Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12 BAB I ISTILAH, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum pidana, pembagian hukum pidana, tujuan dan fungsi hukum pidana, asas legalitas, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dan ilmu hukum pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum pidana 2. Mengungkapkan pengertian hukum pidana 3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum pidana 4. Menjelaskan arti asas legalitas 5. Menjelaskan ruang lingkup berlakunya hukum pidana A. ISTILAH DAN PENGERTIAN Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Strafrecht. Straf berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman. Jika digabungkan keduanya akan berarti hukum hukuman. Istilah demikian dianggap tidak lazim menurut tata bahasa, maka istilah Hukum Hukuman itu diganti dengan hukum pidana. Hukum pidana dapat dibagi: 1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)

13 Ad. 1. Hukum pidana objektif adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggaran-pelanggaran diancam dengan hukuman. Hukum pidana objektif ini dibagi kedalam Hukum Pidana Materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil adalah hukum yang menentukan tentang: 1. Perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana; 2. Siapakah yang dapat dipidana, atau siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. Jenis hukuman apakah yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar undang-undang. Ketiga unsur dari hukum pidana materil harus ada dalam aturan hukum pidana materil. Misalnya ketentuan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi: Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 900,- Dari pasal ini jelas terlihat unsur tersebut: a. Perbuatan yang dilarang: mengambil barang milik orang lain; b. Orang yang dapat dipidana: yang sengaja (dengan maksud) memiliki dengan melawan hak; c. Pidana yang dijatuhkan: penjara selama-lamanya lima tahun atau denda Rp. 900,- 2

14 Jika unsur-unsur ini tidak ada dalam peraturan tersebut maka aturan hukum itu, bukanlah aturan hukum pidana materil. Istilah hukum pidana materil juga disebut dengan hukum pidana substansial. Dalam pergaulan sehari-hari hukum pidana materil disebut dengan hukum pidana atau disebut juga dengan hukum pidana in abstracto, artinya hukum pidana dalam arti yang abstrak (tidak nyata) karena berlaku kepada semua orang, tidak tentu orangnya. Hukum Pidana Materil ini juga dibagi kedalam pengertian-pengertian sebagai berikut: a. Hukum pidana umum b. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi orang tertentu saja, seperti hukum pidana militer dan hukum pidana fiskal (Pajak). c. Hukum pidana nasional, yaitu hukum yang berlaku secara nasional. d. Hukum pidana lokal, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi daerah-daerah tertentu, seperti yang terdpat dalam Perda, Qanun. e. Hukum pidana kodifikasi, hukum pidana yang telah dibukukan dalam satu kitab undang-undang, seperti KUHP. f. Hukum pidana yang tidak terkodifikasi, yaitu hukum pidana yang terdapat peraturan hukum pidana diluar KUHP, Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Narkotika. Sehubungan dengan hukum pidana materil ada yang menyebut dengan hukum delik. Kata delik berasal dari delictum (Latin), dalam bahasa Belanda disebut dengan falen yang berarti perumusan sikap/perbuatan yang salah 3

15 (gagal melaksanakan yang baik dan benar. Disamping delictum dalam bahasa latin juga dikenal istilah crimen, yang berarti misdaad (Belanda), sama dengan penyelewengan. Dalam negara yang menganut hukum anglo saxon dikenal dengan istilah Criminal Law. Hukum pidana formal adalah keseluruhan aturan hukum yang menentukan cara bagaimana melaksanakan ketentuan hukum pidana materil. 4 Ad. 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana subjektif adalah aturan hukum yang menentukan hak negara untuk menghukum orang. Hak untuk menghukum orang adalah: a. Hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan pidana, hak ini ditangan pembuat undang-undang. b. Hak untuk menjatuhkan hukuman, hak ini berada ditangan hakim, untukmenghukum orang terbukti bersalah. c. Hak untuk melaksanak hukuman, hak ini terletak ditangan jaksa, untuk melaksanakan putusan hakim. (Satochit Kartanegara, tt:3) B. PENGERTIAN HUKUM PIDANA Rumusan arti lembaga hukum pidana dapat difahami dan dipelajari melalui uraian para sarjana hukum, antara lain sebagai berikut: 1. Prof. DR. W.L.G. Lemaire sebagai dikutip Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. Hukum Pidana terdiiri dari normanorma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah diakitkan dengan sanksi berupa hukuman, yaksi suatu

16 penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaankeadaan mana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Lamintang lebih lanjut menjelaskan bahwa rumusan atau batasan atau definisi hukum pidana oleh Lemaire seperti dikutip diatas, mungkin saja benar apabila yang dimaksud adalah hukum pidana materil. Padahal hukum pidana itu terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil. (Lamintang, 1984:1,2) 5 2. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. (Kansil, tt:257) Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah: a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti Negara, Lembaga-lembaga Negara, Pejabat Negara,Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan sebagainya. b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.

