BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular
|
|
- Verawati Hermawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kateter Hemodialisis Insersi kateter vaskular sebagai akses vaskular merupakan hal yang sudah biasa dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular bertujuan untuk pemantauan, hemodialisis, nutrisi dan pemberian obat-obatan intravena. Teknik insersi kateter vaskular ini diperkenalkan pertama kali oleh Werner Forssmann pada tahun 1929 (Shah dkk, 2013). Pada tahun 1953, Sven-Ivar Seldinger memperkenalkan teknik pemasangan akses vaskular perkutan dengan bantuan guidewire dan teknik ini dikembangkan oleh Sheldon untuk pemasangan kateter hemodialisis untuk tindakan hemodialisis segera pada tahun 1960 (Schanzer dan Schanzer, 2012). Kateter hemodialisis dibagi dua yaitu kateter hemodialisis non-tunnelled dan tunnelled. Kateter hemodialisis merupakan cara tercepat untuk mendapatkan akses vaskular hemodialisis. Kateter hemodialisis ini merupakan akses vaskular yang bersifat sementara. Penggunaan kateter hemodialisis ditujukan kepada pasien gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit ginjal kronis dengan akses vaskular permanen atau akses peritoneal dialisis yang belum dapat digunakan (Weijmer, 2004). Kateter hemodilisis non-tunnelled telah mengalami perubahan yang besar. Awalnya kateter ini terdiri dari satu lumen kateter, kemudian berkembang menjadi dua lumen (double lumen) dan yang terakhir berkembang menjadi tiga lumen (triple 7
2 8 lumen). Kateter hemodialisis double lumen memiliki dua koaksial lumen arteri dan vena yang terpisah dan diposisikan dalam satu kateter. Lubang arteri pada ujung kateter umumnya 2-3 cm proksimal lubang vena. Kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki panjang antara cm dan diameter lumen antara French (Fr). Secara umum kateter hemodialisis yang lebih panjang dipakai pada tempat insersi di vena jugularis kiri atau vena femoralis, untuk memastikan bahwa ujung kateter terletak pada posisi yang tepat. Diameter lumen kateter yang lebih besar dapat memberikan volume darah yang lebih besar pada saat dialisis. Volume darah yang dianjurkan oleh NKF KDOQI adalah lebih dari 350 ml per menit. Sebagian besar kateter hemodialisis non-tunnelled dibuat dari polyurethane yang kaku pada suhu kamar tapi lembut pada suhu tubuh, sehingga mengurangi resiko kerusakan vaskular. Selain bahan polyurethane, kateter hemodialisis nontunnelled juga terbuat dari bahan silikon. Kateter hemodialisis tunnelled umumnya terbuat dari bahan silikon. Desain kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki beberapa perbedaan pada ekstensi eksternal. Perbedaan desain ini mempengaruhi kenyamanan pasien dan resiko infeksi. Ekstensi eksternal ini dapat berbentuk lengkung atau lurus. Kateter hemodialisis yang diinsersi pada vena jugularis interna sebaiknya menggunakan yang berbentuk lengkung bertujuan supaya ekstensi eksternal kateter ditempatkan menjauhi garis rambut sehingga mengurangi resiko infeksi pada hub kateter (Choi dan Frankel, 2007).
3 9 Kateter hemodialisis non-tunnelled sebagai akses vaskular hemodialisis sementara umumnya dipakai untuk jangka waktu yang singkat. Panduan NKF KDOQI tahun 1997 menganjurkan pemakaian kateter hemodialisis non-tunnelled yang diinsersi pada vena femoralis tidak lebih dari lima hari dan tidak lebih dari 21 hari pada vena subclavia atau jugularis interna. 2.2 Definisi Terdapat beberapa definisi yang berhubungan dengan infeksi akses vaskular kateter hemodialisis (NKF KDOQI, 2006; Bradley dan Kauffman, 2008) 1. Kateter hemodialisis: kateter yang dipasang pada vena utama yang berfungsi mengalirkan darah dari pasien ke mesin dialisis dan mengalirkan kembali ke pasien. 2. Kolonisasi kateter: hasil kultur dari ujung kateter atau hub kateter positif secara semikuantitatif atau kualitatif, tanpa memperhatikan ada tidaknya tanda dan gejala infeksi. 3. Catheter-Related Bacteremia: bakteremia pada pasien dengan kateter vaskular yang disertai atau tanpa manifestasi klinis infeksi. 4. Bloodstream Infection: mikroorganisme yang sama dari hasil kultur semikuantitatif ujung distal kateter (15 koloni unit per segmen kateter) dan kultur darah vena perifer atau aspirasi darah dari kateter pada pasien simptomatik tanpa disertai adanya sumber infeksi dari tempat lain.
