BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Elemen Dasar Proses Pemesinan Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometrik suatu produk komponen mesin harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang digunakan untuk membuatnya. Bagi suatu tingkatan proses, ukuran objektif ditentukan dan pahat harus membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran objektif itu dicapai. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menentukan penampang geram (sebelum terpotong). Selain itu, setelah berbagai aspek teknologi ditinjau, kecepatan pembuangan geram dapat dipilih supaya waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Pekerjaan ini akan ditemui dalam setiap perencanaan proses pemesinan. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan yaitu : 1. Laju pemotongan (cutting speed) : v (m/min) 2. Laju pemakanan (feeding speed) : v f (mm/min) 3. Kedalaman potong (depth of cut) : a (mm) 4. Waktu pemotongan (cutting time) : t c (min) 5. Kadar pembuangan material (rate of metal removal) : Z (dm 3 /min) Elemen proses pemesinan tersebut (v, v f, a, t c, Z) dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin perkakas. Oleh sebab itu rumus yang dipakai dalam setiap proses pemesinan bisa berlainan. Karena 5

2 dalam penelitian ini penulis menggunakan mesin bubut (turning) maka yang akan dibahas dalam bab ini hanya mengenai elemen dasar proses pemesinan dari mesin bubut (turning). Elemen dasar dari proses bubut (turning) dapat diketahui atau dihitung dengan menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan Gambar 2.8. Kondisi pemotongan ditentukan sebagi berikut : Benda Kerja : d 0 = diameter luar ; mm d m = diameter dalam ; mm l t = panjang pemesinan ; mm Pahat : κ r = sudut potong utama ; 0 γ 0 = sudut geram ; 0 Mesin Bubut : a = kedalaman potong; mm = (d 0 - d m )/2 ; mm,..(2.1) f n = gerak makan ; mm/(r) = putaran poros utama (benda kerja ; (r)/min 6

3 Gambar 2.1 Proses Bubut (Sumber : Rochim, 1993) Dari Gambar 2.1 diatas, terlihat bahwa proses bubut tersebut menggunakan suatu proses pemotongan miring (oblique cutting) yaitu suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara pahat dan benda kerja membentuk sudut potong utama (κ r ) selain 90º. Kecepatan makan (v f ) dihasilkan oleh pergerakan dari pahat ke benda kerja. Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut : 1. Laju pemotongan : π.d. n v = 1000 ; m/min,.(2.2) dimana : v = Kecepatan potong ; m/min d = Diameter rata-rata, yaitu : d = (d 0 + d m ) /2 = d 0 ; mm,..(2.3) n = Putaran poros utama ; rpm Kecepatan potong maksimal yang diijinkan tergantung pada : a. Bahan benda kerja : makin tinggi kekuatan bahan, makin rendah kecepatan potong. 7

4 b. Bahan pahat : Pahat Karbida memungkinkan kecepatan yang lebih tinggi daripada pahat HSS. c. Besaran asutan : Makin besar asutan, makin kecil kecepatan potong. d. Dalamnya pemotongan : makin besar dalamnya pemotongan, makin kecil kecepatan potong. 2. Laju pemakanan : v f = f. n ; mm/min...(2.4) dimana : v f = kecepatan makan ; mm/min 3. Waktu pemotongan : f = gerak makan ; mm/(r) n = putaran poros utama (benda kerja) ; rpm t c = l t / v f ; min...(2.5) dimana : t c = waktu pemotongan l t = panjang pemesinan v f = kecepatan makan ; min ; mm ; mm/min 4. Kecepatan penghasilan geram : Z = A. v... (2.6) Dimana, penampang geram sebelum terpotong A = f. a ;mm 2, Maka : Z = f. a. v ; dm 3 / min......(2.7) Dimana : 8

5 Z = kecepatan penghasilan geram ; dm 3 / min f = gerak makan ; mm/(r) a = kedalaman potong ; mm v = kecepatan potong ; m/min Pada Gambar 2.9 diperlihatkan sudut potong utama (κ r, principal cutting edge angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor dengan kecepatan makan v f. Besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pahat pada mesin perkakas (orientasi pemasangannya). Untuk harga a dan f yang tetap maka sudut ini menentukan besarnya lebar pemotongan. (b, widh of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h, underformed chip thicknes) sebagai berikut: a. Lebar pemotongan : b = a / sin κ r ; mm,.. (2.8) b. Tebal geram sebelum terpotong : h = f sin K r ; mm,... (2.9) Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai berikut : A = f. a = b. h ;mm 2 (2.10) Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama dengan tebal geram (hc, chip thicknes) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut geram, kecepatan potong dan material benda kerja. 2.2 Proses Pembuangan Bahan (Metal Removal Process) Ada banyak ragam operasi pembuangan bahan/material yang menggunakan geometri pahat yang berbeda dan hubungan kinematik antara kerja 9

6 dan pahat. Beberapa operasi pembuangan material yang utama adalah sebagai berikut : 1. Proses turning menghasilkan permukaan silinder 2. Proses milling menghasilkan permukaan yang datar dan permukaan dengan geometri yang kompleks 3. Proses boring, drilling, reaming menghasilkan bentuk lubang Bahan yang terbuang dapat diasumsikan sebagai geram. Geram yang terbentuk pada proses pemesinan, awalnya diperkirakan terbentuk karena adanya retak mikro (micro track) yang timbul pada benda kerja tepat diujung pahat pada saat pemotongan dimulai. Dengan bertambahnya tekanan pahat, retak tersebut menjalar kedepan sehingga terjadilah geram, lihat gambar 2.2. Gambar 2.2 Teori tradisional (awal) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993) Berkat hasil berbagai penelitian, anggapan mengenai pembentukan geram ini sekarang sudah ditinggalkan. Logam yang pada umumnya bersifat ulet (duktile) apabila mendapat tekanan akan timbul tegangan (stress) didaerah disekitar konsentrasi gaya penekanan mata potong pahat. Tegangan pada logam 10

7 (benda kerja) tersebut mempunyai orientasi yang kompleks dan pada salah satu arah akan terjadi tegangan geser (shearing stress) yang maksimum. Apabila tegangan geser ini melebihi kekuatan logam yang akan terjadi deformasi plastik (perubahan bentuk) yang menggeser dan memutuskan benda kerja diujung pahat pada suatu bidang geser (shear plane). Bidang geser mempunyai lokasi tertentu yang membuat sudut terhadap vektor kecepatan potong dan dinamakan sudut geser (shear angle, Φ), lihat Gambar 2.3. Gambar 2.3 Teori modern (yang dianut) yang menerangkan terjadinya geram (Sumber : Rochim, 1993) Komponen Gaya Pembentukan Geram Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (Orthogonal System). Sistem gaya yang bekerja pada proses pemotongan logam dipandang hanya pada satu bidang (bukan ruang) maka gaya total yang bekerja dapat diuraikan menjadi dua komponen gaya yang saling tegak lurus. Tergantung pada cara penguraian dalam hal ini dapat dikemukakan tiga cara yaitu, 1. Gaya total (F), ditinjau dari proses deformasi material, dapat diuraikan menjadi dua komponen yaitu, 11

8 a. Gaya geser (F s ) yang mendeformasikan material pada bidang geser sehingga melampaui batas elastik. b. Gaya normal pada bidang geser (F sn ) yang menyebabkan pahat tetap menempel pada benda kerja. 2. Gaya total (F) dapat diketahui arah dan besarnya dengan cara membuat dinamometer (alat ukur gaya dimana pahat dipasang padanya dan alat tersebut dipasang pada mesin perkakas) yang mengukur dua komponen gaya yaitu, a. Gaya potong (F v ), searah dengan laju potong. b. Gaya makan (F f ), searah dengan laju makan. 3. Gaya total (F) yang bereaksi pada bidang geram (Aγ, face, bidang pada pahat dimana geram mengalir) diuraikan menjadi dua komponen untuk menentukan koefisien gesek geram terhadap pahat yaitu, a. Gaya gesek (F γ ) pada bidang geram. b. Gaya normal (F γn ) pada bidang geram. Oleh karena berasal dari satu gaya yang sama, gaya-gaya tersebut dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), atau biasa disebut sebagai lingkaran Merchant s seperti diperlihatkan pada Gambar 2.4. Lingkaran yang diciptakan oleh M. Eugene Merchant tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud. 12

9 Gambar 2.4. Lingkaran Merchant s (Sumber : Rochim, 1993) Gambar 2.4. merupakan gambaran sistem gaya pada pemotongan orthogonal dan dalam prakteknya dapat dilakukan dengan pendekatan menggunakan pahat dengan sudut κ r = 90 o dan Sudut λs = 0 o (sudut miring, inclination angle) dengan kecepatan potong yang jauh lebih tinggi daripada kecepatan makan. Berdasarkan analisis geometrik dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong F v. Dari, F v = F cos ( η γ 0 ), dan F s = F cos (Φ + η - γ 0 ).(2.11) Maka, F v = F s cos( η γ ) cos( Φ + η γ ) (2.12) 13

