SINTESIS HASIL LITBANG RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SINTESIS HASIL LITBANG RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai"

Transkripsi

1 SINTESIS HASIL LITBANG RPI 4 Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi evlap_p3kr@yahoo.co.id web :

2

3 RINGKASAN Indonesia memiliki potensi ekosistem mangrove dan hutan pantai yang tersebar pada lebih dari pulau dengan garis pantai sepanjang ± km. Ekosistem ini terletak antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi siklus harian pasang-surut air laut. Pada ekosistem ini dapat dijumpai komunitas vegetasi yang menjadi penyusunnya, antara lain a) formasi pescaprae dengan keberadaan tumbuhan Ipomoea pescaprae, Spinifex littorius, Euphorbia atoto, Crinum asiaticum, dan Pandanus tectorius; dan b) formasi baringtonia dengan keberadaan tumbuhan Baringtonia asiatica, Terminalia catapa, Callophylum inophylum, dan Hibiscus tiliaceus. Apabila tanah di daerah pasang-surut berlumpur maka kawasan ini ditumbuhi mangrove (ekosistem mangrove) dengan vegetasi dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa, Xylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras, dan Heritiera. Keberadaan komunitas vegetasi tersebut sebagian lengkap dan sebagian lagi hanya terdiri atas beberapa jenis, tergantung lokasi dan karakteristik habitatnya. Masing-masing ekosistem mangrove dan hutan pantai memiliki sifat dan ciri yang unik. Karakteristik yang terbangun dari ekosistem ini memberikan fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat besar artinya bagi kehidupan dan penghidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Sebagai bagian sistem penyangga kehidupan, ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan ikanikan di perairan, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan penjerap kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, habitat satwa liar dan tempat singgah burung migran; serta penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami. Sementara itu, fungsi ekonomis yang beragam menjadikan ekosistem ini menjadi tumpuan kehiduapan dan pendapatan masyarakat, antara lain penyedia kayu, obatobatan, bahan pangan, dan lahan pengembangan tambak/silvofishery. Bahkan, Keberadaan dan potensi produksi atau manfaat ekosistem pantai dan pesisir sering menjadi menjadi titik permulaan pengembangan wilayah suatu daerah. Saat ini, keberadaan ekosistem mangrove dan hutan pantai justeru semakin tertekan dan mengalami kerusakan. Berbagai perubahan yang mengarah negatif Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai v

4 tidak hanya dipengaruhi faktor alam seperti gelombang dan arus, pasang-surut, sedimentasi dan abrasi; melainkan pula dipengaruhi faktor manusia [sebagai dampak eksploitasi, kesalahan pengelolaan, dan pembangunan fisik suatu kawasan]. Beberapa kegiatan yang menjadi faktor perusak ekosistem mangrove dan pantai antara lain pembukaan dan konversi lahan, penebangan yang tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan (berasal dari pemukiman, industri, pertambangan dan pertanian/perikanan). Dampaknya tidak hanya berkurang luasan ekosistem ini, tetapi juga menurunnya kualitas dan produktivitas bioekologis. Tentunya, masyarakat yang menggantungkan penghidupannya pada produktivitas ekosistem ini akan dirugikan. Laju kehilangan dan kerusakan ekosistem mangrove dan pantai tidak sebanding dengan proses dan upaya rehabilitasinya. Beberapa tapak bahkan sudah berubah bentuk atau berkurang kemampuannya untuk dikembalikan lagi ke fungsi semula. Upaya rehabilitasi ekosistem manrove dan pantai pun membutuhkan jenis, teknologi rehabilitasi dan pengelolaan yang lebih intensif. Kondisi seperti ini tentunya membutuhkan input pengetahuan dan teknologi dari berbagai disiplin ilmu dan aspek pengelolaan. Oleh sebab itu, data dan informasi ilmiah menjadi acuan untuk implementasi pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan pantai secara tepat dan benar. Beberapa penelitian yang tergabung dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang membahas topik Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai telah dilakukan untuk mengidentifikasi, menginventarisasi dan mencari solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan di lapangan. Rangkaian hasil penelitian dan kajian selama tahun telah dikelompokkan dan disintesis sehingga menjadi petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni a) informasi ilmiah terkait karakteristik dan proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, b) teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya, dan c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam sintesis ini berdasarkan aspek substantif bioekologi, nilai penting dan manfaatnya; serta berdasarkan karakteristik dan tipologi kawasan (tapak umum dan tapak khusus). Uraian sintesis hasil penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan vi S i n te si s RPI

5 Mangrove dan Ekosistem Pantai meliputi informasi peran mangrove dan ekosistem pantai (kondisi biodiversitas, jenis mangrove dan peran penjerapan polutan, serta peran dalam penjeratan sedimen terlarut); teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus (delta terdegradasi, areal terabrasi dan/atau pulau-pulau kecil); potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai (distribusi dan perubahan tutupannya, serta potensi sumber pangan dan jasa lingkungan); manfaat sosial ekonomi konservasi mangrove dan ekosistem pantai (valuasi nilai ekonomi dan model kemitraan pemanfaatan mangrove); dan model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. Hal-hal pokok hasil sintesis menunjukan bahwa tekanan dan ancaman yang merubah, mengurangi dan mendegradasi hutan mangrove dan ekosistem pantai semakin hari semakin parah. Keberadaannya saat ini semakin terkikis dan membutuhkan pengelolaan yang intensif. Pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai antarwilayah dan antartapak berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, pengelolaan ini harus didasarkan pada status kawasan, keberadaan dan sebarannya, potensi bioekologi, pemanfaatan, dan permasalahan yang terdapat pada ekosistem ini. Terdapatnya keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan hutan pantai pada beberapa wilayah di Indonesia menjadi faktor penting (utama) yang membutuhkan penguatan persepsi, motivasi, pengetahuan teknis, dan kerja sama dengan parapihak terkait. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan menjadi faktor pendukung keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove dan hutan pantai. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove dan pantai bagi kehidupan dan penghidupan. Berdasarkan hal-hal tersebut, sintesis RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai ini dapat dijadikan acuan dalam menggali potensi dan permasalahan pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di Indonesia lebih lanjut. Hasil sintesis ini juga dapat menjadi dasar bagi pembuatan plot penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai sesuai tapak, potensi dan tujuan pengelolaannya. Tentunya, pembangunan plot penelitian dan pengembangan ini harus melibatkan semua pihak terkait dalam bentuk kemitraan (kolaborasi) dan pembentukan kelembagaan yang efektif. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai vii

6

7 KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun , Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun (Revisi) adalah Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai. Sampai akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 66 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan penyediaan teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dengan sasaran tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi, informasi proses ekologis dan model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan oleh Puskonser, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting berdasarkan output yang sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif. Sintesis akhir RPI pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai yang berkelanjutan. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk metode penanaman untuk kondisi tapak ekstrim, metode penanaman pada pulau-pulau kecil, informasi teknis peran mangrove dalam menyerap polutan perairan, informasi teknis nilai dan manfaat mangrove dan ekosistem pantai, dan model allometrik mangrove. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai secara berkelanjutan. Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP

8

9 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN.... iii RINGKASAN v KATA PENGANTAR viii DAFTAR ISI.... ix DAFTAR TABEL.. x DAFTAR GAMBAR.. xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan dan Sasaran Sistematika.. 7 II. METODOLOGI Pendekatan dan Ruang Lingkup Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana Waktu dan Lokasi Penelitian III. SINTESIS HASIL PENELITIAN Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai Pada Tapak Khusus Status Potensi dan Nilai Manfaat Mangrove dan Ekosistem Pantai Manfaat Sosial Ekonomi Konservasi Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Model Kelembagaan Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove dan Pantai IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Rekomendasi 298 DAFTAR PUSTAKA 299 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai ix

10 DAFTAR TABEL Tabel Komponen penelitian dan organisasi pelaksana RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai tahun Tabel Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun Tabel Daftar klasifikasi derajat pencemaran Tabel Tabel Tabel Tabel Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai.. 23 Sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai.. 26 Potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. Rawa Aopa Watumohai 29 Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. 42 Tabel Kondisi Perairan Taman Nasional Kepulauan Togean. 44 Tabel Tabel Tabel Kondisi sifat fisik kimia habitat mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun Jenis, rata-rata tinggi dan diameter serta kerapatan Bakau di Lokasi Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun Daftar nama jenis plankton di area mangrove dan jumlah sel plankton yang ditemui pada setiap plot pengamatan di Taman Nasional Laut kepulauan Togean, tahun Tabel Indeks keanekaragaman dan Indeks kemerataan plankton pada setiap plot 48 Tabel Daftar nama jenis benthos di area mangrove dan jumlah benthos yang ditemui pada setiap plot pengamatan. 49 Tabel Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos pada setiap plot 49 Tabel Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah hutan mangrove di TNL Togean tahun Tabel Hasil Analisis sifat kimia air pada perairan hutan mangrove di TNL Togean, tahun Tabel Komposisi jenis mangrove di beberapa kawasan lain di Kalimantan Timur.. 56 Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat semai.. 57 x S i n te si s R P I

11 Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pancang.. 58 Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pohon.. 58 Tabel Daftar jenis burung di lokasi penelitian 62 Tabel Jenis, jumlah, dan perkiraan populasi mamalia kecil di lokasi penelitian. 66 Tabel Genus dan spesies bakteri yang dijumpai di lokasi penelitian 71 Tabel Karakter morfologi isolat bakteri yang diamati. 72 Tabel Karakter biokimia isolat bakteri yang diamati.. 73 Tabel Karakter fisiologi isolat bakteri yang diamati 74 Tabel Kisaran karakter bakteri yang dijumpai berdasarkan aktivitas enzim 78 Tabel Penyebaran bakteri berdasarkan lokasi pengambilan sampel.. 83 Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) 88 Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah). 89 Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) 90 Tabel Kandungan zat pencemar dalam bagian tumbuhan mangrove pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) 92 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) 94 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah).. 94 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur).. 95 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali).. 95 Tabel Kelimpahan plankton dan benthos dalam tambak di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat). 97 Tabel Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) 98 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xi

12 Tabel Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur) 99 Tabel Jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan 105 Tabel Kadar sedimen terlarut (gr/liter) pada beberapa lokasi di Segara Anakan. 106 Tabel Degradasi luas hutan mangrove di DAS Segara Anakan Tabel INP jenis-jenis mangrove pada masing-masing lokasi Tabel Tingkat penurunan sedimen pada tegakan mangrove. 114 Tabel Tingkat penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air 114 Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Gagak/dominansi Api-api (Avicennia sp.) Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Klaces dominansi Bakau (Rhizhopora spp.) Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Alang/dominansi Bogem (Sonneratia alba) 116 Tabel Hasil analisa laboratorium mikrobiologi tambak di Bipolo, Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) Tabel Kriteria kualitas air tambak dan hasil analisis kualitas air tambak Bipolo 119 Tabel Hasil analisis kimia dan fisik tanah pada lokasi tambak. 123 Tabel Prediksi waktu yang diperlukan hingga buah mangrove matang dari berbagai tahapan fenologinya. 128 Tabel Spesifikasi tujuh jenis bibit mangrove siap tanam. 130 Tabel Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam pengadaan bibit melalui persemaian seluas 1 hektar. 130 Tabel Sifat tanah dan pemilihan jenis mangrove yang cocok Tabel Tabel Tabel Tabel Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam kegiatan penanaman mangrove melalui anakan (seedling) dalam setiap hektar 133 Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penanaman benih mangrove secara langsung dalam setiap hektar. 133 Jenis hama yang menulari mangrove dan saran penanggulangannya Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru xii S i nte si s R P I

13 Tabel Perbandingan jumlah tanaman mangrove perplot yang hidup dan ditanam per plot di Pulau Weh, Aceh Tabel Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh. 139 Tabel Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Lamnga, Aceh Tabel Data awal lingkungan dan sifat kimia tanah penanaman di kawasan pesisir Selayar 145 Tabel Persen hidup tanaman umur 1 bulan 147 Tabel Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman setelah penanaman I dan penanaman II Tabel Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung sampai umur 9 bulan setelah tanam pada uji jarak tanam dan komposisi jenis di Kab. Kep. Selayar. 152 Tabel Hasil analisis uji mutu kompos 153 Tabel Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan. 154 Tabel Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan setelah penanaman pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam 156 Tabel Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Tabel Hasil uji lanjut DUNCAN pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Tabel Rerata pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam sampai dengan umur periode pengukuran 158 Tabel Karakteristik lokasi penelitian. 161 Tabel Kandungan kimia tanah mangrove di lokasi penelitian Tabel Hasil analisa indeks nilai penting dan perkiraan jumlah benih di Pulau Talise (Minahasa Utara, Sulawesi Utara). 162 Tabel Pengaruh faktor perlakuan terhadap karakter tanaman mangrove setelah umur 6 bulan di persemaian Tabel Rata-rata pertambahan tinggi tanaman setelah 6 bulan Tabel Hasil analis keragaman menggunakan metode unvariate SPSS 16 for Windows pada tinggi tanaman persemaian umur 6 bulan Tabel Hasil penelitian uji coba 6 jenis tanaman mangrove di 4 lokasi pada umur 4 bulan tanam Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xiii

14 Tabel Luas hutan mangrove, pertambakan dan penggarap tambak di KPH Purwakarta. 174 Tabel Kandungan zat makanan jenis R. mucronata, S. alba, dan A. Marina Tabel Tabel Lokasi dan fungsi kawasan mangrove serta jenis kegiatan perlebahan yang dilakukan masyarakat Jumlah pemungut madu dan jumlah sarang Apis dorsata yang ditemukan di musim pemanenan madu Tabel Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan Tabel Jenis-jenis tumbuhan sumber pakan lebah madu di mangrove 183 Tabel Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di Desa Dabong 184 Tabel Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di TNAP. 184 Tabel Kadar air (basah) (%) pada beberapa komponen nipah. 202 Tabel Deskriptif statistik biomassa nipah (Kg). 204 Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua 206 Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda 208 Tabel Rekapitulasi hasil fitting model biomassa pelepah mati. 210 Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa rumpun nipah 212 Tabel Deskripsi statistik nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah. 213 Tabel Kondisi tegakan pada plot pengamatan Tabel Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di Kubu Raya (Kalimantan Barat) Tabel Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 1972) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 1990) Tabel Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 1990) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 2000) Tabel Perubahan tutupan hutan mangrove primer (tahun 2000) menjadi beberapa jenis penutupan lahan (tahun 2010) Tabel Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1990, 2000 dan Tabel Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun Tabel Perubahan tutupan lahan wilayah kajian tahun Tabel Jumlah suku dan jumlah pohon dalam plot m 2 di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat Tabel Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Pasir Putih xiv S i n te si s RPI

15 Tabel Jenis tumbuhan yang regenerasinya lengkap di hutan pantai Karang Ranjang Tabel Matriks analisis SWOT Tabel Tingkat kepentingan stakeholder Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xv

16

17 DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan evaluasi, telaah dan sintesis terhadap rencana dan hasil Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan keterkaitan antara sasaran dan luaran, serta hasil kegiatan yang telah dilaksanakan Gambar Indeks Keragaman Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Indeks Perataan Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Indeks Keragaman Burung di hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun Indeks Perataan Jenis Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Gambar Penampilan bakau yang tumbuh dipinggir laut 45 Gambar Indeks keanekaragaman (H ) plankton di Lokasi Penelitian 48 Gambar Gambar Komposisi genus benthos pada hutan mangrove di TNL Togean 50 Kondisi hutan bakau yang sudah mulai dibuka (kiri) dan kondisi hutan bakau yang sudah berubah menjadi tambak (kanan) 54 Gambar Ilustrasi zonasi vegetasi mangrove 60 Gambar Histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu mangrove. 61 Gambar Grafik Kelimpahan Jenis Burung.. 64 Gambar Peta lokasi penelitian. 70 Gambar Gambar Kondisi mangrove pada beberapa stasiun pengambilan sampel: a) STA 1, b) STA 2, c) STA 3, d) STA 4 86 Pengambilan material sampel penelitian terkait fungsi penjerapan polutan oleh mangrove (jenis dan bagian tumbuhan mangrove, air dan substrat, serta biota perairan) 100 Gambar Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan Gambar Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan 104 xvi S i n te si s RPI

18 Gambar Gambar Gambar Kadar sedimen terlarut pada lokasi dari muara Sungai Citanduy dansungai Cibereum sampai Ujung Alang 107 Penanaman A. marina pada empat tingkat penggenangan air laut di Pemalang; pada awal penanaman (kiri); tinggi mencapai sekitar 6 m pada usia 2,5 tahun (kanan) Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru 138 Gambar Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh 140 Gambar Penanaman cemara laut di Gampong Baru, Aceh. 141 Gambar Penanaman mangrove di Lamnga, Aceh 141 Gambar Pengukuran tanaman mangrove dan plot penelitian di P. Weh, Aceh Gambar Kondisi lokasi penanaman pada musim kemarau Gambar Gambar Beberapa tanaman nyamplung umur 9 bulan pada uji komposisi jenis dan jarak tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus. 150 Tanaman nyamplung yang mengalami daun terbakar dan kematian akibat musim kemarau 150 Gambar Tanaman ketapang yang daunnya habis dimakan sapi. 151 Gambar Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam Gambar Gambar Gambar Gambar Tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus 160 Lokasi sumber benih mangrove Blok Wawunian (a) dan pemanenan buah R. mucronata oleh Kelompok Tani SUAKE (b) Dua propagul dengan tingkat kematangan berbeda (a. Propagul masak dan berkualitas baik; b. Propagul belum masak dan kurang berkualitas) dan pengukuran dimensi (c) Grafik pertumbuhan semai (A s/d N masak pohon dan AA s/d NN masak jatuh) Gambar Rata-rata laju pertumbuhan tinggi tanaman persemain Gambar Foto-foto tanaman yang rusak oleh berbagai faktor dan beberapa hama pengerusak tanaman Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xvii

19 Gambar Lebah madu menghisap madu dari bunga teruntum merah (Lumnitzera littorea) (a); teruntum putih (Lumnitzera racemosa) (b); krangkong (Ludwigia ascendens) (c); dan gletang warak (Clerodendron maraecloset) (d). 185 Gambar Bunga perepat (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) (a) dan buta-buta (Excoecaria agalloca) (b); jenis-jenis mangrove tersebut termasuk sumber nektar yang utama bagi lebah madu. 185 Gambar Kerapatan pohon mangrove (n/ha). 187 Gambar Persentase kerapatan pohon bakau dan tumu dari tepi sungai menuju ke daratan 188 Gambar Luas bidang dasar pohon mangrove (m 2 /ha). 188 Gambar Kerapatan pohon mangrove pada tiap kelas diameter 189 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Aboveground Biomass (AGB) tegakan pohon mangrove pada plot pengamatan. 189 Aboveground Biomass (AGB) masing-masing jenis pohon mangrove pada plot pengamatan Persentase biomassa pada masing-masing kelas diameter di plot pengamatan Boxplot Aboveground biomass (AGB) nipah dan tegakan mangrove 191 Sebaran biomassa di Hutan Mangrove Kubu Raya berdasarkan tingkat kerapatan pada tahun Nipah bercampur dengan (a) Xylocarpus sp. dan (b) Bruguiera sp 194 Gambar Nipah (a) besar, (b) kecil 195 Gambar Komponen-komponen nipah Gambar Akar serabut nipah (a), Batang nipah (b) 196 Gambar Bunga nipah (a dan b) dan buah nipah (c) Gambar Kegiatan pengukuran parameter-parameter penduga 198 Gambar Gambar Grafik distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen pelepah tua yang hidup Distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen (a) pelepah bawah, (b) pelepah atas, (c) daun dan (d) pelepah mati terhadap urutan tumbuh pelepah (order) 203 Gambar Grafik distribusi nilai biomassa pada komponen nipah. 204 Gambar Scatter plot biomassa pelepah tua dengan variabel penduga xviii S i n te si s R P I

20 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada pelepah tua. 207 Scatter plot biomassa pelepah muda dengan variabel penduga Scatter plot biomassa pelepah mati dengan variabel penduga. 209 Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada model pelepah mati. 210 Grafik plot antara nilai variabel independen dengan biomassa rumpun nipah Gambar Plot Regresi model penduga biomassa rumpun nipah Gambar Distribusi nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah 214 Gambar Gambar Uji perbandingan mean (uji t) fraksi karbon (%) pada komponen nipah Grafik potensi aboveground biomass (AGB) pada plot pengamatan. 215 Gambar Perubahan luas hutan mangrove primer ( ) 218 Gambar Perubahan luas hutan mangrove sekunder ( ) 218 Gambar Kondisi penutupan lahan wilayah kajian tahun Gambar Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode Gambar Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode Gambar Perubahan tutupan lahan wilayah kajian periode Gambar Gambar Perubahan luas hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data INCAS di kawasan hutan mangrove Kubu Raya. 228 Perubahan tutupan hutan mangrove menjadi nonhutan berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS Gambar Perubahan non hutan menjadi hutan mangrove berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS Gambar Gambar Grafik luas perubahan nonhutan menjadi hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan vegetasi INCAS Perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Plonologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. 231 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xix

21 Gambar Luas tutupan hutan mangrove di Kubu Raya berdasarkan data tutupan hutan Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. 231 Gambar Matrik perubahan tutupan hutan mangrove di Kubu Raya 232 Gambar Hutan mangrove Kubu Raya berdasarkan fungsi kawasan 233 Gambar Grafik luas perubahan hutan mangrove menjadi nonhutan (deforestasi). 234 Gambar Luas deforestasi pada masing-masing fungsi kawasan. 234 Gambar Gambar Identifikasi nipah dengan citra satelit resolusi tinggi (Image digital globe tanggal peliputan 13/8/2013) 237 Identifikasi nipah dengan menggunakan citra satelit resolusi menengah (Landsat peliputan tanggal 10/4/2013) 237 Gambar Sebaran nipah di Kubu Raya. 238 Gambar Emisi Karbondioksida akibat deforestasi Gambar Penambahan simpanan karbon (ton CO2-eq). 241 Gambar Emisi netto karbon dioksida (ton CO2-eq). 241 Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun Gambar Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun Gambar Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun Kondisi tutupan mangrove daerah Bekasi dan Kerawang tahun Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang tahun Gambar Gambar Kondisi tutupan mangrove daerah Subang, Indramayu dan Cirebon tahun Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode Gambar Perubahan tutupan mangrove di Subang periode Gambar Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode xx S i n te si s R P I

22 Gambar Perubahan tutupan mangrove di Bekasi dan Kerawang periode Gambar Perubahan tutupan mangrove di Subang periode Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Perubahan tutupan mangrove di Subang, Indramayu dan Cirebon periode Peta penunjukan kawasan hutan dan perairan Provinsi Jawa Barat Lokasi penelitian hutan pantai di TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat 254 Kondisi tegakan di hutan pantai di Pasir Putih (a) dan Karang Ranjang (b), TWA Pananjung Pangandaran (Jawa Barat). 255 Distribusi pohon berdasarkan kelas diameter di hutan pantai TWA Pananjung Pangandaran, Jawa Barat 257 Tanaman A. marina yang meranggas daunnya (a) karena serangan ulat (b) 258 Gambar Ulat Streblote sp. (a) yang menyerang tanaman R. apiculata dan A. marina serta ngengatnya (b) Gambar Gambar Jumlah kunjungan wisatawan ke Berau empat tahun terakhir 262 Salah satu contoh rangka rumah/pondok kerja di muara sungai Gambar Kayu bakar yang berasal dari hutan mangrove Gambar Pemakaian kayu mangrove untuk togo Gambar Gambar Pemakaian kayu mangrove untuk ajir (atas) dan lanrang (bawah) Salah satu contoh pemakaian daun nipah untuk atap dan dinding rumah di muara sungai Gambar Pelaksana penyuluhan kepada responden Gambar Frekuensi penyuluhan kepada responden Gambar Mitra yang terlibat aktif dalam pengelolaan hutan mangrove di desa sampel Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai xxi

23 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari pulau yang tersebar dari Barat hingga Timur dengan garis pantai sepanjang ± km. Kondisi pesisir dan pantai setiap pulau tersebut memiliki perbedaan yang dipengaruhi oleh kondisi geologi, geomorfologi dan hidrologi sehingga membentuk berbagai tipe ekosistem pantai (Dwi, 2010). Ekosistem ini terletak antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi siklus harian pasang-surut air laut. Secara umum, ekosistem di daerah pantai dan pesisir terdiri atas ekosistem mangrove dan ekosistem [hutan] pantai. Komunitas vegetasi yang terdapat di eksosistem pantai [berturut-turut dari daerah pasang-surut ke arah darat] terdiri atas a) formasi pescaprae dengan keberadaan tumbuhan Ipomoea pescaprae, Spinifex littorius, Euphorbia atoto, Crinum asiaticum, dan Pandanus tectorius; dan b) formasi baringtonia dengan keberadaan tumbuhan Baringtonia asiatica, Terminalia catapa, Callophylum inophylum, dan Hibiscus tiliaceus. Apabila tanah di daerah pasang-surut berlumpur maka kawasan ini ditumbuhi mangrove (ekosistem mangrove) dengan vegetasi dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa, Xylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras, dan Heritiera. Keberadaan ekosistem mangrove dan pantai yang merupakan interaksi/ peralihan antara ekosistem darat dan laut menjadikan ekosistem ini memiliki sifat dan ciri yang unik, serta mengandung produksi biologi dan jasa lingkungan lainnya yang besar. Sebagai contoh, ekosistem mangrove [sebagai tipe ekosistem yang banyak dibahas dalam berbagai penelitian] memiliki fungsi ekonomis sebagai penyedia kayu, obat-obatan, bahan pangan, dan lahan pengembangan tambak/ silvofishery. Selain itu, ekosistem mangrove juga mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan ikan-ikan di perairan, penyaring intrusi air laut ke daratan, dan penjerap kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, habitat satwa liar dan tempat singgah burung migran; serta penahan abrasi pantai, amukan angin topan dan tsunami. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 1

24 lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya hutan pantai dan hutan mangrove bagi perlindungan pantai. Wilayah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove dengan kondisi baik dilaporkan cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Keberadaan dan potensi produksi atau manfaat ekosistem pantai dan pesisir sering menjadi menjadi titik permulaan pengembangan wilayah suatu daerah. Banyak kota-kota tua di dunia, termasuk di Indonesia, umumnya berkembang dan berawal dari wilayah pantai. Wilayah ini juga berkembang pesat menjadi kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, wisata, perikanan, pertanian, olah raga air, dan kegiatan reklamasi atau sebaliknya, pengerukan dasar perairan untuk tujuan komersial. Perkembangan pemukiman, infrastruktur dan kegiatan ekonomi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem pantai. Akibatnya, ekosistem pantai cenderung mendapat tekanan besar. Hal ini dapat menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kelestarian lingkungan karena rusaknya hutan pantai dan hutan mangrove. Pengembangan kawasan pertambangan juga sering terjadi di daerah pantai dan pesisir karena potensi kondisi geologi tertentu (Sampurno, 2010). Priyambodo (2011) mengungkapkan bahwa hampir seluruh gumuk-gumuk pasir telah mengalami kerusakan akibat aktivitas penambangan pasir yang berlebihan di sepanjang pantai Selatan Pulau Jawa. Kerusakan areal gumuk pasir dan vegetasi penutup dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dan kapasitas ekosistem pantai. Jika kerusakan tersebut terus berlanjut dalam jangka panjang; peningkatan intrusi air laut ke areal pertanian dan pemukiman, serta peningkatan kerentanan areal pemukiman terhadap kemungkinan bahaya tsunami dikhawatirkan dapat terjadi. Apalagi, kondisi wilayah pantai yang terdiri atas endapan pasir dengan bentuk lahan yang selalu berubah dapat menyebabkan proses penutupan vegetasi secara alami berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu, tutupan vegetasi yang sangat minimal dapat dilihat pada hamparan gumuk pasir dengan areal endapan pasir di belakangnya. Perubahan ekosistem pantai juga dipengaruhi faktor alam seperti gelombang dan arus, pasang-surut, sedimentasi dan abrasi sehingga merubah garis pantai dan 2 S i n te si s R P I

25 kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut. Kurdi (2010) menyatakan bahwa dengan asumsi kemunduran garis pantai sekitar 50 m maka Indonesia akan kehilangan lahan seluas ha. Fenomena ini menunjukkan bahwa kawasan yang hilang akibat mundurnya garis pantai yang cukup besar dapat menyebabkan pula jumlah masyarakat yang dirugikan, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari aktivitas pantai. Apalagi, sekitar 50 60% penduduk Indonesia diperkirakan tinggal di kawasan pantai. Pengamatan pada tahun 2001 di kawasan pantai Bali menunjukkan bahwa 20% dari 430 km panjang pantai yang ada di Bali mengalami kerusakan. Hal yang sama juga terjadi di kawasan Pontianak, Bengkayang, dan Sambas dengan kerusakan pantai telah mencapai 14 km; sementara perbaikan baru dilakukan sepanjang 5,1 km. Kerusakan ini belum termasuk yang terjadi di beberapa kawasan pantai di Jawa, antara lain di Teluk Jakarta, Pantai Eretan, Pantai Mauk, dan beberapa kawasan di Sumatera dan Sulawesi. Kerusakan ekosistem pantai dan pesisir terjadi pula terhadap ekosistem mangrove, bahkan, keberadaan mangrove di Indonesia saat ini benar-benar telah pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Kehidupan modern dan kemudahan aksesibilitas pemasaran hasil produksi dari ekosistem mangrove, serta pemanfaatan yang berlebihan tanpa memerhatikan kaidah konservasi telah mengakibatkan penurunan, baik kualitas maupun kuantitasnya. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha; namun hasil interpretasi citra landsat (1992) menunjukkan luas hutan mangrove yang tersisa sekitar 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo, 1994). Luasan pada kawasan hutan tersebut semakin menyusut menjadi hanya 3,7 juta ha yang mana sekitar 1,6 juta ha (43,2%) dalam kondisi rusak parah (Ditjen RRL, 1999). Sementara itu, hutan mangrove Indonesia di luar kawasan diperkirakan sekitar 5,5 juta ha, tetapi sekitar 4,8 juta ha (87,3%) dalam keadaan rusak parah. Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun diperkirakan mencapai lebih dari ha/tahun. Pengamanan potensi dan fungsi pesisir sebenarnya sudah dilakukan di beberapa daerah dengan menetapkan kawasan laut, hutan mangrove atau hutan pantai sebagai zona penyangga yang dikelola secara terpadu untuk peningkatan Pengelolaan H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 3

26 ekonomi masyarakat pantai. Namun demikian, masih banyak dijumpai sempadan pantai yang tidak memiliki jalur hijau (green belt) mangrove sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yaitu 130 x rata-rata tinggi air pasang purnama (tidal range). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ketentuan ini sering terabaikan hampir di seluruh hutan mangrove yang ada. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh keberadaan ekosistem mangrove terhadap produksi perikanan tambak dan kualitas lingkungan. Pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, tetapi hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Direktorat Bina Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) telah menggambarkan hubungan hasil ikan tangkapan (Y) dan luas hutan mangrove (X) sebagai Y = 0,06 + 0,15X. Sementara itu, Sukresno dan Anwar (1999) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan penurunan salinitas tanah seiring jauhnya jarak dari garis pantai, yaitu dari 50 mhs di garis pantai, 2 10 mhs pada jarak 0,1 km, hingga <0,2 mhs pada jarak >1 km (kecuali pada wilayah yang mangrovenya rusak dapat mencapai >2 mhs pada jarak >1 km). Demikian pula, kondisi air sumur pada jarak 1 km masih tergolong baik untuk wilayah dengan kondisi mangrove yang masih tergolong baik, sedangkan pada wilayah dengan mangrove yang tipis sudah terintrusi pada jarak 1 km. Jumlah per liter phytoplankton dan zooplankton sebagai sumber pakan ikan juga cenderung meningkat dengan semakin luas dan bertambahnya usia tanaman mangrove (Marsono et al., 1995; Anwar dan Sumarna, 1987). Selain itu, hasil penelitian Gunawan et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan logam berat berbahaya seperti Merkuri (Hg) pada tanah di tambak terbuka sebanyak 16 kali jika dibandingkan pada tanah hutan mangrove, dan sebanyak 14 kali dibandingkan dengan tambak yang bermangrove. Kandungan Hg di dalam tubuh ikan/udang pada tambak tanpa mangrove juga cenderung lebih tinggi daripada tambak yang bermangrove (Gunawan dan Anwar, 2008). Upaya untuk merehabilitasi wilayah pantai (hutan pantai) memang telah diujicobakan. Salah satu upaya ini adalah Program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan 4 S i n te si s R P I

27 Lahan (GNRHL) tahun 2007 yang dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dapat menghijaukan kawasan Pantai Petanahan seluas 360 ha dengan tanaman cemara udang. Rehabilitasi tersebut dilakukan melalui teknologi block press; yakni memasukkan bibit cemara ke dalam tanah liat yang sudah dicampur dengan pupuk organik yang dipress, kemudian ditanam di tanah berpasir [teknologi ini memungkinkan tanaman masih dapat tumbuh di pasir pantai yang panasnya mencapai 70 o C]. Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai juga dilakukan dengan penanaman jenis mangrove dan sudah dimulai sejak tahun 90-an. Berdasarkan data, penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan tahun baru terealisasi seluas ha (Departemen Kehutanan, 2004), kemudian tahun telah mencapai ha (Departemen Kehutanan 2008) tetapi tingkat keberhasilannya masih sangat rendah. Kekurangberhasilan rehabilitasi mangrove tersebut antara lain akibat keterlibatan masyarakat masih minim. Bahkan, terdapatnya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mangrove pernah dilaporkan akibat perbedaan kepentingan. Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau hutan mangrove dan hutan pantai dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai maka sangat diperlukan upayaupaya untuk melindungi dan melestarikannya. Oleh sebab itu, suatu sistem pengelolaan yang memerhatikan prinsip kesinambungan fungsi, terpeliharanya jaringan kehidupan, tumbuhnya kesadaran dan kesamaan persepsi berbagai pihak terhadap arti penting keberadaan ekosistem mangrove dan pantai perlu dikaji dan diterapkan. Berdasarkan hal-hal tersebut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser), Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) kehutanan berkewajiban memberikan solusi dan rekomendasi ilmiah dalam upaya merehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai melalui rangkaian kegian penelitian yang dilakukannya. Program litbang terkait yang diselenggarakan oleh Puskonser adalah Program Pengelolaan Hutan Alam dengan salah satu Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang membahas topik Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai. RPI ini bertujuan untuk memperoleh teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Rangkaian hasil penelitian dan Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 5

28 kajian selama tahun ini selanjutnya dibuat sintesis agar dapat memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan dalam implementasi pemulihan ekosistem mangrove, serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Beberapa hasil penelitian pendukung lainnya juga disertakan terkait teknik rehabilitasi hutan mangrove; antara lain teknik persemaian dan penanaman mangrove, kajian silvofishery, dan kelembagaan rehabilitasi hutan mangrove. 1.2 Rumusan Masalah Pesatnya laju degradasi ekosistem mangrove dan pantai di Indonesia saat ini dan berkembangnya pemanfaatan sumber daya alam tersebut memerlukan upaya peningkatan pengelolaan ekosistem mangrove lebih serius. Informasi ilmiah dan teknologi yang dapat diimplementasikan dalam upaya konservasi dan rehabilitasi yang lebih detil dan komprehensif, serta penerapan kebijakan pengelolan ekosistem mangrove yang dapat meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelaksanaannya perlu disusun lebih lanjut. Pada bahasan sintesis ini, terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dan disiapkan dalam menyusun petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni a) informasi ilmiah terkait karakteristik dan proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, b) teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya, dan c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Pengalaman dalam upaya rehabilitasi mangrove selama ini menunjukkan masih rendahnya persentase keberhasilan rehabilitasi, terutama pada tapak-tapak khusus yang membutuhkan penyempurnaan teknik penanamannya. Keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi sangat minim mengingat belum meratanya pengetahuan mereka terhadap fungsi dan manfaat ekosistem mangrove dan pantai bagi lingkungan, serta peningkatan kehidupannya. Masyarakat juga belum memahami dan mendapatkan kejelasan hak dalam penggunaan atau pemanfaatan lahan bagi kegiatan penggarapan di dalam ekosistem mangrove yang dikaitkan dengan rehabilitasi dan pengelolaannya. Pada banyak kasus, tanah timbul (sedimentasi) di sekitar wilayah mangrove acapkali menimbulkan permasalahan 6 S i n te si s R P I

29 sosial dan hukum yang di kemudian hari berpotensi menjadi sumber konflik penguasaan dan pengelolaan lahan. Hal ini tentunya menjadi aspek penting dalam penetapan kebijakan konservasi wilayah pantai dan pesisir, termasuk daerah delta dan muara sungai. Selain itu; aspek bioekologi, produksi, jasa lingkungan, dan sosial-ekonomi, dan kelembagaan merupakan beberapa faktor yang saling terkait satu dengan lainnya terhadap keberadaan, kualitas dan kuantitas, serta keberlangsungan fungsi ekosistem mangrove dan pantai bagi kehidupan. 1.3 Tujuan dan Sasaran Penyusunan Sintesis RPI ini bertujuan untuk menyediakan informasi, teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Sementara itu, sasaran sintesis RPI adalah: a) Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai; b) Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai; c) Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. 1.4 Sistematika Sintesis RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Puskonser dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan selama tahun Dalam sintesis RPI ini, penyesuaian dan penyempurnaan hierarki substantif telah dilakukan dengan mengacu pada rencana dan pelaksanaan kegiatan penelitian, serta hasil yang telah dicapai sehingga memudahkan proses penyusunan sintesis dan pencapaian tujuan dan sasaran yang diharapkan. Berdasarkan hal-hal tersebut, sintesis RPI ini disusun dengan sistematika sebagai berikut. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 7

30 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan dan Sasaran 1.4 Sistematika II. METODOLOGI 2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup 2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana 2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian III. SINTESIS HASIL PENELITIAN 3.1 Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan Kondisi Biofisik Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Peran Ekosistem Mangrove dalam Penjerapan Polutan Perairan Peran Ekosistem Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut 3.2 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus 3.3 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai 3.4 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai 3.5 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan 4.2 Rekomendasi 8 S i n te si s R P I

31 II. METODOLOGI 2.1 Pendekatan dan Ruang Lingkup Penyusunan sintesis RPI dilakukan melalui pendekatan berdasarkan tujuan, sasaran dan luaran RPI sesuai rencana dan kegiatan penelitian yang telah dilakukan [penelitian atau kajian sebagai kegiatan untuk mencapai luaran]. Bentuk kegiatan mencakup kajian, valuasi dan ujicoba yang berkaitan dengan ekosistem mangrove dan pantai. Selanjutnya, rencana yang telah disusun dan hasil kegiatan penelitian yang telah dicapai dilakukan evaluasi, telaah dan sintesis dalam bentuk satu kesatuan hierarki substantif sehingga terdapat keterkaitan antara tujuan, sasaran, dan luaran RPI (Gambar dan Gambar 2.1.2). Dengan demikian, sistematika usulan RPI [dalam hal ini urutan sasaran, luaran dan kegiatan] telah mengalami penyempurnaan di dalam sintesis ini. Gambar Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan evaluasi, telaah dan sintesis terhadap rencana dan hasil Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 9

32 Gambar Alur pikir penyusunan sintesis RPI berdasarkan keterkaitan antara sasaran dan luaran, serta hasil kegiatan yang telah dilaksanakan Selain itu, penyusunan sintesis ini juga menggunakan pendekatan berdasarkan aspek substantif bio-ekologi, nilai penting dan manfaatnya; serta berdasarkan karakteristik dan tipologi kawasan (tapak umum dan tapak khusus). Namun demikian, pendekatan berdasarkan tipologi kawasan pada sintesis ini akan lebih banyak membahas ekosistem mangrove. Sebaliknya, pembahasan ekosistem hutan pantai hanya bersifat melengkapi, mengingat selama tahun , kegiatan penelitian yang dilakukan lebih banyak terhadap ekosistem mangrove. Ruang lingkup sintesis RPI yang mengacu pada kedua pendekatan tersebut meliputi informasi peran mangrove dan ekosistem pantai (kondisi biodiversitas dan mikroorganime yang terdapat pada ekosistem mangrove, jenis mangrove dan peran penjerapan polutan, serta peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut); teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus (jenis dan tahapan penanaman mangrove pada delta terdegradasi, areal terabrasi dan/atau pulau-pulau kecil); potensi dan nilai manfaat mangrove dan 10 Sintesis RPI

33 ekosistem pantai (potensi sumber pangan dan jasa lingkungan, serta distribusi dan perubahan tutupannya); manfaat sosial ekonomi konservasi mangrove dan ekosistem pantai (valuasi nilai ekonomi dan model kemitraan pemanfaatan mangrove); dan model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai (bentuk dan sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove). 2.2 Komponen Penelitian dan Organisasi Pelaksana Bahan penyusunan sintesis RPI berasal dari kegiatan penelitian/kajian sebagaimana rencana yang telah disusun sebelumnya. Komponen penelitian dan organisasi pelaksana dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun terdapat pada Tabel Penelitian dikoordinasikan oleh seorang Koordinator, dibantu oleh Tim Pembantu Teknis Koordinator dan Tim Sekretariat yang semuanya berada pada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR/Puskonser) di Bogor. Sementara itu, beberapa Peneliti merupakan Pelaksana kegiatan penelitian, baik dari Puskonser maupun dari delapan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan (Balai Penelitian Kehutanan [BPK] Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Kupang, BPK Manado, BPK Makassar, BPK Manokwari, Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam [BPTK-SDA] Samboja, dan Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai [BPTK-PDAS] Solo). Tabel Komponen penelitian dan organisasi pelaksana RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai tahun Sasaran Luaran dan Kegiatan Institusi Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai. 4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknik penanaman pada delta terdegradasi Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. BPTK-SDA Samboja BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Manado, BPK Makassar Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 11

34 Sasaran Luaran dan Kegiatan Institusi Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai. Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.2 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. 4.4 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenisjenis mangrove Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. 4.5 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. P3KR P3KR BPTK-PDAS Solo BPK Makassar, BPK Manokwari P3KR P3KR, BPTK- SDA Samboja P3KR P3KR, BPK Makassar P3KR, BPK Kupang Keterangan: P3KR (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi/Puskonser); BPK (Balai Penelitian Kehutanan); BPTK-SDA (Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam); BPTK-PDAS (Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) 2.3 Waktu dan Lokasi Penelitian Periode waktu dan lokasi penelitian dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun terdapat pada Tabel dan Tabel S i n te si s R P I

35 Tabel Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun Luaran 4.1 Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus. 4.2 Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 4.3 Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan. 4.4 Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai. 4.5 Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Kegiatan Litbang Kode Kegiatan dan Institusi Tahun Kegiatan Teknik penanaman pada x x x x x delta terdegradasi Teknik penanaman pada x x x x x areal terabrasi dan x x x pulau-pulau kecil x x x x x x Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai x x x Kajian penjerapan x x polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove Kajian peran jenis-jenis x x x x mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Kajian keragaman satwa x x x - - dan mikro-organisme hutan mangrove dan x x x ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x Keterangan: Digit terakhir 1: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 7: Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli; 9: BPK Palembang; 12: Balai Penelitian Teknologi Konservasi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTK-PDAS) Solo; 14: BPK Kupang; 16: Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam (BPTK-SDA) Samboja; 17: BPK Manado; 18: BPK Makassar; dan 19: BPK Manokwari. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 13

36 Tabel Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun Kegiatan Litbang Lokasi Penelitian Teknik penanaman pada delta terdegradasi. Delta Mahakam (Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur) Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenisjenis mangrove Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Kajian keragaman satwa dan mikro-organisme hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. Pulau Weh (Aceh Besar, Aceh); Pulau Selayar (Selayar, Sulawesi Selatan); Pulau Talise dan Pulau Gangga (Minahasa Utara, Sulawesi Utara) Ciasem (Purwakarta, Jawa Barat); Cilacap (Jawa Tengah); TN Alas Purwo, (Banyuwangi, Jawa Timur); Sayung (Demak, Jawa Tengah); Suwung (Denpasar, Bali) Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah) TN Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara); TN Kepulauan Togean (Tojo Una-una, Sulawesi Tengah); Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); Pulau Numfor (Papua) TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur); Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); Kubu Raya (Kalimantan Barat); Tembilahan (Riau); Ciasem-Pamanukan (Purwakarta, Jawa Barat) Kubu Raya (Kalimantan Barat) Kubu Raya (Kalimantan Barat); Pantai Utara Jawa Barat; TWA Pananjung Pangandaran (Ciamis, Jawa Barat); Sukadana (Lampung Timur, Lampung) Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); Tanjung Batu- Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur); 14 S i n te si s R P I

37 III. SINTESIS HASIL PENELITIAN Penelitian dan kajian yang telah dilaksanakan dalam RPI Pengelolan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai selama tahun telah mendapatkan data dan informasi, serta bahan rekomendasi terkait teknologi pengelolaan mangrove dan kelembagaannya. Beberapa hasil penelitian dan kajian tersebut memberikan gambaran tentang informasi biologis mangrove, terutama pada tapak-tapak khusus yang mengalami tekanan dan gangguan, baik secara alami maupun akibat dari dampak aktivitas manusia. Namun demikian, hasil penelitian tidak dapat merangkum secara keseluruhan ekosistem mangrove dan hutan pantai di Indonesia karena terbatasnya sumber daya dalam penelitian dan kajian ini. Oleh sebab itu, sintesis ini hanya dilakukan terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan pada lokus atau areal yang dianggap dapat mewakili kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai di sebagian daerah di Indonesia. 3.1 Informasi Biofisik dan Peran Mangrove dan Ekosistem Pantai dalam Pemeliharaan Kualitas Lingkungan Kondisi Biofisik Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Penelitian atau kajian terkait biofisik (biodiversitas dan lingkungan) dilaksanakan pada kawasan hutan mangrove dan pantai di TN Rawa Aopa Watumohai, TN Kepulauan Togean, Tanjung Batu-Pulau Derawan (Berau, Kalimantan Timur) dan Pulau Numfor (Papua). Mengingat mangrove merupakan suatu ekosistem dan sintesis ini ingin memberikan gambaran potensi dan peran mangrove; bahasan dilakukan terhadap jenis flora (terutama jenis mangrove), fauna, mikroorganisme dan komponen biofisik lainnya (air dan substrat). Selain itu, bahasan sintesis pada bagian ini akan diulas berdasarkan komponen biodiversitas dan lingkungannya, serta lokus kegiatan pada kawasan hutan mangrove dan hutan pantai sebagaimana hasil kegiatan dalam RPI. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 15

38 Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di TN Rawa Aopa Watumohai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TN RAW) adalah salah satu taman nasional tertua di Indonesia. Kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 1990 berdasarkan SK Menhut No. 756/Kpts-II/1990 dengan luas ha. Secara administrasi, kawasan ini terletak pada empat kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara (Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Bombana). Secara geografis terletak antara Bujur Timur dan Lintang Selatan. Ekosistem mangrove TN RAW terdapat di sepanjang Pantai Lanowulu hingga Langkowala bagian selatan kawasan TN RAW dengan luasan ±6000 ha. Panjangnya sekitar 24 km mulai dari Sungai Roraya hingga Sungai Langkowala, dengan ketebalan mencapai 2 7 km dari garis pantai hingga batas tepi mangrove daratan. Mangrove di kawasan TN RAW memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Jenis vegetasi mangrove yang ada dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu mangrove mayor (Rhizophora, Bruguiera, Soneratia, Nypa dan lain-lain), mangrove minor (Xylocarpus sp, Aegiceras sp dan lain-lain), asosiasi mangrove (Hibiscus sp, Pandanus sp dan lain-lain). a. Analisis Kualitas Air Eksosistem mangrove mempunyai berbagai macam manfaat. Salah satu manfaatnya adalah perananya dalam meningkatkan kualitas air. Air laut merupakan habitat bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainya. Dengan semakin meningkat kualitas air laut maka produktifitas ikan, udang dan biota laut lainya aka semakin meningkat. Untuk mengetahui kesehatan air di habitat mangrove sebagai acuan digunakan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan. Analisis terhadap sifat fisik dan kimia air laut perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas air laut di lokasi penelitian. Beberapa sifat fisik air laut yang diteliti diantaranya adalah temperatur/suhu, salinitas, kekeruhan dan TSS (Total Suspended Solids). Temperatur air laut berkisar antara -2 C sampai 30 C. Temperatur yang rendah terdapat pada laut-laut di sekitar kutub dan pada dasar laut dalam. Sedangkan temperatur air laut yang tinggi terdapat pada laut-laut daerah arid. Pada 16 S i n te si s R P I

39 kedalaman sekitar 1 meter, temperatur air laut cenderung lebih tinggi dari pada temperatur pada permukaan air laut, hal ini disebabkan karena beberapa sebab antara lain di bagian permukaan terjadi pemancaran panas kembali ke atmosfer, terjadi konveksi dengan udara bila udara tersebut merupakan massa dingin dan adanya proses pengupan di permukaan yang memerlukan panas. Secara umum, temperatur rata-rata air laut di lokasi penelitian secara alami berkisar antara 26 C sampai 31 C. Suhu rata-rata air laut secara umum yang terbaik berkisar antara 26 C sampai 30 C. Suhu air pada kisaran ini sangat baik dalam menunjang proses dekomposisi yang akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Perkins (1974) menyatakan bahwa kisaran suhu yang dianggap layak bagi kehidupan organisme akuatik bahari adalah 25 C sampai 32 C. Fluktuasi temperatur banyak dipengaruhi oleh absorbsi sinar matahari, kecepatan arus, kedalaman air dan kemiringan tempat. Perubahan suhu akan mempengaruhi distribusi, metabolisme, nafsu makan, reproduksi biota laut serta berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesis fitoplankton dan tanaman air. Kekeruhan air menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organic maupun anorganik yang berupa plankton atau mikroorganisme lain (Ansori, 2008). Untuk mengetahui tingkat kekeruhan diukur dengan menggunakan Nephelometric. Satuan kekeruhan adalah NTU (Nephelometrikc Turbidity Unit). Nilai ambang batas untuk kekeruhan air laut adalah 30 NTU, sedangkan tingkat kekeruhan air yang paling baik adalah 5 NTU. Nilai kekeruhan air di lokasi penelitian berkisar antara 2 sampai 25 NTU, sedangkan nilai rata-ratanya adalah 8,27 NTU. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas air pada ekosistem mangrove secara keseluruhan berada di bawah ambang batas. Salinitas merupakan bilangan yang menunjukkan berapa gram garamgaraman yang larut dalam air laut tiap-tiap kilogram (gr/kg) biasanya dinyatakan dalam persen (%) atau per mil ( / ). Seluruh barang padat yang larut dalam air laut disebut garam-garaman. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya salinitas air laut, yaitu: Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 17

40 1. Penguapan; penguapan semakin besar maka salinitas semakin tinggi, sebaliknya semakin kecil penguapan maka salinitasnya semakin rendah. 2. Curah hujan; curah hujan semakin besar maka salinitas semakin rendah, kebalikannya semakin kecil curah hujan maka salinitasnya semakin tinggi. 3. Air sungai; semakin besar suplai air sungai yang bermuara ke laut, maka salinitas air laut semakin rendah. 4. Letak dan ukuran laut; laut-laut yang tidak berhubungan dengan laut lepas dan terdapat di daerah arid maka salinitasnya tinggi. 5. Arus laut; laut-laut yang dipengaruhi oleh arus panas maka salinitasnya akan lebih tinggi dari pada laut-laut yang dipengaruhi oleh arus dingin. 6. Angin dan kelembaban udara; angin dan kelelembaban udara berhubungan dengan penguapan dan penguapan berhubungan dengan besar kecilnya salinitas. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, besaran salinitas berkisar antara 5 /. sampai dengan 30 / dengan rata-rata keseluruhan 16,21 /. Nilai salinitas yang rendah diambil pada titik terjauh dari pasang surut, sedangkan nilai salinitas yang tinggi diambil pada titik terdepan yang berbatasan langsung dengan laut. Tidak ada aturan baku tentang nilai ambang batas salinitas, nilai salinitas berfluktuatif secara alami. Total Padatan Tersuspensi atau yang dikenal dengan Total Suspended Solid (TSS) adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Kadar zat tersuspensi erat sekali hubungannya dengan kekeruhan karena kekeruhan pada air disebabkan adanya zat-zat tersuspensi yang ada dalam air tersebut. Zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat, misalnya pasir halus, liat dan lumpur alami yang merupakan bahan-bahan anorganik atau dapat pula berupa bahan-bahan organik yang melayang-layang dalam air. Bahan-bahan organik yang merupakan zat tersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, 18 S i n te si s R P I

