Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis"

Transkripsi

1 Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis Eddy Surjanto, Juli Purnomo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1-3 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin (Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous discharge. 3 Mukosa hidung dan bronkus memiliki banyak kemiripan. Kebanyakan pasien asma mempunyai gejala rinitis yang mendukung konsep one airway one disease. Akan tetapi tidak semua pasien rinitis menderita asma. 4 Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terjadi bersamaan pada setiap negara. Prevalensi penderita asma tanpa rinitis kurang dari 2% sedangkan penderita asma dengan rinitis berkisar antara 10%-40%. Pasien dengan rinitis persisten lebih banyak menderita asma. 5 Anak dan dewasa yang menderita asma dan rinitis secara bersamaan lebih banyak pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan lebih lanjut dibanding menderita asma saja. Suatu penelitian menemukan pasien tersebut lebih banyak tidak masuk kerja dan menurunkan produktivitasnya tetapi dalam penelitian lain tidak menemukan hal tersebut. 6 Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma 1

2 mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin (IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah yang rendah IL-4 dan IL-13 berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah. 7 Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat setelah musim serbuk sari (pollen season). 8 Pasien dengan perennial rhinitis memiliki reaktivitas bronkus yang lebih tinggi dibanding pasien seasonal rhinintis. 9 HYGIENE HYPOTHESIS Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi. 10 Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper (Th) 2. Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th 1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th 1 /Th 2. Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberculosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th 2 menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th 2, merangsang produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing. 11 Untuk lebih jelasnya faktor yang menentukan keseimbangan sitokin tipe Th 1 dan Th 2 dapat dilihat dalam gambar 1 di bawah. 2

3 Gambar 1. Keseimbangan sitokin Th 1 dan Th 2 Dikutip dari 14 Sel Th 1 dan Th 2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th 2 dan Th 1. Perkembangan sekresi Th 2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th 2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th 1, ini merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam tahun terahir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan peningkatan respons Th 1 dan akan menurunkan kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th Sel Th 2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th 1 yang menghasilkan interferon gama (IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah. 3

4 Gambar 2. Pengaturan sintesis IgE limfosit B oleh limfosit T Dikutip dari 12 Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES). 7 MEKANISME INFLAMASI SALURAN NAPAS Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. 14 Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th 2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil. 14 Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling 4

5 (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis. 15 Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu vascular-cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1. 7,14 Gambar 3. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi Dikutip dari 15 Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang persisten. 14 Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah. 5

6 Gambar 4. Proses inflamasi pada saluran napas Dikutip dari 14 Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum diketahui secara pasti. 16 Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma. 7 6

7 Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos. 12 Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi. 12 Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah. Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit MEDIATOR RINITIS TANDA DAN GEJALA ASMA HISTAMIN HIDUNG GATAL, BERSIN, RINOREA, OBSTRUKSI BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI PROTEIN PLASMA, SEKRESI MUKUS LEUKOTRIENS RINIOREA, OBSTRUKSI BRONKOKONSTRIKSI, EKSUDASI PROTEIN PLASMA, SEKRESI MUKUS KININS PROSTA- GLANDINS ENDOTELIN OBSTRUKSI OBSTRUKSI HIDUNG GATAL, BERSIN, RINOREA BRONKOKONSTRIKSI, BATUK BRONKOKONSTRIKSI (PROSTA- GLANDIN E2ά, PROSTAGLANDIN D2), ANTI BRONKOKONSTRIKTOR (PROSTAGLANDIN E2), BATUK (PROSTAGLANDIN F2ά) BRONKOKONSTIKSI Dikutip dari 12 Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. 7 Reaksi fase lambat diawali 7

8 dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th 2 CD4, selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase dan metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus. 17 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 5. Gambar 5. Mekanisme inflamasi tipe cepat dan lambat Dikutip dari 17 Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat. 18 Untuk lebih jelasnya peran dari masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam gambar 6. 8

9 Gambar 6. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat. Dikutip dari 18 Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan peningkatan reaktifitas saluran napas. 19 Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinofil. 20 Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien pada receptornya (cysteinil LT 1 ) mempunyai efek yang bermakna pada penderita rinitis dan asma. 7 Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan 9

10 berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotrien. 7 Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ. 21 Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid. 22 Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang síntesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6, IL- 11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblas. 22 Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel epitel, síntesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά.. 22 Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas dapat dilihat pada gambar 7. 10