10 Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu : Fs = A shi. τ shi ; N.....(2.13) Dimana : A shi = Penampang bidang geser, = A / sin Φ ;mm2 A = penampang geram sebelum terpotong = b. h ; mm 2 τ shi = tegangan geser pada bidang geser, ; N/mm 2 Dengan demikian rumus gaya potong adalah : cos( η γ 0 ) F v = τ shi.b.h sin Φ cos( Φ + η γ ) 0 ; N. (2.14) Dari persamaan (2.14) dapat disimpulkan beberapa variabel yang mempengaruhi gaya pemotongan sebagai berikut : 1. Tegangan geser menentukan besarnya gaya potong maka kekuatan benda kerja merupakan faktor penentu dalam proses pemesinan. Dalam praktek telah diketahui bahwa untuk kondisi pemotongan yang sama maka gaya potong bagi benda kerja Aluminium lebih rendah daripada gaya potong bagi benda kerja baja. 2. Semakin besar penampang geram, gaya potong akan semakin besar. 3. Sudut geram, sudut geser dan sudut gesek (ditentukan oleh koefisien gesek µ) menentukan besarnya gaya potong. 14

11 Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (F γ dan Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (F v dan F f ), yaitu : F γ = F f cos γ 0 + F v sin γ 0, dan F γn = F v cos γ 0 F f sin γ 0...(2.15) dimana ; F f = gaya makan ; N (0.5 s.d 0.75 F v tergantung pada kondisi pemotongan) γ 0 = sudut geram Sehingga dari hasil tersebut, dapat diperoleh harga koefisien gesek : µ F γ f v 0 = tanη = = (2.16) Fγ n F F F v + F tanγ f tanγ 0 dimana : η = sudut gesek Berdasarkan persamaan (2.6) tersebut diatas, dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser Ф Sudut Geser dan Rasio Pemampatan Tebal Geram Dari persamaan (2.4), dikarenakan gaya potong (F v ) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan cara deferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, F v Φ = 0. (2.17) cos Ф cos (Ф + η γ 0 ) - sin Ф sin (Ф + η γ 0 ) =0 cos (2Ф + η - γ 0 ) = 0 15

12 yang berarti: 2 Ф + η - γ 0 = 90 º (2.18) maka ; Ф = 45º + γ 0 η. (2.19) 2 2 Berdasarkan logika, dari persamaan (2.19) diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Sudut geser Ф ditentukan oleh sudut geram γ 0. Semakin besar sudut geram maka sudut geser akan membesar dan menyebabkan penurunan bidang luas bidang geser (lihat Gambar 2.3) sehingga menurunkan gaya potong. 2. Koefisien gesek tidak mungkin sama dengan nol. Dengan demikian, berdasarkan analisis geometrik gaya (lingkaran Merchant) maka sudut geser tidak mungkin melebihi suatu harga yaitu, Ф < 45º + γ 0 2 Tebal geram sebelum terpotong h hanya mungkin sama besar dengan tebal geram h c bila, Ф = 45º + γ 0 2 Oleh sebab itu, berdasarkan hal diatas dan kenyataan dalam praktek maka, h c > h sehingga seolah-olah geram dimampatkan, yang biasa disebut dengan Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Atau dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : 16

13 λ h = h h c > 1..(2.20) maka, λ h = h h c = cos( Φ γ 0 ) sin Φ.....(2.21) Dari rumus diatas, dapat dicari harga sudut geser Ф berdasarkan pengukuran λ h, yaitu ; tan Ф = cosγ 0 λ sin γ h (2.22) Secara grafis Gambar 2.5 di bawah menunjukkan hubungan antara sudut geser Ф sebagai fungsi rasio pemampatan tebal geram λ h untuk sudut geram γ 0 = 20º, 0º, dan -20º. Dari gambar berikut terlihat bahwa untuk λ h yang besar perbedaan γ 0 tidak mempunyai arti terhadap sudut geser Ф. Gambar 2.5 Sudut geser Ф sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram λ h (Sumber : Rochim, 1993) Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab, 17

14 a. Permukaan geram relatif kasar, dan b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.6 menunjukkan kecepatan aliran geram (v c ) dan kecepatan potong (v). Gambar 2.6 Arah kecepatan geser (v s ), kecepatan aliran geram (v c ) dan kecepatan potong (v) (Sumber : Rochim, 1993) Dari Gambar 2.6 diatas, arah kecepatan geser (v s ) ditentukan oleh kecepatan aliran geram (v c ) dan kecepatan potong (v). Berdasarkan aturan/kaidah tangan kanan, dari Gambar 2.5 arah pergerakan mata pahat (v f ) searah pada sumbu x, dan kecepatan potong (v) yang terbentuk terletak pada sumbu z. Kecepatan geser (v s ) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (v) untuk sudut geram γ 0 negatif (Rochim, 1993). Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut : v c = vsin Φ vsin Φ = cos( γ Φ) cos( Φ 0 γ 0 )..(2.23) 18

15 dimana : v c = kecepatan aliran geram v = kecepatan potong λ h = cos( Φ γ ) 0 ; (persamaan 2.21) sin Φ maka, v c = v λ h...(2.24) Karena λ h > 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ; v s = cosγ 0 sin Φ v c, (2.25) v s = v cosγ 0 cos( Φ γ ) 0.(2.26) 19

16 2.3 Pemotongan Orthogonal Gambar 2.7 Proses pemotongan orthogonal (Sumber : Rochim, 1993) Analisis mekanisme pembentukan geram tersebut dikemukakan oleh Merchant berdasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (orthogonal system). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring (oblique system) dimana gaya diuraikan menjadi komponen gaya yang bekerja pada suatu bidang. Pemotongan tegak (Orthogonal cutting) merupakan suatu sistem pemotongan dengan gerakan relatif antara mata pahat dan benda kerja membentuk sudut potong tepat 90º atau yang dinamakan dengan sudut potong utama (κ r ), dan besarnya lebar mata pahat lebih besar dari lebar benda kerja yang akan dipotong. Menurut Rochim (1993), sudut potong utama (κ r ) mempunyai peran antara lain : 1. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong (b dan h) 2. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang kontak antara geram dengan bidang pahat, dan 3. Menentukan besarnya gaya. Untuk kedalaman potong a dan gerak makan f yang tetap, maka dengan 20

17 memperkecil sudut potong utama (κ r ) akan menurunkan tebal geram sebelum terpotong h dan menaikkan lebar geram b. Akan tetapi, pemakaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial Fx. Gaya radial yang besar mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (chatter) sehingga menurunkan ketelitian geometrik produk dan hasil pemotongan terlalu kasar. Tergantung pada kekakuan (stiffness) benda kerja dan pahat serta metode pencekaman benda kerja serta geometri benda kerja. Sudut geram mempengaruhi proses pembentukan geram pada proses pemotongan orthogonal. Untuk suatu kecepatan potong tertentu, sudut geram yang besar akan menurunkan rasio pemampatan tebal geram (λ h ) yang mengakibatkan kenaikan sudut geser (Ф). Jenis material benda kerja juga akan mempengaruhi pemilihan sudut geram. Pada prinsipnya, untuk material yang lunak dan ulet (soft & ductile) memerlukan sudut geram yang besar untuk mempermudah proses pembentukan geram, sebaliknya bagi material yang keras dan rapuh (hard & brittle) memerlukan sudut geram yang kecil atau negatif untuk memperkuat pahat. 2.4 Analisis Teoritik Umur Pahat Kerja/energi mekanik dalam proses pemotongan yang bebas getaran seluruhnya diubah menjadi panas/kalor. Energi mekanik per satuan waktu atau daya mekanik yang diubah menjadi energi panas persatuan waktu tersebut dapat dituliskan sebagai berikut : Q = Q + Q Q W.. (2.27) + t sh γ α ; 21

18 dimana, Q t = Panas total yang dihasilkan perdetik Q Fv. v = J s atau W... (2.28) 60 sh ; Q sh = panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geser, Q γ = F. v 60 s s ; J s atau W... (2.29) Q γ = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang geram, Fγ. v Q c α = ; J s atau W.....(2.30) 60 Q α = Panas yang dihasilkan perdetik pada bidang utama Berdasarkan hasil penelitian pada berbagai kondisi pemotongan, prosentase panas yang dihasilkan pada bidang geser, bidang geram dan bidang utama masing-masing berkisar diantara harga 80%, 18% dan 2%. Panas tersebut sebagian akan terbawa geram, sebagian mengalir menuju ke pahat dan benda kerja dengan prosentase sebagai berikut : Q = Q + Q + Q W (2.31) t c s w ; dimana, Q c = panas yang terbawa oleh geram dengan prosentase sekitar 75%, Q s = panas yang merambat melalui pahat dengan prosentase sekitar 20% Q w = panas yang merambat melalui benda kerja dengan prosentase sekitar 5% Semakin tinggi kecepatan potong semakin besar prosentase panas yang terbawa oleh geram. Panas total yang ditimbulkan permenit dapat dihitung dari rumus berikut : 22