4 10 5. Infeksi tempat insersi kateter: nyeri, eritema dan atau inflamasi dengan radius 2 cm dari tempat insersi kateter dengan eksudat dengan atau tanpa hasil kultur eksudat positif. 6. Tunnel infection: nyeri, eritema atau inflamasi lebih dari 2cm dari tempat insersi kateter hemodialisis sepanjang jalur subkutan dari tunnelled catheter dan cairan eksudat yang mungkin keluar dari tempat insersi kateter dengan hasil kultur eksudat yang positif. 2.3 Epidemiologi Penggunaan Kateter Hemodialisis dan Catheter-Related Bloodstream Infection Jumlah pasien penyakit ginjal kronis yang membutuhkan hemodialisis terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan US Renal System Data 2011 terdapat lebih dari 370,000 pasien yang melakukan hemodialisis rutin. Delapan puluh persen dari pasien ini dilakukan pemasangan kateter hemodialisis untuk akses vaskular pada hemodialisis pertama kali. Di Malaysia, terdapat 26,000 pasien yang dilakukan hemodilisis dengan prevalensi 900 per juta populasi pada tahun Penggunaan kateter hemodialisis sebagai akses vaskular juga meningkat dari 3% pada 2002 menjadi 8,5% pada tahun 2012 (Abdul Gafor dkk, 2014). Data pasien penyakit ginjal kronis di Indonesia yang membutuhkan hemodialisis juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry 2012 terdapat 4977 pasien baru hemodialisis pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi 19,621 pasien baru pada Penggunaan kateter hemodialisis
5 11 sebagai akses vaskular juga bertambah sejalan meningkatnya pasien baru hemodialisis dari 3291 pada tahun 2007 menjadi 26,132 pada tahun Catheter-Related Bloodstream Infection salah satu komplikasi yang tersering pada penggunaan kateter hemodialisis. The Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat tahun 2008 melaporkan sekitar 37,000 kasus Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien hemodialisis. Gunatilake dkk. (2011) merangkum beberapa penilitian yang menyebutkan bahwa angka kejadian Catheter-Related Bloodstream Infection 10-40%. Insiden terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection pada kateter hemodialisis non-tunnelled antara 3,8-6,5 episode / 1000 kateter-hari dan 1,6-5,5 episode / 1000 kateter-hari untuk kateter hemodialisis tunnelled. Insiden Catheter- Related Bloodstream Infection pada kateter hemodialisis non-tunnelled yang diinsersi pada vena femoral akan lebih besar dibandingkan vena jugular interna dan vena subclavia. Insiden infeksi terkecil bila kateter hemodialisis diinsersi pada vena subclavia (lihat tabel 2.1) (Saxena dan Panhotra, 2005). 2.4 Patogenesis Bakteremia pada Pasien Hemodialisis Memahami patogenesis terjadinya bakteremia dapat membantu untuk menentukan strategi pencegahan dan terapinya. Jabber (2005) menjabarkan ada tiga faktor yang berpengaruh dalam terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis yaitu imunitas pasien (disfungsi leukosit, status uremia, kelebihan zat besi), virulensi bakteri (pembentukan biofilm), dan prosedur hemodialisis (akses vaskular dan kotaminasinya, penggunaan membran dialisis berulang) (gambar 2.1).