41 lemak, protein yang melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian, pertambangan atau kegiatan rumah tangga. Kekeruhan memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun karena zat-zat tersuspensi yang ada dalam air terdiri dari berbagai macam zat yang bentuk dan berat jenisnya berbeda-beda maka kekeruhan tidak selalu sebanding dengan kadar zat tersuspensi. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan besaran TSS berkisar antara 5 ppm sampai dengan 39 ppm dengan rata-rata keseluruhan 13,7 ppm. Nilai ambang batas TSS berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan adalah 80 ppm, dengan demikian secara umum dari keseluruhan lokasi mempunyai TSS yang jauh dari ambang batas. Beberapa sifat kimia air laut yang diamati pada penelitian ini adalah derajat keasaman (ph), Amoniak (NH 3 ), Nitrat (NO 3 ), Nitrit (NO 2 ), Dissolved Oxigen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Carbon Dioxide (CO 2 ) dan Chemical Oxygen Demand (COD). Derajat keasaman (ph) merupakan ukuran dari konsentrasi ion hidrogen positif yang menunjukkan suasana air (Hariadi, 1992 dalam Kembarawati dan Lilia, 2008). Secara umum nilai ph menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai ph=7 adalah netral, ph<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan ph>7 dikatakan kondisi perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Nilai ph sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jka ph rendah. Pada perairan dengan tingkat ph yang tinggi dapat menyebabkan amonium yang tidak bersifat toksik dapat tidak terionisasi dan berubah bersifat toksik. Amonia yang tak terionisasi ini akan mudah terserap dalam tubuh organisme aquatik. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan kertas lakmus besaran Nilai ph air berkisar antara 7 sampai dengan 8 dengan rata-rata nilai pengukuran pada semua lokasi sebesar 7,3. Hasil pengukuran ph air di laboratorium berkisar antara 7,24 sampai dengan 8,30 dengan rata-rata secara keseluruhan lokasi 7,96. Dalam kriteria penilaian termasuk dalam kelas netral sampai dengan agak alkalis. Tingkat keasaman yang bersifat alkalis ini sangat Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 19

42 mendukung untuk proses dekomposisi pada suatu perairan. Nilai ambang batas ph yang baik untuk kehidupan organisme laut berkisar antara 6,5 8,5. Jadi kondisi ph di lapangan masih relatif bagus bagi perkembangan organisme laut. Amonia adalah gas berbau tajam yang tidak berwarna dengan titik didih - 35 C. Amonia merupakan senyawa nitrogen yang menjadi NH + 4 pada ph rendah dan disebut dengan amonium. Amonia yang terdapat dalam air permukaan berasal dari oksidasi zat organis secara mikrobiologi dan dapat pula berasal dari air seni dan kotoran. Kadar amonia dinyatakan dalam mg/l. Kadar amonia yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran. Konsentrasi amonia yang tinggi pada perairan dapat menyebabkan kematian pada ikan. Pengaruh ph terhadap toksisitas amonia sangat besar, pada kondisi ph rendah akan bersifat racun bila jumlah amonia banyak, sedangkan pada ph tinggi, hanya dengan jumlah amonia yang rendah pun sudah akan bersifat racun. Kadar Amoniak (NH 3 ) di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0,01 ppm, masih berada dibawah ambang batas normal yaitu kurang dari sama dengan 1 ppm. Analisis kandungan amoniak penting dilakukan karena merupakan parameter kunci layak tidaknya perairan untuk kehidupan biota laut. Nitrit (NO 2 ) merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi dengan bilangan oksidasi +3 (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Nitrit merupaka salah satu parameter kunci dalam penentuan kualitas air. Nitrit biasanya merupakan bentuk transisi antara amoniak dan nitrat dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil yakni nitrat. Nitrit banyak dijumpai pada instalasi pengolahan air limbah, air sungai dan drainase. Nitrit juga bersifat racun karena dapat bereaksi dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen, disamping itu nitrit juga membentuk nitrosamin (RRN-NO) pada air buangan tertentu dan dapat menimbulkan kanker (Alaert dan Santika, 1984). Nitrat (NO3-) merupakan bentuk nitrogen yang stabil. Nitrat merupakan salah satu unsur penting untuk sintesis protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, namun pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan eutofikasi dan merangsang pertumbuhan ganggang secara tidak terbatas (blooming) bersama-sama dengan zat hara lainnya seperti fosfat, sehingga perairan dapat kekurangan oksigen dan menyebabkan kematian pada ikan (Edward dan Abd. Wahab Rajab, 2000). Kandungan Nitrat (NO 3 ) di semua lokasi penelitian yang terbesar 0,05 ppm dan kandungan Nitrit (NO 2 ) di semua lokasi penelitian yang 20 S i n te si s R P I

43 terbesar 0,087 ppm. Berdasarkan standar baku mutu seharusnya yang paling ideal kandungan Nitrit (NO 2 ) untuk kehidupan biota air adalah nihil. Menurut Kembarawati dan Lilia (2008), kadar nitrat yang baik untuk perairan berkisar antara 2 5 ppm dan maksimum 10 ppm. Pada kondisi tersebut sangat baik untuk mendukung pertumbuhan plankton di perairan. Disolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesis dan absorbs atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah oksigen terlarut maka kualitas air semaik baik. Satuan DO biasanya dinyatakan dalam mg/l (ppm). Hasil pengukuran DO air di laboratorium rata-rata 4,4 ppm. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang pedoman baku mutu lingkungan ambang batas minimal untuk DO adalah lebih dari sama dengan 4 ppm dan yang paling ideal adalah 6 ppm, sehingga kondisi perairan mangrove masih dibawah ambang batas. Adanya oksigen bebas dalam air sangat diperlukan oleh biota air dalam menunjang kehidupannya. Misalnya pada ikan dapat hidup dengan normal dengan kandungan oksigen bebas lebih besar dari 3 ppm. Biochemical Oksigen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencerna) yang terdapat di dalam air secara biologi. Hasil pengukuran BOD menunjukkan nilai BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,6 ppm. Dalam klasifikasi derajat pencemaran semua lokasi penelitian termasuk dalam golongan tidak tercemar (BOD<3). Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO 2 yang terlarut di dalam air. CO 2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi organisme akuatik. Tingginya kandungan CO 2 pada perairan dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO 2 bebas 12 mg/l dapat menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan pertukaran gas. Kandungan CO 2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l, sedangkan konsentrasi CO 2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua organisme akuatik mengalami kematian. Hasil pengukuran karbon dioksida (CO 2 ) Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 21

44 di laboratorium rata-rata sebesar 3,92 ppm. Pada kondisi tersebut ikan dan biota laut lainnya dapat hidup dengan normal. Chemical Oxygen Demand (COD) menyatakan besarnya kandungan oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia di perairan. Hasil pengukuran COD air di laboratorium rata-rata 39,97 ppm. Berdasarkan standar baku mutu kualitas air untuk perikanan, nilai COD maksimal yang diperbolehkan adalah 40 ppm, sedangkan ilai COD yang diinginkan adalah 40 ppm. Nilai COD akan meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai bahan organik di perairan. Tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk respirasi. Menurut Lee (1978), klasifikasi derajat pencemaran perairan ditentukan oleh parameter indeks diversitas, DO, BOD, SS dan NH 3. Daftar klasifikasi derajat pencemaran ditunjukkan pada Tabel Tabel Daftar klasifikasi derajat pencemaran No Derajat Pencemaran DO (ppm) BOD (ppm) TSS (ppm) NH 3 (ppm) Indeks Diversitas 1 Tidak >6,5 <3,0 <20 <0,5 >2,0 2 Ringan 4,5-6,5 3,0-4, ,5-0,9 2,0-1,6 3 Sedang 2,0-4,4 5, ,0-3,0 1,5-1,0 4 Berat <2,0 >15 >100 >3,0 <1,0 Merujuk pada klasifikasi tersebut, hasil pengukuran DO air di laboratorium menunjukkan nilai rata-rata sebesar 4,4 ppm dan termasuk dalam kelas tercemar ringan. Berdasarkan besarnya nilai BOD, hasil pengukuran BOD menunjukkan nilai BOD rata-rata di lokasi penelitian adalah 2,7 ppm termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai TSS, hasil pengukuran TSS rata-rata 13,7 ppm termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Berdasarkan besarnya nilai kadar Amoniak (NH 3 ) hasil pengukuran di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0.01 ppm, termasuk dalam klasifikasi tidak tercemar. Tabel di bawah ini adalah hasil pengukuran parameter fisik dan kimia air di lokasi penelitian. 22 S i n te si s R P I

45 Tabel Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai No Parameter Satuan Hasil Pengukuran I Fisik: 1 Salinitas ppt Kekeruhan NTU Total Suspended Solids (TSS) ppm 13.7 II Kimia: 1 ph Amoniak (NH 3 ) ppm Nitrat (NO 3 ) ppm Nitrit (NO 2 ) ppm Dissolved Oxigen (DO) ppm Biochemical Oxygen Demand (BOD) ppm Carbon Dioxide (CO 2 ) ppm Chemical Oxygen Demand (COD) ppm b. Analisis Substrat Tanah Tanaman membutuhkan makanan untuk hidup, makanan untuk tanaman disebut unsur hara. Dalam hidupnya, tanaman paling sedikit membutuhkan 16 macam unsur, 3 unsur (oksigen, hidrogen dan karbondioksida) diperoleh dari udara (gratis, tanpa perlu mengusahakanya), sementara 13 lainya diserap tanamam melalui tanah. Ke-13 unsur ini dibagi menjadi 2, yaitu: unsur hara makro (dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak), dan unsur hara mikro (dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit). Unsur hara makro meliputi Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S), sementara unsure hara mikro meliputi Besi (Fe), Mangan (Mn), Boron (B), Molibdenum (Mo), Tembaga (Cu), Seng (Zn) dan Klor (Cl). Pembahasan terhadap analisis fisik dan kimia tanah penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah. Hal ini dilakukan untuk mengetahu perlakuan yang akan diambil untuk memperbaiki kulaitas tanah agar dapat bermanfaat secara optimal. Pada parameter ph tanah menunjukkan bahwa nilai ph tanahnya masuk dalam kategori masam dengan nilai antara 4,5 sampai 5,5. Nilai ph yang masam pada umumnya disebabkan karena adanya seresah dari vegetasi mangrove yang merupakan sumber bahan organik yang akan dirombak oleh mikroorganisme tanah. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 23

46 Perombakan bahan organik ini akan menghasilkan asam-asam organik yang akan menurunkan ph tanah. Tingkat ph yang paling optimal adalah netral dengan nilai 6.6 sampai 7,5. Pada kondisi ph netral mudah bagi tanaman untuk menyerap unsur hara. Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. (Stevenson, 1964). Fungsi bahan organik di dalam tanah sangat banyak, baik terhadap sifat fisik, kimia maupun biologi tanah, antara lain : berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap ketersediaan hara. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N 2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N 2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Fungsi lain dari bahan organik adalah membentuk agregat tanah yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah. Mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah. Mensuplai energi bagi organisme tanah. Meningkatkan organisme saprofit dan menekan organisme parasit bagi tanaman. Bahan organik tanah biasanya terdiri atas unsur C dan N. Hasil analisis terhadap kandungan unsur C di lokasi penelitian sebesar 5,36% (sangat tinggi) dan unsur N sebesar 0,14% (rendah). Kadar N diperoleh dari pengikatan N bebas dari udara oleh mikroorganisme dan air hujan serta bahan organik dari sisa-sisa bahan organik. Unsur N banyak dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya. Unsur N berguna untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan protein. Unsur N bisa lebih ditingkatkan dengan penambahan bahan organik tanah. Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada lokasi penelitian berada pada harkat tinggi yaitu cmol (+) kg -1. Nilai KTK akan semakin meningkat seiring 24 S i n te si s R P I

47 dengan meningkatnya bahan organik tanah. Keberadaan vegetasi mangrove banyak memberikan bahan organik melului proses dekomposisi seresah. Nilai KTK tanah yang tinggi menunjukkan tingginya kemampuan tanah untuk menjerap dan menyediakan unsur hara bagi tanaman. Dari hasil analisis terhadap substrat tanah yang diambil dari dasar perairan menunjukkan bahwa pada parameter kimia kandungan unsur Phospor (P), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Kalium (K) termasuk dalam harkat sangat rendah. Unsur Phospor merupakan salah satu unsur hara esensial dan berperan sangat penting dalam transver energi sebagai bagian dari adenosin tripospat, penyusunan beberapa protein, koenzim, asam nukleat, dan substrat metabolisme. Unsur Phospor tersedia dalam tanah bisa berasal dari bahan organik, pemupukan maupun dari mineral dalam tanah. Unsur Phospor tersedia banyak dibutuhkan tanaman untuk pembentukan bunga, buah, biji, perkembangan akar dan untuk memperkuat batang agar tidak mudah roboh. Unsur kalsium berfungsi untuk menyusun klorofil, kalsium juga dibutuhkan enzim untuk metabolis karbohidrat, serta mempergiat sel meristem. Tanda kekurangan Kalsium adalah terjadinya disintegrasi padau jung-ujung tanaman (ujung batang, akar, dan buah) sehingga ujungnya menjadi mengering atau mati, tunas daun yang masih muda akan tumbuh abnormal. Unsur Magnesium berfungsi untuk transportasi fosfat, mengaktifkan enzim tansposporilase, menciptakan warna hijau pada daun, membentuk karbohidrat, lemak/minyak. Tanda-tanda kekurangan magnesium yaitu menguningnya daun yang dimulai dariujung da bagian bawah daun. Unsur Kalium merupakan salah satu unsur hara esensial dan berperan sangat penting dalam pengaturan mekanisme fotosintesis, translokasi karbohidrat dan sintesa protein. Ketersediaan unsur K dalam tanah bisa diperoleh dari mineral-mineral primer dalam tanah. Unsur K hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air. Pada pengamatan terhadap tekstur tanah menunjukkan bahwa kondisi tekstur tanah di lokasi penelitian didominasi oleh partikel pasir tetapi persentase perbandingannya tidak terlalu besar. Secara umum kelas tekstur tanah di lokasi penelitian termasuk dalam kelas lempung (loam). Keberadaan vegetasi mangrove sedikit banyak berpengaruh terhadap pembentukan klas tekstur tanah. Pada daerah dengan tingkat ketebalan mangrove yang tinggi cenderung mempunyai klas tekstur Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 25

48 berlempung, hal ini kemungkinan disebabkan adanya dekomposisi seresah yang ikut menentukan klas teksurnya dan juga karena pengikatan (penjerapan) partikel oleh akar vegetasi mangrove sehingga lama-kelamaan partikel tersebut akan mengendap dan membentuk lumpur. Hasil anaslisi sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai disajikan pada Tabel Tabel Sifat fisika dan kimia tanah di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai No Parameter Satuan Hasil Pengukuran Harkat A Kimia: 1 ph H Masam 2 ph KCl 4.47 Masam 3 C Organik % 5.36 Sangat Tinggi 4 N Total % 0.14 Rendah 5 C/N Ratio Sangat Tinggi 6 P tersedia Ppm 0.02 Sangat Rendah 7 KTK (cmol (+)kg Tinggi 8 Ca (cmol (+)kg Sangat Rendah 9 Mg (cmol (+)kg Sangat Rendah 10 K (cmol (+)kg Sangat Rendah B Tekstur: 1 Liat % Debu % Pasir % Klas Tekstur Loam (lempung) Keterangan: Sampel dianalisis di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin c. Analisis Vegetasi Mangrove Analisa vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Kehadiran vegetasi pada suatu lanskap akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem dalam skala yang lebih luas. Secara umum peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah, pengaturan tata air dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi pada suatu wilayah memberikan dampak positif, tetapi pengaruhnya bervariasi tergantung pada struktur dan komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah itu. 26 S i n te si s R P I

49 Komposisi vegetasi pada suatu tipe hutan sangat penting diketahui. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di hutan mangrove merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Hutan mangrove merupakan laboratorium hidup yang menyimpan berbagai rahasia alam yang masih perlu dipelajari. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan hutan hutan mangrove TN RAW sangat perlu dilakukan demi pemenuhan kebutuhan hidup di masa depan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan, semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas. Dari hasil pengolahan data analisis vegetasi hutan mangrove di TN RAW menunjukkan untuk tingkat semai tercatat sebanyak 9 jenis, pancang sebanyak 9 jenis, tiang sebanyak 9 jenis dan pohon sebanyak 10 jenis. Analisis vegetasi merupakan suatu gambaran tentang keadaan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang didalamnya akan dipelajari mengenai komposisi jenis dan struktur masyarakat tumbuh-tumbuhan yang menyusun suatu formasi hutan (Syafiuddin, 1990). Analisis vegetasi secara kuantitatif dapat ditinjau dari beberapa parameter sebagai data dasar seperti kerapatan dan kerapatan relatif, frekuensi dan frekuensi relatif, dominansi dan dominansi relatif dan Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks nilai penting (INP) merupakan penjumlahan kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif dari suatu jenis vegetasi yang dinyatakan dalam persen. Untuk tingkat tumbuhan bawah dan semai, nilai INP didapatkan dari hasil penjumlahan dominansi relatif dan frekuensi relatif. Dengan mengetahui besarnya nilai INP maka akan dapat diketahui besar kecilnya peranan suatu spesies dalam sebuah komunitas, semakin tinggi nilai INP suatu spesies maka semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam sebuah komunitas. Jenis-jenis dengan INP yang tinggi selanjutnya biasa disebut dengan jenis yang dominan. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 27

50 Nilai kerapatan setiap jenis pada tingkat pohon menunjukkan variasi yang berbeda-beda. Jumlah pohon dari 10 spesies yang ditemukan adalah 251 pohon. Nilai kerapatan tertinggi sebesar 42,629% adalah Ceriop tagal. Nilai kerapatan terendah yaitu 1,594% ditemukan pada jenis Bruguiera sexangula dan Sonneratia alba. Jenis lain yang mempunyai nilai kerapatan yang tinggi adalah Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan reproduks, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Nilai kerapatan suatu spesies menunjukkan jumlah individu spesies yang bersangkutan pada satuan luas tertentu, sehingga nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah spesies tersebut di lokasi penelitian. Nilai kerapatan belum dapat menggambarkan distribusi dan pola penyebarannya. Gambaran mengenai distribusi individu pada suatu jenis tertentu dapat dilihat dari nilai frekuensinya. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai frekuensi tertinggi ditemukan pada jenis Ceriop tagal sebesar 30,189% artinya dari total 26 plot yang diamati di lokasi penelitian sekitar 30% atau sebanyak 8 plot diantaranya terdapat jenis ini. Jenis Ceriop tagal merupakan jenis dengan nilai kerapatan dan frekuensi yang tinggi, ini artinya jenis ini merupakan jenis yang rapat dan tersebar luas pada hampir seluruh lokasi penelitian. Jenis lain yang mempunyai nilai frekuensi yang tinggi adalah jenis Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Menurut Greig-Smith (1983) nilai frekwensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Nilai distribusi hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot. Nilai dominasi masing-masing spesies juga berbeda. Nilai dominasi yang tertinggi adalah jenis Ceriop tagal dengan nilai dominasi 27,990%, sedangkan yang terendah adalah jenis Lumnitcera litoralis dengan nilai dominasi 0,906%. Jenis lain yang mempunyai nilai dominasi yang tinggi adalah Xylocarpus granatum, Rhizopora apiculata dan Rhizopora mucronata. Nilai dominasi masing-masing jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai domnasi ditentkan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. 28 S i n te si s R P I

51 Indeks Nilai Penting (INP) merupakan hasil penjumlahan nilai relatif ketiga parameter (kerapatan, frekuensi dan dominasi) yang telah diukur sebelumnya sehingga nilainya juga bervariasi. Hasil analisis data vegetasi menunjukkan nilai INP yang tinggi untuk tingkat semai secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (84,088%), Rhizopora apiculata (28,313%), Lumnitsera litoralis (24,863%), Rhizophora mucronata (12,295%) dan Xylocarpus granatum (12,295%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat pancang secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (142,058%), Xylocarpus molucensis (41,309%), Xylocarpus granatum (28,966%), Avicennia marinna (23,697%) dan Rhizopora stilosa (15,341%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat tiang secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (148,909%), Rhizophora mucronata (28,071%), Rhizopora apiculata (24,830%), Xylocarpus granatum (21,491%) dan Lumnitsera litoralis (20,130%). Nilai INP yang tinggi untuk tingkat pohon secara berturut-turut adalah Ceriop tagal (100,808%), Rhizopora apiculata (53,292%), Xylocarpus granatum (50,220%), Rhizophora mucronata (40,183%) dan Xylocarpus molucensis (12,804%). Tingkat keanekaragaman hayati menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore, 1990). Tabel berikut ini adalah gambaran umum secara kuantitatif hasil pengolahan data potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi di kawasan hutan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tabel Potensi dan keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN. Rawa Aopa Watumohai No Parameter Semai Pancang Tiang Pohon 1 Jumlah Individu Jumlah Jenis Indeks kekayaan jenis (d) 1,528 1,554 1,621 1,629 4 Indeks diversitas (H') 1,495 1,504 1,632 1,695 5 Indeks dominasi ( C ) 0,332 0,361 0,314 0,252 6 Indeks kemerataan (E) 0,681 0,685 0,743 0,736 Indeks kekayaan jenis merupakan salah satu metode pengukuran kekayaan spesies yang menggambarkan jumlah spesies dalam suatu komunitas. Dari hasil Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 29

52 analisis data kuantitatif diperoleh suatu gambaran bahwa di wilayah hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks kekayaan jenis tertinggi ditemukan pada tingkat pohon (1,629); selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat tiang dengan nilai indeks kekayaan jenis 1,621, tingkat pancang 1,554 dan terendah pada tingkat semai (1,528). Dengan data ini menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuan pohon variasi jenisnya tertinggi dibandingkan dengan tingkatan pertumbuhan yang lain. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran indeks kekayaan jenis kurang dari 3.5 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah. Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Pada pengukuran nilai indeks diversitas Shannon-Wiener (H ) di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks diversitas yang tertinggi ditemukan pada tingkat pohon (1,695), selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat tiang dengan nilai indeks keragaman jenis 1,632, tingkat pancang 1,504 dan terendah pada tingkat semai (1,495). Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu H <1 menunjukkan tingkat keanekaragaman yang rendah, H =1-3 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong sedang dan H >3 menunjukkan tingkat keanekaragamannya tergolong tinggi. Dari kriteria diatas menunjukkan bahwa di tingkat keanekaragaman vegetasi mangrove di kawasan hutan mangrove TN RAW pada semua tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang sedang. Indeks dominasi simpson (C) digunakan untuk mengetahui pemusatan dan penyebaran jenis-jenis dominan. Jika dominasi lebih terkonsentrasi pada satu jenis, nilai indeks dominasi akan meningkat dan sebaliknya jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai indeks dominasi akan rendah. Pada pengukuran nilai indeks dominasi di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks dominasi yang tertinggi ditemukan pada tingkat pancang sebesar 0,361 selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat semai dengan nilai indeks dominasi jenis 0,332, tingkat tiang 0,314 dan terendah pada tingkat pohon 0,252. Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan tingkat dominasi spesies tumbuhan yaitu semakin mendekat nol menunjukkan bahwa indeks semakin rendah 30 S i n te si s R P I

53 atau beberapa spesies tumbuhan mendominasi secara bersama-sama, sedangkan jika mendekati satu menunjukkan bahwa indeks dominasi semakin besar dan dominasi lebih terkonsentrasi pada satu spesies tumbuhan. Dari kriteria tersebut menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuhan pohon jenis yang mendominasi kawasan lebih dari satu spesies. Secara umum untuk semua tingkatan pertumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) mempunyai indeks dominasi kurang dari 0,5 sehingga dapat dikatakan secara keseluruhan indeks dominasinya tergolong rendah. Indeks kemerataan (E) menunjukkan sebaran masing-masing spesies dalam sebuah komunitas. Nilai indeks kemerataan akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu spesies tertentu, sebaliknya indeks kemerataan akan rendah jika terjadi pemusatan individu suatu spesies tertentu (Odum, 1993). Pada pengukuran nilai indeks kemerataan di kawasan hutan mangrove TN. RAW mempunyai nilai indeks kemerataan yang tertinggi ditemukan pada tingkat tiang sebesar 0,743 selanjutnya secara berturut-turut yaitu tingkat pohon dengan nilai indeks kemerataan jenis 0,736, tingkat pancang 0,685 dan terendah pada tingkat semai 0,681. Dari data yang ada menunjukkan bahwa pada tingkatan pertumbuhan tiang tidak terdapat pemusatan individu spesies tertentu pada suatu wilayah yang artinya keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah. Jenis tanaman dengan pola penyebaran yang cenderung mengelompok pada umumnya disebabkan karena pada umunya biji atau propagul dari setiap tumbuhan akan jatuh disekitar pohon induknya. Jenis yang tumbuh mengelompok pada umumnya agen dispersalnya berupa angin sehingga jika ukuran buah/bijinya relatif besar, tidak dapat menyebar dalam radius yang jauh. Jenis pohon yang pola distribusinya spasial reguler umumnya menyebar dengan bantuan hewan (zoochori) atau manusia (anthropochori), sehingga dapat menyebar dengan pola reguler. Ludwig dan Reynold (1988) menyatakan bahwa pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan karena beberapa faktor yang saling berinteraksi antara lain (1) faktor vektorial (intrinsik) yaitu faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air dan intensitas cahaya, (2) faktor kemampuan reproduksi organisme, (3) faktor sosial yang menyangkut fenologi tumbuhan, (4) faktor koaktif yang merupakan dampak interaksi intraspesifik dan (5) faktor stokastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor yang berpengaruh. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 31

54 d. Keanekaragaman Plankton dan Benthos Ekosistem mangrove mempunyai peranan dalam kelangsungan proses ekologis dan merupakan sistem penyangga kehidupan di wilayah pesisir. Ekosistem ini mampu mencegah intrusi air laut ke daratan, menahan angin dan ombak, sebagai wilayah pemijahan (nursery ground) bagi beberapa jenis biota laut, penyaring dan pengurai bahan-bahan organik dari daratan dan lain-lain. Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa sudut, misalnya komponen flora dan fauna, dinamika ekosistem (suksesi, perubahan struktur, regenerasi), aspek sosial ekonomi (pemanfaatan tradisional, tata guna lahan dan pemilikan) dan analisis jangka panjang yang berkaitan dengan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan berubahnya struktur komunitas, rantai makanan, diversitas dan produktifitas fauna. Odum (1994) menyatakan bahwa tingginya produksi fauna di perairan mangrove dan sekitarnya terutama bersumber dari serasah daun yang jatuh ke dalam air dan dimanfaatkan oleh pemakan detritus. Jalur trofik detritus ini cukup besar, sehingga peranan plankton sebagai produsen primer di kawasan mangrove kurang mendapat perhatian. Kelimpahan plankton dalam suatu perairan merupakan indikator sehat dan tidaknya perairan tersebut. Hal tersebut didasari karena Pythoplankton berperan sebagai produsen dalam rantai makanan yang berasimilasi (fotosintesis) menggunakan sinar matahari untuk menyintesiskan gula dan berbagai bahan organik lainnya. Khusus zooplankton umumnya tersusun dari makhluk hidup bersel satu, namun, ada pula makhluk hidup bersel banyak di dalam kelompok ini. Komunitas plankton hewani (zooplankton) secara aktif mencari makan berupa nutrisi yang dihasilkan oleh pythoplankton. Zooplankton akhirnya menjadi makanan bergizi bagi makhluk herbivora sebelum hewan laut itu dikonsumsi oleh konsumen kedua, dan begitulah seterusnya dalam rantai makanan. Maka dari itu, perputaran ekosistem laut secara eksplisit dipegang oleh plankton. Jika kelimpahan plankton dalam suatu peairan mencukupi maka keseimbangan kehidupan di laut dapat berjalan seimbang (Anonym, 2008). Benthos merupakan organisme, baik nabati (fitobenthos) maupun hewani (zoobenthos) yang tingggal di dalam dan/atau di atas sedimen di dasar suatu 32 S i n te si s R P I

55 perairan. Keberadaan benthos di perairan memiliki peranan yang sangat penting karena mmempunyai kemampuan dalam mendaur ulang bahan organik dan membantu proses mineralisasi, sehingga keberadaan benthos dalam suatu perairan dapat dijadikan indikator tingkat kesuburan perairan. Salah satu karakteristik dari dari benthos ini adalah sifat pergerakanya yang terbatas dan mempunyai siklus hidup yang panjang sehingga hewan ini dapat juga dijadikan indikator pencemaran perairan. Hasil identifikasi jenis plankton menunjukkan bahwa di lokasi penelitian dapat diidentifikasi 25 spesies plankton yang terdiri atas phytoplankton sebanyak 19 spesies dan zooplankton sebanyak 6 spesies. Nilai kelimpahan rata-rata sebesar 29,3 sel/ml. Jenis plankton yang terbanyak dijumpai yaitu Rhizosolenia stolterforthii dengan kelimpahan rata-rata 9,2 sel/ml dan jenis plankton yang paling sedikit dijumpai adalah Guinardia sp dengan tingkat kelimpahan 0,1 sel/ml. Sementara itu, hasil identifikasi jenis bentos menunjukkan bahwa di lokasi penelitian dapat diidentifikasi benthos sebanyak 11 famili dan 14 spesies dengan kelimpahan ratarata 7,7 individu/m 3. Jenis benthos yang terbanyak dijumpai yaitu Laganum sp dengan kelimpahan rata-rata 2,3 individu/m 3 dan jenis plankton yang paling sedikit dijumpai adalah Marcia hiantina, Perna viridis dan Atrina vexillum dengan tingkat kelimpahan 0,1 individu/m 3. Hasil perhitungan indeks kekayaan jenis (d) plankton sebesar 4,225 dan jenis (d) benthos sebesar 3,259. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran indeks kekayaan jenis berada antara 3,5 5 yang menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang. Hasil perhitungan indeks keragaman jenis (H ) plankton di lokasi penelitian sebesar 2,592 dan bhentos sebesar 2,332. Merujuk pada kriteria indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener yang menyatakan bahwa nilai indeks keragaman jenis (H )=1 3 menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong sedang. Merujuk standard derajat pencemaran perairan menurut Lee et al. (1978), kondisi perairan pada ekosistem mangrove di kawasan hutan mangrove TN RAW tergolong dalam kelompok tidak tercemar dengan indeks diversitas lebih dari dua. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 33

56 Hasil perhitungan terhadap nilai indeks dominasi jenis (D) menunjukkan bahwa nilai indeks dominasi jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,131 dan benthos sebesar 0,134. Semakin rendah nilai indeks dominasi menunjukkan bahwa ada beberapa spesies plankton yang mendominasi secara bersama-sama, sedangkan jika mendekati satu menunjukkan bahwa indeks dominasi semakin besar dan dominasi lebih terkonsentrasi pada satu spesies plankton/benthos. Dari kriteria tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa jenis plankton dan benthos yang mendominasi karena indeks dominasinya mendekati angka nol. Hasil perhitungan terhadap nilai indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan bahwa nilai indeks kemerataan jenis plankton di lokasi penelitian sebesar 0,805 dan benthos sebesar 0,883. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran E <0.3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E = menunjukkan kemerataan jenis tergolong sedang, dan E >0.6 menunjukkan kemerataaan jenis tergolong tinggi. Dengan demikian, indeks kemerataan jenis plankton dan benthos di lokasi penelitian dapat dinyatakan tergolong tinggi yang berarti tidak terdapat pemusatan individu spesies tertentu pada suatu wilayah, atau berarti pula keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah. e. Keanekaragaman Fauna Akuatik (Udang, Kepiting dan Ikan) Kepiting dan udang merupakan komoditas perikanan yang paling utama bagi nelayan di sekitar perairan mangrove TN Rawa Aopa Watumohai. Teknik penangkapan udang oleh masyarakat dengan menggunakan jala sedangkan untuk penangkapan kepiting dan atau rajungan menggunakan bubu, rakang dan makoti. Selama penelitian tidak banyak jenis yang tertangkap sehingga menghasilkan indeks keragaman yang relatif sedikit hampir di setiap lokasi. Bahkan di lokasi Mandumandula, Sungai Laeya dan rawa Bolo sedikit pun tidak ada kelompok Krustasea, baik udang maupun kepiting yang tertangkap sehingga keragaman menjadi 0. Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu komunitas. Nilai indeks diversitas Shannon- Wiener (H ) kelompok krustasea di kawasan hutan mangrove TN RAW termasuk rendah sampai sedang dengan nilai H sebesar 0 1,2. Nilai H tertinggi untuk 34 S i n te si s R P I

57 kelompok krustasea di TN RAW yaitu lokasi Tanjung Peropa dan Tanjung Lambuaja. Kedua lokasi tersebut memiliki H termasuk sedang. Nilai H ini dipengaruhi oleh jumlah jenis dan jumlah individu dimasing jenis yang ditemukan. Adanya dominasi satu atau beberapa jenis akan berakibat pada rendahnya nilai H pada suatu lokasi. Jumlah jenis terbanyak dijumpai di Tanjung Labuaja dan muara Sungai Tanjung Peropa, yaitu sebanyak 7 jenis. Selain karena sedikitnya jumlah jenis yang tertangkap, adanya dominansi jenis tertentu juga mempengaruhi rendahnya nilai indeks keragaman (Gambar 3.1.1). Adanya dominansi diindikasikan dengan rendahnya indeks perataan, yaitu terdapat jenis tertentu yang memiliki populasi jauh lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya (Gambar 3.1.2). Indeks Keragaman Kelompok Krustasea du Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 H' 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja Sungai Laeya Muara Labasi Muara Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Gambar Indeks Keragaman Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 35

58 Indeks Perataan Kelompok Krustasea di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 Indeks Perataan 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja Sungai Laeya Muara Labasi Muara Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Gambar Indeks Perataan Kelompok Krustase di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 Indeks kemerataan (E) menunjukkan sebaran masing-masing spesies dalam sebuah komunitas. Nilai indeks kemerataan akan tinggi jika tidak terjadi pemusatan individu pada suatu spesies tertentu, sebaliknya indeks kemerataan akan rendah jika terjadi pemusatan individu suatu spesies tertentu (Odum, 1993). Pada pengukuran nilai E di kawasan hutan mangrove TN RAW mempunyai nilai indeks kemerataan sebesar 0,29 1. Lokasi muara Uemata memiliki nilai E terendah yaitu 0,33. Rendahnya nilai ini dikarenakan terdapatnya satu jenis yaitu rajungan (Portunus palagicus) yang ditemukan dalam jumlah yang banyak. Hasil identifikasi jenis ikan menunjukkan bahwa lokasi penelitian dapat diidentifikasi 61 spesies. Terdapat beberapa spesies yang merupakan jenis-jenis ikan komoditi perdagangan seperti kakap, bolu, caria atau bette-bette. Keberadaan ekositem mangrove sangat penting bagi kehidupan ikan. Hal ini karena ekosistem mangrove menyediakan sumber makan dan tempat pemijahan (Nursery ground) bagi kehidupan ikan. Penelitian Setyawan (2010) menunjukan perairan di TN RAW belum tercemar sehingga keberadan plankton sebagai sumber pakan ikan relatif stabil. Hasil penelitian menujukkan keragaman jenis ikan di berbagai lokasi penelitian bervariasi antara 0,73 1,73 yang termasuk kedalam keragaman jenis rendah sampai sedang (Gambar 3.1.3). Nilai H terendah terdapat di lokasi muara 36 S i n te si s R P I

59 Tanjung Peropa karena dilokasi ini ditemukan jenis ka beto. Nilai H tertinggi di lokasi Bonggona dengan nilai H sebesar 1,73. Nilai H yang rendah sampai sedang di masing-masing lokasi ini dikarenakan hanya sedikit jenis ikan yang tertangkap pada saat penelitian seperti yang terjadi di Muara Uemata, yang terlihat memiliki indeks keragaman yang rendah dan indeks perataan yang tinggi. Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun ,5 H' 1 0,5 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja Sungai Laeya Muara Labasi Muara Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Gambar Indeks Keragaman Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun Selain kerena sedikitnya jumlah jenis tangkapan pada saat penelitian, rendahnya nilai indeks keragaman jenis juga dipengaruhi adanya dominansi jenis tertentu atau jumlah tangkapan yang melimpah hanya pada jenis tertentu. Jenis yang mendominasi selama penelitian adalah jenis yang memiliki sifat hidup berkelompok sehingga ketika tertangkap, jenis tersebut tertangkap dalam jumlah yang banyak dibandingkan jenis yang lain. Adanya dominansi jenis tertentu yang menyebabkan rendahnya nilai indeks keragaman nampak pada lokasi Muara Tanjung Peropa, yang memiliki indeks keragaman dan indeks perataan yang sama-sama rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Desmukh (1992) yang menyatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan fungsi dari jumlah individu dan jumlah jenis. Indeks kemerataan (E) ikan dilokasi penelitian berkisar 0,27 1,02. Menurut Magurran (1988) dalam Soerianegara et al. (2005), besaran E <0,3 menunjukkan kemerataan jenis tergolong rendah, E =0,3 0,6 kemerataan jenis tergolong sedang Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 37

60 dan E >0,6 maka kemerataaan jenis tergolong tinggi. Lokasi dengan nilai kemerataan terendah yaitu muara Tanjung Peropa. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut terdapat satu atau beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang banyak atau dengan kata lain perataan individu di masing-masing jenis kecil. Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun 2011 Indeks Perataan 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja Sungai Laeya Muara Labasi Muara Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Gambar Indeks Perataan Jenis Ikan di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 f. Keanekaragaman Fauna Terrestrial (Burung dan Mamalia) Burung adalah fauna yang spesifik kerana sifat dasarnya yang biasa terbang dan mudah bermigrasi atau berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Oleh sebab itu, burung dapat dijadikan sebagai indikator bagi kerusakan suatu habitat atau lingkungan. Jumlah dan keanekaragaman jenis burung yang ada di suatu habitat merupakan petunjuk bahwa kondisi lingkungan satwa tersebut relatif masih baik dan stabil, hal itu berarti daya dukung habitat masih menunjang bagi kehidupan burung dengan segala aktivitasnya. Jenis burung yang dijumpai selama penelitian sebanyak 68 jenis yang sebagian besar adalah burung khas lahan basah, yaitu pantai dan mangrove. Jenisjenis yang dijumpai dengan jumlah individu tertinggi adalah pergam laut (Ducula bicolor), layang-layang batu (Hirundo tahitica) dan trinil pantai (Acititis hypoleucos). Adapun jenis yang pada saat penelitian dijumpai tidur di vegetasi 38 S i n te si s R P I

61 mangrove adalah pergam laut (Ducula bicolor) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea). Beberapa jenis burung memiliki nilai penting, baik karena status konservasi ataupun keedemisan dari spesies tersebut. Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum) merupakan spesies burung endemik Sulawesi Tenggara (Coates dan Bishop, 2000). Spesies ini dapat dijumpai di derah berperdu, lahan budidaya, hutan pamah, tepi hutan, dan perkebunan dengan ketinggian sampai 300 m di atas permukaan laut (dpl) (Coates dan Bishop, 2000). Keberadaan spesies endemik dan terancam ini mengindikasikan bahwa lokasi mangrove di TN RAW memiliki peran penting sebagai habitat beberapa jenis burung. Spesies bangau bluwok/arweli pada saat penelitian di temukan tidur di hutan mangrove TN RAW. Hasil penelitian menunjukkan Indeks keanekaragaman burung di kawasan hutan mangrove TN RAW memiliki nilai keragaman bervariasi antara 1,36 2,71. Dengan nilai H tersebut maka lokasi TN RAW termasuk kriteria sedang. Nilai H yang sedang ini mengindikasikan dilokasi penelitian tidak ada pemusatan individu di satu atau beberapa jenis burung. Keragaman tertinggi didapatkan di Sungai Laeya dan terendah di Sungai Uemata (Gambar 3.1.5). Indeks Keanekaragaman Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tahun 2011 H' 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja S.laiya M. Labasi M. Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Pengamatan Gambar Indeks Keragaman Burung di hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, tahun 2011 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 39

62 Keragaman burung di TN RAW termasuk sedang yang berarti tidak ada pemusatan individu dalam satu jenis di satu lokasi. Hal ini menjadikan indeks keragaman dan indeks perataan menjadi kecil (Gambar 3.1.6). Terdapat beberapa jenis burung yang yang memiliki perilaku berkelompok seperti burung migran, baik burung migran lokal. Adapun burung migran antar benua yang dijumpai pada saat penelitian antara lain jenis trinil semak (Tringa glareola) dan trinil pantai (Acititis hypoleucos). Keberadaan spesies migran yang ditemukan selama penelitian mengindikasikan hutan mangrove di TN RAW merupakan salah satu habitat yang penting bagi spesies tersebut. Selain itu, nilai kemerataan (E) burung di lokasi penelitian tergolong tinggi dengan nilai berkisar antara 0,66 0,92 yang berarti tidak terdapat pemusatan individu spesies benthos tertentu pada suatu wilayah yang artinya keseluruhan individu suatu spesies tersebar merata pada semua wilayah. Indeks Perataan Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai Tahun 2011 Indeks Perataan 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 Bonggona Manumandula Lanawulu Labuaja S.laiya M. Labasi M. Uemata rawa Bolo muara Tj.Peropa Lokasi Pengamatan Gambar Indeks Perataan Jenis Burung di Hutan Mangrove TN Rawa Aopa Watumohai, Tahun 2011 Selama penelitian, perjumpaan terhadap kelompok mamalia sangat terbatas. Perjumpaan langsung hanya dengan jenis babi hutan Sulawesi (Sus sp.) di Bolo dan Muara Lanawulu. Babi ditemukan disemua lokasi kecuali di muara Labuaja dan labasi. Di sungai Laiya terlihat pada malam hari di sekitar pemukiman muara Lanowulu dan ketika terjadi surut air laut. Pada saat tersebut babi mencari makan sisa-sisa makanan penduduk yang tinggal di muara. Perjumpaan secara tidak 40 S i n te si s R P I

63 langsung berupa jejak jenis Anoa (Bulbalus sp.) dan Rusa (Cervus timorensis). Jejak Anoa ditemukan di Sungai Laiya dan Bolo sedang rusa ditemukan di Sungai Laiya. Sedikitnya jumlah jenis yang ditemukan selama penelitian disebabkan peluang perjumpaan terhadap spesies mamalia di lokasi penelitian sangat kecil. Hal ini dikarenakan mamalia sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. penggunaan beberapa metode pengambilan data seperti line transect, pallet count, dan concentration count akan memperbesar peluang perjumpaan sehingga data yang diperoleh akan semakin maksimal. Selain itu penggunaan perangkap akan dapat membantu untuk pendataan jenis-jenis mamalia kecil atau mamalia nokturnal. Nilai H dan E hanya bisa diketahui di Sungai Laiya dikarenakan dilokasi terebut ditemukan 3 jenis mamalia sehingga nilai H =1, dan E=1, Sedangkan di lokasi lain hanya ditemukan 1 jenis sehingga nilai H =0. Desmukh (1992) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan fungsi dari jumlah individu dan jumlah jenis. g. Implikasi Konservasi Ekosistem mangrove mempunyai peranan dalam kelangsungan proses ekologis dan merupakan sistem penyangga kehidupan di wilayah pesisir. Ekosistem ini mampu mencegah intrusi air laut ke daratan, menahan angin dan ombak, sebagai wilayah pemijahan (nursery ground) bagi beberapa jenis biota laut, penyaring dan pengurai bahan-bahan organik dari daratan dan lain-lain. Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa sudut, misalnya komponen flora dan fauna, dinamika ekosistem (suksesi, perubahan struktur, regenerasi), aspek sosial ekonomi (pemanfaatan tradisional, tata guna lahan dan pemilikan) dan analisis jangka panjang yang berkaitan dengan perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dapat mengakibatkan berubahnya struktur komunitas, rantai makanan, diversitas dan produktifitas fauna. Odum (1994) menyatakan bahwa tingginya produksi fauna di perairan mangrove dan sekitarnya terutama bersumber dari serasah daun yang jatuh ke dalam air dan dimanfaatkan oleh pemakan detritus. Jalur trofik detritus ini cukup besar, sehingga peranan plankton sebagai produsen primer di kawasan mangrove kurang mendapat perhatian. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 41

64 Fauna yang dijumpai di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna terrestrial dan fauna akuatik. Fauna terrestrial memanfaatkan mangrove sebagai daerah perlindungan dan sebagai sumber pakan. Jenis-jenis fauna tersebut antara lain adalah burung, mammalia dan lain sebagainya. TN Rawa Aopa Watumohai memiliki luasan mangrove yang tinggi. Hal ini memungkinkan dijumpainya berbagai jenis satwa termasuk satwa endemik dan dilindungi. Selama penelitian, satwa penting yang dijumpai berasosiasi dengan mangrove adalah babi hutan Sulawesi (Sus celebensis) dan bangau bluwok (Mycteria cinerea). Salah satu fungsi mangrove adalah meningkatkan kesuburan perairan di sekitarnya melalui mekanisme penguraian serasah. Perairan di sekitar mangrove TN Rawa Aopa Watumohai merupakan perairan yang subur. Hal ini diindikasikan dengan jumlah tangkapan nelayan yang cukup melimpah, baik nelayan udang, kepiting maupun nelayan ikan. Tabel Hasil analisis sifat fisik dan kimia air di perairan mangrove Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Setiawan dkk, 2010) No Parameter Satuan Hasil Pengukuran I Fisik 1 Salinitas ppt Kekeruhan NTU Total Suspended Solids (TSS) ppm 13.7 II Kimia 1 ph Amoniak (NH 3 ) ppm Nitrat (NO 3 ) ppm Nitrit (NO 2 ) ppm Dissolved Oxigen (DO) ppm Biochemical Oxygen Demand (BOD) ppm Carbon Dioxide (CO 2 ) ppm Chemical Oxygen Demand (COD) ppm Udang dan kepiting merupakan komoditas perikanan utama di perairan sekitar mangrove TN Rawa Aopa Watumohai. Teknik penangkapan udang adalah menggunakan jalan di sekitar muara. Adapun untuk penangkapan kepiting dan rajungan, masyarakat menggunakan teknik bubu, rakang dan makoti. Sementara itu 42 S i n te si s R P I

65 nelayan ikan menggunakan jalan dan atau pukat untuk mendapatkan ikan di sekitar perairan mangrove. Indikator kesuburan perairan di sekitar mangrove yang lain adalah suburnya rumput laut jenis Euchema sp. yang sengaja ditanam oleh masyarakat. Hal ini nampak pada hasil panenan rumput laut yang melimpah hampir setiap saat. Sisi positif dari hasil panen rumput laut yang melimpah adalah tekanan masyarakat terhadap keanekaragaman fauna akuatik seperti ikan, udang dan kepiting menjadi rendah dan selanjutnya keanekaragaman hayati untuk fauna akuatik bisa lestari Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di TN Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah) a. Kondisi Umum Taman Nasional Togean Taman Nasional Kepulauan Togean didirikan melalui surat keputusan Menteri Kehutanan N0. 418/Menhut-II/2004 tanggal 19 0ktober Taman Nasional Kepulauan Togean terletak di Kabupaten Tojo Una-una Provinsi Sulawesi Tengah, merupakan gugusan pulau-pulau kecil melintang di tengah teluk Tomini dengan luas ± ha yang terdiri atas: -. Hutan lindung seluas ± ha -. Hutan produksi tetap ± ha -. Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas ±3.221 ha -. Perairan laut seluas ± ha dan -. Hutan mangrove seluas ±4800 ha. Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Bappeda Kabupaten Poso, luas hutan mangrove di kepulauan Togean di perkirakan 4800 ha yang tersebar di beberapa pulau besar seperti Talatakoh, Togean, Batudaka, dan sebagian Pulau Waleabahi. Hasil survei yang dilakukan oleh CII dan yayasan Pijak pada tahun 2001 mengidentifikasi 33 species mangrove di kepulauan Togean yang terdiri dari 19 species mangrove sejati dan 14 species mangrove ikutan. Mangrove ini dibagi kedalam 26 genus dan 21 famili. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 43

66 Secara umum musim hujan di pulau Batudaka dan Togean terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Juli sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Agustus sampai dengan bulan November. Jumlah curah hujan berkisar antara mm/tahun sampai dengan mm/tahun yang dapat dikategorikan pada iklim A berdasarkan smith Fergusson. Tabel berikut menyajikan kondisi peraiaran di Pulau Togean. Tabel Kondisi Perairan Taman Nasional Kepulauan Togean. Parameter yang diamati Nilai rata-rata ph 7,66 Suhu 30 Salinitas 31,5 DO 4,55 Koensentarsi nitrat 0,075 b. Kondisi Mangrove di Kepulauan Togean Hasil pengamatan kondisi tempat tumbuh dan tumbuhan mangrove di lokasi pengamatan dapat di lihat pada Tabel Tabel Kondisi sifat fisik kimia habitat mangrove di Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun Parameter yang diamati Nilai rata-rata ph 8,1 Suhu 30 C Salinitas 31 Kecerahan Ketebalan lumpur 33 cm 22,1 cm Oksigen terlarut 2,52. Dari Tabel diketahui bahwa kondisi ph, Suhu dan salinitas cukup tinggi untuk pertumbuhan mangrove, utamanya salinitas yang mencapai 31. Kondisi ini akan menyebabkan pertumbuhan bakau menjadi kerdil. Hal ini terlihat di lapangan di mana bakau tumbuh dengan bentuk pertumbuhan yang tidak normal, utamanya 44 S i n te si s R P I

67 yang berada di depan garis pantai. Mangrove tumbuh dimana batang saling merambat dengan akarnya dengan ketinggian kurang dari lima meter. Gambar Penampilan bakau yang tumbuh dipinggir laut. Tabel Jenis, rata-rata tinggi dan diameter serta kerapatan Bakau di Lokasi Taman Nasional Laut Kepulauan Togean tahun Jenis Tinggi (m) Diameter (cm) Kerapatan (pohon/ha) Pohon Tiang Pancang semai R. apiculata 9,6 21, B. gymnorrhiza Xilocarpus granatum 6 11, Lumnitzera littocera 5,5 5, Pada Tabel terlihat bahwa jenis yang dijumpai pada plot pengamatan adalah empat jenis dengan tinggi tanaman yang paling tinggi adalah jenis R. apiculata yakni 9,6 m dengan diamater berkisar 21,4 cm. Untuk jenis R. apiculata ini masih dijumpai dari tingkat pohon hingga semai dengan kerapatan yang beragam. Nampak bahwa semakin besar tanaman semakin jarang kerapatannya. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 45

68 Jenis yang masih dijumpai pada tiga fase pertumbuhan adalah jenis Xilocarpus granatum yang masih terdapat pada tingkat pohon, tiang serta pancang. Pada tingkat semai tanaman ini tidak lagi dijumpai dalam plot pengamatan. Dua jenis lain yang juga dijumpai dalam plot pengamatan adalah jenis B. gymnorrhiza yang hanya dijumpai pada fase tiang dan pancang sedangkan jenis Lumnitzera littorea hanya dijumpai pada fase tiang dan semai. Tidak sempurnanya fase tanaman yang di jumpai dalam plot pengamatan kemungkinan disebabkan karena tanaman banyak di manfaatkan oleh masyarakat sekitar dan juga karena kondisi habitat dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi (31 ) mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.. Salinitas air dan salinitas tanah adalah merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi species mangrove (Anonim, 2003). Salinitas yang sangat tinggi (hipersalinity), misalnya ketika salinitas melebihi salinitas yang umum di laut (berkisar 35 ) dapat berdampak buruk terhadap mangrove. Perkembangan hutan mangrove di Indonesia didukung oleh salinitas yang cocok untuk mangrove yaitu pada kisaran (Poejirahayu, 2006). c. Keragaman Plankton dan Benthos Dari hasil analisa di laboratorium diketahui jenis-jenis plankton yang terdapat di daerah mangrove seperti yang tersaji pada Tabel Pada Tabel tersebut nampak bahwa pada lokasi penelitian dijumpai 7 hingga 9 spesies plankton dengan kelimpahan individu/l hingga individu per liter. Jumlah ini dapat digolongkan cukup melimpah jika dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. Maryatul et al. (2008) melaporkan bahwa kelimpahan plankton di hutan bakau Kab. Sinjai Sulawesi Selatan berkisar pada 828 individu/l hingga individu/l dengan jumlah spesies spesies. Demikian juga yang dilaporkan oleh Pirzan et al., (2008) bahwa di hutan bakau kepulauan Bauluang Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan kelimpahan planktonnya berkisar 470 individu /L hingga individu/l dengan jumlah species 5 hingga 20 spesies. 46 S i n te si s R P I