17 Definisi hukum pidana yang dikemukakan oleh Kansil juga tidak lengkap, karena tidak mencakup hukum pidana materil dan hukum pidan formil Prof. Moeljatno, S.H. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987:4) Definisi hukum pidana yang disampaikan oleh Moeljatno adalah definisi hukum pidana yang lengkap, artinya dalam definisi ini terkandung hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Untuk perbuatan dipakai asas legalitas, untuk pertanggungjawaban dipakai asas tiada pidana tanpa kesalahan dan untuk cara pengenaan pidana salah satu asasnya adalah asas praduga tak bersalah. C. TUJUAN HUKUM PIDANA Wirjono Projodikoro (2003:19), tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Di antara para sarjana

18 hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. 7 D. FUNGSI HUKUM PIDANA Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat terciptannya dan terpeliharanya ketertiban umum. Secara khusus sebagai bagian hukum publik, hukum pidana berfungsi untuk: 1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut; 2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum; 3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

19 Ad.1. Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang atau Memperkosanya. Kepentingan hukum (rechtbelang) adalah berupa segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, atau suatu negara yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar oleh perbuatanperbuatan manusia, yang semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam segala bidang kehidupan. Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum itu meliputi: 1. Hak-hak (rechten); 2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking); 3. Keadaan hukum (rechtstoestand); 4. Bangunan masyarakat (sociale insteliingen). (Satochit Kartanegara, 1955:7). Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada 3 macam, yaitu: 1. Kepentingan hukum perorangan (individule belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum atas hak milik dan benda, kepentingan hukum atas harga diri dan nama baik, kepentingan hukum atas rasa susila, dan lain sebagainya. 2. Kepentingan hukum masyarakat ( sosiale belangen), misalnya kepentingan hukum atas keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas dijalan raya. 3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara 8

20 sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya. Fungsi khusus hukum pidana yang pertama ini terdapat terutama dalam hukum pidana materil. Dalam hukum pidana materil terugtama merumuskan bermacam-macam perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (termasuk mewajibkan orang dalam keadaan tertentu untuk berbuat tertentu), yang apabila larangan itu dilanggar atau kewajiban hukum untuk berbuat itu tidak ditaati, maka kepada mereka; pembuat dapat dijatuhi pidana sesuai dengan yang diancam pada larangan tersebut. Dalam hukum pidana materil, terdapat misalnya larangan mencuri (pasal 362) atau larangan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja (pasal 338). Pasal 362 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum atas hak milik kebendaan pribadi, dan Pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak hidup/nyawa orang. Fungsi umum setiap jenis dan macam hukum adalah fungsi mengatur. Fungsi mengatur ini terdapat dalam setiap macam hukum, karena pada dasarnya hukum itu berisi norma atau tentang norma. Agar norma itu mempunyai arti dan dapat ditaati dan dijalankan, maka disertai atau diikuti dengan adanya ancaman sanksi. Misalnya norma hukum yang mewajibkan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya (hukum perdata), sanksi hukumnya ialah bila berhutang tidak membayar setelah diingatkan akan kewajibannya (somasi), maka sanksinya ialah ia akan digugat ke Pengadilan, di mana harta miliknya disita dan dilelang, yang hasilnya dibayar pada si berpiutang, dan tindakan-tindakan negara (melalui pengadilan) ini adalah 9

21 bersifat paksaan. Tetapi tindakan paksaan dari negara ini tidak dapat dilakukan, apabila negara tidak diminta oleh yang merasa dirugikan (si berpiutang). Lain halnya dengan sanksi hukum pidana. Bila telah terjadi perkosaan atas kepentingan hukum yang dilindungi, misalnya pasl 362 atau pasal 338, diminta atau tidak oleh korban atau keluarga korban negara tetap akan dan tetap harus melakukan perbuatan-perbuatan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi tadi, dalam hal ini Polisi sebagai penyidik akan melakukan penyidikan, kemudian jaksa penuntut akan melakukan penuntutan, dan hakim akan menjatuhkan sanksi secara konkrit dan nyata sesuai dengan pidana yang diancamkan dan norma pasal yang dilanggar tersebut. (Adami Chazawi, 2002:19). Kerasnya sanksi pidana ini dibandingkan dengan sanksi hukum selain hukum pidana, tidak saja dapat dilihat dari dan prosedure untuk menjatuhkannya, akan tetapi dengan mudah dapat dilihat dari jenis-jenis sebagaimana disebut dalam Pasal 10 KUHP. Misalnya pidana yang terberat (lihat pasal 69) adalah pidana mati, yang pelaksanaannya berupa penyerangan hak pribadi yang tiada tara harganya yang tidak dapat dinilai dengan apapun, yang sebenarnya hak itu dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Oleh sebab itu dapat dianggap bahwa, negara dalam menjalankan hukum pidana tiada lain adalah dengan melanggar hukum pidana itu sendiri. Negara dalam menjalankan norma pasal 362, berarti negara mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum atas milik kebendaan pribadi, misalnya dengan menjatuhkan 3 tahun pidana penjara kepada pelakunya, 10

22 maka sesungguhnya dengan tindakan ini negara telah melanggar hak atas kebebasan pribadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana sebagaimana dituangkan dalam pasal 333 KUHP. Inilah keistimewaan hukum pidana jika dibandingkan dengan hukum yang lainnya. Ad.2. Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penagkapan, penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari, sampai yang paling tajam berupa menjatuhkan sanksi pidana kepada pelakunya. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapasiapa kecuali negara. Hak untuk menjatuhkan pidan ini adalah diatur dalam hukum pidana itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud ini tiada lain adalah memberi dasar legitimasi bagi negara, agar dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama terutama terdapat dalam hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dilakukan negara dan bagaimana cara negara 11