6 12 Tabel 2.1. Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005) Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis (Jabber, 2005) Beberapa penelitian menunjukkan berbagai faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis. Hoen dkk. (1998) menunjukkan
7 13 penggunaan kateter hemodialisis merupakan faktor resiko utama terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis. Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah riwayat bakteremia dan anemia. Penelitian yang dilakukan Powe dkk. (1999) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu adanya korelasi usia dan penyakit diabetes mellitus dengan resiko infeksi. Faktor resiko lainnya adalah penggunaan kateter hemodialisis dan kadar albumin yang rendah (kurang dari 3,5g/dl). Gupta dkk. (2011), menunjukkan hasil yang serupa yaitu diabetes mellitus, kadar albumin yang rendah dan pemakaian kateter hemodialisis merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis. Penelitian Gupta juga menunjukkan adanya korelasi antara anemia dan infeki kateter hemodialisis. Chiou dkk. (2006) menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis dengan kateter hemodialisis. Diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya infeksi karena gangguan fungsi imunitas dan defisiensi fungsi fagositosis. Kadar albumin yang rendah menunjukkan kadar nutrisi yang rendah pada pasien hemodialisis dan merupakan prediktor mortalitas yang kuat. Thomson dkk. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan kateter hemodialisis, kadar CRP yang tinggi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko infeksi pada pasien dengan kateter hemodialisis dibandingkan dengan arteri-venous fistula. Penelitian ini juga menunjukkan usia tua dan kadar serum albumin yang rendah merupakan faktor resiko kematian pada pasien penyakit ginjal kronis.
8 14 Choncol (2006) menyatakan bahwa terdapat dua jalur yang mempengaruhi fungsi neutrofil pada pasien penyakit ginjal kronis yaitu defisiensi neutrofil dan disfungsi dari jalur metabolik. Berbagai faktor yang mempengaruhi meliputi zat besi yang berlebih, anemia yang berhubungan dengan penyakit ginjal, peningkatan Cytosolic calcium, kadar ureum yang tinggi, terapi dialisis dan waktu sejak dialisis pertama kali. Penelitian yang dilakukan Ma dkk. (1999) menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor kematian akibat infeksi pada pasien penyakit ginjal kronis. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit kurang dari 27% dan 27%-30% memiliki peningkatan resiko kematian akibat infeksi sebesar 82% dan 25%. Hematokrit yang rendah berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis dan proses infeksi, dimana akan terjadi gangguan respon sumsum tulang terhadap eritropoetin. Kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan kadar zat besi dan gangguan fagositosis leukosit sehingga resiko infeksi dan kematian akibat infeksi akan meningkat. Zat besi merupakan elemen essensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat besi dibutuhkan untuk beberapa proses imun. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan gangguan imunitas meliputi respon mitogenik limfosit dan fungsi fagositosis leukosit. Selain tubuh, zat besi juga dibutuhkan oleh bakteri. zat besi yang berlebih dapat menyebabkan proliferasi mikroorganisme, dimana zat besi merupakan growth factor pada bakteri secara in vitro (Sunder-Plassmann dkk, 1999) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar zat besi yang berlebih (dinilai dari kadar serum ferritin) merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada pasien