69 Tabel Daftar nama jenis plankton di area mangrove dan jumlah sel plankton yang ditemui pada setiap plot pengamatan di Taman Nasional Laut kepulauan Togean, tahun Kelimpahan pada setiap plot tanaman Species X. granatum R. apiculata danda B. gymnorrhiza L. littorea R. apiculata wakay Kelimpahan/ L Fitoplankton Plantonella sp Skeletonema sp Chaetoceros sp Rhizosolenia sp Pleurosigma sp Lecylindricus sp Cescinodiscus sp Zooplankton Daphnia sp Temora sp Moina sp Jumlah Individu Jumlah Spesies Kelimpahan plankton dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lokasi, cahaya dan unsur hara (Nybakken, 1992). Sebagai organisme yang dapat berfotosinthesa, maka dalam perkembang biakannya plankton sangat membutuhkan cahaya. Kecerahan di lokasi penelitian dapat mencapai rata-rata 33 cm, tetapi di tepi bakau dengan jarak sekitar 100 meter terdapat laut dengan terumbu karang yang mempunyai kecerahan hingga 3 meter. Sebagai organisme yang pergerakannya tergantung pada arus maka di duga bahwa kelimpahan plankton di lokasi penelitian juga disebabkan karena melimpahnya plankton di daerah karang yang terbawa arus pada saat pasang naik ke daerah mangrove. Dari hasil analisa data diketahui indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan seperti terlampir pada Tabel dan Gambar Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 47

70 Tabel Indeks keanekaragaman dan Indeks kemerataan plankton pada setiap plot. Lokasi Indeks keanekaragaman ( H ) Indeks kemerataan (E) Rhyzophora danda 1,66 0,75 Rhyzophora wakay 1,10 0,69 Lumnitcera littorea 1,31 0,59 Bruguiera gymnorrhiza 1,53 0,56 Xylocarpus granatum 1,65 0,84 Gambar Indeks keanekaragaman (H ) plankton di Lokasi Penelitian. Hasil penelitian menunjukkan indeks keanekaragaman (H ) pada Tabel berdasarkan kriteria Shanon-Wiener dalam Fahrul (2007) berkisar pada nilai (1,10 1,66). Nilai ini menunjukkan bahwa kualitas air tercemar sedang atau stabilitas komunitas biota sedang. Nilai ini menunjukkan bahwa di lokasi penelitian tidak ada pemusatan individu, sedangkan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa kemerataan antara spesies rendah atau kekayaan individu yang dimiliki masingmasing spesies sangat jauh berbeda. Sementara itu untuk benthos, hasil analisa di laboratorium diketahui keragaman serta kelimpahan benthos seperti dicantumkan pada Tabel Sintesis RPI

71 Tabel Daftar nama jenis benthos di area mangrove dan jumlah benthos yang ditemui pada setiap plot pengamatan. Species Kelimpahan Benthos pada setiap jenis tanaman. Buli Rhy danda Bruguiera Lumnit Rhy wakay Pagurus sp Penaeus sp Uca sp oliva-oliva Tellina sp Spondylus sp Pinctada sp Clypeaster sp Amphidromus sp Telescopium sp Terebralia sp Batissa sp Pleuroploca sp Vepricardium sp Nerita costata Ellobium sp Nassarius sp Jumlah Dari hasil analisa data diketahui indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos seperti terdapat pada Tabel Tabel Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan benthos pada setiap plot Lokasi Indeks keanekaragaman (H ) Indeks kemerataan (E) Rhyzophora danda 1,64 0,78 Rhyzophora wakay 2,12 0,82 Lumnitcera littorea 1,05 0,58 Bruguiera gymnorrhiza 1,63 0,91 Xylocarpus granatum 1,42 0,88 Pada lokasi penelitian ditemukan benthos sebanyak 17 spesies yang berasal dari 4 class yakni malostraca, gastropoda, bivalvia dan Echnoidea yang komposisinya dapat di lihat pada Gambar Komposisi benthos tersebut menunjukkan bahwa genus Echnoidea yang paling kecil yang di dapatkan di TNL Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 49

72 Togean sebesar 0,05% dan yang paling besar adalah genus gastropoda sebesar 47%. Spesies yang cukup melimpah adalah Terebralia sp yang berasal dari klass gastropoda yang terdapat hampir pada setiap plot pengamatan. Terebralia sp merupakan spesies dari famili Potamididae yang mendominasi ekosistem mangrove (Reksodiharjo, 1986). Keong ini merupakan penghuni asli hutan mangrove dan hidup di daerah yang terkena pasang surut serta menyukai daerah yang berlumpur (Heriyanto, 1989). Jenis yang lain seperti Telescopium sp dijumpai pada pada plot tanaman Rhyzophora apiculata, Lumnitcera sp, dan Brugueira gymnorrhiza. Seperti halnya Terebralia sp, Telecopium sp juga merupakan spesies yang yang berasal dari famili Potamididae dari class gastropoda. Pada plot tanaman Bruguiera gymnorrhiza dijumpai juga 4 klass yakni Gastropda, Bivalvia, Echinoidea dan Malostraca meskipun dalam jumlah yang sedikit. Gambar Komposisi genus benthos pada hutan mangrove di TNL Togean. Gastropoda merupakan class dari phylum molusca yang banyak ditemukan di daerah hutan mangrove (Supriharyono, 2000). Selanjutnya, Nontji (2007) juga mengatakan bahwa salah satu kelompok organisme molusca penyusun fauna ekosistem mangrove dengan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi adalah gastropoda. Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses decomposisi serasah dan bahan organik terutama yang bersifat herbivor dan detrivor. Gastropoda adalah organisme yang bertugas sebagai komposer awal, 50 Sintesis RPI

73 mencacah daun menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang kemudian dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil (Arief, 2003). Nilai indeks keanekaragaman (H ) pada Tabel berdasarkan kriteria Shanon-Wiener dalam Fahrul (2007) menunjukkan bahwa kualitas air tercemar ringan atau stabilitas komunitas biota sedang. Sedangkan nilai indeks kemerataan menunjukkan bahwa kemerataan antara spesies rendah atau kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. Sirante (2011) mengemukakan bahwa kepadatan mangrove berpengaruh nyata terhadap kepadatan gastropoda. d. Sifat Fisik Kimia Tanah Dari hasil analisis di laboratorium diketahui sifat fisik kimia tanah seperti tersaji pada Tabel berikut. Tabel Hasil Analisis sifat fisik dan kimia tanah hutan mangrove di TNL Togean tahun Parameter Jenis B. Gym Rhy.D Buli Lutmi Rhy.W ph H 2 O 6,56 aa 7,28 n 6,44 aa 7,12 n 6,81 n Salinitas (mmhos/cm) 2,41 s 3,06 t 3,25 t 3,73 t 1,92 r Carbon (%) 2,15 s 2,75 s 2,15 s 2,82 s 2,85 s Nitrogen (%) 0,14 r 0,17 r 0,20 r 0,22 s 0,11r P2O5 Olsen (ppm) 13,44 r 12,98 r 11,95 r 12,74 r 1,24 r Kalium 0,22 r 0,18 r 0,05 r 0,08 r 0,12 r Aluminium tt tt tt tt tt Hg (ppb) tt 5,58 21,27 22,18 tt Fe (ppm) 1,2 1,5 1,87 1,03 1,87 Liat (%) 76 76, Debu (%) 20, Pasir (%) 3,5 3, Klas Tekstur liat liat liat Pasir berlempung Lempung berliat Dari hasil analisis di laboratorium diketahui bahwa ph tanah pada lokasi penelitian berkisar pada nilai yang agak asam hingga netral. Kondisi ph ini sangat mendukung perombakan bahan organik. Hal ini juga terlihat dari nilai C/N berkisar pada nilai (10,6 25,9). Nilai ini termasuk tinggi sehingga perombakan bahan organik lebih cepat. Kandungan unsur karbon rata-rata sedang sedangkan unsur Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 51

74 Nitrogen rendah hingga sedang. Phospor dan kalium adalah rendah. Kandungan Aluminium tidak terdeteksi sedangkan kandungan besi relatif rendah. Salinitas yang bernilai rendah sampai tinggi masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Demikian juga kandungan kalium dan Fosfor masih dalam kategori rendah. Tanah-tanah mangrove umumnya mengandung zat besi dan bahan-bahan organik yang tinggi di tambah dengan keberadaan sulfat dari pasang air laut membuat tanah menjadi rentan khususnya terhadap asam sulfat karena oksidasi. (Anonim, 2003). Pada lokasi penelitian unsur-unsur tersebut seperti Aluminium dan Besi serta air raksa masih dalam taraf yang tidak terdeteksi dan rendah. Secara umum sifat tanah pada lokasi penelitian masih dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Tekstur yang terdapat pada setiap plot penelitian menujukkan kandungan liat yang cukup tinggi yaitu rata-rata di atas 50%, kecuali pada plot tanaman Lumnitcera littorea. Hal ini yang dapat mengurangi peluang biji-biji berkecambah karena akan berpengaruh terhadap pertukaran udara atau gas antara tanah dan atmosfir yang akan mempengaruhi penyerapan udara oleh-akar-akar tanaman. e. Sifat Fisik Kimia Air Dari hasil penelitian diketahui sifat kimia air di lokasi penelitian seperti tercantum pada Tabel berikut. Tabel Hasil Analisis sifat kimia air pada perairan hutan mangrove di TNL Togean, tahun Nilai unsur (ppm) Parameter R. apiculata B. R. apiculata X. granatum L. littorea Danda gymnorrhiza Wakay ph 7,33 7,33 7,92 7,98 7,97 Natrium 673,37 673,37 692,81 659,59 667,83 Kalium 426,47 426,47 388,73 420,1 325,49 Phospat 0,22 0,22 0, ,22 Amoniak ,000 0,003 0,002 Nitrat 0,06 0,06 0,07 0,12 0,09 Nitrit 0,064 0,064 0,053 0,076 0,055 Sulfat 61,84 61,84 60,24 59,94 54,26 Kalsium 1051, , , , ,00 Magnesium 5130, , , , ,05 Khlorida 198,85 198,85 193,5 197,05 197,9 52 S i n te si s R P I

75 Parameter R. apiculata Danda B. gymnorrhiza Nilai unsur (ppm) X. granatum L. littorea R. apiculata Wakay Dissolved oxigen (DO) 1,6 1,6 2,6 1,45 1,9 C organik 7,33 153,14 150,14 151, BOT 673,37 7,33 72,7 66,7 91,65 Pada Tabel nampak bahwa nilai unsur-unsur yang diamati pada air masih dalam taraf yang baik untuk kehidupan organisme. Nilai ph perairan nampak pada kisaran 7,3 7,9. Nilai ini adalah nilai yang cukup baik untuk biota akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph pada kisaran 7 8,5 (Effendi, 2003). Oksigen terlarut pada Tabel berkisar pada nilai 1,6 2,6. Nilai ini masih berada di bawah nilai standar baku mutu air yang dipersyaratkan untuk keperluan perikanan. Sumber utama oksigen terlarut adalah fotosintesis. Akan tetapi pada lokasi penelitian meskipun plankton berlimpah, kondisi oksigen terlarut juga rendah. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi hilangnya oksigen di perairan antara lain, proses respirasi tumbuhan dan hewan, waktu,suhu, ph dan proses decomposisi bahan organik (Effendi, 2003). Unsur yang juga penting dalam perairan adalah kandungan Nitrit dan Nitrat. Kandungan Nitrit di lokasi penelitian pada setiap plot rata-rata 0,06 ppm. Jumlah kandungan ini sesuai kandungan Nitrit yang diperkenankan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan. Kandungan nitrit yang melebihi 0,06 ppm akan bersifat toksik bagi organisme perairan yang bersifat sensitif (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Nitrat adalah sumber utama nitrogen di perairan. Kandungan Nitrat di lokasi penelitian rata-rata sebesar 0,08 ppm. Nilai masih dalam takaran nilai yang diperkenankan baik untuk kehidupan organisme perikanan yang mempunyai nilai standar hingga 20 ppm. Menurut Effendi (2003) kadar nitrat pada perairan yang alami tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 53

76 Gambar Kondisi hutan bakau yang sudah mulai dibuka (kiri) dan kondisi hutan bakau yang sudah berubah menjadi tambak (kanan) Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di Tanjung Batu (Pulau Derawan, Berau-Kalimantan Timur) a. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kampung Tanjung Batu terletak di Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Pada kawasan tersebut tengah direncanakan pembangunan kawasan Pusat Informasi Mangrove (PIM) seluas 115 ha. Dalam hal ini pemerintah pusat melalui Direktorat Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah Kabupaten Berau telah menyusun rencana pembangunan PIM tersebut. Lokasi PIM tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu kawasan pengembangan PIM tahap pertama seluas 15 ha dan pengembangan PIM tahap kedua seluas 100 ha. Secara geografis kawasan tersebut terletak pada posisi N: dan E: Ke depannya kawasan tersebut akan dijadikan sebagai kawasan perlindungan dan rehabilitasi mangrove, pendidikan konservasi, serta ekowisata mangrove. Kondisi iklim lokasi penelitian secara umum dipengaruhi oleh musim barat dan musim timur. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson kawasan ini termasuk dalam golongan iklim A, yaitu hujan berlangsung sepanjang tahun dan jarang terjadi bulan kering. Musim hujan berlangsung pada bulan Oktober hingga Mei dengan hari hujan rata-rata 15 sampai 20 hari perbulan dan curah hujan terjadi pada akhir atau awal bulan. Musim kemarau berlangsung pada bulan Juli hingga September dengan curah hujan terendah pada bulan Juli. Suhu udara rata-rata 54 S i n te si s R P I

77 berkisar antara 24,8 0 27,9 0 C. Salinitas perairan pada kawasan yang menghadap laut lepas 33,5 ppt. (Dinas Kelautan dan Perikanan Berau, 2009). Bentang alam Kampung Tanjung Batu umumnya datar dan landai. Beberapa bagian sedikit bergelombang, khususnya pada bagian barat Tanjung Batu. Hutan mangrove di lokasi penelitian terletak berhadapan langsung dengan laut Sulawesi. Kondisi tanah habitat mangrove umumnya berpasir namun pada habitat mangrove yang terletak pada muara sungai cenderung berlumpur dan sedikit berpasir. Hamparan pasir akan semakin terlihat jelas ketika air laut sedang surut. ph tanah pada lokasi penelitian berkisar 4,6 6,5 sedangkan ph air berkisar 5,6 7. Semakin jauh pengaruh pasang air laut terjadi kecenderungan penurunan nilai ph tanah dan air. Sebagian habitat mangrove Tanjung Batu mengalami kerusakan, khususnya pada rencana pengembangan kawasan PIM tahap pertama. Sedangkan pada rencana pengembangan PIM tahap kedua kondisi hutan mangrovenya relatif lebih baik. Kerusakan mangrove pada kawasan PIM tahap pertama lebih disebabkan penebangan pohon mangrove untuk pembuatan bagan nelayan. Banyak terlihat bekas pohon-pohon mangrove yang tumbang ketika ditebang masa lampau. Namun demikian, saat ini seiring dengan penetapan kawasan PIM serta pemagaran mangrove pada lahan PIM tahap pertama kegiatan penebangan pohon mangrove telah berkurang. b. Struktur dan Komposisi Jenis Mangrove Hasil identifikasi menunjukkan bahwa komposisi jenis mangrove tersusun atas 25 jenis yang terdiri dari 24 marga, dan 19 suku. Pada tingkat semai ditemukan 20 jenis, pancang 23 jenis, dan pohon 16 jenis. Komposisi mangrove tersebut memiliki habitus berupa pohon 25 jenis, liana 1 jenis, dan paku-pakuan 1 jenis. Menurut pustaka yang diadopsi dari Tomlinson (1984) dari 25 jenis mangrove tersebut, 7 jenis dikelompokkan ke dalam mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor. Sedangkan sisanya sebanyak 13 jenis merupakan asosiasi mangrove. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H ) pada tingkat semai di lokasi penelitian adalah 0,92; tingkat pancang 1,03; dan tingkat pohon 0,78. Sementara itu, jumlah jenis mangrove yang dijumpai pada lokasi penelitian tidak berbeda jauh Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 55

78 dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Oseanologi LIPI (1995) yang menemukan 26 jenis mangrove pada pulau-pulau serta sekitar pesisir Berau (Ismuranthy, 2001). Perbedaan terletak pada komposisi jenis mangrove mayor, mangrove minor, serta asosiasi mangrove. Beberapa jenis mangrove tidak dijumpai pada penelitian ini, seperti Rhizopora stylosa, Lumnitzera racemosa, Avicennia marina, Avicennia alba, Sonneratia caseolaris, Acanthus iliciffolius, Derris trifoliata, Kandelia candel, Scaeviola taccada, Calophyllum inophyllum L., Terminalia catappa, Excoecaria agallocha, dan Clerodendrum inerme. Namun demikian, beberapa jenis mangrove, khususnya kelompok asosiasi mangrove yang belum tercatat pada penelitian sebelumnya dijumpai di kawasan ini, seperti Camptostemon philippinense, Glochidion sp, Pongamia pinnata, Oncosperma sp, Podocarpus sp, Pshycotria sp, Guioa sp, Syzigium sp, Pouteria obovata, Dillenia suffruticosa, dan Ficus sp. Penambahan informasi jenis mangrove ini merupakan informasi ilmiah baru yang bersifat melengkapi data-data sebelumnya. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove pada kawasan lain di Kalimantan Timur, maka komposisi jenis pada tingkat semai, pancang dan pohon yang tercatat berbeda dengan komposisi jenis pada beberapa kawasan hutan mangrove tersebut. Perbedaan tersebut disajikan pada Tabel Tabel Komposisi jenis mangrove di beberapa kawasan lain di Kalimantan Timur No Jenis Lokasi Pustaka Taman Nasional Kutai Gunawan et al. (2004); Rahmadani et al. (2004) Teluk Balikpapan Pribadi et al. (2005) Kuala Samboja Sidiyasa et al. (2007) HL. Sungai Wain Noorhidayah et al. (2007) Delta Mahakam Atmoko dan Sidiyasa (2009) Tanjung Batu Penelitian ini Dengan data pembanding pada Tabel dapat disimpulkan bahwa komposisi jenis mangrove di kawasan Tanjung Batu termasuk memiliki tingkat keanekaragaman jenis cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa kawasan hutan mangrove lain di Kalimantan Timur. Hanya hutan mangrove di Hutan 56 S i n te si s R P I

79 Lindung Sungai Wain serta Delta Mahakam yang memiliki keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi. Jika dilihat dari tingkat penguasaannya di dalam tegakan mangrove, maka Camptostemon philippinense adalah jenis yang paling sering dijumpai sekaligus jenis yang paling dominan dengan INP tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan. Pada tingkat semai, Camptostemon philippinense dominan dengan INP=47,39%, kemudian disusul oleh Podocarpus (INP=45,18%), dan Acrostichum aureum (INP=35,39%). Sementara itu, 18 jenis lainnya memiliki INP yang lebih rendah dari ketiga jenis tersebut di atas (Tabel ). Pada tingkat pancang, selain Camptostemon philippinense (INP=85,18%) jenis lain yang dominan adalah Rhizopora apiculata (INP=66,44%), dan Rhizopora mucronata (INP=25,22%). Komposisi jenis-jenis mangrove lain berada jauh di bawahnya (Tabel ); sedangkan untuk tingkat pohon, Camptostemon philippinense dominan dengan INP=102,56%, disusul Sonneratia alba (INP=80,62%), dan Rhizopora apiculata (INP=56,84%) (Tabel ). Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat semai No Jenis KR (%) FR (%) INP (%) 1. Camptostemon philippinense 24,00 23,39 47,39 2. Podocarpus sp. 36,31 8,87 45,18 3. Acrostichum aureum 27,32 8,06 35,39 4. Rhizopora apiculata 5,92 20,16 26,09 5. Nypa fructicans 2,76 10,48 13,24 6. Sonneratia alba 0,71 4,03 4,74 7. Pandanus tectorius 0,30 4,03 4,75 8. Schypipora hydrophyllacea 0,97 3,22 4,20 9. Rhizopora mucronata 0,36 2,42 2, Glochidion sp. 0,36 2,42 2, Lumnitzera littorea 0,15 2,42 2, Pouteria obovata 0,15 2,42 2, Oncosperma sp. 0,20 1,61 1, Xylocarpus granatum 0,15 1,61 1, Guioa sp. 0,05 0,81 0, Bruguiera gymnorrhiza 0,05 0,81 0, Ceriops tagal 0,05 0,81 0, Heritiera littoralis 0,05 0,81 0,86 Keterangan: KR = Kerapatan relatif, FR= Frekuensi relatif, DR= Dominansi relatif, INP= Indeks nilai penting Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 57

80 Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pancang No Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 1. Camptostemon philippinense 31,69 19,23 34,27 85,18 2. Rhizopora apiculata 32,91 25,38 22,15 66,44 3. Rhizopora mucronata 9,20 4,62 11,41 25,22 4. Heritiera littoralis 6,64 5,38 8,03 20,06 5. Glochidion sp. 6,13 6,92 1,66 14,72 6. Schypipora hydrophyllacea 5,45 3,08 3,89 12,42 7. Podocarpus sp. 3,24 6,15 2,97 12,36 8. Sonneratia alba 1,87 4,62 3,15 9,64 9. Pouteria obovata 4,09 3,08 2,20 9, Xylocarpus granatum 2,75 4,62 1,21 8, Oncosperma sp. 1,87 0,77 1,89 4, Syzigium sp. 1,70 2,31 0,13 4, Ceriops tagal 0,68 1,54 1,46 3, Guioa sp. 0,85 2,31 0,21 3, Pongamia pinnata 0,68 1,54 0,41 3, Pandanus tectorius 0,34 0,77 1,40 2, Cerbera manghas 0,68 0,77 0,93 2, Lumnitzera littorea 0,34 1,54 0,47 2, Ficus sp. 0,68 0,77 0,79 2, Hibiscus tiliaceus 0,34 0,77 0,26 1, Nypa fructicans 0,17 0,77 0,15 1, Dillenia suffruticosa 0,17 0,77 0,04 0,98 Tabel Urutan tingkat dominasi berdasarkan indeks nilai penting pada tingkat pohon No Jenis KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) 1. Camptostemon philipinense 32,99 25,71 43,85 102,56 2. Sonneratia alba 32,99 12,00 35,63 80,62 3. Rhizopora apiculata 20,55 28,00 8,28 56,84 4. Xylocarpus granatum 3,39 7,43 4,45 15,27 5. Lumnitzera littorea 1,85 6,29 3,47 11,60 6. Podocarpus sp. 1,44 4,57 0,47 6,48 7. Rhizopora mucronata 1,44 3,43 1,60 6,47 8. Schypipora hydrophyllacea 0,92 2,86 0,56 4,34 9. Heritiera littoralis 1,13 1,71 0,38 3, Pouteria obovata 1,13 1,71 0,24 3, Ceriops tagal 0,62 1,71 0,13 2, Nypa fructicans 0,72 0,57 0,73 2, Bruguiera gymnorrhiza 0,21 1,14 0,05 1, Ficus sp. 0,21 1,14 0,05 1, Guioa sp. 0,21 0,57 0,03 0, Pongamia pinnata 0,10 0,57 0,03 0, Syzigium sp. 0,10 0,57 0,01 0,69 Dominasi Camptostemon philippinense pada seluruh tingkat pertumbuhan merupakan suatu hal yang unik dan perlu mendapatkan perhatian serius sebab Duke 58 S i n te si s R P I

81 et al. (2008) dalam daftar IUCN melaporkan bahwa jenis tersebut masuk ke dalam red list (daftar merah) dengan status endangered atau terancam punah sejak tahun Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan populasinya terus mengalami penurunan yang diperkirakan hanya mencapai individu pohon di seluruh dunia. Noor et al. (1999) menyebutkan kelimpahan Camptostemon philippinense di dunia sebenarnya tidak terlalu umum, penyebarannya sangat terbatas hanya di Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, informasi mengenai ekologi jenis tersebut masih belum banyak yang diketahui. Dominasi Camptostemon philippinense di lokasi penelitian menunjukkan bahwa jenis tersebut adaptif terhadap kondisi ekologi setempat sehingga mampu mempertahankan populasinya dalam jumlah besar. Namun demikian, yang harus dicermati adalah perbedaan nilai INP antar tingkat pertumbuhan terjadi cukup jauh. Gambaran INP tersebut memperlihatkan kondisi hutan mangrove yang kurang stabil sehingga rentan mengalami perubahan struktur dan komposisi vegetasinya apabila mengalami gangguan manusia atau perubahan kondisi lingkungan secara drastis. Komposisi jenis mangrove dominan pada seluruh tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian terlihat berbeda dengan komposisi kawasan hutan mangrove lainnya di Kalimantan Timur. Di Taman Nasional Kutai dilaporkan hanya jenis Rhizopora apiculata yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Bismark et al., 1999). Di Hutan Lindung Sungai Wain, Sonneratia caseolaris adalah jenis yang mendominasi pada semua tingkat pertumbuhan (Noorhidayah et al., 2005). Di hutan mangrove Kuala Samboja, Heritiera littoralis hanya mendominasi pada tingkat pancang dan pohon sedangkan pada tingkat semai didominasi oleh Cerbera manghas (Sidiyasa et al., 2005). Sementara itu, di Delta Mahakam Sonneratia caseolaris mendominasi pada tingkat semai, tiang, dan pohon. Tingkat pancang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus (Atmoko dan Sidiyasa, 2008). Camptostemon philpipinense sebagai jenis yang paling dominan umumnya terdistribusi secara luas tepat di belakang formasi jenis Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, atau Sonneratia alba tetapi masih berada dalam zona yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Gambar ). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 59

82 Keterangan: A. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Sonneratia alba B. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Camptostemon philippinense, Nypa fructicans, Lumnitzera littorea, dan Scyphiphora hydrophyllacea C. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, dan Bruguiera gymnorrhiza D. Zona yang menjadi habitat mangrove jenis Cerbera manghas, Pongamia pinnata, Hibiscus tiliaceus, Podocarpus sp, Ficus sp, Pandanus tectorius, Oncosperma sp, Herietiera littoralis, Pouteria obovata, Acrostichum aureum, Guioa sp, Glochidion sp, Dillenia suffruticosa, dan Syzigium sp. Gambar Ilustrasi zonasi vegetasi mangrove Proses regenerasi bagi tumbuhan sangat penting untuk menjamin kelestarian hidup bagi jenisnya. Kondisi regenerasi yang kurang normal dapat berujung pada hilangnya jenis-jenis tertentu pada suatu ekosistem mangrove. Berbagai hal dapat mempengaruhi proses regenerasi itu sendiri. Selain faktor eksternal yang disebabkan oleh manusia, proses regenerasi juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan fisik seperti tingkat kompetisi serta toleransi terhadap kondisi lingkungan sekitar untuk menjamin pertumbuhan suatu jenis mangrove berlangsung secara optimal. Kondisi regenerasi vegetasi mangrove di lokasi penelitian dapat dilihat dari histogram hubungan antara kelas diameter dengan jumlah individu mangrove seperti yang disajikan pada Gambar S i n te si s R P I

83 Jumlah Individu Gambar Kelas diameter Histogram hubungan kelas diameter dengan jumlah individu mangrove Berdasarkan Gambar di atas terlihat jelas bahwa hubungan kelas diameter dengan jumlah individu adalah berbanding terbalik. Hal ini berarti bahwa individu semai (diameter <2 cm) memiliki jumlah yang lebih lebih besar. Selanjutnya jumlah individu tersebut semakin menurun seiring dengan penambahan kelas diameter pada tingkat pancang (diameter 2-10 cm) dan pohon (diameter >10 cm). Pola hubungan tersebut jika dihubungkan maka akan terlihat seperti membentuk garis huruf J terbalik. Menurut Muller-Dumbois and Ellenberg (1974), kondisi atau gambaran tersebut merupakan ciri umum permudaan alami yang berlangsung dengan normal. Meskipun memiliki regenerasi yang berlangsung nornal namun sesungguhnya kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian telah mengalami kerusakan. Indikasi tersebut dapat dilihat dari rendahnya kerapatan pohon yang berada di bawah angka yakni hanya 810,35 pohon/ha. Selain itu, pada tingkat pancang juga memiliki tingkat kerapatan yang bahkan lebih rendah dari tingkat pohon yakni 488,33 individu/ha. Hanya pada tingkat semai kerapatan terlihat tinggi yakni mencapai 1.631,64 individu/ha. Berdasarkan kriteria yang ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove, maka kawasan hutan mangrove PIM Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 61

84 dengan kerapatan pohon kurang dari pohon/ha dapat dikategorikan sebagai kawasan hutan mangrove yang telah rusak. Kerusakan hutan mangrove di kawasan PIM lebih banyak disebabkan penebangan pohon mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk pembuatan bagan-bagan di tengah laut. Namun, saat ini dengan penetapan kawasan PIM dan rencana pengelolaannya oleh pemerintah, kawasan tersebut cenderung lebih terjaga. Sebagian kawasan PIM diberi pagar dan telah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar sehingga tidak lagi terjadi aktivitas penebangan pohon mangrove. Bila melihat kondisi regenerasi yang masih berlangsung secara normal dengan potensi kerapatan semai cukup tinggi, hutan mangrove di kawasan PIM sebenarnya berpotensi untuk melakukan suksesi secara alami hingga membentuk komunitas mangrove seperti awalnya dengan syarat tanpa gangguan aktivitas manusia yang bersifat merusak. c. Jenis-Jenis Aves (Burung) Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, dijumpai 31 jenis burung penghuni hutan mangrove Tanjung Batu yang termasuk ke dalam 29 marga dan 20 suku. Hasil identifiksi menunjukkan bahwa 3 jenis merupakan anggota suku Columbidae dan Scolopocidae, 2 jenis anggota suku Acciptridae, Alcedinidae, Ardeidae, Cuculidae, Picidae, dan Ploceidae, dan anggota suku sisanya masingmasing hanya tercatat 1 jenis. Burung-burung tersebut dijumpai mulai dari pesisir selatan Tanjung Batu yang berbatasan dengan Tanjung Semanting sampai ke pesisir utara Tanjung Batu dan sekitar sungai Bulalung. Data jenis-jenis burung yang ditemui disajikan secara lengkap pada Tabel Tabel Daftar jenis burung di lokasi penelitian No Jenis Nama Ilmiah Suku Status perlindungan 1 Remetuk Laut Gerygone sulphurea Acanthizidae 2 Elang Bondol Haliastur indus Acciptridae PP.No7/ Elang Laut Perut Putih Haliaeetus leucogaster Acciptridae PP.No7/ Cekakak Suci Halycon sancta Alcedinidae 5 Cekakak Sungai Halycon chloris Alcenidae 6 Walet Sapi Collocalia esculenta Apodidae 7 Kuntul Perak Egretta intermedia Ardeidae PP.No7/ Kokokan Laut Butorides striatus Ardeidae 9 Kekep Babi Artamus leucorhynchus Artamidae 62 S i n te si s R P I

85 No Jenis Nama Ilmiah Suku Status perlindungan 10 Punai Gading Treron vernans Columbidae 11 Tekukur Biasa Streptopelia chinensis Columbidae 12 Pergam Hijau Ducula aenea Columbidae 13 Bubut Alang-Alang Centropus bengalensis Cuculidae 14 Kadalan Beruang Phaenicophaeus diardi Cuulidae 15 Srigunting Keladi Dicrurus aeneus Dicruridae 16 Trulek Kelabu Vanellus cinereus Heliornithidae 17 Layang-Layang Pasir Riparia riparia Hirundinidae 18 Kipasan Belang Rhipidura javanica Muscicapidae PP.No7/ Puyuh Batu Coturnix chinensis Phasianidae 20 Caladi Batu Meiglyptes tristis Picidae 21 Pelatuk Besi Dinopium javanese Picidae 22 Bondol Rawa Lonchura malacca Ploceidae 23 Burung Gereja Erasia Passer montanus Ploceidae 24 Merbah Cerukcuk Pycnonotus goiavier Pycnonotidae 25 Trinil Kaki Merah Tringa totanus Scolopacidae 26 Gajahan Pengala Numenius phaopus Scolopacidae PP.No7/ Trinil Semak Tringa glareola Scolopacidae 28 Cinenen Belukar Orthotomus atrogularis Silviidae 29 Celepuk Merah Otus rufescens Strigiformes 30 Burung Madu Bakau Nectarinia calcostheta Sturnidae PP.No7/ Kucica Kampung Copsychus saularis Turdidae Berdasarkan kehadirannya pada saat pengamatan, jenis burung yang paling sering ditemui adalah H. indus, N. calcostheta, T. vernans, G. sulphurea, P. nonotus goiavier, R. javanica, serta L. malacca dengan frekuensi kehadiran mencapai 9 kali dalam daftar (Gambar 5). H. indus dan T. vernans umumnya dijumpai sedang beraktivitas terbang melintas; N. calcostheta, G. sulphurea, P. goiavier, dan R. javanica dijumpai sedang hinggap mencari makan di sekitar pohon mangrove, sedangkan Bondol Rawa umumnya dijumpai mencari makan di sekitar semaksemak. McKinnon et al. (2000) melaporkan bahwa kehadiran jenis dengan proporsi tertinggi dalam suatu daftar menunjukkan bahwa jenis tersebut yang paling menonjol dan melimpah dalam kawasan tersebut. Berdasarkan proporsi daftar jenis-jenis yang ditemui selama pengamatan dapat digambarkan melalui grafik kelimpahan jenis burung seperti Gambar Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 63

86 Gambar Grafik Kelimpahan Jenis Burung Grafik di atas memperlihatkan bahwa mulanya pertambahan jumlah jenis relatif besar. Tetapi pada daftar-daftar berikutnya terjadi penurunan jumlah jenis hingga daftar ke sembilan tetapi belum sampai nilai nol. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat jenis-jenis burung pada lokasi penelitian yang belum teramati. Analisis regresi dari pertambahan jumlah jenis untuk setiap daftar pengamatan didapatkan persamaan y=20,02+1,28x. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperkirakan jumlah jenis burung di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu adalah 51 jenis. Sedangkan dalam penelitian ini baru ditemukan 31 jenis, dengan demikian masih ada 20 jenis lagi yang belum teramati. Kelimpahan dan kelestarian jenis-jenis burung pada hutan mangrove di Tanjung Batu sangat dipengaruhi oleh sumber pakan yang tersedia, tingkat gangguan terhadap aktivitas burung, serta kondisi habitat sekitarnya. Selanjutnya, Elfidasari dan Junardi (2006) mengungkapkan bahwa beberapa kelompok burung dapat hidup lestari karena berhasil menciptakan relung khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Sementara itu, Allen (1961) menyebutkan bahwa keberhasilan burung untuk hidup di dalam suatu habitat sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam memilih serta menciptakan peluang khusus baginya. 64 Sintesis RPI

87 Berdasarkan spesialisasi habitatnya, maka jenis-jenis burung yang ditemui dapat dikelompokkan menjadi burung air dan burung teresterial (daratan). Burung air merupakan kelompok burung yang sebagian besar hidupnya menggunakan air sebagai habitat utamanya dalam beraktivitas. Sementara itu, selain burung air maka dikelompokkan ke dalam burung darat. Di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu, 29,03% burung yang dijumpai merupakan kelompok burung air, sedangkan sisanya sebanyak 70,97% merupakan kelompok burung darat yang tidak menggantungkan hidupnya sepenuhnya terhadap keberadaan air atau lahan basah. Habitat burung di sekitar hutan mangrove Tanjung Batu dicirikan dengan ditemukannya 21 jenis mangrove yang tersusun atas 7 jenis mangrove mayor, 5 jenis mangrove minor dan sisanya 15 jenis merupakan asosiasi mangrove. Jenis mangrove yang dominan pada tingkat pohon yaitu Camptostemon philippinense, Sonneratia alba, dan Rhizophora apiculata. Struktur dan komposisi jenis mangrove yang beragam sangat menguntungkan bagi keberadaan jenis-jenis burung mangrove sebab berimplikasi pada kemelimpahan sumber pakan serta pilihan tempat untuk membuat sarang. Beberapa jenis burung mangrove yang terlihat sedang membuat sarang adalah H. indus dan N. calcostheta. H. indus terlihat banyak membuat sarang pada puncakpuncak pohon yang tinggi, seperti C. philippinense. Sementara itu, N. calcostheta terlihat membuat sarang pada pohon S. alba dengan ketinggian hanya sekitar 3-4 m dari permukaan tanah. Perbedaan ketinggian dan pilihan lokasi dalam membuat sarang yang dilakukan merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh burung untuk melindungi dari ancaman atau gangguan. d. Jenis-Jenis Mamalia Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian hanya ditemukan dua jenis mamalia kecil teresterial dari ordo rodentia, yakni Bajing Kelapa (Callosciurus notatus) dan Tikus Belukar (Rattus tiomanicus). Kedua jenis mamalia tersebut ditemukan tersebar merata pada berbagai lokasi hutan mangrove, mulai dari sekitar tepi pantai sampai ke kawasan punggung hutan mangrove yang terluar. Payne et al. (2000) melaporkan bahwa C. notatus memiliki salah satu sebaran habitat di sekitar hutan pesisir dan rawa sedangkan R. tiomanicus biasanya terdapat di hutan sekunder Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 65

88 dan hutan pesisir, perkebunan, semak belukar dan padang rumput namun jarang ditemukan di rumah-rumah atau hutan dipterokarpa yang tinggi. Dari sebaran geografisnya secara alami, Payne et al. (2000) juga menyebutkan bahwa C. notatus dan R. tiomanicus dapat ditemukan di beberapa pulau lepas pantai Kalimantan, seperti di Pulau Maratua yang terletak tidak terlalu jauh dengan kawasan PIM. Jumlah individu mamalia kecil yang ditemukan selama penelitian adalah sebanyak 55 ekor seperti disajikan pada Tabel berikut. Tabel Jenis, jumlah, dan perkiraan populasi mamalia kecil di lokasi penelitian. No Suku Nama latin Nama Indonesia Jumlah (ekor) Jenis kelamin Jantan Betina (ekor) (ekor) Perkiraan populasi 1. Muridae Callosciurus notatus Bajing Kelapa Sciuridae Rattus tiomanicus Tikus Belukar Total Jika hanya memperhatikan hasil pengamatan populasi mamalia kecil pada lokasi penelitian, terlihat bahwa kepadatannya cukup tinggi yakni sebesar 24,6 ekor/ha. Suyanto et al. (2009) melaporkan bahwa populasi mamalia kecil biasanya akan semakin meningkat pada habitat yang telah rusak hingga mencapai lebih dari 20 ekor/ha. Fakta tersebut berkorelasi dengan hasil analisis vegetasi yang memperlihatkan bahwa kerapatan vegetasi mangrove kurang dari individu/ha sehingga dikategorikan sebagai hutan mangrove yang telah rusak. C. notatus termasuk kelompok frugivora+insectivora (pemakan buah-buahan dan serangga, terutama semut) sedangkan R. tiomanicus termasuk omnivora (pemakan segala) (Payne et al., 2000) sehingga mampu beradaptasi terhadap kondisi habitat yang telah rusak. Selanjutnya, Rustam dan Boer, (2007) menyebutkan bahwa mamalia dari kelas makan frugivora+insectivora dan omnivora merupakan jenis mamalia yang relatif lebih tahan dalam kondisi kekurangan makanan, cadangan makanannya di alam lebih banyak dan lebih bervariasi jika dibandingkan dengan jenis mamalia lain yang hanya memakan satu atau dua jenis makanan. Bahkan, mamalia kecil mampu beradatasi dengan baik pada perkebunan 66 S i n te si s R P I

89 monokultur, seperti kebun kelapa sawit dan menjadi hama penggangu karena populasinya terlalu tinggi. Mamalia kecil memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem mangrove. Selain sebagai sumber makanan bagi satwa lain, C. notatus dan R. tiomanicus mampu memencarkan berbagai jenis buah dan biji yang terdapat di hutan mangrove. Suyanto (2008) menyebutkan hal tersebut disebabkan kebiasaannya untuk membawa cadangan makanan ke sarang. Selain itu, perilaku mamalia kecil yang suka mengasah gigi serinya dianggap membantu proses daur ulang unsur hara. Meskipun di Kalimantan C. notatus dan R. tiomanicus jarang dijadikan sebagai sumber makanan manusia, di beberapa tempat di Indonesia justru dimanfaatkan sebagai sumber pangan terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Mentawai, Flores, Sulawesi Utara, dan Papua ( Suyanto, 2008). Selain itu, mamalia kecil seperti C. notatus dan R. tiomanicus disinyalir sebagai sumber penularan berbagai macam penyakit. Cox (1979) dalam Suyanto (2008) melaporkan bahwa rodentia merupakan reservoir (pembawa) sekitar 200 jenis penyakit zoonosis. Keberadaan berbagai jenis fauna hutan mangrove seperti mamalia kecil dalam hutan mangrove memiliki peran strategis dalam menunjang kebijakan pengelolaan PIM Berau. Ledakan populasi C. notatus dan R. tiomanicus merupakan satu hal yang patut diwaspadai sebab dikhawatirkan dapat menggagu stabilitas rantai makanan secara alami ekosistem mangrove. Dalam upaya pengelolaan PIM ke depannya, maka prioritas pertama yang perlu dilakukan adalah merestorasi kembali hutan mangrove dengan menanam jenis-jenis mangrove setempat terutama pada daerah yang telah terbuka. Upaya ini sangat sesuai dengan semangat pembentukan PIM Berau yakni sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi. Penanaman mangrove akan mempercepat proses revegetasi sehingga kondisi hutan mangrove akan menjadi lebih baik dan stabilitas ekosistem dapat berjalan secara alami. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 67

90 e. Primata Hasil pengamatan langsung terhadap mamalia dari kelompok primata telah menjumpai bekantan (Nasalis larvatus) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Pengamatan kedua jenis mamalia tersebut dilakukan pada seluruh kawasan hutan mangrove di Tanjung Batu serta beberapa kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan kampung Tanjung Batu seperti di kampung Semanting. Keberadaan bekantan ditemui pada lokasi yang cukup jauh dari hutan mangrove di tepi pantai. Bahkan, cenderung berada pada hulu sungai yang masih asli dan belum banyak terjamah manusia. Perjumpaan dengan bekantan berlangsung di hulu sungai yang berbatasan dengan kawasan rencana pengembangan PIM. Ditemukan 1 kelompok kecil Bekantan dengan jumlah 5 ekor pada saat dilakukan pengamatan. Berdasarkan penuturan dari masyarakat sekitar, bekantan di Tanjung Batu kadang terlihat di pinggir sungai sampai dekat perkebunan masyarakat. Aktivitas perkebunan kelapa sawit dan perkebunan masyarakat di sekitar Tanjung Batu diduga telah menyebabkan habitat bekantan terfragmentasi dengan habitat bekantan di Semanting yang berbatasan dengan Tanjung Batu. Dalam pengamatan bekantan di Semanting, meskipun tidak menemui bekantan secara fisik namun ditemukan sisasisa kotoran bekantan dalam jumlah yang sangat banyak. Bahkan berdasarkan penuturan dari masyarakat, di sekitar lokasi hutan mangrove beberapa tahun sebelumnya Semanting pernah dijumpai bekantan dalam jumlah yang besar hingga mencapai ratusan ekor. Jumlah kelompok bekantan di Tanjung Batu tergolong cukup rendah bila dibandingkan dengan populasi bekantan pada kawasan lain di Kalimantan. Alikodra (1997) melaporkan populasi bekantan di Kuala Samboja mencapai 98 ekor yang terdiri dari 3 kelompok. Sedangkan Bismark dalam Alikodra (1997) melaporkan populasi bekantan di TN Kutai sebesar kelompok. Meskipun demikian, kemungkinan penambahan jumlah bekantan masih dapat terjadi bila dilakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama dan secara komprehensif. Mengingat, dalam pengamatan kali ini rentang waktu yang dilakukan cukup singkat yakni hanya 3 hari. 68 S i n te si s R P I

91 Habitat bekantan di Tanjung Batu cukup mendukung keberlangsungan hidup Bekantan dengan dijumpainya 27 jenis vegetasi mangrove yang sebagian merupakan pohon pakan dan pohon tidur bekantan. Pada saat pengamatan terlihat bekantan sedang mengonsumsi pucuk-pucuk muda dari daun mangrove jenis Rhizopora mucronata. Salter (1985) dalam Soendjoto et al. (2006) menyatakan bahwa di Serawak terdapat 92 jenis tumbuhan yang dimakan oleh bekantan, 11 jenis di antaranya adalah tumbuhan mangrove. Bismark (1999) melaporkan di TN Kutai bahwa bekantan mengonsumsi 12 jenis pohon pakan termasuk Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Bruguiera sexangula, Avicennia alba, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya pohon pakan bekantan dari jenis Sonneratia caseolaris dan Avicennia alba. Dalam kondisi terdesak, bekantan mampu beradaptasi dengan memakan jenis pohon yang ada di sekitarnya. Seperti yang dilaporkan oleh Alikodra (1997), bekantan di Kuala Samboja juga terlihat mengkonsumsi pohon durian, karet, mangga, dan rambutan. Pengamatan monyet ekor panjang memperlihatkan bahwa hewan tersebut ditemukan beraktivitas pada kawasan hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman manusia. Hal tersebut menyebabkan monyet ekor panjang terbiasa dengan aktivitas manusia di sekitarnya, khususnya para nelayan. Jumlah monyet yang ditemukan hanya 1 kelompok dengan jumlah sebanyak 7 ekor. Habitat monyet ekor panjang lebih banyak terkonsentrasi pada kawasan pengambangan PIM tahap pertama seluas 15 ha. Payne et al. (2000) mengungkapkan bahwa monyet ekor panjang dalam satu kelompok menempati kawasan seluas m 2. Makanan utama monyet ini adalah buah-buahan matang dan beberapa binatang seperti serangga, telur kodok, kepiting, serta invertebrata lainnya. Berbagai sumber pakan dari monyet ekor panjang dapat dijumpai di kawasan hutan mangrove Tanjung Batu Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove di Pulau Numfor (Papua) Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel tanah di hutan mangrove di sekeliling Pulau Numfor, Papua (Gambar ). Sampel tanah tersebut dilakukan analisis mikrobiologi, yang meliputi isolasi dan identifikasi Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS), Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) dan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 69

92 Gambar Peta lokasi penelitian a. Jenis-jenis Bakteri Pada Hutan Mangrove Pulau Numfor Secara keseluruhan, hasil isolasi dan identifikasi jenis-jenis bakteri dari lima stasiun pengumpulan sampel dari hutan mangrove Pulau Numfor berhasil diisolasi 52 isolat bakteri, yaitu 25 isolat Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), 23 isolat Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) dan 3 isolat Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS). Tabel menunjukkan bahwa di hutan mangrove Pulau Numfor, genus Pseudomonas mempunyai anggota spesies terbanyak, disusul dengan spesies dari genus Bacillus dan genus Azetobacter. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dijumpai dari hasil tinjauan Sahoo & Dhal (2009) serta penelitian Utami (2011), yang menemukan bahwa ketiga genus bakteri tersebut merupakan genus-genus bakteri yang umum dijumpai di daerah mangrove tropis. 70 S i n te si s R P I

93 Tabel Genus dan spesies bakteri yang dijumpai di lokasi penelitian No. Kelompok Genus Spesies spesies 1. BPF Chromobacterium Chromobacterium sp Pseudomonas Pseudomonas sp Bacillus Bacillus sp Total isolat BPN Azetobacter Azetobacter sp Pseudomonas Pseudomonas sp Klebsiella Klebsiella sp Nitrosomonas Nitrosomonas sp Bacillus Bacillus sp Total isolat BPS Desulfomicrobium Desulfomicrobium sp.1 1 Desulfobacter Desulfobacter sp.1 1 Desulfovibrium Desulfovibrium sp1. 1 Total isolat 3 Pengamatan terhadap karakter morfologis dari ketiga kelompok isolat yang diambil dari lapangan menunjukkan adanya kisaran variasi yang cukup luas, baik dalam karakter morfologi koloni maupun morfologi sel bakteri yang dijumpai (Tabel ). Pengamatan terhadap karakter morfologi sel memperlihatkan bahwa bakteribakteri yang dijumpai umumnya berbentuk batang, baik yang berukuran panjang maupun pendek, dan sisanya merupakan bakteri berbentuk coccus (bulat). Selain pengamatan terhadap bentuk sel bakteri dalam keadaan hidup, juga dilakukan pengamatan sel-sel mati dengan proses pewarnaan. Bakteri yang hidup hampir tidak berwarna dan tidak terlalu kontras dengan warna air, di mana sel-sel bakteri tersebut biasa tersuspensi. Proses pewarnaan dengan larutan kimia tertentu akan menyebabkan bakteri-bakteri tersebut bereaksi dan lebih menyolok warnanya terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga lebih mudah diamati dan diidentifikasi. Dari proses pewarnaan, sebagian besar bakteri yang dijumpai merupakan bakteri Gram positif (+) yang menunjukkan warna biru-ungu pada pengamatan makroskopik, sedangkan sisanya merupakan bakteri Gram negatif (-) yang menunjukkan warna merah. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 71

94 Tabel Karakter morfologi isolat bakteri yang diamati Morfologi Isolat Morfologi koloni Morfologi Sel No Isolat Bentuk Pengecatan Gram Warna koloni Bentuk Sel Gerakan Sel koloni (-) (+) 1. BPF 1 Kuning Curved Batang - v Motil 2. BPF 2 Putih Bulat Batang v - Motil 3. BPF 3 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 4. BPF 4 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 5. BPF 5 Krem Bulat Batang Pendek - v Motil 6. BPF 6 Putih Bulat Batang v - Motil 7. BPF 7 Krem Bulat 8. BPF 8 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 9. BPF 9 Putih Bulat Batang v - Motil 10. BPF 10 Putih Bulat Batang pendek - v Motil 11. BPF 11 Kuning Bulat Batang v - Motil 12. BPF 12 Kuning Curved Coccus - v 13. BPF 13 Putih Curved Batang pendek - v Motil 14. BPF 14 Putih Bulat Batang pendek - v Motil 15. BPF 15 Putih Transparan Bulat Batang v - Motil 16. BPF 16 Krem Curved Coccus - v 17. BPF 17 Putih Bulat Batang v - Motil 18. BPF 18 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 19. BPF 19 Putih Bulat Batang v - Motil 20. BPF 20 Putih Transparant Curved Coccus - v Motil 21. BPF 21 Putih Bulat Batang v - Motil 22. BPF 22 Krem Bulat Batang pendek - v Motil 23. BPF 23 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 24. BPF 24 Krem Curved Batang pendek - v Motil 25. BPF 25 Kuning Curved Coccus v Motil 26. BPN 1 Krem Amoeboid - v Motil 27. BPN 2 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 28. BPN 3 Putih Amoeboid Batang pendek - v Motil 29. BPN 4 Krem Amoeboid Batang pendek - v Motil 30. BPN 5 Putih kecoklatan Bulat Batang v - Motil 31. BPN 6 Coklat Bulat Batang pendek v - Motil 32. BPN 7 Putih Amoeboid Batang pendek - v Motil 33. BPN 8 Putih Susu Bulat Batang v - Motil 34. BPN 9 Putih kecoklatan Amoeboid Batang pendek - v Motil 35. BPN 10 Coklat AMoeboid Batang pendek v - Motil 36. BPN 11 Krem Bulat Batang v - Motil 37. BPN 12 Krem Bulat Batang pendek v - Motil 38. BPN 13 Jingga Bulat Batang pendek - v Motil 39. BPN 14 Jingga Amoeboid Coccus v - Motil 40. BPN 15 Putih Amoeboid Batang pendek - v Motil 41. BPN 16 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 42. BPN 17 Coklat Amoeboid Coccus v - Motil 43. BPN 18 Putih susu Bulat Batang pendek - v Motil 44. BPN 19 Jingga Amoeboid Coccus v - Motil 45. BPN 20 Putih Transparant Bulat Batang v - Non Motil 46. BPN 21 Putih Bulat Batang pendek - v Motil 47. BPN 22 Putih susu Amoeboid Batang pendek - v Motil 48. BPN 23 Putih Amoeboid Batang pendek - v Motil 49. BPN 24 Putih Bulat Batang v - Motil 50. BPS 1 Putih Transparant Bulat Batang v - Motil 51 BPS2 Putih Transparant Bulat Batang pendek v - Motil 52 BPS3 Putih Bulat Batang pendek v - Motil 72 S i n te si s R P I

