BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan-batasan administratif

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan-batasan administratif"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Fisik Daerah Penelitian Letak Geografis Kecamatan Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari termasuk kedalam salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Adapun batasan-batasan administratif Kecamatan Tanjungsari adalah sebagai berikut : - Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Rancakalong dan Kecamatan Pamulihan. - Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cimanggung dan Kecamatan Jatinangor. - Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sukasari dan Kecamatan Jatinangor. - Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan dan Cimanggung. Secara topografi, bentang wilayah Kecamatan Tanjungsari adalah berbukit, dengan ketinggian tempat terendah 500 meter dan tertinggi meter di atas permukaan laut (dpl) Keadaan Lahan Pertanian dan Jenis Penggunaannya Kecamatan Tanjungsari memiliki luas lahan pertanian hektar (Ha). Luas lahan ini digunakan untuk pekarangan, tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, kolam, hutan Rakyat, hutan Negara dan perkebunan. 51

2 52 penggunaannya : Berikut tabel mengenai keadaan lahan pertanian berdasarkan jenis Tabel 7. Keadaan Lahan Pertanian Kecamatan Tanjungsari Berdasarkan Jenis Penggunaannya Penggunaan Lahan Luas (Ha) No. 1. Pekarangan Tegal / kebun Ladang / huma Padang rumput Kolam Hutan Rakyat Hutan Negara Perkebunan Jumlah Sumber : Profil Kecamatan Tanjungsari Keadaan Umum Usaha Hasil Tembakau Mole Letak Fisik Usaha Hasil Tembakau Mole Usaha hasil tembakau mole merupakan usaha yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Tanjungsari, seperti Desa Tanjungsari, Desa Pasigaran, Desa Kadakajaya, Desa Jatisari, dan Desa Margajaya. Letak fisik usaha hasil tembakau mole ini didukung oleh letak sumber produksi yang mudah dijangkau oleh para pengusaha karena sumber produksi hasil tembakau mole terdapat di Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Sukasari. Selain itu Kecamatan Tanjungsari juga memiliki pusat pemasaran tembakau yang dinamakan dengan pusat agrobisnis tembakau Jawa Barat.

3 Keragaan Usaha Hasil Tembakau Proses Pengadaan Faktor Produksi Menurut Gumbira Sa id (2001), produksi agribi snis dapat diartikan sebagai seperangkat prosedur dan kegiatan yang terjadi dalam penciptaan produk agribisnis produk usaha pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan ataupun hasil olahan dari produk-produk tersebut. Adapun yang dimaksud dari faktor-faktor produksi antara lain modal, tenaga kerja, bahan baku, bahan penunjang serta bangunan dan peralatan. A. Pengadaan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam produksi hasil tembakau iris mole, yaitu berupa tembakau dan obat perasa/aroma. a. Tembakau Umumnya bahan baku tembakau yang dipergunakan adalah 20 % tembakau lokal atau tembakau mole Sumedang dan 80 % tembakau dari luar daerah Sumedang biasanya para pengusaha menyebutnya tembakau jawa. Bahan baku tembakau yang didapatkan oleh pengusaha didapatkan di Pasar tembakau/pusat agrobisnis tembakau Jawa Barat yang terletak di Alun-alun Tanjungsari, terjalin hubungan baik antara penjual hasil tembakau dengan pengusaha sehingga pada pembelian hasil tembakau berikutnya hanya melalui pemesanan melalui telepon yang kemudian dikirim langsung ke pabrik pengusaha tersebut. Harga bahan bakau hasil tembakau selama lima tahun terakhir terus naik baik tembakau lokal maupun tembakau luar.

4 54 Berikut data harga bahan baku tembakau selama lima tahun terahir yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Harga Bahan Baku Tembakau Tahun Tahun Harga Tembakau Lokal (Rp) Tembakau Luar (Rp) Sumber : Usaha Hasil Tembakau Kenaikan harga bahan baku tembakau lokal dipicu oleh curah hujan yang tinggi dan paling tinggi pada tahun , hal tersebut berkaitan karena proses pengolahan daun tembakau hingga hasil rajangan tembakau memerlukan sinar matahari yang cukup serta pada proses budidaya apabila terlalu banyak terkena air hujan akan berakibat buruk pada hasil panen. Harga normal untuk tembakau lokal yaitu berkisar antara Rp Rp Kenaikan harga bahan baku tembakau luar pada tahun 2008 diakibatkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan harga dari Rp menjadi Rp karena adanya biaya transportasi yang tinggi mengingat bahwa tembakau ini berasal dari luar daerah Jawa Barat yaitu dari daerah Jawa Tengah. Sementara itu cuaca juga sangat menentukan harga seperti halnya pada tembakau lokal yang mengalami kenaikan harga akibat dari curah hujan yang tinggi. Harga normal untuk tembakau luar ini berkisar antara Rp Rp

5 55 b. Obat Perasa/Aroma Obat perasa/aroma yang digunakan oleh tiap pengusaha racikan aromanya selalu berbeda dengan tujuan agar tiap pengusaha mempunyai ciri khas produk masing-masing. Cara untuk mendapatkan bahan baku tersebut yaitu dengan membelinya di toko-toko yang menjual obat-obatan seperti Kimia Farma. untuk takaran obat perasa/aroma yang dicampurkan dengan tembakau yaitu 4 liter obat perasa/aroma berbanding 1 kilo gram tembakau. Harga pembelian obat perasa/aroma ini terus naik, berikut harga harga bahan baku obat perasa/aroma selama lima tahun terakhir yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Harga Bahan Baku Obat Perasa/Aroma Tahun Harga Tahun Obat perasa/aroma (Liter) Obat perasa/aroma (4 Liter) 2007 Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Sumber : Usaha Hasil Tembakau B. Pengadaan Bahan Penunjang Bahan penunjang untuk produksi hasil tembakau yaitu kemasan, tiap perusahaan memiliki kemasan yang berbeda nama produknya, kemasan tersebut harus ditutup rapat sehingga membutuhkan selotip untuk menutupnya, dalam satu gulung selotip dapat digunakan untuk 250 kemasan. Berikut data isi kemasan tiap perusahaan, yang disajikan pada Tabel 10.

6 56 Tabel 10. Isi (gr) Kemasan Tembakau Mole Tiap Perusahaan Nama perusahaan Isi kemasan (gr) A 65 B C D AX BX CX Sumber : Usaha Hasil Tembakau Harga bahan penunjang seperti kemasan, tiap tahun mengalami kenaikan harga sama halnya dengan harga selotip yang terjadi kenaikan setiap tahun, berikut data kenaikan harga kemasan selama lima tahun terakhir disajikan pada lampiran 1, dan data kenaikan harga bahan penunjang selotip disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Harga Bahan Penunjang Selotip Tahun Tahun Harga Rp Rp Rp Rp Rp Sumber: Usaha Hasil Tembakau C. Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam faktor produksi mengandung unsur fisik, pikiran, serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja itu sendiri. Tenaga kerja sebagai faktor produksi mengandung arti bahwa tenaga kerja tersebut merupakan subsistem produksi, dalam pengertian apabila faktor tenaga kerja itu tidak ada, maka produksi suatu barang/tanaman dan ternak tidak akan terjadi, atau sistem produksi tersebut tidak berjalan (Abdul Rojak, 2005). Tenaga kerja yang digunakan oleh para pengusaha hasil tembakau mole, berkisar antara 1-25 orang, jumlah tenaga kerja di sesuaikan dengan banyaknya produksi.

7 57 Produksi setiap pengusaha selalu berbeda jumlahnya bahkan setiap satu perusahaan belum tentu jumlah produksinya sama dalam satu kali produksi. Pengusaha hanya mematok harga untuk pekerja laki-laki Rp 50 dan untuk perempuan Rp 38 untuk biaya satu bungkus hasil tembakau mole. Umumnya pekerja memiliki patokan dalam satu hari kerja menghasilkan 500 bungkus untuk laki-laki dan 400 bungkus untuk perempuan. Peran laki-laki yaitu memasukan tembakau jawa kedalam mesin giling dan tembakau mole kedalam mesin pres serta melakukan pengemasan, sedangkan perempuan berperan dalam pengemasan saja. Biaya tenaga kerja tidak pernah naik dari tahun Hal tersebut dikarenakan biaya bahan baku terus naik sedangkan harga jual eceran tetap dari tahun Para pekerja memahami keadaaan tersebut maka dari itu para pekerja tidak mempermasalahkan kenaikan upah. D. Bangunan dan Peralatan 1. Bangunan Bangunan merupakan sesuatu yang didirikan dan dapat digunakan untuk berbagai aktivitas. Bangunan sebagai faktor produksi didefinisikan sebagai tempat dimana aktivitas proses produksi dari suatu sistem produksi dilakukan. Sesuai dengan PMK Nomor 200/PMK.04/2008, Perubahan ketentuan luas bangunan yang dapat digunakan sebagai bangunan Pabrik hasil tembakau yang sebelumnya paling sedikit 50 m2 menjadi paling sedikit 200 m2. Persyaratan yang diatur dalam ketentuan baru (PP Nomor 72 Tahun 2008 jo. PMK 200/PMK.04/2008 ), dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak peraturan tersebut diberlakukan ( paling lama tanggal 10 Desember 2011).