19 Q t = k. A. v ; J / min,.(2.32) s dimana, k s. A = F v = gaya potong ; N k s = gaya potong spesifik ; N/mm 2 A = penampang geram ; mm 2 v = laju pemotongan ; m/min Panas yang terbawa oleh geram adalah : dimana, Q =. W. c ; J / min..(2.33) c θ c θ c = kenaikan temperatur geram; o K. w W = berat geram yang terbentuk permenit; g/min = Z. ρ w = A. v. ρ w Z = kecepatan pembentukan geram; dm 3 /min ρ w = berat spesifik material (benda kerja); g/dm 3 c w = panas spesifik benda kerja ; J/(g.K) Apabila η q menyatakan rasio panas yang dibuang oleh geram terhadap panas total yang dihasilkan proses pemotongan, maka : Qc θc. A. v. ρ w. cw ηq = =..(2.34) Q k. A. v η t θ. ρ.c θ. c s c w w c vw q = =.(2.35) ks ks dimana, c vw = panas spesifik volumetric benda kerja; J/(cm 3 K). Dengan demikian temperatur geram relatif terhadap temperatur bneda kerja paling tinggi hanya akan mencapai : 23

20 k θ c = c s vw ; o C...(2.36) yaitu bila harga η q mencapai satu (umumnya berharga 70% s.d. 75%). Persamaan di atas menyatakan bahwa benda kerja mempunyai gaya potong spesifik yang rendah serta panas spesifik volumetrik yang tinggi akan mneghasilkan temperatur geram yang relatif rendah. Meskipun prosentase panas yang terbawa geram sangat tinggi tidaklah berarti bahwa temperatur geram mnejadi lebih tinggi daripada temperatur pahat. Panas mengalir bersama-sama geram yang selalu terbentuk dengan kecepatan tertentu, sedangkan panas yang merambat melalui pahat terjadi sebagai proses konduksi panas yang dipengaruhi oleh konduktivitas panas material pahat serta penampang pahat yang relatif kecil. Dengan demikian temperatur rata-rata pahat akan lebih tinggi (kurang lebih dua kalinya) daripada temperatur rata-rata geram. Gambar di bawah akan menunjukkan temperatur pahat (pada bidang geram yang bergesekan dengan geram), temperatur rata-rata geram, serta temperatur benda kerja, sebagai fungsi dari laju pemotongan dalam proses mengefreis. Gambar 2.8 Garis-garis isoterm pada geram dan pahat sewaktu proses pemotongan berlangsung. 24

21 Hampir seluruh energi pemotongan diubah menjadi panas melalui proses gesekan, antara geram dengan pahat dan antara pahat dengan benda kerja, serta proses perusakan molukuler atau ikatan atom pada bidang geser (shear plane). Panas ini sebagian besar terbawa oleh geram, sebagian merambat melalui pahat dan sisanya mengalir melalui benda kerja menuju ke sekeliling. Panas yang timbul tersebut cukup besar dan karena luas bidang kontak relatif kecil maka temperatur pahat, terutama bidang geram dan bidang utamanya, akan sangat tinggi. Karena tekanan yang besar akibat gaya pemotongan dan temperatur yang tinggi maka permukaan aktif dari pahat akan mengalami keausan. Keausan tersebut makin lama makin membesar yang selain memperlemah pahat juga akan memperbesar gaya pemotongan sehingga dapat menimbulkan kerusakan fatal. Analisis dimensional banyak digunakan secara intensif dalam memecahkan masalah perpindahan panas dan aliran fluida dengan hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, analisis tersebut dapat pula dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah temperatur pemotongan ini. Pada garis besarnya dalam analisis dimensional diusahakan untuk mencari besaran tak berdimnesi (dimensionless quantity) yang didapat dengan cara menggabungkan beberapa besaran fisik yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang paling dekat (paling logis) dengan masalah yang dihadapi. Kemudian dilakukan percabaan untuk melihat korelasi antara dua atau beberapa besaran tak berdimensi. Apabila mereka ternyata tidak mempunyai korelasi (hubungan fungsional) yang jelas berarti ada kesalahan fundamental dalam pemilihan besaran fisik. Jika demikian halnya perlu dilakukan modifikasi besaran fisik untuk memperoleh besaran tak berdimensi lain yang mungkin lebih terkolerasi dengan jelas. 25

22 Analisis dimensional dapat digunakan untuk mencari korelasi yang dimaksud dengan cara menentukan besaran-besaran fisik yang dianggap penting. Adapun besaran fisik yang dimaksud adalah seperti yang diberikan pada tabel berikut. Tabel 2.1 Besaran fisik Besaran Fisik Simbol Dimensi Dasar Waktu Pemotongan Temperatur Pahat Penampang Geram Kecepatan Potong Gaya Potong Spesifik Besaran Panas Terpadu t c θ s A V k s H = λ w. c vw T θ L 2 LT -1 ML -1 T -2 M 2 T -5 θ -2 (Sumber : Rochim, 1993) λ w = konduktivitas panas benda kerja ; J/(s. 0 K.cm) c vw = panas spesifik volumetric benda kerja ; J/(cm 3. 0 K) = ρ w. c w ρ w = berat spesifik benda kerja ; g/cm 3 c w = panas spesifik benda kerja ; J/(g. 0 K). Menurut Teorema Phi dari Buckingham, karena ada enam besaran fisik yang penting (n 1 = 6) dengan empat dimensi dasar (n 2 = 4) maka paling sedikit dapat dibentuk dua besaran tak berdimensi (n x = n 1. n 2 = 2) guna mengolerasikan enam besaran fisik di atas. Pemilihan jenis dan jumlah besaran fisik sebagai anggota dari setiap besaran tak berdimensi ditentukan oleh dimensi dasar besaran 26

23 fisik yang bersangkutan. Dalam hal ini, karena ada 4 dimensi dasar, maka dapat dipilih 4 besaran fisik yang mempunyai dimensi dasar yang cukup lengkap sebagai anggota dari kedua besaran tak berdimensi tersebut. Kemudian salah satu dari kedua besaran fisik sisanya dipilih untuk menjadi anggota dari salah satu besaran tak berdimesi. Dua besaran tak berdimensi dapat dibentuk sebagai berikut: a b c d e f g h 1 c v k s H s, dan 2 = tc v k s H A π = t θ π. Dengan memasukan dimensi dasarnya bagi masing-masing besaran fisik, maka pangkat tersebut dapat ditentukan harganya, sehingga : H π 1 = t 1 2 c θ s,...(2.37) v k 1 2 s A π 2 =....(2.38) v 2 2 t c Dari hasil percobaan dapat ditunjukan bahwa korelasi antara kedua besaran tak berdimensi di atas adalah : Penyelesaian persamaan (2.17) akan menghasilkan : m π 1 = Cπ (2.39) m (1 2 m) ( 1 2 2m) CA k sv tc θ s =....(2.40) 1 2 H Dari salah satu hasil percobaan (Frederich test) harga m adalah sebesar 0.22, sehingga kondisi pemotongan yang tetap (A, k s, dan H tetap), persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai berikut : 27

24 θ s = C v t c.....(2.41) Kecepatan potong mempengaruhi tingginya temperatur, oleh sebab itu temperatur setaraf dengan besarnya dimensi keausan yang dianggap sebagai batas/tanda saat berakhirnya umur pahat, dan waktu pemotongan yang bersangkutan setaraf dengan umur pahat. Dengan demikian persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai berikut : W o C A k v m (1 2 m) ( 1 2 2m) 2 s =...(2.42) H 1 2 T Dimana : W o = batas dimensi keausan (VB atau K) T = umur pahat ; menit. Untuk harga yang tetap bagi batas dimensi keausan dan penampang geram, serta kombinasi pahat dan benda kerja yang tertentu, maka persamaan (2.42) dapat dituliskan sebagai berikut : 1 4m 2 4m v T = C T (2.43) atau n vt = CT..(2.44) Persamaan (2.44) dikenal dengan nama Persamaan Umur Pahat Taylor *1. Harga eksponen n dalam rumus Taylor ditentukan oleh harga eksponen m dari kolerasi dua besaran tak berdimensi π 1 dan π 2. berbagai kemungkinan harga eksponen tersebut ditunjukan pada tabel lampiran 1 dengan harga yang sesuai bagi suatu jenis pahat berdasarkan hasil yang diperoleh dalam praktek untuk pemotongan baja yang dilunakan. * F.W. Taylor sendiri, pada tahun 1907, mengemukakan persamaan umur pahat tersebut berdasarkan percobaan laboratorium (rumus empirik) yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Dengan analisis dimensional yang sederhana hal ini dapat dibuktikan dengan mudah. 28

25 Tabel 2.2 Harga m dan n untuk berbagai jenis pahat m n Jenis...Keramik. HSS Pahat Steel..Karbida. Carbon Tool < Arah perkembangan penemuan material pahat jenis baru (Sumber : Rochim, 1993) Semakin kecil harga eksponen n, maka umur pahat yang bersangkutan sangat dipengaruhi oleh kecepatan potong. Sebagai contoh, kenaikan kecepatan potong sebesar 10% akan membawa akibat perubahan umur pahat sebesar : T2 v HSS : = = 1.1 = T v 1 T2 v Karbida : = = 1.1 = T v ; penurunan 47% ; penurunan 27% Perbedaan yang begitu besar antara kedua jenis pahat tersebut membawa akibat akan perlunya perubahan akan konstruksi mesin perkakas sejak diketemukannya material pahat dari karbida. 2.5 Rumus Empirik Umur Pahat Untuk menentukan harga eksponen n dan konstanta C T dari rumus Taylor (rumus 2.44) diperlukan suatu percobaan permesinan. Dari hasil percobaan tersebut didapat persamaan fungsi linier yaitu : 29