95 Hampir seluruh bakteri yang diidentifikasi termasuk kategori motil dari segi gerakannya, dan hanya sangat sedikit yang tidak menunjukkan kemampuan tersebut. Karakter motil bakteri ini menunjukkan adanya gerak aktif dari bakteri yang diakibatkan adanya organ flagella yang dimiliki sel bakteri tersebut. Sementara bakteri non-motil merupakan bakteri yang tidak dapat bergerak secara aktif karena tidak memiliki organ yang mendukung pergerakannya. Sekalipun bakteri non-motil tampak bergerak, gerakan yang timbul dapat digolongkan gerakan pasif. Gerakan ini timbul akibat adanya gerakan partikelpartikel di sekitarnya, misalnya gerakan dari molekul-molekul air (gerak Brown) yang menyebar ke segala arah. Pengamatan terhadap karakter biokimia bakteri yang dijumpai menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri dari masing-masing isolat memberikan respon beragam dalam kaitannya dalam produksi dan hidrolisis enzim-enzim tertentu (Tabel ). Tabel Karakter biokimia isolat bakteri yang diamati Karakter Biokimia Isolat No. Isolat TSIA Katalase Indol Nitrat Oksidase Urease Dekstrosa Sukrosa Laktosa H 2 S Gas 1. BPF 1 v - v v v - v v BPF 2 v v - v v v 3. BPF 3 v v - v - v 4. BPF 4 v v - v v v 5. BPF 5 v v v - v v - - v 6. BPF 6 v v - v v - 7. BPF 7 v v v v v - - v - 8. BPF 8 v v - v - v 9. BPF 9 v v - v v v 10. BPF 10 v v v v v v 11. BPF 11 v v - v v v 12. BPF 12 v - v v v - v v BPF 13 v v v v v - - v v 14. BPF 14 v v v v v - - v v 15. BPF 15 v v v - v v v 16. BPF 16 v - v v v - v - - v 17. BPF 17 v v - v BPF 18 v v - v v v 19. BPF 19 v v - v v 20. BPF 20 v - v v v - v v - v 21. BPF 21 v v - v v v 22. BPF 22 v v v v v - - v v 23. BPF 23 v v - - v BPF 24 v v v v v - - v BPF 25 v - v v v - v v - - Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 73

96 Karakter Biokimia Isolat No. Isolat TSIA Katalase Indol Nitrat Oksidase Urease Dekstrosa Sukrosa Laktosa H 2 S Gas 26. BPN 1 v - v v v - v v v v 27. BPN 2 v v v 28. BPN 3 v - v v v - v v v v 29. BPN 4 v - v v v - v v v v 30. BPN 5 v - v v v - v v v v 31. BPN 6 v - v v v v v v BPN 7 v - v v v - v v v BPN 8 v v - v v BPN 9 v - v v v - v v v 35. BPN 10 v - v v v v v - v 36. BPN 11 v - v v v - v v v v 37. BPN 12 v v - v v - v v BPN 13 v v v v v - - v BPN 14 v - v v v - v v v BPN 15 v - v v v - v v v v 41. BPN 16 v v - v v v 42. BPN 17 v - v v v v v v - v 43. BPN 18 v v v v v - - v v 44. BPN 19 v - v v v v v v BPN 20 v v - v v BPN 21 v v v v v - - v BPN 22 - v v v v - - v v 48. BPN 23 - v v v v - - v BPN 24 v v - v v BPS 1 v - v v v - v v v v 51. BPS2 v - - v v - v v v v 52. BPS3 v v - v v - v v - v Pengamatan selanjutnya yang dilakukan adalah terhadap karakter fisiologis bakteri yang dijumpai. Karakter ini menunjukkan kaitan sangat erat antara kemampuan adaptasi bakteri-bakteri tersebut terhadap lingkungannya, sekaligus kisaran kondisi ekologis yang mampu ditoleransi masing-masing bakteri (Tabel ). Tabel Karakter fisiologi isolat bakteri yang diamati No. Isolat 1. BPF 1 2. BPF 2 3. BPF 3 4. BPF 4 74 S i n te si s R P I Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh Suhu ph pada NaCl Kebutuhan O2 Genus % 2% v v v v v v v Aerob Chromobacterium sp1 v v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp1 fakultatif - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp2 fakultatif v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp3 fakultatif

97 No. Isolat 5. BPF 5 6. BPF 6 7. BPF 7 8. BPF 8 9. BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPF BPN BPN BPN BPN BPN 5 Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh Suhu ph pada NaCl Kebutuhan O2 Genus % 2% - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp1 Obligat v v v - - v v v v Anaerob Pseudomonas sp4 fakultatif - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp2 Obligat v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp5 fakultatif v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp6 fakultatif v v v v v v v v Aerob Bacillus sp3 Obligat - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp7 fakultatif - v v v v v v Aerob Chromobacterium sp2 - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp4 Obligat v v v v v v v v Aerob Bacillus sp5 Obligat - v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp8 fakultatif v v v v v v v Aerob Chromobacterium sp3 - v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp9 fakultatif - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp10 fakultatif - v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp11 fakultatif - v v v v v v Aerob Chromobacterium sp4 - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp12 fakultatif - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp6 Obligat - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp13 fakultatif v v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp7 Obligat v v v v v v v Aerob Chromobacterium sp5 - v v v v v v v v v v Aerob Azotobacter sp1 Obligat - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp14 fakultatif - v v v v v v Aerob Azotobacter sp2 Obligat - v v v v v v v Aerob Azotobacter sp3 Obligat v v v v v v v Anaerob Klebsiella sp1 fakultatif Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 75

98 Karakter Fisiologi Isolat Tumbuh No. Isolat Suhu ph pada NaCl Kebutuhan O2 Genus % 2% 31. BPN v v v - - v v v v v Aerob Nitrosomonas sp BPN - v v v v v v Aerob Azotobacter sp4 7 Obligat 33. BPN - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp15 8 fakultatif 34. BPN - v v v v v v Aerob Azotobacter sp5 9 Obligat 35. BPN v v v v - - v v v v v Aerob Nitrosomonas sp BPN - v v v v v v Anaerob Klebsiella sp2 11 fakultatif 37. BPN - v v - - v v v v v v Anaerob Nitrosomonas sp BPN - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp8 13 Obligat 39. BPN - v v v v v v Anaerob Klebsiella sp3 14 fakultatif 40. BPN - v v v v v v Aerob Azotobacter sp6 15 Obligat 41. BPN v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp16 16 fakultatif 42. BPN v v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp BPN - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp9 18 Obligat 44. BPN v v v v v v v Aerob Nitrosomonas sp BPN - v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp17 20 fakultatif 46. BPN - v v v v v v v Aerob Bacillus sp10 21 Obligat 47. BPN - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp11 22 Obligat 48. BPN - v v v v - - v v v v Aerob Bacillus sp12 23 Obligat 49. BPN v v v v v v v Anaerob Pseudomonas sp18 24 fakultatif 50. BPS 1 - v v v - v v v v v v Anaerob fakultatif Desulfomicrobium sp 51. BPS2 - v v - - v v v v v v Anaerob Desulfobacter sp fakultatif 52. BPS3 v v v - - v v v v v v Anaerob Desulfovibrium sp Pengujian dalam tingkat suhu media menunjukkan bahwa suhu optimum bagi ketiga kelompok bakteri adalah pada kisaran suhu C, sementara diamati bahwa hanya sebagian kecil saja yang mampu bertahan hidup pada tingkat suhu ekstrim seperti 15 C, 45 C dan 50 C. 76 S i n te si s R P I

99 Tabel menunjukkan bahwa Bacillus sp.7 merupakan satu-satunya bakteri kelompok BPF yang mampu hidup dengan kisaran suhu terluas yaitu C. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada umumnya bakteri-bakteri tersebut akan tumbuh dan berkembang secara optimal pada daerah perakaran dan perairan hutan mangrove daerah tropis yang bersuhu air dengan kisaran serupa. Pengujian pada tingkat keasaman substrat yang berbeda menunjukkan bahwa kondisi keasaman (ph) yang optimum untuk hampir seluruh bakteri yang dijumpai adalah pada kisaran ph netral (6 7), sementara hanya sedikit yang mampu bertahan pada ph asam (ph=4 dan 5). Tabel juga menunjukkan bahwa ketiga jenis BPS yang dijumpai mampu hidup pada lingkungan dengan ph 4 7. Seluruh bakteri yang dijumpai juga menunjukkan kemampuan bertahan hidup dalam kondisi media dengan kadar garam (NaCl) 1%. Pada kadar garam 2% bakteri-bakteri dari kelompok BPF dan BPS mampu bertahan hidup, sementara hanya 10 spesies dari kelompok BPN yang mampu bertahan dari 24 spesies yang dijumpai. Kondisi tingkat salinitas yang berbeda pada hutan mangrove, terutama yang berada dekat dengan sumber air tawar dari daratan (seperti mata air di daerah pesisir, sungai dan muara sungai) ikut mempengaruhi kemampuan adaptasi bakteri terhadap kadar garam ini. Masing-masing kelompok bakteri tersebut memperlihatkan kebutuhan oksigen yang bervariasi pula dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Tabel menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri dari kelompok BPF merupakan bakteri anaerob obligat, sebagian besar anggota kelompok BPN yang dijumpai adalah bakteri aerob fakultatif sementara ketiga spesies dari kelompok BPS merupakan bakteri anaerob. Perbedaan kemampuan masing-masing kelompok bakteri ini menunjukkan bahwa pada daerah-daerah dengan kondisi oksigen yang sangat terbatas, beberapa spesies dari kelompok BPF dan BPN masih dapat berkembang, sementara bakteri dari kelompok BPS yang dijumpai sepenuhnya memerlukan habitat atau substrat tanpa oksigen. Kondisi ketersediaan oksigen yang beragam pada lapisan tanah dalam kawasan hutan mangrove, beserta proses pembusukan yang terjadi ikut mempengaruhi keragaman bakteri yang mampu hidup. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 77

100 Pengujian aktivitas enzim yang dihasilkan oleh kelompok bakteri yang dijumpai memperlihatkan bahwa enzim protease hanya dihasilkan dari kelompok isolat BPN (Tabel ). Sementara, aktivitas enzim karboxylmethylselulase tampak pada isolat bakteri kelompok BPF dan BPN. Isolat BPS sama sekali tidak menunjukkan aktivitas kedua enzim tersebut. Enzim protease adalh enzim yang berfungsi menghidrolisis atau memecah protein. Bakteri-bakteri yang menunjukkan aktivitas yang menghasilkan enzim ini mendukung proses pemecahan protein. Sedangkan enzim Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan turunan selulosa yang mudah larut dalam air. CMC mudah dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana oleh enzim selulase dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol oleh bakteri. Tabel Kisaran karakter bakteri yang dijumpai berdasarkan aktivitas enzim No. Aktivitas Enzim ISOLAT BPF ISOLAT BPN ISOLAT BPS 1. Enzim Protease Enzim Karboxylmethylselulase b. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa hutan mangrove Pulau Numfor didominasi oleh BPF dari species Pseudomonas spp., Bacillus spp., dan Chromobacterium spp. Dalam langkah-langkah identifikasi, keberadaan spesiesspesies ini ditunjukkan oleh terbentuknya daerah jernih atau bening di sekitar koloni bakteri yang dibiakkan pada media, karena bakteri tersebut mampu melarutkan fosfat. Isolat yang terbentuk diketahui ada yang mempu memecah gugus asam amino Lysine, Ornithine dan Arginine, mampu memfermentasi dektrosa dan laktosa, dapat menghidrolisis Urease tapi tidak mampu menghidrolisis ONPG dan Gelatin, juga tidak menghidrolisis asam amino sistein pada uji H 2 S, terbentuk Indole, terbentuk acetoin pada uji Voges-Proskauer, serta menghasilkan enzim Citrase pada uji Citrate Ketiga spesies bakteri ini termasuk dalam kelompok BPF yang dapat dijumpai mendiami daerah mangrove dan berperanan penting dalam pelarutan fosfor (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Fosfor merupakan 78 S i n te si s R P I

101 komponen esensial untuk DNA, RNA, ATP dan semua organisme hidup sangat tergantung pada ketersediaan unsur tersebut. Persentase kandungan unsur fosfor (P) dalam ekosistem tanah sangat tergantung dari adanya BPF dalam ekosistem tanah tersebut. Di alam unsur P selalu berada dalam bentuk fosfat anorganik. Batu kapur merupakan reservoir P anorganik yang mengandung senyawa yang tidak terlarut Ca 5. (PO 4 ) 3 F. Sebelum masuk ke sistem biologi, mineral tersebut harus mengalami fosfatisasi yaitu dikonversikan terlebih dahulu menjadi PO 4 terlarut. Fosfat secara alami akan terlepas ketika terjadi pertumbuhan bakteri penghasil asam sulfat pada batu kapur tersebut. Sejumlah bakteri dan mikrobia tanah mempunyai peranan penting dalam pelarutan fosfat di dalam tanah, terutama mikrobia penghuni sistem perakaran tumbuhan misalnya tumbuhan mangrove. Bakteri-bakteri ini akan melarutkan fosfat (dan kalium) yang terkandung di dalam tanah yang terikat oleh ikatan mineral liat yang terakumulasi secara alami. Pseudomonas sp., Bacillus sp., dan Chromobacterium sp. adalah sebagian dari kelompok BPF yang mempunyai kemampuan tinggi sebagai biofertilizer atau penyubur alami dengan cara melarutkan unsur P yang terikat pada unsur lain (Fe, Al, Ca, dan Mg), sehingga unsur P tersebut menjadi tersedia bagi tanaman (Rao, 1994). BPF juga diketahui mampu hidup dalam ekosistem bersalinitas tinggi maupun kondisi ekstrim. BPF Genus Pseudomonas, Chryseomonas, Cerratia, dan Bacillus, hidup bebas pada ekosistem kering seperti tanah dan ekosistem berair seperti pantai pasang surut, lepas pantai, pesisir, laut hingga daerah mangrove (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Seperti telah dibahas sebelumnya, unsur fosfor dapat meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah pertanian serta dibutuhkan untuk produktivitas biologi di lingkungan perairan juga daerah pertanian yang bersalinitas tinggi (Holguin et al, 2001; Sahoo & Dhal, 2008). BPF juga diketahui mampu berasosiasi dengan akar tanaman dan memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman sehingga disebut Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 79

102 Beberapa BPF hidup pada kisaran kondisi asam, netral, sampai dengan basa. Ekosistem terbaik untuk BPF adalah rizosfir tanaman, karena di daerah tersebut terdapat eksudat akar yang berupa asam amino,vitamin, faktor tumbuh, tanin, alkoloid, dan bahan organik sisa jaringan tanaman (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). c. Bakteri Penambat Nitrogen (BPN) Isolasi BPN menggunakan menggunakan media cair Thompson-Skerman dan medium Glukosa-agar telah menghasilkan kelompok bakteri Pseudomonas spp., Azotobacter spp., Klebsiella spp., Nitrosomonas spp., dan Bacillus spp. Berdasarkan pengamatan, bakteri Azotobacter spp. dan Bacillus spp. merupakan bakteri anaerob obligat, sedangkan bakteri Pseudomonas spp. dan Klebsiella spp. adalah bakteri anaerob fakultatif. Di antara bakteri pelarut tersebut, terdapat beberapa species dari genus Azotobacter yang telah banyak diteliti karena kemampuan bakteri untuk mengikat nitrogen bebas walaupun dikulturkan pada medium yang bebas nitrogen. Hasil pengikatan nitrogen bebas tersebut adalah amoniak (Budiyanto, 2004; Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Kondisi ini dikuatkan pula pada kondisi di alam, bahwa sebagian besar nitrogen yang terdapat dalam tanaman berasal dari penambatan mikroorganisme prokariot seperti bakteri (Holguin et al, 2001; Rao, 1994; Sahoo & Dhal, 2008). Penambatan nitrogen di dalam tanah dilakukan oleh jasad renik yang hidup bebas. Ada beberapa genera bakteri yang hidup dalam tanah (misalnya Azotobacter, Clostridium, dan Rhodospirillum) yang mampu mengikat molekul-molekul nitrogen yang dapat dijadikan senyawa-senyawa pembentuk tubuh mereka, misalnya protein (Dwijoseputro, 2005). Sebagai tambahan, mikroba penambat N di alam diketahui ada yang mampu hidup bebas dan ada pula yang dapat bersimbiosis. d. Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) Kelompok BPS dalam penelitian ini ditemukan terutama pada tiga isolat BPS pada rizhosfir Xylocarpus granatum yang sudah mati, dan pada beberapa jenis mangrove yang tumbuh di sekitarnya. Kehadiran BPS dalam lingkungan ini 80 S i n te si s R P I

103 disebabkan karena bakteri dan O 2 atmosfer mengoksidasi sulfur organik dalam sisasisa makhluk hidup menghasilkan SO 4 (Holguin et al., 2001; Sahoo & Dhal, ). Sebagian besar organisme membutuhkan sulfur sebagai sulfat (SO 2-4 ) dan mengasimilasi sulfur melalui proses reduksi. Dalam lingkungan anaerobik, yang merupakan kondisi umum lapisan tanah di hutan mangrove, bakteri menggunakan sulfat sebagai sumber energi untuk menghasilkan sulfur atau H 2 S. Bakteri memegang peranan besar dalam proses oksidasi dan reduksi pada siklus sulfur. Bakteri sulfur dan bakteri pengoksidasi sulfit, yang biasanya bersifat litotrof, yang menggunakan bahan anorganik sebagai donor elektron, akan menghasilkan sulfat (seringkali dalam bentuk asam sulfur) sehingga bertanggung jawab dalam proses asidifikasi atau pengasaman lingkungan. BPS menggunakan sulfat sebagai akseptor atau penerima elektron dalam respirasi anaerobik dan menghasilkan hidrogen sulfida (H 2 S). Oleh karena hidrogen sulfida bersifat toksik dan juga bereaksi dengan berbagai unsur logam, maka reaksi sulfat berperan penting dalam proses biogeokimia (Brock & Madigan, 1991). Berdasarkan karakter morfologi, biokimia dan fisiologi, maka ketiga isolat BPS tersebut diidentifikasi sebagai Desulfomicrobium sp., Desulfobacter sp. dan Desulfovibrium sp. Perkembangan BPS ini sangat tergantung pada ketersediaan sulfat, bahan organik yang dapat dioksidasi, serta dalam keadaan lingkungan tanpa oksigen. Sulfat yang tertimbun di dalam tanah selanjutnya akan direduksi menjadi hidrogen sulfida. Pembentukan hidrogen sulfida ini diketahui banyak terjadi pada tanah-tanah berlumpur dan tanah-tanah yang selalu tergenang, seperti pada rhizosfir mangrove (Soetarto, 2000). Sebagian besar gas sulfur yang mudah menguap di alam adalah hidrogen sulfida (H 2 S), yang dibentuk terutama oleh BPS. Berbagai macam organisme dapat menggunakan sulfat sebagai sumber sulfur dan melakukan reduksi sulfat, mengubah HS - membentuk sulfur organik R-SH. HS - selanjutnya akan terbentuk kembali dari dekomposisi sulfur organik oleh proses putrefaction (pembusukan) dan desulfurilasi (Brock & Madigan, 1991). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 81

104 e. Hubungan Komunitas Bakteri dengan Transformasi Nutrisi dalam Hutan Mangrove Hutan mangrove sebagai salah satu tipe ekosistem yang banyak dijumpai di daerah tropis merupakan tempat berkembangnya komunitas bakteri, yang mampu mengisi sejumlah relung (niche) sekaligus berfungsi sebagai komponen dasar dalam berlangsungnya fungsi-fungsi lingkungan (Yunasfi, 2006 dalam Wijiyono, 2009). Sebagai suatu ekosistem, hutan mangrove juga memiliki komponen biotik dan abiotik yang saling berhubungan untuk mendukung fungsi-fungsi tersebut. Peranan penting komunitas bakteri sebagai mikrobia tanah hutan mangrove terutama terletak pada proses penyediaan dan penyerapan unsur hara bagi tumbuhan di hutan mangrove. Aktivitas bakteri pada dasarnya diperlukan untuk menjaga ketersediaan tiga unsur hara utama untuk tumbuhan, yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K). Bakteri telah terbukti memegang peranan penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri mampu meningkatkan tersedianya unsur-unsur hara tersebut melalui proses mineralisasi karbon dan asimilasi N (Blum et al., 1988; Holguin et al., 2001; Sahoo & Dhal, 2008). Sekitar 80% gas yang terdapat dalam udara atmosfer adalah N. Unsur N tersebut harus terlebih dahulu ditambat dan diubah bentuknya terlebih dahulu oleh bakteri agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan unsur P di alam yang membutuhkan bantuan aktivitas dari bakteri pelarut fosfat untuk mengubah bentuk P menjadi bentuk yang bisa dimanfaatkan untuk tumbuhan. Sedangkan unsur S merupakan unsur yang dihasilkan dari proses dekomposisi dan degradasi bahan organik oleh bakteri pereduksi sulfat. Proses-proses ini mengubah bentuk S menjadi bentuk yang dapat membantu mineralisasi sulfur organik, serta membantu proses produksi Fe dan fosfat terlarut, sekaligus mendukung proses fiksasi N. Bakteri-bakteri hidup dan berkembang pada organisme mati dengan menguraikan senyawa-senyawa bermolekul besar seperti protein, karbohidrat, lemak atau senyawa organik lain melalui proses metabolisme menjadi molekul- 82 S i n te si s R P I

105 molekul tunggal. Molekul-molekul tunggal yang terbentuk seperti asam amino, metana, gas CO 2, serta molekul-molekul lain yang mengandung unsur karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosfor dan sulfur, atau unsur anorganik seperti K, Mg, Ca, Fe, Zn, Cu, Mn dan Ni. Seluruh unsur ini dibutuhkan oleh bakteri heterotrof sebagai unsur nutrisi (Brock & Madigan, 1991). Kebanyakan bakteri yang hidup di perairan laut bersifat terikat, bergabung sesamanya untuk membentuk permukaan yang kuat karena adanya bahan berlendir yang terbentuk pada permukaan sel, sehingga sel-sel saling terikat. Dengan cara ini bakteri dapat membentuk lapisan permukaan yang mengakibatkan bakteri dapat hidup pada alga, rumput laut dan tumbuhan mangrove (Hutching & Saenger, 1987 dalam Wijiyono, 2009). Bakteri-bakteri tersebut dapat hidup pada lingkungan salin (bergaram) dan membutuhkan Na + untuk pertumbuhan dan untuk menjaga tekanan osmotik dan integritas sel (Lyla & Ajmal, 2006). Keberadaan spesies-spesies bakteri penting tersebut, seperti juga kondisi seluruh organisme di alam, selalu berhubungan dengan kondisi ekosistem dan habitatnya. Dalam penelitian ini, sebaran bakteri-bakteri tersebut membentuk pola yang dapat menandakan kondisi habitat tempat hidupnya (Tabel , Gambar ). Tabel Penyebaran bakteri berdasarkan lokasi pengambilan sampel No. Genus STA 1 STA 2 STA 3 STA 4 STA 5 Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 1. Chromobacter ium sp1. 2. Pseudomonas sp1. 3. Pseudomonas sp2. 4. Pseudomonas sp3. 5. Bacillus sp Pseudomonas sp4. 7. Bacillus sp Pseudomonas sp5. 9. Pseudomonas sp Bacillus sp Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 83

106 No. Genus STA 1 STA 2 STA 3 STA 4 STA 5 Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 11. Pseudomonas sp Chromobacter ium sp Bacillus sp Bacillus sp Pseudomonas sp Chromobacterium sp Pseudomonas sp Pseudomonas sp Pseudomonas sp Chromobacterium sp Pseudomonas sp Bacillus sp Pseudomonas sp Bacillus sp Chromobacterium sp Azotobacter sp Pseudomonas sp Azotobacter sp Azotobacter sp Klebsiella sp Nitrosomonas sp Azotobacter sp Pseudomonas sp Azotobacter sp Nitrosomonas sp Klebsiella sp Nitrosomonas sp Bacillus sp Klebsiella sp Azotobacter sp Pseudomonas sp S i n te si s R P I

107 No. Genus STA 1 STA 2 STA 3 STA 4 STA 5 Rm Nf Xg Bg Xm Rm Xm Bg Xgh Xgm Sa Rm Sa Rm Sa Ct 42. Nitrosomonas sp Bacillus sp Nitrosomonas sp Pseudomonas sp Bacillus sp Bacillus sp Bacillus sp Pseudomonas sp Desulfomicrobium sp. 51. Desulfobacter sp. 52. Desulfovibrium sp Catatan : Jumlah angka (1, 2 dan 3 serta tanda kurang (-)) menunjukkan kejadian ditemukannya bakteri dari jumlah ulangan sampel yang diambil dari lokasi tersebut. Misalnya untuk urutan 1 dalam tabel ini, angka 2 pada kolom Rm STA 1 untuk Cromobacterium sp1. berarti dari bakteri ini ditemukan pada 2 isolat bakteri dari 3 isolat (replikasi) yang dikumpulkan dari rhizosfir di bawah pohon Rhizopora mucronata pada Stasiun 1 No 1-25 : isolat BPF No : isolat BPN No : isolat BPS STA 1 : 3 replikasi STA 2 : 3 replikasi STA 3 : 2 replikasi STA 4 : 2 replikasi STA 5 : 2 replikasi - Rm : Rhizopora mucronata - Ny : Nypa fructicans - Xg : Xylocarpus granatum - Bg : Bruguera gymnorrhiza - Xm : Xylocarpus mollucensis - Sa : Sonneratia alba - Ct : Ceriops tagal - Xgm : Xylocarpus granatum mati - Xgh : Xylocarpus granatum hidup Kelompok BPF dijumpai pada seluruh stasiun pengambilan contoh, baik yang berkondisi vegetasi masih sangat baik dengan beragam spesies pohon mangrove, hingga pada lokasi dengan jumlah spesies yang minim. Kondisi serupa juga tampak pada kelompok BPN yang memiliki sebaran cukup luas pada kelima stasiun pengamatan. Kondisi yang agak berbeda tampak pada kelompok BPS yang hampir tidak dijumpai pada kelima stasiun pengamatan. Kelompok BPS ini muncul terutama pada rhizosfir di bawah spesies Xylocarpus granatum yang sudah mati akibat tersambar petir. Sebaliknya, pada lapisan rhizosfir ini juga sulit sekali ditemui adanya bakteri-bakteri dari kelompok lain. Kondisi ini dengan jelas menunjukkan kekhasan kelompok bakteri pereduksi sulfat yang terutama berfungsi mendekomposisi dan mendegradasi bahan organik dari tumbuhan mati untuk Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 85

108 menjadi unsur-unsur anorganik ke dalam lingkungan sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan lain. a) b) c) d) Gambar Kondisi mangrove pada beberapa stasiun pengambilan sampel: a) STA 1, b) STA 2, c) STA 3, d) STA Peran Ekosistem Mangrove dalam Penjerapan Polutan Perairan Penelitian atau kajian yang terkait dengan peran mangrove dalam penjerapan zat pencemar (polutan) telah dilaksanakan pada berbagai tipologi ekosistem mangrove di Pulau Jawa. Beberapa lokasi penelitian tersebut antara lain di Sungai Cimalaya-Ciasem (Purwakarta, Jawa Barat), Sungai Donan-Cilacap (Jawa Tengah), dan Sungai Segoro Anak-Taman Nasional Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur pada bulan Juli Desember 2010; serta Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) pada bulan Juni Desember Aspek penelitian meliputi jenis polutan dan kandungannya pada vegetasi mangrove, 86 S i n te si s R P I

109 perairan dan substrat tanah/lumpur, biota (seperti ikan dan udang), serta keberadaan plankton dan benthos dalam eksositem mangrove. Sungai Cilamaya (Purwakarta, Jawa Barat), S. Donan (Cilacap, Jawa Tengah) dan S. Segoro Anak (Banyuwangi, Jawa Timur) merupakan lokasi perairan pada ekosistem mangrove yang dijadikan sampel untuk mengetahui terdapatnya kandungan zat pencemar atau polutan dari jenis Cu (cuprum/tembaga), Pb (plumbum/timbal/timah hitam) dan Hg (merkuri/air raksa). Sementara itu, kawasan mangrove di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) merupakan lokasi yang dijadikan sampel untuk mengetahui terdapatnya kandungan zat polutan dari jenis Mn (mangan), Zn (zink/seng), Cr (chromium), dan Cd (cadmium). Jenis-jenis polutan tersebut merupakan contoh dari berbagai jenis bahan beracun dan berbahaya (B3) bagi kesehatan dan lingkungan. Sumber polutan di setiap lokasi penelitian berasal dari limbah/buangan industri dan aktivitas manusia di sekitarnya. Sumber polutan di S. Cilamaya diduga banyak dihasilkan oleh industri yang berada di tepi sungai. Sumber polutan di S. Segara Anak diduga berasal dari aktivitas pengambilan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan zat-zat berbahaya pada lokasi menjauhi dermaga. Sumber polutan di S. Donan diketahui berasal dari dua industri besar, yaitu kilang minyak dan pabrik semen yang tentunya ada limbah yang terbuang dan mencemari sungai. Sementara itu, sumber polutan di Demak adalah industri perkayuan dan perikanan, serta di Denpasar adalah pelabuhan Benoa Kandungan Zat Polutan di dalam Vegetasi Mangrove Tingkat kandungan zat polutan pada berbagai jenis mangrove umumnya semakin tinggi bila semakin dekat dengan sumber pencemar (Tabel ; dan ). Hal ini sesuai dengan pernyataan Greenland dan Hayes (1981) yang menyatakan akumulasi zat pencemar ditentukan oleh konsentrasi zat tersebut dalam substrat (air dan tanah) atau dekat dengan sumber pencemar. Zat pencemar tersebut sebagian ada yang terjerap pada tanaman mangrove dan sebagian lagi terbawa air, mengendap dalam tanah dan masuk dalam biota perairan (ikan, udang dan lainlain). Jumlah logam berat yang diambil tanaman dari dalam tanah ditentukan oleh Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 87

110 ketersediaannya dan terkait dengan jenis tanamannya. Semakin banyak unsur tersebut di dalam tanah semakin mudah diserap oleh akar tanaman (Greenland dan Hayes, 1981). Semua vegetasi mangrove yang diambil sampelnya dari S. Donan diketahui mengandung zat polutan (terutama Cu dan Pb) paling tinggi dibandingkan dua lokasi lainnya, bahkan hingga lebih dari m dari sumber polutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada jarak m dari S. Donan terdapat kandungan Cu tertinggi (28,83 ppm) pada bagian akar dari jenis Avicenia marina, kandungan Pb tertinggi (144,99 ppm) pada bagian daun dari jenis Ceriops tagal, dan kandungan Hg tertinggi (11,24 ppm) pada bagian akar dari jenis Avicenia marina. Kemampuan bagian tumbuhan mangrove dalam menjerap zat polutan sangat bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bagian tumbuhan mangrove yang paling banyak menjerap zat polutan Cu berturut-turut adalah akar, batang, daun dan buah. Zat polutan Pb umumnya lebih banyak dijerap berturut-turut oleh bagian daun, batang, akar, dan buah. Bahkan, Pb juga merupakan zat polutan yang paling banyak terdapat pada semua bagian tumbuhan mangrove dibandingkan Cu dan Hg. Sementara itu secara kumulatif, Avicenia marina diketahui lebih besar menjerap zat polutan Cu dan Hg, sedangkan Ceriops tagal diketahui lebih besar menjerap zat polutan Pb. Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicenia marina Parameter Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari S. Cilamaya m > m >1000 m Akar (ppm) Cu 15,28 13,37 5,63 Pb 105,60 97,52 82,86 Hg 0,002 <0,0001 <0,0001 Batang (ppm) Cu 10,39 8,57 7,04 Pb 66,70 49,49 48,23 Hg 0,059 0,045 <0,0001 Daun (ppm) Cu 8,03 6,96 5,08 Pb 110,81 86,43 81,33 Hg 0,026 0,001 <0, S i n te si s R P I

111 Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicenia marina Rhizophora apiculata Ceriops tagal Parameter Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari pabrik semen di Sungai Donan m > m >1000 m Akar (ppm) Cu 28,83 22,99 17,09 Pb 64,44 60,53 58,86 Hg 11,24 0,094 <0,0001 Batang (ppm) Cu 17,60 11,12 1,39 Pb 74,93 63,38 51,14 Hg 1,55 0,607 <0,0001 Daun (ppm) Cu 9,48 8,16 5,47 Pb 91,96 87,64 74,66 Hg 0,157 0,032 <0,0001 Buah (ppm) Cu 5,19 5,13 1,33 Pb 59,34 45,45 43,07 Hg 0,085 0,002 <0,0001 Akar (ppm) Cu 14,56 13,69 12,15 Pb 71,41 53,71 42,55 Hg 0,216 0,045 <0,0001 Batang (ppm) Cu 12,75 10,75 1,71 Pb 72,57 67,55 53,40 Hg 4,59 0,677 0,001 Daun (ppm) Cu 5,55 5,25 2,44 Pb 91,55 82,92 78,54 Hg 0,134 0,061 0,009 Buah (ppm) Cu 2,07 1,33 0,23 Pb 56,56 45,81 31,80 Hg 0,092 0,056 0,038 Akar (ppm) Cu 17,33 15,45 17,38 Pb 68,18 61,89 58,89 Hg 0,038 0,009 <0,0001 Batang (ppm) Cu 15,80 9,70 5,26 Pb 77,33 58,14 43,66 Hg 0,070 0,021 <0,0001 Daun (ppm) Cu 10,57 8,05 3,66 Pb 144,99 97,49 86,82 Hg 0,534 0,014 0,004 Buah (ppm) Cu 3,23 1,63 1,36 Pb 64,48 58,71 44,65 Hg 0,581 0,053 0,004 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 89

112 Tabel Kandungan zat pencemar dalam vegetasi mangrove dan bagian tumbuhan di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Parameter Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari dermaga wisata di Sungai Segoro Anak 0 m m Avicenia marina Akar (ppm) Cu 5,89 7,79 Pb <0,006 <0,006 Hg <0,0001 <0,0001 Batang (ppm) Cu 1,80 4,06 Pb <0,006 <0,006 Hg <0,0001 <0,0001 Daun (ppm) Cu 9,93 10,72 Pb 8,58 44,80 Hg <0,0001 <0,0001 Rhizophora apiculata Akar (ppm) Cu 1,06 3,72 Pb <0,006 <0,006 Hg <0,0001 <0,0001 Batang (ppm) Cu 1,30 3,92 Pb <0,006 2,07 Hg <0,0001 <0,0001 Daun (ppm) Cu 4,66 5,54 Pb 14,38 29,94 Hg <0,0001 <0,0001 Buah (ppm) Cu 0,74 0,49 Pb <0,006 2,74 Hg <0,0001 <0,0001 Ceriops tagal Akar (ppm) Cu 2,85 Pb <0,006 Hg <0,0001 Batang (ppm) Cu 0,73 Pb <0,006 Hg <0,0001 Daun (ppm) Cu 5,92 Pb 19,84 Hg <0,0001 Buah (ppm) Cu 1,53 Pb <0,006 Hg <0,0001 Banyaknya akumulasi Pb pada bagian daun merupakan usaha lokalisasi yang dilakukan oleh tumbuhan yaitu mengumpulkan dalam satu organ. Proses masuknya unsur Pb ke dalam jaringan tumbuhan bisa melalui xylem ke semua bagian tumbuhan sampai ke daun atau dengan cara penempelan partikel Pb pada daun dan masuk ke dalam jaringan melalui stomata (Dahlan, 1986). Selain daun, akumulasi 90 S i n te si s R P I

113 Pb terbanyak yaitu pada bagian akar, hal ini berhubungan dengan ekskresi yang dilakukan oleh tumbuhan. Pengeluaran ion toksik selain melalui daun dilakukan melalui akar yaitu ion-ion tersebut secara aktif ditarik dari xylem kembali ke xylem parenchym dan kemudian dilepaskan dari akar kembali media (Andani dan Purbayanti, 1981). Zat pencemar Pb pada tumbuhan cenderung bersifat racun. Konsentrasi Pb sebesar 1 ppm berdampak besar dalam proses tumbuhan tersebut, termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Treshow, 1985). Selanjutnya dinyatakan oleh Greenland dan Hayes (1981) bahwa konsentrasi Pb pada tumbuhan yang masih dapat ditolerir sekitar 0,1 10 ppm bahan kering. Pada penelitian ini konsentrasi Pb pada beberapa vegetasi mangrove di S. Cilamaya sebesar 48,23 110,81 ppm, 31,80 144,99 ppm di S. Donan dan mencapai 44,8 ppm di S. Segara Anak sehingga hal ini sudah melebihi ambang batas normal. Analisis unsur Cu dan Hg menunjukkan akumulasi terbesar pada bagian akar, terutama jenis Avicennia marina. Andani dan Purbayanti (1981) menyatakan bahwa konsentrasi suatu ion lebih tinggi ditemukan di dalam akar dari pada di daun. Hal ini merupakan bukti kuat untuk lokalisasi ekstra seluler yang diduga akibat pengikatan fraksi pektin pada dinding sel. Unsur Cu termasuk dalam unsur esensial dalam kelompok unsur mikro, akumulasi unsur ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sementara itu, menurut hasil penelitian Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (2002), pohon Api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan akumulasi logam berat yang tinggi dengan cara melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam berat tersebut. Hasil penelitian terhadap zat polutan lainnya adalah terhadap kandungan unsur Mn, Zn, Cr dan Cd. Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa kandungan zat polutan yang paling tinggi dalam vegetasi mangrove secara berturutturut adalah Mn, Zn, Cd, dan Cr. Penjerapan unsur Mn paling banyak terdapat pada bagian daun Rhizophora apiculata (829,95 ppm) dan penjerapan unsur Zn paling banyak terdapat pada bagian akar Avicenia marina (169,04 ppm) di Kecamatan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 91

114 Suwung (Denpasar, Bali). Sementara itu, penjerapan unsur Cd paling banyak terdapat pada bagian batang R. apiculata (15,81 ppm) dan penjerapan unsur Cr paling banyak terdapat pada bagian akar A. marina (1,15 ppm) di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah). Berdasarkan jenis mangrove, kemampuan menjerap zat polutan diketahui berbeda antarlokasi penelitian. Secara umum, Avicenia marina lebih banyak menjerap empat jenis zat polutan dibandingkan Rhizophora apiculata di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah). Namun, kemampuan menjerap unsur Mn ternyata lebih besar pada R. apiculata di Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali). Selain itu, Mn merupakan zat polutan yang paling banyak konsentrasinya pada semua bagian tumbuhan, baik pada kedua jenis mangrove maupun kedua lokasi penelitian. Pada penelitian ini, jenis R. apiculata menjerap polutan cukup besar terutama di bagian akar dan batang. Hal ini diduga jenis ini mempunyai akar jangkar yang panjang dan permukaannya luas sehingga dapat menjerap polutan logam berat yang besar. Tabel Kandungan zat pencemar dalam bagian tumbuhan mangrove pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) Lokasi penelitian Kec. Sayung (Demak, Jawa Tengah) Kec. Suwung (Denpasar, Bali) Jenis mangrove dan bagian tumbuhan Avicennia marina Rhizophora apiculata Avicennia marina Rhizophora apiculata Kandungan zat pencemar berdasarkan parameter (ppm) Mangan/ Mn Zink/ Zn Kromium/ Cr Kadmium /Cd Akar 676,27 36,50 1,15 13,91 Batang 31,03 23,54 0,52 11,82 Daun 250,12 31,37 0,25 12,82 Buah Akar 43,94 14,04 1,08 8,71 Batang 231,97 18,08 <0,025 15,81 Daun 168,47 17,14 <0,025 7,76 Buah Akar 391,21 169,04 <0,025 7,71 Batang 124,44 33,42 <0,025 7,23 Daun 348,63 44,14 <0,025 7,70 Buah Akar 317,84 54,28 <0,025 6,19 Batang 479,58 25,86 <0,025 6,76 Daun 829,95 41,16 <0,025 7,16 Buah 28,30 20,71 <0,025 6,30 92 S i n te si s R P I

115 Selain akar, akumulasi Mn terbanyak yaitu pada bagian daun, hal ini berhubungan dengan ekskresi yang dilakukan oleh tumbuhan. Pengeluaran ion toksik selain melalui akar dilakukan melalui daun yaitu ion-ion tersebut secara aktif ditarik dari xylem kembali ke xylem parenchym dan kemudian dilepaskan dari akar kembali ke tanah (Andani dan Purbayanti, 1981). Zat pencemar Mn pada tumbuhan cenderung bersifat racun. Konsentrasi Mn sebesar 10 ppm berdampak besar dalam proses tumbuhan tersebut termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Treshow, 1985). Selanjutnya, Greenland dan Hayes (1981) menyatakan bahwa konsentrasi Mn pada tumbuhan yang masih dapat ditolerir sekitar 0,1 10 ppm bahan kering. Pada penelitian ini, konsentrasi Mn pada A. marina yang terendah adalah 31,03 ppm (pada bagian akar di Sayung) dan hal ini jauh melebihi ambang batas normal. Analisis unsur Zn di kedua lokasi menunjukkan bahwa akumulasi terbesar unsur tersebut juga pada bagian akar (36,50 ppm di Sayung dan 169,04 ppm di Suwung). Andani dan Purbayanti (1981) menyatakan bahwa konsentrasi suatu ion lebih tinggi ditemukan di dalam akar daripada di daun. Hal ini merupakan bukti kuat untuk lokalisasi ekstra seluler yang diduga akibat pengikatan fraksi pektin pada dinding sel. Unsur Zn termasuk dalam unsur esensial dalam kelompok unsur mikro, dan akumulasi unsur ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Masuknya Cr dan Cd ke dalam jaringan tanaman A. marina secara alamiah dapat terjadi karena beberapa faktor fisika antara lain erosi. Secara nonalamiah, unsur tersebut masuk ke dalam suatu lingkungan perairan terutama karena efek samping dari aktivitas yang dilakukan manusia dari kegiatan pabrik seperti electroplating, penyamakan kulit, pabrik tekstil, cat dan buangan limbah rumah tangga (Suprapti, 1998 dan 1999) Kandungan Zat Polutan di Berbagai Media/Komponen Biofisik Secara umum, substrat dasar pada ekosistem mangrove memiliki konsentrasi yang tinggi terhadap zat polutan di seluruh lokasi penelitian (Tabel sampai dengan Tabel ). Bahkan, jarak pengambilan sampel dari sumber polutan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap konsentrasi polutan di dalam Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 93

116 substrat tersebut. Walaupun demikian, jarak terdekat dari sumber polutan tetap memberikan nilai konsentrai yang lebih tinggi dibandingkan dibandingkan jarak yang lebih jauh. Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Media/Komponen Biofisik Fisik Biota Air tambak (mg/l) Substrat dasar (ppm) Ikan bandeng (µg/kg) Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak Parameter dari S. Cilamaya m > m >1000 m Cu <0,006 <0,006 <0,006 Pb <0,006 <0,006 <0,006 Hg 0,0093 0,0007 0,0006 Cu 650,31 640,12 588,19 Pb 21,20 20,97 18,53 Hg 0,016 0,016 0,016 Cu 2,55 1,85 1,18 Pb 6,60 5,03 2,32 Hg <0,1 <0,1 <0,1 Udang (µg/kg) Cu 4,73 3,59 2,10 Pb 12,85 3,88 0,81 Hg <0,1 <0,1 <0,1 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Media/Komponen Biofisik Fisik Biota Air sungai (mg/l) Substrat dasar (ppm) Ikan blanak (µg/kg) Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari Parameter pabrik semen di Sungai Donan m > m >1000 m Cu <0,006 <0,006 <0,006 Pb <0,006 <0,006 <0,006 Hg 0,0044 0,0019 0,0018 Cu 1.622, ,35 977,14 Pb 17,98 17,50 16,56 Hg 0,021 0,020 0,016 Cu 0,90 0,35 Pb 7,12 2,34 Hg 0,89 <0,1 94 S i n te si s R P I

117 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Jawa Timur) Media/Komponen Biofisik Fisik Air sungai (mg/l) Substrat dasar (ppm) Kandungan zat pencemar berdasarkan jarak dari Parameter dermaga wisata di Sungai Segoro Anak 0 m m Cu 0,034 0,025 Pb 0,119 0,014 Hg 0,0006 <0,0001 Cu 37,67 38,58 Pb 3,39 7,52 Hg <0,0001 <0,0001 Tabel Kandungan zat pencemar dalam berbagai media/komponen biofisik pada lokasi penelitian di Kecamatan Sayung (Demak, Jawa Tengah) dan Kecamatan Suwung (Denpasar, Bali) Lokasi Penelitian Sayung (Demak, Jawa Tengah) Suwung (Denpasar, Bali) Kandungan Zat Pencemar Berdasarkan Parameter Media/ komponen (mg/l) biofisik Mangan/ Mn Zink/ Zn Kromium/ Cr Kadmium/ Cd Fisik perairan 0,076 0,023 0,153 <0,007 substrat 819,21 103,01 2,03 10,61 Biota Ikan bandeng 1,57 17,52 <0,01 <0,001 Ikan nila 3,76 24,55 <0,01 <0,001 Udang 2,93 23,55 <0,01 <0,01 Fisik perairan 0,034 0,010 <0,025 <0,007 substrat 269,83 94,33 5,05 1,94 Biota Udang 5,64 26,03 <0,01 <0,01 Ketam 22,62 25,98 <0,01 0,67 Lokasi penelitian yang paling tinggi terpapar zat polutan Cu pada substrat dasarnya adalah Sungai Donan yaitu sebesar 1.622,35 ppm pada jarak m dari sumber polutan. Konsentrasi ion logam Cu tertinggi pada jarak ini juga terdapat di S. Cilamaya sebesar 650,31 ppm. Sementara itu, substrat di perairan Suwung dan Sayung didominasi dengan konsentrasi zat polutan Mn dan Zn. Zat polutan yang terdapat pada media atau komponen biofisik di ekosistem mangrove berasal dari buangan anorganik industri dan aktivitas manusia lainnya. Buangan anorganik ini merupakan bahan yang menjadi perhatian penting karena umumnya merupakan limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 95

118 mikroorganisme sehingga akan terjadi akumulasi (Wardhana, 1995). Bahan anorganik tersebut biasanya berasal dari buangan industri/ pelabuhan yang terdapat sekitar lokasi peneltian. Keberadaan ion-ion yang berasal dari logam berat maupun logam yang bersifat racun seperti mangan (Mn) dan zink (Zn) di dalam air akan sangat berbahaya bagi manusia dan air tersebut tidak dapat digunakan sebagai air minum. Kandungan logam berat tersebut secara alami memang sudah ada dalam air laut, tetapi konsentrasinya sangat rendah. Misalnya, plumbum (Pb) sebesar 0,03 g/l, argentum (Ag) sebesar 0,28 g/l, merkurium (Hg) sebesar (0,15 g/l) dan cuprum (Cu) sebesar 0,11 g/l, serta kandungan logam berat Zn dalam tanah secara alami rata-rata 50 mg/l dan Mn sebesar 100 mg/l. (Waldichuk, 1974 dalam Darmono, 2001). Kondisi biota perairan yang dijadikan sampel di semua lokasi penelitian juga sudah terpapar zat polutan dengan konsentrasi yang bervariasi sesuai dengan jenis zat polutan dan jenis biotanya. Konsentrasi Pb umumnya paling tinggi dibandingkan Cu dan Hg di S. Cilamaya dan S. Donan. Sementara itu, biota perairan di Sayung dan Suwung lebih banyak terpapar ion logam Zn. Berdasarkan jenis biota perairan yang menjadi sampel penelitian di S. Cilamaya, jenis udang umumnya diketahui mengandung zat polutan (Pb dan Cu) lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng. Zat polutan utama yang terdapat di udang tersebut adalah Pb dengan konsentrasi paling tinggi sebesar 12,85 μg/kg yaitu pada jarak m dari sumber polutan. Udang juga mengandung zat polutan cukup tinggi di Sayung dan Suwung. Selain itu, ion Zn merupakan jenis zat polutan yang paling banyak terkandung di dalam biota perairan di Sayung dan Suwung. Kandungan Zn mulai dari yang tertinggi pada jenis biota perairan tersebut adalah udang, ketam, ikan nila dan ikan bandeng Kelimpahan Plankton dan Benthos pada Ekosistem Mangrove yang Diindikasikan Terdapat Zat Polutan Kelimpahan plankton dan benthos pada perairan mangrove yang dijadikan lokasi penelitian sangat bervariasi, baik berdasarkan jarak dari sumber polutan 96 S i n te si s R P I

119 maupun lokasi penelitian (Tabel ; dan ). Namun demikian, nilai kelimpahan plankton dan benthos umumnya semakin tinggi bila lebih jauh dari sumber polutan. Selain itu, keberadaan jenis atau taksa setiap organisme tidak selalu ditemukan sama pada lokasi atau jarak yang berbda dari sumber polutan. Secara umum, jumlah taksa phytoplankton lebih banyak dibandingkan zooplankton dan benthos di semua lokasi penelitian. Nitzschia sp. adalah jenis phytoplankton yang ditemukan di semua lokasi penelitian di S. Cilamaya, S. Donan dan S. Segara Anak, serta pada semua jarak pengambilan sampel dari sumber polutan. Sementara itu, jenis zooplankton yang juga ditemukan pada semua lokasi tersebut adalah Nauplius sp. Tabel Kelimpahan plankton dan benthos dalam tambak di perairan S. Cilamaya, Purwakarta (Jawa Barat) Organisme Jarak dari S. Cilamaya m > m >1000 m Phytoplankton Bacillariophyceae : Surirella sp Navicula sp Nitzschia sp Asterionella sp Fragillaria sp Tabellaria sp Gyrosigma sp Zooplankton Crustaceae: Nauplius sp Daphnia sp Copepoda: Cyclopoid sp Jumlah taksa (C) Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 1,630 1,242 1,787 Indeks keseragaman (e) 0,175 0,128 0,192 Indeks dominansi (D) 0,219 0,368 0,188 Benthos Mollusca : Mitra sp Phos sp Venus sp Ceritium sp Turris sp Nassarius sp Jumlah taksa (C) Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 97

120 Organisme Jarak dari S. Cilamaya m > m >1000 m Jumlah individu/m Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 0,931 0,154 0,150 Indeks keseragaman (e) 0,144 0,026 0,022 Indeks dominansi (D) 0,427 0,931 0,933 Tabel Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Donan, Cilacap (Jawa Tengah) Organisme Jarak dari pabrik semen m > m >1000 m Phytoplankton Bacillariophyceae : Navicula sp Nitzschia sp Gyrosigma sp Fragillaria sp Tabellaria sp Zooplankton Crustaceae: Nauplius sp Rotifera: Trichocerca sp Copepoda: Cyclopoid sp Jumlah taksa (C) Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 1,696 1,841 1,857 Indeks keseragaman (e) 0,191 0,199 0,192 Indeks dominansi (D) 0,200 0,173 0,186 Benthos Mollusca : Epitonium sp Buccimum sp Cancellaria sp Tarebia sp Lymnea sp Crustaceae: Hemigrapsus sp Jumlah taksa (C) Jumlah individu/m Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 0,693 0,693 1,040 Indeks keseragaman (e) 0,204 0,204 0,254 Indeks dominansi (D) 0,500 0,500 0, S i n te si s R P I

121 Tabel Kelimpahan plankton dan benthos di perairan S. Segoro Anak, TN Alas Purwo (Banyuwangi, Jawa Timur) Organisme Jarak dari dermaga wisata 0 (m) (m) Phytoplankton Bacillariophyceae : Navicula sp Nitzschia sp Coscinodiscus sp Fragillaria sp Surirella sp Diatoma sp Zooplankton Crustaceae: Nauplius sp Rotifera: Cyclopoid sp Jumlah taksa (C) 7 5 Jumlah individu/l (N) Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 1,86 1,55 Indeks keseragaman (e) 0,21 0,17 Indeks dominansi (D) 0,167 0,219 Benthos Mollusca : Mitra sp Venus sp Jumlah taksa (C) 2 1 Jumlah individu/m Indeks keanekaragaman Shannon (H ) 0,673 0 Indeks keseragaman (e) 0,156 0 Indeks dominansi (D) 0,52 1 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 99

122 Gambar Pengambilan material sampel penelitian terkait fungsi penjerapan polutan oleh mangrove (jenis dan bagian tumbuhan mangrove, air dan substrat, serta biota perairan) Peran Ekosistem Mangrove Dalam Penjeratan Sedimen Terlarut Penelitian atau kajian terhadap peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut telah dilakukan di Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah) pada tahun 2011 dan Lokasi penelitian adalah sebuah laguna yang dilihat dari perspektif lingkungan hidup merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan 100 S i n te si s R P I

