KTSP DAN PENJELASAN TENTANG PERISTIWA KONTROVERSI G-30-S 1965 DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KTSP DAN PENJELASAN TENTANG PERISTIWA KONTROVERSI G-30-S 1965 DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH"

Transkripsi

1 KTSP DAN PENJELASAN TENTANG PERISTIWA KONTROVERSI G-30-S 1965 DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH Dedi Irwanto *) Abstrak: Tulisan ini sebagai pandangan kritis penulis tentang subpokok bahasan dalam KTPS 2006 di sekolah menengah tentang peristiwa G-30-S tahun Dalam kompetensi dasar KTSP tersebut pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa kata-kata G-30-S tetap memakai embel-embel kata PKI. Menurut penulis, semangat dari KTSP atau kurikulum 2006 tidak berbeda dengan Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dirancang untuk memenuhi reformasi atau perubahan zaman. Sementara, di sisi lain peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah melahirkan kontroversial, selama masa orde baru versi tunggal bahwa dalang dari peristiwa ini ditujukan pada Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi sejalan dengan gerakan reformasi dan antitesis terhadap orde baru muncul berbagai versi mengenai dalang dari Gerakan 30 September Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa dalam penjelasan tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 sejalan dengan KTSP perlu dijelaskan juga versiversi lain tersebut, tidak saja versi tunggal, sehingga ruh dalam perubahan paradigma sejarah secara luas tetap terjaga. Kata-kata Kunci: KTSP, G-30-S, Mata Pelajaran Sejarah, Sekolah Menengah Reformasi yang sedang berjalan saat ini menghendaki terjadinya berbagai perubahan paradigma di segala bidang. Secara teoretis, perubahan-perubahan yang terjadi bermaksud mendorong percepatan reformasi itu sendiri. Namun, secara praktik perubahan tersebut masih terlihat berada pada arus labirin reformasi itu yang seolah tidak memiliki ujungnya. Arus perubahan dalam lingkup pendidikan nasional yaitu mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Pada dasarnya KTSP ini nantinya memberi hak penuh pada sekolah-sekolah untuk menentukan sendiri kurikulumnya. Tujuannya adalah agar potensi tiap-tiap sekolah dapat menonjol, sehingga tercipta kompetisi antar sekolah (Riyanafirly, 2006). Dengan KTSP tersebut, masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Walaupun untuk saat sekarang sekolah diberi kebebasan apakah masih mau tetap memakai kurikulum 1994 (kurikulum lama) atau tidak dan meskipun mereka menentukan silabusnya sendiri tetapi standar kompetensi dan isinya harus sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. KTSP dilaksanakan secara bertahap selama 4 tahun. Selanjutnya secara bertahap bisa dilaksanakan secara keseluruhan, sehingga sampai tahun 2010 nanti, seluruh sekolah sudah harus memakai KTSP. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada KTSP ternyata tidak demikian. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberi standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana yang tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Sementara, materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru. Berdasarkan hal demikian, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi. Guru-guru dalam sistem KTSP lebih dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan materi. Artinya, sistem KTSP lebih up date, dimana yang berperan bukan saja *) Dedi Irwanto adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsri 79

2 80 gurunya, melainkan juga murid-murid yang dituntut harus mandiri. Walaupun demikian, ternyata model KTSP menyimpan kebingungan di kalangan guru, sebab selama bertahun-tahun guru hanya menerima jadi kurikulum dari pemerintah pusat. Sementara dalam model KTSP, guru dituntut menyusun model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal sekolah tersebut berada. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh perubahan kurikulum tersebut, tetapi hanya ingin menghubungkan bagaimana perspektif perubahan kurikulum tersebut dengan timbulnya adigium pada mata pelajaran sejarah. Standar ganda tersebut tercipta, di mana dalam KTSP, mata pelajaran sejarah, berusaha menjauhi dan menutupi bagian dari sejarah kontroversial peristiwa Gerakan 30 September 1965 dengan mencantumkan embel-embel PKI di belakang G-30-S. Bahkan usaha tersebut disertai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang berbagai versi tentang peristiwa politik berdarah tersebut. (Tempo Interaktif, Jum at, 29 September 2006) Akan tetapi menariknya di lapangan, walaupun masuk dalam materi pelajaran sejarah di sekolah dengan hanya satu versi tunggal, tetapi sejalan dengan perkembangan informasi dan teknologi, kontroversial mengenai hal itu menjadi pertanyaan kritis para siswa. Dari survei awal, penulis melihat guru mengalami kesulitan untuk menjelaskan pertanyaan kritis siswa tersebut. Dari berbagai jawaban yang diuraikan guru formulasi uraian mereka masih tetap terapi lama dalam menjelaskan persitiwa tersebut. Jawaban guru cenderung semakin menguatkan stigma lama yang telah mengakar kuat di masyarakat, yaitu dalang dari peristiwa G-30- S 1965 tersebut adalah PKI. Mereka hanya menguraikan dari satu versi tunggal tersebut saja. Sementara daya pengetahuan siswa tentang peristiwa 1965 tersebut semakin kritis dan di kalangan sejarawan pun angin perubahan untuk mematahkan stigma ini semakin kuat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis bermaksud dan berusaha menguraikan bagaimana hubungan semangat KTSP dengan cara menjelaskan kontroversial peristiwa 1965 tersebut. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ada beberapa pertanyaan pada tulisan ini yang akan dijawab dalam uraian selanjutnya, yaitu: Seperti apa KTSP mata pelajaran sejarah, terutama tentang Gerakan 30 September 1965? Bagaimana dengan perubahan perspektif penelitian, penulisan, dan penjelasan sejarah? Apakah cara pandang sejarah tersebut tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 tersebut? Lebih lanjut, bagaimana korelasi perubahan paradigma KTSP dengan penjelasan tentang kontroversial peristiwa Gerakan 30 September 1965 kepada anak didik sekolah menengah? Kurikulum KTSP Mata Pelajaran Sejarah Perubahan dalam pendidikan tentunya selalu diharapkan oleh masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka pelaku pendidikan. Pelajar dan pengajar yang secara langsung terkena dampak dari perubahan itu tentunya berharap yang terbaik. Dalam KTSP, pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak berdiri sebagai mata pelajaran sendiri, tetapi dimasukan dalam satu payung mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Demikian juga di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sejarah dijadikan satu paket dengan Sosiologi, PPKN, dan Geografi. Ada beberapa karakteristik mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah menengah. Pertama, karakter rasional, artinya manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi penghuni bumi ini senantiasa berhadapan atau berhubungan dengan dimensi-dimensi ruang, waktu, dan berbagai bentuk kebutuhan (needs) serta berbagai bentuk peristiwa baik dalam skala individual maupun dalam skala kelompok (satuan sosial). Dalam kurikulum KTSP, berkenaan dengan sebagian dari hakikat manusia tadi, dan kemudian dihadapkan pada beberapa disiplin ilmu sosial, maka tentu saja terdapat relasi, relevansi, dan fungsi yang cukup signifikan. Dimensi ruang (permukaan bumi) dengan segala fenomenanya, sangat relevan menjadi objek (bahan) kajian geografi. Sedangkan dimensi manusia baik dalam skala individual maupun dalam skala kelompok sangat relevan menjadi bahan kajian disiplin sosiologi dan psikologi sosial. Kemudian dimensi waktu dan peristiwaperistiwa yang dialami manusia dari waktu ke waktu sangat relevan menjadi objek atau bahan kajian bagi disiplin ilmu sejarah. Sedangkan dimensi kebutuhan (needs) yang senantiasa