23 mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. 12 Ad.3. Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuasaan Negara dalam rangka Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi. Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang disebutkan kedua, hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar negara dapat menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya dengan kekuasaan yang sangat besar itu akan sngat berbahaya bagi penduduk negara apabila tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan menjadi bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan negara menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi memeprtahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu adalah wajib. E. ASAS LEGALITAS Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang hukum pidana hendaknya wajib memperhatikan asas hukum yang dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP. Ketentuan pasal ini memuat tiang penyanggah dari hukum pidana. Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari

24 perbuatan itu. Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. (Moeljatno, 2002: 25). Dengan cara demikian ini, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan padanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. 13 Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas terlihat dalam Pasal 1 KUHP, wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan). Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan

25 pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan tertulis. Dalam menentukan ada tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas) pada umum masih dipakai oleh kebanayakan negara-negara. Asas larangan berlaku surut sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan). Asas ini diulangi untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menadakan bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi hukum pidana. 14 F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum, yaitu: 1. Asas Teritorialitas (Teritorialitas beginsel) Ketentuan asas ini dicantumkan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa Ketentuan pidana dalam undangundang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan pasal ini tegas bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, maka baginya dikenakan aturan pidana yang dicantumkan dalam undang-undang Indonesia. Yang menjadi ukuran di sini bukan warga negara Indonesia saja yang dikenakan aturan pidana Indonesia melainkan tindak pidananya terjadi di

26 dalam wilayah Indonesia. Jadi bagi orang asing sebagai penghuni Indonesia, artinya selama berada di salah satu wilayah Indonesia, kalau melakukan tindak pidana terhadapnya akan dikenakan hukum pidana Indonesia. Selain dari penegasan berlakunya aturan pidana Indonesia di dalam wilayah juga ketentuan itu diperluas dengan ketentuan pasal 3 yang menyatakan bahwa Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia di atas bahtera Indonesia melakukann tindak pidana. Pengluasan aturan pidana menurut ketentuan pasal 3 ini untuk menyatakan suatu kepastian hukum bahwa setiap kapal yang berbendera Indonesia dan bergerak di luar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya. Tetapi tidak berarti bahwa kapal yang berbendera Indonesia itu adalah Wilayah Republik Indonesia: hanya saja ukuran yang dipakai dalam hal ini adalah alat pelayaran dan alat udara Indonesia Asas Nasionalitas Aktif (actief nationaliteits beginsel) Aturan pidana Indonesia tujuannya untuk melindungi kepentingan umum (nasional). Kalau pasal 2 dan 3 hanya untuk kepentingan wilayah saja, berarti kurang cukup berhubung nation nya akan diabaikan. Karena itu KUHP menetapkan juga tentang kepentingan nasionalnya. Asas kepentingan nasional dalam aturan pidana disebut Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas (personaliteit beginsel) dan dicantumkan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa: Ayat 1: Ketentuan dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan:

27 1. Salah satu kejahatan yang dituangkan pada Bab I dan II Hukum ke dua dan pasal 160, 16, 240, 279, 450 dan Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan yang menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam Undangundang Indonesia dan dapat dipidana menurut undangundang negara tempat perbuatan itu dilakukan. Ayat 2: Penuntutan terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan pada ke-2 itu boleh juga dijalankan jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan peristiwa itu. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka bagi warga negara yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang menyangkut keamanan negara, kedudukan Kepala Negara, penghasutan untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan melebihi jumlah yang ditentukan dan pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya di sini terlihat agar pelaku tindak pidana yang warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar Indonesia, tidak diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa itu. Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan hukumannya yang dicantumkam dalam pasal 6 dan menyatakan bahwa Berlakunya pasal 5 yat 1 sub 2 itu dibatasi hingga tidak boleh diajtuhkannya pidana mati untuk peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu dilakukan. Ketentuan ini untuk melindungi individu sebagai pelaku tindak pidana tertentu di luar wilayah Indonesia yang perbuatannya di negara yang bersangkutan 16

28 tidak ada aturan pidana yang mengancam dengan hukuman mati. Maka bagi pelaku tindak pidana itu tidak dapat diancam dengan hukuman mati oleh Penuntut Umum dalam sidang pengadilan Indonesia walaupun aturan hukum pidananya tercantum ancaman hukuman mati Asas Nasionalitas Pasif (pasief nasionaliteits beginsel) Asas ini juga disebut asas perlindungan G. ILMU HUKUM PIDANA Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara: ilmu hukum pidana dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu negara (ius constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian ilmu hukum pidana dalam arti sempit adalah hukum positif yang sedang berlaku. Hukum Pidana terdiri dari norma-norma. Doktrin hukum pidana bahkan doktrin hukum pada umumnya sangat berpengaruh dan bahkan menjadi landasan dibentuknya norma hukum pidana. Oleh sebab itu dalam hal ini tugas ilmu hukum pidana adalah berusaha merumuskan dan menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar bagi norma-norma yang berlaku, baik mengenai aturan umumnya maupun aturan khusus mengenai asas yang satu dengan yang lain kemudian menyatukannya kedalam sebuah sistem yang bulat, yang semua itu diperlukan untuk dapat menjelaskan perihal norma-norma yang sedang berlaku tadi. Kajian ilmu hukum pidana diatas adalah berupa kajian klasik.