123 udang dan ikan; sebagai habitat burung-burung air, berbagai jenis reptil dan mamalia, serta berbagai jenis flora. Selain itu, laguna tersebut termasuk dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah Sungai Citanduy (Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat). Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kawasan Laguna Segara Anakan ditetapkan sebagai kawasan konservasi untuk melindungi ekosistem yang unik. Kawasan ini merupakan daerah estuari yang dilindungi oleh Pulau Nusakambangan dan dipengaruhi pasang surut Samudera Indonesia melalui dua kanal (Kanal Barat dan Timur). Dengan demikian, keberadaan ekosistem hutan mangrove tersebut menjadi sangat penting untuk mendukung produktivitas perairan, kehidupan satwa liar dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan mangrove. Secara administrasi pemerintahan, hutan mangrove di Segara Anakan termasuk wilayah Kecamatan Kampung Laut (Cilacap, Jawa Tengah). Pada kecamatan ini, pengambilan data sampel vegetasi dilakukan di tiga desa: Ujung Gagak, Klaces dan Ujung Alang. Penentuan lokasi tersebut didasarkan pada posisi hutan mangrove dari muara S. Citanduy dan S. Cibeureum, yaitu dari yang terdekat sampai terjauh mengarah ke daratan dengan keterwakilan dari jenis terpilih: bogem (Soneratia alba) di Desa Ujung Gagak, api-api (Avicennia sp.) di Desa Klaces, dan bakau (Rhizophora sp.) di Desa Ujung Alang. Laguna Segara Anakan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu sebagai muara S. Citanduy, S. Cibeureum, S. Palindukan, S. Cikonde dan sungai-sungai lainnya yang berpengaruh besar terhadap kelancaran fungsi sistem drainase daerah irigasi Sidareja Cihaur seluas ha (Kab. Cialacap), Lakbok Selatan seluas ha dan Lakbok Utara seluas ha (Kab. Ciamis), serta pengendalian banjir wilayah S. Citanduy. Tingginya laju pendangkalan akibat sedimentasi S. Citanduy dan drainase yang buruk [dipengaruhi pasang surut Samudera Indonesia] berdampak pada berkurangnya luas perairan Segara Anakan yang memengaruhi luas daerah pemijahan ikan. Berdasarkan aspek perekonomian masyarakat, kerusakan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga produksi perikanan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 101

124 menurun. Selain itu, permasalahn besar di Segara Anakan adalah berkurangnya tampungan air, sekaligus penumpukan air di atas muara sehingga terjadi banjir pada daerah hilirnya Permasalahan Banjir Penyebab banjir di antaranya adalah (1) pendangkalan Segara Anakan (sebagai muara sungai-sungai di DAS Citanduy); (2) berubahnya fungsi retarding basin Wanareja menjadi daerah permukiman dan pertanian; (3) tidak berfungsinya 4 unit dari 6 unit pelimpah di Wanareja (Kabupaten Cilacap) karena ditutup oleh masyarakat; (4) penurunan kinerja dari bangunan pengendali banjir karena umur fasilitas (>25 tahun); (5) menurunnya kapasitas sungai karena sedimentasi; (6) penambangan galian C yang sulit dikendalikan; dan (7) kurangnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi sungai dan prasarana pengendali banjir. Target pengurangan luas genangan banjir dari ha menjadi ha, ternyata saat ini tidak dapat dicapai lagi [data banjir tahun 1996, luas genangan ha; bahkan pada tahun 2000, luasan genangan mencapai ha]. Pengendalian Daya Rusak Air Wilayah Sungai Citanduy yang dilaksanakan sejak tahun 1976 [sesuai dengan Masterplan Citanduy tahun 1975] selama ini lebih banyak difokuskan pada pengendalian banjir di daerah hilir S. Citanduy [yang mengalami banjir dan genangan sepanjang tahun]. Daerah bagian hilir S. Citanduy merupakan daerah floodplan Sungai Citanduy atau daerah aluvial yang membentang dari Kota Banjar hingga bermuara di Segara Anakan Sedimentasi Segara Anakan Laguna Segara Anakan secara kontinu mengalami degradasi akibat tingkat sedimentasi yang tinggi. Adanya sedimentasi selama bertahun-tahun pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan laguna. Sebagai muara dari beberapa sungai besar seperti Sungai Citanduy, Cibereum, Cimeneng, Cikonde, dan beberapa sungai lainnya; kondisi ini membawa konsekuensi pada melimpahnya pasokan air dan sedimen yang terbawa ke dalam laguna. Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan pada kawasan kota dan 102 S i n te si s R P I

125 kerusakan hutan di daerah hulu sungai menyebabkan tingginya tingkat erosi pada sungai tersebut. Erosi pada sungai-sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan menyumbang material lumpur dan bahkan limbah sebanyak m 3 /tahun, yang mana sebesar m 3 /tahun terendapkan di laguna. Dari m 3 tersebut, m 3 disumbangkan oleh material yang dibawa aliran S. Citanduy, sedangkan sisanya ( m 3 ) berasal dari material yang dibawa sungai lainnya. Dengan demikian, total sedimentasi di laguna terhitung sejak tahun 1994 hingga kini sudah melebihi m 3. Material lumpur dan limbah yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan tersebut menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya luas perairan, serta adanya tanah timbul. Laju sedimentasi yang tinggi dari tahun ke tahun menyebabkan luasan laguna Segara Anakan semakin menyusut. Walaupun terdapat perbedaan data dari berbagai sumber yang berbeda, data-data tersebut menunjukkan kecenderungan yang sama dalam menggambarkan laju penurunan luasan laguna Segara Anakan seperti terlihat pada Gambar Sementara itu, Gambar memperlihatkan hasil pengolahan data inderaja luasan laguna Segara Anakan. Laju sedimentasi yang tinggi di laguna Segara Anakan juga mengakibatkan menyempitnya alur (celah) di Plawangan Barat yang menghubungkan laguna dan laut lepas Samudera Hindia hingga berjarak sekitar 60 m antara pulau Jawa dan Nusakambangan [sebelumnya berjarak 300 m pada tahun 2002]. Kedalaman laguna pun menjadi semakin dangkal, mulai dari minus 0,63 m sampai 4,6 m. Celah tersebut sangat penting untuk mengalirkan air sungai dan sedimen ke laut, sirkulasi air laut dan air tawar di laguna, serta menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya biota laut pada saat pemijahan, mencari makan, dan membesarkan diri. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 103

126 Gambar Laju Penurunan Luasan Laguna Segara Anakan Sumber: Profil Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Ditjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum Gambar Data Inderaja Luasan Laguna Segara Anakan 104 S i n te si s R P I

127 Sedimentasi Segara Anakan tidak hanya menyebabkan banjir, namun juga mengganggu jalur perahu nelayan dan alur pelayaran kapal penyeberangan. Beberapa kendala akibat sedimentasi di kawasan ini antara lain jalur kapal penyebrangan antara Dermaga Lomanis (Cilacap) Dermaga Majingklak (Ciamis) dan kapal besar berkapasitas hingga 300 orang antara Cilacap Kalipucang terhenti; alur Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Intan mendangkal dan membuat kapal kandas pada tahun 2004; alur pelayaran kapal tanker pemasok minyak mentah ke pelabuhan khusus Pertamina Lomanis (Cilacap) terganggu; alat transportasi kapal roro dan compreng bagi wilayah setempat sebagian besar sudah berhenti beroperasi; serta Dinas Angkutan Sungai, Danau, dan Perairan (ASDP) Cilacap telah menghentikan armadanya untuk jalur Cilacap Kampung Laut Kalipucang sehingga transportasi ke tiga desa di Kampung Laut (Desa Ujung Gagak, Klaces, dan Ujung Alang nyaris terputus. Tabel Jumlah sedimen yang mengendap di Laguna Segara Anakan Sungai Jumlah Angkutan Sedimen (juta m 3 /tahun) Langsung ke Laut (juta m 3 /tahun) Mengendap di Segoro Anakan (juta m 3 /tahun) - Citanduy 5,00 4,26 0,74 - Cimeneng, Cikonde 0,77 0,51 0,26 T o t a l 5,77 4,77 1,00 Sedimen terlarut yang terbawa oleh aliran beberapa sungai yang bermuara di Segara Anakan adalah penyumbang sedimentasi di Segara Anakan. Dalam perjalanan aliran sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan menuju Samudra Hindia, sedimen terlarut tersebut mengendap. Salah satu penyebab terjadinya pengendapan sedimen adalah menurunnya kecepatan aliran dan adanya pasang surut air laut yang terjadi sampai di Segara Anakan. Kadar sedimen terlarut pada beberapa lokasi di Segara Anakan dalam empat kali pengamatan menunjukkan kecenderungan penurunan kadar sedimen terlarut dari muara S. Citanduy dan muara S. Cibereum, pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum, kawasan hutan mangrove Ujung Gagak, Klaces Hilir dan Ujung Alang (akhir aliran menuju Samudra Hindia). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 105

128 Akibat jauhnya jarak antara muara S. Citanduy dan S. Cibereum dengan Samudra Hindia, serta adanya Segara Anakan pada pertengahannya menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan aliran yang berdampak pada proses sedimentasi atau pengendapan sedimen terlarut dari aliran yang menuju Samudra Hindia. Hal ini terjadi akibat menurunnya kecepatan arus atau menurunya gaya pengangkut sedimen terlarut hingga berada di bawah titik daya angkutnya. Kondisi tersebut umumnya terjadi pada muara sungai, cekungan-cekungan seperti laguna Segara Anakan, laut, dan lain-lain ( Proses-Sedimentasi.pdf). Tabel Kadar sedimen terlarut (gr/liter) pada beberapa lokasi di Segara Anakan Lokasi Kadar sedimen terlarut (gr/liter) 26/27 Juli 4 Agustus 21 September 8 November S. Citanduy 2,4 5,2 6,53 1,21 S. Cibereum 1,56 2,08 8,52 1,72 S. Citanduy-S. Cibereum 2,9 1,14 6,42 1,32 Kawasan Mangrove 2,06 0,73 4,98 0,88 Kleces Hilir 0,79 0,36 3,47 - Ujung Alang 0,19-1,91 0,42 Persen penurunan kadar sedimen terlarut (%) Dari Tabel terlihat bahwa dari empat data kadar sedimen terlarut pada pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum terdapat satu kadar sedimen terlarut yaitu pada pengambilan sampel 26 dan 27 Juni yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar sedimen S. Citanduy dan S. Cibereum. Hal ini diduga bahwa kecepatan aliran pada pertemuan S. Citanduy dan S. Cibereum masih lebih tinggi dibandingkan kecepatan aliran pada muara ke dua sungai tersebut sehingga sedimen terlarut masih terangkut oleh aliran yang ada dan belum terendapkan. Kecenderungan kadar sedimen terlarut pada beberapa lokasi selengkapnya terdapat pada Gambar S i n te si s R P I

129 Gambar Kadar sedimen terlarut pada lokasi dari muara Sungai Citanduy dansungai Cibereum sampai Ujung Alang a. Upaya Pengendalian Daya Rusak Air DAS Segara Anakan Struktural : 1) Alternatif I : a. Memperbesar Kapasitas Sistem di Bagian Hilir b. Meninggikan tanggul Sungai Citanduy dan Sungai Cikawung mulai dari pelimpah Wanareja ke hilir Bendung Manganti. 2) Alternatif II (Pengurangan Debit Puncak) : a. Menetapkan daerah tertentu manjadi areal parkir air banjir sementara Retarding Basin Wanareja Ciganjeng dan Cipanggang (Lakbok Selatan), Rawa Cilanggir di Majenang, Daerah Karangbawang dan Rawajaya (di DAS Segara Anakan) b. Pengurangan debit puncak dengan membangun waduk (bendungan) c. Pembangunan waduk Matenggeng, dapat mengurangi debit puncak ±12%. 3) Alternatif III (Melayani Debit Banjir) a. Transfer antar Basin b. Bangunan Pelimpah dari Bagian Hulu Sungai Citanduy Cilamaya Sungai Ciwulan.Bagian hilir Sungai Cikawung airnya dialirkan ke Rawa Tarisi ke Drain Cikaronjok. Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 107

130 c. Memperbesar kapasitas sungai atau drainase dengan cara rehabilitasi/ normalisasi alur. Non Struktural : 1) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) : a. Pencagaran vegetasi b. Pengaturan tata pengolahan lahan c. Bangunan-bangunan pengendali kemiringan dan erosi d. Penanaman tanaman-tanaman pencegah eros e. Pengendalian dan Pengelolaan Dataran Banjir (Flood Zoning); 2) Sandi Bangunan (Flood Proofing) 3) Sistem Peringatan Dini b. Upaya Penyelamatan Segara Anakan Yang Telah Dilakukan 1) Komponen A (Sipil Teknis) oleh Departemen Kimpraswil a. Pengerukan Laguna Segara Anakan 515 ha (selesai Maret 2005) b. Sudetan S. Cimeneng ke S. Cibeureum 8,70 km (selesai Desember 2003) 2) Komponen B (Community Development) oleh Departemen Dalam Negeri a. Kegiatan konvensional tetap dilajutkan dan terkait dengan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), jenis kegiatan yang dimaksud adalah: hutan rakyat, kebun rakyat, agroforestry, dan vegetasi permanen, b. Percontohan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam satu hamparan lahan, kebun bibit desa, dan Penanganan daerah resapan mata air (arboretum), c. Pengembangan Model Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) Tujuannya adalah untuk mengimplementasikan pengelolaan DAS dalam kawasan satuan hidrologis. Hasil akhir dari pengembangan Model DTA: (1) Diperoleh suatu model pengelolaan satuan hidrologi dalam skala kecil (DTA) yang dapat dikembangkan dan diekspansi ke kawasan DAS yang lebih luas. (2) Diperoleh suatu ukuran keberhasilan terhadap kelestarian fungsi lahan, hutan, pengurangan sedimentasi, dan peningkatan pendapatan. (3) Diperoleh media percontohan, pendidikan/penelitian dan penyuluhan pengelolaan DTA yang riil di lapangan. 108 S i n te si s R P I

131 d. Pelatihan dalam peningkatan ketrampilan masyarakat berdasarkan minat dan kemampuan, seperti: (1) Pelatihan pengelolaan budi daya air payau, empang parit, tambak semi intensif, pelatihan penangkapan lepas pantai, penanganan pascapanen. (2) Petatihan keterampilan dalam mendukung ekowisata (pemandu wisata, kerajinan tangan, rumah makan khas kampung laut). (3) Pelatihan untuk upaya pencarian alternatif mata pencaharian masyarakat. (4) Pemantapan sistem silvofishery Kegiatan Community Development yang telah dilakukan adalah : (a) Rehabilitasi hutan bakau rakyat ha dan pengolahan ha. (b) Pembuatan Percontohan aquakultur 20 ha. (c) Perbaikan prasarana desa (jalan, air minum, kantor desa) (d) Konservasi tanah dan pengendalian erosi ha di SubDAS Cimeneng Upaya konservasi lahan mengalami banyak kendala karena tidak adanya persepsi positif dari masyarakat. Menurut sumber dari BPKSA, program reboisasi yang dilakukan di DAS Segara Anakan (Kabupaten Cilacap) mengalami kendala akibat 70% lebih kepemilikan tanah di Kabupaten Cilacap adalah tanah masyarakat dengan luasan kepemilikan rata-rata 0,5 ha. Eksploitasi Hutan mangrove untuk bahan bakar industri. Program rehabilitasi hutan mangrove ha juga mengalami kendala karena kayu mangrove ditebang dan digunakan oleh masyarakat sebagai bahan bakar industri dengan penjualan Rp4.000/m 3 (tidak sebanding dengan biaya rehabilitasi hutan mangrove yang menghabiskan ratus juta rupiah). Tabel di bawah menunjukkan degradasi luas hutan mangrove akibat illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat. Pengurangan luasan hutan mangrove juga diakibatkan oleh adanya konversi lahan menjadi areal pertambakan, pertanian dan permukiman. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 109

132 Tabel Degradasi luas hutan mangrove di DAS Segara Anakan No. Tahun Luas Hutan Mangrove (Ha) Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Segara Anakan berikut. Hasil analisis vegetasi pada masing-masing desa tersaji pada Tabel Tabel INP jenis-jenis mangrove pada masing-masing lokasi No. Jenis mangrove 1. Bogem (Soneratia alba) 2. Api-api (Avicennia sp) 3. Tancang (Bruguiera gymnorrhiza) 4. Panggang (Exoeicaria agallocha) 5. Bakau (Rhizophora sp) 6. Nipah (Nypa fruticans) Desa Ujung Gagak Desa Klaces Desa Ujung Alang Po Pa S Po Pa S Po Pa S Jumlah Keterangan Po = pohon ; Pa = pancang ; S = semai Berdasarkan Tabel di atas, vegetasi yang dijumpai di lokasi kajian antara lain bogem (Soneratia alba), api-api (Avicennia sp.), tancang (Bruguiera gymnorrhiza), Panggang (Exoeicaria agallocha), Bakau (Rhizophora sp.) dan nipah (Nypa fruticans). Sedangkan tumbuhan bawah yang dijumpai yaitu drujon (Achantus ilicifolius) dan gadelan (Derris heterophylla). Dari ketiga lokasi tersebut, Ujung Gagak mempunyai keragaman jenis terendah, sedangkan daerah yang mempunyai keragaman jenis paling tinggi adalah Ujung Alang. 110 S i n te si s R P I

133 Pada lokasi Ujung Gagak, jenis yang mempunyai INP tertinggi untuk tingkat pohon adalah bogem (Soneratia alba), sedangkan INP tertinggi untuk tingkat semai dan pancang adalah api-api (Avicennia sp). Pada tingkat pohon, hanya terdapat satu jenis vegetasi dengan kerapatan 100 pohon/ha, sedangkan kerapatan total pada tingkat pancang adalah pohon/ha. Jenis api-api merupakan tumbuhan yang memiliki tingkat kerapatan yang paling tinggi, yaitu pohon/ha (58% dari kerapatan total). Untuk tingkat pertumbuhan semai, jenis dengan INP dan kerapatan tertinggi adalah api-api. Vegetasi di lokasi Klaces menunjukkan adanya struktur yang tidak lengkap, hal tersebut dapat dilihat dengan tidak adanya jenis yang masuk dalam tingkat pertumbuhan pohon. Jenis dengan INP terrtinggi pada tingkat pancang dan semai adalah api-api, dengan kerapatan vegetasi pada tingkat pancang pohon/ha dan kerapatan untuk tingkat semai sebesar pohon/ha. Pada lokasi Ujung alang, jenis vegetasi yang mempunyai INP tertinggi pada tingkat pohon adalah bogem, sedangkan pada tingkat pertumbuhan semai dan pancang adalah bakau dengan kerapatan pada tingkat pancang sebesar pohon/ha (69%) dari kerapatan total, dan pohon/ ha (92%) dari kerapatan total pada tingkat pertumbuhan semai. Keragaman jenis tumbuhan yang terdapat di tingkat pohon sangat rendah, yaitu hanya ditemukan satu pohon dengan kerapatan 11 pohon/ha Kerusakan Hutan Mangrove Secara umum kondisi hutan mangrove di lokasi kajian termasuk dalam kategori rusak sedang, dimana kondisi kesehatan hutan mangrove terganggu dan apabila tidak ada gangguan kembali, maka suksesi sekunder yang terjadi akan mengarah kehutan mangrove kembali (LPP Mangrove, 1998). Kerusakan tersebut dapat diindikasikan dengan tingginya penutupan lahan oleh tumbuhan bawah yaitu derujon yang berkisar antara 5 85%. Perkembangan derujon lebih dikarenakan oleh adanya eksploitasi/penebangan pada pohon tertentu yang menyebabkan terbukanya lahan di sekitarnya sehingga dapat memicu pertumbuhan derujon. Apabila suatu hutan mangrove didominasi oleh derujon, maka jenis lain terutama yang merupakan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 111

134 tingkat semai akan terhambat pertumbuhannya yang berpengaruh terhadap proses suksesi alaminya. Selain masalah sedimentasi, ekosistem hutan mangrove kawasan Segara Anakan juga mengalami tekanan lingkungan yang sangat tinggi akibat penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya luasan hutan mangrove. Masyarakat melakukan penebangan liar karena alasan kondisi ekonomi seperti untuk keperluan membuka areal pertambakan, pertanian, permukiman, dan pemanfaatan kayu mangrove sebagai material bangunan serta bahan baku arang untuk kebutuhan industri. Meningkatnya harga udang di pasar dunia pada tahun 1997 telah menarik minat para investor untuk membuka usaha pertambakan udang secara besarbesaran. Para investor menyewa lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan lahan yang menjadi hak garapan penduduk setempat, sehingga terjadi konversi lahan yang mengakibatkan berkurangnya luas area hutan mangrove secara drastis di wilayah tersebut. Pada awal perkembangannya, tambak-tambak udang tersebut memang menguntungkan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. Namun, seiring stabilnya harga udang di pasar dunia, bidang usaha tambak udang tersebut mulai mengalami kerugian sehingga mengakibatkan kebangkrutan yang berujung pada penutupan usaha pertambakkan. Tidak hanya sampai di sini, pohon mangrove pun tidak bisa tumbuh lagi khususnya di tempat-tempat pemberian makanan udang karena kerasnya bahan kimia yang dipakai untuk membesarkan udang secara instan. Menurunnya luas hutan mangrove dipengaruhi juga oleh penebangan liar yang dilakukan masyarakat untuk dijadikan kayu bakar, baik untuk kebutuhan rumah tanga ataupun industri. Keadaan ini semakin memburuk seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang mangrove dari sejumlah kota di tanah air ke wilayah tersebut. Kualitas arang dari mangrove dikenal paling bagus karena jenis kayunya yang keras, sehingga dijadikan bahan baku industri arang. Sementara itu, peningkatan sedimentasi dari lumpur yang terbawa oleh beberapa sungai yang bermuara di kawasan Segara Anakan menciptakan lahan-lahan tanah timbul baru. Hal ini mendorong warga setempat dan juga masuknya para pendatang untuk menggarap lahan tanah timbul tersebut menjadi areal pertanian. Sehingga dengan alasan membuka lahan pertanian, banyak pohon mangrove yang ditebang 112 S i n te si s R P I

135 secara liar untuk dijadikan sawah dan permukiman. Penebangan liar juga dilakukan guna memanfaatkan kayu mangrove sebagai material bahan bangunan Dominasi Jenis-Jenis Mangrove Dalam Menjerat Sedimen Terlarut Di Segara Anakan terdapat 26 jenis mangrove, terdiri dari mangrove mayor 9 jenis, minor 8 jenis dan asosiasi 9 jenis, yaitu Avicennia alba, A. marina, A. officinalis (api-api), Soneratia alba (bogem), Rhizophora mucronata (bakau bandul), R. apiculata (bakau kacangan), Bruguiera gymnorrhiza (Tancang), B. parviflora, Xylocarpus granatum (Nyirih), X. mollucensis (Nyuruh), Cerbera mangas (bintaro), Heritiera litoralis (dungun), Aegiceras corniculatum (gedangan), Nypa fruticans (nipah), Achantus illicifolius (jerujon), dan lain-lain. Adaptasi flora mangrove terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang antara lain sebagai berikut : 1. Akar pensil (pneumathophores). Akar berbentuk seperti tonggak/pensil yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang secara vertikal ke udara, misalnya pada Avicennia dan Sonneratia 2. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan kemudian melengkung menuju substrat lagi, misalnya pada Bruguiera 3. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar yang keluar dari batang pohon dan menancap ke dalam substrat, misalnya pada Rhizopora dan Ceriops 4. Akar papan (buttres root). Akar ini mirip dengan banir, melebar menjadi bentuk lempeng, misalnya pada Heritiera 5. Akar gantung (aerial root). Akar gantung merupakan akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat, misalnya pada Rhizopora, Avicennia dan Acanthus. Untuk mengetahui kemampuan tegakan mangrove dalam menjerat sedimen dilakukan pengambilan sampel air pada plot-plot yang telah ditetapkan. Plot tersebut terbagi dalam kelas menurut jenis mangrove dominan, dan di dalam setiap kelas di buat 6 plot yaitu 3 plot luar (di pinggir aliran) dan 3 plot dalam. Hasil Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 113

136 analisis sampel menunjukkan bahwa plot api-api (Avicennia spp.) mampu menjerat sedimen sebesar 33,29%, plot bogem (Sonneratia spp.) sebesar 28,57% dan terendah plot bakau (Rizhopora spp.) sebesar 9,68%. Selain itu guna mengetahui proses sedimentasi juga dilakukan pengukuran amplitude gelombang dan kedalaman air. Data tingkat penurunan sedimen, penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air selengkapnya terdapat pada Tabel dan Tabel Tingkat penurunan sedimen pada tegakan mangrove No. Api-api (Avicennia) Kadar sedimen terlarut (mg/lt) Selisih (%) Bakau (Rhizopora) Kadar sedimen terlarut Selisih (mg/lt) (%) Bogem (Soneratia) Kadar sedimen terlarut Selisih (mg/lt) (%) 1 Plot 1 luar 20,41 74,33 Plot 1 luar 5,6 16,67 Plot 1 luar 3,68 5,16 2 Plot 2 dalam 5,24 Plot 2 dalam 4,8 Plot 2 dalam 3 Plot 3 luar 20,77 16,37 Plot 3 luar 5,92 11,28 Plot 3 luar 4,77 8,39 4 Plot 4 dalam 17,37 Plot 4 dalam 5,32 Plot 4 dalam 5 Plot 5 luar 29,3 9,18 Plot 5 luar 5,49 1,10 Plot 5 luar 28,67 72,17 6 Plot 6 dalam 26,61 Plot 6 dalam 5,43 Plot 6 dalam 7,98 Rata-rata 33,29 Rata-rata 9,68 Rata-rata 28,57 3,49 4,37 Tabel Tingkat penurunan amplitudo gelombang dan kedalaman air Rata-rata penurunan Kedalaman air Kedalaman air No Dominasi amplitudo (%) depan (cm) belakang (cm) 1 Api-api/ Avicennia 23,7 50,7 21,0 2 Bakau/Rhizopora 47,0 60,3 59,0 3 Bogem/Soneratia alba 61,3 39,3 42,8 Plot api-api (Avicennia spp.) memiliki kemampuan penjeratan sedimen tertinggi dibandingkan ke dua plot lainnya disebabkan karena (a) tingginya nilai Indeks Nilai Penting (INP) pohon 300, pancang 200 dan semai 200 yang terdiri hanya 3 jenis yaitu bogem (Soneratia alba), api-api (Avicennia spp.) dan tancang (Bruguiera gymnorrhiza); (b) ketiga jenis tersebut memiliki perakaran khusus untuk dapat beradaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang seperti jenis Avicennia spp. dan Sonneratia spp. berupa akar pensil (pneumathophores) dan 114 S i n te si s R P I

137 Tancang berupa akar lutut (knee root) yang merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan, kemudian melengkung menuju substrat lagi. Kedua jenis akar tersebut secara fisik di lapangan merupakan penghalang bagi aliran yang akan menurunkan kecepatan aliran dan mengendapkan sedimen terlarut; (c) kondisi tegakan mangrove dominasi api-api mampu menurunkan amplitudo gelombang sebesar 23,7% (terendah dibandingkan dengan dominasi bakau dan bogem) namun memiliki perbedaan kedalaman air sebesar 29,7 cm (tertinggi dibandingkan dengan dominasi bakau dan bogem). Plot tegakan mangrove di Klaces dominasi bakau (Rizhopora spp.) memiliki nilai kemampuan penjeratan sedimen terlarut terkecil dibandingkan dua plot lainnya disebabkan antara lain: (1) Plot dominasi bakau terletak di persimpangan sungai yang alirannya cukup deras sehingga diduga sedimen masih banyak terlarut karena kecepatan aliran sungai yang cukup deras; (2) Jenis mangrove yang teridentifikasi dalam petak berjumlah empat jenis mirip dengan plot Avicennia ditambah nipah dengan nilai INP pancang dan semai sama 200 tanpa adanya tingkat pohon dan 3) Kemampuan tegakan mangrove dominansi bakau mampu menurunkan amplitudo gelombang sebesar 47% (menengah dibandingkan kedua jenis lainnya) dan memiliki perbedaan kedalaman air plot depan dan belakang hanya sebesar 1,3 cm (Tabel ). Plot Ujung Alang dominasi bogem (Sonneratia alba) memiliki kemampuan penjeratan sedimen menengah di bawah Plot Ujung Gagak dominasi api-api (Avicennia spp.). Hasil analisis vegetasi pada petak Ujung Alang dominasi bogem (Sonneratia alba) menunjukkan bahwa (a) nilai INP pohon, pancang dan semai sama dengan nilai INP Plot Ujung Gagak dominasi api-api (Avicennia spp.), namun dengan jumlah jenis yang lebih beragam, yaitu pada tingkat pancang sebanyak 6 jenis dan semai sebanyak 5 jenis; b) ketiga jenis tersebut memiliki perakaran khusus untuk dapat beradaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang seperti jenis api-api (Avicennia spp.) dan bogem (Sonneratia spp.) berupa akar pensil (pneumathophores) dan tancang (Bruguiera hymnorrhiza) berupa akar lutut (knee root) yang merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan, kemudian melengkung menuju substrat lagi. Kedua jenis akar tersebut secara fisik di lapangan merupakan penghalang bagi aliran yang akan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 115

138 menurunkan kecepatan aliran dan mengendapkan sedimen terlarut; (c) kemampuan tegakan mangrove dominansi bogem (Soneratia alba) dalam menurunkan amplitudo gelombang tertinggi (61,3%) dengan perbedaan kedalaman air antara plot depan dan belakang sebesar 3,5 cm. Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Gagak/dominansi Api-api (Avicennia sp.) Jenis mangrove Phn KR FR DR INP Pcg KR FR INP Smi KR FR INP Bogem/ Soneratia alba Api-api/ Avicennia sp. Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza Jumlah Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Klaces dominansi Bakau (Rhizhopora spp.) No. Jenis mangrove Pancang KR FR INP Semai KR FR INP 1 Bogem/Soneratia alba Api-api/Avicennia sp Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza 4 Nipah/Nypa fruticans Jumlah Tabel Nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) serta Indeks Nilai Penting (INP) Plot Ujung Alang/dominansi Bogem (Sonneratia alba) Jenis mangrove Bogem/ Soneratia alba Tancang/ Bruguiera gymnorrhiza Phn KR FR DR INP Pcg KR FR INP Smi KR FR INP S i n te si s R P I

139 Jenis mangrove Phn KR FR DR INP Pcg KR FR INP Smi KR FR INP Panggang/ Exoeicaria agallocha Bakau/ Rizhopora spp. Api-api/ Avicennia sp. Nipah/ Nypa fruticans Jumlah Permasalahan sedimentasi di Segara Anakan berdampak pada menurunnya populasi ikan dan hasil tangkapan masyarakat. Di sisi lain, adanya perbedaan kemampuan tegakan mangrove di sepanjang aliran menuju laut dalam menjerat sedimen perlu dicari tegakan mangrove yang memiliki tingkat penjeratan sedimen terendah. Hal ini dimaksudkan agar sedimen yang terlarut dalam aliran tidak banyak mengendap di sisi aliran. Hal ini akan membentuk substrat baru bagi mangrove sehingga mangrove akan berkembang menjadi tidak terkontrol yang berpotensi melenyapkan Segara Anakan. Berdasarkan perbedaan kemampuan dalam menjerat sedimen, tegakan mangrove dominasi bakau (Rhizopora spp.) dapat dikembangkan dengan mengurangi secara selektif tegakan mangrove dominasi yang lain Monitoring Ekologi Pemanfaatan Lahan Berbasis Ekosistem Mangrove Penelitian yang terkait monitoring ekologi pemanfaatan lahan berbasis ekosistem mangrove dilakukan di areal pertambakan pada beberapa lokasi di Indonesia, antara lain Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Sidoardjo (Jawa Timur). Aspek penelitian meliputi kondisi biofisik terhadap kualitas air dan substrat, serta dinamika mangrove pada tambak melalui pola silvofishery. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 117

140 Kualitas Ekologi Tambak di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur a. Pengujian Kualitas Air Tambak Pengujian kalitas air tambak dilakukan di demplot silvofishery pada 4 titik sampling: 1) inlet atau pasokan air segar dari sumur bor sebagai salah satu sumber air baku (kontrol), 2) lokasi plot tanpa praktek silvofishery, 3) lokasi silvofishery, dan 4). outlet yang berada di luar tambak di bawah naungan tanaman mangrove sebagaimana terlihat pada Tabel Pengujian air tambak pada lokasi silvofishery digunakan tiga kelompok parameter: TDS, TSS dan kekeruhan; BOD dan COD; serta Salinitas. Tabel Hasil analisa laboratorium mikrobiologi tambak di Bipolo, Kabupaten Kupang (Nusa Tenggara Timur) No. Tipe lokasi sampel TDS (mg/l) Salinitas (%) Kekeruhan (NTU) Parameter TSS (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) 1. Inlet Tambak nonsilvofishery 3. Tambak silvofishery 4. Outlet Sumber : Hasil analisis, BLHD.660.1/22/LAB/2010 Pengujian kualitas air tambak lainnya dilakukan pada 3 lokasi berbeda yaitu 1) lokasi silvofishery, 2) lokasi tambak tanpa tanaman mangrove, dan 3) lokasi plot tanaman mangrove tanpa kegiatan usaha budidaya ikan. Kriteria kualitas air tambak dan Hasil analisis ketiga lokasi terlihat pada Tabel S i n te si s R P I

141 Tabel Kriteria kualitas air tambak dan hasil analisis kualitas air tambak Bipolo No Parameter Satuan Baku Mutu 1 Tambak Silvofishery Hasil Analisis 2 Tambak Plot mangrove tanpa tanpa budi daya Mangrove ikan 1. Salinitas (a) 7 7,7 7,0 2. ph 6-9 (b) 8,73 8,86 7,85 3. BOD mg/l < 6 (b) 6,87 5,63 5,63 4. TSS mg/l < 20 (b) ,8 5. Kekeruhan mg/l 40 (a) 35, ,3 Sumber : 1. Dirjen Perikanan Budidaya, Hasil analisis Laboratorium BLHD NTT, ) TDS, TSS, dan Kekeruhan Bahan padat (solids) adalah bahan yang tertinggal sebagai residu dari hasil penguapan dan pengeringan pada suhu C (Sutrisna, 1987). Air yang digunakan dalam budi daya harus pula dianggap seperti air minum yang memenuhi syarat-syarat antara lain tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, tidak mengandung mikroorganisme yang berbahaya, dan tidak mengandung logam berat; sehingga dapat berfungsi baik bagi ekologi perikanan tambak dan hidupan lain yang ada di dalamnya. Pembagian kategori air menurut total zat padat yang terkandung di dalamnya (Total Dissolved Solid/TDS) adalah 1) >100 ppm: bukan air minum, 2) ppm: air minum, 3) 1 10 ppm: air murni, dan 4) 0 ppm: air organik (sumber: diakses 10 Januari WIB). Faktanya, kemurnian air sulit dipenuhi dalam usaha tambak perikanan karena peluang pencemaran air oleh bakteri (Escherichia coli) atau zat-zat berbahaya sangat dimungkinkan. Hal ini karena adanya intervensi pemupukan, baik dengan pupuk organik maupun pupuk kimia. Perbandingan nilai TDS pada keempat sampel menunjukan bahwa kandungan mineral anorganik pada sampel 1 (kontrol) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga sampel yang lain. Berdasarkan data pengamatan dan pengukuran lapangan, ternyata air yang berasal dari sumur bor memiliki nilai TDS yang tinggi sehingga daya hantar listriknya juga tinggi. Hal ini Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 119

142 diduga disebabkan oleh pengaruh kandungan lumpur di bawah permukaan tanah atau kondisi geologi setempat yang berada pada wilayah pesisir. TSS (Total Suspended Solid) adalah jumlah berat dalam mg/l kering lumpur yang ada didalam air limbah setelah mengalami proses penyaringan dengan membrane berukuran 0,45 um. Padatan ini menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap secara langsung dengan ukuran dan berat yang lebih kecil dari sedimen. Dalam jumlah yang banyak menghambat masuknya sinar matahari dalam tambak, menggangu proses fotosintesis sehingga menurunnya oksigen terlarut yang dilepas ke dalam air oleh tanaman, mengganggu produktivitas oksigen, menyebabkan kematian tanaman dan penurunan kejernihan air. Selanjutnya kalau dilihat dari aspek kekeruhan, kondisi perairan tambak pada semua sampel masih memenuhi standart untuk budidaya ikan dengan kisaran 25 s.d. 400 NTU. Nilai kekeruhan pada sampel penelitian berkisar antara 105,4 NTU s.d. 214 NTU. 2) BOD dan COD BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik/parameter yang menunjukan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Oleh karena itu, BOD dapat dikatakan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam lingkungan air untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada dalam air menjadi karbondioksida dan air. Kisaran BOD5 suatu perairan yang diperkenankan untuk kebutuhan air minum dan kehidupan organisme akuatik menurut standart UNESCO/WHO/UNEP, 1992 berkisar antara 3,0 s.d 6,0 mg/l. Mengacu pada standar tersebut, kondisi BOD pada beberapa sampel pengamatan kualitas perairan di Desa Bipolo tergolong baik dengan kisaran antara 3,2 mg/l s.d 6,0 mg/l. COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). 120 S i n te si s R P I

143 Kondisi COD pada perairan sampel berkisar antara 155,89 mg/l s.d. 196,06 mg/l. Perbandingan rata-rata selisih antara BOD dan COD, diperoleh kisaran nilai bahan organic yang sulit mengalami proses penguraian berkisar antara 149,89 mg/l s.d 190,86 mg/l pada perairan tambak. Dengan mengacu pada standart UNESCO/WHO/UNEP, 1992 bahwa nilai COD pada kondisi perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan tercemar biasanya diatas 200 mg/l dan pada limbah industry mencapai mg/l. Dengan memperhatikan rata-rata selisih antara BOD-COD pada perairan tambak di Desa Bipolo yang mencapai 167,605 mg/l, dapat diduga kemungkinan kondisi perairan tambak pada wilayah tersebut sudah makin mendekati ambang batas pencemaran air tambak. Dugaan kemungkinan penyebab potensi pencemaran pada wilayah ini adalah penggunaan pupuk-pupuk kimia dalam jumlah yang banyak, sehingga akumulasinya dalam tambak sangat tinggi. 3) Salinitas Salinitas tambak merupakan perpaduan antara salinitas air laut dan salinitas air tawar, dan umumnya sangat tidak stabil akibat proses pertukaran air dalam jangka waktu tertentu, harian, mingguan atau bulanan. Secara umum, kriteria salinitas perairan payau yang diacu berkisar antara >0,5 s.d. 30. Kondisi ini menggambarkan bahwa tingkat salinitas tambak pada pengembangan model silvofishery menunjukan kisaran yang masih toleran antara 0,9 sampai dengan 8,0. Namun, Apabila dilakukan klasifikasi lagi berdasarkan kriteria air payau, kisaran salinitas tambak diketahui berada pada kelas oligohalin (salinitas 0,5 s.d 3,0 ), dan mesohalin (salinitas antara >3,0 s.d. 16,0 ). Walaupun demikian, kondisi ideal salinitas yang diperlukan untuk budi daya ikan bandeng (Chanos chanos) berkisar antara 12 sampai 20. Pada kondisi optimal, energi dapat digunakan untuk mengatur keseimbangan osmotik dan penyesuaian kepekatan cairan tubuh dengan air tambak cukup rendah. Dengan demikian, energi yang diperoleh dari sumber makanan bandeng dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhannya. Mengacu pada data tersebut, kondisi salinitas diketahui masih di bawah standar minimal yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan bandeng di Desa Bipolo. Dampaknya ialah proses pertumbuhan ikan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 121

144 sedikit lebih lambat sehingga masa panen lebih panjang dan bobot ikan tidak seimbang dengan umur pemeliharaannya. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar salinitas dalam tambak ialah dengan meningkatkan inlet air tambak dari sumber air laut saat terjadi pasang dan membatasi penggunaan air sumur bor yang kandungan salinitasnya sangat rendah (hanya mencapai 0,9 ). Lalu, bagaimana pengaruh pohon dalam mendukung netralitas salinitas? Pengaruh ini secara langsung belum dapat terlihat, antara lain karena pohon jenis Rhizopora sp. yang ditanam dalam tambak masih sangat kecil sehingga peranan ekologis yang dimainkan masih sangat terbatas (belum terlihat dari semua indikator mikrobiologinya). Namun, perbandingan antara tingkat salinitas pada kondisi tambak silvofishery dengan outlet yang berada di bawah naungan vegetasi mangrove memperlihatkan terjadinya perbedaan kadar salinitas yang semakin menurun antara tambak nonsilvofishery, silvofishery, dan outlet. Kemungkinan pengaruh tanaman sudah mulai terjadi karena terlihat adanya kecenderungan penurunan kadar salinitas seiring dengan meningkatknya tutupan lahan bermangrove. Walaupun demikian, belum bisa dikatakan bahwa tanaman akan berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan bandeng. Hal ini dikarenakan salinitas sesungguhnya merupakan salah satu faktor lingkungan dari pertumbuhan bandeng. Apabila dicermati lebih dalam lagi, setiap jenis tanaman tentunya memiliki respons yang berbeda terhadap kondisi salinitas tertentu, termasuk Rhizopora sp. b. Pengujian Kualitas Air Tanah Kualitas air dan tanah merupakan dua komponen yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, kondisi air sedikit banyak akan mempengaruhi kualitas mikro tanah. Hidayanto et al. (2004) berpendapat bahwa kualitas air tambak sangat dipengaruhi kualitas tanah dasar. Tanah dasar tambak dapat bertindak sebagai penyimpan (singk) dan asal (source) dari beberapa unsur dan oksigen terlarut. Tanah dasar tambak juga berfungsi sebagai buffer, penyedia hara, sebagai filter biologis melalui absorbsi sisa pakan dan metabolit alga, sehingga tanah dasar tambak merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan pengelolaan 122 S i n te si s R P I

145 tambak. Dengan demikian, selain menjaga kestabilan kondisi air maka diperlukan juga untuk memperbaiki kondisi tanah dengan beberapa perlakukan untuk mendukung kegiatan budidaya. Kondisi tanah pada masing-masing titik sampel terlihat pada Tabel Tabel Hasil analisis kimia dan fisik tanah pada lokasi tambak No Nama Sampel ph C-Org Analisis Kimia N P (%) (ppm) K (me/100g) Pasir (%) Analisis Fisik Debu Liat (%) (%) Kelas Tekstur 1. Titik 1 9,00 0,85 1,01 45,52 1,62 19,33 15,33 65,33 Liat 2. Titik 2 9,01 0,05 0,06 48,22 1,63 27,33 13,33 59,33 Liat 3. Titik 3 8,91 0,06 0,23 73,89 1, ,67 41,33 Liat Sumber : Hasil analisis Laboratorium Kimia Tanah Fapet UNDANA. Keadaan tanah di lokasi budi daya juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ikan bandeng. Menurut Cahyono (2011), keadaan yang sangat perlu diketahui adalah tekstur (penyusun tanah) dan tingkat kesuburannya. Tekstur tanah yang baik untuk kolam atau tambak budi daya adalah tanah lumpur dengan sedikit pasir (kandungan pasir kurang dari 20%). Tanah yang berlumpur dan sedikit pasir dapat menahan air dengan baik serta tidak mudah merembes sehingga tidak banyak terdapat kebocoran pada tambak. Kondisi tanah tambak dengan komposisi fraksi pasir yang tinggi biasanya terjadi akibat arus susur pantai atau pada lokasi tambak dengan tanaman mangrove yang relatif sedikit. Pada tiga lokasi pengamatan menunjukan bahwa hanya titik 1 (kegiatan tambak silvofishery) yang mempunyai struktur dengan komposisi pasir yang masuk dalam kriteria di atas, sedangkan pada titik 2 dan titik 3 mempunyai nilai yang melebihi batas. Reaksi tanah menunjukan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukan banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H + ) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H + di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut. Di dalam tanah, selain H + dan ion-ion lain ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. Pada tanah-tanah yang masam, jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 123

146 sedangkan pada tanah alkalis kandungan OH - lebih banyak daripada H +. Bila kandungan H + sama dengan OH -, tanah bereaksi netral yaitu mempunyai ph = 7. Hasil analisis tanah pada tiga lokasi seperti dalam tabel diatas menunjukkan nilai ph yang cukup tinggi yaitu dengan kisaran nilai 8,91 9,01. Berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah Hardjowigeno (1987) ketiga lokasi masuk dalam kriteria jenis tanah agak alkalis sampai alkalis. Hal tersebut terjadi karena kandungan ion OH - pada semua lokasi lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan ion H + nya. Dampak dari hal tersebut adalah unsur P tidak dapat diserap secara maksimal oleh tanaman karena diikat oleh unsur Ca. Pada umumnya unsur hara mudah diserap oleh akar tanaman pada ph tanah sekitar netral, karena pada ph netral tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air. Nilai P pada tiga lokasi terlihat cukup besar yaitu pada kisaran antara 45,52 73,89 ppm. Hal ini disebabkan karena unsur P telah diikat oleh unsur Ca sehingga tanaman tidak mampu menyerap secara maksimal. Dampak dari kondisi seperti itu adalah pertumbuhan tanaman menjadi lambat. Menurut Hardjowigeno (1987), untuk menurunkan ph tanah yang tinggi dapat dilakukan pemberian tepung belerang pada tanah. Pada kasus tambak silvofishery ini dapat dilakukan pemberian belerang setelah selesai panen bandeng Kualitas Ekologi Tambak di Sidorajo, Jawa Timur Salah satu parameter untuk mengetahui kandungan polutan dalam tanaman yaitu melalui analisis laboratorium pada bagian akar dan daun. Analisis zat pencemar di lokasi penelitian di empat lokasi penelitian menunjukkan bahwa, kandungan Pb (timah) pada jenis Avicenia marina terbesar pada bagian daun dan akar di lokasi tambak Tegal Tangkil yaitu sebesar 110,81 ppm dan 82,86 ppm. Zat pencemar Zn (seng) terbesar terakumulasi pada bagian akar dan daun sebesar 82,65 ppm dan 70,51 ppm di lokasi tambak Sidoarjo. Kandungan Cu (tembaga) terakumulasi terbesar di bagian daun dan akar di lokasi tambak Sidoarjo yaitu sebesar 42,84 ppm dan 23,15 ppm, demikian pula dengan As (arsen) sebesar 2,41 ppm dan 1,35 ppm. Sedangkan kandungan zat pencemar Hg (merkuri) terbesar terakumulasi di bagian akar dan daun di lokasi tambak Sidoarjo sebesar 0,04 ppm dan 0,03 ppm. Tingginya akumulasi zat pencemar pada vegetasi mangrove pada 124 S i n te si s R P I

147 tambak di Sidoarjo dibandingkan dengan tambak di Jawa Barat lain diduga disebabkan lebih banyaknya industri rumah tangga yang ada di Sidoarjo yang mencemari perairan tambak. Lokasi penelitian di Sidoarjo memang terletak pada lahan milik sehingga industri rumah tangga yang ada lebih banyak daripada lokasi penelitian di Jawa Barat yang tambaknya berada dalam kawasan. Analisis zat pencemar (Cu, Hg, Pb, Zn dan As) pada tanah dapat mendukung data akumulasi zat pencemar pada vegetasi. Hasil analisis zat pencemar pada tanah memperlihatkan bahwa akumulasi ke lima zat pencemar tersebut terbanyak terdapat pada tambak yang tidak bermangrove. Unsur Cu dan Zn merupakan jumlah yang terbanyak yaitu sebesar 650,31 ppm di Tegal Tangkil dan 226,70 ppm di Sidoarjo. Jumlah logam berat yang diambil tanaman dari dalam tanah ditentukan oleh ketersediaan bahan polutan jenis tanamannya. Semakin banyak kandungan polutan tersebut di dalam tanah semakin mudah diserap oleh akar tanaman (Greenland dan Hayes, 1981). Kandungan zat pencemar (logam berat) secara alami sudah ada dalam air laut, tetapi konsentrasinya sangat rendah, misalnya Pb (0,03 g/l), Ag (0,28 g/l), Hg (0,15 g/l) dan Cd (0,11 g/l) (Waldichuk, 1974 dalam Darmono, 2001). Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa air tambak baik bermangrove dan tanpa mangrove di lokasi Tegal Tangkil kandungan Hg-nya di bawah baku mutu untuk budidaya ikan, hal ini diduga tanaman mangrove belum optimal dalam menyerap polutan tersebut, hal ini dipengaruhi oleh kerapatan dan umur dari tegakan mangrove. Untuk kandungan deterjen (MBAS) di lokasi Sidoarjo pada perairan tambak tidak bermangrove di bawah baku mutu, sedangkan di tempat lain di atas baku mutu yang diperbolehkan untuk budidaya ikan. Umumnya kualitas perairan tambak bermangrove lebih baik bila dibandingkan dengan tambak tanpa mangrove, karena tanaman mangrove salah satu fungsinya dapat menyerap limbah terlarut/logam berat dan menghasilkan oksigen. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya oksigen terlarut, BOD dan COD juga kandungan bahan organiknya seperti nitrat dan lain-lain. Ikan dan udang merupakan bio-indikator terhadap pencemaran lingkungan, termasuk cemaran kimia. Hal ini karena ikan dan udang menunjukkan reaksi Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 125

148 terhadap cemaran di perairan dalam batas konsentrasi tertentu, seperti perubahan aktivitas, efek pada pertumbuhan yang tidak normal hingga kematian (Chahaya, 2003). Kandungan zat pencemar Pb terbesar terakumulasi pada ikan bandeng yaitu sebesar 6,60 ppm, udang sebesar 3,88 ppm di lokasi tambak Tegal Tangkil tanpa mangrove. Akumulasi Pb pada ikan bandeng lebih besar (tiga kali) dibandingkan dengan ambang batas yang diperkenankan oleh Dirjen POM yaitu sebesar 2 ppm. Udang yang diternakkan pada tambak tanpa mangrove di Tegal Tangkil juga melebihi ambang batas yaitu sebesar 3,88 ppm. Plankton (phyto dan zoo) merupakan indikator kesuburan dari perairan, terutama zoo-plankton merupakan makanan ikan dan udang. Dari aspek kelimpahan dan keanekaragaman jenis phytoplankton dan zooplankton ke empat lokasi contoh tidak memiliki perbedaan yang mencolok. Indeks kemiripan (e) antara komunitas dilokasi penelitian sebesar antara 0,128-0,175. Rendahnya nilai indeks kemiripan komunitas menunjukan telah terjadi perubahan dari struktur komunitas aslinya. Perubahan struktur komunitas ini dimungkinkan karena adanya perubahan lingkungan seperti sifat kimia dan fisika air, substrat, dan hilangnya vegetasi mangrove. Keragaman jenis yang terdapat di perairan lokasi penelitian termasuk kategori miskin atau kurang karena nilai indeks keragaman (H ) kurang dari dua (Tegal Tangkil 1,630; Sidoarjo 1,748 dan Cibuaya 1,395). Indeks keseragaman (E) menunjukkan bahwa perairan mangrove Tegal Tangkil memiliki nilai yang relatif sama dengan perairan mangrove Sidoarjo (0,175 dan 0,172). Kondisi ini berkaitan erat dengan kerapatan tegakan pada perairan mangrove sehingga penetrasi sinar matahari yang masuk berkurang dan mengakibatkan berkurangnya populasi plankton di perairan mangrove. Indeks dominansi di perairan Tegal Tangkil sebesar 0,368 sedangkan di perairan mangrove Cikiong sebesar 0,360; Sidoarjo 0,259. Hal ini diduga dampak dari polusi bahan organik rumah tangga, aktivitas pabrik, manajemen hutan, maupun kegiatan pertanian. Pemakaian pupuk di lahan pertanian memberikan pasokan nitrat dan fosfat ke aliran sungai melalui proses pencucian maupun erosi tanah, tetapi kandungan total fosfat di perairan masih terikat oleh partikel tanah dalam lumpur anaerobik atau residu terlarut (Mason, 1991). 126 S i n te si s R P I

149 3.2 Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai pada Tapak Khusus Penelitian dilakukan pada tapak-tapak khusus berupa delta dan areal terdegradasi, serta areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. Kondisi tapak khusus ini merupakan areal yang mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dan/atau bencana alam seperti tsunami. Beberapa lokasi yang mewakili karakteristik dan tipologi permasalahan tapak khusus tersebut antara lain Delta Mahakam (Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur), pesisir Pulau Weh (Kabupaten Aceh Besar, Aceh), pesisir Pulau Selayar (Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan), Pulau Talise dan Pulau Gangga (Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara). Penelitian penanaman dilakukan terhadap ekosistem mangrove dengan jenis-jenis mangrove yang dianggap sesuai tempat tumbuhnya pada tapak khusus tersebut, serta penanaman tumbuhan lainnya untuk ekosistem pantai (antara lain cemara laut, ketapang dan nyamplung) Teknik Penanaman pada Delta Terdegradasi Delta Mahakam yang dijadikan lokasi penelitian teknik penanaman mangrove ini sebagian besar merupakan areal tambak. Sebelum dijadikan tambak, pada awalnya areal ini didominasi oleh nipah (Nypa fruticans). Selain nipah terdapat jenis Xylocarpus granatum dan Heritiera littoralis. Jenis-jenis tersebut masih terdapat di sepanjang sungai di dalam delta. Seiring dengan berjalannya kegiatan pertambakan, beberapa pemilik tambak mencoba melakukan upaya penanaman tepi sungai dengan jenis N. fruticans, Rhizophora apiculata dan R. mucronata untuk mencegah erosi tanggul pada tambak. Bibit R. apiculata ini diperoleh dari pulau di sekitarnya. Perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di daerah ini juga melakukan rehabilitasi lahan bekas tambak yang dibeli dari masyarakat dengan jenis R. mucronata Teknik Pengadaan Biji dan Persemaian Mangrove a. Pertanda Buah Matang Buah matang untuk R. mucronata ditandai dengan perubahan warna kotiledon dari hijau menjadi kuning; warna kotiledon dari hijau menjadi merah (R. apiculata), Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 127

