KEANEKARAGAMAN JENIS CAPUNG (ODONATA) DI SITU GINTUNG CIPUTAT, TANGERANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN JENIS CAPUNG (ODONATA) DI SITU GINTUNG CIPUTAT, TANGERANG"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN JENIS CAPUNG (ODONATA) DI SITU GINTUNG CIPUTAT, TANGERANG NOVITA PATTY FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M/1427 H 1

2 KEANEKARAGAMAN JENIS CAPUNG (ODONATA) DI SITU GINTUNG CIPUTAT, TANGERANG Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh : Novita Patty PROGRAM STUDI BIOLOGI JURUSAN MIPA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M/1427 H 2

3 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam teruntuk rasul Muhammad SAW atas perjuangan beliau Islam tegak di muka bumi ini. Allhamdulillah skripsi ini telah selesai disusun, dengan judul: KEANEKARAGAMAN JENIS CAPUNG (ODONATA) YANG TERDAPAT DI SITU GINTUNG CIPUTAT, TANGERANG, berdasarkan penelitian yang telah di lakukan di Situ Gintung Ciputat, Tangerang. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan lahir dan batin kepada penulis hingga saat ini. 2. Drs. Paskal Sukandar, M Si. selaku Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Dra. Fahma Wijayanti, M.Si. selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan ilmu dan motivasinya kepada penulis. 4. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 5. DR. Agus Salim, M.Si. selaku Ketua Jurusan MIPA, Fakultas Sains dan Teknologi. 6. Bapak Heru beserta staf kerja di Situ Gintung yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk melakukan penelitian. 3

4 7. Ibu Pudji Aswari beserta Staf Laboratorium Balitbang Zoologi, Puslitbang Biologi LIPI Cibinong Bogor, Jawa Barat. yang telah banyak membantu penulis memberikan informasi dalam identifikasi. 8. Para dosen Biologi yang telah banyak memberikan Ilmu dan semangat kepada penulis. 9. Kakak dan adik-adikku Dila, Ifa, Babang, Noni dan Susan yang selalu memberikan semangat kepada penulis setiap saat. 10. Ibu Linda dan Pak Wawan yang telah banyak membantu penulis selama ini. 11. Sahabat-sahabatku tercinta Ela, Ajem, Wati, Sanusi, Rara, War, Aziz, Irfan, Badrul, Nida, Ana, Neneng, Wita, Dede, dan Ummu yang telah membantu penulis selama penelitian. 12. Teman-teman Biologi Angkatan 2002, 2003, dan 2004 yang telah banyak membantu penulis. 13. Teman dan adik, Maya, Yuyun, Ayank, Irma, Enno, Ifa, Suci, Ibah, Wawa, Isah, Yanah, dan Desi yang selalu bersama-sama dengan penulis. Semoga allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk Ilmu Pengetahuan dan semua pihak. Amiin. Ciputat, 17 November 2006 Penulis 4

5 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Lokasi Situ Gintung Capung (odonata) Morfologi Capung Distribusi Capung Daur Hidup Capung Perilaku Capung Klasifikasi Capung

6 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Waktu Alat dan Bahan Alat Bahan Cara Kerja Analisis Data BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan Deskripsi Jenis Keragaman jenis capung di Situ Gintung BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 6

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem merupakan unit fungsional lingkungan yang dibangun oleh komunitas kehidupan (biotik), organisme yang saling berinteraksi dan komponen nonhidup (abiotik) pada lingkungan tersebut. Bila salah satu komponennya berubah, perubahan itu akan mempengaruhi komponen yang lain. Perubahan komunitas serangga sebagai komponen ekosistem dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya perubahan dalam ekosistem tersebut. (Adisoermarto, 1998). Capung merupakan salah satu predator nyamuk, mulai dari tahap nimfa maupun serangga dewasa. Nimfa capung memakan larva nyamuk, demikian juga dengan capung dewasa memakan nyamuk dewasa. Capung memiliki kemiripan habitat berkembang biak dengan Aedes aegypti. Capung mencari mangsa pada siang hari bersamaan dengan waktu keluarnya Aedes aegypti. Kesamaan habitat tersebut akan menyebabkan predasme capung-nyamuk berjalan efektif (Suharyanto,1998). Menurunnya populasi capung disebabkan oleh rusaknya tempat hidup (habitat) mereka oleh aktivitas manusia seperti pengambilan air tanah, penggundulan hutan, polusi yang berasal dari pertanian dan industri, buangan kotoran melalui air dan sebagainya. Oleh sebab itu, melestarikan kehidupan capung harus disertai dengan pelestarian habitatnya. 7

8 Situ Gintung merupakan suatu perairan yang terbentuk secara buatan. Sumber air Situ Gintung berasal dari sumber air permukaan, mata air tanah dan air hujan. Pada saat ini pemanfaatan Situ Gintung dijadikan sebagai rekreasi wisata alami, sumber air perikanan, sumber air pertanian, sumber air tanah, daerah resapan air dan sebagai pengendali banjir. Semakin berkembangnya pembangunan kota, daerah di sekeliling kawasan Situ Gintung yang semula merupakan perkebunan palawija dan sawah, sekarang telah berubah menjadi pemukiman, tempat rekreasi wisata alami sedangkan lahan pertanian hanya beberapa meter saja yang masih dimanfaatkan oleh penduduk. Perubahan ini yang menjadikan penurunan keanekaragaman hayati di Situ Gintung. Dengan keadaan perairan Situ Gintung yang kotor dan semakin berkurang vegetasi di sekitarnya, diperkirakan akan berpengaruh langsung kepada populasi jenis capung yang tergantung pada habitat akuatik dan keberadaan vegetasi di sekitarnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis capung yang terdapat di Situ Gintung Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana keanekaragaman jenis capung yang terdapat di Situ Gintung, Ciputat Tangerang. 8

9 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekeragaman jenis capung di Situ Gintung, Ciputat Tangerang Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan jenis dan jumlah capung pada empat daerah penelitian dengan vegetasi yang berbeda-beda Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi tentang jenis-jenis capung yang terdapat di lingkungan Situ Gintung 2. Dapat memberikan informasi bagi pengelolaan lingkungan di sekitar Situ Gintung 3. Hasil penelitian ini berguna bagi penelitian selanjutnya 9

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Situ Gintung Situ Gintung merupakan kawasan wisata alam yang sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perairan dengan luas danau kurang lebih 23 hektar dan daratan 6 hektar. Komunitas Danau Situ Gintung berupa tanaman air, jenis ikan air tawar, jenis keong dan berbagai jenis ganggang. Sedangkan vegetasi dari daratan Situ Gintung berupa pepohonan dan rumput-rumput. Batas wilayah Situ Gintung adalah sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Gunung Indah Raya, sebelah Selatan berbatasan dengan perkampungan Pisangan Timur dan Barat, sebelah Timur berbatasan dengan perkampungan penduduk kampung Gunung dan Cirendeu, dan sebelah Barat berbatasan dengan komplek perumahan Universitas Indonesia (UI) dan International Sport Club Indonesia (ISCI). Peta pada Lampiran Capung (Odonata) Morfologi Capung Gambar 1. Bagian-bagian tubuh capung (sumber: Susanti, 1998) 10

11 Capung termasuk dalam kelompok insekta atau serangga yang memiliki ciri-ciri terdiri atas tiga bagian yaitu: kepala (caput), dada (toraks), dan perut (abdomen). Kepala capung relatif besar dibanding tubuhnya, bentuknya membulat/memanjang ke samping dengan bagian belakang berlekuk ke dalam. Bagian yang sangat menyolok pada kepala adalah sepasang mata majemuk yang besar yang terdiri dari banyak mata kecil yang disebut ommatidium. Di antara kedua mata majemuk tersebut terdapat sepasang antena pendek, halus seperti benang (Aswari, 2003). Mulut capung berkembang sesuai dengan fungsinya sebagai pemangsa, bagian depan terdapat labrum (bibir depan), di belakang labrum terdapat sepasang mandibula (rahang) yang kuat untuk merobek badan mangsanya. Di belakang mandibula terdapat sepasang maksila yang berguna untuk membantu pekerjaan mandibula, dan bagian mulut yang paling belakang adalah labium yang menjadi bibir belakang (Borror dan Dwight, 1995 dalam Aswari, 2003). Bagian dada (toraks) terdiri dari tiga ruas adalah protoraks, mesotoraks, dan metatoraks, masing-masing mendukung satu pasang kaki. Menurut fungsinya kaki capung termasuk dalam tipe kaki raptorial yaitu kaki yang dipergunakan untuk berdiri dan menangkap mangsanya. Abdomen terdiri dari beberapa ruas, ramping dan memanjang seperti ekor atau agak melebar. Ujungnya dilengkapi tambahan seperti umbai yang dapat digerakkan dengan variasi bentuk tergantung jenisnya (Watson et all., 1991). Sayap capung bentuknya khas yaitu lonjong/memanjang dan tembus pandang, kadang-kadang berwarna menarik seperti coklat kekuningan, hijau, biru, 11

12 atau merah. Lembaran sayap ditopang oleh venasi (Aswari, 2003). Para ahli mengidentifikasi dan membedakan capung dengan melihat susunan venasi pada sayap (Susanti, 1998) Distribusi Capung Serangga atau insekta adalah kelompok hewan yang paling tinggi jumlah dan keanekaragaman jenisnya, mereka hampir ditemukan di semua lingkungan. Pada daerah tropis seperti Indonesia, keanekaragaman jenis serangga sangat tinggi karena didukung oleh kemampuannya untuk beradaptasi pada keanekaragaman habitat yang tinggi (Amir & Intari dalam Dharma, 2000). Saat ini diperkirakan ada jenis capung dan diperkirakan jumlah ini akan bertambah bila ditemukan jenis baru. Capung tersebar di seluruh dunia jumlah yang sangat berlimpah terutama terdapat di kawasan tropis. Di Indonesia terdapat sekitar 750 jenis (Susanti, 1998). Capung mampu berbiak di hampir segala macam air tawar yang tidak terlampau panas, asam, atau asin. Mulai dari perairan di dataran tinggi sampai sungai-sungai yang tenang di dataran renah. Ada juga di antaranya yang telah menyesuaikan diri untuk berkembang biak di kolam batu-batuan dan air terjun (Ensiklopedi Serangga, 1992). Capung menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai nimfa (sepasin) yang sangat tergantung pada habitat perairan seperti sawah, sungai, danau, rawa, atau kolam. Tidak ada satu jenis capung pun yang hidup di laut. Namun ada beberapa jenis yang tahan terhadap kadar garam (Susanti, 1998). 12

13 Capung dewasa sering terlihat di tempat-tempat terbuka, terutama di perairan tempat mereka berkembang biak dan berburu makanan. Sebagian besar capung senang hinggap di pucuk rumput, perdu, dan lain-lain yang tumbuh di sekitar kolam, sungai, parit, atau genangan-genangan air (Suharni, 1991). Capung melakukan kegiatan pada siang hari saat matahari bersinar, oleh karena itu pada hari panas capung akan terbang sangat aktif dan sulit untuk didekati. Pada senja hari saat matahari tenggelam capung kadang-kadang lebih mudah didekati (Suharni, 1991) Daur Hidup Capung Dalam daur hidupnya, capung melalui tiga tahap perubahan bentuk (metamorfosis), yaitu telur, nimfa, dan dewasa. Perubahan bentuk seperti ini dinamakan metamorfosis tidak sempurna (Hemimetabola). Ketika baru menetas nimfa terlindung oleh selaput tipis, tingkatan ini disebut pronimfa. Setelah bersentuhan dengan air selaput tipis terbelah dan muncul nimfa instar. Dalam perkembangan nimfa capung mengalami pergantian kulit, tergantung jenis dan adaptasinya dengan lingkungan. Pergantian kulit berkisar antara 6-15 kali. (Miller, 1995). Proses penggantian kulit (ecdysis) diawali dengan gerakan memompa mengalirkan cairan tubuh menuju toraks dan menyebabkan toraks mengembung dan akhirnya terjadi sobekan pada permukaan dorsal yang meluas sampai di belakang mata dan berbentuk gambaran menyerupai huruf Y. Melalui sobekan tersebut secara spontan nimfa terdorong keluar. 13

14 Capung yang baru muncul berwarna pucat, lunak, dan sayap mengkilap. Pada waktu terbang pertama memisahkan diri dari air dan memerlukan waktu beberapa hari mencari makanan. Saat itu capung mengembangkan warna yang sebenarnya dan secara seksual menjadi masak. Jika masa kematangannya sudah selesai lalu mencari lingkungan air untuk masa pembiakan (Ensiklopedi Serangga, 1992) Perilaku Capung Pada beberapa jenis capung, capung jantan yang siap kawin memiliki suatu kebiasaan untuk menguasai suatu areal. Capung jantan umumnya berwarna cerah atau mencolok daripada betina. Warna yang mencolok pada capung jantan ini membantu menunjukkan areal toritorialnya pada jantan lain. Perkelahian antara capung-capung jantan sering terjadi dalam memperebutkan areal masingmasing. Bila ada satu ekor capung betina terbang mendekati salah satu wilayah, maka jantan penghuni akan mencoba mengawininya (Susanti, 1998). Capung melakukan perkawinan sambil terbang di sekitar perairan dengan menggunakan umbai ekornya. Capung jantan akan mencengkram bagian belakang kepala capung betina. Kemudian capung betina akan membengkokkan ujung perutnya menuju alat kelamin jantan yang sebelumnya sudah terisi sel-sel sperma. Keadaan ini membentuk posisi yang menarik seperti lingkaran yang disebut roda perkawinan (Nanao, 1996). 14

15 Gambar 2. Perilaku reproduksi pada capung (sumber: Borror at all., 1996) Segera setelah kawin, capung betina siap untuk meletakkan telur-telurnya dengan berbagai cara sesuai dengan jenisnya, ada yang menyimpannya di selasela batang tanaman, ada pula yang menyelam ke dalam air untuk bertelur. Oleh sebab itu, capung selalu terikat dengan air untuk meletakkan telur-telurnya maupun untuk kehidupan nimfanya (Kubo, 1997). Capung jantan menempatkan diri pada tempat tertentu dimana dia berperilaku sedemikian rupa sehingga membuat para pengganggu menghindar dan melarikan diri. Pada jenis capung yang memperlihatkan teritorialnya, capung jantan menduduki suatu daerah lebih dari beberapa hari yang berurutan, walaupun demikian individu yang agresif dapat tetap di daerahnya tanpa gangguan mulai 1 sampai 3 minggu (Corbet, 1980 dalam Kartini, 2002). 15

16 Manfaat capung bagi manusia Capung bermanfaat langsung bagi manusia, karena nimfa capung memakan berbagai jenis binatang air termasuk jentik-jentik nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria dan demam berdarah. Di beberapa negara Asia Timur, baru-baru ini telah terungkap bahwa capung dapat digunakan sebagai pembasmi yang efektif terhadap nyamuk-nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah (Yahya, 2005). Capung juga dapat disebut sebagai indikator air bersih. Artinya, capung dapat dimanfaatkan untuk memantau kualitas air di sekitar lingkungan hidup kita, karena nimfa capung tidak akan dapat hidup di air yang sudah tercemar atau di perairan yang tidak ada tumbuhannya. Jadi, kehadiran capung dapat menandakan bahwa perairan sekitar kita masih bersih (Susanti, 1998). Perubahan populasi capung juga dapat menandai tahap awal adanya pencemaran air, disamping tanda lainnya berupa kekeruhan air. Namun untuk memastikan apakah suatu sungai atau badan air tercemar atau tidak harus disertai dengan penelitian fisik dan kimia secara akurat (Susanti, 1998) Klasifikasi capung Capung digolongkan ke dalam kelas insekta, subkelas Pterygota, infra kelas Paleoptera dan ordo Odonata. Capung diberi nama Odonata oleh Fabricius pada tahun Nama tersebut diambil dari bahasa Yunani :odonta-gnata yang berarti rahang bergigi. Berikut taksonomi capung: 16

17 Kindom Filum Subfilum Kelas Subkelas Infrakelas Ordo Subordo : Animalia : Arthropoda : Mandibulata : Insecta/Heksapoda : Pterygota : Palaeoptera : Odonata : Anisozygoptera Anisoptera Zygoptera - Sub Ordo Anisozygoptera Anisozygoptera memiliki karakter yang menggabungkan dua sub ordo. Sayap depan dan belakang hampir serupa dan menyempit pada bagian dasarnya, seperti Zygoptera. Pada saat istirahat sayap tersebut dibentangkan pada posisi horisontal seperti pada Anisoptera. Matanya terpisah seperti pada Zygoptera dan pada bagian depan kepalanya lebih menonjol keluar seperti Anisoptera. Beranggotakan satu famili yaitu: Epiophlebiidae yang terdiri dari dua species yaitu Epiophlebia supertes Selys ditemukan di Jepang dan E. laidlawi Tillyard di India. - Sub ordo Anisoptera Sub ordo Anisoptera adalah jenis capung yang sering sekali dijumpai dan mudah untuk diamati. Bentuk tubuh besar, tubuh panjang silinder dan agak pipih. 17

18 Panjang sayap sama namun sayap belakang lebih lebar daripada sayap depan. Pada waktu hinggap posisi sayap terentang. Capung ini umumnya merupakan penerbang ulung dan senang melayang-layang (Susanti, 1998). Anisoptera terdiri dari tujuh famili, yaitu: Aeschnidae, Gomphidae, Petaluridae, Corduliidae, Marcomiidae, dan Libellulidae (Borror et all., 1996). a. Famili Aeschnidae Famili ini mencakup capung-capung yang terbesar dan terkuat. Capung dewasa pada jenis ini memiliki panjang 75 mm dan berwarna hijau atau biru. Kelompok ini umumnya terdapat di berbagai macam habitat akuatik termasuk kolam, rawa, dan saluran-saluran air. Famili ini kira-kira ada sekitar 250 jenis, tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak ditemukan di daerah tropis. Beberapa genus yang penting antara lain: Anas Leach, Aeschna Illiger, Gynacantha Rambur, Basiaeschana Selys, Austrophlebia Tillyard. Jenis yang cukup umum dan tersebar di seluruh kepulauan Indonesia terutama di dalam hutan adalah genus Gynachantha. Dapat ditemukan sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Capung ini memiliki kebiasaan terbang saat menjelang petang atau saat matahari terbenam (Borror at all., 1996). b. Famili Cordulegastridae Anggota famili ini memiliki tubuh yang besar, berwarna hitam kecoklatan dengan tanda-tanda kuning. Mereka biasanya menempati sungai kecil di hutan dengan terbang mematroli tempat di atas permukaan air. Cordulegastridae adalah 18

19 kelompok yang kecil, dan semua jenis di Amerika Serikat termasuk dalam genus Cordulegaster (Susanti, 1998). c. Famili Gomphidae Anggota Famili Gomphidae lebih kurang terdiri dari 350 jenis serta terdapat di seluruh dunia. Jenis ini mudah dikenal dari ruas abdomen kedelapannya yang membengkak, bersifat serakah dan suka berkelahi, memangsa semua jenis serangga bahkan mengejar capung yang lebih besar. Capung berekor ganda ini memiliki panjang mm. Kebanyakan jenis ini memiliki warna gelap dengan tanda hijau atau kuning dan cenderung hinggap di permukaan yang datar seperti batu atau bebatuan. Genus-genus yang penting antara lain: Gomphus Leach, Ophiogomphus Selys, Erpetogamphus Selys, Lintenda de Haan, Ictinus Rambur, Austrogomphus Selys (Borror at all., 1996). d. Famili Petaluridae Capung berukuran besar berwarna coklat keabu-abuan atau kehitaman. Mata majemuk tidak bertemu pada bagian dorsal kepala. Stigma berukuran lebih kurang 8 mm. Ovipositornya berkembang dengan baik. Dua jenis dari famili ini terdapat di Amerika Utara: Trachopteryx thoreyi di Amerika Serikat bagian timur dan Tanipteryx hageni di bagian barat laut California dan Nevada sampai bagian selatan British Columbia (Susanti, 1998). 19

20 e. Famili Cordullidae Anggota famili ini kebanyakan berwarna hitam atau metalik tapi tidak begitu mengkilap. Memiliki mata yang berwarna hijau terang pada waktu hidup. Anggota famili ini kebanyakan terdapat di Amerika Serikat bagian utara dan Kanada. Genus terbesar yang terdapat pada famili ini adalah Somatochlora. Kebanyakan capung ini berwarna metalik dan panjangnya lebih dari 50 mm dan biasanya jenis ini terdapat di sepanjang aliran sungai atau daerah perairan di hutan (Borror at all., 1996). f. Famili Macromiidae Anggota kelompok ini dipisahkan dari Famili Corduliidae karena memiliki anal loop (simpul anal) yang membulat dan tidak mempunyai bisektor. Dua genus terdapat di Amerika Serikat (Didymops sp. dan Makromina sp.). Didymops sp. berwarna kecoklatan dengan sedikit tanda keputihan pada toraks. Mereka sering terdapat di sepanjang kolam air payau di daerah pesisir. Makromina sp. berwarna kehitaman dengan tanda kuning pada toraks dan abdomennya. Mereka merupakan penerbang-penerbang yang sangat cepat dan dapat ditemukan di sepanjang aliran sungai besar serta danau (Borror at all., 1996). g. Famili Libellulidae Anggota kelompok ini sangat besar jumlahnya, banyak terdapat di sekitar kolam dan rawa-rawa. Jenis ini memiliki kebiasaan terbang yang tidak teratur. Libellulidae terkecil adalah Nannothemis bella (Uhler) yang memiliki panjang 20

21 sekitar 19 mm. Jenis ini terdapat di sepanjang aliran sungai negara-negara bagian timur Amerika Serikat (Susanti, 1998). - Sub Ordo Zygoptera Tubuh capung ini berbentuk silinder dan sangat ramping menyerupai jarum. Bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang sama. Pada waktu hinggap, umumnya sayap terlipat (menutup) ke atas. Capung ini umumnya kurang kuat terbang, sehingga jarang terlihat melayang-layang di suatu tempat. (Susanti, 1998). Zygoptera terdiri dari tiga famili yaitu: Calopterygidae, Coenagrionidae dan Lestidae (Romoser & Stoffolano dalam Dharma 2000). a. Famili Calopterygidae Kelompok capung jarum yang berukuran relatif besar, sayapnya memiliki dasar yang makin menyempit tetapi tidak bertangkai seperti sayap famili lainnya. Seringkali terdapat di sepanjang aliran sungai yang bersih dan deras. Tersebar luas khususnya di daerah tropis. Genus-genus yang penting antara lain: Agrion Fabricus, Calopteryx Fabricius, Hetaerina Hagen, Pentaphlebia Forster, Sapho Selys, Vestalis Selys dan Neorobasis Selys (Esssig, 1942 dalam Dharma, 2000). b. Famili Lestidae Famili ini saat hinggap atau istirahat, menahan sayap-sayapnya sedikit melebar di atas tubuh dengan posisi tubuh yang hampir tegak lurus (terutama saat 21

22 hinggap pada vegetasi). Betina famili ini seringkali meletakkan telurnya pada tumbuhan di dekat permukaan air. Beberapa genus yang penting antara lain: Lestes Leach, Sympycna Chanpentier, Arcilestes Selys, dan Ausrolestes Tillyard. (Essig, 1942 dalam Dharma 2000). c. Famili Coenagrionidae Kelompok capung jarum yang selalu menahan sayap-sayapnya rapat di atas tubuhnya saat istirahat. Anggota famili ini merupakan penerbang yang lemah. Mereka secara luas terdapat di habitat tertentu seperti rawa-rawa, kolam, dan aliran-aliran air tetapi tidak pada sungai beraliran deras. Famili ini tersebar luas di seluruh dunia. Genus-genus yang penting antara lain: Coenagrion Kirby, Ischura Charpentier, Enallagma Charpentier, Agrier Gambur, Nehalenia Selys (Essig, 1942 dalam Dharma 2000). 22

23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sekitar perairan Situ Gintung pada bulan Juni-Juli Lokasi penelitian dibagi menjadi empat daerah pengamatan yang ditentukan untuk mempermudah penelitian. Peta lokasi dapat dilihat pada Lampiran Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah jaring serangga (insect net) diameter 50 cm, jarum serangga, alat tulis, lembar kerja, kertas papilot, kaca pembesar (loupe), alat petunjuk waktu, kamera digital, buku panduan lapangan Mengenal Capung, kardus dan gabus, Anemometer, Termometer, Hygrometer, Altimeter. Bahan yang digunakan adalah capung, aceton, dan kamper Cara kerja Observasi awal Observasi awal dilakukan pada tanggal 2 sampai 12 Juni Hal-hal yang dilakukan adalah: - Menentukan lokasi penelitian Untuk mempermudah penelitian, lokasi penelitian dibagi menjadi empat daerah penelitian dengan batas-batas sebagai berikut: 23

24 Lokasi A. Kawasan terbuka kampus II Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN). sebagai daerah pemukiman dengan vegetasi tanaman merak (Caesalpinia pulcherrima), kelapa (Cocos nucifera), tasbih (Canna hybrida), putri malu (Mimosa pudica) dan rumput-rumputan. Lokasi B. Kawasan terbuka Wisata Alam Situ Gintung dengan vegetasi rumputrumputan, Akasia, merak (Caesalpinia pulcherrima), kelapa (Cocos nucifera), putri malu (mimosa pudica). Lokasi C. Kawasan terbuka Hutan Semi alami Situ gintung dengan vegetasi Akasia, kelapa (Cocos nucifera), jambu monyet (Anacardium occidentale), putri malu (Mimosa pudica), Eceng Gondok, dan rumput-rumputan. Lokasi D. Lahan pertanian Situ Gintung dengan vegetasi tanaman pangan berupa ketela pohon (Manihot utilissima), jagung (Zea mays), pepaya (Carica papaya), putri malu (Mimosa pudica) dan rumput-rumputan. Gambaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2. - Koleksi awal jenis capung untuk identifikasi Jenis-jenis capung yang ditemukan saat observasi awal ditangkap dengan menggunakan jaring serangga kemudian dikoleksi dan untuk mempermudah pengoleksian sampel saat penelitian Pengambilan data fisik dan jenis capung di lapangan - Pengambilan data fisik di lapangan dilakukan pada saat penelitian berupa : Suhu, kelembaban, kecepatan angin dan ketinggian. Pengukuran suhu dilakukan 24

25 dengan menggunakan termometer air raksa 100 C dengan cara digantung pada tali gantung. Pengukuran kecepatan angin dilakukan dengan menggunakan anemometer dengan cara diletakkan menghadap arah angin, pengukuran kelembaban dilakukan dengan cara menggunakan higrometer dengan cara digantung pada tali gantung, pengukuran ketinggian dilakukan dengan menggunakan altimeter. Data di ambil pada pagi hari dan sore hari pada saat penelitian. - Pengambilan data dan sampel di lapangan dilakukan sebanyak 5 kali antara tanggal 20 Juni sampai 20 Juli 2006 yaitu tanggal 25 Juni, 2, 9, 16, 23 Juli pada pagi hari mulai pukul sampai WIB. dan sore hari mulai pukul sampai WIB. Pemilihan waktu penelitian berdasarkan waktu aktifnya capung, sehingga diharapkan dapat ditemukan jenis capung yang beragam (Suharni,1991). Jenis-jenis capung yang ditemukan ditangkap dengan menggunakan jaring serangga kemudian capung dimatikan dengan cara capung dimasukkan ke dalam aceton kemudian di simpan dalam kertas papilot. - Estimasi jumlah populasi capung Banyaknya individu capung diperkirakan berdasarkan angka yang dipakai oleh Aswari (1997) di Kebun Raya Bogor, yaitu: sedikit jika jumlahnya 1-9 ekor, sedang jika jumlahnya 10 sampai 50 ekor, dan banyak jika jumlahnya lebih dari 51 ekor. Data yang dicatat ditabulasikan dalam sebuah tabel. Penghitungan jumlah capung di lapangan dilakukan dengan teknik penghitungan secara langsung. 25

26 - Perlakuan Sampel Capung yang telah ditangkap dimatikan dengan mencelupkan ke dalam aceton selama beberapa detik, kemudian dimasukkan ke dalam kantung spesimen (kertas papilot) dan dilengkapi data lapangan. Capung tersebut di-jarum (pinning) pada bagian tengah sayap hingga ujung pin muncul di antara ujung kaki pertama dan kedua lalu dikeringkan dengan proses pemanasan pada oven bersuhu 45ºC selama 3 hari. Setelah itu ditancapkan pada gabus yang kemudian disimpan dalam kotak-kotak penyimpanan. Sampel dipotret dengan kamera digital. Setiap jenis capung yang ditemukan kemudian dideskripsikan dan diidentifikasi jenisnya. Berpedoman pada buku panduan lapangan mengenal capung (Susanti, 1998) dan membandingkan sampel yang diperoleh dengan spesimen yang ada pada koleksi serangga di Balitbang Zoologi, Puslitbang Biologi LIPI Cibinong Bogor, Jawa Barat Analisis Data Perhitungan indeks keanekaragaman jenis dan kemerataan distribusi individu dalam jenis dengan menggunakan Shannon-Wiener (Krebs, 1986 dalam Aswari 2004). 1. Menentukan Indeks Keanekaragaman Jenis, rumus yang digunakan adalah: H' = - (Pi ln Pi) Keterangan: H' Pi ni N = Indeks keanekaragaman jenis = ni/n = jumlah individu jenis ke-i = jumlah individu semua jenis 26

27 2. Menentukan Indeks Kemerataan, rumus yang digunakan adalah: E = H' H max Keterangan: E H' H max S = indeks kemerataan = Indeks keanekaragaman jenis = log 2 S = 3,3219 log S = Jumlah jenis Tabel 1. Kriteria Penilaian Pembobotan Kualitas Lingkungan Indeks Kondisi struktur kategori skala keanekaragaman (H') komunitas >2,41 Sangat stabil Sangat baik 5 2,4 Lebih stabil Baik 4 1,21 1,8 Stabil Sedang 3 0,61 1,2 Cukup stabil Buruk 2 <0,6 Tidak stabil Sangat buruk 1 Indeks kemerataan Kondisi penyebaran jenis Kategori Skala (E) struktur komunitas >0,81 Sangat stabil Sangat baik 5 0,61 0,80 Lebih stabil Baik 4 0,41 0,60 Stabil Sedang 3 0,21 0,40 Cukup stabil Buruk 2 <0,20 Tidak stabil Sangat buruk 1 (Sumber: Krebs, 1986 dalam Aswari 2004). 27

28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Capung yang berhasil ditemukan di empat lokasi penelitian terdiri dari enam jenis. Lima jenis termasuk dalam sub ordo Anisoptera, Famili Libellulidae yaitu Orthetrum sabina, Brachytemis contaminata, Orthetrum testacium, Ortetrum pruinosum, Orthetrum caledonicum dan satu jenis termasuk dalam sub ordo Zygoptera, Famili Coenagrionidae yaitu Agnionemis femina. Lokasi penelitian A merupakan daerah penelitian yang memiliki paling banyak jenis capung, yaitu lima jenis capung pada pagi dan empat jenis pada pengamatan sore, lokasi penelitian D memiliki tiga jenis capung pada pengamatan pagi dan sore, lokasi penelitian C memiliki tiga jenis capung pada pengamatan pagi dan sore dan lokasi penelitian B merupakan lokasi penelitian yang paling sedikit jenisnya karena hanya ditemukan tiga jenis pada pagi dan dua jenis pada sore hari dengan jumlah masing masing jenis yang berbeda-beda (Tabel 2). 28

29 Tabel 2. Daftar jumlah jenis capung di Situ Gintung, Tangerang N o Jenis Famili 1 Libellulidae Orthetrum sabina 2 Brachytemis cantaminata Libellulidae 3 Orthetrum pruinosum Libellulidae 4 Orthetrum testaceum Libellulidae 5 Orthetrum caledonicum Libellulidae 6 Agnionemis femina Coenagrionidae Waktu pengamatan Jumlah individu A B C D P S P S P S P S P S P S Keterangan : A. Lokasi 1. Kawasan terbuka kampus II UIN Jakarta B. Lokasi 2. Kawasan Wisata Alam Situ Gintung C. Lokasi 3. Kawasan Hutan Semi Alami Situ Gintung D. Lokasi 4. Kawasan lahan pertanian Situ Gintung P: Pengamatan pagi ( WIB); S: Pengamatan sore ( WIB) Lokasi penelitian dapat dilihat di Lampiran 2 Tabel 3. Daftar kehadiran jenis capung di empat lokasi penelitian pada pengamatan pagi dan sore No 1 Jenis Orthetrum sabina Jumlah individu Lok. A Lok. B Lok. C Lok.D P S P S P S P S Brachytemis contaminate Orthetrum pruinosum Orthetrum testaceum Orthetrum caledonicum Agnionemis femina Total Keterangan: P: Pengamatan pagi (pukul WIB) S: Pengamatan sore (pukul WIB) - = tidak ditemukan 29

30 Pada pengamatan pagi terdapat enam jenis capung yaitu: Orthetrum sabina, Brachytemis contaminata, Orthetrum pruinosum, Orthetrum testaceum, Orthetrum caledonicum, Agnionemis femina. Pada pengamatan sore terdapat lima jenis capung yaitu: Orthetrum sabina, Brachytemis contaminata, Orthetrum Pruinosum, Orthetrum testaceum, Agnionemis femina (Tabel 3). Kelimpahan jumlah individu terbanyak terdapat pada lokasi D (lahan pertanian) yaitu 108 individu pada pengamatan pagi dan 66 individu pada pengamatan sore dan kelimpahan individu sedikit terdapat pada lokasi pengamatan B (kawasan wisata) yaitu 22 individu dan 16 individu pada pengamatan sore. Tabel 4. Indeks keanekaragaman (H') dan kemerataan (E) jenis capung pada pengamatan pagi di Situ Gintung No 1 Nama jenis Orthetrum sabina Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D H' E H' E H' E H' E 0,33 0,14 0,35 0,22 0,24 0,15 0,35 0,22 2 Brachytemis contaminata 0,36 0,15 0,36 0,23 0,34 0,21 0,34 0,22 3 Orthetrum pruinosum 0,30 0, Orthetrum testaceum 0,25 0, ,14 0,08 0,33 0,22 5 Orthetrum caledonicum - - 0,30 0, Agnionemis femina 0,24 0, Total 0,29 0,12 0,23 0,14 0,32 0,20 0,51 0,32 Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman; E = Indeks kemerataan - = tidak ditemukan Indeks keanekaragaman pada pengamatan pagi yaitu berkisar antara 0,23-0,51 sedangkan indeks kemerataan berkisar antara 0,12-0,32 dengan besarnya keanekaragaman dan kemerataan dari jenis dan jumlah capung terdapat pada 30

31 lokasi pengamatan D. Hal ini sesuai dengan kelimpahan jumlah yang terdapat pada lokasi pengamatan D pada Tabel 3. Tabel 5. Indeks keanekaragaman (H') dan kemerataan (E) jenis capung pada pengamatan sore di Situ Gintung No 1 Nama jenis Orthetrum Sabina Lokasi A Lokasi B Lokasi C Lokasi D H' E H' E H' E H' E 0,36 0,18 0,36 0,36 0,28 0,17 0,36 0,22 2 Brachytemis contaminata 0,36 0,18 0,32 0,32 0,36 0,22 0,36 0,22 3 Orthetrum pruinosum 0,23 0, Orthetrum testaceum ,11 0,06 0,36 0,22 5 Orthetrum caledonicum Agnionemis femina 0,23 0, Total 0,23 0,16 0,10 0,10 0,33 0,20 0,36 0,22 Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman; E = Indeks kemerataan - = tidak ditemukan Indeks keanekaragaman pada pengamatan sore yaitu berkisar antara ,36 sedangkan indeks kemerataan berkisar antara 0,10-0,22 dengan besarnya keanekaragaman dan kemerataan dari jenis dan jumlah capung terdapat pada lokasi pengamatan D. Hal ini sesuai dengan kelimpahan jumlah yang terdapat pada lokasi pengamatan D pada Tabel 3. Tabel 6. Data fisik lokasi penelitian No Parameter fisik Lok. A Lok. B Lok. C Lok. D P S P S P S P S 1 Suhu udara ( c) Kelembaban (%) Kecepatan angin (m/s) 0,5 3,5 0,3 3,1 0,2 1,5 0,4 3,0 4 Ketinggian (m dpl) Keterangan: P, Pengamatan pagi; S, Pengamatan sore 31

32 4.2. Pembahasan Deskripsi jenis 1. Orthetrum sabina (Drury,1970) Orthetrum sabina adalah jenis yang ditemukan di seluruh lokasi pengamatan, pada pengamatan pagi dan pengamatan sore. O. sabina yang dikoleksi memiliki panjang abdomen 30 mm dan panjang sayap belakang 30 mm. Toraks berwarna hijau tua dengan garis-garis hitam pada bagian lateral dan kakinya berwarna hitam. Abdomen ramping dengan warna hitam dan putih, segmen pertama hingga ke tiga berwarna sama dengan toraksnya, segmen ke tujuh hingga ke sepuluh berwarna hitam, embelan anal berwarna putih (Gambar 3). O. Sabina yang berhasil dikoleksi ditemukan sedang terbang dan kadang hinggap di batang tanaman putri malu (Mimosa pudica) di dekat perairan pada pagi dan sore hari. Orthetrum sabina jumlahnya sangat melimpah dan terdapat di seluruh Pulau Jawa. Jenis ini merupakan salah satu jenis capung yang paling dominan di persawahan. Capung ini berkembang biak di air yang tidak mengalir atau air yang alirannya lambat. Karena kemampuannya beradaptasi pada musim kemarau, serangga ini dapat hidup di hampir semua negara. Terdapat hingga ketinggian 2500 m dpl (Miller, 1995). 2. Brachytemis contaminata (Fabricius,1793) Brachytemis contaminata yang ditemukan mempunyai ukuran abdomen 19 mm dan panjang sayap belakang 21 mm (Gambar 4). Sayap transparan berwarna jingga terang, mulai dari dasar sayap hingga pangkal stigma. Stigma 32

33 berwarna coklat kemerahan. Toraks bagian lateral berwarna coklat terang dengan garis kecoklatan yang begitu pucat, bagian dorsal berwarna coklat kemerahan. Kakinya berwarna kuning gelap hingga coklat kehitaman. Abdomen berwarna kuning gelap kemerahan. B. contaminata dalam penelitian ini tidak pernah ditemukan jauh dari perairan. Brachytemis contaminata dapat dengan mudah ditemukan sedang hinggap berlama-lama pada vegetasi di tepian perairan, terutama pada vegetasi yang muncul dari permukaan perairan. Capung ini terbang hanya sebentar dan senang hinggap berlama-lama pada tanaman air yang terdapat di permukaan air (Susanti, 1998). 3. Orthetrum pruinosum (Selys,1978) Orthetrum pruinosum yang di koleksi berwarna merah dan abu-abu hitam (Gambar 5). Memiliki panjang sayap belakang 30 mm, dengan warna transparan hitam. Toraks terdiri dari tiga bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks berwarna abu-abu kehitaman, dengan kaki berwarna hitam. Abdomen berwarna dominan merah dari segmen pertama hingga pada segmen terakhir dan umbai ekor. O. pruinecum pada penelitian ini ditemukan sedang terbang di sekitar perairan dan sesekali hinggap pada tanaman yang terdapat di taman. 4. Orthetrum testaceum (Selys,1978) Orthetrum testaceum yang terdapat di Situ Gintung berwarna merah (Gambar 6) dan oranye dan yang berhasil dikoleksi berwarna oranye dengan panjang sayap belakang 35 mm. Warna sayap transparan hitam dan terdapat 33

34 warna oranye transparan pada pangkal sayap. Toraks terdiri dari tiga segmen serta kaki yang berwarna hitam. Abdomen memiliki panjang 33 mm dengan warna dominan oranye hingga ke umbai ekor. Dalam penelitian ini O. testaceum hanya ditemukan pada lokasi penelitian A dengan aktivitasnya terbang di sekitar perairan dan hinggap pada vegetasi taman di sekitar lokasi A. 5. Orthetrum caledonicum (Selys,1978) Orthetrum caledonicum memiliki panjang sayap belakang 31 mm. Toraks berwarna hitam dengan garis-garis biru di bagian dorsal. Abdomen memiliki panjang 30 mm, berwarna hitam dengan garis-garis biru mendatar di setiap segmen dari segmen pertama hingga segmen terakhir (Gambar 7). Kaki berwarna hitam. Dengan sayap transparan berwarna hitam dan umbai ekor berwarna hitam. Dalam penelitian ini O. caledonicum hanya ditemukan pada lokasi B (wisata), pada pengamatan pagi saja. Diduga capung jenis ini dapat beradaptasi dengan vegetasi dan keramaian kawasan wisata tersebut. 6. Agnionemis femina (Kibry,1990) Agnionemis femina (Gambar 8) memiliki abdomen sepanjang 18 mm dan sayap belakang sepanjang 11 mm. Toraks yang ditutupi oleh taburan putih seperti serbuk kapur, pada bagian dorsal berwarna hitan dan diikuti oleh warna biru pucat di bagian ventral. Abdomen hingga segmen ke tujuh berwarna hitam kehijauan pada bagian dorsal dan hijau pucat pada bagian ventral, segmen ke delapan hingga terakhir berwarna hitam seluruhnya kecuali bagian ujungnya yang hijau kebiruan 34

35 dengan embelan anal yang berwarna jingga. Saat dikoleksi jantan tersebut sedang terbang dan sesekali hinggap di rerumputan. A. femina merupakan jenis capung jarum yang paling umum dan tersebar hampir di seluruh dunia. Di Jawa, jenis ini terdapat hingga ketinggian 1600 m dpl. Umumnya berbiak di danau, rawa-rawa yang dangkal, anak sungai, kolam dan daerah persawahan (Lieftinck, 1934) Keanekaragaman jenis capung di Situ Gintung Jenis capung yang ditemukan di Situ Gintung dalam penelitian ini ada enam jenis. Dalam suatu observasi pada tahun 1994 hingga 1996 di Kebun Raya Bogor (Aswari, 2000) ditemukan 19 jenis capung sub Ordo Anisoptera Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widayanti di Muara Angke Jakarta Utara selama dua bulan. Jenis capung Anisoptera yang ditemukan ada tujuh jenis. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis capung yang ditemukan di Situ Gintung, Tangerang. Hal ini mungkin terjadi karena penelitian tersebut berlangsung lebih lama (lebih kurang dua tahun) dengan vegetasi yang beragam. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Widayanti di Muara Angke Jakarta Utara selama dua bulan, jenis capung Anisoptera yang ditemukan ada tujuh jenis. Hal ini terjadi mungkin karena di Muara Angke memiliki vegetasi yang lebih beragam dibandingkan di Situ Gintung. Perluasan areal pemukiman, penyusutan air danau, dan perluasan kawasan wisata di Situ Gintung membuat vegetasi yang berada di Situ Gintung berkurang. Jenis dan distribusi vegetasi pada perairan dapat mempengaruhi jumlah jenis dan 35

36 tempat hidup nimfa capung. Oleh karena itu jenis capung yang ditemukan di Situ Gintung hanya enam jenis. Faktor lain yang mempengaruhi keberadaan jenis capung di Situ Gintung adalah kondisi perairan yang kotor (Corbet, 1980 dalam Kartini 2002). Di masa mendatang diharapkan jenis capung yang ditemukan di Situ Gintung akan bertambah sejalan dengan pemulihan kondisi vegetasi dengan cara menanami kembali tanaman di sekitar perairan Situ gintung. Capung yang ditemukan pada pengamatan pagi ada enam jenis dan pada pengamatan sore ada lima jenis. Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan aktivitas capung dan mangsanya. Mangsa capung adalah serangga kecil yang bergerak dan kebanyakan aktif di siang hari. Capung membutuhkan suhu lingkungan yang cukup panas untuk membantu aktivitasnya, terutama untuk membantu pergerakan sayapnya. Venasi pada sayap capung hanya efektif pada suhu yang cukup panas yaitu lebih dari 30º C. Penglihatan capung sangat penting dalam setiap perilakunya, terutama untuk mencari mangsa. Lebih dari 80 % bagian otak capung digunakan untuk menganalisis informasi visual dari penglihatannya. Mata majemuk capung membutuhkan cahaya untuk dapat melihat sesuatu, demikian juga untuk melihat mangsanya (Miller, 1995). Orthetrum sabina dan Brachytemis contaminata merupakan jenis yang mudah dan dapat ditemukan pada setiap lokasi penelitian (Tabel 2). Hal ini erat kaitannya dengan kemampuannya beradaptasi pada musim kemarau dan musim hujan serta kemampuannya dapat hidup di semua habitat. Dari Tabel 3, pada pengamatan pagi dan sore diperoleh kelimpahan jumlah individu capung paling banyak terdapat pada lokasi penelitian D (lahan 36

37 pertanian) yaitu 108 individu pada pagi dan 66 individu pada pengamatan sore. Kemudian lokasi C (hutan semi alami) yaitu 44 individu pada pagi dan 31 individu pada sore hari, lokasi A (kampus II UIN) memiliki jumlah yaitu 35 individu pada pagi dan 29 individu pada sore hari dan lokasi penelitian B (kawasan wisata) merupakan lokasi penelitian yang jumlahnya paling sedikit yaitu 22 individu pada pagi dan 16 individu pada sore hari. Jenis capung yang ditemukan dalam jumlah sedang berdasarkan angka yang dipakai Aswari (1997) selama penelitian adalah Orthetrum sabina dan Brachythemis contaminata pada lokasi A, B, C, dan D. Kedua jenis ini memiliki perilaku yang hampir sama yaitu terbang dan sesekali hinggap di tanaman di dekat perairan. Sedangkan Orthetrum testaceum juga ditemukan dalam jumlah 'sedang' pada lokasi D. Jenis ini sering terbang dalam suatu kelompok besar, melayanglayang menjelajahi daerah yang terbuka sambil sesekali menyergap serangga kecil yang beterbangan di daerah tersebut. Jenis capung yang ditemukan dalam jumlah 'sedikit' adalah Agnionemis femina dan Orthetrum pruinesum. Kedua jenis tersebut ditemukan di lokasi penelitian A. Orthetrum caledonicum juga ditemukan dalam jumlah 'sedikit' dan hanya terdapat pada lokasi penelitian B. Orthetrum caledonicum saat pengamatan ditemukan sedang menjaga teritorialnya, hinggap pada sebatang ranting yang sudah mengering di dekat air. Sesekali terbang meninggalkan ranting tersebut dan beberapa saat kembali lagi ke tempat tersebut untuk menjaga toritorialnya. Banyaknya jumlah individu capung yang terdapat pada lokasi pengamatan D diduga karena pada lokasi pengamatan D yang merupakan lahan pertanian yang 37

38 memiliki beragam vegetasi yang merupakan habitat bagi serangga lain yang merupakan makanan atau mangsa dari capung tersebut. Sedangkan lokasi penelitian B (lokasi wisata) yang merupakan padang rumput, jumlah individu capung sedikit kemungkinan disebabkan karena kawasan tersebut memiliki sedikit vegetasi sehingga serangga lain yang menjadi mangsa capungpun sedikit dan banyaknya aktivitas manusia sehingga capung jadi terganggu dan mencari tempat yang lebih aman. Hasil penghitungan indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan pada pagi dan sore hari disajikan pada Tabel 5 dan 6. Indeks keanekaragaman berkisar dibawah 0,60. Keadaan ini menunjukan bahwa keanekaragaman jenis capung di Situ Gintung tergolong tidak stabil dengan skala 1. Sedangkan indeks kemerataan berkisar antara 0,21-0,40. keadaan ini menunjukan bahwa kemerataan jenis dari capung di Situ Gintung pada empat lokasi penelitian termasuk cukup stabil dengan skala 2. Indeks keanekaragaman dan kemerataan tertinggi dari pengamatan pagi dan sore hari terdapat pada lokasi penelitian D (lahan pertanian). 38

39 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Jenis capung yang terdapat di Situ Gintung adalah sebanyak 6 jenis yaitu, Orthetrum sabina, Brachytemis contaminata, Orthetrum pruinosum, Orthetrum testaceum, Orthetrum caledonicum, Agrionemis femina. 2. Orthetrum sabina dan Brachytemis contaminata merupakan jenis yang ditemukan di semua lokasi pengamatan, pada pengamatan pagi dan sore. 3. Keanekaragaman jenis capung yang terdapat di Situ Gintung tergolong tidak stabil dan kemerataannya cukup stabil Saran 1. Waktu penelitian perlu diperpanjang untuk mengetahui kelimpahan jumlah dan jenis yang lebih tinggi. 2. Menurunnya jumlah capung diduga disebabkan oleh rusaknya habitat capung akibat kegiatan manusia, oleh karena itu perlu dilakukan pelestarian terhadap lingkungan di Situ Gintung terutama vegetasi yang terdapat di sekitar perairan seperti tanaman putri malu (Mimosa pudica). 39

40 Lampiran 1. Peta lokasi penelitian D C A B Skala 1 : (Sumber: Holtorf, 2003) Perairan situ gintung terletak antara Bujur Timur dan Lintang Selatan. Sedangkan secara fisik Situ Gintung dibatasi oleh : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Gunung Indah Raya. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan perkampungan penduduk Pisangan Timur dan Barat. 3. Sebelah Timur berbatasan dengan perkampungan penduduk Kampung Gunung dan Cirendeu. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan restoran Situ Gintung, kompleks perumahan UI, International Sport Club Indonesia (ISCI). 40

41 Lampiran 2. Foto Lokasi Penelitian Deskripsi: Lokasi penelitian A (kampus II UIN Jakarta) merupakan lokasi pengamatan yang berdekatan dengan pemukiman penduduk dengan vegetasi pohon merak (Caesalpinia pulcherrima), pohon kelapa (Cocos nucifera), putri malu (Mimosa pudica), bunga tasbih (Canna Hybrida) dan rumput-rumputan. Deskripsi: Lokasi penelitian B (kawasan wisata) merupakan lokasi yang merupakan pusat dari wisata alam yang berada di Situ Gintung dengan vegetasi pohon merak (Caesalpinia pulcherrima), pohon kelapa (Cocos nucifera), putri malu (Mimosa pudica), dan sebagian besar wilayah tersebut merupakan padang rumput. 41

42 Deskripsi: Lokasi penelitian C (hutan semi alami) merupakan lokasi pengamatan yang sebagian besar lokasinya merupakan hutan dengan vegetasi pohon merak (Caesalpinia pulcherrima), pohon kelapa (Cocos nucifera), putri malu (Mimosa pudica), Jambu monyet (Anacardium occidentale), Akasia dan rumput-rumputan. Deskripsi: Lokasi penelitian D (lahan pertanian) merupakan lahan pertanian penduduk yang berada di sekitar perairan Gintung dengan vegetasi tanaman pangan yaitu: ketela pohon (Manihot utilissima), jagung (Zea mays), pepaya ( Carica papaya), putri malu (Mimosa pudica) dan rumput-rumputan 42

43 Gambar 3. Orthetrum sabina Gambar 4. Brachytemis contaminata Gambar 5. Orthetrum pruinosum 43

44 Gambar 6. Orthetrum testaceum Gambar 7. Orthetrum caledonicum Gambar 8. Agnionemis femina 44

45 45

TINJAUAN PUSTAKA. ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies)

TINJAUAN PUSTAKA. ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Morfologi Capung Capungdiklasifikasikankedalam kingdom animalia, kelasinsekta, ordoodonata, danmemiliki 2 sub ordoyakni sub ordoanisoptera (dragonflies) dansubordozygopteraa (damselflies)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Capung

TINJAUAN PUSTAKA. Capung TINJAUAN PUSTAKA Capung Klasifikasi Capung termasuk dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, klas Insecta, dan ordo Odonata. Ordo Odonata dibagi ke dalam dua subordo yaitu Zygoptera dan Anisoptera. Kedua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengamatan Keempat tempat penelitian terletak di Kebun Raya Bogor. Posisi masingmasing lokasi tertera pada Gambar 1. a. Taman Lebak Sudjana Kassan Taman ini berada di pinggir

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang dilakukan dengandesain tujuan utama untuk membuat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis-Jenis Predator Pada Tanaman Jagung Jenis-jenis predator yang tertangkap pada tanaman jagung dengan sistem pola tanam monokultur dan tumpangsari adalah sama yakni sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Alat yang digunakan adalah jaring serangga ( insect net), jaring serangga

MATERI DAN METODE. Alat yang digunakan adalah jaring serangga ( insect net), jaring serangga III. MATERI DAN METODE 3.1.TempatdanWaktuPenelitian Penelitian ini telahdilaksanakan dari bulan September 2014 sampai November 2014 dikawasan Kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Jalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora.

BAB I PENDAHULUAN. dunia, termasuk juga keanekaragaman Arthropodanya. 1. Arachnida, Insecta, Crustacea, Diplopoda, Chilopoda dan Onychophora. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk juga keanekaragaman

Lebih terperinci

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Brontispa sp di laboratorium. Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang membutuhkan. Tujuan Penelitian Untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN AKTIVITAS CAPUNG (ORDO : ODONATA) DI KEBUN RAYA BOGOR SITI NURUL INDAH HIDAYAH

KEANEKARAGAMAN DAN AKTIVITAS CAPUNG (ORDO : ODONATA) DI KEBUN RAYA BOGOR SITI NURUL INDAH HIDAYAH KEANEKARAGAMAN DAN AKTIVITAS CAPUNG (ORDO : ODONATA) DI KEBUN RAYA BOGOR SITI NURUL INDAH HIDAYAH PROGRAM STUDI ILMU HAMA & PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK SITI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

SURVEI ODONATA DI KAWASAN BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO JAWA TIMUR

SURVEI ODONATA DI KAWASAN BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO JAWA TIMUR SURVEI ODONATA DI KAWASAN BEKOL TAMAN NASIONAL BALURAN KABUPATEN SITUBONDO JAWA TIMUR SKRIPSI Oleh Huda Ilmiawan NIM 091810401019 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Nopember 2010 di PPKA Bodogol, Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi pengambilan data kupu-kupu di PPKA Bodogol, meliputi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis-Jenis Predator pada Tanaman Padi Hasil pengamatan predator pada semua agroekosistem yang diamati sebagai berikut: 1. Tetragnatha sp. Klas : Arachnida Ordo : Araneae

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. hayati memiliki potensi menjadi sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keanekaragaman hayati di suatu negara memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Keanekaragaman hayati merupakan sumber penghidupan dan kelangsungan

Lebih terperinci

CAPUNG DI KAWASAN RAWA DESA SUNGAI LUMBAH, KABUPATEN BARITO KUALA

CAPUNG DI KAWASAN RAWA DESA SUNGAI LUMBAH, KABUPATEN BARITO KUALA CAPUNG DI KAWASAN RAWA DESA SUNGAI LUMBAH, KABUPATEN BARITO KUALA Odonata in the Swamp Area of Sungai Lumbah Village, Barito Kuala Regency Muhammad Lutvi Ansari 1 *, Mochamad Arief Soendjoto 2, Dharmono

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013) II. TELH PUSTK Nyamuk edes spp. dewasa morfologi ukuran tubuh yang lebih kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan family

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai TINJAUAN PUSTAKA Pentingnya predasi sebagai strategi eksploitasi dapat diringkas dalam empat kategori utama. Pertama, predator memainkan peran penting dalam aliran energi pada kumunitasnya. Kedua, predator

Lebih terperinci

Inventarisasi Jenis Capung (Odonata) Pada Areal Persawahan Di Desa Pundenarum Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak

Inventarisasi Jenis Capung (Odonata) Pada Areal Persawahan Di Desa Pundenarum Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak BIOMA, Juni 015 ISSN: 1410-8801 Vol. 17, No. 1, Hal. 16-0 Inventarisasi Jenis Capung (Odonata) Pada Areal Persawahan Di Desa Pundenarum Kecamatan Karangawen Kabupaten Demak Samsul Rizal 1 dan Mochamad

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. 1. Bapak Dr. Anthony Agustien selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Andalas.