11 Gambar 7. Pengaruh eosinofil terhadap remodeling jalan napas Dikutip dari 22 Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen. 7 Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama. 7 Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi. 7 11

12 Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru. 23 Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis alergi dan asma. 7 SITOKIN PADA ASMA Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme). 15 Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyata karena ada kompensasai sitokin lain. 15 Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada gambar 8. 12

13 Gambar 8. Sifat sifat sitokin Dikutip dari 15 Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran. 15 Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. 13 Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai : Sitokin Th 2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13, 2. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1ß, 3. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1, 4. Growth factor seperti transforming growth factor ß dan epidermal growth factor. 13

14 Berikut ini akan dibahas peran dari masing-masing sitokin tersebut di atas. 1. Sitokin Th2 Di antara sitokin yang dihasilkan oleh Th 2, IL-4 dan IL-5 mempunyai peranan yang paling penting. 13 Interleukin-4 Interleukin-4 merupakan sitokin utama dalam patogenesis respons alergi. Hal tersebut berhubungan dengan sekresi IgE oleh limfosit B. Respons imun yang dimediasi oleh IgE ditingkatkan oleh IL-4 melalui kemampuannya memperbaiki reseptor IgE di permukaan sel. Reseptor tersebut antara lain reseptor IgE yang dengan afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada limfosit B dan sel mononuklear, serta reseptor IgE dengan afinitas tinggi terhadap sel mast dan basofil. Aktivasi sel mast tergantung IgE yang dirangsang oleh IL-4 ini mempunyai peran yang penting dalam perkembangan reaksi alergi tipe cepat. Mekanisme lain dimana IL-4 menyebabkan obstruksi saluran napas adalah melalui induksi gen musin dan hipersekresi mukus. Interleukin-4 meningkatkan ekspresi eotaksin dan sitokin inflamasi yang lain dari fibroblas yang akan menyebabkan inflamasi dan airway remodelling. 23 Aktivitas IL-4 yang penting dalam merangsang inflamasi pada pasien asma adalah melalui rangsangan vascular cell adhesión molecule (VCAM)-1 pada endotel vaskuler. 24 Melalui interaksi VCAM-1, IL-4 secara langsung menyebabkan migrasi limfosit T, monosit, basofil dan eosinofil ke daerah inflamasi. Interleukin-4 juga menghambat apoptosis eosinofil dan menyebabkan inflamasi eosinofilik dengan merangsang kemotaksis dan aktivasi eosinofil melalui peningkatan ekspresi eotaksin. 25 Aktivitas biologis IL-4 yang penting dalam perkembangan inflamasi alergi adalah kemampuannya mengendalikan diferensiasi sel limfosit T helper tipe Th 0 menjadi Th 2. Sel Th 2 ini bisa mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 tetapi tidak bisa mensekresikan IFN-γ

15 Interleukin -5 Peran utama IL-5 adalah dalam hal maturasi eosinofil di sumsum tulang dan pelepasannya ke darah. Interleukin-5 pada manusia bekerja hanya pada eosinofil dan basofil yang akan menyebabkan maturasi, pertumbuhan, aktivasi dan kemampuan hidupnya. 13 Pasien asma atopi mempunyai peningkatan ekspresi sitokin tipe Th 2 (IL-2, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF) pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL) maupun biopsi bronkus dibanding dengan orang normal, tetapi tidak ada perbedaan dalam ekspresi sitokin Th 1. Pasien asma atopi berhubungan dengan aktivitas IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF. 28 Gen mrna IL-5 juga ditemukan pada eosinofil dan sel mast jaringan yang teraktivasi pada pasien dermatititis alergi, rinitis alergi dan asma. Hal ini meningkatkan dugaan bahwa IL-5 terdapat pada pasien atopi. 13 Interleukin-5 merupakan sitokin utama yang mengaktifkan eosinofil pada respons tipe lambat setelah pajanan antigen. Interleukin-5 merupakan sitokin penting dalam recruitment dan survival eosinofil. Sebaliknya IL-5 tidak penting dalam respons inflamasi tipe cepat pada pasien asma. Interleukin-5 tidak didapatkan di cairan BAL pada pasien asma ringan segera setelah terpajan alergen. Interleukin-5 juga berperan penting dalam recruitment eosinofil dari darah ke jaringan. Hal ini dibuktikan dengan pemberian lokal recombinant human IL-5 di hidung pada pasien rinitis alergi merangsang akumulasi eosinofil dalam mukosa hidung. Interleukin-5 juga merangsang aktivasi eosinofil yang berada di jaringan yang mengalami inflamasi. 28 Interleukin-13 Kadar IL-13 juga meningkat pada pasien asma dan mempunyai aktivitas biologis yang sangat mirip dengan IL-4. Hal ini bisa dilihat dari struktur reseptornya. Terdapat bukti bahwa kloning DNA terhadap IL-13 yang memperlihatkan bahwa reseptor IL-4 rantai ά merupakan komponen reseptor IL- 13. Pemberian antagonis reseptor IL-4 dapat menghambat reseptor IL-4 maupun IL Peran IL-13 terhadap asma diantaranya adalah : 15