150 warna kotiledon dari hijau menjadi kekuningan (Ceriops tagal), warna batang buah/propagul dari hijau menjadi coklat kemerahan atau hijau kemerahan (B. gymnorrhiza); kelopak buah yang melingkup buah menjadi datar dan melengkung ke bawah atau buah terapung (S. alba); kulit buah hijau berbulu menjadi hijau kekuningan (A. marina); serta kulit buah dari warna hijau menjadi coklat kekuningan serta retak-retak (X. granatum) (Anwar dan Subiandono, 1996; Hachinohe et al., 1999). Fenologi mangrove dibagi dalam tujuh tahapan utama: (1) muncul bakal bunga, (2) bunga siap mekar, (3) bunga mekar, (4) bakal buah terbentuk, (5) buah muda, dan (6) buah matang. Dengan adanya tambahan hasil penelitian fenologi untuk R. mucronata, maka prediksi lamanya waktu yang dibutuhkan hingga buah matang dari berbagai tahapan fenologinya untuk empat jenis mangrove dapat dikemukakan sebagaimana pada Tabel (Anwar, 2006). Tabel Prediksi waktu yang diperlukan hingga buah mangrove matang dari berbagai tahapan fenologinya. S. alba R. apiculata B. gymnorrhiza R. mucronata Tahapan Dalam Hari Dalam Minggu Dalam Hari Dalam Minggu Dalam Hari Dalam Minggu Dalam Hari Dalam Minggu 1. Muncul tunas bunga 2. Muncul bakal bunga 3. Bunga siap mekar 4. Bunga mekar Bakal buah terbentuk 6. Buah muda Sumber : Anwar (2006) b. Persemaian Persemaian mangrove ada dua macam: persemaian darat dan persemaian pasang surut. Persemaian darat diperuntukan bagi pesemaian awal jenis-jenis mangrove yang buahnya tidak berbentuk propagul, seperti Sonneratia spp, Avicennia spp dan Xylocarpus spp. Bedeng persemaian darat berisi polybagpolybag yang telah lebih dahulu disemaikan benih mangrove di dalamnya. 128 S i n te si s R P I

151 Penyemaian benih Avicennia spp dilakukan dengan pembenaman 1/3 bagian buah; Sonneratia spp dengan pembenaman ½ bagian biji (5 mm); serta Xylocarpus spp dengan meletakkan biji di atas tanah dengan posisi radikula di bagian bawah. Dinding bedeng semai agak tinggi (sekitar 40 cm) untuk dapat leluasa ditutup dengan kawat kasa sebagai pelindung benih dan anak semai dari gangguan tikus. Persemaian juga diberi perlindungan. Penyiraman anakan semai dilakukan setiap hari. Setelah 2 bulan untuk Avicennia spp dan Xylocarpus spp atau 3 bulan untuk Sonneratia spp, anakan dengan polybagnya dapat dipindahkan ke persemaian pasang surut. Persemaian pasang surut merupakan areal yang terendam oleh air pasang dengan frekuensi kali/bulan atau dengan ketinggian lebih kurang 0,7-0,8 kali (selisih pasang surut maksimal) di bawah garis pasang maksimal. Salah satu alasan pembuatan persemaian di areal pasang surut ini adalah agar dapat membantu penyiraman. Penyiraman anakan semai hanya dilakukan setiap hari pada saat pasang perbani. Persemaian dengan dasar sedalam 0.8 x (selisih pasang surut) di bawah garis pasang masimal, diperuntukkan bagi persemaian R. mucronata, sedangkan yang lebih tinggi untuk jenis lainnya. Bedeng semai memanjang searah utara selatan dengan ukuran 1x10 m memuat polybag (15x20 cm) atau polybag (12x15 cm). Penyemaian bibit dilakukan dengan membenamkan propagul sedalam 7 cm untuk R. mucronata dan 5 cm untuk R. apiculata, B, gymnorrhiza dan C. tagal (Hachinohe et al., 1999). Bedeng semai perlu penutupan dengan tingkat penaungan 25% untuk jenis B. gymnorrhiza, S. alba, A. marina dan X. granatum dan 50% untuk R. mucronata, R. apiculata, dan C. tagal (Anwar, 1997). Tinggi penaung pada bedeng 1,7 m, agar leluasa bekerja di dalam bedeng. Dasar bedeng semai dilapisi plastik agar akar tidak tembus ke dasar bedeng, selain untuk menghindari pembuatan lubang kepiting di dasar bedeng. Khusus untuk penataan propagul R. mucronata dalam bedeng semai, pengikatan dilakukan pada setiap enam propagule dan akan dilepas ikatnya pada saat berusia 1 bulan (Hachinohe et al., 1999). Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 129

152 c. Bibit Siap Tanam Bibit mangrove siap tanam sebaiknya telah mempunyai ukuran tinggi dan jumlah helai daun sebagaimana tercantum pada Tabel berikut. Tabel Spesifikasi tujuh jenis bibit mangrove siap tanam. Jenis Mangrove Tinggi Bibit Jumlah Daun Usia Bibit (cm) (Helai) (Bulan) R. mucronata R. apiculata B. gymnorrhiza C. tagal S. alba A. marina X. granatum Sumber : Taniguchi et al. (1999) d. Tenaga Kerja Persemaian Perkiraan jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penyediaan bibit mangrove dalam persemaian seluas 1 ha adalah sebagaimana tercantum pada Tabel Dengan merujuk luas pesemaian mangrove di Balai Pengelolan Hutan Mangrove Wilayah I di Suwung Bali yang luasnya m 2 (72% areal pembibitan, 28% pondok kerja, jalan dan sebagainya), maka dalam pesemaian seluas 1 ha dapat dihasilkan sekitar bibit mangrove. Tabel Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam pengadaan bibit melalui persemaian seluas 1 hektar. HOK/ha Pesemaian untuk Jenis Kegiatan Persiapan Pembuatan Bedeng Pengambilan Tanah Pengayakan Tanah Pengisian Polibag Pengaturan Polibag di Bedeng 7. Pengumpulan Benih S i n te si s R P I

153 HOK/ha Pesemaian untuk Jenis Kegiatan Seleksi Benih Penyemaian Pemeliharaan Pengeluaran Bibit T O T A L Keterangan : 1. R. mucronata; 2. R. apiculata; 3. B. gymnorrhiza; 4. C. tagal; 5. S. alba; 6. A. marina; 7. X. granatum Sumber : Taniguchi et al Teknik Penanaman Mangrove a. Pemilihan Jenis Karakteristik tanah untuk penentuan kesesuaian jenis mangrove masih sangat bervariatif antara pustaka yang satu dengan lainnya. Hasil sementara pemilihan jenis untuk berbagai sifat tanah dapat dilihat pada Tabel Tabel Sifat tanah dan pemilihan jenis mangrove yang cocok Karakteristik Tanah Lumpur Bukan Lumpur Bukan lumpur +tanah coral Gambut (organosol) Tekstur Salinitas Kriteria Lain Jenis yang Cocok Lempung sampai Tinggi Liat dan BO R. mucronata Lempung berdebu tinggi Lempung sampai Lmpung berdebu Tinggi BO rendah reduksi tinggi Pasir Tinggi R. apiculata Pasir sampai pasir berlempung A. lanata; A. marina A. alba S. alba Aegiceras floridum Phempis adicula Lempung Tinggi BO rendah C. tagal reduksi tinggi Lempung Rendah BO rendah reduksi rendah Lumnitzera sp Xylocarpus sp Pasir sampai pasir Tinggi R. stylosa berlempung Tinggi BO tinggi B. gymnorrhiza Untuk areal bekas tambak, R. mucronata dapat tumbuh hingga penggenangan kali/bulan, R. apiculata (40-50 kali/bulan), B. gymnorrhiza (30-50 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 131

154 kali/bulan), S. alba (30-40 kali/bulan, dan C. tagal (10-20 kali/bulan) (Anwar dan Subiandono, 1997). Hasil pengamatan lain: R. mucronata dapat tumbuh hingga kedalaman 120 cm di bawah batas pasang maksimum dan cenderung lebih tinggi pada penanaman yang lebih dalam, sedangkan R. apiculata dan A. marina hanya tumbuh hingga kedalaman 80 cm dengan pertumbuhan lebih rendah dibanding dengan penanaman ke arah daratan. Gambar merupakan penanaman mangrove pada berbagai tingkat penggenangan di Pemalang (Anwar, 2007a). Jenis R. mucronata juga tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel debu dan pasir. A. marina juga tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel debu, sedangkan S. Alba tumbuh pada substrat didominasi oleh partikel pasir (Halidah et al., 2006). b. Cara Penanaman Jenis mangrove yang memiliki propagule seperti Rhizophora spp, Bruguiera spp, dan Ceriops spp dapat ditanam secara langsung. Penanaman dapat dilakukan dengan membenamkan ½ atau 1/3 bagian propagulnya ke dalam tanah. Jenis-jenis lain yang berbiji seperti Sonneratia spp, Avicennia spp, dan Xylocarpus spp ditanam setelah biji disemaikan terlebih dahulu. Namun Aviccenia spp dapat ditanam melalui cabutan anakannya. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 2x2 m untuk keperluan produksi dan 1x1 m atau 1x0,5 m untuk keperluan konservasi. Gambar Penanaman A. marina pada empat tingkat penggenangan air laut di Pemalang; pada awal penanaman (kiri); tinggi mencapai sekitar 6 m pada usia 2,5 tahun (kanan). 132 S i n te si s R P I

155 c. Tenaga Kerja Penanaman Perkiraan jumlah tenaga kerja yang diperlukan pada penanaman mangrove di areal bekas tambak setiap ha dapat dilihat pada Tabel dan Tabel Tabel Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam kegiatan penanaman mangrove melalui anakan (seedling) dalam setiap hektar. Jarak Tanam HOK/ha Penanaman setiap Jenis Kegiatan (mxm) Persiapan 0.5x x x Pengangkutan 0.5x x x Penanaman 0.5x x x Pemeliharaan 0.5x T O T A L 1x x x x x Keterangan : 1. R. mucronata; 2. R. apiculata; 3. B. gymnorrhiza; 4. C. tagal; 5. S. alba; 6. A. marina; 7. X. granatum Sumber : Taniguchi et al. (1999) Tabel Jumlah tenaga kerja yang diperlukan dalam penanaman benih mangrove secara langsung dalam setiap hektar. Kegiatan Jarak Tanam (mxm) HOK/ha 1. Persiapan 0,5 x 0,5 2 1 x x Pengangkutan bibit dengan perahu 0,5 x 0,5 7 1 x x 2 0,4 3. Penanaman 0,5 x 0, x x 2 3 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 133

156 Kegiatan Jarak Tanam (mxm) HOK/ha 4. Pemeliharaan/Penyulaman 0,5 x 0, x x 2 1 T O T A L Sumber : Taniguchi et al. (1999) 0,5 x 0, x x 2 6, Teknik Penanggulangan Hama Mangrove Beberapa jenis hama yang menulari tanaman mangrove berikut cara penanggulangan yang disarankan dicantumkan pada Tabel Tabel Jenis hama yang menulari mangrove dan saran penanggulangannya. No Jenis Hama 1 Yuyu/kepiting (Sesarma sp.) Mangrove Saran Penanggulangan Tertular B. gymnorrhiza Pembalutan propagule dengan plastik, dengan daun nipah dan penggunaan anakan semai (bukan propagul)(anwar, 1992) 2 Laba-laba R. mucronata Pemasangan bambu perangkap dan penanaman rumput disekitar anakan mangrove untuk memperluas permukaan sarang laba-laba untuk kemudian dibakar (Irianto dan Suharti, 1987). 3 Kutu Sisik (Chionaspis sp.) 4 Perusak batng Zuzera sp. Xyleborus sp. 5 Ulat Kantong : Crytothelea sp. Lymanthria sp. Dasychira sp. R. mucronata Florbac FC dengan dosis 4 cc/lt dan Azodrin 15 WSC dosis 10 cc/lt (Anwar, 1996; Intari, 1997) A alba, Pruning, penjarangan, pengaturan jarak tanam A. marina, dan penyiangan (Hardi, 1997) A. officinalis, R. mucronata, R. apiculata, B. eripetala E. agallocha B. parviflora B. gymnorrhiza A. alba R. mucronata X. granatum Mattch dengan dosis 2% untuk penyemprotan (Intari, 1984) Acanthopsyche sp. Bruguiera spp. Dimecron-100 dengan konsentrasi 0,1% untuk penyemprotan (Hardi dan Siringoringo, 2000) 6 Tritip R. mucronata Pembalutan Propagule dengan plastic (Halwany, 2009) Sumber : Diambil dari berbagai sumber. 134 S i n te si s R P I

157 3.2.2 Teknik Penanaman pada Areal Terabrasi dan Pulau-Pulau Kecil Beberapa lokasi penelitian yang dipilih merupakan areal pesisir yang mengalami tekanan abrasi antara lain Pantai Iboih di Pulau Weh (Kabupaten Aceh Besar, Aceh), Pulau Selayar (Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan), serta Pulau Talise dan Pulau Gangga (Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara). Penelitian penanaman dilakukan sesuai lokasi (tapak khusus) dengan jenis-jenis mangrove tumbuhan lainnya, yaitu cemara laut, ketapang dan nyamplung. Selanjutnya, bahasan pada bagian ini diarahkan berdasarkan lokasi kegiatan Penanaman pada Areal Terabrasi di Aceh a. Ujicoba Penanaman Cemara Laut Pelaksanaan kegiatan dilakukan berupa pembuatan pagar plot tanaman dan penanaman cemara laut seluas 1 (satu) ha di Gampong Baru, Lamnga (Aceh). Kondisi lahan di Gampong baru yaitu pantai berpasir akibat adanya penimbunan pasir pasca tsunami. Plot dirancang seluas 1 ha memanjang arah pantai sepanjang 225 m dengan lebar m dengan harapan tanaman cemara dapat menjadi buffer untuk tanaman pangan yang akan terlindung dari terpaan ombak. Plot seluas 1 ha ini telah mendapat izin dari Keuchik Gampong Baru. Plot berukuran 225x60 m yang terdiri dari 3 blok dengan ukuran masing-masing 75x60 m; pada blok I tanaman ditanam dengan jarak 2x2 m; pada blok II jarak tanaman 3x3 m dan pada Blok III jarak tanaman 4x4 m. Pada saat pengamatan lahan yang berada di sekitar (belakang plot) belum dimanfaatkan. Hal ini dapat disebabkan masyarakat selama ini belum menemukan cara mengolah tanah pantai yang sering kena pengaruh terpaan ombak atau masyarakat masih trauma memanfaatkan lahan tersebut karena lokasi tersebut termasuk lokasi yang hancur total akibat adanya tsunami, semua rumah dan fasiltas lainnya telah hancur dan masyarakat enggan kembali mengusahakan lahan maupun bertempat tinggal di lokasi tersebut. Untuk itu pemilihan jenis tanaman dalam upaya pemanfaatan lahan tersebut sangat mendukung dan lebih meyakinkan masyarakat untuk dapat kembali memanfaatkan lahan tersebut. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 135

158 Selain itu, pada saat pengamatan di lapangan lahan di Gampong Baru dimanfaatkan untuk penggembalaan ternak seperti lembu dan kerbau, yang mana ternak tersebut sering merusak tanaman yang ada di sekitar lokasi tersebut. Untuk itu pembuatan pagar plot tanaman sangat perlu dilakukan. Untuk mencapai lokasi plot dari Desa Lamnga dengan menyeberang (lebar 50 m) menggunakan perahu dan berjalan kaki sekitar 20 menit menuju pantai laut bebas atau dengan menggunakan perahu mengikuti alur sungai sekitar 15 menit dan dilanjutkan berjalan kaki selama 10 menit menuju pantai laut bebas. Pagar plot tanaman untuk memagari lahan seluas 1 ha telah dilakukan yaitu dengan membuat pagar penopang dari kayu dan paranet. Paranet digunakan agar pagar tidak mudah rusak akibat pengaruh garam yang dapat cepat merusak pagar bila digunakan kawat berduri, dan menurut pengalaman bila digunakan kawat berduri, pagar sudah rusak dalam waktu 3 bulan Hasil pengamatan tahap pertama menunjukkan tanaman cemara banyak yang mati, keadaan ini disebabkan terjadinya kemarau panjang selama satu bulan setelah penanaman tidak turun hujan. Padahal, sebelum penanaman dan seminggu setelah penanaman masih turun hujan. Untuk itu dilakukan penyulaman pada saat kondisi hujan sudah stabil, yaitu pada bulan November dan Desember. Kondisi pagar tanaman untuk memagari lahan yang ditanami cemara seluas 1 ha masih dalam kondisi baik keadaan ini disebabkan pagar yang digunakan dari paranet hal ini sesuai dengan dugaan semula bahwa paranet digunakan agar pagar tidak mudah rusak akibat pengaruh garam yang dapat cepat merusak pagar bila digunakan kawat berduri, dan menurut pengalaman bila digunakan kawat berduri akan lebih cepat rusak. Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara di Gampong Baru seluas 1 (satu) ha disajikan pada Tabel dan Gambar Hasil pengukuran menunjukkan pertambahan tinggi tanaman cemara berkisar antara 14.5 cm dan 32,6 cm dan pertambahan diameter rata-rata berkisar antara 13.3 mm dan 26,8 mm dengan pertambahan tinggi dan diameter tertinggi pada perlakuan D2T2J2 (tinggi bibit cm; penambahan tanah 5 kg/tanaman dan berjarak m dari pantai terluar). 136 S i n te si s R P I

159 Pada awal pengamatan ternyata perlakuan D2T2J2 menunjukkan pertambahan tinggi yang terbesar, keadaan ini dapat disebabkan berbagai faktor salah satu adalah tinggi bibit antara cm di mana pembentukan akar sudah lebih banyak bila dibandingkan dengan bibit yang mempunyai tinggi cm. Demikian juga penambahan tanah pada sustrat berpasir sebanyak 5 kg/tanaman akan menyediakan unsure hara pada areal perakaran sehingga tanaman akan tumbuh lebih baik bila dibandingkan dengan tanpa pemberian tanah pada areal perakaran. Penambahan tanah pada areal perakaran juga akan meningkatkan ketersediaan air pada areal perakaran (rhyzosfer) sehingga akan meningkatkan mekanisme penyerapan hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi demikian perlu diupayakan, karena pada substrat berpasir yang menjadi hambatan pada pertumbuhan tanaman adalah ketersedian air dan kekurangan unsur hara untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Namun demikian bahasan ini masih dalam tahap awal sampai diperoleh hasil pengamatan selama 2 tahun lagi. Tabel Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru No. Perlakuan Rata-rata pertambahan tinggi (cm) Rata-rata pertambahan diameter (cm) 1 DoT1J1 15,2 15,5 2 D1T1J1 19,6 20,2 3 D2T1J1 27,7 22,5 4 D3T1J1 28,9 21,2 5 DoT1J2 16,1 15,8 6 D1T1J2 20,7 21,2 7 D2T1J2 24,5 21,3 8 D3T1J2 29,1 24,1 9 DoT1J3 12,3 14,8 10 D1T1J3 17,8 19,4 11 D2T1J3 25,2 20,4 12 D3T1J3 31,3 22,4 13 DoT2J1 14,5 13,3 14 D1T2J1 21,4 18,1 15 D2T2J1 21,7 23,7 16 D3T2J1 31,1 21,5 17 DoT2J2 16,9 15,3 18 D1T2J2 21,1 23,2 19 D2T2J2 32,6 26,8 20 D3T2J2 29,9 25,5 21 DoT2J3 14,5 16,7 22 D1T2J3 23,9 21,2 23 D2T2J3 24,8 24,8 24 D3T2J3 28,7 22,4 Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 137

160 Keterangan : Perlakuan 1. Do T1 J1 9. Do T1 J3 17. Do T2 J2 2. D1 T1 J1 10. D1 T1 J3 18. D1 T2 J2 3. D2 T1 J1 11. D2 T1 J3 19. D2 T2 J2 4. D3 T1 J1 12. D3 T1 J3 20. D3 T2 J2 5. DoT1J2 13. Do T2 J1 21. Do T2 J3 6. D1T1J2 14. D1 T2 J1 22. D1 T2 J3 7. D2T1J2 15. D2 T2 J1 23. D2 T2 J3 8. D3T1J2 16. D3 T2 J D3 T2 J3 Gambar Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman cemara laut di Gampong Baru b. Ujicoba Penanaman Mangrove Tanaman mangrove telah ditanam sebanyak tanaman di Iboih, Pulau Weh dengan setiap jenis tanaman sebanyak tanaman sesuai perlakuan. Pengukuran tinggi dan diameter tanaman mangrove di Iboih dilakukan setelah daun mangrove muncul (diperkirakan setelah tanaman berumur 3 4 bulan yaitu pada saat 138 Sintesis RPI

161 perakaran tanaman sudah stabil). Jumlah tanaman yang hidup dan yang ditanam disajikan pada Tabel (persen hidup sebesar 67%). Tabel Perbandingan jumlah tanaman mangrove perplot yang hidup dan ditanam per plot di Pulau Weh, Aceh No. Perlakuan Blok Penanaman (jumlah yang hidup/jumlah ditanam) Jumlah 1 M1J1 158/ / / / / M1J2 46/81 57/81 53/81 65/81 221/324 3 M1J3 28/36 25/36 23/36 27/36 103/144 4 M2J1 167/ / / / / M2J2 59/81 55/81 48/81 56/81 218/324 6 M2J3 25/36 22/36 26/36 21/36 94/144 Jumlah 483/ / / / /2984 (67%) Pengukuran pertumbuhan tanaman berupa pengukuran tinggi tanaman mangrove dilakukan di Pulau Weh dan di Lamnga. Rata-rata pertambahan tinggi tanaman disajikan pada Tabel dan Tabel Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh No. Perlakuan Blok Rata-rata pertambahan 1 M1J1 29,90 50,2 17,76 31,53 32,36 2 M1J2 32,60 41,64 33,60 32,20 35,01 3 M1J3 44,01 32,70 30,13 32,04 34,72 4 M2J1 44,90 32,34 30,28 34,72 35,56 5 M2J2 32,68 43,92 45, ,18 6 M2J3 45,71 52,13 40,47 38,56 43,72 Hasil pengukuran menunjukkan tanaman mangrove di Pulau Weh berkisar antara 67,53 cm dan 82,60 cm dengan pertambahan tinggi yang terbesar 43,72 cm pada perlakuan M2J3 (Jenis mangrove R. mucronata dan jarak tanam 3x3m). Pengamatan ini masih dalam tahap awal namun demikian ada kecenderungan pertumbuhan tanaman R. mucronata lebih baik dibandingkan tanaman R. stylosa. di areal ujicoba penanaman mangrove. Sementara itu, Hasil pengukuran awal di Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 139

162 Lamnga menunjukkan pertambahan tinggi tanaman mangrove berkisar antara 30,60 cm dan 35,99 cm. Keterangan: Perlakuan 1. M1J1 4. M2J1 2. M1J2 5. M2J2 3. M1J3 6. M2J3 Gambar Grafik pertambahan tinggi dan diameter tanaman mangrove di Pulau Weh, Aceh Tabel Rata-rata pertambahan tinggi (cm) tanaman mangrove di Lamnga, Aceh No. Perlakuan Blok Rata-rata pertambahan 1 M1Do 31,56 34,21 35,91 33,89 2 M1D1 30,22 32,27 32,84 31,78 3 M1D2 34,48 35,37 30,81 33,55 4 M2Do 30,43 31,39 30,79 30,87 5 M2D1 33,09 31,38 29,51 31,33 6 M2D2 30,21 29,34 32,24 30,60 7 M3Do 34,29 37,46 33,83 35,19 8 M3D1 32,45 36,50 37,72 35,56 9 M3D2 38,19 34,20 35,58 35, Sintesis RPI

163 Gambar Penanaman cemara laut di Gampong Baru, Aceh Gambar Penanaman mangrove di Lamnga, Aceh Gambar Pengukuran tanaman mangrove dan plot penelitian di P. Weh, Aceh Penanaman di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan) Kegiatan penelitian dilaksanakan di Pulau Selayar yang termasuk dalam Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penanaman terbagi dalam 2 lokasi yang terpisah di Pantai Barat Selayar (Kelurahan Bonto Bangun, Kecamatan Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 141

164 Bonto Haru, Kabupaten Selayar) dengan koordinat lokasi 5 42'-7 35' Lintang Selatan dan ' ' Bujur Timur. Penelitian dimulai pada tahun 2010 dan dilaksanakan sampai dengan tahun 2013 dengan obyek yang diujicobakan adalah jenis nyamplung, cemara laut dan ketapang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh uji jarak tanam dan komposisi jenis tanaman, serta perlakuan pemberian kompos (jenis kompos dan kedalaman lubang tanam). Setiap perlakuan penelitian diujicobakan pada 4 blok di setiap lokasi penelitian. a. Pengambilan Materi Penanaman Pengambilan materi penanaman berupa cabutan dari semai yang ada di bawah pohon nyamplung (hasil dari panen raya sebelumnya yang sudah berkecambah secara alami). Pada dasarnya, bibit-bibit tersebut terbentuk secara generatif sebagai proses perkecambahan secara alami dari benih-benih yang jatuh di lantai hutan. Cara ini digunakan karena pada musim penghujan anakan alam di bawah tegakan cukup berlimpah. Anakan alam yang dapat digunakan untuk bibit memiliki tinggi cm (Bustomi et al., 2008). Pengambilan cabutan, harus hati-hati dan perlahan agar akar semai tidak rusak. Bbit cabutan lalu dimasukkan dalam kantong plastik yang di bawahnya sudah dilapisi koran basah untuk menjaga agar semai tetap segar, kemudian segera dibawa ke persemaian. Pengambilan cabutan memiliki beberapa kriteria antara lain semai yang sehat dan memiliki tinggi yang relatif seragam. Pengambilan materi cabutan disertakan dengan biji kotiledonnya sebagai cadangan makanan semai agar saat beradaptasi dengan lingkungan yang baru di persemaian lebih mudah dan persen hidupnya lebih tinggi. b. Persemaian Pembuatan persemaian diawali dengan pemilihan lokasi, yaitu dekat dengan sumber air, lokasi relatif datar, dan aksesbilitas mudah untuk memudahkan pengawasan dan pengangkutan bibit. Setelah lokasi persemaian dipilih, dilakukan pengukuran lokasi, pembersihan lokasi, pembuatan bedeng sapih dan pengisian polybag. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam bedeng, terlebih dahulu bedeng diisi dengan kerikil dan pasir agar air penyiraman maupun air hujan tidak menggenangi bedeng yang dapat menyebabkan kematian tanaman. Pembuatan persemaian dilakukan di bawah tegakan atau diberi naungan dengan intensitas cahaya sekitar 142 S i n te si s R P I

165 50% untuk menjaga kelembaban. Kegiatan di persemaian meliputi penyiapan bibit, penyiraman, pemupukan, perumputan serta penghilangan hama dan penyakit. Materi penanaman yang berupa cabutan lebih rumit dalam penanganannya. Anakan alam hasil eksplorasi dikumpulkan kemudian dikurangi perakaran serta daunnya untuk mengurangi penguapan. Selain itu juga untuk menghindari penutupan antar daun pada bibit yang dapat menyebabkan genangan air pada daun setelah penyiraman yang dapat menyebabkan pembusukan. Setelah itu, bagian perakaran bibit dimasukkan ke dalam larutan rootone-f untuk menumbuhkan perakaran pada akar yang telah dipotong. Setelah direndam beberapa menit, bibit dipindahkan ke polybag dengan media campuran tanah dan kompos (7 : 3). Bibit cabutan harus disungkup untuk menjaga kelembaban agar tanaman tidak layu dan mati. Penyungkupan dilakukan selama kurang lebih 1 bulan dan dibuka secara bertahap selama 2 minggu sebelum dibuka keseluruhan. Sungkup diletakkan di bawah paranet dengan tingkat naungan 60%. Ukuran sungkup dibuat sama dengan ukuran bedeng agar sungkup dapat dipindahkan ke bedeng lain. Penyiraman bibit yang masih disungkup tidak dikenakan secara langsung pada tanaman, saat kondisi tanah masih cukup basah dan penyiraman dilakukan dua hari sekali. Penyiraman yang terlalu banyak dapat menyebabkan genangan air pada daun. Genangan air tersebut dapat menyebabkan pembusukan daun. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya jamur dan pathogen lainnya karena kelembaban yang tinggi. Pemeliharaan bibit di persemaian hingga kondisi cabutan sudah terlihat stabil dan siap ditanam di lapangan. Tanaman siap ditanam di lapangan pada umur sekitar 6 bulan atau jika sudah mencapai tinggi sekitar 40 cm. Kegiatan persemaian juga termasuk persemaian untuk tanaman pencampur: ketapang dan cemara laut. c. Penyiapan Lokasi Penanaman Pembuatan plot penanaman dilaksanakan di lokasi yang telah ditunjuk yang diawali dengan persiapan lahan. Kegiatan persiapan lahan meliputi pengukuran lokasi penanaman, pembabatan/pembersihan lokasi dari tanaman pengganggu, pemasangan patok batas blok, batas plot, pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam. Pemasangan ajir sesuai dengan jarak tanam yaitu 3x3 m dan 3x2 m, serta pembuatan lubang tanam dengan ukuran 30x30x30 cm. Bagian ujung ajir dicat Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 143

166 sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam pada lubang tanam di dekatnya untuk memudahkan dalam pengecekan bibit. Ajir warna merah untuk nyamplung, kuning untuk cemara laut dan putih untuk ketapang. d. Penanaman Penanaman dilakukan saat musim penghujan sesuai dengan rancangan penanaman. Kegiatan penanaman dimulai dengan pengangkutan bibit dari persemaian menuju lokasi penananaman dan pengeceran bibit sesuai dengan warna ajir. Kegiatan selanjutnya merupakan penanaman bibit pada lobang tanam dan sesuai jarak tanam yang sudah diatur sebelumnya. Pola tanam diatur yaitu penanaman nyamplung murni, nyamplung campur dengan ketapang, nyamplung campur dengan cemara laut. Untuk memudahkan pekerjaan, tiap bibit nyamplung, ketapang dan cemara laut diletakkan pada tiap lubang tanam. Bibit ditanam dengan tegak dan kokoh, agar bisa bertahan dari tiupan angin. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan untuk mencukupi kebutuhan air. e. Pemeliharaan Pemeliharaan pertama dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan. Pemeliharaan ini termasuk mengganti tanaman yang telah mati, yang biasa disebut dengan penyulaman. Pemeliharaan dilakukan tiap 3 bulan sekali. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan atau pembersihan gulma dilakukan dengan piringan di sekitar tanaman. Pemupukan dilakukan tiap 6 bulan sekali. Jenis pupuk yang diberikan disesuaikan dengan jenis unsur yang menjadi faktor pembatas di areal penanaman tersebut, yaitu pupuk NPK. f. Pengumpulan Data Pengambilan data awal lingkungan penanaman dilaksanakan untuk mengetahui kondisi awal lahan yang akan ditanami dan akan dilihat perkembangan ataupun perubahan yang ada. Untuk mengetahui pengaruh dari penanaman terhadap lingkungan, terutama terhadap kualitas tanah. Demplot ujicoba penanaman terbagi dalam 2 lokasi yang terpisah. Pengambilan sampel data lingkungan dilakukan secara acak, di beberapa tempat yang sekiranya mewakili kondisi di lokasi tersebut. 144 S i n te si s R P I

167 Sampel yang telah diambil kemudian ditabulasi dan dirata-rata. Pengambilan sampel tanah dilakukan dibeberapa titik di masing-masing blok, kemudian dikomposit (dicampur) dan dianalisis di laboratorium. Data awal lingkungan penanaman pada 2 lokasi di kawasan pesisir Selayar tersaji dalam Tabel Tabel Data awal lingkungan dan sifat kimia tanah penanaman di kawasan pesisir Selayar No. Data Lingkungan Rerata Lokasi 1 Rerata Lokasi 2 1 Suhu ( o C) Kelembaban (%) ph Intensitas cahaya (lux) Ketinggian tempat (m dpl) N Organik (%) C Organik (%) P2O5 Olsen (ppm) P2O5 HCl 25% (mg 100g -1 ) K20 HCl 25% (mg 100g -1 ) Klas Tekstur Liat Lempung Liat Berdebu Berdasarkan data lingkungan pada Tabel terlihat bahwa lokasi penanaman di kawasan pesisir Selayar mempunyai suhu yang relatif sedang dan kelembaban udara relatif cukup tinggi, yaitu sekitar 88% dan 91%. Suhu di lokasi 1 lebih rendah dengan kelembaban relatif tinggi. Hal ini dimungkinkan karena lokasi 1 lebih banyak tanaman mangrove yang besar sehingga lebih tertutup dibandingkan lokasi 2 yang cenderung terbuka dan lebih dekat dengan pantai. Berdasarkan data sifat kimia tanah, kandungan nitrogen pada lokasi 2 lebih tinggi daripada lokasi 1. Kandungan N organik di kedua lokasi ini termasuk dalam kategori sedang. Kandungan C organik di lokasi 1 termasuk rendah, sementara di lokasi 2 kandungan C organik termasuk dalam kategori sedang. Kandungan hara P dan K di kedua lokasi termasuk rendah. Tanaman nyamplung mempunyai kemampuan tumbuh dengan baik pada ph 4 sampai 7,4 dengan ketinggian m dpl dengan tipe curah hujan A dan B (Martawijaya et al., 2005). Tanaman ketapang dapat tumbuh baik dengan baik pada kondisi lahan berpasir, liat ataupun tanah miskin. Tanaman ini tumbuh pada Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 145

168 ketinggian m dpl (Flores, 2007). Cemara laut mampu tumbuh dengan baik pada ketinggian m dpl dengan curah hujan rata-rata mm, suhu rata-rata harian o C, serta sesuai pada tanah ringan dengan ph 5,0 9,5 (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, 2001). Persyaratan tumbuh tersebut sesuai dan mendekati dengan kondisi di lahan penanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman di sini adalah sifat kimia tanah atau tingkat kesuburan tanah. Tanah dilokasi penanaman mempunyai tingkat kesuburan yang relatif rendah, terutama unsur hara P dan K. Pengukuran pertumbuhan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan. Pengukuran dilakukan pada tinggi dan diameter tanaman. Pengukuran tinggi dimulai dari pangkal batang sampai dengan ujung tajuk tanaman. Untuk pengukuran diameter, bagian batang yang diukur diberi tanda untuk memudahkan pengukuran selanjutnya. Hal ini penting sebagai patokan pada pengukuran diameter selanjutnya agar data yang dihasilkan lebih akurat. Pengukuran selanjutnya dilakukan tiap 3 bulan. Saat pengukuran juga dilakukan pengecekan pada tiap tanaman untuk mengetahui jumlah tanaman yang hidup dan keberhasilan penanaman. Tingkat keberhasilan suatu penanaman ditentukan oleh kemampuan tanaman tersebut untuk beradaptasi pada lingkungan penanaman. Persen hidup merupakan salah satu parameter keberhasilan penanaman. Persen hidup tanaman sampai dengan umur 1 bulan di lapangan tersaji pada Tabel Tanaman ujicoba mempunyai persen hidup yang relatif tinggi, secara keseluruhan mencapai 89,78%. Rata-rata persen hidup tertinggi terdapat pada blok 2 (94%) dan persen hidup terendah diperoleh dari blok 1 (81,40%). Persen hidup di blok 1 lebih rendah dibandingkan dengan blok yang lain karena kondisi lahan blok 1 lebih banyak tergenang air dan kurang porous sehingga tanaman lebih banyak yang mati. Blok 1 juga mempunyai tekstur tanah berupa liat, sedangkan tiga blok lainnya pada lokasi 2 mempunyai tekstur tanah lempung liat berdebu. Sementara itu, jenis tanaman yang mempunyai persen hidup tinggi adalah nyamplung (89,75 95,5%). 146 S i n te si s R P I

169 Tabel Persen hidup tanaman umur 1 bulan Jarak Tanam No. Plot Jenis Tanaman Persen Hidup Tanaman (%) Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 4 Rerata 3x2 m Plot 1 Ketapang Nyamplung Plot 2 Cemara Nyamplung Plot 3 Nyamplung x3 m Plot 1 Ketapang Nyamplung Plot 2 Cemara Nyamplung Plot 3 Nyamplung Rerata Persen hidup tanaman nyamplung paling tinggi menunjukkan bahwa tingkat adaptasinya di lokasi penanaman cukup bagus sehingga kemampuan hidup tanaman juga tinggi. Tanaman nyamplung di Kabupaten Selayar tidak hanya ditemukan di tepi pantai, tetapi juga ada yang di daerah bukit. Dengan demikian, kemungkinan daya adaptasi tanaman nyamplung di Selayar ini lebih bagus daripada jenis yang lain. Uji coba penanaman di lapangan ternyata menghadapi kendala kekeringan akibat kemarau (tingkat kematian tanaman hingga 90%). Penanaman pertama hanya diperoleh data nilai persen hidup (Tabel ) dan data awal pertumbuhan (tinggi dan diameter) hingga tanaman berumur 1 bulan. Oleh sebab itu, uji coba penanaman dilakukan pengulangan kembali. Namun demikian, penanaman kedua juga menghadapi kendala yang sama sehingga hanya menghasilkan data pertumbuhan awal 1 bulan dan hingga tanaman berumur 9 bulan (Tabel ). Pada umur tanaman 12 bulan, data pertumbuhan tidak dapat diperoleh akibat pengaruh musim dan kondisi lingkungan yang menyebabkan tanaman banyak yang mati. Berdasarkan data curah hujan yang ada, mulai dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober curah hujan di sekitar lokasi penanaman sangat rendah, bahkan tidak Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 147

170 ada hujan sama sekali di Bulan Agustus dan September. Curah hujan yang sangat rendah ini menyebabkan lengas tanah rendah dan suhu udara yang panas. Hal ini menyebabkan tanah menjadi retak-retak karena merupakan jenis tanah berkelas tekstur lempung liat berdebu. Retaknya tanah ini cukup dalam dan menyebabkan perakaran tanaman terputus sehingga banyak tanaman yang mati, selain pengaruh kekeringan dan kekurangan air. a) b) c) Keterangan: a) tanah retak-retak dalam, b) vegetasi sekitar kering dan mati, c) tanaman uji mati kering Gambar Kondisi lokasi penanaman pada musim kemarau Tabel Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman setelah penanaman I dan penanaman II Jarak Tanam No. Plot Jenis Tanaman Pertumbuhan tanaman umur 1 bulan dari penanaman I Tinggi Diameter (cm) (cm) Pertumbuhan tanaman umur 1 bulan dari penanaman II Tinggi Diameter (cm) (cm) Pertumbuhan tanaman umur 9 bulan dari penanaman II Tinggi Diameter (cm) (cm) 3x2 m Plot 1 Ketapang ,78 7,98 rusak rusak Nyamplung ,05 5,6 79,40 15,59 Plot 2 Cemara ,73 4,28 mati mati Nyamplung ,57 5,27 68,77 14,29 Plot 3 Nyamplung ,7 5,3 60,32 13,55 3x3 m Plot 1 Ketapang ,05 6,22 rusak rusak Nyamplung ,9 4,58 62,61 13,06 Plot 2 Cemara ,87 4,38 mati mati Nyamplung ,17 5,35 102,36 17,89 Plot 3 Nyamplung ,07 4,4 52,38 12, S i n te si s R P I

171 Berdasarkan Tabel dapat diketahui adanya variasi pertumbuhan antarjenis dan antarjarak tanam. Pertumbuhan terbaik tanaman nyamplung pada umur 1 bulan penanaman I terdapat pada jarak tanam 3x3 m yang dikombinasikan dengan cemara (rerata tinggi 19,27 cm dan rerata diameter 3,83 mm). Ketapang mempunyai pertumbuhan terbaik pada jarak tanam 3x2 m (rerata tinggi 19,13 cm dan rerata diameter 4,22 mm). Tanaman cemara laut mempunyai rerata pertumbuhan tinggi terbaik (23,16 cm) pada jarak tanam 3x2 m, tetapi rerata prtumbuhan diameter terbaik (4,18 mm) pada jarak tanam 3x3 m. Pertumbuhan terbaik tanaman pada beberapa plot ini mengalami perubahan seiring dengan berinteraksinya tanaman dengan tanaman pencampurnya, serta beradaptasinya tanaman dengan lingkungan sekitar penanaman. Rerata pertumbuhan tinggi terbaik (30,17 cm) tanaman nyamplung pada umur 1 bulan penanaman II terdapat pada jarak tanam 3x3 m (kombinasi dengan cemara), tetapi rerata pertumbuhan diameter terbaik (5,6 mm) terdapat pada jarak tanam 3x2 m (kombinasi dengan ketapang). Ketapang mempunyai rerata pertumbuhan tinggi terbaik (23,05 cm) pada jarak tanam 3x3 m, tetapi rerata pertumbuhan diameter terbaik (7,98 mm) pada jarak tanam 3x2 m. Tanaman cemara laut mempunyai pertumbuhan terbaik pada jarak tanam 3x3 m (rerata tinggi 50,87 cm dan rerata diameter 4,38 mm). Pengukuran pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman uji dalam penelitian ini selanjutnya mengalami kendala lingkungan (kemarau dan gangguan ternak). Data pengukuran tanaman umur 9 bulan hasil penanaman kedua hanya dapat diperoleh untuk jenis nyamplung. Pertumbuhan terbaik tanaman nyamplung yang sebelumnya dikombinasikan dengan cemara laut tedapat pada jarak tanam 3x3 m, yaitu rerata tinggi 102,36 cm dan rerata diameter 17,89 mm. Tanaman cemara laut tidak ada yang hidup dan kemungkinan tidak cocok dengan kondisi tapak di lokasi penelitian, meskipun telah dilakukan 2 kali penanaman.. Tanaman cemara laut akan tumbuh dengan baik pada tanah yang mempunyai tekstur cenderung berpasir, sedangkan di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung liat berdebu (Prasetyawati, 2010). Sementara itu, tanaman ketapang mempunyai rerata pertumbuhan yang rendah dan sebagian besar rusak akibat sering dimakan ternak sapi. Padahal, lokasi penelitian telah dibuat pagar, namun ternak sapi milik Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 149

172 masyarakat masih dapat masuk dan memakan tanaman ketapang sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik (meskipun tidak mengalami kematian dan bertunas kembali). Sebaliknya, tanaman nyamplung tidak dimakan sapi karena sapi tidak menyukai getah yang ada pada tanaman tersebut. Tanaman nyamplung yang mampu bertahan dalam menghadapi musim kemarau akan mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat dengan pertumbuhan yang sempurna dan sehat. Gambaran mengenai tanaman nyamplung yang mempunyai pertumbuhan bagus tersaji pada Gambar Sementara itu, tanaman yang tidak mampu bertahan menghadapi musim kemarau akan mengalami luka bakar pada daunnya yang lama kelamaan akan mati bila tidak segera mendapatkan air yang cukup. Kondisi beberapa tanaman yang mengalami daun terbakar dan mati kering tersaji pada Gambar Gambar Beberapa tanaman nyamplung umur 9 bulan pada uji komposisi jenis dan jarak tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus. Gambar Tanaman nyamplung yang mengalami daun terbakar dan kematian akibat musim kemarau 150 S i n te si s R P I

173 Gambar Tanaman ketapang yang daunnya habis dimakan sapi Pada awal pertumbuhannya, tanaman nyamplung memerlukan naungan sehingga beberapa tanaman nyamplung tidak mampu tumbuh dengan bagus pada musim kemarau yang panjang. Tanaman nyamplung yang berada pada kondisi terbuka di sekelilingnya cenderung mudah terbakar pada daunnya dan bila terjadi secara terusmenerus akan menyebabkan kematian tanaman. Meskipun tanaman sudah tinggi, tanaman dapat mati dan mengalami kekeringan bila musim kemarau terlalu lama dan sangat panas, Hal ini menunjukkan bahwa tanaman nyamplung pada awal pertumbuhannya tidak tahan terhadap panas yang terik dalam waktu yang lama. Sementara itu, pengaruh dari jarak tanam dan komposisi jenis akan terlihat nyata pada pertumbuhan tanaman pada saat terjadi penutupan tajuk yang berakibat pada persaingan dalam mendapatkan sinar matahari. Lebar tajuk ini juga menggambarkan lebar/jangkauan perakaran. Pada saat tajuk antar tanaman bertemu, perakaran antar tanaman juga akan bertemu sehingga akan terjadi persaingan unsur hara di area rhizosfer. Data pertumbuhan tanaman dalam perlakuan jarak tanam dan komposisi jenis [sebagaimana hasil yang telah dibahas sebelumnya] selanjutnya dilakukan analisis dengan hasil seperti terdapatpada Tabel Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 151

174 Tabel Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung sampai umur 9 bulan setelah tanam pada uji jarak tanam dan komposisi jenis di Kab. Kep. Selayar Sumber Keragaman Tinggi Diameter Rerata kuadrat F hitung Rerata kuadrat F hitung Jarak tanam 0,126 0,001 ns ns Komposisi 4,845 0,050 ns ns Jarak tanam * komposisi 11,978 0,757 ns ns Galat 96,618 0, Keterangan: ns tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 Berdasarkan hasil analisis pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung [sampai dengan umur 9 bulan di lapangan] diperoleh hasil yang tidak signifikan/tidak berbeda nyata pada perlakuan jarak tanam maupun komposisi jenis tanaman. Jarak tanam dan komposisi jenis tanaman tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan tanaman nyamplung. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat tanaman masih berumur 9 bulan dan tajuk belum saling bertemu sehingga belum terjadi persaingan perakaran maupun persaingan tajuk antar individu tanaman pada jarak tanam tersebut. Dengan demikian, pengaruh jarak tanam dan komposisi jenis belum ada. g. Pembangunan Plot Tanaman Pengujian Kompos 1) Pembuatan Kompos Pembangunan plot tanaman pengujian kompos dimulai dengan pembuatan kompos dari bahan dasar kotoran ternak. Pembuatan kompos dilakukan di dekat lokasi yang akan ditanami untuk memudahkan pengangkutan kompos selanjutnya. Pembuatan kompos dimulai dengan pencarian bahan/materi berupa kotoran ternak kambing dan ayam, serta kelelawar. Pemilihan bahan kompos dari jenis kotoran ternak ini karena memang banyak ditemukan pada masyarakat di Selayar. Kegiatan pembuatan kompos dimulai dari persiapan bahan baku utama kompos yaitu kotoran kambing dan kotoran ayam. Kotoran kelelawar tidak perlu dilakukan pengomposan karena sudah lama terdekomposisi di dalam gua dan sudah menjadi kompos yang matang. Untuk mempercepat proses dekomposisi, EM4 (Effective Microorganism 4) digunakan sebagai aktivator yang di dalamnya 152 S i n te si s R P I

175 mengandung bakteri fermentasi dari genus lactobacillus, jamur fermentasi actinomycetes, bakteri fotosintetik, bakteri pelarut fosfat, dan ragi. Aktivator EM4 sebanyak 300 ml dicampur dengan dengan 250 ml gula pasir dan 20 liter air. Gula pasir ini berfungsi sebagai nutrisi bagi dekomposer mikroorganisme. Larutan EM4 dan gula disiramkan ke kotoran, kemudian diaduk sampai kotoran menggumpal bila digenggam. Bahan ini dimasukkan ke dalam bak yang terbuat dari papan kayu dan ditutup dengan menggunakan plastik namun diberi lubang agar oksigen bisa masuk dan mikroorganisme tidak mati. Proses dekomposisi yang terjadi dapat diketahui dengan melakukan pengecekan suhu. Bila suhu telah tinggi berarti proses dekomposisi telah terjadi, bila suhu masih rendah maka perlu dilakukan penyiraman ulang dengan EM4. Selama proses pengomposan dilakukan, pembalikkan kompos dilakukan secara berulang-ulang agar mikroorganisme tidak mati sehingga proses dekomposisi berjalan dengan baik dan merata. Pada saat pengomposan, bahan kompos selalu ditutup dengan plastik. Kompos dapat digunakan bila sudah dalam keadaan kering dan suhu sudah mendekati suhu ruang (tidak panas). Biasanya kompos dapat digunakan setelah 2 3 bulan proses pengomposan dan hasil pembuatan kompos dalam penelitian ini telah diketahui kandungan haranya berdsarkan analisis laboratorium (Tabel ). Tabel Hasil analisis uji mutu kompos. No. Jenis Kompos Parameter Tekstur C (%) N (%) P 2 O 5 (%) K 2 O (%) ph 1. Kelelawar Ayam Kambing Berdasarkan hasil analisis uji mutu kompos pada Tabel dapat diketahui bahwa jenis kompos yang berasal dari kotoran kelelawar mempunyai kandungan C dan P yang tinggi, namun nilai ph yang rendah. Hak ini menjadi kelemahan pupuk tersebut bila diaplikasikan pada lahan yang bersifat masam. Kompos ayam mempunyai kandungan N dan P yang lebih tinggi bila dibanding dengan kompos yang berasal dari kotoran kambing. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 153

176 Selanjutnya, berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa kandungan nutrisi feses/kotoran dari beberapa jenis ternak dan kelelawar sangat bervariasi. Kandungan nutrisi pada kotoran guano kelelawar lebih tinggi bila dibandingkan dengan kotoran ayam dan kambing, terutama pada kandungan phosphatnya. Kotoran kambing mempunyai kandungan nutrisi nitrogen dan kalium lebih besar daripada kotoran ayam. Kandungan nutrisi ini berbeda dengan hasil pembuatan kompos pada Tabel yang mana kandungan nitrogen, phosphat dan kalium pada kompos ayam lebih besar daripada nutrisi yang terdapat pada kompos kambing. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan ternak atau proses pengomposan. Tabel Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan Jenis hewan Nitrogen P (P2O5) K (K2O) Ayam Sapi potong Sapi perah Bebek Kambing Guano kelelawar Kuda Manusia Babi Burung merpati Kelinci Domba Kalkun Sumber : http. analisis.pdf. 2) Penyiapan lahan untuk aplikasi kompos Kegiatan penyiapan lahan dimulai dengan pengukuran lahan dan pembersihan lahan dari gulma dan semak belukar. Pembangunan uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam ini mempunyai luasan sekitar 0,5 ha yang dibagi dalam 3 blok sebagai ulangan. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan/pembagian plot (perlakuan) pada masing-masing blok dengan perlakuan setiap plot yang diterapkan yaitu kontrol (tanpa kompos), kompos kelelawar, kompos ayam dan kompos kambing. Masingmasing aplikasi kompos dilakukan terhadap lubang tanam dengan kedalaman S i n te si s R P I

177 cm, 25 cm dan 35 cm. Setiap kedalaman lubang tanam diberi warna ajir tersendiri, yaitu warna ajir biru untuk kedalaman lubang tanam 15 cm, warna putih untuk kedalaman 25 cm dan warna merah untuk kedalaman 35 cm. Pemberian warna ajir juga dilakukan pada tiap jenis kompos. Pengecatan warna ajir untuk kompos dilakukan di bawah warna kedalaman sehingga setiap ajir mempunyai 2 garis warna yang berbeda. Ajir dicat warna kuning untuk kompos kambing, hijau untuk kompos ayam, oranye untuk kompos kelelawar dan kontrol tidak diberi warna. 3) Penanaman Penanaman dilakukan saat musim penghujan sesuai dengan rancangan penanaman. Kegiatan penanaman dimulai dengan pengangkutan bibit menuju lokasi penananaman. Setelah itu kemudian dilakukan pengeceran bibit sesuai dengan warna ajir yang sudah ditentukan. Kegiatan selanjutnya merupakan pemberian hidrogel dan kompos sesuai dengan jenis yang telah ditentukan ke dalam lubang tanam. Bibit ditanam dengan tegak dan kokoh agar bisa bertahan dari tiupan angin. Penanaman yang dilakukan pada awal musim hujan dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan air. 4) Pemeliharaan Pemeliharaan pertama dilakukan saat tanaman berumur 1 bulan. Pemeliharaan ini termasuk mengganti (menyulam) tanaman yang telah mati. Selain penyulaman, pembersihan gulma atau rumput di sekitar tanaman juga dilakukan. 5) Pengambilan data pertumbuhan Pengukuran dilakukan terhadap tinggi dan diameter tanaman yang dimulai pertama kali pada saat tanaman berumur 1 bulan. Pengukuran tinggi dilakukan dari pangkal batang sampai dengan ujung tajuk tanaman, sedangkan pengukuran diameter dilakukan pada bagian batang dan diberi tanda untuk memudahkan pengukuran selanjutnya. Hal ini penting sebagai patokan pada pengukuran diameter selanjutnya agar data yang dihasilkan lebih akurat. Saat pengukuran juga dilakukan pengecekan pada tiap tanaman untuk mengetahui jumlah tanaman yang hidup dan keberhasilan penanaman. Hasil pengukuran awal terhadap tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan pada pengujian jenis kompos tersaji pada Tabel Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 155