29 Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas pada kajian dogmatis sebagaimana yang diterangkan menjelaskan perihal norma-norma hukum yang sedang berlaku saja akan tetapi juga meliputi: 1. Bidang-bidang mengapa norma-norma yang berlaku itu dilanggar, kajiannya tidak terfokus pada normanya saja tapi pada sebab-sebab mengapa norma itu dilanggar, dan kemudian bagaimana upaya agar norma itu dilanggar. Kajian bidang ini telah merupakan ilmu tersendiri yang disebut dengan kriminolgi. 2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah tentang hukum yang akan dibentuk atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Walaupun kriminologi telah diakui sebagai kajian ilmu tersendiri, tetap tidak lepas dari ilmu hukum pidana, bahkan sebagai ilmu pembantu atau melengkapi ilmu hukum pidana amat berguna dalam praktik menerapkan norma hukum pidana oleh pengadilan dalam usaha mencapai keadilan. Keadilan disamping kepastian hukum dalam arti ketetapam dalam penerapan hukum adalah tujuan utama mempelajari hukum pidana. (Adami Chazawi, 2002: 22). Setelah norma-norma dibentuk dan diberlakukan secara formal, tidak dapat menghindari dan ditemukannya beberapa kelemahan atau kekurangan dalam norma tadi. Ditemukannya kelemahan ini dapat disebabkan beberapa macam, antara lain karena pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat yang berakibat norma hukum itu tidak lagi menunjang keadilan dan ketertiban, atau ditemukan atau dicita-citakan (ius constitendum) adalah suatu keharusan. Dalam ini juga menjadi kajian dari ilmu hukum pidana modern. 18

30 RANGKUMAN Hukum pidana dapat dibagi: 1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987:4) Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu. Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. 19 LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana. 2. Jelaskan perbedaan antara tujuan dan fungsi hukum pidana.

31 3. Jelasskan unsur-unsur yang terdapat dalam asas legalitas. 4. Jelaskan perbedaan antara asas nasionaliteit aktif dengan asas nasionaliteit pasif. 20 GLOSSARIUM 1. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. 2. Strafrecht. Straf berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman 3. wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan) DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kansil, CST Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta, PN Balai Pustaka. Kartanegara, Satochit, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, tt. Lamintang, P.A.F Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, Moeljatno Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.

32 21 BAB II STELSEL PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian dan Jenis-jenis Pidana, Pidana Bersyarat, dan Pelepasan Bersyarat. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan pengertian stelsel pidana. 2. Menjelaskan perbedaan antara pidana denagn tindak pidana. 3. Menjelaskan jenis-jenis pidana yang diatur dalam KUHP. 4. Menjelaskan pengertian pidana bersyarat 5. Menjelaskan pengertian pelepasan bersyarat. A. PENGERTIAN PIDANA Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa penderitaan. Perbedaannya hanyalah, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

33 Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. 22 B. JENIS-JENIS PIDANA Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Denda Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun Pidana tambahan terdiri dari: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim. Berdasarkan pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok, berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10 tersebut.

34 Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis pidana ke dalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun perbedaan jenis pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: (Adami Chazawi, 2000:26) Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif) sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan, hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif. Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana dalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan satu jenis pidana pokok pidana saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain); dan (b) tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana sifatnya alternatif, artinyanhakim harus memilih salah satu saja. Sementara, menjatuhkan pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif). Apabila menurut penilaian hakim, kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan (misalnya 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana

35 tambahan: pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35) yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan dan boleh juga tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut. Walaupun dasarnya penjatuhan jenis pidana tambahan itu bersifat fakultatif, tetapi ada juga pengecualiannya, dimana penajtuhan pidana tambahan menjadi bersifat imperatif, misalnya terdapat pada Pada 250 bis, 261 dan Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. Sesuai dengan namanya (pidana tambahan), penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menajtuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancam pada tindak pidana yang bersangkutan, artinya jenis tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok. Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok dapat berdiri sendiri, tanpa harus menjatuhkan jenis pidana tambahan. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni di mana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama

36 jenis pidana pokok, tetapi bersama dengan tindakan seperti pada Pada: 39 ayat 3, 40. (Adami Chazawi, 2000:27) Jenis pidana pokok yang diatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie). Pengecualiannya apabila pidana yang dijatuhkan itu adakah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan, misalnya pidana pencabutan hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Di samping sifat-sifat jenis pidana tambahan sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi sifat yang merupakan prinsip dasar pidana pokok, yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pembentuk UU, sebagaimana dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda. (Lamintang, 1984:47). Tentang larangan penajatuhan pidana secara kumulasi dan jenis perkara pokok ini, sesungguhnya sudah ternyata dari merumuskan dan mencantumkan pidana yang diancamkan pada setiap rumusan baik kejahatan maupun pelanggaran, dimana:

37 1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja; 2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yang diancam dengan lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sebagai bersifat alternatif, dengan menggunakan perkataan atau. 26 C. Jenis-jenis Pidana Pokok a. Hukuman Mati Baik berdasarkan Pasal 69 maupun berdasarkan hak tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa peneyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Pembentuk Undang-undang pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana telah diuraikan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun pidana mati dicantumkan dalam Undang-undang, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht (JE. Jonkers, 187:294). Tiada lain maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati hanyalah pada kejahatankejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlah sangat terbatas, seperti: 1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (104, 111 ayat 2, 123 ayat 3 jo 129);

38 2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orangorang tertentu dan atau dilakukan dengan faktorfaktor pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340; 3. Kejahahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2) 4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444). 27 Disamping itu sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah memberikan semua isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penajara terbatas maksimal 20 tahun. Dengan disediakannya hukuman alternatif, maka bagi hakim tidak selalu harus selalu menajtuhkan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatn yang diancam dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim, ia bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara konkrit. Pembentuk undang-undang menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap pidana mati yang diancam dalam rumusan kejahatan dengan pertimbangan bahwa

39 bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Oleh karena itu jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana mati, ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatif. (Adami Chazawi, 2000: 32). Pelaksanaannya hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam undang-undang Nomor 2 (PNPS) tahun b. Hukuman Penjara Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan hakim. Tempat terhukum yang ada sekarang merupakan peninggalan penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari kamar-kamar kecil yang satu sama lainnya tidak dapat berhubungan. Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur serta kewajiban mengikuti bimbingan mental rohaniah dan ketrampilan. Terhukum selama menjalankan hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukuman terbatas itu sekurang-kurangnya satu hari dan

40 selama-lamanya lima belas tahun. Kalau ada hukuman yang lebih dari lima belas tahun dan kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman plus karena rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52). 29 c. Hukuman Kurungan Dalam beberapa hal kurungan adalah sama dengan hukuman penjara, yaitu: 1. Sama, berupa hukuman hilang kemerdekaan bergerak. 2. Mengenal hukuman maksimum, maksimum khusus dan minimum, dan tidak mengenal minimum khusus. 3. Orang yang dipidana kurungan dan pidan penjara diwajibkan untuk menjalan pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan daripada narapidana penjara. 4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yang harus dipisahkan (Pasal 28) 5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan hukum tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Akan tetapi, apabila pada saat putusan dibacakan, terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam tahan sementara sehingga putusan itu mulai berlaku pada

41 30 hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila: 1. Putusan diterima baik oleh terpidana maupun oleh jaksa penuntut umum ketika putusan itu dibaca dimuka sidang yang terbuka untuk umum; 2. Apabila ketika putusan dibaca, terpidana atau jaksa penuntut umum menyatakan masih mempertimbangkan dan dalam tenggang waktu tujuh hari tidak menyatakan sikapnya, putusan itu menjadi mempunyai kekuatan hukum tetap setelah lewat waktu tujuh setelah hari putusan dibacakan. Menurut ketentuan Pasal 33 ayat 1 hakim berwenang untuk mempertimbangkan masa tahanan sementara sebagai bagian dari lamanya masa pidana yang dijalankan, yang dalam praktik hukum selama ini selalu diberlakukan karena masa tahanan sementara menjadi lama berhubung penyelesaian perkara pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Perbedaan penting antara pidana kurungan dengan pidana penjara ialah: bahwa orang dikenakan pidana dapat dipindahkan kemana saja untuk menjalani pidananya, sedangkan yang dipidana kurungan tanpa persetujuannya tidak dapat dipindahkan ke luar daerah dimana ia bertempat tinggal pada waktu ia dijatuhi pidana, perbedaan kedua ialah berupa pekerjaan yang lebih ringan, hak orang dipidana kurungan untuk memperbaiki keadaannya atas biaya sendiri. Hak inilah yang sering disebut dengan pistole.

42 Adapun minimum hukum kurungan adalah satu hari, sedangkan maksimal hukuman kurungan adalah satu tahun. Waktu satu tahun dapat dinaikkan menjadi paling lama satu tahun empat bulan, dalam hal perbarengan, pengulangan, dan yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a. Ternyata dewasa ini pidana kurungan jarang diterapkan, namun kadangkala terjadi berhubung karena melanggar Pasal 504 KUHP yaitu pengemisan. 31 d. Hukuman Denda Terhadap hukuman denda, undang-undang tidak menentukan maksimal umum, hanya minimalnya yang ditentukan yaitu dua puluh lima sen. Tidak ditentukannya dengan tegas siapakah yang harus membayar. Jika denda tidak dibayar, dapat diganti dengan hukuman kurungan pengganti denda atau kurungan subsidair. Menurut aturan yang berlaku, siterhukum bebas memilih apakah ia akan membayar atau tidak. Biarpun ia mampu membayar, ia dapat memilih untuk menjalani hukuman kurungan pengganti denda. Lamanya pidana kurungan pengganti denda, ditentukan dalam putusan. Minimal umum kurungan pengganti denda adalah satu hari dan masimal enam bulam (Pasal 30 ayat 3). Maksimal hukuman dapat dinaikkan sampai delapan bulan dalam hal perbarengan, pengulangan atau seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a (Pasal 30 ayat 3). Mengenai penentuan lamanya waktu, dalam jangka waktu mana denda harus diabayar, diserahkan kepada kebijaksanaan pegawai yang menjalankan putusan.ini