3 81 memiliki karakteristik atau sifat keterbatasan (kelangkaan) sangat tepat menjadi objek kajian bagi disiplin ilmu ekonomi. Kedua, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu sosial antara lain : Sosiologi, Geografi, Ekonomi dan Sejarah. Materi bagian IPS terdiri atas sejumlah konsep, prinsip, dan tema yang berkenaan dengan hakikat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socious). Ketiga, Kajian IPS dikembangkan melalui tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan fungsional, pendekatan antardisiplin, dan pendekatan multidisiplin. Pendekatan fungsional digunakan apabila materi kajian lebih dominan sebagai kajian dari salah satu disiplin ilmu sosial, sementara disiplin-disiplin ilmu sosial lain berperan sebagai penunjang dalam kajian materi tersebut. Pendekatan interdisipliner digunakan apabila materi kajian betul-betul menampilkan karakter yang dalam pengkajiannya memerlukan keterpaduan dari sejumlah disiplin ilmu sosial. Pendekatan multidisipliner digunakan apabila materi kajian memerlukan pendeskripsian yang melibatkan keterpaduan antar atau lintas kelompok ilmu, yaitu ilmu alamiah dan humaniora. Materi IPS senantiasa berkenaan dengan fenomena dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, baik dalam skala kelompok masyarakat, lokal, nasional, regional, dan global. Dalam pengembangan silabus dengan KTSP ini sekolah, kelompok kerja guru, atau dinas pendidikan dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi, LPMP, atau unit utama terkait yang ada di Departemen Pendidikan Nasional. Untuk pelajaran sejarah, sumber belajar dalam KTSP adalah buku sejarah pegangan siswa atau buku referensi, atlas sejarah, dan situs sejarah di daerahnya. Kompetensi dasar sejarah untuk sub pokok bahasan peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam KTSP mendeskripsikan strategi nasional peristiwa Partai Komunis Nasional di Madiun, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Gerakan 30 September/PKI (G-30-S/PKI) dan konflik-konflik internal lainnya. KTSP sejarah tersebut juga menekankan kegiatan pembelajaran meliputi membaca referensi, mengamati gambar dan menggali informasi dengan wawancara mengenai keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Kemudian hasil dari membaca referensi, mengamati gambar atau film serta wawancara peserta didik dapat menelaah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI dan cara penanggulangannya. Indikator pembelajarannya adalah mengidentifikasi keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G-30-S/PKI dan mendiskripsikan terjadinya peristiwa G-30- S/PKI serta cara penumpasannya. Instrumen dalam kurikulum KTSP yang diajarkan adalah melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh atau anggota masyarakat yang mengalami keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Selanjutnya peserta didik dapat membuat kesimpulan dan laporan serta penjelasan terjadinya peristiwa G- 30-S/PKI dan cara penanggulangannya. Yang menjadi persoalan dalam penjelasan ini, bahwa kompetensi dasar KTSP ternyata tidak berbeda dengan Kurikulum 1994, bahwa ia tetap mengarahkan guru untuk menarasikan versi tunggal saja, bahkan KTSP menghilangkan wacana yang sempat dilontarkan dalam kurikulum 2004 tentang penghilangan kata PKI dibelakang G-30-S. Kembalinya penulisan kata PKI setelah kata G-30-S tersebut ditanggapi dengan sangat sinis oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Asvi dalam majalah Tempo Interaktif, Jum at tanggal 29 September 2006, menganggap KTSP sebagai perlakuan yang gegabah sebab menurutnya epilog (babak akhir) peristiwa Gerakan 30 September 1965 masih berlangsung dan "dampaknya masih panjang. Asvi menjelaskan pancalogi dari peristiwa ini adalah fenomena terbesar dalam sejarah G-30-S tahun Pancalogi itu meliputi peristiwa G-30-S sebagai awal, pembantaian manusia, 570 orang dicabut kewarganegaraannya, pembuangan masyarakat golongan B ke Pulau Buru untuk dijadikan pekerja paksa, dan masyarakat golongan B dilarang menjadi pegawai negeri atau kedudukan penting. Menurut Asvi hal ini merupakan hukuman yang berat bagi masyarakat itu. Perlakuan pemerintah kala itu dianggapnya terlalu kejam. Padahal, sejarah itu belum tentu benar. Peristiwa ini akhirnya menjadi pembatas jaman yang mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupan bangsa di berbagai bidang. Akhirnya, epilog peristiwa itu masih panjang karena masih banyak kasus yang tertutup dan simpang siur. Oleh karena itu, Asvi berpendapat bahwa

4 82 memunculkan kembali kata PKI dibelakang kata-kata G-30-S, jelas mengakibatkan kebingungan masyarakat dan sudah tak objektif lagi. Menurutnya, justru versi tunggal ini cenderung mengaburkan sejarah, padahal dengan berbagai versi peristiwa itu akan membuat publik dapat menerjemahkan dan memiliki gambaran yang lebih luas. Jika hanya satu versi, sulit menggambarkan sejarah yang sebenarnya. Asvi memandang jangan sampai ada usaha pengarahan sejarah yang belum tentu benar. Ia mencontohkan pada masa Orde Baru, PKI sangat dipojokkan oleh kisah sejarah yang disusun oleh rezim di masa itu. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam Pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah. Selama orde baru, materi pelajaran tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, hanya memuat versi tunggalnya, bahwa gerakan tersebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Angin reformasi, kemudian turut berpengaruh dengan perubahan paradigma di mana dalam kurikulum 2004 kata PKI di ujung katakata G-30-S dibuang. Dalam kompetensi dasar Kurikulum 2004, pelajaran Sejarah untuk SMP kelas IX (kelas III dalam pengertian lama) disebutkan kemampuan menjelaskan peristiwa G-30-S dan perkembangan sosial, ekonomi, politik masa Orde Baru. Sebagai indikatornya, siswa dituntut dapat menjelaskan peristiwa sekitar Gerakan 30 September Adapun materi pokok tentang Peristiwa G- 30-S dan perkembangan sosial, ekonomi, politik pada masa Orde Baru. Kemudian dalam kurikulum untuk SMA dan Madrasah Aliyah (MA) kelas XII (kelas III pengertian lama) yang terkait kompetensi dasar adalah kemampuan menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia di tengah usaha mengisi kemerdekaan. Adapun materi pokoknya mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan peralihan kekuasaan politik. Tampak jelas kata "PKI" tidak tercantum lagi dalam Kurikulum Dari sinilah persoalan berawal. Bukankah keterlibatan PKI dalam "Gerakan 30 September 1965" adalah fakta. Tetapi soal keterlibatan, bukankah juga ada pihak lain? Jadi, yang terlibat bukan hanya PKI. Oleh karena itu, seharusnya ada berbagai versi atau pendapat tentang keterlibatan pihak-pihak lain dengan "G-30-S 1965". Oleh karena itu, pada saat kurikulum 2004 diujicobakan, mata pelajaran sejarah menuai reaksi keras karena tidak mencantumkan kata PKI pada G-30-S Setelah reaksi keras ini dibahas, maka untuk mata pelajaran sejarah di sekolah tetap menggunakan kurikulum mengapa reaksi ini muncul? Menurut Zuhdi (2004:4), bukan soal fakta "G-30-S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri atau terpisah baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelajaran sejarah di SD digabung bersama Geografi dan Ekonomi. Ada pun untuk SLTP, pelajaran Sejarah diberikan dalam kelompok IPS. Kedua, tidak seperti pelajaran lain, Sejarah tidak hanya memiliki ranah ilmu pengetahuan, tetapi juga makna subyektif berbangsa. Tentu tidak ada "Matematika Indonesia" atau "Biologi Indonesia". Namun, ada "Sejarah Indonesia", seperti halnya "Sejarah Amerika" atau "Sejarah Jepang". Artinya, selain sebagai ilmu yang bekerja secara kritis, sejarah juga bermuatan makna yang dipegang dan nilai yang dianut suatu masyarakat pemilik sejarah itu. Makna kehidupan adalah arti yang diberikan terhadap proses dan tujuan yang hendak dicapai suatu masyarakat atau bangsa. Bangsa Indonesia dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hendak mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, nilai-nilai Pancasila itulah yang menjadi landasan tujuan pendidikan nasional. Jadi, tidak tercantumnya "PKI" dilihat dari penolak Kurikulum 2004 adalah upaya sistematik bagi hidupnya kembali partai yang berlawanan dengan ideologi Pancasila. Pihak yang tidak setuju dihilangkannya "PKI" dalam kurikulum baru melihat ada latar belakang dan motivasi perjuangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Untuk memperkuat argumentasinya, mereka menunjukkan indikator keberhasilan pembelajaran. Disebutkan, siswa diharapkan mampu "membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September". Bagi mereka, ini adalah upaya mengaburkan fakta "keterlibatan PKI" dalam G- 30-S 1965.