178 Berdasarkan tabel tersebut, pertumbuhan awal tanaman nyamplung tertinggi dengan tinggi rerata 88,9 cm pada kontrol (tanpa kompos) dengan kedalaman 25 cm dan diameter terbesar diperoleh pada jenis kompos kelelawar pada kedalaman 35 cm dengan diameter rerata 5,33 mm. Berdasarkan hasil analisa tanah dan data lingkungan sebelumnya, lokasi penelitian mempunyai unsur hara yang rendah (Prasetyawati, 2010) sehingga ada kemungkinan tanaman akan tumbuh secara tidak optimal. Tanaman akan tumbuh dengan optimal bila tercukupi kebutuhan akan unsur hara dan berada dalam kondisi yang sesuai dengan habitatnya. Salah satu usaha untuk menambah unsur hara dalam tanah adalah dengan pemupukan, baik menggunakan pupuk kimia maupun pupuk organik [yang biasa disebut dengan kompos]. Pada penelitian ini, pupuk kompos digunakan karena mempunyai banyak keunggulan, antara lain tidak merusak tanah, tidak menurunkan ph tanah, dan fungsi kompos menggemburkan tanah. Kandungan hara kompos menetap pada tanah dan tidak terlarut air sehingga dosis penggunaan pada masa musim penanaman berikutnya kemungkinan besar dapat diturunkan, tergantung pada sifat tanah dan pengisapan hara oleh tanaman (Artaji, 2011). Tabel Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman umur 1 bulan setelah penanaman pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam No. Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (mm) Rerata Blok 1 Blok 2 Blok 3 Blok 1 Blok 2 Blok 3 Rerata 1. KT 15 34,9 25,5 27,3 87,7 6,1 4,4 4,6 5,03 2. KT 25 29, ,9 5,6 5,5 4,3 5,13 3. KT 35 27,2 25,5 24,6 77,3 4,9 5,4 4,2 4,83 4. KB 15 26,7 22,6 26,3 75,6 5,1 4,9 4,5 4,83 5. KB 25 26,2 27, ,4 4,80 6. KB 35 25,4 30,2 29,6 85,2 5,1 5,4 4,8 5,10 7. AY 15 21,1 30, ,3 4,4 5,1 4,9 4,80 8. AY 25 25,5 30,4 26,4 82,3 4,6 5,4 4,6 4,87 9. AY ,1 28,6 74,7 4,6 4,9 4,9 4, KL 15 21,4 24,6 24,2 70,2 4,8 4,3 4,5 4, KL 25 26, ,2 76,5 5,1 4,5 4,1 4, KL 35 28,6 28,9 17,2 74,7 5,1 5,2 5,7 5,33 Keterangan: KT = kontrol, KB = kompos kambing, AY = kompos ayam, KL = kompos kelelawar, 15 = kedalaman 15 cm, 25 = kedalaman 25 cm dan 35 = kedalaman 35 cm 156 S i n te si s R P I

179 Untuk mengetahui pengaruh dari beberapa jenis kompos terhadap pertumbuhan tanaman, data hasil pengukuran setiap 3 bulan dilakukan analisis ANOVA (Tabel ). Berdasarkan hasil ANOVA, uji jenis kompos memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Sebaliknya, uji kedalaman lubang tanam tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Interaksi antara kompos dan kedalaman lubang tanam juga tidak memberikan hasil yang berbeda nyata pada pertumbuhan tanaman pada taraf uji 0,05. Hasil analisis ANOVA ini dilanjutkan lagi dengan uji lanjut DUNCAN (Tabel ). Tabel Hasil analisis ANOVA pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Sumber Keragaman Tinggi Diameter Rerata kuadrat F hitung Rerata kuadrat F hitung Kompos 138,528 2,773 * 1,134 0,755 ns Kedalaman 57, 579 1,152 ns 2,536 1,688 ns Blok 399,310 7,992 * 9,611 6,398 * Kompos * Kedalaman 51,595 1,033 ns 1,363 0,907 ns Galat 49,963 Keterangan : * berbeda nyata pada taraf uji 0,05; ns tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 Tabel Hasil uji lanjut DUNCAN pertambahan tinggi dan diameter sampai umur 12 bulan tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam di Kab. Kep. Selayar Perlakuan jenis kompos Rerata pertambahan tinggi (cm) Rerata pertambahan diameter (mm) Kotoran kambing 18,06 a 5,1389 a Kotoran kelelawar 21,06 ab 5,3956 a Kontrol 22,89 ab 5,4422 a Kotoran ayam 27,43 b 5,9833 a Keterangan : huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 157

180 Tabel Rerata pertambahan tinggi dan diameter tanaman nyamplung uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam sampai dengan umur periode pengukuran Sumber variasi Tinggi (cm) Diameter (mm) 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan 12 bulan Jenis kompos : - Kotoran ayam - Kotoran kambing - Kotoran kelelawar - Kontrol (tanpa kompos) 2,63 a 2,73 a 2,56 a 2,56 a 11,24 a 9,41 a 9,87 a 10,80 a 21,25 a 17,08 a 18,84 a 20,55 a 27,43 b 18,06 a 21,06 ab 22,89 ab 1,30 a 1,24 a 1,31 a 1,42 a 2,66 a 2,28 a 4,01 a 2,65 a 4,50 a 4,44 a 4,44 a 4,72 a 5,98 a 5,14 a 5,39 a 5,44 a Kedalaman lubang tanam : - 15 cm - 25 cm - 35 cm 2,39 a 2,45 a 3,00 a 8,69 a 11,52 b 10,78ab 16,47 a 21,52 b 20,29 ab 20,01 a 24,34 a 22,74 a 1,22 a 1,36 a 1,37 a 3,33 a 2,62 a 2,74 a 3,97 a 4,61ab 4,99 b 4,96 a 5,76 a 5,75 a Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata Pada Tabel dan Tabel tersaji bahwa pertambahan paling tinggi sampai dengan umur 12 bulan adalah tanaman dengan aplikasi kompos dari kotoran ayam dengan pertambahan tinggi 27,43 cm. Aplikasi dengan kompos kotoran kambing memberikan pertambahan tinggi 18,06 cm paling rendah dibanding perlakuan yang lain. Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak. Kualitas pupuk kandang sangat tergantung pada jenis ternak, kualitas pakan ternak, dan cara penampungan pupuk kandang. Pupuk kandang dari ayam atau unggas memiliki unsur hara yang lebih besar daripada jenis ternak lain. Penyebabnya adalah kotoran padat pada unggas tercampur dengan kotoran cairnya (Anonim, 2011). Umumnya, kandungan unsur hara pada urin selalu lebih tinggi daripada kotoran padat. Pertambahan diameter tanaman memberikan hasil yang tidak signifikan dari beberapa jenis kompos yang diaplikasikan, namun kompos dengan kotoran ayam memberikan pertambahan diameter yang paling besar (5,98 mm). Sebaliknya, aplikasi jenis kompos dengan kotoran kambing memberikan pertambahan diameter paling rendah, yaitu 5,14 mm. Namun demikian, perbedaan pertambahan diameter antara perlakuan sangat kecil sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. 158 S i n te si s R P I

181 Selain itu, aplikasi jenis kompos tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan diameter tanaman pada beberapa periode umur tanaman. Pengaruh perbedaan kedalaman lubang tanam pada pertambahan diameter terjadi pada saat tanaman berumur 9 bulan di lapangan. Aplikasi jenis kompos memberikan pertambahan tinggi tanaman yang berbeda nyata setelah tanaman berumur 12 bulan di lapangan. Kedalaman lubang tanam memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada saat tanaman berumur 6 dan 9 bulan di lapangan. Pada saat tanaman berumur 3 bulan, pengaruh perlakuan belum terlihat memberikan hasil yang berbeda nyata baik pada aplikasi jenis kompos maupun kedalaman lubang tanam. Kedalaman lubang tanam yang memberikan hasil pertumbuhan tanaman nyamplung terbaik pada kedalaman 25 cm. Kondisi tapak di lokasi penelitian pada Pantai Barat Selayar mempunyai tekstur tanah lempung berdebu dan bercampur dengan batuan karang yang tersebar tidak merata. Hal ini tentu saja memengaruhi pertumbuhan perakaran tanaman. Berdasarkan data pada Tabel , kedalaman 15 cm dan 35 cm memberikan hasil pertambahan tinggi tanaman yang kurang optimal. Hal ini diduga karena pada kedalaman perakaran 15 cm tanah, akar tanaman sulit untuk berkembang pada kondisi tapak yang ada; sedangkan pada kedalaman 35 cm, akar tanaman belum mampu menjangkau kompos yang diberikan [pada saat tanaman berumur 6 dan 9 bulan]. Setelah tanaman beradaptasi dengan lingkungan dan perakaran mampu tumbuh dan berkembang dengan baik [pada saat tanaman berumur 12 bulan], pengaruh kedalaman lubang tanam memberikan hasil yang sama dan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Pertumbuhan tanaman pada tiap periode pengukuran tersaji pada Gambar Pada grafik yang ada terlihat bahwa rerata pertumbuhan tanaman meningkat cukup baik pada tiap periode umur tanaman. Namun pada saat umur tanaman 12 bulan, ada beberapa perlakuan yang mengalami penurunan rerata pertumbuhan. Hal ini disebabkan adanya beberapa tanaman nyamplung yang mati pada saat musim kemarau dan tanaman tersebut lebih tinggi bila dibanding tanaman yang lain [pada perlakuan yang sama] sehingga membuat penurunan rerata tinggi pada umur 12 bulan. Diameter tanaman juga memiliki trend pertumbuhan yang bagus; rerata diameter tanaman meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Bila Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 159

182 pada pertumbuhan tinggi beberapa perlakuan mengalami penurunan rerata, pada pertumbuhan diameter ini semua perlakuan mengalami peningkatan rerata diameter sampai dengan umur 12 bulan. Pada Gambar tersaji salah satu nyamplung yang mempunyai pertumbuhan bagus pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam. Tanaman nyamplung yang mempunyai daya adaptasi dan kemampuan yang baik dalam menghadapi musim kemarau akan mampu tumbuh dengan optimal dan pertumbuhannya cepat. Keterangan : AY = kompos kotoran ayam, KB = kompos kotoran kambing, KL = kompos kotoran kelelawar, KT = tanpa kompos (kontrol) ; Kedalaman lubang tanam : 15 cm, 25 cm dan 35 cm Gambar Grafik pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam Gambar Tanaman nyamplung pada uji jenis kompos dan kedalaman lubang tanam yang mempunyai pertumbuhan bagus 160 S i n te si s R P I

183 Penanaman di Pulau Talise dan Pulau Gangga (Sulawesi Utara) Kegiatan penelitian dilaksanakan di Pulau Talise dan Pulau Gangga yang termasuk dalam Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi plot penelitian sebanyak 6 plot: 1) daratan kebun Desa Air Banua, 2) kawasan mangrove lokasi sumber benih Dusun Wawunian, 3) Pantai petak 45, 4). Pantai Desa Air Banua, 5) Pantai Desa Tambun dan 6) Pantai Desa Gangga I. Adapun karakteristik masing-masing plot disajikan dalam Tabel Tabel Karakteristik lokasi penelitian No Lokasi Karaktersitik 1 Kebun air Banua Daratan yang tidak terkena air laut samasekali, pengairan air hujan dan air sungai, ketinggian 25 mdpl, jarak dari pantai 315 meter 2 Wawunian Merupakan ekosistem sumber benih mangrove, lokasi ini berlumpur dalam karena hasil abrasi berat yang mengurangi bibir pantai hingga 70 meter, frekuensi pasang mencapai 40 kali/bulan, Ketebalan hutan mangrove sekitar 100 hingga 150 meter dan penempatan plot berada pada 50 meter di bibir pantai sehingga ombak yang masuk mengalami peredaman oleh akar mangrove. Pada lokasi ini juga sedang dilakukan rehabilitasi mangrove oleh Dinas setempat. 3 Petak 45 Merupakan pantai yang terbuka, sehingga ombak datang dengan sangat kuat, pada daerah ini memiliki lumpur yang dangkal dan berpasir, padang lamun pada lokasi ini cukup luas hingga + 70 meter ke muka, lokasi ini terdapat 2 Sonneratia alba dengan tinggi mencapai + 20 meter, banyak ditumbuhi Avicennia maritime. 4 Pantai Air Banua 5 Pantai Tambun 6 Pantai Gangga I Merupakan pantai pasir berkarang, yang belum pernah ada mangrove sebelumnya,padang lamun tidak ada, terdapat sungai kecil yang mengalir, Merupakan lokasi bermangrove dengan tebal meter didominasi oleh Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Lokasi ini berada diantara tiga pulau, sehingga ombak datang tidak sekuat pada lokasi lainnya, lumpur hampir tidak ada, tanah didominasi oleh serpihan kerang berwarna putih, tidak terdapat muara sungai Pada lokasi ini merupakan lokasi yang memiliki hamparan padang lamun paling luas sekitar 150 meter kedepan bibir pantai. Lokasi ini merupakan ekosistem hutan mangrove yang tipis + 10 hingga 30 meter. Pengamatan karakteristik perairan diperoleh dari pengamatan harian gelombang pasang surut. Hasil analisis pada Tabel menunjukkan bahwa setiap lokasi memiliki karakteristik perairan yang berbeda. Kandungan C organik dan P dari tanah daratan akan mengalami penurunan kadar setelah 4 bulan ditanam di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa C dan P dalam tanah daratan tidak mendapat suplai dari tanah mangrove sehingga tingkat kesuburan dan produktivitas Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 161

184 lokasi mangrove masih rendah. Lokasi Wawunian memiliki kadar C dan P tertinggi yang didapat pada tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kesuburan dan produktivitas ekosistem meningkat seiring tingkat ketebalan ekosistem mangrove. Tabel Kandungan kimia tanah mangrove di lokasi penelitian Tanah Kandungan ph (H2O) ph (KCl) % KA N % P (ppm) K % C organik % Tambun Tambun Delta Persemaian I Persemaian II Wawunia I Wawunia II Wawunian Delta Gangga Gangga Delta Serawet Air Banua petak a. Sumber Materi Penanaman Identifikasi sumber benih dilakukan di Plot penelitian Wawunian yang mana memiliki ketebalan mangrove paling luas. Penelitian dilakukan dengan mengukur tinggi, diameter dan perkiraan jumlah buah yang ada di pohon. Luas lokasi sumber benih ±15 ha, sedangkan sampling plot yang dibuat seluas 1 ha sebanyak 3 ulangan. Hasil analisis indeks nilai penting dan jumlah perkiraan buah ditunjukkan pada Tabel Potensi sumber benih ini telah diusulkan untuk disertifikasi dan telah mendapat sertifikasi sebagai sumber benih mangrove teridentifikasi oleh BPTH Makasar dengan nomor 37/BPTH.Sul-2/2012 tertanggal 11 Juni 2012 dikelola oleh kelompok tani SUAKE. Tabel Hasil analisa indeks nilai penting dan perkiraan jumlah benih di Pulau Talise (Minahasa Utara, Sulawesi Utara) Jenis tegakan FR KR DR INP Produksi / ha N/ ha Kisaran produksi buah Bruguiera gymnorrhiza 33% 39% 57% 129% 1, ,890 Rhizophora mucronata 33% 56% 26% 115% 3, ,630 Soneratia alba 33% 6% 17% 56% S i n te si s R P I

185 Selain ketiga jenis di atas, Pulau Talise dihuni sedikitnya 8 jenis mangrove dan vegetasi pantai yang tersebar dalam jumlah sedikit di beberapa lokasi. Jenisjenis tersebut antara lain Aegiceras sp, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba dan Terminalia catappa. a) b) Gambar Lokasi sumber benih mangrove Blok Wawunian (a) dan pemanenan buah R. mucronata oleh Kelompok Tani SUAKE (b) a b c Gambar Dua propagul dengan tingkat kematangan berbeda (a. Propagul masak dan berkualitas baik; b. Propagul belum masak dan kurang berkualitas) dan pengukuran dimensi (c) Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 163

186 Bibit tanaman berkualitas didapat dari tegakan yang berkualitas dan benih yang berkualitas pula sehingga sejak pemilihan benih harus diketahui karakter kematangan buah, buah atau biji yang baik. Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis mangrove bertipe buah vivipar yaitu berkecambah sejak di pohon. Buah yang tua ditandai dengan adanya cincin berwarna kuning kehijauan dan warna buah hijau tua serta kotiledon kemerah-merahan. Pada saat matang, panjang buah berkisar antara cm. Hasil pengukuran benih yang didapat dari sumber benih di Blok Wawunian memiliki dimensi rata-rata panjang 74,35 cm dengan kisaran cm. Gambar menunjukkan perbedaan tingkat kematangan buah. Kualitas benih juga dapat dikontrol dengan merendam, bila bibt (tongke) bagian pangkal tenggelam berarti dalam kondisi berkualitas tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak semua buah yang jatuh ke air tenggelam karena buah mudapun tidak sedikit yang jatuh. b. Perlakuan dan Pembibitan di Persemaian Setelah dilakukan koleksi dan seleksi propagul, buah diukur dimensinya dan dipilih random sesuai faktor perlakuan yang diterapkan dan pembibitan. Pembibitan dipersemaian dilakukan di empat lokasi yang memiliki frekuensi genangan dan arus berbeda-beda, yaitu kebun Air Banua (M3), Wawunian (M1), Tambun (M2) dan Petak 45 (M4). Bibit dipilih berdasar tingkat kematangan yaitu matang dipohon dan matang yang telah jatuh di air. Bibit ditanam menggunakan 3 variasi kedalaman yaitu ½ panjang propagul (50%), 1 / 3 panjang propagul (33%) dan ¼ panjang propagul (25%). Jumlah bibit yang ditanam permasing-masing kombinasi perlakuan yaitu 30 batang sehingga total tanaman sebanyak 720 tanaman. Pada penelitian ini juga dibuat persemaian pembanding persen jadi tanaman ketika nanti ditanam di lapangan dengan menyiapkan tanaman dalam polybag 10x15 cm yang dilakukan di Desa Serawet (bukan pulau kecil) yang mana penyiraman menggunakan air laut dengan disiramkan dan dikerjakan oleh orang yang telah lama menangani proyek rehabilitasi mangrove. Pengamatan juga dilakukan secara intensif dengan menanam propagul di sekitar area kantor menggunakan propagul muda dan propagul tua menggunakan media tanah berpasir menggunakan polybag plastik es 1 kg sebanyak 30 buah. 164 S i n te si s R P I

187 Tabel Pengaruh faktor perlakuan terhadap karakter tanaman mangrove setelah umur 6 bulan di persemaian Lokasi Wawunian Petak 45 Tambun Kebun Rata-rata Parameter Kedalaman tanam Rata-rata 50% 33% 25% Tinggi N daun % jadi Tinggi N daun % % jadi 58% 82% 77% Tinggi N daun % % jadi 10% 7% 7% Tinggi N daun % % jadi 83% 88% 75% Tinggi N daun % % jadi 100% 97% 95% Tinggi N daun % jadi 51% 59% 53% Berdasarkan Tabel tersebut nampak keberhasilan tanaman persemaian tertinggi dilakukan di kebun masyarakat yang tidak terkena passang surut air laut dan mampu tumbuh mencapai 97%. Namun, tinggi dan fenotip tanaman menunjukan adanya kelainan yaitu daun lebih kecil dan tidak sehijau yang ditanam terkena air pasang surut. Tinggi tanaman tertinggi didapatkan dari persemaian yang berada di Wawunian. Hasil ujicoba ini dapat menjelaskan hubungan tempat tumbuh dan keberhasilan tanaman persemaian. Yaitu semakain tenang tempat tumbuh keberhasilan tanaman untuk jadi tanaman lebih tinggi akan tetapi R. Mucronata tidak tumbuh optimal dibandingkan di tempat asal atau di sekitar sumber benih sebagai habitat aslinya. Namun, dugaan ini harus dibuktikan dengan analisa keragaman faktor sehingga akan lebih dipercaya. Rata-rata tinggi pertumbuhan tanaman pada masing-masing perlakuan ditunjukkan pada Tabel Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 165

188 Tabel Rata-rata pertambahan tinggi tanaman setelah 6 bulan Faktor Variasi Perlakuan A1 M1 M2 M3 M4 M1 M2 M3 M4 A2 Rata-rata T T T Rata-rata M M M M Pada penelitian ini didapatkan kombinasi perlakuan sebanyak 24. Berdasarkan Tabel diketahui bahwa hasil pertumbuhan tertinggi didapatkan dari perlakuan A1M1T1 atau tanaman berasal dari buah matang jatuh yang ditanam di Wawunian dengan kedalaman 33% (propagul tua mencapai 42,44 cm), sedangkan pertambahan terendah A2M2T2 atau tanaman berasal dari buah matang pohon yang ditanam di pantai petak 45 dengan kedalaman tanam 33%. Untuk mengetahui lebih dalam perbedaan hasil tanaman, data tinggi ini diuji beda nyata menggunakan uji analisis univariate SPSS 16 sebagaimana ditunjukan pada Tabel Tabel Hasil analis keragaman menggunakan metode unvariate SPSS 16 for Windows pada tinggi tanaman persemaian umur 6 bulan. Jumlah Kuadrat Db Kuadrat Tengah F Sig. Corrected Model a Intercept E3.000 Kedalaman Lokasi Kematangan Kedalaman * Lokasi Kedalaman * kematangan Lokasi * kematangan Kedalaman * Lokasi * kematangan Error Total a. R Squared =.545 (Adjusted R Squared =.513) Hasil analisa sumber keragaman pada parameter tinggi menunjukkan bahwa faktor tingkat kematangan (A), media semai (M), dan kedalaman penanaman propagul (T) mempengaruhi secara nyata terhadap variasi tinggi tanaman semai. 166 S i n te si s R P I

189 Sementara itu, interaksi atau kombinasi perlakuan lokasi dan tingkat kematangan menunjukan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi. Pertumbuhan semai propagul akan lebih menarik bila diketahui pertamabahan tingginya dalam periode yang lebih singkat, sehingga akan nampak sebuah grafik pertumbuhan. Karakter pertumbuhan pada penelitian ini didapatkan dari hasil pengamatan semai yang ditanam di persemaian Balai Penelitian Kehutanan Manado, pengamatan dilakukan seminggu sekali terhadap tinggi kuncup dan terlihat grafik pertumbuhan. Gambar Grafik pertumbuhan semai (A s/d N masak pohon dan AA s/d NN masak jatuh) Gambar merupakan hasil pengukuran masing-masing sampel yang telah dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tanaman berasal dari propagul masak pohon (masih ada kotiledon) dan masak jatuh di air (tanpa kotiledon). Tanaman yang berasal dari hasil pemanenan dan masih terdapat hipokotil mengalami pertumbuhan lambat. Hingga minggu ke-3 setelah lepas kotiledon, pertumbuhannya menjadi relatif drastis dan hampir menyamai pertumbuhan tinggi pada semai yang berasal buah matang jatuh. Wawunian sebagai lokasi sumber benih memiliki karakteristik yang paling baik terhadap laju pertumbuhan tinggi tanaman. Grafik tanaman dipersemaian lapangan ditunjukkan pada Gambar Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 167

190 Gambar Rata-rata laju pertumbuhan tinggi tanaman persemain Persen jadi tanaman diperoleh dari penghitungan jumlah tanaman yang masih hidup setelah 3 bulan tanam di setiap lokasi pengamatan. Persen jadi ini menggunakan bibit pembanding yang dibuat di Serawet. Persen jadi tanaman berkisar antara 39 73% dengan lokasi terbaik berada di Dusun Wawunian (73%). Dusun ini merupakan sumber benih mangrove dengan karakteristik tanah berlumpur tebal. Namun jika dibandingkan dengan persen jadi tanaman di persemaian, angka yang dicapai menurun dibandingkan tanaman persemaian. Persen jadi tanaman di Petak 45 mengalami kenaikan (39%) dibandingkan dengan tanaman persemaian. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman berpolybag lebih kuat menahan ombak dibandingkan tanaman yang ditanam langsung menggunakan propagul atau tongke. Lokasi penanaman di Pantai Desa Air Banua memiliki persen hidup yang cukup baik (61%) dan nilainya sama seperti di Pantai Ganga. Padahal, pantai ini merupakan pantai berkarang pasir dan belum pernah ada tanaman mangrove. Sementara itu, Tambun merupakan lokasi yang memiliki persen jadi tertinggi ke-2 (66%) setelah Wawunian. c. Uji Coba Penanaman Beberapa Jenis Mangrove Uji coba beberapa jenis tanaman ini dilakukan dengan maksud untuk mendukung basis data dalam upaya mendorong perubahan peraturan tentang rehabilitasi mangrove yang selama ini banyak mengalami kegagalan. Penelitian menggunakan 6 jenis mangrove: R. mucronata, Rhizophora apiculata, Sonneratia 168 Sintesis RPI

191 alba, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriop tagal, dan Nipah frutican untuk mengetahui hubungan lokasi rehabiltasi dengan jenis dan umur pertumbuhan, sebagaimana hasil Tabel Tabel Hasil penelitian uji coba 6 jenis tanaman mangrove di 4 lokasi pada umur 4 bulan tanam No. Jenis Tanaman Persen jadi tanaman di lapangan (lokasi) Tambun Wawunian Petak 45 Gangga 1. Ceriop tagal besar 57% 70% 30% 50% 2. Ceriop tagal kecil 57% 70% 50% 23% 3. Bruguiera gymnorrhiza besar 80% 70% 0% 73% 4. Bruguiera gymnorrhiza kecil 60% 80% 40% 50% 5. Rhizophora apiculata besar 77% 87% 53% 67% 6. Rhizophora apiculata kecil 27% 77% 27% 23% 7. Rhizophora mucronata besar 23% 43% 30% 83% 8. Rhizophora mucrionata kecil 27% 67% 17% 53% 9. Nypah frutican 0% 10. Sonneratia alba < 5% 11. Avicennia alba 0% Keterangan : Besar = tanaman memiliki daun lebih dari 4 helai, Kecil = tanaman memiliki daun 2 helai umur sekitar 2 bulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap lokasi memengaruhi keberhasilan setiap jenis tanaman. Lokasi Wawunian memiliki nilai yang tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Petak 45 merupakan lokasi yang mendapat hempasan ombak paling kuat. Pada penanaman pertama yang dilakukan dengan arah searah garis pantai berjarak tanaman 1x0,5 m mengalami kegagalan hingga 92% setelah berumur 2 bulan tanam. Kegagalan ini dipastikan disebabkan oleh ombak dengan ditemukannya beberapa tanaman patah dan tanaman beserta patok hilang dari lokasi penanaman. Pada lokasi ini dilakukan penanaman kembali dengan beberapa metode penamanan: menggunakan arah jalur tanam, penanaman soliter, komunal, pemagaran, menggunakan bibit tanaman hasil persemaian dan propagul. Namun, penanaman masih mengalami kegagalan. Persentase hidup pada umur 4 bulan diketahui sebagai berikut : Penanaman menggunakan propagul ditali pada pancang memiliki persen jadi sebesar 8%. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 169

192 Penanaman mengumpul pada satu titik memiliki persen jadi sebesar 16%., Teknik penanaman dengan jarak 50x50 cm tegak lurus garis pantai memberikan keberhasilan 50%. Teknik penanaman dengan jarak 50x150 cm dan tegak lurus garis pantai memberikan keberhasilan 91%. Teknik penanaman pada akar-akar napas Sonneratia alba memberikan keberhasilan 100%. Penanaman menggunakan bibit hasil persemaian memberikan keberhasilan 39%. Penanaman menggunakan beberapa bibit dan variasi umur sebagaimana Tabel pada kolom Petak 45. Penanaman propagul yang diikat pada akar napas S. alba memiliki persentase hingga 100%. Dari hasil ini diketahui bahwa pada lokasi berombak keras yang dibutuhkan adalah media tancap yang kuat menancap sehingga akan diperoleh keberhasilan yang tinggi. Namun, akar napas S. alba hanya ada pada beberapa lokasi saja, sedangkan pada lokasi yang kosong perlu dikembangkan teknik yang mampu menahan hempasan ombak kuat. Hal ini terkait dengan kondisi Sulawesi Utara yang memiliki banyak pulau kecil. Selain keempat lokasi pada Tabel , lokasi Air Banua [lokasi berkarang dan berpasir] menunjukkan keberhasilan tanaman ujicoba. Dari total 23 tanaman dari berbagai jenis, hasil yang didapatkan adalah sebanyak 61% berhasil tumbuh yang terdiri atas C. tagal (3 tanaman), R. apiculata (10 tanaman) dan R. mucronata (1 tanaman). Metode penanamannya dengan melakukan penggalian karang hingga polybag dapat masuk di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa karang pun dapat ditanami, namun penelitian ini masih harus dipantau karena sampai umur berapa tanaman ini mampu untuk bertahan hidup pada areal yang bukan ekosistemnya. d. Hama dan Penyakit Tanaman Rehabilitasi Mangrove di P. Talise Inventarisasi hama penyakit pengganggu tanaman mangrove dilakukan dengan meilhat langsung tanaman, kemudian mendokumentasikan semua gejala dan hama yang dijumpai saat pengamatan. Beberapa hama perusak tanaman muda 170 S i n te si s R P I

193 mangrove yang telah diketahui antara lain keong, kepiting dan kambing. Hasil dokumentasi seperti pada Gambar Gambar Foto-foto tanaman yang rusak oleh berbagai faktor dan beberapa hama pengerusak tanaman Sampah yang terbawa oleh arus juga dapat menyebabkan kerusakan tanaman. Beberapa tanaman diketahui patah, daun menjadi lengket dan menyatu sehingga mengurangi fotosintesis, serta sebagian tanaman lainnya menjadi kering. Keringnya daun dan batang beberapa tanaman rehabilitasi kemungkinan besar karena pengaruh perakaran yang belum kuat dan mengalami goncangan. Hal ini nampak dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap bibit cabutan Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza dengan hasil yang diperoleh setelah 2 bulan: daun menjadi kering, batang keriput dan kering. Pe nge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 171

194 3.3 Status Potensi dan Nilai Manfaat Mangrove dan Ekosistem Pantai Seperti halnya sumber daya hutan pada umumnya, mangrove juga memiliki kemanfaatan yang luas. Tentang hal ini, sudah banyak rujukan yang mengungkapkan dengan perincian [yang mungkin] berbeda-beda tetapi pada intinya berkaitan dengan potensi lahan, flora dan fauna mangrove. Kusmana et al. (2005) menyatakan bahwa sumber daya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component. Pemanfaatan pada tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan berkaitan dengan konversi untuk lahan tambak, pertanian dan kolam, selain untuk lahan pariwisata. Dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi lahan tambak dan pertanian dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat. Namun demikian, hal tersebut harus sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhnya mangrove dan persyaratan kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang direkomendasikan. Pemanfaatan pada tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component; antara lain flora mangrove dalam skala komersial dapat digunakan sebagai chips (bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. dan Bruguiera spp.), penghasil industri papan dan plywood terutama Bruguiera spp. dan Heritiera littoralis, tongkat dan pancang terutama Bruguiera spp., Ceriops spp., Oncosperma sp., dan Rhizophora apiculata, serta kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik. Secara konsepsi, pemanfaatan mangrove seperti di atas memang memungkinkan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahawa pengonversian lahan mangrove dan pemanfaatan kayu mangrove sering dilakukan dengan tidak memerhatikan prinsip kelestarian ekosistem. Kejadian ini akan berakibat tidak hanya terhadap rendahnya keanekaragaman jenis satwa yang ada, melainkan juga terhadap penurunan hasil tangkapan ikan laut, sebagaimana hasil penelitian Gunawan (2005) di wilayah KPH Purwakarta. Oleh sebab itu, sintesis terkait potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai pada bagian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran peluang-peluang lainnya yang dapat dikembangkan oleh seluruh pihak sehingga 172 S i n te si s R P I

195 potensi tersebut memberikan nilai manfaat secara optimal dan berkelanjutan. Termasuk dalam bahasan ini adalah tantangan yang harus dihadapi terutama terkait perubahan tutupan mangrove yang dapat menyebabkan kehilangan dan ketidakberlanjutan pemanfaatan tersebut. Selanjutnya, sintesis pada bagian ini akan mengulas beberapa hasil penelitian atau kajian yang telah dilakukan, yaitu potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove, potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai, potensi ekosistem mangrove untuk pengembangan wisata, serta distribusi dan perubahan tutupan mangrove Potensi Sumber Pangan Jenis-Jenis Mangrove Potensi Sumber Pangan dari Mangrove dan Prospek Pengembangannya di Ciasem-Pamanukan (Purwakarta, Jawa Barat) a. Persepsi Masyarakat dan Kemanfaatan Mangrove Kawasan hutan mangrove di KPH Purwakarta dikelompokkan menjadi dua kriteria, yaitu berhutan seluas ,09 ha (83%) dan tidak berhutan seluas 2.536,99 (17%). Kawasan yang tidak berhutan terdiri atas sawah, pemukiman, lahan sengketa dan lainnya. Meskipun demikian, kurang lebih 55,4% kawasan berhutan mangrove di KPH Purwakarta (6.646,04 ha) dalam kondisi rusak berat, yang dalam pengelompokkannya dimasukkan dalam kriteria kawasan mangrove berhutan kelas III dan IV, sekitar 30,6% (3.669,61 ha) dalam kondisi rusak sedang, atau yang dikatagorikan kelas II, dan hanya sekitar 14% dari kawasan berhutan mangrove (1.682,44 ha) dalam kondisi baik (kelas I). Seluas ,30 ha (sekitar 97,8%) areal kawasan mangrove berhutan di KPH Purwakarta dijadikan areal pertambakan dengan total penggarap sebanyak KK, sebagaimana disajikan pada Tabel Berdasarkan Tabel 3.3.1, pemanfaatan ekosistem mangrove lebih utama untuk usaha pertambakan. Kondisi ini disebabkan pengetahuan dan persepsi masyarakat yang masih terbatas terhadap keberadaan mangrove. Bahkan, hal yang lebih memprihatinkan adalah masyarakat petambak umumnya tidak menyadari bahwa penurunan hasil tangkapan ikan laut berkenaan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan mangrove. Hal ini seperti yang diungkapkan Gunawan (2005) dalam penelitiannya terkait persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove dan Pengelolaan H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 173

196 kemanfaatannya. Beberapa hasilnya yang berkaitan dengan persepsi para petambak mengenai mangrove dapat dikemukakan sebagai berikut: Bahwa responden memiliki pengetahuan yang beragam tentang manfaat mangrove. Sebagian (60%) menganggap mangrove sebagai pelindung pantai dan pelindung tambak dari abrasi, sebanyak 25% memandang mangrove sebagai sumber kayu bakar yang murah dan mudah didapat ketika harga bahan bakar melambung tinggi, sementara hanya 15% yang menyadari peranan mangrove sebagai pendukung produktivitas perikanan dengan menyediakan tempat perkembangbiakan, asuhan (nursery) atau pemijahan bagi ikan dan udang. Terkait dengan hasil tangkapan ikan laut, sebanyak 25% menyatakan menurun, 13% menyatakan tetap, dan sebanyak 62% menyatakan tidak tahu. Mereka tidak mengetahui bahwa menurunnya tangkapan ikan laut ada hubungannya dengan hilangnya sebagian besar hutan mangrove di pantai utara (pantura) Pulau Jawa. Sebagian besar (92,5%) bahkan menyatakan menurunnya tangkapan ikan laut akibat meningkatnya jumlah nelayan dan sebagian kecil (7,5%) menyatakan akibat lautnya tercemar. Berkaitan dengan program silvofishery, ternyata 56% menjawab bersedia menanami tambak miliknya dengan mangrove, dan 44% menyatakan tidak bersedia. Mereka yang menyatakan tidak bersedia beralasan karena tanaman mangrove mengurangi luasan tambak, membuat air tambak menjadi keruh, dan menyulitkan pemanenan. Tabel Luas hutan mangrove, pertambakan dan penggarap tambak di KPH Purwakarta. BKPH/RPH Kawasan (ha) Berhutan (ha) Tambak (ha) Penggarap (KK) Cikiong: 1. Cibuaya 1.583, , , Cikeuruh 1.463, , , Ciwaru 1.956, , , Pakis 1.035,98 849,77 789, Pangakaran 1.455, , , Total Cikiong 7.494, , , * 174 S i n te si s R P I

197 BKPH/RPH Kawasan (ha) Berhutan (ha) Tambak (ha) Penggarap (KK) Ciasem: 1. Tegal Tangkil 1.726, , , Muara Ciasem 1.067,00 936,20 936, Poponcol 2.206, , , Bobos 2.041, , , Total Ciasem 7.040, , ** Total KPH , , , * Berdasar Risalah Kilat II Cianjur 2004 (KPH Purwakarta 2005). ** Berdasar Inventarisasi Pesanggem 2001 BKPH Pemanukan (KPH Purwakarta 2005). b. Potensi dan Manfaat Buah Mangrove sebagai Sumber Pangan Selama ini, mangrove umumnya dikenal sebagai sarana perlindungan terhadap abrasi, lokasi pengambilan kayu/kayu bakar, hingga pencegah penyakit malaria. Letaknya yang berada di garis pantai menjadikan ekosistem ini sebagai daerah sumber resapan air yang potensial. Selain itu, mangrove juga menjadi habitat flora dan fauna yang menambah kaya ekosistem pantai. Sayangnya, kemanfaatan mangrove sebagai sumber pangan langsung belum banyak dikenal orang. Padahal, sejarah mencatat bahwa sejak abad ke-16 kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan telah lebih dulu mengonsumsi hasil mangrove. Masyarakat di pesisir dan sekitar kawasan hutan mangrove telah lama mengonsumsi buah mangrove. Namun, masyarakat umum belum banyak yang memanfaatkannya sebagai sumber pangan alternatif. Penyebabnya adalah karena kurangnya informasi tentang manfaat mangrove sebagai sumber pangan (Septiadi 2010). Pangan adalah bahan makanan yang siap diolah menjadi makanan yang siap dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan tubuh, pertumbuhan, kerja dan perbaikan jaringan tubuh. Makanan sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan keadaan gizi seseorang untuk menunjang aktivitasnya. Ketersediaan pangan tergantung pada lahan yang tersedia, tenaga untuk mengolah lahan, modal dan tingkat pendapatan untuk mengolah maupun membeli pangan, keahlian dan ketrampilan (Djaeni 1999). Dalam upaya untuk lebih mengembangkan potensi pangan mangrove, ada masyarakat yang sudah berusaha memasarkan produk buatannya. Memang masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi: 1) buah ini musiman dan produksinya Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 175

198 pun tidak rutin; dan 2) belum adanya pihak yang memodali pemasaran produknya sehingga menjadi menghambat produksi dan distribusinya. Sebagai upaya mengenal dan mengetahui manfaat mangrove sebagai sumber pangan, beberapa hasil penelitian telah memberikan data dan informasi kandungan nutrisi buah mangrove. Hasil analisis kandungan zat makanan buah mangrove R. mucronata, S. alba, dan A. marina disajikan pada Tabel Tabel Kandungan zat makanan jenis R. mucronata, S. alba, dan A. marina. Parameter Kandungan Zat Makanan (%w/w) R. mucronata S. alba A. marina Kadar Air 48,34 77,69 76,31 Lemak 0,20 0,08 0,15 Kadar Abu 6,60 5,28 6,26 Karbohidrat 22,78 8,42 15,73 Protein 4,16 3,73 2,49 Serat 18,67 7,5 5,58 Sumber : Hasil analisis Lab. Terpadu IPB Dari Tabel diketahui bahwa kadar air tertinggi terdapat pada jenis S. alba (77,69 %w/w), sementara jenis A. marina nilainya tidak jauh berbeda (76,31 %w/w). Tingginya kadar air buah mangrove sangat terkait dengan sifat semua makhluk hidup yang pasti memiliki ketergantungan terhadap air. Air merupakan zat pelarut yang penting untuk makhluk hidup dan bagian ini adalah penting dalam proses metabolisme. Air berperan sebagai pembawa zat makanan dan sisa-sisa metabolisme.menurut Winarno (1992), semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik bahan makanan hewani maupun nabati. Kadar lemak terendah terdapat pada jenis S. alba (0,08 %w/w) dan tertinggi pada jenis R. mucronata (0,20 %w/w). Lemak dalam makanan merupakan sumber cadangan makanan dan dijadikan sebagai sumber energi bagi manusia. Jadi, walaupun dalam bahan makanan mengandung kadar lemak, bukan berarti makanan tersebut tidak layak dikonsumsi. Hal ini dikarenakan dalam metabolisme tubuh manusia masih membutuhkan lemak sebagai sumber energi dan cadangan makanan. 176 S i n te si s R P I

199 Kadar abu tertinggi terdapat pada jenis R. mucronata (6,60 %w/w) dan terendah pada jenis S. alba (5,28 %w/w). Kadar abu merupakan indikator terdapatnya kandungan mineral di dalamnya. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan berupa dua macam garam, yaitu garam organik dan garam anorganik (Sudarmadji et al. 1989). Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada R. mucronata (22,78 %w/w) dan terendah pada jenis S. alba (8,42 %w/w). Menurut Ahira (2011), karbohidrat mempunyai fungsi utama sebagai sumber energi tubuh. Karbohidrat berperan sebagai bahan bakar utama mesin metabolisme tubuh. Oleh sebab itu, jenis R. mucronata sangat memiliki potensi sebagai sumber pangan bagi manusia [jika dilihat dari kandungan karbohidrat]. Untuk parameter protein, kandungan tertinggi terdapat pada R. mucronata (4,16 %w/w) dan terendah pada jenis A. marina (2,49 %w/w). Protein yang terdapat dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh (Poedjiadi 1994). Selain digunakan untuk pembentukan sel-sel tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi apabila tubuh kita kekurangan karbohidrat dan lemak. Jenis R. mucronata juga sangat memiliki potensi sebagai sumber pangan bagi manusia jika dilihat dari kandungan protein yang terdapat di dalamnya. Serat kasar tertinggi terdapat pada R. mucronata (18,67 %w/w) dan terendah pada jenis A. marina (5,58 %w/w). Serat kasar tidak sama pengertiannya dengan serat makanan. Menurut Muchtadi (2005), serat kasar adalah senyawa yang biasa dianalisa di laboratorium, yaitu senyawa yang tidak dapat dihidrolisa oleh asam atau alkali. Kadar serat kasar dalam suatu makanan dapat dijadikan indeks kadar serat makanan karena umumnya di dalam serat kasar ditemukan sebanyak 0,2 0,5 bagian jumlah serat makanan. Namun demikian, kandungan serat kasar yang tinggi pada tanaman R. mucronata mengharuskan jenis ini harus diolah dengan higienis dan optimal sehingga dapat tercerna oleh manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa serat merupakan bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis sehingga bukan sebagai sumber zat makanan. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 177

200 Berdasarkan kajian di atas, hutan mangrove tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari bahaya angin, abrasi, dan tempat pemijahan biota air; melainkan juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan yang sarat nilai gizi. Hal ini menjadi penting ketika harga bahan pangan umum melambung, yang pada akhirnya dapat memengaruhi turunnya konsumsi gizi masyarakat. Dalam kondisi demikian, upaya untuk mencari pengganti sumber pangan yang bernilai gizi perlu dilakukan dan hasil dari hutan mangrove dapat dijadikan salah satu alternatifnya. Mengenai kandungan gizi yang terdapat dalam buah mangrove pun bisa dibilang lengkap. Misalnya, dalam buah api-api (A. marina) terdapat 76,56 gram unsur karbohidrat; 0,9 gram lemak; 4,83 gram protein; dan 18,52 air. Dengan kandungan gizi sebesar itu bisa menjadikan hasil olahan buah mangrove menjadi makanan bergizi dan menyimpan banyak energi. Selain itu, kandungan gizi dalam buah mangrove juga bisa dimanfaatkan untuk mengganti sel-sel yang rusak dan mempertahankan tekanan osmosis dalam darah (Septiadi, 2010) Potensi Perlebahan Madu di Hutan Mangrove Survei kegiatan perlebahan di hutan mangrove dilakukan di empat wilayah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Riau. Status dan fungsi kawasan serta jenis kegiatan perlebahan yang ada di masing-masing wilayah tertera di Tabel Tabel Lokasi dan fungsi kawasan mangrove serta jenis kegiatan perlebahan yang dilakukan masyarakat. No Lokasi Survei Provinsi Luas Hutan Mangrove (Ha) Fungsi 1. TN Alas Purwo Jatim 750 Kawasan Konservasi 2. Segara Anakan, Cilacap Jateng Kawasan Konservasi 3. Ds. Dabong, Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya 4. HPH PT. Kandelia Alam, Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya 5. Ds. Batang Tumu, Kec. Mandah, Kab. Indragiri Hilir Kalbar Hutan Lindung Kalbar Hutan Produksi Riau Hutan Produksi Jenis Kegiatan Perlebahan Pemungutan madu lebah hutan Budidaya Pemungutan madu lebah hutan Budidaya Pemungutan madu lebah hutan Pemungutan madu lebah hutan Pemungutan madu lebah hutan 178 S i n te si s R P I

201 Hasil survei menunjukkan bahwa kawasan hutan mangrove merupakan habitat bagi lebah hutan (Apis dorsata). Hal ini terlihat dari adanya kegiatan pemungutan madu lebah hutan di semua wilayah yang disurvei, meskipun dengan intensitas dan produktivitas yang berbeda-beda antara lokasi. Kondisi mangrove yang ada di masing-masing kawasan sangat menentukan peran dan fungsinya sebagai habitat lebah hutan, sebagaimana terlihat dari intensitas perjumpaan para pemungut madu hutan dengan sarang lebah hutan pada setiap musim panen. Berdasarkan data yang dihimpun dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat terlihat bahwa jumlah sarang lebah yang dapat ditemukan pada satu musim panen madu berhubungan dengan kondisi hutannya. Di lokasi hutan mangrove yang tingkat kerusakan hutannya relatif kecil, contohnya hutan lindung di Desa Dabong (Kec. Kubu, Kab. Kubu Raya, Prop. Kalbar) dan hutan TN Alas Purwo (Prop. Jatim), jumlah sarang lebah yang dapat ditemukan lebih banyak dibandingkan dua lokasi lainnya, yaitu Desa Batang Tumu (Kec. Mandah, Kab. Indragiri Hilir, Prop. Riau) dan Desa Ujung Halang (Kab. Cilacap, Prop. Jawa Tengah). Tingkat kerusakan kawasan hutan mangrove di dua lokasi yang terakhir relatif cukup berat, baik karena penebangan resmi dan alih fungsi kawasan seperti yang terjadi di hutan mangrove Desa Batang Tumu, maupun akibat-akibat lainnya seperti halnya yang terjadi di kawasan mangrove Segara Anakan di Cilacap. Tabel memperlihatkan jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan di musim pemanenan madu lebah hutan di masing-masing lokasi. Tabel Jumlah pemungut madu dan jumlah sarang Apis dorsata yang ditemukan di musim pemanenan madu. No. Lokasi Penelitian Jumlah sarang Jumlah Pemungut Aktif 1. TN Alas Purwo Desa Ujung Halang, Cilacap Desa Dabong, Kalbar Desa Batang Tumu, Riau Jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan pada setiap musim panen madu tersebut di atas tergolong sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah sarang yang terdapat di hutan daratan. Di hutan alam daratan, pada musim panen Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 179

202 madu dapat ditemukan ratusan sarang lebah hutan di satu kawasan hutan. Bahkan, merupakan hal yang sangat lumrah dijumpai di hutan alam daratan: satu buah pohon ditempati puluhan sarang A. dorsata (Oldroyd & Wongsiri, 2006; Hadisoesilo & Kuntadi, 2007). Perbedaan lainnya yang cukup menonjol pada lebah hutan di hutan mangrove dan di hutan alam daratan, yaitu kebiasaannya membangun sarang. Di hutan mangrove umumnya hanya ditemukan satu sarang di satu pohon, sedangkan di hutan alam daratan kebanyakan beragregasi dalam jumlah banyak di satu pohon. Selain itu, pohon tempat bersarang di hutan mangrove selalu berganti dari musim ke musim, sedangkan di hutan alam daratan cenderung tetap di pohon yang sama. Sedikitnya jumlah sarang lebah hutan yang dapat ditemukan di hutan mangrove menyebabkan tidak ada satu pun orang yang mengkhususkan diri berprofesi sebagai pawang lebah hutan di semua lokasi yang disurvei. Semua responden yang biasa memanen lebah hutan adalah nelayan pencari udang/kepiting di hutan mangrove atau pencari kayu. Sarang lebah biasanya ditemukan tanpa sengaja pada saat mereka menjalankan kegiatan rutin sehari-hari di hutan mangrove. Karena itu, tidak banyak orang yang memiliki keberanian memanen lebah hutan, apalagi berprofesi sebagai pemungut madu hutan seperti halnya di hutan alam daratan. Hasil survei mendapati hanya sejumlah kecil petani nelayan yang memiliki keberanian memanen lebah hutan (Tabel 3.3.4). Pada hutan mangrove, tidak ada kepemilikan sarang lebah sebagaimana halnya di sebagian besar wilayah hutan alam daratan. Karena itu, siapa pun yang menemukan sarang lebah yang sudah berisi madu akan langsung memanennya apabila dia memiliki keberanian. Kalau belum berisi madu, maka dia akan merahasiakan temuannya sambil menunggu beberapa hari sampai tiba masa panen. Dalam hal penemu tidak memiliki cukup keberanian untuk memanen, maka dia akan kerjasama bagi hasil dengan orang lain. a. Produksi Madu di Hutan Mangrove Keberadaan sarang lebah hutan di hutan mangrove biasanya ditemukan pada musim kering, sekitar bulan Juni Juli; dan musim hujan, sekitar Desember Januari. Pemungut madu umumnya menyebut panen madu di bulan Desember Januari sebagai musim pemanenan madu hutan. Hal ini dikarenakan peluang menemukan 180 S i n te si s R P I

203 sarang lebah di bulan itu relatif lebih tinggi dibandingkan pada masa panen bulan Juni-Juli. Jumlah produksi yang dapat diperoleh dari setiap sarang pada masa itu juga lebih banyak. Jumlah rata-rata produksi madu per koloni pada dua musim panen lebah hutan di masing-masing lokasi tertera di Tabel Tabel Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan No. Lokasi Penelitian Produksi bulan Jun-Jul (kg) Produksi bulan Des-Jan (kg) 1. TN Alas Purwo Desa Ujung Halang, Cilacap Desa Dabong, Kalbar Desa Batang Tumu, Riau Jumlah rata-rata produksi madu per koloni lebah hutan di hutan mangrove jauh lebih kecil dibandingkan jumlah rata-rata produksi madu di hutan alam daratan yang dapat mencapai kg per sarang (Hadisoesilo & Kuntadi, 2007). Dengan jumlah sarang yang juga jauh lebih sedikit di setiap musim pemanenan, total produksi madu yang dapat diperoleh dari kawasan mangrove di semua lokasi yang disurvei tergolong sangat kecil. Dengan harga jual rata-rata Rp50.000/botol, bagi perseorangan yang beruntung menemukan sarang lebah dan mendapatkan madunya, hasil penjualan dapat memberikan tambahan penghasilan. Namun, tambahan penghasilan tersebut baru berarti di tingkat individu rumah tangga yang jumlahnya sangat sedikit. Kondisi perlebahan madu hutan mangrove di Indonesia berbeda jauh dibandingkan dengan situasi perlebahan di kawasan mangrove Sundarbans di Bangladesh, yaitu diperkirakan ada sekitar orang yang terlibat dalam perburuan madu hutan pada setiap musim panen dengan hasil produksi rata-rata berkisar ton per tahun (Burgett, 2000). Kondisi hutan mangrove yang sangat terjaga di Sundarbans karena tingkat aksesibilitas yang sangat terbatas (Eaton, 1991 dalam Burgett, 2000) dan merupakan habitat yang sangat baik bagi ribuan koloni A. dorsata. Selain faktor proteksi pemerintah karena kawasan Sundarbans telah ditetapkan sebagai salah satu warisan dunia, keberadaan harimau Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 181