43 dimulai dengan penentuan waktu selama dua bulan, jangka waktu ini dapat diperpanjang sampai paling lama satu tahun. 32 e. Pidana Tambahan Pidana tambahan dapat diajtuhkan hanyalah bersama-sama dengan pidana pokok. Berbeda dengan penjatuhan pidana pokok, penjatuhan pidana tambahan ini pada dasarnya fakultatif. Jadi pidana ini dapat dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undangundang, tetapi tidaklah harus. Apabila undang-undang memungkinkan dijatuhkannya pidana tambahan, maka hakim harus selalu mempertimbangkan, apakah dalam perkara yang dihadapinya itu dipandang perlu atau sebaliknya diajtuhkan pidana tambahan itu. Tentu saja beberapa pengecualian, yaitu pidana tambahan ini imperatif, seperti: Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP. Pidana tambahan itu adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. D. PIDANA BERSYARAT Pidana bersyarat mulai dikenal sejak tahun 927. Jadi lembaga ini adalah jauh lebih baru jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kepidanaan lainnya. Hal yang mendorong munculnya lembaga ini adalah pikiran-pikiran baru tentang pencegahan kejahatan. Salah satu kebaikan dari lembaga ini, bahwa pengurungan mereka dalam penjara dengan pengaruhnya yang merusak atas kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan mereka dapat dihindarkan. Bukankah politik yang baik dimana pada mulanya merusak kehidupan

44 seseorang dan kemudian memerintahkan pula membangun orang itu sendiri dan hidup kemasyarakatannya. Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis. Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat, jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya. Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim) ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem Inggris- Amerika. Sebelum timbul lembaga pidana bersyarat, dalam praktek sudah pula dikenal hal tidak dituntut dengan bersyarat. Lembaga ini merupakan lanjutan dari hak penuntut umum untuk tidak menuntut sesuatu perbuatan pidana (asas opportuniteit). Terhadap asas ini, lalu ditambah dengan syarat-syarat tertentu. Pasal 14a ayat 4 KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu: bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan. Selanjutnya ayat terakhir Pasal 14a mengharuskan hakim supaya dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan pidana bersyarat. Pidana yang dijatuhkan adalah pasti, hanya saja pidana yang dijatuhkan 33

45 itu tidak akan dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu, sebaliknya pidananya tetap akan dijalankan jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi. 34 E. PELEPASAN BERSYARAT Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling sedikit 3 tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat digunakan terhadap pidana penjara yang lama. Kemudian lamanya waktu itu diperpendek. Dengan S jo 486 lamanya pidana yang sebenarnya dan sedikitnya 9 bulan. Didalamnya tidak termasuk waktu dalam tahanan, tetapi hanya waktu yang dijalani sebagai pidana saja. Jadi pelepasan bersyarat tidak mungkin diadakan terhadap pidana seumur hidup sebab 2/3 dari seumur hidup itu tidak dapat diperhitungkan. Jika terpidana seumur hidup akan dikenakan pelepasan bersyarat, maka jalan yang dapat ditempuh melalui pemberian grasi, sehingga pidana seumur hidup dijadikan pidana penjara sementara waktu. Barulah kemudian diadakan pelepasan bersyarat. Mereka yang tidak berkelakuan baik tidak akan diberikan pelepasan bersyarat. Pelepasan bersyarat terdiri dari syarat umum dan khusus. Isi syarat umum ialah terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana atau berkelakuan tidak baik lainnya. Yang dimaksud dengan berkelakuan tidak baik, misalnya: hidup yang tidak teratur atau bermalas-malasan, bergaul dengan orang yang tidak baik. Syarat khusus, harus mengenai kelakuan terhukum dan ini tidaklah merupakan

46 keharusan, artinya boleh diadakan dan boleh ditiadakan, karena itulah maka syarat-syarat ini diadakan berbeda-beda menurut kejadian masing-masing. Pihak Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM bagi seseorang selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1), untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat, juga didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: 1. Sifat tindak pidana yang dilakukan; 2. Pribadi dan riwayat hidup narapidana; 3. Kelakuan narapidana selama pembinaan; 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan; 5. Penerimaan masyarakat di mana ia akan bertempat tinggal. Apabila seseorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka diberikan maka diberikan masa percobaan yang lamanya lebih satu tahun dari sisa pidana yang belum dijalaninya (Pasal 15 ayat (3)). Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syarat-syarat tentang kelakuannya setelah ia dilepas. Syarat ini ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbauatan tercela lainnya. Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pnegertian lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang ke tempat pelacuran atau hiburan malam, 35