8 58 Jika sampai batas waktu tersebut NPPBKC Pengusaha Pabrik hasil tembakau tidak diperbaharui, maka NPPBKC-nya dicabut karena tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan misalnya luas bangunan yang tidak memenuhi syarat. Usaha hasil tembakau diharuskan memenuhi persyaratan yang berlaku sesuai dengan Peraturan Mentri Keuangan (PMK), terdapat beberapa pengusaha yang bisa mengikuti peraturan pemerintah, namun ada pula yang tidak mampu untuk mengikuti peraturan pemerintah tersebut. Terdapat empat pengusaha yang masih bisa bertahan mengikuti peraturan pemerintah dan tiga pengusaha yang tidak mampu bertahan salah satu alasan para pengusaha tersebut tidak dapat bertahan adalah mengenai luas bangunan paling sedikit 200 m2. Berikut data para pengusaha yang masih bertahan (aktif) yang mampu memenuhi syarat bangunan dengan luas minimal 200 m 2 dan pengusaha yang tidak dapat bertahan (tidak aktif) yang tidak mampu memenuhi syarat bangunan dengan luas minimal 200 m 2, yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Syarat Pemenuhan Luas Bangunan 50 m 2 menjadi 200 m 2 Tiap Perusahaan Tahun Tahun Nama perusahaan A B C D AX BX CX m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m2 50 m m2 200 m2 200 m2 200 m2 50 m2 50 m2 50 m2 Sumber: Usaha Hasil Tembakau Bangunan yang digunakan tidak boleh berhubungan langsung dengan tempat tinggal, dapat dilewati oleh jalan umum. Selain itu, pengusaha harus menempelkan papan nama pada bangunan gedung.

9 59 Identitas yang dicantumkan pada papan tersebut yaitu paling sedikit nama perusahaan, alamat, dan NPPBKC dengan ukuran paling kecil 60 cm x 120 cm. Biaya pembangunan dengan luas 50 m 2 tahun 2007 ditaksir Rp dengan perkiraan usia ekonomisnya 15 tahun. Biaya pembangunan dengan luas 200 m 2 tahun 2011 ditaksir Rp dengan perkiraan usia ekonomisnya 15 tahun. 2. Peralatan Peralatan adalah kelengkapan yang digunakan untuk melakukan sesuatu dan merupakan sarana penunjang yang sangat penting dalam proses produksi. Biaya yang dikeluarkan untuk keseluruhan peralatan tersebut ditaksir sebesar Rp Peralatan yang digunakan dalam proses produksi hasil tembakau mole tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Jenis, Nilai Ekonomis dan Usia Ekonomis Peralatan Usaha Hasil Tembakau No Nilai Ekonomis Usia Ekonomis Jenis Alat (Rp) (Tahun) 1 Mesin Pres Rp Mesin Penggiling Rp Pisau Rp Spray Obat perasa/ aroma Rp Dudukan Selotip Rp Sumber : Usaha Hasil Tembakau E. Modal Modal merupakan faktor produksi yang memegang peranan yang penting dalam suatu proses produksi. Faktor produksi modal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari subsistem produksi. Sumber modal yang digunakan oleh para pengusaha hasil tembakau berasal dari dana pribadi.

10 60 Seiring berjalannya waktu banyak perubahan-perubahan baik dari segi peraturan pemerintah, kenaikan harga bahan baku dan lainnya yang mengakibatkan para pengusaha perlu mengeluarkan modal yang lebih tinggi, meskipun para pengusaha tersebut termasuk dalam pengusaha skala kecil. Tahun 2010 terdapat dua perusahaan yang tutup usaha, setelah itu tahun 2011 terdapat satu perusahaan tutup usaha, hal tersebut diakibatkan dari tidak terpenuhinya salah satu syarat mendapatkan nomor pokok pajak barang kena cukai yaitu luas bangunan pabrik dengan luas minimal 200 m 2. Ketidak sanggupan para pengusaha memenuhi syarat tersebut dikarenakan tidak ada modal untuk membangun pabrik dengan 200 m Proses Pengolahan Faktor Produksi Proses pengolahan hasil tembakau mole yaitu penyemprotan obat perasa/aroma kepada tembakau yang kemudian dipotong, diukur berat gram dalam satu kemasan yang kemudian dikemas rapih beserta pita cukai, dan dipack kedalam plastik ukuran besar untuk siap didistribusikan. A. Tahap-tahan Pengolahan 1. Penggilingan Tembakau Luar (jawa) Tembakau yang berasal dari luar derah Tanjungsari, bentuk fisiknya kasar dan mempunyai potongan yang kurang halus maka diperhalus menggunakan mesin giling. Komposisi tembakau jawa yaitu 80 % dari tiap kemasan. 2. Memadatkan Tembakau Mole (Lokal) Bentuk dari tembakau mole berbentuk lembaran namun lembarannya tidak padat.

11 61 Untuk produksi hasil tembakau mole lembaran tembakaunya harus padat agar mudah dibentuk menjadi lapisan luar penutup tembakau jawa, selain itu pengepresan tembakau mole juga bertujuan agar tembakau tersebut tidak mudah bubuk. Komposisi tembakau mole yaitu 20 % dari tiap kemasan. 3. Penyemprotan Obat Perasa /Aroma Penyemprotan obat perasa/aroma ini bertujuan agar tiap kemasan tembakau mempunyai rasa dan aroma yang berbeda dari kemasan perusahaan satu dengan yang lainnya. Penyemprotan obat ini disemprotkan secara merata kepada seluruh tembakau. 4. Pemotongan dan pengukuran hasil tembakau mole dalam satu kemasan Lembaran tembakau mole ditambahkan tembakau jawa diatasnya kemudian lembaran tersebut digulung dan dipotong sesuai dengan ukuran gram tiap kemasan. 5. Pengemasan Pengemasan bertujuan untuk menjaga kualiatas produk, kemasan yang digunakan berupa plastik yang mempunyai merek dagang masing-masing perusahaan, selain itu dalam kemasan tersebut harus mencantumkan nama perusahaan, alamat perusahaan, peringatan bahaya merokok dan lain-lain. Pengemasan hasil tembakau mole sangat sederhana, setelah tembakau iris mole dan tembakau jawa dimasukan ke dalam plastik setelah itu plastik tersebut ditutup rapat menggunakan selotip yang disertai dengan pita cukai.

12 62 B. Jumlah Produksi Jumlah produksi tiap tahun dan tiap perusahaan selalu berbeda, sesuai dengan modal para pengusahaan tersebut. Berikut data jumlah produksi tiap perusahaan pada tahun tersaji pada Gambar 5. 14,000 7,000,000 12,000 10,000 8,000 A B C 6,000,000 5,000,000 4,000,000 A B 6,000 D 3,000,000 C 4,000 2, AX BX CX 2,000,000 1,000, D AX Gambar 5. Grafik Jumlah Bahan Baku Tembakau Produksi Tiap Perrusahaan Tahun Proses produksi tidak dilakukan setiap hari, proses produksi dilakukan dalam satu bulan sekali banyaknya hari yang digunakan sesuai dengan banyaknya bahan baku yang digunakan, cepat tidaknya produksi dilakukan disesuaikan dengan banyaknya tenaga kerja yang diperkerjakan. Tingginya rendahnya bahan baku yang digunakan oleh tiap pengusaha berkaitan dengan modal, yaitu modal untuk membeli bahan baku dan modal untuk membayar pajak. Intensitas pemasaran dan perluasan lokasi pemasaran berpengaruh pula pada tinggi rendahnya bahan baku yang digunakan. Perusahaan A mengalami penurunan produksi pada tahun 2010, perusahaan B mengalami penurunan produksi pada tahun 2008.