16 1. Fungsinya overlap dengan IL Merangsang sel B untuk mensintesis imunoglobulin E. 3. Mengatur ekspresi Fc ε R II (reseptor imunoglobulin E dengan afinitas rendah). 4. Mengatur dalam penurunan produksi sitokin proinflamasi (TNF-α dan IL- 1β), kemokin (RANTES) dan IL Mengatur peningkatan ekspresi VCAM-1 tapi bukan ICAM Meningkatkan survival eosinofil. 7. Kemotaksis dan aktifasi fibroblas. 8. Merangsang produksi mukus. Pemberian antibodi anti IL-4 selama sensitisasi menunjukkan efek inhibisi dalam perkembangan Th 2. Hal ini menunjukkan IL-4 penting dalam repons antigen tipe cepat. Interleukin-4 jika diberikan pada hewan yang telah mengalami sensitisasi kurang berpengaruh dalam menurunkan produksi sitokin Th 2, refluks eosinofil dan hiperresponsivitas bronkus. Sebaliknya IL-13 lebih berperan daripada IL-4 setelah pajanan antigen sekunder 13 Interleukin-9 Interleukin-9 dihasilkan oleh Th 2 dan eosinofil. Interleukin-9 merangsang proliferasi sel T yang telah teraktivasi, meningkatkan produksi IgE dari sel B, merangsang proliferasi dan diferensiasi sel mast dan merangsang ekspresi kemokin CC di sel epitel paru. Interleukin-9 berperan dalam hiperplasia sel goblet dan perkembangan sel mast. 30 Pengaruh IL-9 terhadap asma adalah sebagai berikut : Merangsang proliferasi sel T yang teraktivasi. 2. Meningkatkan produksi imunoglobulin E 3. Mengatur rantai ά pada reseptor Fc ε R II 4. Meningkatkan ekspresi IL-5, deferensiasi dan survival eosinofil 5. Merangsang proliferasi dan deferensiasi sel mast 6. Merangsang ekspresi kemokin CC pada epitel paru. 16

17 2. Sitokin proinflamasi Sitokin lain yang berperan dalam patogenesis asma adalah sitokin proinflamasi yaitu TNF-α dan IL-1ß. Pengaruh TNF-ά diantaranya recruitment leukosit melalui pengaturan molekul adhesi pada sel endotel vaskuler dan merangsang sintesis sitokin dan kemokin. Sitokin TNF-ά juga bisa merangsang sel mesenkim seperti fibroblas atau sel otot polos. Hal ini akan menyebabkan airway remodelling. Inhalasi TNF-ά pada orang sehat menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas dan jumlah neutrofil sputum. 31` Bukti menunjukkan bahwa TNF-ά merupakan elemen penting dalam menentukan derajat keparahan asma. Sampel sputum dan biopsi dari pasien asma berat menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil. Salah satu perangsang utama dalam recruitmen neutrofil adalah pajanan endotoksin. Keparahan gejala asma berhubungan dengan endotoksin dalam debu rumah dibanding alergen. Penelitian pada hewan menunjukkan efek yang dimediasi endotoksin terjadi karena terlepasnya TNF-ά endogen. 32 Serangan asma akut juga dipengaruhi oleh jumlah TNF-ά. Penelitian terhadap cairan BAL pasien asma terpasang ventilator karena asma berat terdapat peningkatan kadar neutrofil dan sitokin pro-inflamasi seperti TNF-ά. 33 Sitokin GM-CSF merupakan salah satu colony stimulating factor (CSF) yang bekerja dalam mengatur pertumbuhan, diferensiasi dan aktivasi sel hematopoetik termasuk sel inflamasi seperti eosinofil dan neutrofil. Sitokin GM- CSF dihasilkan oleh beberapa sel saluran napas yaitu makrofag, eosinofil, sel T, fibroblas, sel epitel, sel endotel dan sel otot polos saluran napas. Sitokin tersebut juga bisa memperlama daya tahan hidup sel eosinofil. Sitokin GM-CSF dapat merangsang pelepasan anion superoksid dan cys-lts dari eosinofil. Sitokin GM- CSF dapat merangsang sintesis dan pelepasan beberapa sitokin lain termasuk IL-1 dan TNF-ά dari monosit. Ekspresi gen GM-CSF pada epitel tikus dengan menggunakan vektor adenovirus menyebabkan akumulasi eosinofil dan makrofag yang berhubungan dengan fibrosis yang irreversibel. Hal ini 17