47 seperti diskotik, dugem, bergaul dengan penjahat, preman dan lainnya. Sementara itu syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah agamanya. Selama masa percobaan syarat-syarat khusus bisa diubah, dan dapat juga dicabut, dapat ditetapkan syarat istimewa. Begitu juga dalam masa percobaan, pengawasan dapat diserahkan pada pihak lain yang bersifat istimewa, selain lembaga khusus yang mengawasinya (BAPAS). Disamping pelepasan bersyarat, keringanan pelaksanaan hukuman dapat juga dilakukan dengan remisi. Remisi adalah pengurangan pelaksanaan pidana yang dapat diberikan pada narapidana, yang biasanya diberikan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI dan Hari Keagamaan. Alasan pemberian remisi adalah yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana di lembaga Pemasyarakatan. RANGKUMAN Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Denda 36

48 Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 1946). Pidana tambahan terdiri dari: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim. Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis. Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat, jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya. Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim) ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem Inggris- Amerika. Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling sedikit 3 tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat digunakan terhadap pidana penjara yang lama. 37 LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana dengan pidana. 2. Jelaskan jenis-jenis pidana/hukuman yang daiatur dalam KUHP.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

Kapita Selekta Ilmu Sosial

Kapita Selekta Ilmu Sosial Modul ke: Kapita Selekta Ilmu Sosial Hukum Pidana Fakultas ILMU KOMUNIKASI Finy F. Basarah, M.Si Program Studi Penyiaran Hukum Pidana Kapita Selekta Ilmu Sosial Ruang lingkup: Mengenai Hukum Pidana secara

Lebih terperinci

PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA

PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA PHI 6 ASAS HUKUM PIDANA OLEH HERLINDAH, SH, M.KN 1 Sub Pokok Bahasan: 1. Istlah dan Pengertan Hukum Pidana 2. Sumber Hukum Pidana 3. Ruang Lingkup Hukum Pidana 4. Asas-Asas Hukum Pidana 2 1. Pengertan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. Ali Dahwir, SH., MH Hukum Pidana BAB 1 PENDAHULUAN A. Istilah Hukum Pidana Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah

Lebih terperinci

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R.

Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana. Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pengantar Hukum Indonesia Materi Hukum Pidana Disampaikan oleh : Fully Handayani R. Pendahuluan Istilah Hukum Pidana menurut Prof. Satochid mengandung beberapa arti atau dapat dipandang dari beberapa sudut,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, HASIL Rapat PANJA 25 Juli 2016 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum pidana di negara kita selain mengenal pidana perampasan kemerdekaan juga mengenal pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang. Pidana yang berupa pembayaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.

Lebih terperinci

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO)

SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) SOAL DAN JAWABAN TENTIR UTS ASAS-ASAS HUKUM PIDANA 2016 BY PERSEKUTUAN OIKUMENE (PO) 1. Jelaskan pengertian hukum pidana menurut Moeljatno, Pompe, dan Van Hamel Jawaban: Menurut Moeljatno: Hukum Pidana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana Menurut Moeljatno (2000: 1), hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum. PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR Suwarjo, SH., M.Hum. Abstrak Pemberantasan dollar AS palsu di Indonesia terbilang cukup sulit karena tidak terjangkau oleh hukum di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP 29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. dengan tindak pidana, Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan, yang berupa perintah atau larangan yang mengharuskan untuk ditaati oleh masyarakat itu. Berkaitan dengan tindak pidana,

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional RKUHP (RUUHP): Politik Pembaharuan Hukum Pidana (1) ARAH PEMBANGUNAN HUKUM

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang- 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana memiliki makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaranpelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

Lebih terperinci

Soal Tentir Asas-Asas Hukum Pidana 2015

Soal Tentir Asas-Asas Hukum Pidana 2015 Soal Tentir Asas-Asas Hukum Pidana 2015 Soal Pilihan Ganda 1. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, yang merupakan intisari dari Pasal 1 ayat 1 KUHP berisikan hal berikut kecuali.. a.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan keadaan yang teratur, aman dan tertib, demikian juga hukum pidana yang dibuat oleh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR 1.1 Pengertian Hukum Pidana Hukum Pidana Endah Lestari D.,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya

BAB I PENGANTAR 1.1 Pengertian Hukum Pidana Hukum Pidana Endah Lestari D.,SH,MH. Fakultas Hukum Univ. Narotama Surabaya BAB I PENGANTAR 1.1 Pengertian Hukum Pidana Hukum adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar norma hukum pidana maka ganjarannya adalah hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan

BAB II TINJAUAN UMUM. Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan BAB II TINJAUAN UMUM A. Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatanperbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya

Lebih terperinci

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis

Lebih terperinci

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING DALAM PERKARA PIDANA (SUATU TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PERKARA No. 184/Pid.B/2010/PN.Bgr) Oleh Fadli Indra Kusuma 010104084 (Mahasiswa Hukum

Lebih terperinci

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan 1 Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk FH USI Di satu sisi masih banyak anggapan bahwa penjatuhan pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan upaya

Lebih terperinci

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGATUR TENTANG SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban pidana 1. Pengertian Pidana Istilah pidana atau hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA RUU TENTANG KUHP ------------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang : 2015-2016. Masa Persidangan

Lebih terperinci

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana.