26 log v + n logt = log.(2.45) C T Dapat diperkirakan dengan menggunakan analisa garis regresi (metoda kuadrat terkecil, least squares method) untuk menentukan harga terbaik dari eksponen n dan konstanta C T masing-masing beserta harga deviasi standartnya. Analisis pendekatan secara grafis dapat pula ditempuh dengan cara mengeplot data pengamatan pada skala dobel logaritma. Sebagaimana yang telah dibahas dalam analisis teoritik umur pahat, harga eksponen n merupakan harga spesifik bagi suatu kombinasi pahat dengan benda kerja. Demikian pula halnya dengan konstanta C T, dimana selain geometri pahat (α, γ, λ, r dan terutama κ) dan kondisi benda kerja (nontreated, annealed, normalized) maka kondisi pemotongan (a dan f) dan batasan keausan maksimum yang diperbolehkan, sangat mempengaruhi harga C T. Dari hasil penelitian dengan dengan menggunakan berbagai macam kombinasi pahat dan benda kerja serta dilakukan pada berbagai kondisi pemotongan, secara lebih umum konstanta Taylor dapat dituliskan seperti rumus empiric berikut : m CTVB VB C T = (2.46) p q h b Dimana : VB: Keausan tepi yang dianggap sebagai batas saat berakhirnya umur pahat; mm Tergantung pada keuletan (toughness) pahat, dan benda kerja serta berat ringannya kondisi pemotongan, harga batas keausan tersebut dapat dipilih dari 0.3 s/d 1 mm, demi untuk menghindari kerusakan fatal. 30

27 m: Pangkat untuk batas keausan. Tergantung pada kualitas pahat serta jenis dan kondisi benda kerja. (m = 0.4 s/d 0.5 ; rata-rata = 0.45). h: Tebal geram sebelum terpotong. Ditentukan berdasarkan kondisi pemotongan optimum, yaitu sebesar mungkin bila merupakan proses pengasaran, atau sesuai dengan batas minimum bila merupakan proses penghalusan. p: Pangkat untuk tebal geram sebelum terpotong. Tergantung pada jenis dan kualitas pahat (sesuai dengan pemakaian serta jenis dan kondisi benda kerja). Harga rata-rata pangkat kurang lebih sebagai berikut : Keramik Karbida HSS P01 s/d P30 s/d M10 s/d M 30 p20 P40 K b: lebar pemotongan :mm. ditentukan berdasarkan dimensi mula dan akhir benda kerja. Menentukan jumlah langkah pemotongan untuk mencapai obyektif yaitu dimensi produk. q: Pangkat bagi lebar pemotongan. Harga relatif kecil, berkisar antara 0.05 s/d Kadangkala pengaruh lebar pemotongan diabaikan. 31

28 C TVB : kecepatan potong ekstrapolatif (m/min), yang secara teoritik menghasilkan umur pahat sebesar 1 menit, untuk VB = 1 mm, h = 1 mm dan b = 1mm. Merupakan harga spesifik bagi kombinasi suatu jenis pahat dan benda kerja. Dipengaruhi oleh geometri pahat terutama sudut potong utama efektif κ re. kekakuan sistem pemotongan, gaya pemotongan dan kondisi benda (nontreated, annealed, normalized, dan sebagainya) sangat berpengaruh. Pemakaian cairan pendingin yang cocok dapat menaikan harga C TVB. 2.6 Pembahasan Atas Rumus Empirik Umur Pahat Rumus empirik Taylor jikalau ditranformasikan ke dalam harga logaritma akan mempunyai bentuk linier sebagai berikut : 1 1 m p q logt = log CTVB log v + logvb log h log b...(2.47) n n n n n Turunan dari persamaan di atas akan menghasilkan : dt T 1 dv = + 2 n v dvb VB p n dh h q db n b Harga rata-rata eksponen n, m, p dan menurut tabel adalah : n = 0.25, m = 0.45, p = 0.25, q = 0.1. Jikalau dimasukan dalam persamaan 2.42 akan dihasilkan : dt T..(2.48) dv dvb dh db = (2.49) v VB h b Untuk mendapatkan data umur pahat diperlukan waktu dan biaya yang sangat mahal. Sebab, untuk suatu kombinasi antara satu jenis pahat dengan satu jenis 32

29 benda kerja saja sudah diperlukan pembuangan material (menjadi geram) yang amat banyak. Guna memperkecil usaha pengamatan, diperlukan perencanaan percobaan yang baik, misalnya dengan cara factorial (factorial design of experiment). Karena ada 3 variabel yang dapat diubah harganya (v, f dan a) dan satu variable yang diamati (T) maka paling sedikit diperlukan 8 kali percobaan apabila untuk masing-masing variabel hanya diubah pada 2 harga (8 = 2 3 ). Data hasil percobaan dapat dianalisis dengan menggunakan salah satu teknik analisis statistic yaitu analisis regresi linier multi dimensi (1 variabel diamati, dan 3 variabel ditetapkan). Untuk itu diperlukan transformasi logaritmik supaya fungsi yang diselidiki dapat dianggap menjadi linier. Tujuan dari analisis regresi ini adalah untuk memperkirakan harga β 0, β 1, β 2 dan β 3 dari rumus korelasi berikut : logt = β 0 + β1 log v + β 2 log f + β 3 log a..(2.50) Dengan mengetahui harga β 0, β 1, β 2 dan β 3 maka eksponen n, p dan q serta kontanta C dapat diketahui, yaitu : n = 1/β 1, p = β 2 /β 1, q = β 3 /β 1, dan C = anti log β 0 /β 1. Kebagusan atas persesuaian antara data dengan rumus regresi di atas dapat diketahui dengan memeriksa harga varian residu yang harus berharga kecil. Selain itu, data tambahan yang diperoleh dengan melakukan percobaan untuk harga kombinasi variabel lain, dapat digabungkan dengan data semula guna dianalisis sekali lagi dengan menggunakan regresi multi dimensi. 33

30 2.7 Hubungan Antara Umur pahat (T) Dengan Volume Bahan Terbuang (Q) Volume bahan terbuang (Q) yang dihasilkan pada proses pembuangan geram (metal removal process) dipengaruhi oleh kecepatan penghasilan geram (Z) dan waktu pemotongan ( t c ) atau dapat dituliskan sebagai berikut. Q = Z....(2.51) t c Jika persamaan (2.51) dengan Z = A. v disubstitusikan ke persamaan umur pahat Taylor, maka akan diperoleh : Q T t. A c n = C T (2.52) 34

VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT

VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT TUGAS SARJANA PROSES PEMOTONGAN LOGAM VOLUME BAHAN TERBUANG SEBAGAI PARAMETER ALTERNATIF UMUR PAHAT OLEH: LILIK SULAIMANSYAH NIM : 020401007 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

PENGARUH KEDALAMAN POTONG, KECEPATAN PEMAKANAN TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA MESIN BUBUT

PENGARUH KEDALAMAN POTONG, KECEPATAN PEMAKANAN TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA MESIN BUBUT PENGARUH KEDALAMAN POTONG, KECEPATAN PEMAKANAN TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA MESIN BUBUT Waris Wibowo & Prasetya Sigit S. Staf Pengajar Akademi Maritim Yogyakarta ( AMY ) ABSTRAK Gaya pemotongan digunakan

Lebih terperinci

Bab II Teori Dasar Gambar 2.1 Jenis konstruksi dasar mesin freis yang biasa terdapat di industri manufaktur.

Bab II Teori Dasar Gambar 2.1 Jenis konstruksi dasar mesin freis yang biasa terdapat di industri manufaktur. Bab II Teori Dasar Proses freis adalah proses penghasilan geram yang menggunakan pahat bermata potong jamak (multipoint cutter) yang berotasi. Pada proses freis terdapat kombinasi gerak potong (cutting

Lebih terperinci

Analisis Umur dan Keausan Pahat Karbida untuk Membubut Baja Paduan (ASSAB 760) dengan Metoda Variable Speed Machining Test

Analisis Umur dan Keausan Pahat Karbida untuk Membubut Baja Paduan (ASSAB 760) dengan Metoda Variable Speed Machining Test Analisis Umur dan Keausan Pahat Karbida untuk Membubut Baja Paduan (ASSAB 760) dengan Metoda Variable Speed Machining Test Hendri Budiman dan Richard Laboratorium Proses Produksi, Jurusan Teknik Mesin,

Lebih terperinci

Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris

Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin, SNTTM-VI, 2007 Jurusan Teknik Mesin, Universitas Syiah Kuala Simulasi Komputer untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan pada Proses Pembubutan Silindris Muhammad

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN MODEL MATEMATIKA T L, Q dan MRR SEBAGAI PARAMETER KARAKTERISTIK PERFORMA PAHAT BAGI MEMPEROLEH KONDISI PEMOTONGAN OPTIMUM

MENGEMBANGKAN MODEL MATEMATIKA T L, Q dan MRR SEBAGAI PARAMETER KARAKTERISTIK PERFORMA PAHAT BAGI MEMPEROLEH KONDISI PEMOTONGAN OPTIMUM TUGAS SARJANA PROSES PEMOTONGAN LOGAM MENGEMBANGKAN MODEL MATEMATIKA T L, Q dan MRR SEBAGAI PARAMETER KARAKTERISTIK PERFORMA PAHAT BAGI MEMPEROLEH KONDISI PEMOTONGAN OPTIMUM OLEH: YUKI FEBRIAN NIM : 0040105

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan

Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan TUGAS AKHIR Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING)

TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING) TEORI MEMESIN LOGAM (METAL MACHINING) Proses permesinan (machining) : Proses pembuatan ( manufacture) dimana perkakas potong ( cutting tool) digunakan untuk membentuk material dari bentuk dasar menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C

ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C ANALISIS UMUR PAHAT DAN BIAYA PRODUKSI PADA PROSES DRILLING TERHADAP MATERIAL S 40 C 1 Azwinur, 2 Taufiq 1 Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan Km.280 Buketrata Lhokseumawe.