13 63 Perusahaan C mengalami penurunan produksi pada tahun 2008 dan 2009, perusahaan D mengalami penurunan produksi pada tahun 2009, dan untuk perusahaan AX, BX, dan CX mengalami penurunan produksi pada tahun 2009 dan Pada tahun akhir tahun 2010 perusahaan BX dan CX adalah perusahaan yang sudah mengalami tutup usaha sehingga pada tahun 2011 perusaan tersebut tidak melakukan produksi. C. Pendistribusian Dalam agroindustri pendistribusian lebih sering digunakan istilah tata niaga atau pemasaran. Sistem pemasaran produk pertanian merupakan satu kesatuan urutan lembaga-lembaga pemasaran yang melakukan fungsi pemasaran untuk memperlancar aliran produk pertanian dari produsen awal ke tangan konsumen akhir dan sebaliknya. Pemasaran produk hasil agroindustri sangat dipengaruhi oleh karakteristik produk itu sendiri. Pemasaran langsung dilakukan apabila karakteristik produk tersebut tidak tahan lama, sedangkan pemasaran tidak langsung dilakukan apabila produk yang dipasarkan tahan lama. Berdasarkan hasil penelitian, pemasaran tembakau mole saluran pemasarannya adalah secara tidak langsung. Tembakau mole tidak langsung dipasarkan kepada konsumen, melainkan melalui perantara terlebih dahulu. Peran perantara dalam saluran pemasaran tembakau mole ditempati oleh pengumpul atau pedagang kecil di pasar-pasar tradisional. Pengusaha yang memiliki lokasi pemasaran di luar Jawa Barat biasanya mereka menggunakan jasa pengiriman barang (ekspedisi) yang nantinya akan diterima oleh pengumpul tembakau mole.

14 64 Untuk pemasaran yang dilakukan di Jawa Barat sendiri dilakukan oleh pengusaha tersebut, yang dikirimkan ke pasar-pasar tradisional yang kemudian di pasarkan ketiap kios-kios yang ada di pasar tersebut. Data lokasi pemasaran serta biaya pendistribusian para pengusaha tembakau mole pada tahun tersaji pada lampiran 3 dan Pajak Hasil Tembakau A. Pajak Cukai Hasil Tembakau Kenaikan tarif pajak sesuai dengan peraturan pemerintah, setiap terjadi kenaikan tarif kenaikan tersebut naik sebesar 4 % seperti yang terjadi pada tahun 2007 ke tahun Perubahan tarif persentase menjadi gramase pada tahun 2009, apabila dipersentasikan adalah sebesar 10 %, maka kenaikan tersebut terjadi sebesar 2 % dari tahun Berikut adalah data jumlah pembayaran pajak yang tersaji pada bentuk Gambar 6 dan 7. Rp70,000,000 Rp60,000,000 Rp50,000,000 Rp40,000,000 Rp30,000,000 Rp20,000,000 Rp10,000,000 Rp A B C D AX BX CX Gambar 6. Grafik Pembayaran Pajak Cukai Tiap Perusahaan, Tahun

15 65 Rp1,500,000,000 Rp1,000,000,000 Rp500,000,000 Rp B D Gambar 7. Grafik Pembayaran Pajak Cukai Tiap Perusahaan B dan C Tahun Besarnya tarif cukai yang harus dibanyar oleh pengusaha sesuai dengan jumlah produksi (gr). Sehingga modal yang disiapkan sebagai pengusaha hasil tembakau selain modal untuk bahan baku, modal untuk biaya pajak harus disiapkan. Jika modal yang dimiliki pengusaha rendah maka perusahaan tersebut akan mengalami kerugian, dan apabila terus mengalami kerugian maka perusahaan tersebut akan mengalami tutup usaha. Pada tahun tarif pajak berdasarkan gram yaitu Rp 5 per gram tembakau dalam kemasan, tinggi rendahnya produksi berpengaruh pula pada tingginya pajak yang harus dibayar. B. Pajak Pertambahan Nilai Hanya terdapat dua perusahaan yang dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (Pajak Pertambahan Nilai) pada tahun Pengusaha tersebut dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak dikarenakan penerimaan bruto/omset nya melebihi Rp yaitu perusahaan B dan perusahaan C. Data tersebut tersaji pada Tabel 16. Tabel 14. Total Biaya Pajak Pengusaha Kena Pajak PPN Nama Perusahaan Tahun 2011 B Rp D Rp Sumber : Menteri Keuangan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (diolah)

16 Analisis Pendapatan Usaha Hasil Tembakau Iris Mole Analisis Biaya Menurut Sukirno (2005) biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahanbahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan tersebut. Biaya produksi tersebut dapat diartikan sebagai uang, barang atau jasa yang dipakai dalam rangka menghasilkan suatu produk. Menurut Sukirno (2005), biaya produksi dibagi menjadi dua jenis biaya yaitu: 1. Biaya tetap Biaya tetap merupakan biaya dengan jumlah totalnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu, yang termasuk biaya tetap adalah pajak dan biaya penyusutan alat. Pajak yang dimaksud adalah pajak bumi dan bangunan, pada tahun luas bangunan untuk usaha hasil tembakau diharuskan memiliki luas 50 m 2. Tahun 2011 adalah batas akhir perubahan luas bangunan usaha hasil tembakau menjadi 200 m 2. Tarif pajak bumi dan bangunan setiap tahun mengalami perubahan berikut data perubahan tarif pajak bumi dan bangunan yang tersaji pada Tabel 15. Tabel 15. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Tahun Tarif Bumi (Rp) Bangunan (Rp) Sumber : Profil Kecamatan Tanjungsari

17 67 Bumi yang dimaksud pada tabel di atas adalah luas tanah kosong tanpa bangunan, sedangkan bangunan adalah luas bangunan yang berdiri kokoh di atas tanah atau bumi yang dimaksud. Rata-rata tiap pengusaha memiliki 50 m 2 bangunan dan 50 m 2 bumi atau tanah tambahan yang berguna untuk halaman atau tempat parkir kendaraan yang apabila ditotalkan menjadi 100 m 2 luas bumi atau tanah. Selain pajak bumi dan bangunan biaya penyusutan banguanan dan alat juga termasuk biaya tetap, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 6,7,8, 9 dan 10. Penyusutan biaya tetap tertinggi adalah penyusutan bangunan yaitu ± 80%-90%, penyusutan peralatan hanya berkisar ± 1%-9% perbandingan antara penyusutan bangunan dengan alat sangat berbeda jauh. Sedangkan untuk pajak bumi dan bangunan meski tarif pajak tersebut berubah-rubah pengaruh terhadap biaya tetap hanya berkisar ± 0%-2%. 2. Biaya variabel Biaya variabel merupakan biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan volume kegiatan. Biaya variabel yang digunakan oleh para pengusaha hasil tembakau iris mole yaitu, bahan baku (tembakau dan obat perasa/aroma), bahan penunjang (plastik kemasan dan se lotip), biaya tenaga kerja dan transportasi. Alokasi biaya variabel tiap pengusaha usaha hasil tembakau iris mole dapat dilihat pada lampiran Biaya variabel paling tinggi dalam satu tahun produksi adalah biaya bahan baku yang mencapai ± 60%-80% dari total biaya, biaya tertinggi selanjutnya adalah biaya pajak cukai yang mencapai ± 8%-15% dari total biaya. Sedangkan untuk pajak PPN hanya dua perusahaan dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut mencapai ± 10%-22% dari total biaya.

18 68 Biaya pengadaaan bahan penunjang hanya mencapai ± 5%-8% dari total biaya, untuk transportasi biaya yang dikeluarkan salam satu tahun ± 1%-20% dari total biaya, besarnya persentasi tersebut tergantung dari jauh dekatnya pemasaran yang dilakukan. Persentase paling kecil yaitu 0,01 %-6% dari total biaya, dikeluarkan untuk biaya pembayaran administrasi CK-1 yang dilakukan pada setiap pemesanan pita cukai, yang disebut (PNBP). Biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) ditambahkan kemudian didapatkan hasil biaya total (total cost) yang dikeluarkan oleh setiap pengusaha. Untuk lebih rinci mengenai biaya total yang dikeluarkan oleh para pengusaha hasil tembakau iris mole dapat dilihat pada lampiran ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000, ,000,000 50,000, A B C D AX BX CX Gambar 8. Grafik Biaya Total Tiap Perusahaan, Tahun ,000,000,000 8,000,000,000 6,000,000,000 4,000,000,000 2,000,000, A B C D AX Gambar 9. Grafik Biaya Total Tiap Perusahaan, Tahun

19 69 Hanya perusahaan yang dapat memanfaatkan peluang yang baik dan modal tinggi yang dapat bertahan disaat kondisi harga bahan baku kian tinggi sama halnya dengan tingginya tarif pajak. Batasan produksi terjadi pada tahun 2007 sampai dengan 2008, tahun 2009 pemerintah tidak membatasi produksi hasil tembakau iris, sehingga pengusaha yang mempunyai modal dan pemasaran yang luas keuntungan yang didapatkan akan tinggi karena jumlah produksi yang dilakukan tinggi, hal ini terjadi pada perusahaan A yang mengalami kenaikan produksi tinggi pada tahun Perusahaan B juga mengalami kenaikan produksi yang kian tinggi pada tahun bahkan pada tahun 2011 produksi yang dilakukan amat sangat tinggi dan mencapai omset lebih dari Rp 600 juta, sehingga pengusaha tersebut terkena pajak pertambahan nilai. Perusahaan B memanfaatkan peluang pasar dimana terdapat perusahaan yang tutup usaha maka perusahaan B langsung memanfaatkan kekosongan pemasaran tersebut, dengan mendistribusikan produknya pada lokasi pemasaran pengusaha yang telah tutup usaha. Peran pelantara distribusi antar kota atau pulau juga bermanfaat dalam pemasaran, sehingga diperlukan jalinan yang sangat baik antara pelantara dengan pengusaha, untuk mengetahui informasi pasar. Perusahaan C, D, AX, BX dan CX mengalami kenaikan produksi pada tahun 2008 dan 2011, ketika tahun 2008 mengalami kenaikan namun turun pada tahun 2009 dan 2010, kemudian naik kembali pada tahun 2011 untuk perusahaan C, AX, dan BX. Kenaikan yang terjadi pada 2011 yaitu bertujuan untuk mempertahankan usaha agar tidak terjadi kerugian atau tutup usaha.

20 70 Perusahaan C melakukan produksi tinggi sedangkan perusahaan D sangat tinggi dan mencapai omset lebih dari Rp 600 juta, sehingga pengusaha tersebut terkena pajak pertambahan nilai. Perusahaan C dan D kuat dalam permodalan, sehingga tidak mengalami kerugian. Berbeda dengan perusahaan AX yang mengalami tutup usaha akibat dari lemahnya permodalan dalam memenuhi syarat perluasan bangunan pabrik seluas 200 m 2, sehingga pada akhir tahun 2011 perusahaan AX diberhentikan usahanya. Perusahaan CX dan BX mengalami tutup usaha pada akhir tahun 2010, dikarenakan oleh produksi yang rendah sedangkan tarif pajak naik, dan bahan baku semakin tinggi harganya. Lemahnya permodalan yang dimiliki oleh perusahaan CX dan BX mengakibatkan perusahaan tersebut tidak dapat menyanggupi biaya pajak yang semakin tinggi, biaya bahan baku yang semakin tinggi pula, dan kebijakan perluasan bangunan pabrik menjadi 200 m Penerimaan Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi hasil tembakau mole per gram dengan harga eceran per kemasan. Semakin tinggi jumlah produksi yang dihasilkan dan harga yang diterima maka penerimaan juga semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Volume penjualan hasil tembakau iris mole terus mengalami fluktuasi, banyak faktor yang membuat penjualan berfluktuasi. Faktor-faktor tersebut bisa dikarenakan harga bahan baku yang tinggi sehingga kesanggupan para pengusaha untuk memproduksi menjadi berkurang namun berimbas pada hasil penerimaan dari penjualan tersebut juga menjadi berkurang.

21 71 Besarnya tarif pajak yang semakin tinggi mengakibatkan pengusaha berfikir ulang untuk memproduksi lebih banyak lagi dan apabila penerimaan bruto atau omset yang diperoleh lebih dari Rp maka pengusaha tersebut dapat terkena pajak pertambahan nilai. Pengusaha yang memiliki modal kuat akan mempunyai kesanggupan dalam menghadapi tingginya harga pajak, tingginya harga bahan baku dan kebijakan lainya. Hal ini dapat dilihat pada lampiran 26 dan 27. Berikut grafik volume penjualan dan nilai penjualan tiap perusahaan tersaji pada Gambar 10 dan , , , , , ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 A B C D AX BX CX 120, ,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 A B C D AX Gambar 10. Grafik Volume Penjualan (Kemasan) Tiap Perusahaan Tahun A B C D AX BX CX Rp25,000,000,000 Rp20,000,000,000 Rp15,000,000,000 Rp10,000,000,000 Rp5,000,000,000 Rp700,000,000 Rp600,000,000 Rp500,000,000 Rp400,000,000 Rp300,000,000 Rp200,000,000 Rp100,000,000 Rp- Rp B D Gambar 11. Nilai Penjualan Hasil Tembakau, Tiap Perusahaan Tahun

22 72 Berdasarkan gambar 11, perusahaan A mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2009, hal tersebut didasari oleh peraturan pemerintah mengenai perubahan golongan pabrik yang awalnya tidak diperbolehkan lebih dari 500 juta gram menjadi tanpa golongan dan tanpa batasan produksi. Perusahaan B mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal tersebut didasari oleh perluasan lokasi pemasaran yang kemudian volume produksinya diperbesar hingga mencapai omset atau nilai penjualan Rp dan perusahaan B menjadi perusahaan kena pajak pertambahan nilai. Perusahaan C mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal tersebut didasari oleh volume produksinya diperbesar. Perusahaan D mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal tersebut didasari oleh volume produksi yang diperbesar, penjualan lebih banyak dibanding dengan penjualan sebelumnya. Peraturan pemerintah mengenai perubahan golongan pabrik yang awalnya tidak diperbolehkan lebih dari 500 juta gram menjadi tanpa golongan dan tanpa batasan produksi. Ketika pemerintah merubah peraturan batasan produksi menjadi tanpa batasan produksi, pemerintah pun mengeluarkan peraturan baru mengenai penerimaan bruto atau omset/nilai penjualan lebih dari Rp maka perusahaan tersebut terkena pajak pertambahan nilai. Tahun 2011 perusahaan D terkena pajak pertambahan nilai karena omset/nilai penjualannya melebihi Rp Perusahaan AX mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun 2011, hal tersebut didasari oleh volume produksinya diperbesar, penjualan lebih banyak dibanding dengan penjualan sebelumnya.

23 73 Tahun 2011 adalah tahun terakhir bagi perusahaan AX untuk bisa menjalankan usahanya hal tersebut juga menjadi alasan untuk meningkatkan volume produksi dengan melakukan pemesanan pita cukai yang banyak pada bulan-bulan sebelum akhir tahun maka dari itu pihak Direktorat Jendral Bea dan Cukai memberikan kesempatan untuk menghabiskan pita cukai yang dipesan oleh perusahaan AX. Perusahaan AX tidak bisa menjalankan usahanya dikarenakan salah satu syarat yaitu luas bangunan yang tidak memenuhi, perusahaan AX hanya memiliki luas bangunan sebesar 50 m 2 sedangkan dalam persyaratannya pada akhir tahun 2011 harus diperluas menjadi 200 m 2. Perusahaan BX mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun Pada tahun 2009 perusahaan BX tidak mampuan dalam membayar pajak yang tinggi serta peraturan mengenai luas bangunan yang harus diperluas. Luas bangunan tersebut sebesar 200 m 2 yang awalnya hanya 50 m 2. Sehingga pada akhir tahun 2010 perusahaan BX ditutup usahanya. Perusahaan CX tutup usaha pada akhir tahun 2010, perusahaan CX mengalami volume penjualan paling tinggi pada tahun Pada tahun 2009 perusahaan CX tidak mampu dalam membayar pajak yang tinggi serta peraturan mengenai luas bangunan yang harus diperluas. Trend peningkatan penjualan terjadi pada tahun 2008, harapan pengusaha menaikan produksi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dibanding dengan tahun sebelumnya. Keuntungan tahun 2008 yang diperoleh memang lebih besar dari tahun selumnya, namun apabila pemasaran tidak dilakukan dengan efisien perusahaan akan mengalami penurunan nilai penjualan.