BAB II TINDAK PIDANA MILITER. tentang apa yang disebut dengan tindak pidana tersebut, yaitu : dilarang dan diancam dengan pidana. BAB II TINDAK PIDANA MILITER 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya Ada baiknya dikemukakan terlebih dahuku apa yang dimaksud dengan tindak pidana (strafbaar feit, delict, criminal act). Ada beberapa pandangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan hukum pidana nasional Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup) merupakan bagian dari pidana pokok dalam jenis-jenis pidana sebagaimana diatur pada Pasal

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA I. UMUM Bahwa hak asasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Deklarasi Universal

Lebih terperinci

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP 2012 A. Pengertian Zina Lajang Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul yang sekarang

Lebih terperinci

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana Dosen Pengampu: Ahmmad Bahiej, S.H., M.Hum. PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PIDANA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA Pidana dalam KUHP Pidana merupakan

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)

BAB III TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) BAB III TINDAK PIDANA YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN KARENA PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) A. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang di Indonesia telah menyebut istilah Strafbaar feit sebagai istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya,

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Pencurian 1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku kedua, Bab XXII, Pasal 362 yang berbunyi:

Lebih terperinci

Penipuan, Perampokan, Penganiayaan, Pemerkosaan, dan Korupsi. Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-najar dalam diktat Pengantar Ilmu Hukum -nya

Penipuan, Perampokan, Penganiayaan, Pemerkosaan, dan Korupsi. Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-najar dalam diktat Pengantar Ilmu Hukum -nya ILMU HUKUM PIDANA Ilmu Hukum Pidana ialah ilmu tentang Hukum Pidana. Yang menjadi objek atau sasaran yang ingin dikaji adalah Hukum Pidana. Ilmu Hukum Pidana mempunyai tugas untuk menjelaskan, menganalisa

Lebih terperinci

Pengertian Hukum Pidana Sumber Hukum Pidana Asas-asas berlakunya hukum pidana Hukum Pidana dan Kriminologi Peritiwa Pidana Jenis-Jenis Hukuman

Pengertian Hukum Pidana Sumber Hukum Pidana Asas-asas berlakunya hukum pidana Hukum Pidana dan Kriminologi Peritiwa Pidana Jenis-Jenis Hukuman Pengertian Hukum Pidana Sumber Hukum Pidana Asas-asas berlakunya hukum pidana Hukum Pidana dan Kriminologi Peritiwa Pidana Jenis-Jenis Hukuman Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana substantif/materiel dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat baik masyarakat modren maupun masyarakat

Lebih terperinci

POKOK-POKOK HUKUM PIDANA oleh : Susan Fitriasari Heryanto,M.Pd

POKOK-POKOK HUKUM PIDANA oleh : Susan Fitriasari Heryanto,M.Pd POKOK-POKOK HUKUM PIDANA oleh : Susan Fitriasari Heryanto,M.Pd PENGERTIAN HUKUM PIDANA Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan

Lebih terperinci

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengedaran Makanan Berbahaya yang Dilarang oleh Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT PASAL 365 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh : Fentry Tendean 2 ABSTRAK Pandangan ajaran melawan hukum yang metarial, suatu perbuatan selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu) RISKA YANTI / D 101 07 622 ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pertimbangan Hakim

Lebih terperinci

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan 24 BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU A. Defenisi Pidana Penjara Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara.

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2

Lex Crimen Vol. II/No. 7/November/2013. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DARI ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN PEMBUNUHAN 1 Oleh : Safrizal Walahe 2 A B S T R A K Ruang lingkup penelitian ini adalah pada disiplin Ilmu Hukum, maka penelitian ini merupakan

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk II.TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk menyebutkan kata Tindak Pidana di dalam KUHP. Selain itu

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh (1983:75) pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 40 BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP 1. Pengertian Penganiayaan yang berakibat luka berat Dalam Undang-Undang tidak memberikan perumusan apa yang dinamakan penganiayaan. Namun menurut

Lebih terperinci

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara Pasal 104 Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Pidana Joeni Arianto Kurniawan,S.H.

Pengantar Hukum Pidana Joeni Arianto Kurniawan,S.H. Pengantar HUKUM PIDANA bäx{m Joeni Arianto Kurniawan, S. H. Latar Belakang & Hakekat Hukum Pidana: Manusia kepentingan selaras interaksi tidak selaras Manusia kepentingan Pemenuhan kepentingan dg memperhatikan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository USU Repository 2006 DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... ii A. Pengertian... 1-2 B. Dasar Peniadaan Penuntutan... 3-6 C. Hapusnya Hak Menuntut... 7-13 Kesimpulan... 14 Daftar Pustaka...... 15 ii

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat secara empiris disparitas pidana merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas pidana juga membawa

Lebih terperinci

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam

Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Perkembangan Asas Hukum Pidana dan Perbandingan dengan Islam Faiq Tobroni, SHI., MH. Perkembangan Asas Asas Legalitas 1. Dalam Rancangan KUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan Wetboek

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan 1. Pengertian Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hakikat dari tindak pidana ringan dan bagaimana prosedur pemeriksaan

Lebih terperinci

SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER

SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER SISTEM PENJATUHAN PIDANA TAMBAHAN PEMECATAN DARI DINAS MILITER 1. Latar Belakang. Dari sejumlah pendapat sarjana tentang teori tujuan pemidanaan modern baik dipandang dari sudut atau meliputi usaha prevensi,

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci