkan) : 2 N I S N : 3 NIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Adanya nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran. merupakan salah satu muatan penting Kurikulum Tingkat Satuan

BAB I PENDAHULUAN. Adanya nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran. merupakan salah satu muatan penting Kurikulum Tingkat Satuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) setiap mata pelajaran merupakan salah satu muatan penting Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kriteria Ketuntasan Minimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencapaian standar-standar pendidikan seperti yang telah digariskan pada undang-undang perlu segera direalisasikan. Hal tersebut dilakukan untuk menjawab tantangan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam interaksi belajar mengajar, metode-metode memegang peranan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Dalam interaksi belajar mengajar, metode-metode memegang peranan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Metode Pemberian Tugas Dalam interaksi belajar mengajar, metode-metode memegang peranan yang sangat penting. Metode dalam kegiatan pengajaran sangat bervariasi, pemilihannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sehat menurut WHO 2013 dalam kutipan (Siswanto, 2007) adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan,

Lebih terperinci

KURIKULUM SMA NEGERI 1 KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2013 / 2014 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SUKOHARJO SMA NEGERI 1 KARTASURA

KURIKULUM SMA NEGERI 1 KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2013 / 2014 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SUKOHARJO SMA NEGERI 1 KARTASURA KURIKULUM SMA NEGERI 1 KARTASURA TAHUN PELAJARAN 2013 / 2014 Peraturan Akademik DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN SUKOHARJO SMA NEGERI 1 KARTASURA : Jl. Raya Solo Jogya Km 13, Pucangan, Kartasura, ( 0271 ) 780593

Lebih terperinci

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG POLA INTERAKSI URU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUN Rany Widyastuti IAIN Raden Intan, Lampung, Indonesia Email: rany_2302@yahoo.com Abstrak Siswa tunanetra merupakan siswa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai BAB I PENDAHULUAN Pada bab I ini, peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang akan diteliti dan dikembangkan, tujuan penelitian dan pengembangan, spesifikasi produk yang diharapkan, pentingnya

Lebih terperinci

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah BAB I A. Latar Belakang Masalah Pendidikan harus mendapatkan dukungan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraannya bagi masyarakat dengan sebaik-baiknya. Fungsi pendidikan baik bersifat formal maupun non

Lebih terperinci

Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat. Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY. abstrak

Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat. Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY. abstrak Kode Makalah M-12 Perluasan Orde Matriks 3 x 3 untuk Huruf Braille ber-kharokat Bambang Sumarno HM Jurdik Matematika FMIPA UNY abstrak Huruf Braille yang disajikan berupa titik-titik timbul (dot) pada

Lebih terperinci

TELAAH KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH. Farida Nurhasanah Surakarta 2012

TELAAH KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH. Farida Nurhasanah Surakarta 2012 TELAAH KURIKULUM MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH Farida Nurhasanah Surakarta 2012 Asal-Usul Kata Kurikulum Curriculum Currir Curere Sejumlah Mata Pelajaran Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Anak cacat adalah anak yang berkebutuhan khusus karena mereka adalah anak yang memiliki kekurangan. Anak cacat atau berkelainan juga memiliki klasifikasi. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar, hanya saja masalah tersebut ada yang ringan dan ada juga yang masalah pembelajarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Program Akselerasi atau Program Percepatan Belajar atau terakhir istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai hal tersebut, salah satu usaha yang dilakukan adalah mendidik anak

BAB I PENDAHULUAN. mencapai hal tersebut, salah satu usaha yang dilakukan adalah mendidik anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan perkembangan IPTEK, setiap manusia mengusahakan agar warga negaranya kreatif dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Untuk mencapai hal tersebut,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Model Quantum Teaching Quantum memiliki arti interaksi yang mengubah energi cahaya. Quantum Teaching adalah penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyampaian informasi kepada orang lain. Komunikasi merupakan bagian. dalam matematika dan pendidikan matematika.

BAB I PENDAHULUAN. penyampaian informasi kepada orang lain. Komunikasi merupakan bagian. dalam matematika dan pendidikan matematika. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belajar adalah salah satu bagian dari pendidikan. Belajar dapat dilakukan di rumah, di masyarakat ataupun di sekolah. Pada saat belajar kita akan mengenal proses komunikasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan memerlukan kecakapan hidup. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pendidikan merupakan unsur dasar yang menentukan kecakapan berpikir tentang dirinya dan lingkungannya. Seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terselenggarannya pendidikan di Indonesia telah dijamin seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi merupakan suatu hal yang penting dalam berbagai strategi

Lebih terperinci

Implementasi Komunikasi Instruksional Guru dalam Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di SLB-C1 Dharma Rena Ring Putra I Yogyakarta Oleh :

