ABSTRAK. Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Abdul Rokhim

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ABSTRAK. Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Abdul Rokhim"

Transkripsi

1 1

2 2

3 KATA PENGANTAR Ucapan puji dan syukur saya haturkan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Penelitian dengan judul: Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini terinspirasi oleh permohonan seorang ibu bernama Machicha Mochtar kepada Mahkamah Konstitusi RI agar anaknya yang menurut pengakuannya lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) bisa ditetapkan oleh pengadilan (dalam hal ini pengadilan agama) mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Berdasarkan putusan tersebut, permohonan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang keabsahannya masih disengketakan. Putusan MKRI itu dijatuhkan semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. Putusan MKRI itu tentu saja menimbulkan sikap pro-kontra baik di kalangan masyarakat maupun para hakim, khususnya hakim pengadilan agama. Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama dan bantuan dari Wakil Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara, Drs. M. Yasya, SH. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada beliau atas kerjasama dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor Universitas Islam Malang dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam atas dukungan dan izin yang diberikannya. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat dan pengemban ilmu hukum perdata, khususnya hukum keluarga dan hukum perkawinan. Malang, 15 Agustus

4 ABSTRAK Status Hukum Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Abdul Rokhim Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam mengenai: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia; 2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama. 3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan atau dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Status atau kedudukan hukum anak yang lahir di luar perkawinan sebagai akibat perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah sirri) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah anak yang tidak sah, karena lahir dari perkawinan yang tidak sah. Oleh karena itu tidak ada jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan itu, termasuk mengenai hubungan antara bapak yang melahirkan dengan anakanak yang dilahirkannya. Anak yang lahir dari nikah sirri menurut hukum perdata disebut anak luar kawin (onwettig kind) dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga yang melahirkannya. Ia tidak mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan bapak biologisnya, termasuk dalam hubungan waris, meskipun dengan putusan pengadilan terbukti mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut. 2. Permohonan pengesahan anak di pengadilan sebenarnya merupakan sikap ambigu dan tidak konsisten dari seseorang yang semula ketika menikah dengan sadar tidak memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun Hal ini juga sekaligus sebagai bukti nyata bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan sesuai ketentuan negara akan mengakibatkan kemadharatan serta tidak adanya jaminan hukum. Pengesahan anak atau penetapan asal usul anak merupakan kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penetapan asal usul seorang anak dimaksudkan sebagai perkara yang berkaitan dengan penyelesaian hukum tentang kedudukan anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah. Sebelum ada putusan MKRI Nomor 46/PUU- VIII/2010, kedudukan hukum sebagai pihak (legal standing) untuk mengajukan 4

5 pengesahan anak di luar perkawinan hanya diberlakukan kepada pasangan suami isteri yang melakukan pernikahan di bawah tangan saja, karena tanpa memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka menurut hukum positif perkawinannya tersebut tidak sah dan karenanya anak yang dilahirkan dipandang sebagai anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sedangkan, terhadap kedudukan anak hasil zina tidak ditemukan dalam aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam, karena perzinahan tidak dipandang sebagai perbuatan hukum perkawinan. Namun, dengan adanya putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut permohonan atau gugatan pengesahan anak di luar perkawinan untuk dapat ditetapkan mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, dapat diajukan oleh seseorang terhadap anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang tidak sah maupun mereka yang tidak ada ikatan perkawinan, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan, semata mata karena alasan demi memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status anak yang dilahirkan. 3. Putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 menambah khazah perkembangan hukum Islam di Indonesia, karena sebelumnya dalam hukum positif maupun Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya, sehingga akibat hukumnya anak di luar perkawinan tidak dapat dinasabkan dengan ayah biologisnya dan sekaligus tidak dapat mewarisinya, karena dalam konsepsi hukum Islam Indonesia seorang anak yang dilahirkan belum tentu mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya, sedangkan hubungan keibuan antara anak dengan wanita yang melahirkan merupakan hubungan alamiah yang tidak mungkin dipungkiri kebenarannya. Dalam hukum Islam dikenal istilah anak zina, yakni anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau dilahirkan dalam perkawinan yang sah tetapi disangkal oleh bapaknya sebagai anaknya melalui li an. Anak zina dalam Islam hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan adanya putusan MKRI ini maka putusan Pengadilan Agama yang biasanya merujuk kepada ketentuan hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), akan tetapi setelah berlakunya putusan MKRI tersebut, maka pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 KHI tidak dapat lagi dijadikan landasan hukum karena telah dinyatakan inkonstitusional sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekalipun demikian, putusan hakim Pengadilan Agama sebagai hukum in concrito di dalam mengadili perkara sengketa kewarisan akibat dari putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010 harus tetap mengedepankan ketentuan hukum kewarisan Islam (faraidh) sebagai hukum materiil sesuai dengan asas personalitas keislaman yang diatur perundangundangan, disamping tidak terlepas dari ketentuan hukum positif yang berlaku. Kata Kunci: Status Hukum; Anak Luar Kawin; Putusan Mahkamah Konstitusi 5