24 74 Pada tahun 2009 terjadi penurunan produksi secara masal yaitu lima perusahaan dari tujuh perusahaan, hal tersebut terjadi dikarenakan biaya pajak yang tinggi dan tingginya harga bahan baku yang membuat pengusaha untuk berfikir ulang untuk memproduksi lebih banyak, semua permasalahan mengenai penurunan produksi berawal dari kekuatan modal yang dimiliki oleh masingmasing pengusaha. Pengusaha yang akan mampu bertahan adalah pengusaha yang mempunyai modal yang kuat. Pemasaran yang luas namun pendistribusinnya dilakukan secara efisien. Jika produksi yang dilakukan sebanyak puluhan ribu kemasan maka penerimaan yang akan diterima sebesar puluhan juta rupiah, jika produksi yang dilakukan ratusan ribu kemasan maka penerimaan yang akan diterima sebesar ratusan juta rupiah, dan jika produksi yang dilakukan jutaan ribu kemasan maka penerimaan yang akan diterima sebesar milyaran rupiah. Perusahaan B merupakan perusahaan yang memiliki perluasan pemasaran dari tahun ke tahun, begitu pula dengan produksi yang dilakukan yang semakin tinggi. Dibandingkan dengan perusahaan CX dan BX pemasaran yang dilakukan tidak semakin meluas dan produksi yang dilakukan terus menurun. Jika dalam lima tahun terjadi penurunan produksi lebih dari satu kali, hal tersebut mengindikasikan kebangkrutan. Pada tahun 2010 perusahaan CX dan BX mengalami tutup usaha atau kebangkrutan akibat dari lemahnya modal yang dimiliki untuk memenuhi prosedur dan syarat usaha hasil tembakau iris mole.

25 R/C Rasio Untuk Mengetahui kelayakan usaha agroindustri dapat dilihat dengan pendekatan R/C rasio, R/C rasio merupakan perbandingan antara penerimaan dengan biaya total. Layak atau tidaknya suatu usaha dapat dilihat dari nilai RC rasio. Apabila nilai R/C rasionya > 1 suatu usaha dikatakan layak dan memberikan keuntungan, jika nilai R/C rasionya < 1 maka usaha dikatakan tidak layak dan merugikan. Jika nilai R/C rasionya = 1 maka usaha tidak mendapatkan untung dan tidak juga merugi. Nilai R/C rasio pada usaha hasil tembakau iris mole perusahaan A, B, C, D, AX, BX. dan CX tahun , tersaji gambar A B C D AX BX CX Gambar 12. Nilai R/C Rasio Usaha Hasil Tembakau Tiap Pengusaha tahun Tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan A = < 1, sehingga dinyatakan rugi, tahun 2007 nilai R/C rasio perusahaan A = > 1, sehingga dapat dinyatakan menguntungkan, untuk tahun nilai R/C rasio perusahaan A = 1 dapat dinyatakan tidak untung dan tidak rugi. Penurunan nilai R/C rasio perusahaan A tahun 2007 ke tahun dikarenakan oleh tarif pajak yang terus naik, harga bahan baku yang semakin tinggi, kemudian proses perubahan luas banguanan pabrik pada tahun 2011 membutuhkan modal yang besar.

26 76 Tahun 2010 nilai R/C rasio perusahaan B = < 1,sehingga dinyatakan mengalami kerugian tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan A = > 1, sehingga dapat dinyatakan menguntungkan. Tahun nilai R/C rasio perusahaan B = 1 dapat dinyatakan tidak untung dan tidak rugi. Penurunan nilai R/C rasio perusahaan B tahun 2007 ke tahun 2009 dikarenakan oleh jauhnya lokasi pemasaran sehingga membutuhkan biaya pendistribusian yang cukup tinggi, jumlah biaya pendistribusian hampir sama dengan biaya pajak cukai. Pemasaran yang dilakukan hanya satu lokasi yaitu antara Aceh dan Sulawesi, tingginya biaya pemasaran berakibat pada jumlah keuntungan. Jumlah produksi yang yang dilakukan oleh perusahaan B relatif kecil dibanding dengan tahun 2011 hal tersebut akan berpengaruh pada keuntungan dari hasil penjualan, sehingga pada tahun nilai R/C perusahaan B = 1. Tahun 2010 perusahaan B melakukan pemasaran didua lokasi pemasaran yaitu Aceh dan Sulawesi, dengan jumlah produksi lebih 14% dari tahun 2009, biaya pendistribusian yang dilakukan sangat tinggi dan jumlah produksi yang hanya lebih 14% dari tahun 2009 mengakibatkan kerugian bagi perushaaan B sehingga pada tahun 2010 nilai R/C perusahaan B < 1. Tahun 2011 perusahaan B melakukan pemasaran ditiga lokasi pemasaran yaitu Aceh, Sulawesi dan Sumatera dengan jumlah produksi 50 kali lipat dari produksi Dengan produksi yang sangat tinggi akan menghasilkan penerimaan yang tinggi pula sehingga pada tahun 2011 nilai R/C perusahaan B > 1. Meskipun biaya pajak cukai ditambah dengan pajak pertambahan nilai tinggi apabila produksi yang dilakukan tinggi pula hal tersebut, tidak berpengaruh besar pada penerimaan.

27 77 Tahun 2010 nilai R/C rasio perusahaan C = < 1, sehingga dinyatakan mengalami kerugian, hal tersebut terjadi dikarenakan penurunan jumlah produksi dan produksi paling rendah juga terjadi pada tahun Tahun dan tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 hal tersebut dikarenakan produksi yang dilakukan seimbang dengan lokasi pemasaran yang dekat yaitu Garut dan Subang sehingga pengeluaran biaya tidak terlalu besar. Tahun 2007 tarif pajak belum mengalami kenaikan serta biaya bahan baku masih murah sehingga nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 yaitu mencapai Tahun 2008 dan 2009 terjadi penurunan nilai R/C rasio terjadi dikarenakan jumlah tarif pajak naik, kenaikan harga bahan baku, serta pada tahun 2009 terjadi penurunan produksi. Tahun 2011 kenaikan produksi sangat tinggi, penerimaan yang didapatkan juga tinggi sehingga nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 yaitu mencapai Tahun 2009 nilai R/C rasio perusahaan C = < 1, sehingga dinyatakan mengalami kerugian, hal tersebut terjadi dikarenakan penurunan jumlah produksi dan produksi paling rendah juga terjadi pada tahun Tahun 2007, 2008, 2010 dan tahun 2011 nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 hal tersebut dikarenakan produksi yang dilakukan seimbang dengan lokasi pemasaran yang dekat yaitu Garut dan Tanjungsari sehingga pengeluaran biaya tidak terlalu besar. Tahun 2007 tarif pajak belum mengalami kenaikan serta biaya bahan baku masih murah sehingga nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 yaitu mencapai 1.88, nilai R/C rasio paling tinggi terjadi pada tahun Tahun 2008 dan 2010 terjadi penurunan nilai R/C rasio terjadi dikarenakan jumlah tarif pajak naik, kenaikan harga bahan baku.

28 78 Tahun 2011 kenaikan produksi sangat tinggi, penerimaan yang didapatkan juga tinggi sehingga nilai R/C rasio perusahaan C = > 1 yaitu mencapai 1.77, produksi tinggi yang dilakukan oleh perusahaan C mengakibatkan perusahaan tersebut terkana pajak pertambahan nilai, pengaruh dari tarif pajak cukai dan pajak pertambahan nilai tidak terlalu signifikan dikarenakan produksi yang tinggi. Perusahaan AX tidak mengalami kerugian dari tahun , dilihat dari nilai R/C rasio = >1. Produksi yang seimbang dengan pemasaran membuat perusahaan AX tidak mengalami kerugian. Produksi yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2011 hanya berbeda 12 % lebih tinggi tahun 2011 namun keuntungan yang didapatkan lebih tinggi pada tahun 2007, hal tersebut terjadi dikarenakan tarif pajak yang semakin tinggi, serta harga bahan baku yang tinggi. Jika menginginkan keuntungan yanggi produksi yang dilakukan harus lebih tinggi dari tahun Produksi yang dilakukan tahun 2008 tinggi dibanding dengan tahun namun pemasaran yang dilakukan sebanyak empat kali dengan lokasi pemasaran di Medan, biaya pemasaran yang dilakukan tinggi sehingga keuntungan yang diterima perusahaan AX rendah. Produksi yang dilakukan tahun 2009 relatif tinggi dibanding dengan tahun 2010 namun pendistribusian yang dilakukan hanya dua kali dengan lokasi pemasaran di Medan, dengan produksi yang tinggi dan jumlah pendistribusian hanya dua kali membuat perusahaan AX mendapatkan keuntungan yang relatif tinggi. Produksi yang dilakukan tahun 2010 merupakan produksi paling rendah selama kurun waktu lima tahun, produksi yang rendah dengan tarif pajak yang tinggi, bahan baku yang tinggi namun harga jual tetap, mengakibatkan penurunan keuntungan.