9 15 penyakit ginjal kronis. Boeleart dkk. (1990) menunjukkan bahwa kadar serum ferritin yang lebih dari 1000 mcg/l memiliki resiko 2,92 kali terjadi bakteremia pada pasien hemodialisis. Sunder-Plassman dkk. (1999) menyatakan bahwa kadar ferritin yang lebih dari 650 mcg/l mengganggu fungsi fagositosis neutrofil. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat empat jalur patogenik untuk terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection yaitu 1. Perpindahan flora kulit dari permukaan kulit ke kateter melalui jalur insersi kateter. 2. Kolonisasi bakteri intralumen kateter karena kontaminasi hub kateter. 3. Penyebabaran hematogen ke kateter hemodialisis yang berasal dari fokus infeksi di tempat lain. 4. Kontaminasi intralumen kateter hemodialisis karena cairan dari luar. Cara pertama dan kedua merupakan penyebab terbanyak terjadinya Catheter- Related Bloodstream Infection (gambar 2.2) (Blankestijn 2001; Safdar dan Maki 2004; Trautner dan Darouiche, 2004) 2.5 Diagnosis Fletcher (2005) menyatakan bahwa kecurigaan terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien dengan kateter hemodialisis berdasarkan kriteria: 1. Tanda infeksi pada tempat insesri kateter 2. Tanda dan gejala klinis SIRS 3. Resolusi tanda dan gejala klinis SIRS setelah pelepasan kateter 4. Kultur darah positif
10 16 5. Kultur ujung distal kateter Gambar 2.2 Patogenesis perpindahan kuman dari kulit ke intralumen dan ekstralumen pada kateter hemodialisis (Saxena dan Panhotra, 2005) Secara praktis, untuk menegakkan diagnosis CRBSI berdasarkan dari satu atau dua kriteria diatas. Gold standard dalam menegakkan diagnosis Catheter-Related Bloodstream Infection adalah mikroorganisme yang sama antara kultur darah dan kultur ujung distal kateter. Shah dkk. (2013) menyatakan bahwa diperlukan minimal dua buah kultur darah bila curiga adanya infeksi pada kateter. Dua buah kultur darah diambil
11 17 melalui punksi vena perifer bila ujung distal kateter (5cm) juga dilakukan kultur. Alternatif lain bila ujung distal kateter tidak dikultur adalah satu buah kultur darah yang dipunksi dari vena perifer dan minimal satu buah kultur darah yang diambil dari lumen kateter. Untuk mengurangi kontaminasi kultur darah, kulit dan hub kateter dibersihkan dengan iodine atau alkohol chlorhexidine dan dibiarkan kering sebelum pengambilan spesimen. Hasil kultur darah yang diambil melalui kateter hemodialisis yang positif menunjukkan adanya kolonisasi mikroorganisme atau kontaminasi hub kateter dibandingkan bloodstream infection. Untuk menunjukkan adanya bloodstream infection dari darah yang diambil dari kateter hemodialisis diperlukan metode kultur kuntitatif. Metode ini menyatakan hasil kultur yang positif bila jumlah koloni yang diisolasi dari darah yang diambil melalui kateter hemodialisis minimal lima kali lebih banyak dibandingkan kultur darah perifer (Blankestijn, 2001). Mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi akses vaskular umumnya berasal dari kulit. Mikroorganisme Gram positif merupakan penyebab terbanyak CRBSI dan yang paling sering ditemukan adalah Staphylococci (Staphylococcus aureus dan Staphylococci coagulase-negatif). Mikroorganisme Gram negatif yang paling banyak ditemukan adalah enterococci dan bacilli gram-negatif aerob (lihat tabel 2.2). (Gunatilake, 2011; Shah dkk, 2013) 2.6 Pencegahan Tindakan pencegahan terjadinya CRBSI telah banyak berkembang. Dasar strategi pencegahan adalah mencegah terjadinya kolonisasi mikroorganisme pada