Lebih terperinci

SIMULASI UNTUK MEMPREDIKSI PENGARUH PARAMETER CHIP THICKNESS TERHADAP DAYA PEMOTONGAN PADA PROSES CYLINDRICAL TURNING

SIMULASI UNTUK MEMPREDIKSI PENGARUH PARAMETER CHIP THICKNESS TERHADAP DAYA PEMOTONGAN PADA PROSES CYLINDRICAL TURNING Simulasi untuk Memprediksi Pengaruh... Muhammad Yusuf, M. Sayuti SIMULASI UNTUK MEMPREDIKSI PENGARUH PARAMETER CHIP THICKNESS TERHADAP DAYA PEMOTONGAN PADA PROSES CYLINDRICAL TURNING Muhammad Yusuf 1)

Lebih terperinci

PROSES PEMBUBUTAN LOGAM. PARYANTO, M.Pd.

PROSES PEMBUBUTAN LOGAM. PARYANTO, M.Pd. PROSES PEMBUBUTAN LOGAM PARYANTO, M.Pd. Jur.. PT. Mesin FT UNY Proses bubut adalah proses pemesinan untuk menghasilkan bagian-bagian mesin (komponen) berbentuk silindris yang dikerjakan dengan menggunakan

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Sudut Potong (Kr) Dengan Pahat Karbida Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Oblique Terhadap Kekasaran Permukaan

Studi Pengaruh Sudut Potong (Kr) Dengan Pahat Karbida Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Oblique Terhadap Kekasaran Permukaan TUGAS AKHIR Studi Pengaruh Sudut Potong (Kr) Dengan Pahat Karbida Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Oblique Terhadap Kekasaran Permukaan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat - Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI CUTTING FLUID DAN VARIASI FEEDING PADA PROSES PEMOTONGAN ORTHOGONAL POROS BAJA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN. Febi Rahmadianto 1)

PENGARUH VARIASI CUTTING FLUID DAN VARIASI FEEDING PADA PROSES PEMOTONGAN ORTHOGONAL POROS BAJA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN. Febi Rahmadianto 1) PENGARUH VARIASI CUTTING FLUID DAN VARIASI FEEDING PADA PROSES PEMOTONGAN ORTHOGONAL POROS BAJA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN Febi Rahmadianto 1) ABSTRAK Kondisi pemotongan yang optimum bagi suatu proses

Lebih terperinci

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Data input simulasi. Shear friction factor 0.2. Coeficient Convection Coulomb 0.2

IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Data input simulasi. Shear friction factor 0.2. Coeficient Convection Coulomb 0.2 47 IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Data Hasil Tabel 6. Data input simulasi Kecepatan putar Gerak makan 433 rpm 635 rpm 970 rpm 0.10 mm/rev 0.18 mm/rev 0.24 mm/rev Shear friction factor 0.2 Coeficient Convection

Lebih terperinci

PENGARUH PEMAKANAN (FEED) TERHADAP GEOMETRI DAN KEKERASAN GERAM PADA HIGH SPEED MACHINING PROCESSES

PENGARUH PEMAKANAN (FEED) TERHADAP GEOMETRI DAN KEKERASAN GERAM PADA HIGH SPEED MACHINING PROCESSES PENGARUH PEMAKANAN (FEED) TERHADAP GEOMETRI DAN KEKERASAN GERAM PADA HIGH SPEED MACHINING PROCESSES Rusnaldy 1), Budi Setiyana 2) Abstrak Meningkatnya permintaan untuk memperbesar produktivitas dengan

Lebih terperinci

PENGARUH SUDUT ORIENTASI ANTARA PAHAT DAN BENDA KERJA TERHADAP BATAS STABILITAS CHATTER PADA PROSES BUBUT ARAH PUTARAN COUNTER CLOCKWISE

PENGARUH SUDUT ORIENTASI ANTARA PAHAT DAN BENDA KERJA TERHADAP BATAS STABILITAS CHATTER PADA PROSES BUBUT ARAH PUTARAN COUNTER CLOCKWISE PENGARUH SUDUT ORIENTASI ANTARA PAHAT DAN BENDA KERJA TERHADAP BATAS STABILITAS CHATTER PADA PROSES BUBUT ARAH PUTARAN COUNTER CLOCKWISE Oleh Agus Susanto Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ing. Ir. Suhardjono,

Lebih terperinci

MATERI PEMBEKALAN/DRILLING LKS SMK SE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2007

MATERI PEMBEKALAN/DRILLING LKS SMK SE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2007 MATERI PEMBEKALAN/DRILLING LKS SMK SE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2007 Oleh: SUTOPO, M.T. Dalam bidang pemesinan, geometri alat potong biasanya didefinisikan sesuai dengan standar DIN 6580 dan 6581.

Lebih terperinci

PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045

PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045 PENGARUH PARAMETER PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT BAJA AISI 1045 Yuni Hermawan Jurusan Teknik Mesin -Fakultas Teknik - Universitas Jember Email: yunikaka@yahoo.co.id ABSTRAK

Lebih terperinci

UNIVERSITAS DIPONEGORO

UNIVERSITAS DIPONEGORO UNIVERSITAS DIPONEGORO PENGARUH CRATER WEAR DAN FLANK WEAR PAHAT TUNGSTEN CARBIDE PADA GAYA MAKAN DAN GAYA POTONG PADA PEMBUBUTAN MATERIAL AL 2024-T4 TUGAS AKHIR GUNAWAN SETIAWAN KUSCAHYANTO L2E 007 039

Lebih terperinci

PENGARUH TEBAL PEMAKANAN DAN KECEPATAN POTONG PADA PEMBUBUTAN KERING MENGGUNAKAN PAHAT KARBIDA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN MATERIAL ST-60

PENGARUH TEBAL PEMAKANAN DAN KECEPATAN POTONG PADA PEMBUBUTAN KERING MENGGUNAKAN PAHAT KARBIDA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN MATERIAL ST-60 PENGARUH TEBAL PEMAKANAN DAN KECEPATAN POTONG PADA PEMBUBUTAN KERING MENGGUNAKAN PAHAT KARBIDA TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN MATERIAL ST-60 Hasrin Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl.Banda

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN POTONG TERHADAP TEMPERATUR PEMOTONGAN PADA PROSES PEMBUBUTAN

PENGARUH KECEPATAN POTONG TERHADAP TEMPERATUR PEMOTONGAN PADA PROSES PEMBUBUTAN PENGARUH KECEPATAN POTONG TERHADAP TEMPERATUR PEMOTONGAN PADA PROSES PEMBUBUTAN Steven Moseas. Lukas. Gambeh 1), Rudy Poeng 2), Irvan Rondonuwu 3) Jurusan Teknik Mesin Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri akan ikut berkembang seiring dengan tingginya tuntutan dalam sebuah industri

I. PENDAHULUAN. industri akan ikut berkembang seiring dengan tingginya tuntutan dalam sebuah industri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi telah merubah industri manufaktur menjadi sebuah industri yang harus dapat berkembang dan bersaing secara global. Pada dasarnya seluruh elemen dalam

Lebih terperinci

BAB II MESIN BUBUT. Gambar 2.1 Mesin bubut

BAB II MESIN BUBUT. Gambar 2.1 Mesin bubut BAB II MESIN BUBUT A. Prinsip Kerja Mesin Bubut Mesin bubut merupakan salah satu mesin konvensional yang umum dijumpai di industri pemesinan. Mesin bubut (gambar 2.1) mempunyai gerak utama benda kerja

Lebih terperinci

HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41

HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41 Tesis PEMODELAN TEMPERATUR PAHAT POTONG HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN METODE TOOL TERMOKOPEL TIPE-K DENGAN MATERIAL St 41 Mochamad Mas ud 2107 201 007 Pembimbing Ir. Bambang Pramujati, MSc Eng., Ph.D Dr.