18 menunjukkan bahwa GM-CSF mengakibatkan eosinofilia kronis dan airway remodeling pada asma. 34 Imunomodulatory cytokine Inflamasi saluran napas tidak hanya dirangsang oleh peningkatan ekspresi sitokin Th 2 tetapi juga oleh penurunan ekspresi sitokin yang berlawanan. Immunomodulatory cytokines penting yang terlibat adalah IL-12, IL-18, interferon gamma (IFN-γ) dan IL Interleukin -12, interleuikin-18 dan interferon gamma Ekspresi IL-12 menunjukkan penurunan pada biopsi bronkus pasien asma. Interleukin-12 dihasilkan oleh antigen-precenting cells (APC) yang berperan penting dalam differensiasi Th 1 /Th 2 selama presentasi antigen primer. Sel APC utama yang terlibat dalam proses sensitisasi aeroalergen adalah sel dendrit di epitel saluran napas. Sel dendrit menunjukkan uptake antigen yang tinggi tetapi mempunyai kapasitas yang rendah sebagai APC. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa pemberian IL-12 selama proses sensitisasi primer akan menekan perkembangan Th 2 yang diinduksi alergen. Interleukin-5 merangsang produksi IFN-γ dan menurunkan produksi IL-5 akibat pelepasan IL Interleukin-12 dan IL-18 mempunyai kerja yang sinergis. Interleukin-18 disekresi oleh makrofag dan dikatakan sebaagai IFN-γ releasing factor. Tidak adanya IL-18 meningkatkan eosinofilia yang diinduksi oleh antigen. Interleukin- 12 dan IL-18 bekerja sinergis dalam merangsang IFN-γ dan menghambat sintesis IgE yang tergantung IL-4. Hal tersebut akan menghambat hiperresponsivitas saluran napas yang dinduksi alergen. 36 Interleukin-10 Interleukin-10 merupakan sitokin yang mempunyai potensi untuk menurunkan proses inflamasi yang diatur oleh Th 1 maupun Th 2. Interleukin-10 juga mempunyai efek yang menguntungkan dalam airway remodelling. Sitokin 18

19 IL-10 menurunkan sintesis kolagen tipe I dan proliferasi otot polos vaskuler. 37 Efek IL-10 terhadap respons saluran napas masih kontradiksi. 13 Satu penelitian menunjukkan bahwa IL-10 menurunkan respons saluran napas, 34 tetapi penelitian lain mendapatkan bahwa IL-10 menaikkan respons saluran napas yang dinduksi alergen meskipun terdapat penurunan recruitment eosinofil. 39 Dari keterangan terebut di atas dapat disimpulkan bahwa kejadian asma tidak hanya dipengaruhi oleh peningkatan sitokin Th 2 tapi juga oleh penurunan immunomodulatory cytokine. 13 Untuk lebih jelasnya peran sitokin dalam patogenesis asma dapat dilihat pada gambar 9. Gambar 9. Sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma Dikutip dari Growth factor Asma kronik berhubungan dengan airway remodeling dengan terjadi fibrosis (terutama dibawah epitel), penebalan lapisan otot polos saluran napas, peningkatan jumlah mucus-secreting cell dan angiogenesis. Perubahan ini sebagai akibat growth factor yang disekresikan oleh sel inflamasi dan sel saluran napas. 35 Growth factor yang berperan yaitu platelet-derived growth factor (PDGF) dan trasnsforming growth factor (TGF)-β. Platelet-derived growth factor Platelet-erived growth factor dilepaskan dari beberapa sel di saluran napas. Sumber PDGF antara lain platelet, makrofag, sel endotel, fibroblas, sel 19