29 79 Jumlah produksi perusahaan BX Tahun mengalami penurunan produksi sangat drastis hampir 90% dari tahun sebelumnya, jumlah produksi yang sedikit dengan tarif pajak yang tinggi dan harga bahan baku yang tinggi membuat perusahaan BX mengalami kerugian. Jumlah produksi yang rendah diakibatkan dari ketidak mampuan modal yang tinggi, dan kemampuan membayar pajak. Tahun 2011 perusahaan BX tidak melanjutkan usahanya dikarenakan salah satu syarat yaitu perluasan bangunan. Jumlah produksi perusahaan CX tahun 2007 lebih rendah dari tahun 2008 sehingga keuntungan yang didapatkan lebih besar tahun Tahun penurunan produksi sangat drastis hampir 90% dari tahun sebelumnya, jumlah produksi yang sedikit dengan tarif pajak yang tinggi dan harga bahan baku yang tinggi membuat perusahaan CX mengalami kerugian. Jumlah produksi yang rendah diakibatkan dari ketidak mampuan modal yang tinggi, dan ketidak mampuan membayar pajak. Tahun 2011 perusahaan CX tidak melanjutkan usahanya dikarenakan salah satu syarat yaitu perluasan bangunan. Hampir semua pengusaha mengalami kerugian pada tahun tahun tertentu hal tersebut bisa diakibatkan dari tingginya tarif pajak hasil tembakau, tidak efisiennya pendistribusian, penurunan produksi, tingginya harga bahan baku dan tingginya biaya perluasan bangunan yang harus dipenuhi sebesar 200 m 2. Bagi pengusaha-pengusaha yang mampu bertahan dari permasalah tersebut meskipun mengalami kerugian, namun pada tahun berikutnya mampu bangkit kembali untuk memproduksi dan mampu mempertahankan nilai penjualan agar tidak mengalami kerugian.

30 Prosedur dan Persyaratan Usaha 1. UU RI No.11 Tahun 1995 A. Kebijakan Tarif Pajak Cukai Kenaikan pajak terjadi pada tahun 2008 yaitu 8% dari omset satu kali pemesanan pita cukai, yang sebelumnya sebesar 4% tahun 2007, kemudian pada tahun 2009 berubah menjadi Rp 5 per gram. Dapat dilihat pada table terlihat jelas pajak cukai berpengaruh pada pendapatan. Pajak cukai yang harus di bayar semakin tinggi baik jumlah produksinya tetap maupun naik. Besarnya penurun pendapatan yang dialami oleh pengusaha yaitu 4%-10% dari penerimaan total pada tahun Untuk lebih rinci mengenai pengaruh pajak cukai dapat dilihat pada lampiran terlihat nilai persentase dari pengaruh pajak cukai terhadap biaya total sebesar 8%-14% sedangkan pengaruh pajak cukai terhadap pendapatan sebesar 4%-10%. Dengan menggunakan analisis R/C rasio pada lampiran 28, terlihat nilai R/C rasio perusahaan A tahun 2011 senilai 0.88 yang artinya perusahaan tersebut mengalami kerugian. Selain modal yang kurang, persentase pajak yang dikeluarkan sebesar 9% dari total biaya menjadi salah satu faktor perusahaan A mengalami kerugian. Nilai R/C rasio perusahaan B sebesar 0.81 pada tahun 2010 disebabkan oleh produksi yang rendah namun pajak yang harus dibayarkan tinggi, persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 9% dari total biaya, sedangkan keuntungan yang didapatkan -23% dari penerimaan total.

31 81 Pada tahun 2011 perusahaan B melakukan produksi 50 kali lipat produksi dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2010, persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 11.8% dari total biaya. Nilai R/C rasio perusahaan C sebesar 0.91 pada tahun 2010, dengan nilai R/C rasio kurang dari satu maka perusahaan C dinyatakan mengalami kerugian, kerugian yang terjadi disebabkan dari penurunan produksi. Penurunan produksi yang tinggi namun biaya pajak yang harus dikeluarkan juga tinggi berakibat pada keuntungan yang didapatkan. Persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 9.3% dari total biaya, sedangkan keuntungan yang didapatkan -9% dari penerimaan total. Pada tahun 2011 perusahaan C melakukan produksi 17 kali lipat produksi dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2010, persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 8.6% dari total biaya. Nilai R/C rasio perusahaan D sebesar 0.77 pada tahun 2009 dengan nilai R/C rasio kurang dari satu maka perusahaan D dinyatakan mengalami kerugian, kerugian yang terjadi disebabkan dari penurunan produksi yang dilakukan sebesar 25 kali lipat dari tahun sebelumnya, dapat dilihat pada lampiran 26. Penurunan produksi yang tinggi namun biaya pajak yang harus dikeluarkan juga tinggi berakibat pada keuntungan yang didapatkan. Persentase pajak cukai yang dikeluarkan sebesar 7,6% dari total biaya. Nilai R/C rasio perusahaan AX paling rendah dibanding dengan tahun sebelumnya, namun perusahaan tersebut masih dikatakan tidak rugi karena nilai R/C rasio sebesar 1.03.

32 82 Nilai R/C rasio perusahaan BX pada dua tahun terakhir yaitu tahun kurang dari satu, perusahaan tersebut dinyatakan mengalami kerugian selama dua tahun dan akhirnya pada akhir tahun 2010 perusahaan BX ditutup usahanya dikarenakan ketidak sanggupan modal untuk membayar pajak. Nilai R/C rasio perusahaan CX pada tahun 2007 senilai 2.23 namun pada tahun 2008 menjadi 1.80, penurunan nilai R/C rasio terjadi pada tahun 2008 penurunan nilai R/C rasio tersebut diakibatkan dari jumlah biaya total yang lebih tinggi pada tahun 2008, salah satunya dari kenaikan tarif pajak yang terjadi pada tahun B. Batasan Jumlah Produksi Pabrik Tahun 2007 pengusaha tidak diperbolehkan untuk memproduksi lebih dari gram, tahun 2008 pengusaha tidak diperbolehkan untuk memproduksi lebih dari gram, sedangkan pada tahun para pengusaha dibebaskan untuk memproduksi lebih banyak tanpa ada batasan produksi. Tabel 16. Pemenuhan Syarat Batasan Jumlah Produksi Pabrik Tiap Perusahaan Nama Produksi 1 Tahun/ gr Perusahaan A B C D AX BX CX Sumber : Usaha Hasil Tembakau Semua pengusaha mampu dalam memenuhi batasan jumlah produksi, namun pada tahun 2011 perusahaan BX dan CX tidak dapat memproduksi kembali hasil tembakau iris mole dikarenakan perusahaan tersebut sudah tidak melangsungkan usahanya kembali.

33 83 C. Harga dasar (Batasan harga jual eceran) Tahun 2007 minimal Rp 35/gr, tahun 2008 minimal Rp 40/gr dan pada tahun paling rendah Rp 40/gr sampai dengan Rp 149/gr. Berikut tabel pemenuhan batas minimal harga jual eceran tiap perusahaan yang telah dipenuhi, tersaji dalam Tabel 21. Tabel 17. Pemenuhan Batas Minimal Jarga Jual Eceran/Gram Tiap Perusahaan Nama HJE Kemasan HJE (Rp) Tahun Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr) , A , , , , B , , , , , , C , , , , , D , , , , , , , AX , , , , , ,

34 84 Tabel 17. Pemenuhan Batas Minimal Jarga Jual Eceran/Gram Tiap Perusahaan (Lanjutan) Nama HJE Kemasan HJE (Rp) Tahun Nerusahaan Rp Gram Kemasan (gr) ,200 3, , , BX , , , , , CX , , , Sumber : Usaha Hasil Tembakau 2. Pemberian Nomor Pokok Pajak Barang Kena Cukai, PMK No.200/PMK.04/2008 Tahun para pengusaha sanggup untuk memenuhi seluruh syarat yang disyaratkan oleh pihak Direktorat Jendral Bea dan Cukai, namun yang memberatkan bagi para pengusaha yang tidak mempunyai modal yang besar pada tahun Perusahaan BX dan CX tutup pada awal tahun 2011 sedangkan perusahaan AX tutup pada akhir tahun Kebijakan perubahan luas bangunan dari 50 m 2 menjadi 200 m 2 dikeluarkan pada tahun 2008 namun batas akhir pemenuhan syarat tersebut diberi batas waktu samapai akhir tahun 2011 sehinga para pengusaha lebih memilih memperluas bangunan pada tahun 2011 dan yang tidak memperluas bangunan dengan luas tersebut tidak dapat meneruskan usahanya. Prosedur yang yang telah dilalui oleh para pengusaha untuk mendapatkan nomor pokok pajak kena cukai dengan alur seperti berkikut :