5 83 Perspektif Baru dalam Sejarah Tentang Gerakan 30 September 1965 Pentas politik Indonesia dalam empat tahun terakhir diwarnai oleh terjadinya berbagai perubahan besar, yang sebagian di antaranya bisa dikatakan merupakan perubahan yang sangat tidak terduga. Jiwa zaman (zeit geist) yang sebelumnya ditandai oleh kuatnya budaya politik parokial dan kaula kini telah diganti oleh zaman baru yang diwarnai oleh semakin berkembangnya budaya politik partisipan. Dalam kaitan itu, seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, muncul tuntutan-tuntutan untuk merevisi sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sepak terjang orde baru, termasuk sepak terjang para tokoh orde baru. Adapun satu di antara kisah perjalanan sejarah orde baru yang kini banyak digugat kembali adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G-30-S. Menurut Dienaputra (2005:14), pada dasarnya ada empat alasan yang membuat suatu peristiwa sejarah perlu ditelusuri kembali. Pertama, adanya ketidakpuasan terhadap sejarah yang ada. Kedua, adanya penemuan sumber baru. Ketiga, adanya reinterpretasi sumber lama. Keempat, adanya perubahan sikap dan pandangan terhadap masa lalu. Berpijak pada keempat alasan tersebut, jelaslah bahwa pengkajian kembali suatu peristiwa sejarah akan selalu terbuka dan bisa dilakukan setiap saat bila kondisi-kondisi sebagaimana dikemukakan di atas muncul ke permukaan. Bila penelusuran kembali peristiwa sejarah dilakukan tidak hanya akan membuka peluang bagi lahirnya "versi" baru tentang sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga bisa jadi akan membuka peran sesungguhnya dari para aktor sejarah. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian dan penulisan sejarah di Indonesia tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah muncul beberapa eksplanasi mengenai siapa dalang dari peristiwa Gerakan 30 September Salah satu tulisan tentang Peristiwa 1965 yang tidak ubahnya segumpalan benang kusut di mana satu simpulnya dicoba diuraikan oleh Kerstin (2004: 12) dengan serius. Kerstin berupaya mengumpulkan bahan yang ada yaitu sebanyak 22 buku, makalah, laporan yang terbit dari tahun 1965 sampai dengan 2001, yang menyinggung keterlibatan atau ketidakterlibatan Soekarno atau Bung Karno dalam kudeta itu. Tulisannya tersebut berusaha menyelidiki sejauh mana Bung Karno mengetahui, mengikuti, atau merencanakan gerakan itu. Kerstin mengusahakan agar setiap versi tentang dalang G-30-S terwakili, yang berupa tulisan, mewakili pandangan pemerintah dan swasta atau pribadi, yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Bentuk tulisan yang dikutip Kerstin tersebut sangat beragam mulai dari laporan ilmuwan seperti Cornell Paper, disertasi Antonie Dake, Buku Putih Sekretariat Negara, sampai kepada karya penulis novel Arswendo Atmowiloto. Menurut Kerstin, terdapat beberapa teori tentang dalang G-30-S yaitu 1) Partai Komunis Indonesia (PKI), 2) Perwira Progresif, 3) Angkatan Darat (AD) dan Soeharto, 4) Central Intelligent Agency (CIA), 5) Chaos atau dalangnya tidak tunggal, dan 6) Soekarno. Pendapat Kerstin hampir serupa dengan beberapa teori yang sudah ada. Namun dalam pengantarnya, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mempertanyakan tentang tidak jelasnya penggolongan Kerstin seperti ini. Kenapa AD digabungkan dengan Soeharto? Kalau Bung Karno menjadi kategori tersendiri kenapa Soeharto tidak diperlakukan sama. Bahkan belakangan ini kudeta merangkak Soeharto semakin sering disebut. Di samping itu, bagian dari AD seperti Kodam Diponegoro sebetulnya bisa juga dianggap sebagai kategori sendiri. Demikian pula unsur luar negeri, bukan hanya CIA tetapi dinas rahasia Inggris pun disebut-sebut ambil andil dalam penghancuran komunis. Salah satu teori lain tentang siapa dalang dari Gerakan 30 September datang dari analisis Antonie C. A. Dake. Dake (2005:45), berpendapat bahwa Soekarno adalah mastermind kudeta 1 Oktober Dake juga menyebutkan bahwa Central Intelligent Agency (CIA) maupun Mayor Jenderal Soeharto kala itu, tidak memiliki keterkaitan yang kuat. Namun buku ini memiliki banyak kelemahan, salah satunya mengenai pengambilan sumber, di mana kritik ekstern terhadap sumber tersebut hampir tidak ada sama sekali. Salah satu data yang digunakannya adalah dokumen Teperpu (team pemeriksa pusat) Kopkamtib ketika mengadili pelaku yang diduga terlibat peristiwa 30 September Berdasarkan pengakuan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko, dalam salah satu dokumen Teperpu tersebut. Dake menginterpretasikan bahwa Soekarno harus bertanggungjawab atas pembunuhan enam orang jenderal dan atas genosida