20 epitel saluran napas dan sel otot polos vaskuler. Beberapa rangsangan seperti IFN-γ dari makrofag alveoli, hipoksia, basic fibroblast growth factor (bfgf), stres mekanik sel endotel, TNFά, IL-1 dan TGF-β fibroblas dapat merangsang pelepasan PDGF. Jumlah reseptor PDGF diatur oleh TGF-β yang dapat meningkatkan ekspresi resptor PDGF kulit manusia. Platelet-derived growth factor mengaktivasi fibroblas untuk berproliferasi dan mensekresi kolagen pada otot saluran napas. Kemampuannya mengekspresikan TGF-β dapat meningkatkan peran eosinofil dalam remodeling jalan napas. 34 Transforming growth factor-β Makrofag paru menyimpan banyak TGF-β selama proses inflamasi. Fibroblas paru merupakan sumber TGF-β. Sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil dan sel otot polos dpat mensekresikan TGF-β. Sitokin TGF-β berada di epitel saluran napas bawah normal. Sitokin TGF-β terdiri dari famili growth-modulating cytokine yang dapat berperan penting dalam pembentukan protein matriks. Sitokin TGF-β dapat merangsang maupun menghalangi proliferasi fibroblas, tergantung interaksinya dengan sitokin lain. Sitokin TGF-β merangsang transkripsi fibronektin yang dapat berfungsi sebagai agen kemotaktik dan growth factor pada fibroblas manusia. 34 Sitokin TGF-β juga terlibat dalam perbaikan epitel saluran napas yang mengalami kerusakan, TGF-β merupakan perangsang utama dalam diferensiasi sel epitel normal. Sitokin TGF-β merupakan sitokin profibrotik utama dalam merangsang fibrosis untuk meningkatkan sintesis dan sekresi matriks ekstraseluler. Sitokin TGF-β juga merupakan kemoatraktan penting beberapa sel seperti monosit, fibroblas dan sel mast. 34 Sitokin TGF-β mengaktivasi monosit untuk memproduksi sitokin lain seperti TNF-ά, TGFά dan PDGF-B dan IL-1. Sitokin TGF-β mempunyai cara kerja kompleks pada sistem imun. Sitokin TGF-β 1 menghambat sel T dan B. Sitokin TGF-β menghambat proliferasi IL-1- dependent lympocyte, menghalangi perangsangan resptor IL-2 di sel T yang dimediasi IL-2, menghambat proliferasi sel otot polos saluran napas

21 Secara garis besar pengaruh sitokin terhadap patogenesis asma dapat dilihat pada keterangan di bawah : 13 Limfokin *IL-2 *IL-3 *IL-4 *IL-5 *IL-13 *IL-15 *IL-16 Pengaruh Eosinofilia pada invivo Perkembangan dan diferensiasi sel T Eosinofilia pada invivo Faktor hemopoetik yang penting Meningkatkan perkembangan eosinofil Menaikkan sel Th2, menurunkan sel Th1 Menaikkan IgE Maturasi eosinofil Menurunkan apoptosis eosinofil Hiperreaktivitas bronkus meningkat Mengativasi eosinofil Menurunkan apoptosis eosinofil Menaikkan IgE Seperti IL-2 Migrasi eosinofil Growth factor dan kemotaksis sel T (CD4) Sitokin proinflamasi *IL-1 Meningkatkan adesi pada endotel vaskuler, akumulasi eosinofil invivo Growth factor untuk sel Th2 Growth factor sel B, kemoatraktan netrofil, aktivasi sel T dan epitel Hiperrektivitas bronkus meningkat *TNF-ά Mengaktivasi epitel, endotel, APC, monosit / makrofag Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus *IL-6 Growth factor sel T Growth factor sel B Meningkatkan IgE 21