35 85 1. Pengusaha pabrik terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada kepala kantor yang mengawasi untuk dilakukan pemeriksaan lokasi, bangunan atau tempat usaha, dilampiri dengan Fotokopi tanda daftar industri Gambar denah bangunan Fotokopi IMB Fotokopi Izin yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat berdasarkan UU mengenai gangguan. 2. Dilakukannya wawancara terhadap pemohon dalam rangka memeriksa kebenaran data lampiran dan data pemohon sebagai penanggung jawab usaha, kemudian pejabat bea dan cukai membuatkan berita acara wawancara tersebut. 3. Pejabat bea dan cukai melakukan pemeriksaan lokasi, bangunan tempat usaha. Lokasi, bangunan usaha yang dimaksud harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : Tidak berhubungan langsung dengan bangunan, halaman, atau tempattempat lain yang bukan bagian pabrik yang dimintakan izin. Tidak berhubungan langsung dengan tempat tinggal. Memiliki luas bangunan paling sedikit 50 m 2 dalam ketentuan (PP No. 5 Tahun 1997) kemudian diperbaharui menjadi 200 m 2 pada tahun 2008 dalam ketentuan (PP No. 72 Tahun 2008 jo. PMK No.200/PMK.04/2008). Untuk memenuhi ketentuan baru tersebut para pengusaha diberi tenggang waktu selama tiga tahun sejak PP No. 72

36 86 Tahun 2008 jo. PMK No.200/PMK.04/2008 paling lama sampai tanggal 10 Desember Pejabat bea dan cukai membuat berita acara pemeriksaan yang disertai gambar denah lokasi, bangunan usaha dalam jangka waktu 30 hari sejak surat permohonan diterima. Serangkaian berita acara pemeriksaan tersebut digunakan sebagai syarat untuk memperoleh NPPBKC dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal berita acara pemeriksaan. 5. Pengusaha pabrik melakukan permohonan nomor pokok pajak kena cukai sebagai pengusaha hasil tembakau secara tertulis kepada Menteri Keuangan u.p kepala kantor yang mengawasi. 6. Kepala kantor atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan Permohonan dikabulkan atas pemberian nomor pokok pajak kena cukai, dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan diterima secara lengkap. 7. NPPBKC untuk pengusaha pabrik tembakau berlaku selama masih menjalankan usaha. Pengusaha pabrik yang medapatkan NPPBKC harus memasang nama yang memuat paling sedikit nama perusahaan, alamat, dan NPPBKC dengan ukuran lebar paling kecil 60cm dan panjang paling kecil 120cm. Diperlukan modal yang cukup besar untuk memenuhi persyaratan dalam perluasan bangunan seluas 200 m 2, pengusaha harus mengeluarkan biaya hampir Rp sedangkan sebelum adanya PMK No.200/PMK.04/2008 pengusaha diperbolehkan memiliki luas bangunan sebesar 50 m 2.

37 87 Dengan keterbatasan modal yang dimiliki para pengusaha mengalami penurunan pendapatan bahkan sampai tutup usaha. Hanya empat perusahaan dari tujuh perusahaan yang mampu memenuhi syarat PMK No.200/PMK.04/2008 dalam perluasan bangunan yaitu perusahaan A, B, C dan perusahaan D. Dibutuhkan pengorbanan biaya yang dikeluarkan oleh pengusah hasil tembakau iris mole, biaya yang dikeluarkan berasal dari pendapatan usaha. Pemenuhan syarat dan prosedur mendapatkan nomor pokok pajak barang kena cukai dapat dilihat pada lampiran??????????? 3. Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai PMK No.68/PMK.03/2010 Pengusahan wajib dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, apabila sampai dengan satu bulan dalam tahun buku jumlah penerimaan bruto/omsetnya melebihi Rp , dilakukan paling lamabat akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah penerimaan bruto/omset melebihi Rp Apabila diperoleh data yang menunjukan adanya kewajiban pajak tidak dipenuhi oleh pengusaha Direktur Jendral Pajak dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai pengusaha kena pajak secara jabatan. Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dan jumlah penerimaannya kurang dari Rp Pengusaha kena pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak. Jika perusahaan tidak ingin menjadi pengusaha kena pajak maka penerimaan bruto atau omset mereka tidak boleh melebihi Rp

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan diseluruh pengusaha tembakau mole iris di Kecamatan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan diseluruh pengusaha tembakau mole iris di Kecamatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan diseluruh pengusaha tembakau mole iris di Kecamatan Tanjungsari yang masih aktif pada tahun 2007-2011, jumlah dari pengusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,

BAB I PENDAHULUAN. tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Jl. Jenderal A. Yani Jakarta 13230 Kotak Pos 108 Jakarta 10002 Telepon : 4890308 Faksimili : 4897544 www.beacukai.go.id Yth. 1.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1121, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Cukai. Tembakau. Tarif. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181/PMK.011/2009 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :02

1 of 5 21/12/ :02 1 of 5 21/12/2015 14:02 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 18/BC/2017 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 Peraturan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 dan

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1485, 2017 KEMENKEU. Cukai Hasil Tembakau. Tarif. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU Contributed by Administrator Monday, 16 November 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 181/PMK.011/2009 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 16 /BC/2008 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU DIREKTUR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang Mengingat : bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PEREDARAN HASIL TEMBAKAU CUKAI ILEGAL DI KABUPATEN SUMEDANG

BAB III PELAKSANAAN TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PEREDARAN HASIL TEMBAKAU CUKAI ILEGAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAB III PELAKSANAAN TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PEREDARAN HASIL TEMBAKAU CUKAI ILEGAL DI KABUPATEN SUMEDANG A. Para Pihak Yang Terkait Dengan Penerapan Cukai 1. Pengusaha Industri Tembakau Definisi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG NOMOR POKOK PENGUSAHA BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.04/2008 TENTANG PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.04/2008 TENTANG PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.04/2008 TENTANG PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENCATATAN BAGI PENGUSAHA PABRIK SKALA KECIL, PENYALUR SKALA KECIL YANG WAJIB MEMILIKI IZIN, DAN PENGUSAHA TEMPAT PENJUALAN ECERAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 53/BC/2011 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU Contributed by Administrator Tuesday, 09 December 2008 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 203/PMK.011/2008 TENTANG

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 52 /BC/2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perkebunan tembakau tergolong dalam tanaman perkebunan. Tetapi bukan. : Nicotiana tobacum L, dan Nicotiana rustica L

BAB II KAJIAN PUSTAKA. perkebunan tembakau tergolong dalam tanaman perkebunan. Tetapi bukan. : Nicotiana tobacum L, dan Nicotiana rustica L BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Gambaran Umum Tembakau Tanaman tembakau merupakan tanaman semusim. Dalam dunia perkebunan tembakau tergolong dalam tanaman perkebunan. Tetapi bukan merupakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang Mengingat : bahwa dengan telah ditetapkannya

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010 TENTANG TATA CARA PERDAGANGAN DAN KEMASAN PENJUALAN ECERAN BARANG

Lebih terperinci

Isi :...(5) Tarif :.(5) Belum dilekati (Bungkus) Telah dilekati (Bungkus)

Isi :...(5) Tarif :.(5) Belum dilekati (Bungkus) Telah dilekati (Bungkus) LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 110/PMK.04/2008 TENTANG KEWAJIBAN PENCATATAN BAGI PENGUSAHA PABRIK SKALA KECIL, PENYALUR SKALA KECIL YANG WAJIB MEMILIKI IZIN, DAN PENGUSAHA TEMPAT PENJUALAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 205/PMK.011/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 205/PMK.011/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 205/PMK.011/2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-15/BC/2008 TENTANG PENGEMBALIAN CUKAI ATAS PITA CUKAI YANG RUSAK ATAU TIDAK DIPAKAI

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Jl. Jenderal A. Yani Jakarta 13230 Kotak Pos 108 Jakarta 10002 Telepon : 4890308 Faksimili : 4897544 www.beacukai.go.id Yth. 1.