6 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi BAB I PENDAHULUAN... 8 A. Latar Belakang Masalah... 8 B. Rumusan Masalah. 11 C. Tujuan Penelitian.. 11 D. Manfaat Penelitian. 12 E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan.16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 17 A. Definisi Anak 17 B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi Kedudukan Mahkamah Konstitusi Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi.. 25 D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan Kewarisan Tentang Pengesahan Asal Usul Anak Tentang Kewarisan.. 30 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/

7 B. Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/ Prosedur dan Acara Pemeriksaan Perkara Gugatan Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Hukum Acara yang Berlaku pada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari ah Asas Personalitas Keislaman.. 73 C. Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/ Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.. 88 A. Kesimpulan 88 B. Saran 92 DAFTAR PUSTAKA

8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah krusial dalam hukum keluarga adalah masalah status hak keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 46/PUU-VIII/2010, yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai status keperdataan anak luar kawin memungkinkan anak di luar perkawinan mendapatkan hak waris dan hak keperdataan lainnya dari laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya, sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), yang menyatakan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan berakibat pada perombakan hukum keluarga di Indonesia secara signifikan. Hukum positif selama ini menempatkan status hukum anak luar kawin berbeda dengan anak sah. Anak luar 8

9 kawin diperlakukan secara berbeda karena hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang berarti tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah maupun keluarga ayahnya. Perubahan status hak keperdataan anak luar kawin menimbulkan beberapa akibat hukum bagi masyarakat Indonesia, yakni: Pertama, kewajiban alimentasi bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah terikat perkawinan dengan orang lain. Kedua, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah, anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya saja. 1 Kemudian, dalam pasal 186 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, "anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya. 2 Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status hak keperdataan anak luar kawin merupakan suatu pemikiran yang bertentangan dengan hukum yang difahami ummat Islam Indonesia karena selama ini dipahami dalam konsep fiqh dan praktik hukum dalam Peradilan Agama, anak luar kawin tidak memiliki hak saling mewaris dengan ayahnya karena ketiadaan nasab yang sah. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan 1 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm Tanya Jawab Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, Proyek Penyuluhan Hukum PTA Jawa Barat,

10 hukum (persona in judicio) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Sedangkan konsep kewarisan dalam hukum Islam tidak mengenal anak di luar perkawinan atau anak hasil zina sebagai ahli waris dari ayah biologisnya karena tidak adanya nasab yang sah yang diawali dari tidak adanya perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya menurut syariat Islam. Menurut pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi i dan Hambali, anak yang lahir dari hubungan perzinaan hanya dapat mewarisi ibu dan kerabat ibunya. Hal ini karena anak zina hanya memiliki nasab kepada pihak ibunya. Sedangkan ke pihak bapaknya tidak diakui sah oleh agama. 3 Kedudukan seorang anak sebagai ahli waris berdasarkan hukum Islam adalah ditentukan sebagai sebab atau syarat-syarat mempusakai yang bersumber pada Alqur an dan sunnah serta hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Penelitian tentang Status Hukum Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini bertujuan untuk memahami implikasi dan akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait dengan hasil judicial review pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan yang harus dibaca anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 4 3 Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1999, hlm Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Pebruari