22 *IL-11 *GM-CSF *SCF Growth factor sel B Mengaktivasi fibroblas Meningkatkan hipereaktivitas bronkus Mengaktifkan dan menurunkan apoptosis eosinofil Merangsang pelepasan leukotrien Maturasi dan diferensiasi sel hematopoetik, migrasi endotel Meningkatkan hiperreaktivitas bronkus Meningkatkan VCAM-1 pada eosinofil Growth factor sel mast Sitokin inhibisi *IL-10 Menurunkan survival eosinofil Menurunkan sel Th2 Menurunkan aktivasi makrofag/monosit, menaikkan sel B Menaikkan pertumbuhan sel mast Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IL-Ira Menurunkan proliferasi sel Th2 Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IFN-γ Menurunkan influk eosinofil Menurunkan sel Th2 Mengaktivasi sel endotel, sel epitel, makrofag / monosit alveoli Menurunan IgE Menurunkan hiperreaktivitas bronkus *IL-18 Melepaskan IFN-γ dari sel Th1 Mengaktivasi sel natural killer (NK) dan monosit Menurunkan IgE Growth factor *PDGF Proliferasi fibroblas dan otot polos saluran napas Melepaskan kolagen *TGF-β Menurunkan proliferasi sel T, menghalangi efek IL-2 22

23 Proliferasi fibroblas Kemoaktraktan monosit, fibroblas dan sel mast Menurunkan proliferasi otot polos saluran napas 4. Kemokin Kemokin merupakan sitokin kemotaksis yang berperan dalam menarik sel inflamasi ke jaringan. Recruitment sel inflamasi ke dalam mukosa saluran napas memerlukan kerjasama dengan aktivitas imunoregulasi sel Th 2, ekspresi molekul adhesi pada endotel vaskuler dan aktivitas kemokin. Berdasar jumlah dan letak sistein dalam urutan asam amino, kemokin dikategorikan sebagai C, CC, CCX atau CX3C. Kemokin CXC atau kemokin-ά berfungsi menarik neutrofil sehingga berhubungan dengan proses inflamasi akut. Saat ini yang menjadi perhatian dalam proses inflamasi alergi terfokus pada kemokin CC atau kemokin-β. Kemokin tersebut mempunyai aktifitas kemotaktik terhadap eosinofil, sel dendrit, limfosit T, basofil dan monosit. Beberapa kemokin CC melekat pada reseptor CCR3, seperti RANTES, MCP-3, MCP-4 dan ligan spesifik CCR3 yaitu eotaksin. Pelepasan eotaksin berhubungan dengan derajat hiperresponsivitas bronkus. Blokade reseptor CCR3 menggunakan antibodi monoklonal atau modifikasi protein RANTES seperti Met-RANTES atau AOP-RANTES terbukti efektif pada percobaan binatang. 13 KESIMPULAN 1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. 2. Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen sehingga merangsang inflamasi yang dimediasi IgE. 3. Asma dan rinitis alergi mendukung konsep one airway one disease. 4. Terdapat persamaan dan perbedaan mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis alergi. 23

24 DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma pedoman, diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia. Jakarta : Balai penerbit UI, Boushey HA, Corry DB, Fahy JV. Asthma. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, editors. Textbooks of respiratory medicine. 4 th, ed. Philadelphia:WB Saunders company : 2005.p Bousquet J, Khaltaev K, Cruz. A, Denburg, Fokkens W, Togias A, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Allergy 2008; 63: Demoly P, Bousquet. J. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced. Allergy 2008; 63: Downie SR, Andersson M, Rimmer J, Leuppi JD, Xuan W, Akerlund A, et al. Association between nasal and bronchial symptoms in subjects with persistent allergic rhinitis. Allergy 2004; 59: Price D, Zhang Q, Kocevar VS, Yin DD, Thomas M. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy 2005; 35: Alan R, David M, Jeffrey MD, Klause FR, Stephen PP, Robert MN, et al. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med 1999: 160: Riccioni G, Della Vecchia R, Castronuovo M, Di Pietro V, Spoltore R, De Benedictis M, et al. Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal and perennial rhinitis: is there a link for asthma and rhinitis? Int J Immunopathol Pharmacol 2002; 15: Sohn SW, Lee HS, Park HW, Chang YS, Kim YK, Cho SH, et al. Evaluation of cytokine mrna in induced sputum from patients with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes. Allergy 2008; 63: Strachan DP. Hay fever, hygiene, and household size. BMJ 1989; 299: Alfven T, Braun-Fahrlander C, Brunekreef B, von Mutius E, Riedler J, Scheynius A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in children related to farming and anthroposophic lifestyle the PARSIFAL study. Allergy 2006; 61: Peter H. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for treatment. BMJ 1998; 316: Kips J. Cytokines in asthma. Eur Respir J 2001; 18: Busse WW, Lemanske RF. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: Karnen GB. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI, Shaver JR, O Connor J, Pollice M, Cho SK, Kane GC, Fish JE. Pulmonary inflammation after segmental ragweed challenge in allergic asthmatic and nonasthmatic subjects Am J Respir Crit Care Med 1995; 152:

25 17. Jay WH. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma. J Clinic Invest 2000; 105: Millos F, Snezana C. The role of eosinophil in asthma. Medicine and biology 2001; 8: Iliopoulos O, Proud J F, Adkinson PS, Norman A, Kagey-Sobotka LM, Naclerio RM. Relationship between the early, late and rechallenge reaction to nasal challenge with antigen: observations on the role of inflammatory mediators and cells. J Allergy Clin Immunol 1999; 86: Kroegel C, Virchow JC, Luttmann W, Walker C, Warner JA. Pulmonary immune cells in health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J 1998; 7: Shaver JR., Zangrilli JG, Cho SK, Cirelli RA, Pollice M, Hastie J et al. Kinetics of the development and recovery of the lung from IgE-mediated inflammation: dissociation of pulmonary eosinophilia, lung injury, and eosinophil-active cytokines. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155: Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2003; 167: John M S, Hirst J, Jose PJ, Robichaud A, Berkman N, Witt C, Twort HC et al. Human airwaysmooth muscle cells express and release RANTES in response to Thelper 1 cytokines: regulation by T helper 2 cytokines and corticosteroids..j Immunol 1999; 158: John WS, Larry B. Th2 cytokines and asthma Interleukin-4: its role in the pathogenesis of asthma, and targeting it for asthma treatment with interleukin-4 receptor antagonists. Respiratory Research 2001; 2: Moser R, Fehr J, Bruijnzeel PL. IL-4 controls the selective endothelium driven transmigration of eosinophils from allergic individuals. J Immunol 1992 ;149: Hoontrakoon R, Kailey J, Bratton D. IL-4 and TNF-α synergize to enhance eosinophil survival J Allergy Clin Immunol 1999;103: Seder RA, Paul WE, Davis MM, Fazekas GB. The presence of interleukin 4 during in vitro priming determines the lymphokine-producing potential of CD4 + T cells from T cell receptor transgenic mice. J Exp Med 1992; 176: Scott G, Shelby PU, Francis MC, Richard WC, Robert WE. Th2 cytokines and asthma The role of interleukin-5 in allergic eosinophilic disease. Respir Res 2001; 2(2): Humbert M, Durham SR, Kimmitt P, et al. Elevated expression of messenger ribonucleic acid encoding IL-13 in the bronchial mucosa of atopic and nonatopic subjects with asthma. J Allergy Clin Immunol 1997; 99: Yuhong Z, Michael M, Roy CL. Th2 cytokines and asthmainterleukin-9 as therapeutic target for asthma. Respir Res 2001;2:

26 31. Amrani Y, Panettieri RA Jr, Frossard N, Bronner C. Activation of the TNF Alpha-P55 receptor induces myocyte proliferation and modulates agonist-evoked calcium transients in cultured human tracheal smoothmuscle cells. Am J Respir Cell Mol Biol 1996; 15: Jatakanon A, Uasuf C, Maziak W, Lim S, Chung KF, Barnes PJ. Neutrophilic inflammation in severe persistent asthma. Am J Respir Crit Care Med 1999; 160: Tillie-Leblond I, Pugin J, Marquette CH. Balance between proinflammatory cytokines and their inhibitors in bronchial lavage from patients with status asthmaticus. Am J Respir Crit Care Med 1999; 159: Peter JB, Fan CK, Clive PP. Inflammatory mediators of asthma: An update. The American society for pharmacology and experimental therapeutics 1999; 50: Kips JC, Brusselle GJ, Joos GF. Interleukin-12 inhibits antigen-induced airway hyperresponsiveness in mice. Am J Respir Crit Care Med 1996; 153: Kodama T, Matsuyama T, Kuribayashi K. IL-18 deficiency selectively enhances allergeninduced eosinophilia in mice. J Allergy Clin Immunol 2000; 105: Koulis A, Robinson DS. The anti-inflammatory effects of interleukin-10 in allergic disease. Clin Exp Allergy 2000; 30: Tournoy KG, Kips JC, Pauwels RA. Endogenous interleukin-10 suppresses allergen-induced airway inflammation and nonspecific airway responsiveness. Clin Exp Allergy 2000; 30: Scott MR, Justice JP, Bradfield JF, Enright E, Sigounas A, Sur S. IL-10 reduces Th2 cytokine production and eosinophilia but augments airwayreactivity in allergic mice. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2000; 278:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Rinitis alergi (RA) adalah reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE 2. Gejala khas rinitis alergi ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