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 27/BC/2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 27/BC/2013 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 27/BC/2013 TENTANG PEMERIKSAAN TERHADAP PENGUSAHA PABRIK HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER- 35/BC/2014 TENTANG TATA CARA TIDAK DIPUNGUT CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 2009 CUKAI. Sanksi. Denda. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-26/BC/2009 TENTANG TATA CARA PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI DIREKTUR JENDERAL BEA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 31/BC/2007

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 31/BC/2007 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 31/BC/2007 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG Menimbang : DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P-17/BC/2007 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI HASIL

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P 14/BC/2006 TENTANG PENGEMBALIAN CUKAI ATAS PITA CUKAI YANG RUSAK ATAU

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 49 /BC/2011 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 69/PMK.04/2009 TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI UNTUK PENGUSAHA PABRIK ATAU IMPORTIR BARANG KENA CUKAI YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PELEKATAN PITA CUKAI MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER -35/BC/2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-57/BC/2011

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR - 57 /BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 237/PMK.04/2009 TENTANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (4)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-19 / BC / 1997 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-19 / BC / 1997 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-19 / BC / 1997 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI Menimbang : Bahwa dengan telah ditetapkannya Keputusan

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. Mengingat : 1. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI MENTERI KEUANGAN, MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 47/PMK.04/2007 TENTANG PEMBEBASAN CUKAI Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 42 /BC/2010 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMESANAN PITA CUKAI MINUMAN MENGANDUNG ETIL

Lebih terperinci

PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT ETIL ALKOHOL

PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT ETIL ALKOHOL LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 111/PMK.04/2008 TENTANG : PEMBERITAHUAN BARANG KENA CUKAI YANG SELESAI DIBUAT Nomor :...(1)... Lembar : pertama/kedua Tanggal :...(2)... CK-4A ETIL ALKOHOL

Lebih terperinci

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI

MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI MENTERIKEUANGAN REPUBLlK INQONESIA SALIN AN PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 /PMK.04/2017 TENT ANG TIDAK DIPUNGUT CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER! KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG PENETAPAN GOLONGAN DAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU TERHADAP PENGUSAHA PABRIK HASIL TEMBAKAU YANG MEMILIKI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN NOMOR P-17/BC/2006 TENTANG PEMBERITAHUAN HARGA JUAL ECERAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.337, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Nomor Pokok Pengusaha. Cukai. Pengusaha. Importir. Penjualan Etil Alkohol. Pencabutan. Pembekuan. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-11/BC/2007 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN, PERUBAHAN, DAN PENCABUTAN NOMOR

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 78/PMK.011/2013 TENTANG PENETAPAN GOLONGAN DAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU TERHADAP PENGUSAHA PABRIK HASIL TEMBAKAU YANG MEMILIKI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 20/PMK.07/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 84/PMK.07/2008 TENTANG PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI

Lebih terperinci

235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI

235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI 235/PMK.04/2009 PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI Contributed by Administrator Wednesday, 30 December 2009 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 43 /BC/2010 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 43 /BC/2010 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 43 /BC/2010 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB IV PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

BAB IV PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN BAB IV PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4.1 Paparan Data 4.1.1 Identifikasi Obyek Penelitian Atas identifikasi obyek penelitian pada UMKM industri songkok yang terdapat di Gresik,dengan kategori

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.Oll/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.Oll/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALNAN PERATURAN MENTER KEUANGAN NOMOR 179/PMK.Oll/2012 TENTANG TARF CUKA HASL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTER KEUANGAN, Menimbang Mengingat a. bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 226/PMK.04/2014 TENTANG PENIMBUNAN, PEMASUKAN, PENGELUARAN, DAN PENGANGKUTAN BARANG KENA CUKAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan

Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan Bisnis Kerupuk Udang, Renyah Menguntungkan Kerupuk merupakan salah satu makanan ringan yang banyak diburu para konsumen. Rasanya yang gurih dan teksturnya yang sangat renyah, menjadikan kerupuk sebagai

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70 / PMK.04 / 2009 TENTANG PEMBAYARAN CUKAI SECARA BERKALA UNTUK PENGUSAHA PABRIK YANG MELAKSANAKAN PELUNASAN DENGAN CARA PEMBAYARAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 51 TAHUN 2007 TENTANG INDIKASI-GEOGRAFIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 56 ayat (9) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undan

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undan No.896, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Barang Kena Cukai. Pemberitahuan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 94/PMK.04/2016 TENTANG PEMBERITAHUAN BARANG KENA

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL 6.1 Sarana Usahatani Kembang Kol Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani. Saran produksi pada usahatani kembang kol terdiri dari bibit,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-22/BC/2001 TANGGAL 20 APRIL 2001 TENTANG KEMASAN PENJUALAN ECERAN HASIL TEMBAKAU

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-22/BC/2001 TANGGAL 20 APRIL 2001 TENTANG KEMASAN PENJUALAN ECERAN HASIL TEMBAKAU KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR KEP-22/BC/2001 TANGGAL 20 APRIL 2001 TENTANG KEMASAN PENJUALAN ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI, Menimbang : bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA

FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA FASILITAS PENUNDAAN PEMBAYARAN CUKAI HASIL TEMBAKAU DI KANTOR PELAYANAN BEA DAN CUKAI PANARUKAN LAPORAN PRAKTEK KERJA NYATA Diajuakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md.)

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 21 /BC/2013

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 21 /BC/2013 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 21 /BC/2013 TENTANG PEMERIKSAAN TERHADAP PENGUSAHA PABRIK HASIL TEMBAKAU

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN SALINAN 113/PMK.04/2008, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang

I. PENDAHULUAN. besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 62/M-DAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi. konsumsi, aqiqah, dan qurban. Perusahaan terletak di Kampung Dawuan Oncom,

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi. konsumsi, aqiqah, dan qurban. Perusahaan terletak di Kampung Dawuan Oncom, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Perusahaan PT. Agro Jaya Mulya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang penggemukan domba. Penggemukan domba dilakukan guna memenuhi permintaan pasar daging

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK ROKOK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA BARAT, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara.

No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. No. 1071, 2014 BPOM. Pangan. Olahan yang Baik. Cara Produksi. Sertifikasi. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA SERTIFIKASI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.556, 2009 KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Label. Pencantuman. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 62/M-DAG/PER/12/2009 TENTANG KEWAJIBAN PENCANTUMAN LABEL

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 20092008 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-92 / BC / 1997 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-92 / BC / 1997 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP-92 / BC / 1997 TENTANG PENCAMPURAN ETIL ALKOHOL YANG AKAN DIPERGUNAKAN SEBAGAI BAHAN BAKU ATAU BAHAN PENOLONG DALAM PEMBUATAN BARANG HASIL AKHIR YANG

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 16 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 16 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 16 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN, PENGGUNAAN, DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010 WALIKOTA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 60, 2009 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4997)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 20092008 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA DI BIDANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TATA CARA PENYEDIAAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU

TATA CARA PENYEDIAAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU LAMPIRAN I PERATURAN NOMOR : P-17/BC/2007 TANGGAL : 06 JUNI 2007 TATA CARA PENYEDIAAN PITA CUKAI HASIL TEMBAKAU A. PITA CUKAI DISEDIAKAN DI KANTOR PUSAT 1. Pengusaha melakukan kegiatan sebagai berikut:

Lebih terperinci

NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN,

NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN, SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 115/PMK.04/2008 TENTANG PENCACAHAN DAN POTONGAN ATAS ETIL ALKOHOL DAN MINUMAN YANG MENGANDUNG ETIL ALKOHOL MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER - 57/BC/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/PMK.04/2013 TENTANG TOKO BEBAS BEA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1542, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Pencantuman Label. Barang. Bahasa Indonesia. Kewajiban. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67/M-DAG/PER/11/2013

Lebih terperinci

DAMPAK RELOKASI TERHADAP PENDAPATAN USAHA KECIL KERIPIK BELUT

DAMPAK RELOKASI TERHADAP PENDAPATAN USAHA KECIL KERIPIK BELUT DAMPAK RELOKASI TERHADAP PENDAPATAN USAHA KECIL KERIPIK BELUT Kasus Pada Usaha Kecil Keripik Belut di Desa Sidoagung, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, D.I Yogyakarta TAHUN 2015 SKRIPSI Untuk Memenuhi

Lebih terperinci