6 84 orang komunis maupun non komunis, baik pada waktu itu maupun sesudahnya. Dokumen pemeriksaan Bambang tersebut adalah fakta lemah sebab beberapa tahun kemudian Bambang Widjanarko meralat pengakuannya. Ia mengungkapkan bahwa pengakuan yang dilakukannya terpaksa dibuat karena ia mengalami siksaan yang berat. Bahkan di kalangan sejarawan Indonesia yang telah membaca buku ini banyak yang mengeluh karena isinya sama sekali tidak ilmiah. Tesis Dake memang sangat argumentatif, apalagi bukti-bukti sejarah yang mendukung masih merupakan dokumen tertutup. Selain itu teori-teori lain tentang siapa dalang Gerakan 30 September 1965 datang dari buku-buku yang pernah dilarang pada masa orde baru. Buku-buku tersebut seperti terbitan ISAI berjudul Bayang-Bayang PKI yang terbit pada tahun Buku ini serupa dengan tulisan Kerstin yang selain meletakkan dalangnya pada PKI dan "Biro Chusus", juga berkesimpulan bahwa dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dll), Soekarno dan Soeharto (kudeta merangkak). Pada pasca orde baru beredar buku-buku terlarang lainnya seperti tulisan Anderson (1971:24) berjudul Cornell Paper, desertasi Sulistyo (2000:112) yang diterbitkan menjadi buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, buku yang disunting Cribb (1990:76) berjudul Pembantaian PKI di Jawa dan Bali Tulisan Pramoedya Ananta Toer (1997:45) Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kesaksian Setiawan (2004:120) yang dibukukan dalam Memoar Pulau Buru. Menurut Irawanto (1999:15) pada masa orde baru, selain melalui pendidikan, dengan Buku Putih dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto, untuk legitimasi kekuasaan, militer orde baru juga memanfaatkan monumen dan museum serta tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto dan menohok PKI. Buku-buku terlarang tersebut di atas, mengadakan interpretasi terbalik atas karya-karya sejarawan orde baru yang cenderung melakukan stigma bahwa dalang dari gerakan 30 September adalah PKI. Sebaliknya, buku-buku ini menguraikan fakta-fakta lain bagaimana perlakuan pemerintah orde baru terhadap mereka yang dicap sebagai PKI, sekaligus membuktikan bahwa PKI hanya menjadi kambing hitam dalam peristiwa 1965 tersebut. Pendapat - pendapat tersebut di atas kemu- kemudian disokong dengan sangat kuat oleh versi Asvi (2004: 32-57), bahwa Gerakan 30 September 1965 didalangi oleh Soeharto. Jika Dake mengatakan Soekarno terlibat dalam G-30- S, maka Asvi yakin Soeharto terlibat dalam G- 30-S. Untuk membuktikan kebenaran analisisnya, Asvi menyoroti masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang pada hematnya bukan sebuah suksesi yang wajar. Pertama, transisi, peralihan, itu dimulai dengan percobaan kudeta G-30-S. Kedua, ia berakhir dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun Ada penulis yang menamakan kejadian-kejadian antara tanggal 1 Oktober 1965 sampai dengan 11 Maret 1966 sebagai suatu "kudeta merangkak". Ada pula penulis lain yang merujuk bahwa tanggal 1 Oktober 1965 sebagai "kup pertama" dan peristiwa 11 Maret 1966 sebagai "kup kedua". Sama seperti Asvi, Dale-Scott (1972:23-27) memandang kejadian ini sebagai suatu kudeta tiga tahapan. Pertama, datang Gerakan 30 September (G-30-S) yakni suatu "kup palsu". Kedua, pembalasan dendam yang berwujud pembantaian para anggota PKI. Ketiga, pelenyapan sisa-sisa kekuasaan Soekarno. Pada hemat Asvi, Soeharto terlibat di dalam dua kejadian besar tersebut yakni G-30-S tahun 1965 dan Supersemar tahun Kendati Soeharto menyatakan dia tidak memaksa Soekarno, pada hakikatnya para pembantunya dan ketiga jenderal telah memaksa Soekarno dengan ancaman pistol untuk mengeluarkan Supersemar tersebut. Di samping hal ini, Asvi memperkuat argumennya bahwa pada pagi tanggal 11 Maret 1966 pasukan yang tidak dikenal disebarkan di sekitar Istana Negara sehingga Soekarno memutuskan pergi ke Bogor. Keterlibatan Soeharto dalam kup pertama, juga kentara sekali, beberapa hari sesudah insiden, yakni Soeharto dan para perwira Angkatan Darat-nya mengontrol Radio Republik Indonesia (RRI) dan media massa, salah satunya suratkabar Warta Bhakti yang pro Soekarno dilarang terbit. Kemudian tentara melancarkan propaganda melalui pers Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, untuk membangkitkan permusuhan terhadap PKI. Mereka memberitakan bahwa mayat ketujuh korban G-30-S yang dilemparkan ke dalam sumur Lubang Buaya telah dicincang-cincang. Jenazah mereka telah disilet dan kelamin mereka di potong, dan ternyata di kemudian hari berita

7 85 ini tidak benar. Ada sejumlah pengamat yang juga memperkuat teori bahwa Gerakan 30 September didalangi oleh Angkatan Darat. Mereka menilai gerakan itu sebagai suatu gerakan intelijen tentara, dilakukan oleh segolongan tentara terhadap golongan tentara lainnya di dalam angkatan bersenjata. Segolongan membersihkan segolongan lainnya. Surat kabar beraluhan PKI "Harian Rakyat", pada tanggal 1 Oktober 1965, menilai G-30-S sebagai gerakan yang terjadi di kalangan AD, dilakukan oleh segolongan perwira patriotik untuk membela Presiden Soekarno. Menariknya, ada kenyataan lain berdasarkan pendapat Bung Karno. Bung Karno untuk peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam pagi hari tersebut lebih menyebutnya dengan nama Gestok (Gerakan Satu Oktober). Bukan nama G-30-S, Gerakan 30 September, seperti yang disebut oleh para pencetus gerakan, dan juga bukan Gestapu, seperti penamaan yang diberikan oleh Jenderal Soeharto, dengan maksud menarik persamaan dengan organisasi fasis Hitler, Gestapo. Dari segi namanya tersebut, apa yang terjadi ketika itu, sudah terdapat perbedaan tanggapan. Apalagi mengenai hakikat dan isi gerakan tersebut. Menurut Sophiaan (1994:82) mengenai penyebab G-30-S, Presiden Sukarno menyebut ada tiga faktor, yaitu: Pertama, Keblingernya pemimpinpemimpin PKI. Kedua, lihaynya nekolim, dan ketiga, adanya oknum yang tidak benar. Menjelaskan dan Menuturkan (Kembali) Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam KTSP Secara akademis berbagai pendapat tentang suatu topik, bukan hanya perlu tetapi harus dibahas. Kemampuan kritis dituntut bagi pembelajaran sejarah, sebab tidak ada sejarah tanpa pertanyaan atau permasalahan. Analisis terhadap persamaan dan perbedaan fakta dalam rekonstruksi dan memahami sejarah suatu keharusan akademis. Salah satu pertanyaan itu adalah di mana letak perbedaan pendapat yang satu dibanding yang lain. Namun, prasyarat untuk melakukan perbandingan perlu dipenuhi. Oleh karena itu, menurut Zuhdi ( 2004: 64), guru harus memahami peta perbedaan pendapat, tersedianya buku atau bahan ajar memadai. Argumentasi lebih lanjut dikemukakan, bahwa alih-alih siswa, mahasiswa sejarah saja belum tentu mampu "membandingkan" berbagai pendapat tentang "G-30-S 1965". Memang ada beberapa pendapat tentang siapa pelaku atau yang terlibat gerakan. Beberapa pendapat atau teori mengatakan, selain PKI pelaku "G-30-S 1965" juga dilatarbelakangi masalah internal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat, ada yang mengatakan peran Mayor Jenderal Soeharto, peran CIA, intelijen Inggris, dan keterlibatan KGB agen rahasia Rusia, atau boleh jadi teori konspirasi. Mengapa bukan fakta yang ditegaskan, tetapi menurut Zuhdi justru pendapatlah yang dikedepankan dalam pembelajaran sejarah di sekolah menengah. Padahal, istilah "pendapat" adalah sesuatu yang lebih dekat dengan opini. Mungkin istilah interpretasi jauh lebih akademis jika mau digunakan. Jadi, jika sebuah perbandingan hendak dilakukan adalah dengan menyandingkan fakta-fakta dari berbagai interpretasi. Seperti diketahui dalam sejarah ada fakta kuat (hard-fact) contoh "Proklamasi 17 Agustus 1945" dan fakta lunak (soft-fact) contoh "Tan Malaka ter(di)bunuh suatu pasukan bersenjata di Jawa Timur tahun 1948". Sejarah adalah soal sudut pandang. Topik yang dibicarakan sebenarnya adalah masalah saat sejarah sebagai persoalan akademis dipindah ke materi pelajaran untuk pendidikan dalam arti subyektif bangsa. Akan tetapi, faktanya harus benar dalam lingkup kerja akademis. Untuk tujuan pendidikan, materi sejarah adalah yang disepakati (accepted history). Tidak semua fakta harus dan pantas disampaikan pada anak didik. Karena sejarah juga soal seleksi bagi tujuan yang hendak dicapai, misalnya untuk tujuan berbangsa dan bernegara. Maka, apa perlunya terlalu menekankan fakta perang antarkerajaan. Tidakkah yang perlu dicari fakta sejarah yang merekatkan hubungan antarmasyarakat di kepulauan Indonesia. Perbedaan interpretasi tetap perlu dan penting guna melihat keragaman sejarah. Apalagi bangsa ini dibangun dari keragaman suku bangsa dan kebudayaan. Meski demikian, bagi perluasan wawasan, diperlukan sejumlah acuan beragam termasuk yang kontroversial di luar buku teks yang kelak ditetapkan (accepted history). Oleh sebab itu, bahwa jelas Kurikulum 2004 (KBK) dan 2006 (KTSP) sekarang dirancang dalam suasana reformasi yang digulirkan sejak tahun Kurikulum 1994 perlu diganti karena bersifat sentralistik, muatan berlebih, pemberian