12 18 permukaan luar kateter dan lumen kateter. Tindakan pencegahan dimulai sejak pemasangan kateter hemodialisis, perawatan kateter dan prosedur hemodialisis yang asepsis. Tabel 2.2 Jenis kuman penyebab catheter-related bloodstream infection (Saxena dan Panhotra, 2005) Tindakan aseptik dan antiseptik saat pemasangan kateter hemodialisis awalnya menggunakan alkohol 70% atau povidon iodine kemudian berkembang menggunakan chlorhexidine. NKF KDOQI 2006 merekomendasikan penggunaan antibacterial scrub dan air yang diikuti membersihkan kulit menggunakan chlorhexidine 2%-alkohol atau alkohol 70%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian chlorhexidine 2%-alkohol memberikan tingkat infeksi luka opersi yang lebih rendah dibandingkan povidone iodine. (Gunatilake dkk, 2011)
13 19 Tempat insersi kateter hemodialisis pada jugular atau subclavian termasuk prosedur pencegahan terjadinya CRBSI. Beberapa penelitian sudah menunjukkan tingginya insiden CRBSI pada kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah femoral. Insiden infeksi kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah femoral mencapai 7 episode / 1000 hari kateter dibandingkan 5,6 episode / 1000 hari kateter pada vena jugular interna dan 2,7 episode / 1000 hari kateter pada vena subclavia (lihat table 2.1). (Saxena dan Panhotra, 2005) Pemakaian antimikrobial topikal pada tempat insersi kateter hemodialisis memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam mengurangi episode infeksi. Gunatilake dkk. (2011) menunjukkan efektifitas penggunaan antimikrobial topikal untuk bakteri Gram positf (mupirocin) dapat mengurangi angka kejadian Catheter- Related Bacteremia. O Grady dkk. (2011) menyatakan bahwa pemakaian antimikrobial topikal dapat meningkatkan kolonisasi dan infeksi candida karena rendahnya tingkat antijamur pada antimikrobial topikal. Pemakaian antimikrobial lock merupakan salah satu tindakan pencegahan Catheter-Related Bloodstream Infection. Teknik ini menggunakan cairan antimikrobial untuk mengisi lumen kateter selama tidak dipergunakan untuk hemodialisis. Cairan antimikrobial dalam berbagai konsentrasi dipakai sebagai agen tunggal atau dikombinasi dengan cairan antiseptik lain (citrate, taurolidine atau alkohol). Cairan antimikrobial ini selalu dicampur dengan antikoagulant seperti heparin atau EDTA. Cairan antimikrobial yang dapat dipakai meliputi vancomycin, gentamicin, ciprofloxacin, minocycline, amikacin, cefazolin, cefotaxime, dan ceftazidime. (O Grady dkk, 2011)
14 20 Dua penelitian meta analisis tentang antimikrobial lock menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mencegah terjadinya CRBSI dibandingkan dengan heparin lock (lihat tabel 2.3). Penelitian ini menunjukkan penurunan angka CRBSI dan secara signifikan dapat menurunkan angka pelepasan kateter karena komplikasi. (Labriola dkk, 2008; Yahav dkk, 2008) Tabel 2.3 Perbandingan pemakaian antimikrobial lock dan heparin lock dalam mencegah terjadinya catheter-related bacteremia (Labriola dkk, 2008) Beberapa penelitian menunjukkan antimokrobial lock terbukti menurunkan jumlah kolonisasi mikroorganisme pada lumen kateter sehingga mengurangi episode bakteremia. Dosis Antimikrobial yang diperlukan untuk antimikrobial lock (10mg/ml cefazolin, ceftazidime dan vancomycin; dan 5mg/ml gentamycin) lebih rendah dibandingkan dosis sitemik untuk mencegah terjadinya kolonisasi mikroorganisme selama periode inter dialisis (48-72 jam). Secara teoritis,
15 21 antimikrobial lock memiliki keuntungan yang banyak dibandingkan pemberian antimikrobial sistemik yaitu konsentrasi antimikrobial yang lebih tinggi pada sumber infeksi, efek samping antimikrobial yang lebih rendah, resiko minimal terjadinya resistensi obat dan mudah dikerjakan untuk pasien rawat jalan. (Saxena dan Panhotra, 2005) Beberapa penelitian menggunakan gentamicin sebagai antimikrobial lock menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam mencegah CRBSI dibandingkan heparin lock. Dosis gentamicin yang dipakai bervariasi mulai dari 4mg/ml sampai 40mg/ml dan semua menunjukkan efektifitas yang sama. (Yahav dkk, 2008; Labriola dkk, 2008).