11 B. Rumusan Masalah Dalam rangka memperoleh hasil penulisan yang baik dan memenuhi syarat penulisan karya ilmiah serta untuk mempermudah pengumpulan data dan pembahasannya, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dalam suatu karangan ilmiah merupakan hal yang penting agar masalah yang dibahas tidak menyimpang dari tujuan permasalahan yang akan dibuat penulisan, demikian pula data sampel yang dicari dapat diperoleh dalam penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. 5 Sesuai dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka pokokpokok masalah yang diteliti dan dikaji dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia? 2. Bagaimana proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama? 3. Apa akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam? C. Tujuan Penelitian Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang jelas dan pasti. Adapun tujuan ini diperlukan adalah untuk mengetahui dan mengkaji (menganalisis) secara lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan hukum terkait dengan: 1. Status hukum anak di luar perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum positif Indonesia? 2. Proses pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 di Pengadilan Agama. 5 Soerjono Soekanto, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis ilmiah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm

12 3. Akibat hukum yang timbul dengan adanya pengesahan anak di luar perkawinan pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam prespektif hukum Islam. D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang hukum perkawinan. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan bagi masyarakat secara keseluruhan dan pemahaman tentang kedudukan hukum anak di luar perkawinan. Khusus bagi penulis, penelitian ini juga dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu tugas Tridharma Perguruan Tinggi yang merupakan kewajiban dosen untuk menyusun sebuah karya ilmiah. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi semua pihak, khususnya tokoh-tokoh agama (kyai; ulama ) dalam masyarakat dan pejabat publik yang mengurusi masalah perkawinan, antara lain Kepala Desa/Lurah, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), pejabat Kantor Urusan Agama, Kantor Catatan Sipil dan para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, termasuk aparat penegak hukum lainnya, seperti polisi, jaksa, dan pengacara, agar terbentuk persepsi dan pemahaman yang sama atau setidak-tidaknya mempersempit perbedaan sudut pandang terhadap berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012 atas judicial review pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya mengenai hak keperdataan anak di luar perkawinan. Dengan adanya persepsi dan pemahaman yang sama mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di kalangan pejabat publik dan tokoh-tokoh agama yang ada dalam masyakarat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan dalam rangka memperoleh jaminan perlindungan dan kepastian hukum 12

13 yang diberikan oleh negara (baca: pemerintah) melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk mencari jawaban dan menganalisis pokok-pokok masalah sebagaimana telah dipaparkan dalam rumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang menurut Ronny Hanitijo Soemitro dapat dibedakan ke dalam lima tipe penelitian, yaitu: 6 a. Penelitian inventarisasi hukum positif; b. Penelitian terhadap asas-asas hukum; c. Penelitian untuk menemukan hukum in concreto; d. Penelitian terhadap sistematik hukum; e. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Berdasarkan tipe-tipe penelitian hukum normatif tersebut di atas, penelitian ini termasuk tipe penelitian inventarisasi hukum positif. Hasil dari inventarisasi hukum positif ini kemudian dibandingkan dan dicari kaitannya dengan norma hukum lain yang berlaku di masyarakat, khususnya hukum Islam dan kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah dilakukan kegiatan inventarisasi hukum positif, dilanjutkan dengan kegiatan membandingkan atau mencari kaitannya dengan norma hukum tidak tertulis yang berlaku masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai hlm Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, 13

14 penelitian perbandingan hukum (legal comparative study) antara norma hukum tertulis dan norma hukum yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanyalah data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, yang dalam penelitian ini mencakup: 8 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Undang-Undang Dasar 1945 (yang telah diamandemen); (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (4) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama; (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (6) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (7) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (8) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI); (9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tanggal 17 Pebruari 2012; (10) Sumber-sumber hukum yang hanya mengikat orang-orang yang beragama Islam, yaitu: Al Qur an dan Al Hadits; (11) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok masalah penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang dalam penelitian ini meliputi: buku-buku dan kitab-kitab hukum yang ditulis oleh para ahli hukum dan ahli fiqh, dokumen- 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitihan Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm Ibid., hlm

15 dokumen hukum, hasil-hasil penelitian sebelumnya, termasuk jurnal atau majalah hukum perkawinan; c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dalam penelitian ini meliputi kamus dan ensiklopedi hukum. 2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian inventarisasi hukum positif ini dilakukan melalui tiga kegiatan pokok, yaitu: pertama, penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial bukan hukum positif; kedua, melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasikan sebagai norma hukum positif; dan ketiga, dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah didentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif atau menyeluruh. 9 Kriteria identifikasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada dua konsepsi, pertama konsepsi legisme-positivistik yang berpandangan bahwa hukum identik dengan norma-norma hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa (pejabat yang berwenang). Sedang yang kedua adalah konsepsi yang justru menekankan arti pentingnya norma-norma hukum tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini norma hukum agama (meskipun tertulis dalam kitab-kitab suci dan kitab-kitab yang ditulis para ahli hukum agama) dan hukum adat masyarakat setempat. 3. Teknik Analisis Bahan Hukum Kegiatan inventarisasi hukum positif dalam penelitian ini bukan sekedar mengumpulkan bahan-bahan hukum positif, melainkan dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis-analitis dan selanjutnya melalui proses klasifikasi yang logissistematis. Setelah melalui proses identifikasi dan klafisikasi terhadap bahan-bahan 9 Ronny Hanitijo Soemitro, op. cit., hlm

16 hukum primer, sekunder dan tersier, selanjutnya dilakukan pengkajian terhadap isi dari bahan-bahan hukum tersebut melalui metode analisis isi (content analysis) dengan melakukan interpretasi secara historis, otentik, sistematis, tekstual dan kontekstual (sosiologis). Hasil dari analisis isi ini kemudian dideskripsikan secara sistematis dalam laporan hasil penelitian. F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN, berisi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, berisi uraian tentang: Definisi Anak, Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak, Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi, Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, berisi pembahasan masalah tentang: (1) Kedudukan Anak di Luar Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; (2) Proses Pengesahan Anak di Luar perkawinan di Pengadilan Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010; dan (3) Akibat Hukum Adanya Pengesahan Anak di Luar Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, khususnya menyangkut Hubungan Nasab Anak di Luar Perkawinan dengan Orang Tua Biologis dan Hubungan Kewarisan Antara Anak di Luar Perkawinan dengan Ayah Biologis. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran (rekomendasi) kepada pihak terkait, khususnya MKRI dan Pengadilan Agama. 16

17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Anak Definisi mengenai anak banyak ditemui dalam beberapa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah anak, di antaranya adalah: a. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan definisi: Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. 10 b. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah, memberikan definisi: Anak adalah sebagai tunas bangsa merupakan generasi penerus dalam pembangunan bangsa dan Negara. 11 c. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, memberikan definisi: Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. 12 d. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberikan definisi: Anak adalah amanah dan karunia 10 Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 11 Konsideran huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah. 12 Konsideran huruf (a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 17

18 Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. 13 B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Asasi Anak Masa depan bangsa terletak pada keadaan dan kesejahteraan anak masa kini, begitulah ungkapan yang sering kita dengar bila sedang membicarakan persoalan anak. Sayangnya, ungkapan itu tidak berbanding lurus dengan realitas yang ada. Dalam realitas masih banyak anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan hakhaknya. Hak-hak tersebut secara mendasar meliputi antara lain hak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang, perlindungan hukum dan partisipasi, termasuk hak atas pendidikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Muladi 14 disebutkan bahwa hak adalah: (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas suatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang menurut hukum. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki kebebasan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki atau sebagaimana keabsahan dimilikinya. Sedang, hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Hak asasi merupakan hak natural (alami/kodrati) yang merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karena itu, bila seorang manusia ingin memperoleh kehidupannya secara bermartabat, maka harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut alamiah atau kodratnya secara hakiki. Adanya penekanan hak pada hukum alam memberi indikasi dan bukti bahwa hukum alam memihak kepada kemanusiaan, dalam bentuk hak asasi sejak 13 Konsideran huruf (b) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 14 Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat,Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm

19 kelahirannya, hak hidup merupakan hak asasi manusia (HAM) pertama. Oleh karena itulah, penyebutan istilah hak asasi manusia semula adalah hak-hak alamiah (natural rights), kemudian diganti istilah yang lebih populer disebut human rights. Dalam perkembangannya lebih jauh, bahkan hingga dewasa ini, hak asasi manusia yang dikenal sebagai fundamental rights meliputi moral rights dan legal rights. 15 Pada dasarnya ada dua hak dasar pada manusia, yaitu: pertama, hak-hak manusia (human rights) yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, termasuk oleh negara atau pemerintah. Wujud hak ini di antaranya adalah berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi atau nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, termasuk emansipasi wanita. Hak-hak yang sifatnya asasi ini biasanya diatur dalam konsitusi suatu negara. Kedua, hak-hak manusia yang diatur dalam undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan secara khusus kepada pribadi manusia berdasarkan ketentuan undang-undang. Oleh karena diberikan berdasarkan ketentuan undang-undang, maka pengaturannya harus jelas tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sifatnya, sewaktu-waktu dapat dicabut atau diubah apabila memang dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Hak-hak khusus yang diberikan oleh undang-undang di antaranya hak seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil, hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan umum, hak atas pensiun, jaminan hari tua, hak untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak, dan lain-lain. 16 Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan merupakan asas-asas undang-undang. Makna hak asasi itu menjadi jelas apabila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai ada dan digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat, kedudukan dan tugasnya di dunia ini. Di 15 Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm Abdul Rokhim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Luar kawin Dalam Perspektif Hak Asasi Manuasia, Unisma, Malang, 2011, hlm

20 Indonesia, ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan beberapa pasal dalam UUD 1945, khususnya pasal 27 sampai dengan pasal 34. Di samping itu, pengaturan mengenai masalah HAM di Indonesia juga terdapat pada peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Persoalannya adalah, siapa yang bertanggungjawab terhadap perlindungan hakhak asasi manusia (HAM) ini? Secara teori ada dua pendapat mengenai siapa yang bertanggungjawab atas masalah perlindungan hak asasi manusia. Pertama, adalah menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi manusia, yang berarti pemerintah wajib mengatur mengenai pelaksanaan dan pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum (masyarakat), bangsa dan negara. Pandangan kedua, menyatakan bahwa pertanggungjawaban tidak harus berada pada negara, namun juga pada segenap individu warga negara. Jadi secara bersama-sama negara (pemerintah) dan semua warga negara mempunyai kewajiban (tanggungjawab) dalam upaya perlindungan hak asasi manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: (1) bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata, tetapi juga menyangkut kepentingan warga negara; (2) HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya; (3) Operasionalisasi kegiatan HAM memiliki tanggungjawab bersama antara manusia dalam struktur negara yang saling berinteraksi dan harus diwujudkannya Muladi, op. cit., hlm

21 C. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi Berbicara tentang Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) tidak terlepas dari kajian terhadap kasus Judicial review yang sangat terkenal dalam hukum Amerika, yaitu : William Marbury Vs Madison pada tahun 1803 yang mengorbitkan nama John Marshall yang berkedudukan sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang untuk pertama kalinya Mahkamah Agung menyatakan bahwa Undang- Undang Federal sebagai Unconstitutional. 18 Dengan adanya putusan atas kasus William Murby Vs Madison tersebut maka berkembanglah praktek hukum yang diikuti dan menjadi preseden di banyak negara bahwa hak menguji merupakan suatu tatanan yang berkaitan erat dengan konsep hukum dasar dan hukum tertinggi dalam suatu negara. Dari sudut pandang ini, dasar tujuan dari hak menguji adalah melindungi konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh badan legislatif atau tindakan-tindakan eksekutif. Tidak semua negara menyebut lembaga baru itu dengan istilah Mahkamah Konstitusi. Perancis misalnya menyebut dengan Dewan Konstitusi (Counseil Constitutionnel), Belgia menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage), karena lembaga ini dianggap bukan pengadilan dalam arti yang lazim. Oleh karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Persamaan dari ke-78 negara itu adalah pada Mahkamah Konstitusi yang dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung, dan Indonesia merupakan negara yang ke-78 dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu, antara lain: Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan 18 Ni matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI., Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm

22 bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. 20 Belajar dari jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) di Indonesia yang tidak berdasarkan mekanisme ketatanegaraan yang universal dan melalui proses konstitusional yang baik, maka setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD Janedjri M.Gaffar, Peran Mahkamah Konstitusi 22

23 3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia telah ada sejak disahkannya rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi pada sidang tahunan MPR tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga dari UUD Pada umumnya negara-negara mengakui supremasi undang undang dasar di atas segala peraturan perungang undangan lainnya, hal ini terbukti dari cara mengubahnya yang memerlukan prosedur yang lebih berat dari pada pembuatan sebuah undang undang. Sebagaimana K.C.Where mengemukakan, dengan menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi (Supreme) ada semacam jaminan bahwa konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati dan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dan diubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannya harus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan dan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud ini dilaksanakan dengan baik maka perubahannya pada umummya mensyaratkan adanya suatu proses dan prosedur yang khusus atau istimewa. 21 Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) berbunyi: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah 21 K.C.Wheare, Modern Constitution, dalam Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Perkasa, 2003, hlm

24 lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat. Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD Mahkama Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan Mahkamah Konstitusi lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan menegakkan hukum dan keadilan. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. 24

25 4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar 1945 yang mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi (MKRI) sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) memberikan kedudukan dan fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik oleh penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia, sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang undang atau peraturan 25

26 perundang-undangan lainnya, dinamakan sebagai hak menguji materiil (materiele toetsingsrecht), jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht). 22 Asshiddiqie menguraikan sebagai berikut: Lebih lanjut, Jimly Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan masyarakat. Mahkamah konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ditengah kelemahan sisten konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. 23 Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu: (1) memutus sengketa antar lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf (a) sampai dengan huruf (d) Undang- Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah: (1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945; 22 Sri Soemantri M., Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hlm Cetak Biru, Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya, Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, hlm. iv. 26

27 (2) Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD D. Kewenangan Peradilan Agama Tentang Pengesahan Asal Usul Anak dan Kewarisan 1. Tentang Pengesahan Asal Usul Anak Kekuasaan mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berbunyi: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. Kemudian ketentuan tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2009 tentang 27

28 Peradilan Agama yang telah memberikan perluasan bagi kompetensi Peradilan Agama yaitu menyangkut yurisdiksi di bidang ekonomi syari ah. Perubahan ketentuan di atas terdapat dalam angka 37 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; dan ekonomi syari ah. Dalam penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan Pengadilan Agama di antara 22 butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama, yang terdapat pada penjelasan Pasal 49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, yakni: 1) angka 14 mengenai putusan sah tidaknya seorang anak, dan 2) angka 20 mengenai penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan kewenangan tersebut di atas, untuk menyikapi putusan MKRI Nomor 46/PUU-VIII/2010, Pengadilan Agama dapat menerima permohonan tentang pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang berpedoman kepada: a. Pasal 28-B ayat 1 UUD tahun 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang sah. b. Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. c. Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya itu ; dan ayat (2), yaitu: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. d. Pasal 99 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam, yangt berbunyi : Anak yang 28

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 82 A. Kesimpulan 82 B. Saran. 86 DAFTAR PUSTAKA 88 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah.. 4 C. Tujuan Penelitian. 4 D. Manfaat Penelitian.. 5 E. Metode Penelitian...

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus keluarga. Anak juga merupakan aset bangsa yang sangat berharga; sumber daya manusia yang berperan penting

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN 1. Akibat Hukum Terhadap Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak dalam Perkawinan yang Dibatalkan a. Kedudukan,

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN

BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN 52 BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM HAK PEWARISAN ANAK YANG DILAHIRKAN DALAM PERKAWINAN Perkawinan dibawah tangan banyak sekali mendatangkan kerugian daripada kebaikan terutama terhadap

Lebih terperinci

Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Kedudukan, Fungsi Dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Janedjri M. Gaffar Surakarta, 17 Oktober 2009 ii MAHKAMAH KONSTITUSI

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia mengalami perubahan cepat di era reformasi. Proses demokratisasi dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010

BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 BAB III KEWARISAN TERHADAP ANAK DI LUAR NIKAH PASCA- PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/ PUU-VIII/ 2010 A. Sekilas Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan

BAB I PENDAHULUAN. mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 2 ayat (2) dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian terhadap hukum perkawinan akhir-akhir ini menjadi menarik kembali untuk didiskusikan. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konsitusi mengabulkan sebagian permohonan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 1 2 TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Penelitian di Pengadilan Agama Kota Gorontalo) Nurul Afry Djakaria