8 86 materi yang mengulang, tidak tampak penjenjangan apakah perluasan atau pendalaman. Maka, ketika Kurikulum 2004 (KBK) dan 2006 (KTSP) umumnya lebih memenuhi persyaratan pembelajaran yang disebut berbasis kompentensi dan berbasis sekolah. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, walaupun dibatasi dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional agar peristiwa G-30-S/PKI tidak diganggu gugat. Namun, ada baiknya juga ketika siswa bertanya dengan kritis tentang siapa dalang dari kejadian tersebut, guru sejarah hendaknya menuturkan pendapat tadi tidak saja dari versi tunggalnya dan itu pun sudah dibuktikan dengan kompetensi dasar KTSP yang dikeluarkan pemerintah, namun juga dari berbagai versi apakah sebagai intrik di kalangan angkatan darat, Soeharto, Soekarno, CIA, KGB, atau versi teori konspirasi. Dalam penjelasannya tersebut hendaknya guru tidak berpihak pada salah satu versi tersebut, tetapi dalam menjelaskan versi-versi ini guru tetap harus bersandar dengan alasan kuat dari masing-masing teoriteori. Dan, akhirnya biarkan siswa dapat berpikir kritis dalam menyikapi peristiwa tersebut. Penutup Sejarah bukanlah alat untuk menjustifikasikan suatu peristiwa. Walaupun kita ketahui bahwa eksplanasi sejarah sering menciptakan stigma tentang suatu peristiwa. Namun, sekali lagi sejarah bukanlah alat untuk menyatakan dengan pasti bahwa peristiwa yang ditulisnya tersebut mempunyai kebenaran tunggal dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sama seperti ilmu sosial lainnya, kebenaran ilmiah adalah kebenaran tentatif, karena walaupun sudah sangat objektif pastilah kebenaran tersebut tetap mengandung unsur subjektif. Oleh karena itu, selagi dapat dilakukan penelitian ulang terhadapnya maka kebenaran atas fenomena tersebut masih bisa diganggu gugat secara ilmiah. Perkembangan perspektif dalam penelitian dan penulisan sejarah, membawa ruh perubahan pandangan baru mengenai kebenaran, termasuk tentang peristiwa kontroversial Gerakan 30 September Kalau selama ini, terutama zaman orde baru, ketika orang berbicara tentang gerakan tersebut, maka stigmanya mengarah pada penyudutan Partai Komunis Indonesia (PKI). Stigma-stigma tersebut diikuti dengan pelarangan terhadap buku-buku yang dianggap membela PKI dalam peristiwa tersebut. Maka ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bergulir dengan semangat perubahan atau reformasi, meskipun diikuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional agar subbahasan mengenai Peristiwa 1965 tidak diganggu gugat, hendaknya para guru sejarah yang mengajar di sekolah menengah ketika menghadapi pertanyaan kritis dari siswanya tentang G-30-S menjawabnya tidak dengan satu versi tunggal saja, melainkan juga dengan berbagai versi yang diungkapkan oleh para sejarawan dengan mengambil bukunya sebagai kutipan dan referensi dalam menjelaskan tentang peristiwa tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ananta Toer, Pramoedya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: II. Jakarta: Lentera. Anderson, Ben dkk A Pleliminary Analysis Coup in Indonesian of the October 1, New York: Cornell University. Cribb, Robert (ed) Pembantaian PKI di Jawa/Bali, 1965/1966. Monash University: The Southeast Asian Studies. Dake, Antonie C.A Soekarno File: Berkas-Berkas Soekarno, Jakarta: Aksara Kurnia. Dale-scott, Peter The War Conspiracy. California: University of Barkeley California. Dienaputra, Rieza D Penelusuran Kembali Peristiwa G30S/PKI. Tim Penerbitan Institut Studi Arus Informatika Bayang-Bayang PKI. Jakarta: ISAI. Irawanto, Budi Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Kerstin, Beise Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S?. Yogyakarta: Ombak. Kurikulum Pendidikan Tutupi Sejarah G30S. Tempo Interaktif, Jum at, 29 September Riyanafirly. KTSP Terbuka Untuk Mulok. Pikiran Rakyat, 25 November Setiawan, Hersri Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. Sophiaan, Manai Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno tidak Terlibat G30S/PKI. Jakarta: Penerbit Sinar harapan.

9 87 Sulistyo, Hermawan Palu Arit di ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, Jakarta: Gramedia Pustaka. Susanto, Nugroho Sejarah Nasional Indonesia: Jilkid 6. Jakarta: Balai Pustaka. Warman Adam, Asvi. Epilog G30S/PKI masih Panjang. Tempo Interaktif, Jum at, 29 September Warman Adam, Asvi Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Warman Adam, Asvi Soeharto File: Sisi Gelap Soeharto. Yogyakarta: Ombak. Zuhdi, Susanto. G30S dalam Pelajaran Sekolah. Kompas. 29 September hlm. 4.

Kearifan guru sejarah, benar-benar diuji saat menyampaikan narasi sejarah 1965

Kearifan guru sejarah, benar-benar diuji saat menyampaikan narasi sejarah 1965 Kolom IBRAHIM ISA Minggu Siang, 30 Agustus 2015 -------------------------- Kearifan guru sejarah, benar-benar diuji saat menyampaikan narasi sejarah 1965 Hari ini direncanakan untuk menulis sekitar "Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai peristiwa sejarah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Peristiwaperistiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran, baik itu watak, kepercayaan,

Lebih terperinci

Partai PDIP dan Pembasmian PKI Melalui Supersemar.

Partai PDIP dan Pembasmian PKI Melalui Supersemar. Partai PDIP dan Pembasmian PKI Melalui Supersemar. BY HANDOKO WIZAYA ON OCTOBER 4, 2017POLITIK https://seword.com/politik/partai-pdip-dan-pembasmian-pki-melalui-supersemar/ Menurut Sekretaris Jenderal

Lebih terperinci

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para

Gerakan 30 September Hal tersebut disebabkan para kader-kader Gerwani tidak merasa melakukan penyiksaan ataupun pembunuhan terhadap para BAB 5 KESIMPULAN Gerwani adalah organisasi perempuan yang disegani pada masa tahun 1950- an. Gerwani bergerak di berbagai bidang. Yang menjadi fokus adalah membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang 168 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam bab sebelumnya. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu nilai dasar

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan salah satu nilai dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan karsa yang merdeka sendiri. Semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kita hidup ditengah derasnya perkembangan sistem komunikasi. Media massa adalah media atau sarana penyebaran informasi secara massa dan dapat diakses oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki tahun 1983, bangsa Indonesia dikejutkan dengan banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki tahun 1983, bangsa Indonesia dikejutkan dengan banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Memasuki tahun 1983, bangsa Indonesia dikejutkan dengan banyaknya korban pembunuhan melalui cara penembakan yang dikenal dengan nama penembakan misterius.

Lebih terperinci

Berbagai Kisah G30S Oleh Asvi Warman Adam

Berbagai Kisah G30S Oleh Asvi Warman Adam http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/30/opini/berb04.htm Berbagai Kisah G30S Oleh Asvi Warman Adam PELURUSAN sejarah, berarti menjadikan sejarah yang dulu seragam menjadi beragam. Bila dulu cuma ada

Lebih terperinci

"Buku Putih" Versus White Paper

Buku Putih Versus White Paper "Buku Putih" Versus White Paper "Kebenaran adalah milik milik sang pemenang, dan kebenaran biasanya datang terlambat http://blog.suaramerdeka.com/?p=197 posted September 29, 2012by Yunantyo Adi S (YAS)/

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan Film Senyap mengungkapkan bahwa komunis merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi saat peristiwa pemberantasan komunis 1965 yang dampaknya masih terasa

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM.

PEDOMAN PRAKTIKUM. PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

72. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B)

72. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) 72. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunarungu (SMALB B) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang disusun dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ilmu sejarah telah terjadi cukup lama. Terutama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ilmu sejarah telah terjadi cukup lama. Terutama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kontroversi dalam ilmu sejarah telah terjadi cukup lama. Terutama kontroversi secara politis yang begitu kental di zaman pemerintahan Soeharto atau yang terkenal

Lebih terperinci

Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. dalam Genosida 65

Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. dalam Genosida 65 Keterlibatan Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris dalam Genosida 65 Majalah Bhinneka April 2, 2016 http://bhinnekanusantara.org/keterlibatan-pemerintah-amerika-serikat-dan-inggris-dalam-genosida-65/

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada bagian ini merupakan kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh setelah melakukan pengkajian dan sekaligus memberikan analisis

Lebih terperinci

Ini Pantauan CIA Saat Kejadian G30S/PKI

Ini Pantauan CIA Saat Kejadian G30S/PKI Selasa 26 September 2017, 15:58 WIB CIA Pantau PKI Momen Krusial! Ini Pantauan CIA Saat Kejadian G30S/PKI Fitraya Ramadhanny detiknews https://news.detik.com/berita/d-3658975/momen-krusial-ini-pantauan-cia-saat-kejadian-g30spki

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan penulis dalam mengumpulkan sumber berupa data dan fakta yang berkaitan dengan penelitian yang penulis kaji mengenai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bab ini merupakan kesimpulan dari pembahasan skripsi yang berjudul Gejolak Politik di Akhir Kekuasaan Presiden: Kasus Presiden Soeharto (1965-1967) dan Soeharto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

G 30 S PKI. DISUSUN OLEH Aina Aqila Rahma (03) Akhlis Suhada (04) Fachrotun Nisa (14) Mabda Al-Ahkam (21) Shafira Nurul Rachma (28) Widiyaningrum (32)

G 30 S PKI. DISUSUN OLEH Aina Aqila Rahma (03) Akhlis Suhada (04) Fachrotun Nisa (14) Mabda Al-Ahkam (21) Shafira Nurul Rachma (28) Widiyaningrum (32) G 30 S PKI Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah DISUSUN OLEH Aina Aqila Rahma (03) Akhlis Suhada (04) Fachrotun Nisa (14) Mabda Al-Ahkam (21) Shafira Nurul Rachma (28) Widiyaningrum

Lebih terperinci

74. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E)

74. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) 74. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang disusun dalam

Lebih terperinci

Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP/MTs. Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2

Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP/MTs. Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2 PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP/MTs. Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2 Nama Guru :... NIP/NIK :...

Lebih terperinci

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanpa pretensi untuk mengecilkan peran kelompok lain dari masyarakat yang turut bergerak dalam panggung perubahan sosial, peran mahasiswa merupakan unsur yang seolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan

Lebih terperinci

pengalaman putra 'tokoh integrasi' Tionghoa Indonesia pada 1965

pengalaman putra 'tokoh integrasi' Tionghoa Indonesia pada 1965 'Dicina-cinakan' di jalan: pengalaman putra 'tokoh integrasi' Tionghoa Indonesia pada 1965 Endang NurdinBBC Indonesia 27 Oktober 2017 http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41738253?ocid=wsindonesia.chat-apps.in-app-msg.whatsapp.trial.link1_.auin

Lebih terperinci

Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP 1 Karangdadap Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2

Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP 1 Karangdadap Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2 PERANGKAT PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS ) Satuan Pendidikan : SMP 1 Karangdadap Kelas/Semester : VII s/d IX /1-2 Nama Guru : Rina Suryati,

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar

BAB V. Penutup. Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar BAB V Penutup A. Kesimpulan Dari kajian wacana mengenai Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas dan Republika dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, produksi wacana mengenai PKI dalam berita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan sebagai alat negara. Negara dapat dipandang sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deklarasi terhadap pembentukan sebuah negara yang merdeka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai pembentukan struktur atau perangkatperangkat pemerintahan

Lebih terperinci

Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA

Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA REFLEKSI POSISI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM KEBIJAKAN KURIKULUM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) Adela Siahaan dan Siti Jubaedah Pendidikan Sejarah, FKIP-UNRIKA Email: delaningrat@gmail.com A. Abstrak