BAB I PENDAHULUAN. dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai turunnya fungsi ginjal sehingga
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Penyakit ginjal kronis terminal merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai turunnya fungsi ginjal sehingga diperlukan penanganan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan kateter intravena sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik kedokteran modern. Saat ini penggunaan kateter intravena merupakan bagian
Lebih terperinciFAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA INFEKSI KATETER HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DENGAN KATETER HEMODIALISIS DOUBLE LUMEN
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA INFEKSI KATETER HEMODIALISIS PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS DENGAN KATETER HEMODIALISIS DOUBLE LUMEN TRIANTO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial yang terletak di antara fasia leher dalam, sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah pasien gagal ginjal kronis setiap tahun semakin meningkat,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah pasien gagal ginjal kronis setiap tahun semakin meningkat, memerlukan akses vaskular yang cukup baik agar dapat menjalani proses pencucian darah atau hemodialisis.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. spinalis dan cairan serebrospinalis (LCS). Cairan ini mempunyai total volume
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu komplikasi dari anestesi spinal adalah infeksi ruang subarachnoid akibat kontaminasi dari jarum atau cairan injeksi, atau dari organisme yang menjalar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Rumah sakit sebagai salah satu bagian sistem pelayanan kesehatan yang secara garis besar memberikan pelayanan untuk masyarakat berupa pelayanan kesehatan mencakup
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.
I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Sekitar 53 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya mikroorganisme yang normal pada konjungtiva manusia telah diketahui keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan populasi mikroorganisme
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. pemberian obat secara intravena (Smeltzer & Bare, 2001).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pemasangan infus atau terapi intravena adalah suatu tindakan pemberian cairan melalui intravena yang bertujuan untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim sampai dengan usia 28 hari atau satu bulan,dimana pada masa ini terjadi proses pematangan organ, penyesuaian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
Lebih terperinciINDONESIA HEALTHCARE FORUM Bidakara Hotel, Jakarta WEDNESDAY, 3 February 2016
AKSES VASKULAR INDONESIA HEALTHCARE FORUM Bidakara Hotel, Jakarta WEDNESDAY, 3 February 2016 TUJUAN : Peserta mengetahui tentang pentingnya akses vaskular. Peserta mengetahui tentang jenis akses vaskular.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karakter Biologi Klebsiella pneumoniae K. pneumoniae tergolong dalam kelas gammaproteobacteria, ordo enterobacteriale, dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri K. pneumoniae adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian terapi obat melalui jalur intravena perifer (peripheral
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian terapi obat melalui jalur intravena perifer (peripheral intravenous) merupakan tindakan yang banyak dilakukan pada pasien rumah sakit. Data penggunaan peralatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit infeksi merupakan
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal atau renal failure merupakan gangguan fungsi ginjal menahun yang bersifat progresif dan irreversibel yang menyebabkan ginjal kehilangan kemampuannya
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi di lingkungan Rumah Sakit. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keluhan maupun gejala klinis kecuali sudah terjun pada stadium terminal (gagal
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan permasalahan bidang nefrologi dengan angka kejadian masih cukup tinggi, etiologi luas dan komplek, sering diawali tanpa keluhan maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. aplikasi lebih luas daripada anestesi spinal. Blok epidural dapat dilakukan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anestesi epidural adalah teknik neuraxial yang menawarkan berbagai aplikasi lebih luas daripada anestesi spinal. Blok epidural dapat dilakukan pada level lumbal,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 3% - 21%, dan infeksi daerah operasi (IDO) mencakup 5% - 31% dari total
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencegahan infeksi merupakan salah satu bagian terpenting dalam setiap pembedahan dan dimulai sebelum melakukan tindakan operasi (praoperasi). WHO melaporkan prevalensi
Lebih terperinciPENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti)
PENCEGAHAN INFEKSI ALIRAN DARAH PRIMER (IADP) (Rana Suryana SKep. Medical Dept. PT Widatra Bhakti) I. Pendahuluan Penggunaan peralatan intravaskular (IV) tidak dapat dihindari pada pelayanan rumah sakit