Lebih terperinci

BAB IV PERHITUNGAN DAN PERANCANGAN ALAT. Data motor yang digunakan pada mesin pelipat kertas adalah:

BAB IV PERHITUNGAN DAN PERANCANGAN ALAT. Data motor yang digunakan pada mesin pelipat kertas adalah: BAB IV PERHITUNGAN DAN PERANCANGAN ALAT 4.1 Perhitungan Rencana Pemilihan Motor 4.1.1 Data motor Data motor yang digunakan pada mesin pelipat kertas adalah: Merek Model Volt Putaran Daya : Multi Pro :

Lebih terperinci

Budi Setiyana 1), Rusnaldy 2), Nuryanto 3)

Budi Setiyana 1), Rusnaldy 2), Nuryanto 3) PENGARUH KECEPATAN POTONG PADA PROSES PEMESINAN KECEPATAN TINGGI TERHADAP GEOMETRI DAN KEKERASAN GERAM UNTUK BEBERAPA LOGAM DENGAN VARIASI NILAI KEKUATAN TARIK Budi Setiyana 1), Rusnaldy 2), Nuryanto 3)

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI PEMOTONGAN TERHADAP PEMBUANGAN GERAM PADA PROSES PEMBUBUTAN BAJA KARBON SEDANG

PENGARUH KONDISI PEMOTONGAN TERHADAP PEMBUANGAN GERAM PADA PROSES PEMBUBUTAN BAJA KARBON SEDANG Laporan Penelitian PENGARUH KONDISI PEMOTONGAN TERHADAP PEMBUANGAN GERAM PADA PROSES PEMBUBUTAN BAJA KARBON SEDANG Oleh Dr. Richard A. M. Napitupulu, ST. MT Dosen Tetap Fakultas Teknik LEMBAGA PENELITIAN

Lebih terperinci

ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN

ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN ANALISA KEKERASAN MATERIAL TERHADAP PROSES PEMBUBUTAN MENGGUNAKAN MEDIA PENDINGIN DAN TANPA MEDIA PENDINGIN Denny Wiyono Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Polnep Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN : Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 28 ISSN : 1979-5858 ANALISA PENGARUH PEMBERIAN CAIRAN PENDINGIN (ETHYL ALCOHOL)PENGUCURAN LANGSUNG DAN PENGABUTAN (SPRAY) TERHADAP UMUR DAN KEAUSAN PAHAT HSS

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Proses Produksi Proses produksi adalah tahap-tahap yang harus dilewati dalam memproduksi barang atau jasa. Ada proses produksi membutuhkan waktu yang lama, misalnya

Lebih terperinci

Simulasi Komputer Untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan Pada Proses Cylindrical Turning Berdasarkan Parameter Undeformed Chip Thickness

Simulasi Komputer Untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan Pada Proses Cylindrical Turning Berdasarkan Parameter Undeformed Chip Thickness Simulasi Komputer Untuk Memprediksi Besarnya Daya Pemotongan Pada Proses Cylindrical Turning Berdasarkan Parameter Undeformed Chip Thickness Oegik Soegihardjo Dosen Fakultas Teknologi Industri, Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. Dari pengujian yang telah dilakukan, diperoleh kondisi pemotongan yang

BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA. Dari pengujian yang telah dilakukan, diperoleh kondisi pemotongan yang BAB IV HASIL DAN ANALISA DATA 4.1 PENDAHULUAN Dari pengujian yang telah dilakukan, diperoleh kondisi pemotongan yang memberikan umur pahat yang optimal dari pahat HSS dengan memvariasikan kecepatan potong

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBENTUKAN GERAM AISI 4140 PADA PROSES PEMESINAN KERAS, KERING DAN LAJU TINGGI SKRIPSI

KAJIAN PEMBENTUKAN GERAM AISI 4140 PADA PROSES PEMESINAN KERAS, KERING DAN LAJU TINGGI SKRIPSI KAJIAN PEMBENTUKAN GERAM AISI 4140 PADA PROSES PEMESINAN KERAS, KERING DAN LAJU TINGGI SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik FAHRUL MUHARRAM 060401003 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PAHAT BUBUT HIGH SPEED STEEL (HSS) BOEHLER TIPE MOLIBDENUM (M2) DAN TIPE COLD WORK TOOL STEEL (A8)

KARAKTERISASI PAHAT BUBUT HIGH SPEED STEEL (HSS) BOEHLER TIPE MOLIBDENUM (M2) DAN TIPE COLD WORK TOOL STEEL (A8) Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi KARAKTERISASI PAHAT BUBUT HIGH SPEED STEEL (HSS) BOEHLER TIPE MOLIBDENUM (M2) DAN TIPE COLD WORK TOOL STEEL (A8) Sri Nugroho* dan

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SUDUT POTONG (Kr) PAHAT KARBIDA PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN OBLIQUE TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN

STUDI PENGARUH SUDUT POTONG (Kr) PAHAT KARBIDA PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN OBLIQUE TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR STUDI PENGARUH SUDUT POTONG (Kr) PAHAT KARBIDA PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN OBLIQUE TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat - Syarat

Lebih terperinci

ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING)

ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING) ANALISIS PEMOTONGAN RODA GILA (FLY WHEEL) PADA PROSES PEMESINAN CNC BUBUT VERTIKAL 2 AXIS MENGGUNAKAN METODE PEMESINAN KERING (DRY MACHINING) IRVAN YURI SETIANTO NIM: 41312120037 PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

BAB li TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Perancangan

BAB li TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Perancangan BAB li TEORI DASAR Pada bab ini dijelaskan mengenai konsep dasar perancangan, teori dasar pemesinan, mesin bubut, komponen komponen utama mesin dan eretan (carriage). 2.1 Konsep Dasar Perancangan Perancangan

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN ORTHOGONAL TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN

STUDI PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN ORTHOGONAL TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR STUDI PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT HSS PADA PROSES BUBUT DENGAN TIPE PEMOTONGAN ORTHOGONAL TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

Bab V Analisis Data. Tabel 5.1. Tabel ANOM untuk MRR

Bab V Analisis Data. Tabel 5.1. Tabel ANOM untuk MRR Bab V Analisis Data Penelitian yang dilakukan dalam Tugas Akhir ini adalah pengoptimalan proses end milling dengan menggunakan metoda Taguchi. Dalam metoda Taguchi terdapat 2 cara analisis untuk mengetahui

Lebih terperinci

PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA PROSES BUBUT BEBERAPA MATERIAL DENGAN PAHAT HSS

PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA PROSES BUBUT BEBERAPA MATERIAL DENGAN PAHAT HSS 28 PENGARUH SUDUT POTONG PAHAT TERHADAP GAYA PEMOTONGAN PADA PROSES BUBUT BEBERAPA MATERIAL DENGAN PAHAT HSS Ivan Norma Susila 1, Zainal Arifin 2, Didik Djoko Susilo 2 1 Program Sarjana Jurusan Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS TOPOGRAFI PERMUKAAN LOGAM DAN OPTIMASI PARAMETER PEMOTONGAN PADA PROSES MILLING ALUMINIUM ALLOY

ANALISIS TOPOGRAFI PERMUKAAN LOGAM DAN OPTIMASI PARAMETER PEMOTONGAN PADA PROSES MILLING ALUMINIUM ALLOY ANALISIS TOPOGRAFI PERMUKAAN LOGAM DAN OPTIMASI PARAMETER PEMOTONGAN PADA PROSES MILLING ALUMINIUM ALLOY Sobron Yamin Lubis & Agustinus Christian Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara

Lebih terperinci

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT Pembebanan Batang Secara Aksial Suatu batang dengan luas penampang konstan, dibebani melalui kedua ujungnya dengan sepasang gaya linier i dengan arah saling berlawanan yang berimpit i pada sumbu longitudinal

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN MAKAN PADA GERAKAN INTERPOLASI LINIER DALAM PROSES PEMESINAN MILLING CNC

PENGARUH KECEPATAN MAKAN PADA GERAKAN INTERPOLASI LINIER DALAM PROSES PEMESINAN MILLING CNC PENGARUH KECEPATAN MAKAN PADA GERAKAN INTERPOLASI LINIER DALAM PROSES PEMESINAN MILLING CNC Rosehan 1 ), Triyono 2 ), Ruby Sumardi 3 ) Abstrak Teknologi CNC sudah banyak digunakan operasi manufaktur. CNC

Lebih terperinci

ANALISA GAYA, DAN SUHU PEMOTONGAN TERHADAP GEOMETRI GERAM PADA PROSES PEMESINAN TINGGI, KERAS DAN KERING (BAHAN AISI PAHAT CBN) SKRIPSI

ANALISA GAYA, DAN SUHU PEMOTONGAN TERHADAP GEOMETRI GERAM PADA PROSES PEMESINAN TINGGI, KERAS DAN KERING (BAHAN AISI PAHAT CBN) SKRIPSI ANALISA GAYA, DAN SUHU PEMOTONGAN TERHADAP GEOMETRI GERAM PADA PROSES PEMESINAN TINGGI, KERAS DAN KERING (BAHAN AISI 4140 - PAHAT CBN) SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Dalam topik penelitian ini, ada beberapa hasil yang telah dicapai dalam penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan distribusi panas yang terjadi pada proses pemesinan.