T E S I S. Oleh YUDI PRASETYO S

T E S I S. Oleh YUDI PRASETYO S PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA PADA ASMA TERKONTROL SEBAGIAN DAN TIDAK TERKONTROL TERHADAP PEMBERIAN KALSITRIOL T E S I S Oleh YUDI PRASETYO S 6007006

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi Istilah allergie didefinisikan oleh Clemens von Pirquet tahun 1906 sebagai suatu keadaan respon imun yang menyimpang dari respon imun yang biasanya protektif. 1,18 Angka

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

Dedi Ardinata Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dedi Ardinata Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tinjauan Pustaka Dedi Ardinata Departemen Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Abstrak: Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada sistem pernafasan. Terjadi inflamasi yang khas

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi 2.1.1 Definisi Alergi Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun yang berlebihan terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah

Lebih terperinci

Peran Kemokin dalam Patogenesis Rinitis Alergi

Peran Kemokin dalam Patogenesis Rinitis Alergi 248 Tinjauan Pustaka Peran Kemokin dalam Patogenesis Rinitis Alergi Effy Huriyati, Bestari J Budiman, Ricki Octiza Abstrak Latar belakang: Rinitis alergi merupakan penyakit dengan insiden yang cukup tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Candra et al., 2011).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma longa) TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL DI JARINGAN PARU PADA PENYAKIT ALERGI Studi Eksperimental pada Mencit BALB/c yang Diinduksi Ovalbumin LAPORAN HASIL PENELITIAN

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin

Lebih terperinci

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut

2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA

PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Trauma pembedahan menyebabkan perubahan hemodinamik, metabolisme, dan respon imun pada periode pasca operasi. Seperti respon fisiologis pada umumnya, respon

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT OBSTRUKSI SERANGAN AKUT ASMA DENGAN KADAR IgE, IFN- γ DAN IL-4 TOTAL SERUM

HUBUNGAN ANTARA DERAJAT OBSTRUKSI SERANGAN AKUT ASMA DENGAN KADAR IgE, IFN- γ DAN IL-4 TOTAL SERUM HUBUNGAN ANTARA DERAJAT OBSTRUKSI SERANGAN AKUT ASMA DENGAN KADAR IgE, IFN- γ DAN IL-4 TOTAL SERUM HMS. Chandra Kusuma *, Kusworini Handono Kalim **,Wibi Riawan***, Masdar Muid **** * Bagian Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal adalah kondisi patologis yang ditandai adanya kerusakan jaringan periodontal yang meliputi gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA SUSPECTED RISK FACTORS OF PEDIATRIC PATIENTS WITH ALLERGIC RHINITIS IN DR. CIPTO MANGUNKUSUMO HOSPITAL,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis, meliputi empat fase, yaitu : hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Setiap fase penyembuhan luka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang disebut juga sebagai dermatitis atopik. Penderita dermatitis atopik dan atau keluarganya biasanya

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono ASTHMA Wiwien Heru Wiyono Dept. of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine - University of Indonesia Persahabatan Hospital - Jakarta INTRODUCTION Asthma is the most common and serious

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MEKANISME YANG MENDASARI HUBUNGAN ANTARA ASMA DAN RHINITIS ALERGI 2.1.1. Hubungan Anatomis dan Patofisiologis Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik adalah salah satu penyebab kematian utama karena merokok (Barnes PJ., 2007). PPOK merupakan masalah kesehatan global yang menjadi penyebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kematian akibat PTM (Penyakit Tidak Menular) akan meningkat di seluruh dunia. Lebih dari dua per tiga (70%) populasi global

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA

PATOGENESIS PENYAKIT ASMA PATOGENESIS PENYAKIT ASMA Pendekatan terapi yang rasional terhadap penyakit asma adalah tergantung dari pengetahuan mengenai patogenesis penyakit asma Asma adalah penyakit yang diperantarai oleh ikatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.

Lebih terperinci