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008 I. PEMOHON Nama pekerjaan Alamat : Suryani : Buruh sesuai dengan KTP : Serang Propinsi Banten II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dan terjamin untuk terselenggaranya partisipasi serta pengawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dan terjamin untuk terselenggaranya partisipasi serta pengawasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia penuh dengan mekanisme bagi pelaksanaan Demokrasi Pancasila, supaya tercapai pemerintahan yang stabil dan terjamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. mengenai anak sah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Status anak dalam hukum keluarga dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah. Pertama, Definisi mengenai anak sah diatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK WARIS ANAK PADA PERKAWINAN SIRRI Anggyka Nurhidayana 1, Amnawati 2, Kasmawati 3. ABSTRAK Upaya perlindungan hukum dalam perkawinan sirri atau disebut perkawinan tidak dicatatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

Lebih terperinci

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH., MH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah

BAB I PENDAHULUAN. rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang

BAB I PENDAHULUAN. sayang keluarga, tukar pikiran dan tempat untuk memiliki harta kekayaan. 3 apa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjalani kehidupan sebagai suami-isteri hanya dapat dilakukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, arah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup kompleks di seluruh dunia. Berbagai pandangan seperti kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

ABSTRAK. Perlindungan Hukum terhadap Anak Luar Kawin dalam Perspektif Hak Asasi Manusia DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL..... i LEMBAR PENGESAHAN. ii KATA PENGANTAR....... iv ABSTRAK...... vi BAB I PENDAHULUAN. 1 A. Latar Belakang Masalah.... 1 B. Rumusan Masalah..... 7 C. Tujuan Penelitian... 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amandemen UUD 1945 membawa pengaruh yang sangat berarti bagi sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pelaksanaan kekuasaan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan meneruskan cita-cita 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah dambaan suatu keluarga dalam suatu perkawinan yang sah, baik itu sebagai generasi penerus ayah dan ibunya. Anak adalah harta dunia yang sekaligus juga

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 199 KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PPU-VIII/2010 Oleh : Heru Drajat Sulistyo Fakultas Hukum Universitas Soerjo Ngawi A. ABSTRACT Konstitutional Court Decision

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Definisi tentang peran bisa diperoleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1051) yang mengartikannya sebagai perangkat tingkah

Lebih terperinci

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) A. Pengertian Politik POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI) Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan rangkaian

Lebih terperinci

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016 REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi bermula dari kasus

Lebih terperinci

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota

BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA. peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota 37 BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG PENGADILAN AGAMA A. Pengertian Pengadilan Agama Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan

BAB I PENDAHULUAN. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbullah hak dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu, dalam perkawinan akan terbentuk suatu keluarga yang diharapkan akan tetap bertahan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun Hal ini berarti bahwa dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar tahun 1945. Hal ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI DASAR HUKUM PUTUSAN Pengadilan Agama Kendal telah memeriksa dan memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu

BAB I PENDAHULUAN. bersama-sama dengan orang lain serta sering membutuhkan antara yang satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna. Salah satu buktinya bahwa manusia diberikan cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. Pengertian Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memberikan jaminan secara konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non

BAB I PENDAHULUAN. pencatatan setiap kelahiran anak yang dilakukan oleh pemerintah berasas non BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga dan dibina, karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan) Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat

Lebih terperinci

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho Tafsir adalah penjelasan atau keterangan, dengan demikian pembicaraan kita yang bertajuk "f afsir Konstitusi T erhadap Sistem

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA 1 PERKEMBANGAN GAGASAN CONSTITUTIONAL REVIEW William Marbury mengajukan permohonan kepada MA agar memerintahkan James Madison selaku Secretary of State untuk mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan sangat penting untuk dilakukan yaitu untuk memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia baik perorangan maupun kelompok, dengan jalan perkawinan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perhatian, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara

BAB I PENDAHULUAN. dan perhatian, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Di tangan mereka peran-peran strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Peraturan Daerah

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014; RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON 1. Prof. DR.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dimana dalam suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dimana dalam suatu negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang tercantum pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1. Dimana dalam suatu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H. Pendahuluan Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah judicial

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON 1. Fathul Hadie Utsman,

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara 187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Kurang lebih empat tahun setelah terbentuknya Mahkamah Konstitsi (MK), dimana dalam perkembangan perkaranya, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I. PEMOHON Dr. Bambang Widjojanto, sebagai Pemohon. KUASA HUKUM Nursyahbani Katjasungkana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masingmasing agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme

BAB I PENDAHULUAN. mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan

Lebih terperinci