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di rumah sakit 3 x 24 jam. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini tinggi resiko terjadinya infeksi yang akan menambah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ventilator mekanik merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan. Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia, hiperkapnia berat dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Plebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi kimia maupun mekanik yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena. 1) Terapi interavena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang. Kolonisasi tidak menimbulkan gejala klinis hingga infeksi dari
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk asalnya atau dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi. Ekskresi di sini merupakan hasil
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan sindrom klinis yang bersifat progresif dan dapat menyebabkan kematian pada sebagian besar kasus stadium terminal (Fored, 2003). Penyakit
Lebih terperinciWani Devita Gunardi, dr. SpMK RS EKA BSD
Wani Devita Gunardi, dr. SpMK RS EKA BSD How to collect a good specimen? How to optimize the laboratorium results for treating patient? How to prevent & control the multi drug organism? Pemeriksaan laboratorium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2002, sepertiganya disebabkan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 -
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15-20 persen per tahun, meskipun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri dalam saluran kemih, meliputi infeksi diparenkim
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik jenis metisilin. MRSA mengalami resistensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia) yang disebabkan oleh pemakaian ventilator dalam jangka waktu yang lama pada pasien
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Keterlambatan dalam penanganan kasus apendisitis akut sering menyebabkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronis atau End Stage Renal Desease (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi masih menjadi permasalahan di berbagai negara berkembang di dunia karena menjadi penyebab kematian dan kecatatan dengan jumlah kasus yang selalu bertambah setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh manusia antara lain sebagai alat transportasi nutrien, elektrolit dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tubuh manusia sebagaimana mahluk hidup yang lain tersusun atas berbagai sistem organ, puluhan organ, ribuan jaringan dan jutaan molekul. Fungsi cairan dalam tubuh manusia
Lebih terperinciInfeksi pada Pasien Hemodialisis: HIV, Hepatitis & MRSA
Infeksi pada Pasien Hemodialisis: HIV, Hepatitis & MRSA Widodo Divisi Ginjal & Hipertensi Departemen Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya Infeksi pada Pasien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan organ penting dari manusia. Berbagai penyakit yang menyerang fungsi ginjal dapat menyebabkan beberapa masalah pada tubuh manusia, seperti penumpukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ISK merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah salah satu penyakit dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang sangat tinggi di dunia. Sekitar 26 juta orang dewasa di Amerika
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus pada dasarnya merupakan kelainan kronis pada homeostasis glukosa yang ditandai dengan beberapa hal yaitu peninggian kadar gula darah, kelainan dari
Lebih terperinciABSTRAK. Michael Jonathan, 2012; Pembimbing I : dr. Fanny Rahardja, M.Si Pembimbing II: dr. Rita Tjokropranoto, M.Sc
ABSTRAK INTERAKSI AIR PERASAN BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) DENGAN GENTAMISIN DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN KOLONI Staphylococcus aureus SEBAGAI BAKTERI PENYEBAB INFEKSI NOSOKOMIAL PADA LUKA BAKAR SECARA
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit, dan osmolaritas cairan ekstraseluler. Salah satu fungsi penting
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Banyak penyebab dari disfungsi ginjal progresif yang berlanjut pada tahap akhir atau gagal ginjal terminal. Richard Bright pada tahun 1800 menggambarkan beberapa pasien
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi system saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam hitungan detik atau
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,
Lebih terperincisex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) tidak hanya disebabkan oleh asites pada sirosis hati melainkan juga disebabkan oleh gastroenteritis dan pendarahan pada saluran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang rawat intensif atau Intensive Care Unit (ICU) adalah unit perawatan di rumah sakit yang dilengkapi peralatan khusus dan perawat yang terampil merawat pasien sakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik Menurut definisinya, antibiotik adalah zat kimia yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah kesehatan dunia hingga saat ini, karena jumlah penderita terus meningkat serta menimbulkan morbiditas dan
Lebih terperinciDAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i. LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI... iv. DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii KATA PENGANTAR...iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vii DAFTAR ARTI SINGKATAN, LAMBANG DAN ISTILAH...viii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar
Lebih terperinciSeiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan. lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, penggunaan lensa kontak sebagai pengganti kacamata semakin meningkat. Diperkirakan saat ini terdapat 125 juta
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien menjalani proses perawatan lebih dari 48 jam, namun pasien tidak menunjukkan gejala sebelum