Lebih terperinci

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor

Lebih terperinci

EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI

EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI EKSISTENSI PANCASILA DALAM KONTEKS MODERN DAN GLOBAL PASCA REFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA NAMA : FELIX PRASTYO NIM : 11.12.6219 KELOMPOK : J PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sejak awal integrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1976, Timor Timur selalu berhadapan dengan konflik, baik vertikal maupun

Lebih terperinci

REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA ANM MASSARDI

REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA ANM MASSARDI REPRESENTASI PERAMPASAN HAK HIDUP INDIVIDU YANG DIANGGAP TAPOL DALAM NOVEL MENCOBA TIDAK MENYERAH KARYA YUDHISTIRA ANM MASSARDI Bangga Pramesti Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI bangga_108@yahoo.com

Lebih terperinci

Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965

Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965 Ben Anderson dan Kudeta Militer 1 Oktober 1965 Hasan Kurniawan http://daerah.sindonews.com/read/1070825/29/ben-anderson-dan-kudeta-militer-1-oktober-1965-1450531588 Minggu, 20 Desember 2015 05:05 WIB Ben

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BELA NEGARA Disusun Oleh: I Gusti Bagus Wirya Agung, S.Psi., MBA UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA U N I V E R S I T A S U D A Y A N A B A L I 2016 JUDUL: PENDIDIKAN

Lebih terperinci

AKAR DAN DALANG PEMBANTAIAN MANUSIA TAK BERDOSA. dan PENGGULINGAN BUNG KARNO

AKAR DAN DALANG PEMBANTAIAN MANUSIA TAK BERDOSA. dan PENGGULINGAN BUNG KARNO Kolom IBRAHIM ISA Minggu, 15 Desember 2013 ----------------------- Menyambut Hangat Karya Penting SUAR SUROSO: AKAR DAN DALANG PEMBANTAIAN MANUSIA TAK BERDOSA dan PENGGULINGAN BUNG KARNO Senin, 16 Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode perjuangan tahun 1945-1949 sering disebut dengan masa perjuangan revolusi fisik atau periode perang mempertahankan kemerdekaan. Periode tersebut merupakan

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit

Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit Hasan Kurniawan http://daerah.sindonews.com/read/1053972/29/kesaksian-elite-pki-tentang-sepak-terjang-aidit-1445105212 Minggu, 18 Oktober 2015 05:05 WIB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia. Rakyat harus tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat Indonesia. Rakyat harus tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak serta merta mengakhiri perjuangan rakyat Indonesia. Rakyat harus tetap berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan

BAB I PENDAHULUAN. berposisi di baris depan, sebagai komunitas sosial yang memotori perwujudan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa memainkan peranan yang penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim otoritarian.

Lebih terperinci

Kebencian pada Keturunan PKI Belum Hilang, Negara Harus Minta Maaf

Kebencian pada Keturunan PKI Belum Hilang, Negara Harus Minta Maaf Komunitas Merah Putih: Kebencian pada Keturunan PKI Belum Hilang, Selasa, 11 Agustus 2015 16:30 Negara Harus Minta Maaf http://sp.beritasatu.com/home/kebencian-pada-keturunan-pki-belum-hilang-negara-harus-minta-maaf/93433

Lebih terperinci

Silahkan Baca Tragedi PKI Ini

Silahkan Baca Tragedi PKI Ini Silahkan Baca Tragedi PKI Ini Nusantarapos,- Apakah Pantas Soeharto Diampuni?, Ada seorang ahli sejarah yang sempat meneliti tentang kejadian yang menimpa bangsa kita di tahun 1965, mengatakan bahwa di

Lebih terperinci

51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan

Lebih terperinci

2015 KONTRIBUSI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERHADAP KEPEDULIAN SOSIAL DI KALANGAN SISWA SMA.

2015 KONTRIBUSI PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TERHADAP KEPEDULIAN SOSIAL DI KALANGAN SISWA SMA. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan agar pendidikan tidak hanya membentuk insan manusia yang pintar namun juga berkepribadian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi faktor determinan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebebasan pers merupakan salah satu indikator penting dalam membangun suatu negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Pasca reformasi 1998 media massa

Lebih terperinci

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) KURIKULUM 2013 KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) / MADRASAH TSANAWIYAH (MTS) KELAS VII - IX MATA PELAJARAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Nama Guru NIP/NIK Sekolah : : : 1

Lebih terperinci

Akui Dulu Pembantaian, Baru Minta Maaf

Akui Dulu Pembantaian, Baru Minta Maaf Akui Dulu Pembantaian, Baru Minta Maaf BY WEBMASTER OCTOBER 27, 2015 HTTP://1965TRIBUNAL.ORG/ID/AKUI-DULU-PEMBANTAIAN-BARU-MINTA-MAAF/ Menolak lupa, menjadi saksi (selama hayat di kandung badan). Galeri

Lebih terperinci

BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali

BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN 3.1 Desain/Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali peristiwa yang terjadi di masa lalu, dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mengenang sejarah Jerman akan selalu tertuju pada Perang Dunia II dan sosok pemimpinnya yaitu Adolf Hitler. Adolf Hitler menjabat sebagai kanselir Jerman di usia

Lebih terperinci

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1

MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS. Djoko Walujo 1 Tinjauan Buku MEDIA WATCH DAN PELAKSANAAN KEBEBASAN PERS Djoko Walujo 1 Penulis : Muis, A. Judul Buku : Indonesia di Era Dunia Maya Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas Penerbit : Remaja Rosdakarya,

Lebih terperinci

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) KURIKULUM 2013 SILABUS SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) / MADRASAH TSANAWIYAH (MTS) KELAS VII MATA PELAJARAN : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) Nama Guru : NIP/NIK Sekolah : : 11 SILABUS MATA PELAJARAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengingat mutu pendidikan adalah hal yang penting, pembelajaran pun harus

BAB I PENDAHULUAN. Mengingat mutu pendidikan adalah hal yang penting, pembelajaran pun harus 1 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan salah satu bentuk implementasi pendidikan. Mengingat mutu pendidikan adalah hal yang penting, pembelajaran pun harus memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang dikenal dan diakui

Lebih terperinci

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan Penulisan skripsi ini bermula dari ketertarikan penulis dengan konsep mitologi Roland Barthes. Ia menggunakannya sebagai alat untuk mengkritik ideologi

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer.