Implementasi Komunikasi Instruksional Guru dalam Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di SLB-C1 Dharma Rena Ring Putra I Yogyakarta Oleh : Implementasi Komunikasi Instruksional Guru dalam Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di SLB-C1 Dharma Rena Ring Putra I Yogyakarta Oleh : Fristyani Elisabeth Hutauruk Yudi Perbawaningsih Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN INTERNET PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI KELAS XI IPA SMA NEGERI 1 MUARO JAMBI

ANALISIS PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN INTERNET PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI KELAS XI IPA SMA NEGERI 1 MUARO JAMBI ANALISIS PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN INTERNET PADA PEMBELAJARAN BIOLOGI DI KELAS XI IPA SMA NEGERI 1 MUARO JAMBI SKRIPSI OLEH YUNI KARTIKA A1C409014 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

4. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII 1. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Pro-

4. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII 1. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Pro- 3. Struktur Kurikulum SMA/MA Struktur kurikulum SMA/MA meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai Kelas X sampai dengan Kelas XII. Struktur kurikulum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam mencapai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam mencapai keberhasilan suatu Negara. Karena pendidikan yang baik akan menghasilkan individu-individu yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dan kemanusiaan adalah dua entitas yang saling berkaitan, pendidikan selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan diselenggarakan

Lebih terperinci

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan

1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan PANCA INDERA Pengelihatan 1. Sklera Berfungsi untuk mempertahankan mata agar tetap lembab. 2. Kornea (selaput bening) Pada bagian depan sklera terdapat selaput yang transparan (tembus cahaya) yang disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyandang tuna netra tidak bisa dipandang sebelah mata, individu tersebut memiliki kemampuan istimewa dibanding individu yang awas. Penyandang tuna netra lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki hambatan dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENGETAHUAN SOSIAL DI SEKOLAH DASAR

PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENGETAHUAN SOSIAL DI SEKOLAH DASAR PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR DALAM MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENGETAHUAN SOSIAL DI SEKOLAH DASAR Nina Sundari 1 ABSTRAK Tujuan artikel ini yaitu untuk mengetahui langkah-langkah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan dengan anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia dapat dikatakan cukup rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation Development Programme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Desi Nurdianti, 2013

BAB I PENDAHULUAN Desi Nurdianti, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan Pemerintah No. 72 (Amin, 1995: 11) menyebutkan bahwa anak tunagrahita adalah Anak-anak dalam kelompok dibawah normal dan atau lebih lamban daripada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan proses pembelajaran tentu diperlukan media sebagai alat untuk

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan proses pembelajaran tentu diperlukan media sebagai alat untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan proses pembelajaran tentu diperlukan media sebagai alat untuk menyampaikan pesan kepada siswa agar lebih mudah untuk memahami materi. Dengan adanya media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia yang diciptakan ke dunia ini mempunyai keadaan fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang berbeda-beda pula. Kesempurnaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan merupakan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM SMA PATRA MANDIRI 1 PLAJU

STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM SMA PATRA MANDIRI 1 PLAJU STRUKTUR DAN MUATAN KURIKULUM SMA PATRA MANDIRI 1 PLAJU a. Struktur Kurikulum 1. Kelas x Peminatan MIPA (kurikulum 2013) 1.1 Mata Pelajaran a) Kelompok A (wajib) : 6 Mata Pelajaran b) Kelompok B (wajib)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat menengah yang bertujuan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia

BAB I PENDAHULUAN. tingkat menengah yang bertujuan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah lembaga pendidikan formal tingkat menengah yang bertujuan untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berakhlak mulia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang normal saja, tetapi juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV USAHA KESEHATAN SEKOLAH, GIGI, MATA DAN JIWA

BAB IV USAHA KESEHATAN SEKOLAH, GIGI, MATA DAN JIWA BAB IV USAHA KESEHATAN SEKOLAH, GIGI, MATA DAN JIWA A. Usaha Kesehatan Sekolah 1. Pengertian Usaha kesehatan sekolah adalah usaha kesehatan masyarakat yang ditujukan kepada masyarakt sekolah yaitu anak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Djamarah dan Zain, 1996:53).

TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Djamarah dan Zain, 1996:53). 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Metode Pemberian Tugas Secara etimologi pengertian metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Djamarah dan Zain, 1996:53). metode

Lebih terperinci

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak semua dalam keadaan yang sama satu sama lain. Seperti yang telah kita ketahui bahwa selain ada anak yang memiliki perkembangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi baru, dimana anak menjadi generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang diharapkan mampu memikul

Lebih terperinci

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut: A. Pokok-Pokok Perkuliahan Low Vision Oleh Drs. Ahmad Nawawi Sub-sub Pokok Bahasan : 1. Definisi dan Prevalensi 2. Ciri-ciri Anak Low Vision 3. Klasifikasi Low Vision 4. Latihan Pengembangan Penglihatan

Lebih terperinci