Lebih terperinci

Bab IV Data Pengujian

Bab IV Data Pengujian Bab IV Data Pengujian 4.1 Data Benda Kerja Dalam pengujian ini, benda kerja yang digunakan adalah Alumunium 2024. Komposisi dari unsur penyusunnya dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Komposisi unsur

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 3 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proses Pemesinan. Proses permesinan adalah suatu proses yang digunakan untuk mengubah bentuk suatu material menjadi suatu produk yang diinginkan. Dewasa ini dengan berkembangnya

Lebih terperinci

Mesin Milling CNC 8.1. Proses Pemotongan pada Mesin Milling

Mesin Milling CNC 8.1. Proses Pemotongan pada Mesin Milling Mesin Milling CNC Pada prinsipnya, cara kerja mesin CNC ini adalah benda kerja dipotong oleh sebuah pahat yang berputar dan kontrol gerakannya diatur oleh komputer melalui program yang disebut G-Code.

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL

PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL PENGARUH VARIASI PUTARAN SPINDEL DAN KEDALAMAN PEMOTONGAN TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 60 PADA PROSES BUBUT KONVENSIONAL Muhammad Sabil 1, Ilyas Yusuf 2, Sumardi 2, 1 Mahasiswa Prodi D-IV Teknik

Lebih terperinci

PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd.

PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd. PROSES FREIS ( (MILLING) Paryanto, M.Pd. Jur.. PT. Mesin FT UNY Proses pemesinan freis (milling) adalah penyayatan benda kerja menggunakan alat dengan mata potong jamak yang berputar. proses potong Mesin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Turbin blade [Gandjar et. al, 2008]

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Turbin blade [Gandjar et. al, 2008] BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses produksi pembuatan suatu produk manufaktur yang ada didunia hampir seluruhnya memerlukan proses pemesinan. Contoh produk yang memerlukan proses pemesinan adalah

Lebih terperinci

Analisa Pengaruh Gerak Makan Dan Putaran Spindel Terhadap Keausan Pahat Pada Proses Bubut Konvensional

Analisa Pengaruh Gerak Makan Dan Putaran Spindel Terhadap Keausan Pahat Pada Proses Bubut Konvensional R E.M. (Rekayasa Energi Manufaktur) Jurnal "" # $ $ % & %" % ' " () http://dx.doi.org/0.2070/r.e.m.v2i.842 Analisa Pengaruh Gerak Makan Dan Putaran Spindel Terhadap Keausan Pahat Pada Proses Bubut Konvensional

Lebih terperinci

Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir

Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir Studi Eksperimental tentang Pengaruh Parameter Pemesinan Bubut terhadap Kekasaran Permukaan pada Pemesinan Awal dan Akhir Agung Premono 1, a *, Triyono 1, R. Ramadhani 2, N. E. Fitriyanto 2 1 Dosen, Jurusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan menjelaskan teori tentang operasi pembubutan dan beberapa parameter yang berkaitan dengan proses pembubutan. Semua karakteristik, teori perhitungan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PENDAHULUAN Proses pengeboran merupakan proses permesinan yang paling sering digunakan setelah proses bubut karena hampir semua komponen dan produk permesinan mempunyai lubang.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut:

BAB II DASAR TEORI. c) Untuk mencari torsi dapat dirumuskan sebagai berikut: BAB II DASAR TEORI 2.1 Daya Penggerak Secara umum daya diartikan sebagai suatu kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah kerja, yang dinyatakan dalam satuan Watt ataupun HP. Penentuan besar daya

Lebih terperinci

Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis

Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis Bab 4 Perancangan Perangkat Gerak Otomatis 4. 1 Perancangan Mekanisme Sistem Penggerak Arah Deklinasi Komponen penggerak yang dipilih yaitu ball, karena dapat mengkonversi gerakan putaran (rotasi) yang

Lebih terperinci

Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong. Kekasaran Permukaan

Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong. Kekasaran Permukaan Kecepatan potong Kecepatan makan Kedalaman potong Kekasaran Permukaan Kombinasi Parameter Respon Optimum Single Respon Multi Respon V vf a F Ra LPM Sifat mampu mesin yang baik. Kekerasan 170 210 HB. Kekerasannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda pertumbuhan perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman, untuk mengoptimalkan nilai efisiensi terhadap suatu produk maka dimulailah suatu pengembangan terhadap material, dan para ahli mulai

Lebih terperinci

TEORI SAMBUNGAN SUSUT

TEORI SAMBUNGAN SUSUT TEORI SAMBUNGAN SUSUT 5.1. Pengertian Sambungan Susut Sambungan susut merupakan sambungan dengan sistem suaian paksa (Interference fits, Shrink fits, Press fits) banyak digunakan di Industri dalam perancangan

Lebih terperinci

PROSES PERMESINAN. (Part 2) Learning Outcomes. Outline Materi. Prosman Pengebor horisontal JENIS MESIN GURDI

PROSES PERMESINAN. (Part 2) Learning Outcomes. Outline Materi. Prosman Pengebor horisontal JENIS MESIN GURDI Prosman - 04 Learning Outcomes PROSES PERMESINAN Mahasiswa dapat menerangkan prinsip kerja mesin bor dan gurdi PROSES PERMESINAN (Part 2) Outline Materi Proses Pemesinan dengan Mesin Bor dan Gurdi Proses

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN No : 339C /UN /TU.00.00/2015

SURAT KETERANGAN No : 339C /UN /TU.00.00/2015 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK MESIN Kampus Bukit Jimbaran Telp/Faks: 0361-703321, Email: mesin@me.unud.ac.id SURAT KETERANGAN No :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi. maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi. maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, Penggunaan mesin frais (milling) baik untuk keperluan produksi maupun untuk kaperluan pendidikan, sangat dibutuhkan

Lebih terperinci

ANALISA KEAUSAN PAHAT POTONG HSS DALAM PROSES PERAUTAN PADA MESIN BUBUT

ANALISA KEAUSAN PAHAT POTONG HSS DALAM PROSES PERAUTAN PADA MESIN BUBUT ANALISA KEAUSAN PAHAT POTONG HSS DALAM PROSES PERAUTAN PADA MESIN BUBUT Mustafa 1 1 adalah Dosen Fakultas Teknik Universitas Merdeka Madiun Abstract Wear and tear pieces of sculpture in the HSS perautan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS

ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS ANALISIS PENGARUH CUTTING SPEED DAN FEEDING RATE MESIN BUBUT TERHADAP KEKASARAN PERMUKAAN BENDA KERJA DENGAN METODE ANALISIS VARIANS Rakian Trisno Valentino Febriyano 1), Agung Sutrisno ), Rudy Poeng 3)

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Flow Chart Pembuatan Mesin Pemotong Umbi Mulai Studi Literatur Perencanaan dan Desain Perhitungan Penentuan dan Pembelian Komponen Proses Pengerjaan Proses Perakitan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan dimulai dari proses pengambilan data dan pengumpulan data yang meliputi rotasi per menit ( RPM), kecepatan potong dan batas pahat. Data yang dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengujian Kedataran Meja Menggunakan Spirit Level Dengan Posisi Horizontal Dan Vertikal. Dari pengujian kedataran meja mesin freis dengan menggunakan Spirit Level

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN

STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN Disusun Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian Tugas Akhit Pada

Lebih terperinci

Proses Frais. Metal Cutting Process. Sutopo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Proses Frais. Metal Cutting Process. Sutopo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Proses Frais Metal Cutting Process Sutopo Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Cutting tools review questions: Penentuan parameter pemotongan manakah yang paling mempengaruhi keausan alat potong?

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proses Pemesinan Untuk membuat suatu alat atau produk dengan bahan dasar logam haruslah di lakukan dengan memotong bahan dasarnya. Proses pemotongan ini dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed

Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed ISBN 978-979-3541-50-1 IRWNS 2015 Optimasi Cutting Tool Carbide pada Turning Machine dengan Geometry Single Point Tool pada High Speed Badruzzaman a, Dedi Suwandi b a Jurusan Teknik Mesin,Politeknik Negeri

Lebih terperinci

KOPLING. Kopling ditinjau dari cara kerjanya dapat dibedakan atas dua jenis: 1. Kopling Tetap 2. Kopling Tak Tetap

KOPLING. Kopling ditinjau dari cara kerjanya dapat dibedakan atas dua jenis: 1. Kopling Tetap 2. Kopling Tak Tetap KOPLING Defenisi Kopling dan Jenis-jenisnya Kopling adalah suatu elemen mesin yang berfungsi untuk mentransmisikan daya dari poros penggerak (driving shaft) ke poros yang digerakkan (driven shaft), dimana

Lebih terperinci

Analisa Pengaruh Modifikasi Pahat Bubut Terhadap Gaya, Daya dan Temperatur Pemotongan pada Pembubutan Material St 42

Analisa Pengaruh Modifikasi Pahat Bubut Terhadap Gaya, Daya dan Temperatur Pemotongan pada Pembubutan Material St 42 Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM Vol. 3 o.2. Oktober 2009 (105-113) Analisa Pengaruh Modifikasi Pahat Bubut Terhadap Gaya, Daya dan Temperatur Pemotongan pada Pembubutan Material St 42 I Gusti Komang

Lebih terperinci

PROSIDING. Seminar Nasional Sains dan Teknologi

PROSIDING. Seminar Nasional Sains dan Teknologi i PROSIDING Seminar Nasional Sains dan Teknologi UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2007 PROSIDING Seminar Nasional Sains dan Teknologi Prosiding Seminar Hasil-Hasil Seminar Sains dan Teknologi