BAB 6 PENUTUP. hingga masa transisi demokrasi. Beberapa ahli, misalnya Samuel Decalo, Eric. politik, yang akarnya adalah kekuatan politik militer. BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan Militer Indonesia merupakan kasus yang menarik bagi studi mengenai Militer dan Politik. Selain keterlibatan dalam sejarah kemerdekaan, selama tiga dekade militer Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini terlihat dari keberagaman suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kurikulum merupakan salah satu instrumen dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia diwarnai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai Implementasi Pendidikan Politik Melalui Pembelajaran PKn Dalam Mengembangkan Kompetensi (Studi Kasus di SMA Negeri 2 Subang)

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era

BAB I PENDAHULUAN. negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelarangan buku adalah antitesa bagi kemerdekaan hak politik warga negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi. Kebijakan

Lebih terperinci

Makalah Pendidikan Pancasila

Makalah Pendidikan Pancasila Makalah Pendidikan Pancasila PANCASILA MELAWAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Di susun oleh : Nama : Anggita Dwi Chrisyana No : 11.12.6279 Jurusan : S1-Sistem Informasi FAKULTAS S1 SISTEM INFORMASI STMIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) tentang sistem pendidikan nasional: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

Tap XXXIII/MPRS/1967

Tap XXXIII/MPRS/1967 Tap XXXIII/MPRS/1967 KETIKA memberi sambutan dalam rangka 100 Tahun Bung Karno di Blitar, Rachmawati Soekarnoputri mengusul-kan agar Ketetapan Tap XXXIII/MPRS/1967 dicabut. Menurut Rachmawati, Tap itu

Lebih terperinci

Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965

Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965 Buku «Memecah pembisuan» Tentang Peristiwa G30S tahun 1965 Tulisan ini bukanlah resensi buku. Melainkan seruan atau anjuran kepada orang-orang yang mempunyai hati nurani dan berperkemanusiaan, atau yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah rezim pemerintahan bagaimanapun kuat dan besar kekuasaannya tidak akan pernah berjaya terus-menerus tanpa ada batasnya. Suatu saat rezim tersebut kekuasaannya

Lebih terperinci

Berilah tanda (X) pada huruf a, b, c, atau d sebagai jawaban yang paling tepat!

Berilah tanda (X) pada huruf a, b, c, atau d sebagai jawaban yang paling tepat! SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1 BERBAH ULANGAN HARIAN 1 KELAS VIII SEMESTER GASAL TAHUN 2016 Waktu: 50 menit Berilah tanda (X) pada huruf a, b, c, atau d sebagai jawaban yang paling tepat! 1. Sikap positif

Lebih terperinci

SILABUS MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

SILABUS MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SILABUS MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Satuan Pendidikan : SMP Kelas : VII Kompetensi Inti : KI 1 : Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya KI 2 : Menghargai dan menghayati perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah sebagai suatu narasi besar diperlihatkan melalui peristiwa dan tokoh besar dengan mendokumentasikan asal-usul kejadian, menganalisis geneologi, lalu membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum menjadi komponen acuan oleh setiap satuan pendidikan. Kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, selain itu juga

Lebih terperinci

Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965

Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965 Cerita Pagi Dokumen Supardjo, Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965 Hasan Kurniawan Minggu, 23 Oktober 2016 05:05 WIB http://daerah.sindonews.com/read/1149282/29/dokumen-supardjo-mengungkap-kegagalan-gerakan-30-september-1965-1477110699

Lebih terperinci

Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965

Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965 Kesaksian Siauw Giok Tjhan dalam Gestapu 1965 Hasan Kurniawan http://daerah.sindonews.com/read/1057848/29/kesaksian-siauw-giok-tjhan-dalam-gestapu-1965-1446312109/ Senin, 2 November 2015 05:05 WIB Siauw

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 15 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis ingin menjabarkan usaha kekerasan negara dalam menyebarkan kebencian terhadap Lekra, yang selanjutnya akan menimbulkan stigmatisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa,

BAB I PENDAHULUAN. pewarta. Dalam melakukan kerjanya, wartawan berhadapan dengan massa, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi pers di Indonesia dewasa ini mengalami berbagai problematika, seperti kekerasan terhadap pers hingga permasalahan somasi atau tuntutan. Dewan Pers menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang Dasar RI Tahun 1945, sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang Dasar RI Tahun 1945, sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum digambarkan sebagai bahan tertulis yang digunakan oleh para pendidik dalam melaksanakan pembelajaran untuk anak didik. Semua kurikulum nasional dikembangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbitrer yang digunakan oleh suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbitrer yang digunakan oleh suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah ungkapan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbitrer yang digunakan oleh suatu masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan terlupakan oleh masyarakat kota Madiun, terutama bagi umat Islam di Madiun. Pada bulan September tahun

Lebih terperinci

REPRESENTASI PELANGGARAN HAM DALAM FILM PENGKHIANATAN G30S (Analisis Semiotik dalam Perspektif PPKn)

REPRESENTASI PELANGGARAN HAM DALAM FILM PENGKHIANATAN G30S (Analisis Semiotik dalam Perspektif PPKn) REPRESENTASI PELANGGARAN HAM DALAM FILM PENGKHIANATAN G30S (Analisis Semiotik dalam Perspektif PPKn) SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Apriyanti Rahayu FAuziah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian  Apriyanti Rahayu FAuziah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman, media massa merupakan tempat penyalur aspirasi atau pikiran masyarakat yang berfungsi untuk memberikan informasi dan mengetahui

Lebih terperinci

Tragedi 1965 dalam Pandangan Sastra dan Politik

Tragedi 1965 dalam Pandangan Sastra dan Politik Tragedi 1965 dalam Pandangan Sastra dan Politik Sastra dan Politik: Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru Buku Yoseph Yapi Taum Eva Yenita Syam 1 evanys99@gmail.com Pengantar Persoalan kesastraan tidak hanya

Lebih terperinci

BAB III DATA PERANCANGAN

BAB III DATA PERANCANGAN BAB III DATA PERANCANGAN A. Tabel Data Perancangan Data Data objek a. Profil Monumen Pancasila Sakti b. Foto c. Video Data referensi a. Buku tentang Monumen Pancasila Sakti b. Beberapa cindera mata Monumen

Lebih terperinci

51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) 51. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan kehidupan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan yang tertata dengan baik dapat menciptakan generasi yang berkualitas, cerdas, adaptif,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 121 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada bab terakhir ini, peneliti akan memaparkan mengenai kesimpulan dan rekomendasi dari penulisan skripsi yang berjudul " Refungsionalisasi Tentara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam hal ini, karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan,

Lebih terperinci

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Pendidikan Berkelanjutan Salah satu fungsi pendidikan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS TEKNIK PANCASILA TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI MAKALAH PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari pengabdian perasaan dan pikiran pengarang yang muncul ketika ia berhubungan dengan lingkungan sekitar. Sastra dianggap sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk karakter manusia yang memiliki kemampuan akademik dan

I. PENDAHULUAN. membentuk karakter manusia yang memiliki kemampuan akademik dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan manusia yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Melalui pendidikan

Lebih terperinci

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau

Lebih terperinci

Pergolakan dan pemberontakan dalam negri yang mengancam disintegrasi bangsa TUGAS

Pergolakan dan pemberontakan dalam negri yang mengancam disintegrasi bangsa TUGAS SMAN 1 CIGUGUR Jl.Sukamulya no 12 Cigugur Kuningan Tlp. 0232873840 STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR INDIKATOR TUJUAN PEMBELAJARAN MATERI EVALUASI Pergolakan dan pemberontakan dalam negri yang mengancam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. SIMPULAN

BAB V PENUTUP A. SIMPULAN 101 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Memperoleh pendidikan pada dasarnya merupakan suatu hak bagi tiap individu. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PKI merupakan sebuah Partai yang berhaluan Marxisme-Lenisme(Komunis).

BAB I PENDAHULUAN. PKI merupakan sebuah Partai yang berhaluan Marxisme-Lenisme(Komunis). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Analisis Masalah PKI merupakan sebuah Partai yang berhaluan Marxisme-Lenisme(Komunis). Partai Komunis Indonesia merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia

Lebih terperinci