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja
Lebih terperinciBAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48
BAB 6 PEMBAHASAN VAP (ventilatory acquired pneumonia) adalah infeksi nosokomial pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48 jam. 4,8,11 Insiden VAP bervariasi antara
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang terjadi di seluruh dunia dan terus menerus mengalami peningkatan yang signifikan.menurut Berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronik adalah gangguan faal ginjal yang berjalan kronik dari mulai faal ginjal normal sampai tidak berfungsi lagi. Penyakit gagal ginjal kronik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat inflamasi pada ruang subarachnoid yang dibuktikan dengan pleositosis cairan serebrospinalis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat
BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat secara signifikan menjadi lebih dari 5 juta pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, UKDW
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan permasalahan di bidang nefrologi dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Ginjal Kronik 1. Pengertian Penyakit ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan
Lebih terperinciBAB I.PENDAHULUAN. dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar
1 BAB I.PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan glomerular filtrate rate (GFR) serta peningkatan kadar albumin dalam urin. Gagal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. (Permenkes RI No. 340/MENKES/PER/III/2010). Dalam memberikan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi saluran kemih paska kateterisasi urin pada anak Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau kontaminasi dari uretra, vagina ataupun
Lebih terperinciSIMPOSIUM DIALISIS 2015
PERNEFRI KORWIL JABAR Proceeding WORKSHOP NEFROLOGI INTERVENSI & SIMPOSIUM DIALISIS 2015 Optimalisasi Peranan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi di Bidang Nefrologi Intervensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia sehingga diperlukan penanganan dan pencegahan yang tepat untuk mengatasinya. Gagal ginjal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Ginjal merupakan organ yang mempunyai fungsi vital pada manusia, organ ini memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan, yakni menyaring (filtrasi)
Lebih terperinciComplication of Foley Catheter Is Infection the Greatest Risk. Oleh : dr. M. Gunthar A. Rangkuti
Complication of Foley Catheter Is Infection the Greatest Risk Oleh : dr. M. Gunthar A. Rangkuti Pendahuluan Pemakaian kateter urin yang lama telah menjadi bagian integral dari perawatan medis sejak penemuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah. sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi hiperglikemia pada saat masuk ke rumah sakit sering dijumpai pada pasien dengan infark miokard akut (IMA) dan merupakan salah satu faktor risiko kematian dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang mengenainya. Terdapat tipe - tipe dari luka, diantaranya luka insisi, memar,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tindakan perawatan dalam bidang kedokteran dapat berisiko menimbulkan luka, hal ini yang membuat ketidaknyamanan pasien. Luka dapat terjadi secara sengaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. infeksi yang didapat pada pasien di Pediatric Intensive Care Unit (PICU).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Infeksi merupakan penyebab utama dari kesakitan dan kematian pasien termasuk pada anak. Infeksi melalui aliran darah merupakan penyebab utama infeksi yang
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali Staphylococcus aureus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis adalah kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan medis dan keperawatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50%
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua pasien yang dirawat di rumah rakit setiap tahun 50% mendapat terapi intravena (IV). Namun, terapi IV terjadi di semua lingkup pelayanan di rumah sakit yakni IGD,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan faal ginjal yang terjadi secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ginjal punya peran penting sebagai organ pengekresi dan non ekresi, sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak dibutuhkan oleh tubuh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes melitus. Penyembuhan luka yang lambat dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia, terlebih lagi di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit infeksi didapatkan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), HAI s (Healthcare
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), HAI s (Healthcare Associated Infection) merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian di dunia. Infeksi ini
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal ginjal kronik atau CKD (Chronic Kidney Disease) merupakan keadaan klinis kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel (Wilson, 2005) yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Angka kejadian luka setiap tahun semakin meningkat, baik luka akut maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien dengan luka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit adalah suatu organisasi pelayanan sosial kemanusiaan. Secara aktual pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip
Lebih terperinci