Lebih terperinci

MESIN PENGGURDI DAN PENGEBOR

MESIN PENGGURDI DAN PENGEBOR Presentasi Proses Produksi 2 MESIN PENGGURDI DAN PENGEBOR MESIN PENGGURDIAN Mesin Penggurdian adalah membuat lobang dalam sebuah obyek dengan menekankan sebuah gurdi berputar kepadanya. Hal yang sama dapat

Lebih terperinci

Mesin Perkakas Konvensional

Mesin Perkakas Konvensional Proses manufaktur khusus digunakan untuk memotong benda kerja yang keras yang tidak mudah dipotong dengan metode tradisional atau konvensional. Dengan demikian, bahwa dalam melakukan memotong bahan ada

Lebih terperinci

Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA

Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA Dinamika Rotasi, Statika dan Titik Berat 1 MOMEN GAYA DAN MOMEN INERSIA Dalam gerak translasi gaya dikaitkan dengan percepatan linier benda, dalam gerak rotasi besaran yang dikaitkan dengan percepatan

Lebih terperinci

BAB 4 PROSES GURDI (DRILLING)

BAB 4 PROSES GURDI (DRILLING) BAB 4 PROSES GURDI (DRILLING) 101 Proses gurdi adalah proses pemesinan yang paling sederhana diantara proses pemesinan yang lain. Biasanya di bengkel atau workshop proses ini dinamakan proses bor, walaupun

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan 2.2 Motor 2.3 Reducer BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Perencanaan Konsep perencanaan komponen yang diperhitungkan sebagai berikut: a. Motor b. Reducer c. Daya d. Puli e. Sabuk V 2.2 Motor Motor adalah komponen dalam sebuah kontruksi

Lebih terperinci

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran Bab 5 Puntiran 5.1 Pendahuluan Pada bab ini akan dibahas mengenai kekuatan dan kekakuan batang lurus yang dibebani puntiran (torsi). Puntiran dapat terjadi secara murni atau bersamaan dengan beban aksial,

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Diagram Alir Proses Perencanaan Proses perencanaan mesin pembuat es krim dari awal sampai akhir ditunjukan seperti Gambar 3.1. Mulai Studi Literatur Gambar Sketsa Perhitungan

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN

STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN TUGAS AKHIR STUDI EKSPERIMENTAL TERJADINYA KEAUSAN PAHAT PADA PROSES PEMOTONGAN END MILLING PADA LINGKUNGAN CAIRAN PENDINGIN Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat- Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAKU 4 PROSES GURDI (DRILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta

BAKU 4 PROSES GURDI (DRILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta BAKU 4 PROSES GURDI (DRILLING) Dr. Dwi Rahdiyanta JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2010 1 Proses gurdi adalah proses pemesinan yang paling sederhana diantara

Lebih terperinci

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCANAAN DAN GAMBAR 3.1 Flowchart Perencanaan Pembuatan Mesin Pemotong Umbi Proses Perancangan mesin pemotong umbi seperti yang terlihat pada gambar 3.1 berikut ini: Mulai mm Studi Literatur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Spesimen dan Peralatan. Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Persiapan Spesimen dan Peralatan. Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Mulai Studi Pustaka Persiapan Spesimen dan Peralatan Permesinan dengan Kondisi Permesinan Kering dan Basah Permesinan dengan Pemakaian Jenis Pahat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian sekaligus pengambilan data dilakukan di Laboratorium Produksi dan Laboratorium Metrologi Universitas Lampung serta Laboratorium Material ITB Bandung

Lebih terperinci

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 TUGAS SARJANA PROSES PEMOTONGAN LOGAM ANALISA GAYA, DAYA, DAN ENERGI PEMOTONGAN SPESIFIK SERTA KONDISI PEMOTONGAN MODERAT PADA PEMESINAN KERING (BAJA KARBON AISI 1045 - PAHAT KARBIDA TAK BERLAPIS, WC +

Lebih terperinci

Hubungan Sudut Pahat dan Kecepatan Potong Terhadap Pemakaian Mata Pahat Pada Pembuatan As-Arbor

Hubungan Sudut Pahat dan Kecepatan Potong Terhadap Pemakaian Mata Pahat Pada Pembuatan As-Arbor Hubungan Sudut Pahat dan Kecepatan Potong Terhadap Pemakaian Mata Pahat Pada Pembuatan As-Arbor Mualifi Usman 1*, Ellysa Nursanti 2, Dimas Indra Laksmana 3 1 CV Bumi Sampurno Jombang 2, 3 Teknik Industri,

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Gambar 3.1 Baja AISI 4340

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Gambar 3.1 Baja AISI 4340 26 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan 3.1.1 Benda Kerja Benda kerja yang digunakan untuk penelitian ini adalah baja AISI 4340 yang telah dilakukan proses pengerasan (hardening process). Pengerasan dilakukan

Lebih terperinci

Perhitungan Transmisi I Untuk transmisi II (2) sampai transmisi 5(V) dapat dilihat pada table 4.1. Diameter jarak bagi lingkaran sementara, d

Perhitungan Transmisi I Untuk transmisi II (2) sampai transmisi 5(V) dapat dilihat pada table 4.1. Diameter jarak bagi lingkaran sementara, d Menentukan Ukuran Roda Gigi Untuk merancang roda gigi yang mampu mentransmisikan daya maksimum sebesar 103 kw (138 HP) pada putaran 5600 rpm. Pada mobil Opel Blazer DOHC dan direncanakan menggunakan roda

Lebih terperinci

PENGARUH CAIRAN PENDINGIN BERTEKANAN TINGGI TERHADAP GAYA POTONG, KEAUSAN TEPI PAHAT, DAN KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT MATERIAL AISI 4340

PENGARUH CAIRAN PENDINGIN BERTEKANAN TINGGI TERHADAP GAYA POTONG, KEAUSAN TEPI PAHAT, DAN KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT MATERIAL AISI 4340 TUGAS AKHIR TEKNIK MANUFAKTUR (TM091486) PENGARUH CAIRAN PENDINGIN BERTEKANAN TINGGI TERHADAP GAYA POTONG, KEAUSAN TEPI PAHAT, DAN KEKASARAN PERMUKAAN PADA PROSES BUBUT MATERIAL AISI 4340 ANDI PURWANTO

Lebih terperinci

BAB II Mesin Bubut I II. 1. Proses Manufaktur II

BAB II Mesin Bubut I II. 1. Proses Manufaktur II BAB II Mesin Bubut I Tujuan Pembelajaran Umum : 1. Mahasiswa mengetahui tentang fungsi fungsi mesin bubut. 2.Mahasiswa mengetahui tentang alat alat potong di mesin bubut. 3. Mahasiswa mengetahui tentang

Lebih terperinci

Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A1011 Menggunakan Mata Bor HSS

Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A1011 Menggunakan Mata Bor HSS Jurnal Mechanical, Volume 5, Nomor 2, September 214 Aplikasi Cairan Pelumas Pada Pengeboran Pelat ASTM A111 Menggunakan Mata Bor HSS Arinal Hamni, Anjar Tri Gunadi, Gusri Akhyar Ibrahim Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur)

PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur) MATERI PPM MATERI BIMBINGAN TEKNIS SERTIFIKASI KEAHLIAN KEJURUAN BAGI GURU SMK PROSES BUBUT (Membubut Tirus, Ulir dan Alur) Oleh: Dr. Dwi Rahdiyanta, M.Pd. Dosen Jurusan PT. Mesin FT-UNY 1. Proses membubut

Lebih terperinci

SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A

SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A TEKNIK PEMESINAN SMK PGRI 1 NGAWI TERAKREDITASI: A Jl. Rajawali No. 32, Telp./Faks. : (0351) 746081 Ngawi. Homepage: 1. www.smkpgri1ngawi.sch.id 2. www.grisamesin.wordpress.com Facebook: A. Kecepatan potong

Lebih terperinci

TEORY PENGERJAAN LOGAM MILLING SEMESTER GENAP ATMI SOLO

TEORY PENGERJAAN LOGAM MILLING SEMESTER GENAP ATMI SOLO PERHITUNGAN POWER MESIN DAN POWER MOTOR 1. PENDAHULUAN 1.1. Tujuan umum, Mahasiswa dapat mengetahui perhitungan di sekitar proses milling 1.2. Tujuan khusus Mahasiswa dapat menghitung power mesin dan power

Lebih terperinci

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT

BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT 1 BEKERJA DENGAN MESIN BUBUT PENGERTIAN Membubut adalah proses pembentukan benda kerja dengan mennggunakan mesin bubut. Mesin bubut adalah perkakas untuk membentuk benda kerja dengan gerak utama berputar.

Lebih terperinci

JURNAL FEMA, Volume 2, Nomor 2, April 2014

JURNAL FEMA, Volume 2, Nomor 2, April 2014 JURNAL FEMA, Volume 2, Nomor 2, April 2014 Pengaruh Gerak Makan Dan Kecepatan Putaran Terhadap Aus Pahat HSS Pada Pengeboran Baja ASTM A1011 Menggunakan Pelumas Minyak Goreng Dodi Wibowo 1), Gusri Akhyar

Lebih terperinci