KATA PENGANTAR. 1. Bapak Dr. Anthony Agustien selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Andalas. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis atas kehadirat Allah Yang Esa karena dengan berkah nikmat kesehatan, waktu dan kekukatan yang senantiasa dilimpahkan-nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : II. TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Bangsa : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Sebagai Vektor Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing dan enam kaki panjang. Antar

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

INVENTARISASI CAPUNG (INSECTA: ODONATA) DAN VARIASI HABITATNYA DI RESORT TEGAL BUNDER DAN TELUK TERIMA TAMAN NASIONAL BALI BARAT (TNBB)

INVENTARISASI CAPUNG (INSECTA: ODONATA) DAN VARIASI HABITATNYA DI RESORT TEGAL BUNDER DAN TELUK TERIMA TAMAN NASIONAL BALI BARAT (TNBB) INVENTARISASI CAPUNG (INSECTA: ODONATA) DAN VARIASI HABITATNYA DI RESORT TEGAL BUNDER DAN TELUK TERIMA TAMAN NASIONAL BALI BARAT (TNBB) Alfin Galih Wijayanto, Nur Apriatun Nafisah, Zainul Laily, Mokhamad

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat

MATERI DAN METODE. 3.1.Waktu dan Tempat III. MATERI DAN METODE 3.1.Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di areal kampus Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Identifikasi serangga dilakukan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 02-6730.2-2002 Standar Nasional Indonesia Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk kodok lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok disusun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus 12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Walet Sarang Lumut, Burung Walet Sapi, Burung Walet Gunung dan Burung 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Taksonomi dan Deskripsi Burung Walet Terdapat beberapa jenis Burung Walet yang ditemukan di Indonesia diantaranya Burung Walet Sarang Putih, Burung Walet Sarang Hitam, Burung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA Lalat penggorok daun, Liriomyza sp, termasuk serangga polifag yang dikenal sebagai hama utama pada tanaman sayuran dan hias di berbagai negara. Serangga tersebut menjadi hama baru

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Distribusi Spasial A. tegalensis pada Tiga Varietas Tebu Secara umum pola penyebaran spesies di dalam ruang terbagi menjadi tiga pola yaitu acak, mengelompok, dan teratur. Sebagian

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung

I PENDAHULUAN. dengan burung layang-layang. Selain itu, ciri yang paling khas dari jenis burung 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung Walet memiliki beberapa ciri khas yang tidak dimiliki oleh burung lain. Ciri khas tersebut diantaranya melakukan hampir segala aktivitasnya di udara seperti makan

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25-

I. MATERI DAN METODE PENELITIAN Letak Giografis Lokasi Penelitian Pekanbaru terletak pada titik koordinat 101 o o 34 BT dan 0 o 25- I. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Patologi, Entomologi, dan Mikrobiologi (PEM) dan lahan kampus Universitas Islam Negeri Sultan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. batuan karbonat oleh aliran air tanah. Proses pelarutan tersebut umumnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. batuan karbonat oleh aliran air tanah. Proses pelarutan tersebut umumnya A. Kawasan Karst Gunung Sewu BAB II KAJIAN PUSTAKA Karst adalah suatu bentang alam yang khas dari muka bumi maupun bawah permukaan, yang terutama dibentuk oleh pelarutan pengendapan batuan karbonat oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kupu-kupu Troides helena (Linn.) Database CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) 2008 menyebutkan bahwa jenis ini termasuk

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu kawasan yang terletak pada daerah tropis adalah habitat bagi kebanyakan hewan dan tumbuhan untuk hidup dan berkembang biak. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP Hubungan Antarmakhluk Hidup Kita sering melihat kupu-kupu hinggap pada bunga atau kambing berkeliaran di padang rumput. Di sawah, kita juga sering melihat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6484.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan lele dumbo (Clarias gariepinus x C.fuscus) kelas induk pokok (Parent Stock) Daftar Isi Halaman Prakata... 1 Pendahuluan... 1 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan

Lebih terperinci

Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3. Konservasi Lahan Basah Potensi Ekowisata Mangrove Pesisir Sawah Luhur 4

Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3. Konservasi Lahan Basah Potensi Ekowisata Mangrove Pesisir Sawah Luhur 4 Dari Redaksi Daftar Isi Fokus Lahan Basah Eksploitasi Satwa Liar di Perairan Hulu Mahakam 3 Salam redaksi, Salam sejahtera bagi kita semua. Cukup lama tak bersua, semoga tidak memutuskan ikatan silahturahmi

Lebih terperinci

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian 11 METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juni 2009. Pengamatan serangga dilakukan di dua lokasi, yaitu pada pertanaman H. multifora di lingkungan Kampus Institut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila I. Praktikum ke : 1 (satu) II. Hari / tanggal : Selasa/ 1 Maret 2016 III. Judul Praktikum : Siklus Hidup Drosophila melanogaster IV. Tujuan Praktikum : Mengamati siklus hidup drosophila melanogaster Mengamati

Lebih terperinci

REAKSI PUTRI MALU TERHADAP RANGSANG

REAKSI PUTRI MALU TERHADAP RANGSANG REAKSI PUTRI MALU TERHADAP RANGSANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tumbuhan putri malu sering dijumpai di sekitar sawah, kebun, rerumputan. Tumbuhan putri malu merupakan herba memanjat atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan berupa penelitian dasar atau basic research yang dilakukan dengan metode deskriptif (Nazir, 1988:64), yaitu suatu metode penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Burung di Pantai Trisik Trisik adalah kawasan yang masih menyimpan sisa keanekaragaman hayati di Yogyakarta khususnya pada jenis burung. Areal persawahan, laguna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Peta kawasan kars Pracimantoro (sumber : Pemerintah Kab. Wonogiri)

Lampiran 1 : Peta kawasan kars Pracimantoro (sumber : Pemerintah Kab. Wonogiri) LAMPIRAN 36 Lampiran 1 : Peta kawasan kars Pracimantoro (sumber : Pemerintah Kab. Wonogiri) 37 Lampiran 2 : Dokumentasi kegiatan Lokasi Penelitian Gambar 2 : Telaga aliran sungai (Foto : Abdu) Gambar 3

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan.

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga masuk dalam filum Arthropoda dan kingdom Animalia yang memiliki keragaman Spesies terbesar dibandingkan dengan binatang yang lain yaitu hampir 75% dari total

Lebih terperinci

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2012, hlm.13) penelitian

Lebih terperinci

PENGERTIAN BIOMA suhu kelembaban angin altitude latitude topografi

PENGERTIAN BIOMA suhu kelembaban angin altitude latitude topografi PENGERTIAN BIOMA suhu kelembaban angin altitude latitude topografi MACAM BIOMA Macam macam Bioma : Tundra Taiga Hutan Gugur Hutan Hujan Tropis Gurun Padang Rumput Saparal PETA PERSEBARAN BIOMA DI DUNIA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di Sungai Bone. Alasan peneliti melakukan penelitian di Sungai Bone, karena dilatar belakangi

Lebih terperinci

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto /

DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD. Disusun oleh: Taufik Ariyanto / DAUR HIDUP HEWAN ILMU PENGETAHUAN ALAM KELAS IV SD Disusun oleh: Taufik Ariyanto / 101134063 P ernahkah kamu melihat perkembangan hewan yang hidup di lingkunganmu? Jika kamu memelihara hewan, kamu pasti

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan pada bulan November sampai Desember 2008 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Penelitian pendahuluan ini untuk

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif - eksploratif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

DOKUMENTASI PENELITIAN

DOKUMENTASI PENELITIAN DOKUMENTASI PENELITIAN 182 PRODUK PANDUAN IDENTIFIKASI SPESIES CAPUNG SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER BELAJAR BERDASARKAN PENELITIAN KEANEKARAGAMAN CAPUNG DI RAWA JOMBOR 183 184 185 186 187 188 Lampiran 3.1.

Lebih terperinci

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian

Spesies yang diperoleh pada saat penelitian PEMBAHASAN Spesies yang diperoleh pada saat penelitian Dari hasil identifikasi sampel yang diperoleh pada saat penelitian, ditemukan tiga spesies dari genus Macrobrachium yaitu M. lanchesteri, M. pilimanus

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian TINJAUAN PUSTAKA Biologi Kumbang Tanduk (O. rhinoceros). berikut: Sistematika kumbang tanduk menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insekta

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 28 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, dimulai dari bulan November- Desember 2011. Lokasi pengamatan disesuaikan dengan tipe habitat yang terdapat di

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI CAPUNG (ODONATA) DIKAWASAN KARS GUNUNG SEWU KECAMATAN PRACIMANTORO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI CAPUNG (ODONATA) DIKAWASAN KARS GUNUNG SEWU KECAMATAN PRACIMANTORO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH SKRIPSI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN DISTRIBUSI CAPUNG (ODONATA) DIKAWASAN KARS GUNUNG SEWU KECAMATAN PRACIMANTORO, KABUPATEN WONOGIRI, JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae) Seekor imago betina dapat meletakkan telur sebanyak 282-376 butir dan diletakkan secara kelompok. Banyaknya telur dalam

Lebih terperinci

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) SNI : 01-6485.1-2000 Standar Nasional Indonesia Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock) Prakata Standar induk ikan gurami kelas induk pokok diterbitkan oleh Badan Standardisasi

Lebih terperinci