204 benggala (Panthera tigris tigris) di kawasan tersebut diperkirakan ikut berperan mengurangi tingkat kerusakan hutan mangrove. Apabila proteksi dan konservasi hutan mangrove juga berjalan sebagaimana seharusnya, sangat mungkin perlebahan di hutan mangrove di lokasi-lokasi yang dijadikan contoh akan lebih baik dari kondisi saat ini. Sebagai rujukan, beberapa mantan pencari dan pemungut madu hutan di Desa Dabong (Kalbar) menyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 1960-an, sebelum hutan mangrove didominasi bakau dan api-api seperti sekarang ini, sarang lebah hutan sangat mudah ditemukan dan rata-rata setiap sarang dapat menghasilkan sampai dengan 10 kg. Kisah yang sama juga diceritakan para pawang lebah di Desa Batang Tumu (Riau). Bahkan, masa-masa suksesnya perlebahan di kawasan mangrove desa ini masih dapat dinikmati masyarakat hingga tahun 1980-an, sebelum akhirnya kawasan tersebut rusak berat akibat penebangan besar-besaran. Selain pemungutan madu hutan, perlebahan di hutan mangrove ternyata juga melibatkan kegiatan budidaya, meskipun skalanya sangat kecil, karena hanya melibatkan satu orang petani di TN Alas Purwo, Jatim, dan Segara Anakan, Cilacap. Perkembangan kegiatan budidayanya juga tidak menggembirakan karena jumlah koloni yang dibudidayakan hanya dua stup. Bahkan, satu-satunya koloni yang dipelihara petani di Cilacap hanya mampu bertahan selama kurang dari satu tahun. Sistem pembungaan sebagian besar jenis mangrove yang bersifat musiman diperkirakan menjadi penyebab tidak berkembangnya koloni lebah yang dibudidayakan karena tidak mampu menyediakan pakan dalam jumlah yang cukup dan terus menerus sepanjang tahun. b. Jenis Mangrove Penghasil Madu dan Potensinya Hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan pemungut madu diperoleh data jenis-jenis tumbuhan mangrove yang merupakan sumber pakan lebah madu (Tabel 3.3.6). Di antara jenis-jenis yang tercatat, beberapa di antaranya disebut sebagai penghasil madu yang paling utama, yaitu Excoecaria agalloca (buta-buta), Sonneratia alba (prepat/pedada), Sonneratia caseolaris (prepat/pedada), dan Xylocarpus granatum (nyirih). Jenis-jenis ini ternyata juga termasuk sumber pakan lebah madu yang penting di beberapa negara lain seperti China (Yi-Feng et al., 182 S i n te si s R P I

205 2006), Bangladesh (Burgett, 2000), dan Vietnam (Crane et al., 1998). Buta-buta berbunga antara bulan Desember Januari, madu yang dihasilkan biasanya berwarna jernih dengan rasa agak pahit. Prepat atau pedada berbunga sekitar bulan Desember dan madu yang dihasilkan agak kehitaman dengan rasa paling manis. Adapun pohon nyirih berbunga antara bulan April Juni dan madunya berasa agak pahit. Tabel Jenis-jenis tumbuhan sumber pakan lebah madu di mangrove No Nama Jenis Musim Pembungaan 1. Lumnitzera littorea Pebruari-Maret Wawancara 2. Lumnitzera racemosa Pebruari-Maret Wawancara Sumber Informasi Musim Pembungaan 3. Ludwigia ascendens Tidak ada data 4. Clerodendron maraecloset Tidak ada data 5. Excoecaria agalloca Desember-Januari Pengamatan 6. Sonneratia alba Desember Wawancara 7. Sonneratia caseolaris Desember Wawancara 8. Aegiceras corniculatum Agustus Upadhyay & Mishra, Bruguiera cylindrica April - Juni Wawancara 10. Heritiera littoralis Tidak ada data 11. Acanthus ilicifolius Maret Upadhyay & Mishra, Barringtonia asiatica Tidak ada data 13. Derris trifoliata Tidak ada data 14. Xylocarpus granatum April - Juni Wawancara Pada penelitian ini juga dilakukan analisis vegetasi. Kegiatan ini dilakukan di dua lokasi, yaitu hutan lindung mangrove yang ada di desa Dabong (Kalbar) dan hutan konservasi mangrove di TN Alas Purwo (Jatim), masing-masing mewakili lokasi perlebahan yang berupa pemungutan madu hutan A. dorsata dan budidaya lebah lokal A. cerana. Kedua lokasi ini dipilih mengingat kondisi hutan mangrovenya masih relatif lebih baik dari pada dua lokasi lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran pada plot-plot contoh di hutan lindung mangrove di desa Dabong diketahui terdapat 20 jenis tumbuhan, yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorhyza, B. cylindrica, B. sexangula, B. parviflora, Avicennia marina, A. alba, A. lanata, A. officinalis, Ceriops tagal, C. decandra, Candelia candel, Excoecaria agallocha, Lumnitzera Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 183

206 racemosa, Xylocarpus granatum, X. moluccensis, Heritiera littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Di antara jenis-jenis tersebut terdapat 4 jenis yang mendominasi formasi mangrove di kawasan ini, yaitu R. apiculata, B. gymnorhyza, S.caseolaris, dan E. agallocha. Tabel menampilkan potensi tegakan ke empat jenis mangrove dominan tersebut. Tabel Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di Desa Dabong No. Jenis Tinggi rata-rata (m) Diameter rata-rata (D 1,3 cm) Kerapatan (100 m 2 ) 1. R. apiculata 21,5 23,6 9 pohon 2. B. gymnorhyza 18,7 18,7 7 pohon 3. S.caseolaris 16,3 17,3 7 pohon 4. E. agallocha 15,4 23,3 6 pohon Hasil pengukuran dan pengamatan potensi tegakan mangrove di TN Alas Purwo diketahui terdapat 12 jenis tumbuhan, yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorhyza, Bruguiera sp., Avicennia marina, Avicennia sp., Cordia bantamensis, Cordia sp., Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Sonneratia alba, dan Sonneratia caseolaris. Adapun empat jenis yang mendominansi tegakan, yaitu Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Bruguiera gymnorhyza dan Sonneratia caseolaris. Tabel menampilkan potensi tegakan ke empat jenis mangrove dominan di kawasan TN Alas Purwo. Tabel Potensi tegakan empat jenis mangrove dominan di TNAP No. Jenis Tinggi rata-rata (m) Diameter rata-rata (D 1,3 cm) Kerapatan (100 m 2 ) 1. R. mucronata 21,4 23,2 9 pohon 2. A. marina 18,7 17,8 8 pohon 3. B. gymnorhyza 17,5 17,7 7 pohon 4. S.caseolaris 16,8 15,8 6,5 pohon 184 S i n te si s R P I

207 a) b) c) d) Gambar Lebah madu menghisap madu dari bunga teruntum merah (Lumnitzera littorea) (a); teruntum putih (Lumnitzera racemosa) (b); krangkong (Ludwigia ascendens) (c); dan gletang warak (Clerodendron maraecloset) (d). a) b) Gambar Bunga perepat (Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris) (a) dan buta-buta (Excoecaria agalloca) (b); jenis-jenis mangrove tersebut termasuk sumber nektar yang utama bagi lebah madu. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 185

208 3.3.2 Potensi Jasa Lingkungan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Penelitian terkait jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai telah dilakukan dengan lokasi sampel di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian jasa lingkungan tidak hanya dilakukan terhadap jenis vegetasi mangrove tetapi juga jenis vegetasi lainnya yang lebih dominan, yaitu nipah. Beberapa aspek yang diteliti dalam RPI ini antara lain adalah biomassa, kadar air dan C-stock Potensi Jasa Lingkungan Vegetasi Mangrove Secara umum, vegetasi mangrove yang dapat dijumpai di pesisir Kalimantan Barat adalah bakau (Rhizopora sp.), api-api (Avicennia sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), dan tengar (Ceriops sp.). Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat, jenis-jenis pohonnya berdaun hijau sepanjang tahun. Pentingnya ekosistem mangrove ini antara lain adalah sebagai mata rantai antara ekosistem laut dan ekosistem darat, dengan adaptasi jenis mangrove dari laut ke arah darat secara berturut-turut, yaitu Sonneratia spp., Avicennia spp., Rhizophora spp., Brugiera spp., Ceriops spp., Lumitzera spp., dan Xylocarpus spp. [beberapa di antaranya terdapat di Provinsi Kalimantan Barat]. Hasil penafsiran citra satelit tahun 2009 diketahui bahwa kondisi hutan mangrove di Provinsi Kalimantan Barat pada umumnya sudah berupa hutan mangrove sekunder atau bekas tebangan, yaitu seluas ha atau sekitar 0,81% dari luas Provinsi Kalimantan Barat dan hanya sekitar 34 ha yang masih merupakan hutan mangrove primer. Hutan mangrove primer yang masih tersisa di Provinsi Kalimantan Barat terdapat di Kabupaten Kubu Raya, baik di dalam maupun di luar kawasan. Hutan mangrove sekunder sebagian besar terdapat di dalam kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Taman Nasional, serta di luar kawasan hutan, antara lain di Kabupaten Sambas, Kubu Raya, Kayong Utara, dan Ketapang. Kegiatan survei potensi terhadap tanaman mangrove pernah dilakukan oleh BPKH III Pontianak di Kabupaten Kubu Raya (BPKH III Pontianak, 2010b). Hasil survei tersebut diketahui bahwa rata-rata jenis mangrove pada lokasi yang disurvei merupakan jenis bakau (Rhizopora sp.) dengan potensi berkisar antara m 3 /ha. Tipikal wilayah pesisir di Provinsi Kalimantan Barat yang cenderung mirip antara 186 S i n te si s R P I

209 satu dengan yang lainnya memberi gambaran bahwa potensi mangrove di lokasi yang lain diperkirakan kurang lebih mendekati nilai potensi pada lokasi yang telah disurvei tersebut. Namun demikian, seiring dengan semakin tingginya tekanan pembangunan di wilayah pesisir Kalimantan Barat, diduga bahwa wilayah mangrove yang tersisa semakin sedikit dan potensi mangrove yang ada juga diperkirakan semakin berkurang. Hingga saat ini, kondisi hutan mangrove yang masih relatif bagus hanya terdapat di Kabupaten Kubu Raya, Kayong Utara, dan sebagian kecil di Kabupaten Sambas. a. Potensi Biomassa Tegakan Mangrove Pada plot pengamatan yang didominasi tegakan pohon mangrove ditemukan 236 pohon dengan diameter setinggi dada (dbh) >5 cm dan tinggi >1,3 m, termasuk pohon mati pada luas plot contoh sebesar 0,0924 Ha. Pada plot pengamatan ini hanya ditemukan 3 jenis pohon mangrove yaitu Rhizophora apiculata Bl. (famili Rhizophoraceae (bakau)), 2 Bruguiera gymnorrhiza (L.) (famili Rhizophoraceae (tumu)), dan Xylocarpus granatum Koen. (famili Meliaceae (nyirih kapur)). Karakteristik tegakan penyusun hutan mangrove pada plot pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.3.3, dan Gambar Kerapatan pohon mangrove (n/ha) Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 187

210 Gambar Persentase kerapatan pohon bakau dan tumu dari tepi sungai menuju ke daratan Gambar Luas bidang dasar pohon mangrove (m 2 /ha) Komposisi penyusun tegakan mangrove didominasi oleh pohon bakau % dan sisanya oleh pohon tumu dan nyirih. Plot pengamatan dibuat tegak lurus dari tepi pantai (plot 1) menuju ke daratan. Berdasarkan Gambar dan dapat dilihat bahwa kerapatan pohon bakau akan semakin menurun pada lokasi pengamatan semakin menuju ke daratan, demikian sebaliknya pada pohon tumu. Tingkat penutupan areal oleh pohon mangrove menunjukkan bahwa semakin menuju ke daratan, luas bidang dasar pohon mangrove akan semakin luas menutupi areal (Gambar 3.3.5), luas bidang dasar tegakan mangrove pada plot pengamatan sebesar m 2 /ha (rata-rata 34 m 2 /ha) pada α Tegakan pohon mangrove didominasi oleh tegakan dengan diameter 5 20 cm (Gambar 3.3.6). 188 Sintesis RPI

211 Gambar Kerapatan pohon mangrove pada tiap kelas diameter Berdasarkan karakteristik tegakan (kerapatan dan basal area) menunjukkan bahwa tegakan pohon mangrove semakin menuju kedaratan memiliki kerapatan dan luas bidang dasar yang semakin tinggi, hal ini berdampak pada nilai biomassa yang dimiliki oleh tegakan tersebut. Berdasarkan gambar menunjukkan bahwa biomassa tertinggi terdapat pada plot 6, yaitu plot terjauh dari tepi sungai. Rata-rata potensi biomassa (AGB) pada plot pengamatan adalah sebesar 415 ton/ha, dimana 94% potensi biomassa berasal dari jenis bakau (Gambar 3.3.8). Gambar Aboveground Biomass (AGB) tegakan pohon mangrove pada plot pengamatan Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 189

212 Gambar Aboveground Biomass (AGB) masing-masing jenis pohon mangrove pada plot pengamatan Sumbangan biomassa terbesar pada plot pengamatan dihasilkan dari tegakan pohon mangrove pada kelas diameter cm (Gambar 3.3.9). Biomassa pohon berkorelasi sangat erat dengan diameter pohon, semakin besar diameter suatu pohon akan memiliki biomassa yang semakin besar, sedangkan pada sebuah tegakan selain diameter pohon penyusun juga dipengaruhi oleh jumlah individu pohon pada diameter tersebut yang digambarkan dengan luas bidang dasar tegakan. Sehingga pada tingkat tegakan, paramater luas bidang dasar merupakan karakter tegakan yang mempengaruhi besar biomassa suatu tegakan selain dipengaruhi oleh jenis dari pohon penyusun tersebut yang memiliki berat jenis yang berbeda-beda. 190 Sintesis RPI

213 Persentase AGB pada plot (%) < >30 Diameter Class (cm) Gambar Persentase biomassa pada masing-masing kelas diameter di plot pengamatan b. Potensi C-stock Tegakan Mangrove Besar cadangan karbon yang tersimpan dalam tegakan pohon mangrove pada plot pengamatan adalah sebesar 187 ton C/ha atau nilai ini setara dengan karbondioksida di atmosfer sebesar 684 ton/ha CO 2 -ekuivalen. Jika dibandingkan dengan komunitas nipah, nilai simpanan tegakan pohon mangrove adalah 6,5 kali dari cadangan karbon yang tersimpan pada komunitas nipah. Gambar Boxplot Aboveground biomass (AGB) nipah dan tegakan mangrove Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 191

214 Berdasarkan analisis data spasial pada tahun 2005 dengan hasil pengukuran biomassa di lapangan, sebaran biomassa di kawasan hutan mangrove Kubu Raya yang terbagi dalam tiga kelas kerapatan yaitu kerapatan rendah (KR), kerapatan sedang (KS) dan kerapatan tinggi (KT) ditunjukkan pada Gambar Kurang lebih 67% total area mangrove di Kubu Raya masih tergolong kedalam kerapatan tinggi, 22% kerapatan rendah dan 11% kerapatan sedang. Gambar Sebaran biomassa di Hutan Mangrove Kubu Raya berdasarkan tingkat kerapatan pada tahun S i n te si s R P I

215 Potensi Jasa Lingkungan Vegetasi Nipah Penelitian yang dilaksanakan pada areal vegetasi nipah adalah di Batu Ampar yang merupakan bagian ekosistem hutan mangrove di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Nipah adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan (Sd., Bms.), buyuk (Jw., Bali), bhunyok (Md.), bobo (Menado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon dan sekitarnya). Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan nama golpata (Bangladesh), chak (Kamboja), dane (Myanmar), attap palm (Singapura), nipa palm atau losa (Filipina), duwfa las, duwfa nuwowsc (Vietnam), biri-biri (PNG), ayamatangh atau ayangmbakara (Nigeria), atau umumnya disebut nypa palm. Nama ilmiah nipah adalah Nypa fruticans Wurmb dengan sinonim Cocos nipah Lour. dan Nypa fruticans Thunb. Jenis ini diketahui sebagai satu-satunya anggota marga Nypa dari suku Arecaceae, meskipun sebelumnya pernah diklasifikasikan ke dalam suku pandanaceae dan suku tersendiri Nypaceae. Nipah (Nypa fructicans Wurmb.) adalah salah satu tanaman angiosperma tertua dan mungkin spesies palem tertua. Fosil nipah ditemukan pada masa Eosen dan Miosen di Eropa, Amerika Utara dan Timur Tengah. Pada saat ini, nipah tidak lagi ditemukan di luar wilayah Indo-Pasifik tetapi terutama ditemukan di zona khatulistiwa, 10 LU 10 LS, membentang dari Sri Lanka melalui Asia tenggara ke Australia bagian Utara. Secara alami, nipah ditemukan secara luas di Indonesia ( ha), Papua Nugini ( ha) dan Filipina (8000 ha) (CAB International Forestry Compendium, 2005). Sementara itu, berdasarkan hasil Weed Risk Assesment (WRA), nipah mempunyai nilai 9 (>6, high risk) sehingga tergolong ke dalam jenis yang mempunyai potensi menjadi invasive plants. Nipah dilaporkan telah menjadi invasive plants setelah diintroduksi di Kamerun (Saenger & Bellan, 1995; Burns et al., 2002) dan Nigeria (Ukpong, 1995; Ukpong, 2000; Obot et al., 1997). Meskipun demikian, nipah dianggap terancam punah di Singapura (Tan, 2011). Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 193

216 a. Karakteristik Vegetasi Nipah Hasil dari survei menunjukkan bahwa di kiri dan kanan tepi sungai dari Rasau Jaya menuju Batu Ampar banyak ditemukan komunitas nipah yang memanjang dengan tebal 5 10 m atau sporadis. Secara umum, nipah berada di bagian depan tepi sungai menuju ke daratan yang dipengaruhi pasang surut, secara teratur tergenang air payau. Nipah memainkan peran penting dalam menstabilkan tepi sungai dan mencegah erosi tanah. Pada umumnya, nipah membentuk tegakan murni tetapi pada areal tertentu ditemukan bercampur dengan pohon bakau lainnya khususnya Bruguiera (Gambar ). Beberapa spesies tumbuhan bawah seperti Acanthus, Acrostichum dan Crinum ditemukan dibawah tegakan nipah. Berdasarkan tingkat toleransi termal, nipah tergolong ke dalam cold-intolerant (thermophilic)stenotopic species (Li & Lee, 1997). Nipah dapat mentolerir variasi salinitas tetapi tidak terlalui tinggi, membentuk sebuah karakteristik transisi antara rawa mangrove dan air tawar (Chapman, 1977). Kondisi tapak dengan pasang surut yang teratur dan tingkat genangan yang rendah adalah paling sesuai untuk spesies ini. (Siddiqi, 1995). a b Gambar Nipah bercampur dengan (a) Xylocarpus sp. dan (b) Bruguiera sp. Secara umum, terdapat dua jenis nipah yang ditemukan di Kubu Raya, yaitu nipah besar dan nipah kecil (Gambar ), Nipah besar mempunyai karakakter panjang pelepah hidup 3 14 m (rata-rata 10 m) dan diameter pelepah hidup pada 194 S i n te si s R P I

217 pangkal daun 4,5 9,5 cm (rata-rata 7 cm), sedangkan nipah kecil mempunyai panjang pelepah hidup m (rata-rata 5 m) dan diameter pelepah hidup pada pangkal daun 2,5 6,5 cm (rata-rata 4,5 cm). Selain pelepah yang hidup, dalam satu rumpun nipah banyak dijumpai pelepah mati/busuk secara alami atau dipanen oleh masyarakat yang mana daunnya dimanfaatkan untuk atap. Pelepah yang mati/busuk ini mempunyai rata-rata panjang pelepah yang tersisa sepanjang 0,5 2 m (rata-rata 1,3 m). a b Gambar Nipah (a) besar, (b) kecil Komunitas nipah terbentuk oleh kumpulan rumpun nipah. Satu rumpun nipah dapat terdiri dari beberapa tanaman nipah yang memiliki beberapa pelepah muda dan tua yang mana pelepah yang berada pada paling luar adalah paling tua, tandan buah, buah, bunga (Gambar ). Batang nipah menjalar di tanah membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur dan ditumbuhi akar serabut (Gambar ), serta hanya daunnya yang muncul di atas tanah sehingga nipah nampak seolah-olah tidak berbatang. Rumpun-rumpun nipah dapat dihanyutkan oleh air sampai ke laut karena perakarannya hanya terletak dalam lumpur yang sifatnya labil. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 195

218 Gambar Komponen-komponen nipah a b Gambar Akar serabut nipah (a), Batang nipah (b) Nipah dapat mencapai umur kurang dari 35 tahun dengan produksi daun pada saat juvenil adalah 1 daun per tahun (Zaeim, 2011). Dari rimpangnya muncul daundaun majemuk menyirip khas palma, tegak atau hampir tegak, kulit pelepah mengkilap dan keras, berwarna hijau pada yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya; bagian dalamnya lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Daun nipah yang sudah tua berwarna hijau, sedangkan daunnya yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. 196 Sintesis RPI

219 Bunga majemuk muncul di ketiak daun, berumah satu, dengan bunga betina terkumpul di ujung membentuk bola dan bunga jantan tersusun dalam malai serupa untai, merah, jingga atau kuning pada cabang di bawahnya. Setiap untai mempunyai 4 5 bulir bunga jantan yang panjangnya mencapai 5 cm (Gambar a). Bunga nipah jantan dilindungi oleh seludang bunga, namun bagian yang terisi serbuk sari tetap tersembul keluar sedangkan bunga nipah betina berbentuk bulat peluru dan bengkok mengarah ke samping (Gambar b). Panjang tangkai badan bunga mencapai cm. Tandan bunga inilah yang dapat disadap untuk diambil niranya. Bunga betina Bunga jantan a b c Gambar Bunga nipah (a dan b) dan buah nipah (c) Buah bertipe buah batu dengan mesokarp bersabut, bulat telur terbalik dan gepeng dengan 2 3 rusuk, coklat kemerahan, 11x13 cm, terkumpul dalam kelompok rapat menyerupai bola berdiameter sekitar 30 cm. Struktur buah mirip buah kelapa, dengan eksokarp halus, mesokarp berupa sabut, dan endokarp keras yang disebut tempurung (Gambar c). Biji terlindung oleh tempurung dengan panjangnya antara 8 13 cm dan berbentuk kerucut. Dalam satu tandan, buahnya dapat mencapai antara butir, berdempetan satu dengan yang lainnya membentuk kumpulan buah bundar. Buah yang masak gugur ke air dan mengapung mengikuti arus pasang surut atau aliran air hingga tersangkut di tempat tumbuhnya. Kerap kali buah telah berkecambah dihanyutkan arus ke tempat yang baru, hal iniliah yang menyebabkan nipah tersebar luas. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 197

220 b. Variabel dan Parameter Pengukuran Pelepah merupakan unit contoh dalam satu rumpun sehingga dimensi pengukuran pelepah (keliling, panjang) merupakan variabel-variabel penduga biomassa dalam satu rumpun nipah. Rumpun nipah adalah unit contoh dalam sebuah tegakan nipah sehingga dimensi pengukuran rumpun (keliling, tinggi), jumlah pelepah dalam rumpun merupakan variabel-variabel penduga dalam suatu tegakan nipah. Dengan demikian, beberapa variabel yang potensial untuk dijadikan variabel penduga untuk mengukur biomassa nipah skala landskap (tegakan nipah) antara lain adalah keliling rumpun, keliling rumpun dengan pelepah hidup, tinggi rumpun, jumlah pelepah hidup, jumlah pelepah mati. Sementara itu, potensial variabel penduga untuk biomassa rumpun adalah panjang pelepah, keliling pangkal bawah pelepah dan keliling pangkal pelepah daun (Gambar ). Koefisien Korelasi Pearson digunakan untuk menghitung nilai koefisien korelasi yang datanya berupa data interval, sedangkan untuk menguji kenormalan suatu data digunakan Uji Kolmogorov-Smirnov Gambar Kegiatan pengukuran parameter-parameter penduga 1) Korelasi Antar Parameter dengan Biomassa Pelepah Biomassa pelepah berkorelasi nyata terhadap site dan ordering (nomor tumbuh) pelepah meskipun tingkat korelasinya rendah, semakin tua pelepah akan mempunyai nilai biomassa pelepah yang semakin besar. Parameter keliling pelepah 198 S i n te si s R P I

221 pangkal bawah, keliling pelepah pangkal daun, panjang pelepah bawah, panjang pelepah ujung dan panjang pelepah total di atas bagian tanah secara nyata mempunyai korelasi yang sangat tinggi (mendekati 1) dengan biomassa pelepah, sehingga parameter-parameter tersebut berpotensi besar untuk menjadi variabel penduga biomassa pelepah nipah hidup. Panjang total pelepah di atas tanah merupakan parameter dengan tingkat korelasi paling tinggi dengan biomassa pelepah nipah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,925. Pelepah muda merupakan pelepah yang berada di tengah dan pada umumnya anak daun masih menguncup (belum terbuka). Meskipun demikian, pada beberapa pohon ditemukan kondisi daun sudah mulai terbuka dengan warna kuning. Warna kuning inilah yang menunjukkan daun masih muda [daun yang sudah tua akan berwarna hijau]. Secara umum, data yang dianalisis pada masing-masing parameter berdistribusi normal yang ditunjukkan dengan hasil nilai Uji Kolmogorov-Smirnov tingkat siginfikansinya >0,05. Semua parameter yang diujicobakan sebagai potensial variabel penduga biomassa pelepah muda menunjukkan tingkat signifikansi yang sangat nyata mempunyai hubungan linear positif yang sangat kuat dengan biomassa pelepah muda (ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi lebih besar dari 60%). Keliling pangkal pelepah bawah merupakan parameter yang mempunyai korelasi linear yang paling kuat di antara parameter lainnya dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,8. Secara umum, tegakan nipah akan memiliki pelepah yang telah mati/busuk dalam setiap rumpun, baik secara alami maupun karena dipanen. Potensi jumlah pelepah mati dalam satu rumpun cukup signifikan, rata-rata mencapai 65% meskipun variasinya cukup tinggi dari 12,5% sampai dengan 90%. Secara umum, paramater yang dianalisis berdasarkan Uji Kolmogorov-Smirnov mempunyai tingkat signifikansinya >0,05 yang berarti data berdistribusi normal sehingga memenuhi prasyarat untuk analisa korelasi. Keliling pelepah baik di pangkal bawah maupun pangkal daun secara signifikan berkorelasi dengan biomassa pelepah mati, tingkat korelasi paling erat ditunjukkan antara panjang pelepah mati dan biomassa pelepah mati yang mencapai 78%. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 199

222 2) Korelasi Antar Parameter dengan Biomassa Rumpun Keragaman penampakan rumpun nipah secara umum terdapat macam: rumpun nipah dengan karakter pelepah panjang dan rumpun nipah dengan karakter pelepah pendek. Rumpun sebagai unit contoh dalam tegakan nipah mempunyai dimensi pengukuran keliling dan tinggi rumpun, jumlah pelepah, jumlah buah dan jumlah bunga. Keliling rumpun pelepah hidup, keliling rumpun total tinggi rumpun, jumlah pelepah total, jumlah pelepah hidup dan jumlah pelepah mati adalah parameter-parameter yang dianalisa menjadi variabel penduga biomassa sebuah rumpun nipah. Uji Kolmogorov-Smirnov telah dilakukan untuk melihat data berdistribusi normal yang merupakan prasyarat untuk analisa korelasi. Hasil Uji Kolmogorov- Smirnov menunjukkan bahwa data yang akan dianalisis mempunyai tingkat signifikansinya >0,05 yang berarti data berdistribusi normal sehingga memenuhi prasyarat untuk analisa korelasi. Sesuai dengan hipotesa awal bahwa parameterparameter yang dianalisa akan dapat dijadikan sebagai variabel penduga, hal ini ditunjukkan dengan hasil analisa koefisien korelasi Pearson yang mana parameterparameter tersebut secara sangat signifikan berkorelasi erat dengan biomassa rumpun nipah. Keliling rumpun yang terdiri dari pelepah hidup adalah parameter yang memiliki nilai koefisien korelasi paling tinggi diantara parameter-parameter lainnya (0,860) sehingga berpotensi besar menjadi variabel penduga biomassa rumpun nipah. c. Kadar air Secara umum, kadar air (moisture content) dapat dinyatakan dalam dua tipe, yaitu berdasarkan saat kering (ovendry) dansaat basah (green). Persen Kadar air pada saat basah dinyatakan sebagai persentase dari total berat dari kayu, termasuk berat kering kayu dan air. Metode ini paling umum digunakan untuk untuk menentukan kadar air biomassa kayu, sedangkan kadar air yang dinyatakan berdasarkan saat kering merupakan persentase dari berat kering kayu. Metode ini adalah metode standar yang digunakan untuk mengekspresikan kadar air untuk produk kayu solid dari semua jenis, termasuk kayu veneer, kayu lapis, OSB, partikel dan produk panel lainnya. Kadar air yang dinyatakan pada saat basah paling 200 S i n te si s R P I

223 sesuai untuk mengestimasi fraksi air. Nilai kadar air yang dinyatakan pada saat kering dapat [dan akan] melebihi100%. Hal ini hanya mencerminkan bahwa berat air dalam sampel melebihi berat bahan kering (cukup umum dalam kayu lunak dan beberapa kayu keras dengan kerapatan yang lebih rendah). Dengan demikian, dalam penentuan kadar air sangat penting menyatakan dasar dari kadar air tersebut berdasarkan saat basah atau saat kering (Govet et al., 2010). Berdasarkan kadar air sampel yang dinyatakan pada saat basah, pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keragaman nilai kadar air dalam komponen nipah ataupun antar komponen nipah (pelepah bawah, pelepah atas, daun, buah dan bunga) seperti yang digambarkan pada grafik berikut (Gambar ). Pelepah Bawah Pelepah Atas Daun Gambar Grafik distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen pelepah tua yang hidup Secara detail, nilai kadar air (basah) komponen nipah dapat dilihat pada Tabel Pada umumnya, nipah memiliki rata-rata kadar air (basah) lebih besar dari 50% yang berarti bahwa berat kering nipah kurang dari 50% dari berat basah, bahkan pada pelepah muda bagian bawah hanya mencapai 14%. Kadar air (basah) terendah terdapat pada komponen daun yang sudah tua yaitu sebesar 55,8%, tidak jarang dijumpai juga daun yang sudah mengering yang pada kondisi ini hanya akan memiliki nilai kadar air sebesar 23,3% atau lebih dari 50% dari saat daun masih Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 201

224 hijau. Rata-rata kadar air (basah) pelepah bawah>pelepah atas>tangkai bunga/buah>buah>bunga>daun. Daun pada saat tua ataupun muda memiliki ratarata kadar air yang paling rendah dibandingkan komponen lainnya. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pohon nonpalmae yang mana daun memiliki kadar air paling tinggi. Pelepah yang masih muda akan memiliki rata-rata nilai kadar air yang lebih besar dibandingkan pada pelepah yang telah tua, sedangkan pada pelepah yang telah mati akan memiliki nilai kadar air yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Nilai kadar air masing-masing komponen nipah jika dinyatakan pada saat kering akan memiliki nilai lebih besar dari 100, 2 sampai 7 kali dari nilai kadar air yang dinyatakan pada saat basah. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa hal ini sangat mungkin terjadi seperti halnya pada kayu lunak. Tabel Kadar air (basah) (%) pada beberapa komponen nipah Komponen Mean Std Dev Std. error SK (95%) Bawah Atas Pelepah tua: 1) Pelepah bawah ) Pelepah atas ) Daun Pelepah muda: 4) Pelepah bawah ) Pelepah atas ) Daun Pelepah mati: 7) Pelepah bawah Komponen lain: 8) Buah ) Bunga ) Tangkai buah ) Tangkai bunga Nilai kadar air (basah) secara sangat signifikan berkorelasi dengan urutan tumbuh pelepah. Nilai kadar air (basah) masing-masing komponen pada urutan tumbuh pelepah (order) cenderung semakin tua pelepah akan memiliki kadar air yang lebih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang negatif dan juga dapat dilihat pada grafik Gambar S i n te si s R P I

225 a b c d Gambar Distribusi nilai kadar air (basah) pada komponen (a) pelepah bawah, (b) pelepah atas, (c) daun dan (d) pelepah mati terhadap urutan tumbuh pelepah (order) d. Biomassa Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa komponen nipah cenderung memiliki kadar air (basah) yang tinggi, lebih dari 50%. Hal ini akan memberikan dampak terhadap besarnya nilai biomassa nipah yang cenderung rendah, sedangkan distribusi nilai biomassa per satu komponen nipah dapat dilihat pada Gambar Rata-rata nilai biomassa masing-masing komponen nipah dapat digunakan sebagai faktor pengali untuk menghitung biomassa rumpun nipah berdasarkan hasil kegiatan inventori (Kauffman & Donato, 2012). Secara detil, rata-rata nilai biomassa dapat dilihat pada Tabel Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 203

226 Tabel Deskriptif statistik biomassa nipah (Kg) Komponen Mean Median Std Dev Std. error SK (95%) Bawah Atas Pelepah Tua Pelepah Muda Pelepah Mati Buah&tangkai Bunga&tangkai N Pelepah tua Pelepah muda Pelepah mati Buah dan tangkai Bunga dan tangkai Gambar Grafik distribusi nilai biomassa pada komponen nipah 1) Model Penduga Biomassa Nipah dalam Satu Rumpun Suatu rumpun nipah dapat terdiri dari pelepah muda, pelepah tua, pelepah mati, buah dan bunga. Biomassa buah dan bunga dapat diduga dengan faktor pengali rata-rata biomassa bunga/buah per buah/bunga; sedangkan pelepah muda, pelepah tua dan pelepah mati selain menggunakan faktor pengali rata-rata biomassa sangat memungkinkan untuk dikembangkan model penduga biomassa komponen tersebut. Pelepah Tua Kecenderungan bentuk model hubungan antara biomassa pelepah tua dengan variabel penduganya dapat dilihat berdasarkan scatter plot antara biomassa pelepah tua dengan variabel penduganya tersebut. Scatter plot pelepah tuadengan beberapa variabel penduga (keliling, panjang) dapat dilihat pada Gambar Sintesis RPI

227 Gambar Scatter plot biomassa pelepah tua dengan variabel penduga Berdasarkan gambar tersebut di atas dapat dilihat bahwa biomassa pelepah cenderung mempunyai pola hubungan yang linear dimana keliling pangkal daun dan panjang pelepah cenderung memiliki korelasi yang lebih kuat dibanding variabel lainnya. Pembuatan model pada dasarnya melakukan estimasi koefisien regresi dan ragamnya (variance). Pada penelitian ini, peubah penaksir yang dipilih adalah subset penaksir terbaik yang akan memberikan nilai Rsq besar, RMSE kecil dan AICc kecil. Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua dapat dilihat pada Tabel Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa persamaan Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_PB merupakan persamaan dengan nilai score tertinggi berdasarkan nilai R-sq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc yang rendah. Salah satu aspek yang perlu dihindari dalam pemodelan adalah multicollinearity, yakni adanya hubungan linear yang kuat antara penaksir yang digunakan. Berdasarkan uji multikolinearitas, persamaan tersebut mempunyai nilai VIF<10 yang menunjukkan tidak terjadinya multikolinearitas antar variabel penduga. Meskipun demikian berdasarkan efektifitas dan kemudahan penggunaan model dalam pengumpulan data di lapangan, persamaan Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD lebih efektif dan Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 205

228 mudah digunakan di lapangan karena hanya terdiri dari satu variabel penduga, persamaan Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_PB yang mempunyai dua parameter penduga hanya meningkatkan 8% biomassa pelepah yang dapat dijelaskan oleh model tersebut dibandingkan persamaan Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD. Berdasarkan hal tersebut persamaan Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD (Rsq=0.80) merupakan persamaan yang terbaik untuk menduga biomassa pelepah tua. Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah tua Persamaan Alometrik R-sq RMSE AICc Score B_pelepah= *Kll_PB B_pelepah= *Kll_PD B_pelepah= *P_PB B_pelepah= *P_PA B_pelepah= *P_TAG Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD Ln B_pelepah= *Ln P_TAG B_pelepah= *Kll_PD+1.06*P_PB B_pelepah= *Kll_PD+0.61*P_TAG B_pelepah= *(Kll_PD^2P_PB) Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_PB LnB_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_TAG Hasil analisis varian untuk menguji signifikansi hubungan tersebut, dapat terlihat bahwa hubungan antara diameter pangkal dengan biomassa pohon memiliki korelasi yang signifikan atau menunjukkan adanya tingkat hubungan yang tinggi. Uji ANOVA didapat F hitung sebesar dengan tingkat signifikansi <0.0001* (<0,05), Uji t Parameter konstanta dan Ln Kll_PD menunjukkan tingkat signifikansi parameter tersebut berpengaruh dalam model sehingga model regresi tersebut dapat dipakai untuk memprediksi biomassa pelepah tua nipah. Model tersebut juga memenuhi asumsi homoskedastisitas atau memiliki varian sisaan yang sama. Terdapat dua cara pendeteksian ada tidaknya heteroskedastisitas, yaitu dengan metode grafik dan metode statistik. Metode grafik biasanya dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel 206 S i n te si s R P I

229 dependen dengan residualnya, sedangkan metode statistik dapat dilakukan dengan Uji Glejser. Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya persamaan terpilih dapat dilihat pada Gambar Terlihat pada tampilan grafik scatter plot menyebar secara acak baik diatas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi terpilih. Gambar Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada pelepah tua Berdasarkan Uji Glejser dengan melakukan regresi nilai absolute residual terhadap variabel independen lainnya, menunjukkan bahwa koefisien parameter (β) memiliki nilai t hitung (>0.05) yang berarti tidak signifikan sehingga mengindikasikan tidak terdapatnya heteroskedastisitas dalam model dengan kata lain variabel independen memiliki sebaran varian yang sama/homogen. Pelepah Muda Scatter plot antara pelepah muda dengan variabel penduga dapat dilihat pada Gambar Secara umum, grafik tersebut juga menunjukkan kecenderungan pola linear kecuali pada hubungan biomassa pelepah muda dengan panjang total pelepah yang mempunyai kecenderungan pola nonlinear. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 207

230 Gambar Scatter plot biomassa pelepah muda dengan variabel penduga Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda dapat dilihat pada Tabel , yang mana persamaan Ln B_pelepah= *Ln P_TAG mempunyai nilai skor tertinggi berdasarkan Rsq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc rendah. Hasil uji Anova persamaan terpilih ini juga menunjukkan signifikansi model dalam menjelaskan biomassa pelepah muda yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi >0.05. Masing-masing parameter dalam model juga memberikan pengaruh yang signifikan. Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah muda Persamaan Alometrik R-sq RMSE AICc Score B_pelepah= *Kll_PB B_pelepah= *Kll_PD B_pelepah= *P_PB B_pelepah= *P_PA B_pelepah= *P_TAG Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD S i n te si s R P I

231 Persamaan Alometrik R-sq RMSE AICc Score Ln B_pelepah= *Ln P_TAG B_pelepah= *Kll_PD+0.74*P_PB B_pelepah= *Kll_PD+0.33*P_TAG B_pelepah= *(Kll_PD^2P_PB) Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_PB LnB_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_TAG Pelepah Mati Grafik pola kecenderungan hubungan antara biomassa pelepah mati dengan variabel penduga dapat digambarkan dalam grafik scatter plot, secara umum pola hubungan yang terjadi antara biomassa pelepah mati dengan varaibel penduga adalah linear, keliling pangkal bawah dan panjang pelepah cenderung memiliki pola hubungan yang erat (Gambar ). Gambar Scatter plot biomassa pelepah mati dengan variabel penduga Perhitungan hasil fitting model biomassa pelepah mati dapat dilihat pada Tabel , yang mana persamaan B_pelepah= *Kll_PD+1.31*P_TAG mempunyai nilai skor tertinggi berdasarkan Rsq yang tinggi, RMSE rendah dan AICc rendah. Hasil uji Anova persamaan terpilih ini juga menunjukkan signifikansi model dalam menjelaskan biomassa pelepah muda yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi >0.05. Masing-masing parameter dalam model juga memberikan pengaruh yang signifikan. Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 209

232 Tabel Rekapitulasi hasil fitting model biomassa pelepah mati Persamaan Alometrik R-sq RMSE AICc Score B_pelepah= *Kll_PB B_pelepah= *Kll_PD B_pelepah= *P_TAG Ln B_pelepah= *Ln Kll_PD Ln B_pelepah= *Ln P_TAG B_pelepah= *Kll_PD+1.31*P_TAG B_pelepah= *(Kll_PD^2P_TAG) LnB_pelepah= *Ln Kll_PD^2P_TAG Berdasarkan uji multikolinearitas, persamaan terpilih tersebut mempunyai nilai VIF<10 yang menunjukkan tidak terjadinya multikolinearitas antar variabel penduga. Model tersebut juga memenuhi asumsi homoskedastisitas atau memiliki varian yang sama yang ditunjukkan dengan grafik scatter plot Gambar menyebar secara acak baik diatas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi terpilih. Gambar Grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen dengan residualnya pada model pelepah mati 210 S i n te si s R P I

233 2) Model Penduga Biomassa Nipah dalam Suatu Landskap (Tegakan Nipah) Rumpun adalah unit contoh pada suatu tegakan nipah sehingga parameter dalam rumpun seperti keliling rumpun, tinggi rumpun, jumlah pelepah adalah variabel yang akan dijadikan sebagai variabel penduga biomassa rumpun nipah. Grafik scatter plot biomassa nipah dengan variabel penduga dapat dilihat pada Gambar , yang mana dapat dilihat bahwa secara umum memiliki pola linear. Gambar Grafik plot antara nilai variabel independen dengan biomassa rumpun nipah Hasil analisis regresi hubungan biomassa rumpun nipah dengan variabel penduganya dapat dilihat pada Tabel Persamaan Ln AGB= *Ln (Kll_hidup^2Tinggi) merupakan persamaan terbaik di antara beberapa model yang dibandingkan berdasarkan kriteria nilai R-sq, RMSE dan AICc. Hasil uji Anova juga menunjukkan bahwa model dapat menjelaskan biomassa rumpun nipah secara sangat signifikan dengan nilai F hitung sebesar dan nilai siginifikansi < Parameter-parameter yang menjadi variabel penduga juga menunjukkan signifikansi pengaruh terhadap model yang ditunjukkan dengan tingkat signifikansi uji t sebesar untuk intersep dan < untuk variabel (Kll_hidup^2Tinggi) Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 211

234 sehingga Persamaan Ln AGB= *Ln (Kll_hidup^2Tinggi) dapat digunakan untuk menduga biomassa rumpun nipah (Gambar ). Tabel Perhitungan hasil fitting model biomassa rumpun nipah Persamaan Alometrik R-sq RMSE AICc Skor Rank AGB= *Kll_total AGB= *Kll_hidup AGB= *Tinggi AGB= *Jml_total pelepah AGB= *Kll_total+2.74*Tinggi AGB= *Kll_hidup+1.6*Tinggi AGB= *(Kll_hidup^2Tinggi) AGB= *Jml_pelepah hidup+2.19*jml_pelepah mati AGB= *Kll_hidup+1.37*Jml_pelepah mati AGB= *Kll_hidup+1.31*Tinggi +1.19*Jml_pelepah mati Ln AGB= *Ln Kll_hidup Ln AGB= *Ln (Kll_hidup^2Tinggi) Penggunaan satu parameter pengukuran sebagai variabel penduga cenderung lebih efektif dan mudah digunakan dalam pengumpulan data di lapangan. Untuk menduga biomassa rumpun nipah sangat memungkinkan juga hanya dengan menggunakan satu parameter pengukuran yang mana berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan Ln AGB= *Ln Kll_hidup merupakan persamaan terbaik yang menggunakan satu parameter pengukuran sehingga persamaan Ln AGB= *Ln Kll_hidup dapat digunakan untuk menduga biomassa rumpun nipah (Gambar ). Hasil uji Anova menunjukkan bahwa persamaan tersebut memiliki nilai F hitung sebesar dengan tingkat signifikansi < sehingga dapat diartikan bahwa model secara signifikan dapat menjelaskan biomassa rumpun nipah. Variabel Ln Kll_hidup berdasarkan uji t juga mempunyai nilai t hitung sebesar 9.97 dengan tingkat signifikansi < yang dapat diartikan juga bahwa parameter tersebut memberikan pengaruh dalam model, begitu halnya dengan intersep. 212 S i n te si s R P I

235 Gambar Plot Regresi model penduga biomassa rumpun nipah e. Nilai Fraksi Karbon (C%) Nilai fraksi karbon (C%) merupakan salah satu nilai yang diperlukan untuk mengkonversi biomassa ke dalam C yaitu untuk menyatakan persentase kandungan C dalam biomassa. Hasil analis fraksi karbon dari beberapa komponen nipah dapat dilihat pada Tabel dan distribusinya dapat dilihat pada Gambar Tabel Deskripsi statistik nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah Komponen Mean Std Dev Min Max Std Err Median CV Batang atas Batang bawah Batang mati Buah Daun Hasil perbandingan mean dengan uji t menunjukkan bahwa fraksi karbon pada komponen buah, batang atas dan daun tidak berbeda nyata pada tingkat signifikansi dengan α 0.05, sedangkan hanya pada batang bawah dan batang mati yang memiliki nilai fraksi karbon yang berbeda (Gambar ). Jarak perbedaan dan tingkat signifikansinya dapat dilihat pada Gambar Nilai fraksi karbon (C%) pada pelepah mempunyai korelasi negatif dengan urutan tumbuh pelepah (order) sehingga semakin tua pelepah mempunyai kecenderungan memiliki nilai Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 213

236 fraksi karbon (C%) yang lebih rendah, tetapi secara statistik tidak berkorelasi secara signifikan. Gambar Distribusi nilai fraksi karbon (C%) pada komponen nipah Gambar Uji perbandingan mean (uji t) fraksi karbon (%) pada komponen nipah f. Potensi C-stock Nipah Nipah merupakan salah satu bagian komunitas penyusun ekosistem mangrove sehingga komunitas nipah juga mendukung fungsi ekosistem hutan mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon. Meskipun demikian, peranan nipah dalam menyimpan karbon berbeda dengan tegakan pohon mangrove. Sesuai dengan karakteristiknya sebagai tumbuhan palmae yang memiliki kandungan selulosa yang lebih rendah dibandingkan pohon berkayu maka nipah memiliki potensi simpanan 214 S i n te si s R P I

237 karbon yang rendah. Berdasarkan hasil survey pada plot pengamatan 3, 4, 5 dan 6 yang didominasi nipah dengan luas bidang dasar hampir 100% (Tabel ) menunjukkan bahwa komunitas nipah hanya mempunyai rata-rata potensi biomassa bagian atas (AGB) sebesar 75 (54-96) ton/ha pada α = 0.05 (Gambar ). Dengan nilai fraksi karbon sebesar 38% untuk nipah dan 45% untuk nonnipah maka komunitas nipah tersebut hanya mempunyai cadangan karbon (C-stock) sebesar 29 (20 37) ton C/ha atau setara dengan karbondioksida di atmosfer sebesar 106 (75 137) ton CO 2 -eq. Besar potensi simpanan karbon ini dipengaruhi oleh komposisi dan karakteristik tegakan (kerapatan, luas bidang dasar). Pada nipah yang hidup tumbuh bersama dengan pohon mangrove dengan luas bidang dasar pohon mangrove >1% dari total luas bidang dasar menunjukkan bahwa keberadaan pohon mangrove meningkatkan simpanan karbon pada areal tersebut sehingga nilai AGBnya dapat mencapai 139 ton/ha (Gambar ). Tabel Kondisi tegakan pada plot pengamatan Nipah Non nipah Plot Kerapatan (n/ha) Luas Bidang Dasar (m2/ha) Kerapatan (n/ha) Luas Bidang Dasar (m2/ha) Gambar Grafik potensi aboveground biomass (AGB) pada plot pengamatan Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai 215

238 3.3.3 Dinamika Perubahan Tutupan Lahan Mangrove Penelitian dinamika perubahan tutupan lahan mangrove dilakukan pada beberapa lokasi yang secara spasial dapat diidentifikasi. Dinamika perubahan ini meliputi luas dan jenis-jenis vegetasi yang terdapat di dalam ekosistem mangrove, baik vegetasi mangrove itu sendiri maupun vegetasi lainnya seperti nipah. Selain itu, penelitian juga mengidentifikasi penyebab dan dampak perubahan terhadap kemampuan ekosistem mangrove dalam peranannya sebagai penyimpan karbon dan emisi CO2. Keberadaan hama mangrove juga menjadi permasalahan penting yang menyebabkan perkembangan mangrove menjadi terhambat. Lokasi penelitian dilakukan pada kawasan hutan dan bukan kawasan hutan di Kubu Raya (Kalimantan Barat), Pantai Utara Jawa Barat, TWA Pananjung Panganadaran (Cimais, Jawa Barat), dan Sukadana (Lampung Timur, Lampung), Selanjutnya, untuk mengetahui kondisi tutupan mangrove digunakan pemodelan distribusi jenis mangrove (pada level genus). Hal ini dimungkinkan apabila ditemukan pemintakatan mangrove yang jelas, yang mana ditemukan satu kelompok vegetasi mangrove dari genus yang sama dalam luasan yang lebih besar dari ukuran piksel citra yang digunakan. Sayangnya, hasil pengamatan lapangan di wilayah kajian belum ditemukan suatu lokasi yang luas dengan jenis yang seragam. Kondisi tutupan mangrove yang demikian menimbulkan kesulitan dalam penyusunan pemodelan distribusi jenis mangrove. Hal ini mengingat data yang digunakan yaitu data penginderaan jauh landsat yang memiliki resolusi 30x30 m atau lingkup luasan 900 m 2. Hasil sementara yang dapat disajikan didasarkan pada hasil pengamatan jenis mangrove yang ada di setiap lokasi sampel Kondisi dan Dinamika Perubahan Tutupan Mangrove di Kubu Raya a. Kondisi Tutupan Mangrove Kajian dilakukan dalam wilayah dengan koordinat ' 00" BT '45' BT dan 0 0 3'00" LS '00" LS. Kondisi penutupan lahan hasil analisa landsat MSS tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel , Gambar , , dan S i n te si s R P I

239 Tabel Penutupan lahan wilayah kajian tahun 1972, 1990, 2000 dan 2010 di Kubu Raya (Kalimantan Barat) No Penutupan Lahan Kode Kondisi tutupan lahan tahun (ha) Lahan terbuka BRL Tambak CFP Pertanian lahan kering DCL Hutan lahan kering sekunder DIF Hutan mangrove sekunder DIM Hutan Rawa Sekunder DSF Rumput GRS Non mangroves NCL Sawah RCF Semak SCH Permukiman SET Semak rawa SSH Hutan lahan kering primer UDF Hutan mangrove primer UDM Hutan rawa primer USF Tubuh air WAB Total Dari Tabel diketahui di wilayah kajian tahun 1972 terdapat hutan mangrove primer (tak terganggu) dengan luas mencapai ± ha atau 12,4% dari luas wilayah kajian. Suatu jumlah yang tergolong tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan nonmangrove yang luasnya mencapai ± ha (56,4% dari luas wilayah kajian). Namun demikian, hutan mangrove primer ini luasannya terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya. Jika kondisi tahun 1972 dijadikan pembanding maka hutan mangrove primer pada tahun 1990 mengalami penurunan luas sebanyak 33,6% (berkurang menjadi ± ha), tahun 2000 turun 38,5% (berkurang menjadi ± ha) dan tahun 2010 turun lagi sebanyak 44,1% (tersisa menjadi ± ha) (Gambar ). Jadi, selama 38 tahun ( ) telah terjadi penurunan tutupan hutan mangrove primer di wilayah kajian seluas ± ha atau ±1.311 ha/tahun. Angka ini memang masih lebih kecil dibandingkan dengan penurunan tutupan hutan mangrove primer di pesisir timur Sumatera Utara yang per tahunnya mencapai luas ±2.940 ha (Onrizal, 2010). Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 217

240 Tahun Gambar Perubahan luas hutan mangrove primer ( ) Luas (ha) Luas Tahun Gambar Perubahan luas hutan mangrove sekunder ( ) Seiring dengan penurunan tutupan hutan mangrove primer, terjadi peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder (terganggu), yang mulai muncul tahun Jika pada tahun 1990 luas hutan mangrove sekunder ± ha dan luasan ini dijadikan pembanding maka pada tahun 2000 meningkat 35,4% (menjadi ± ha) dan tahun 2010 meningkat lagi 51,8% atau menjadi seluas ± ha (Gambar ). Berarti, selama 20 tahun tersebut ( ) telah terjadi peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder seluas ±8.406 ha atau ±420 ha/tahun. Angka ini juga masih lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan tutupan hutan mangrove sekunder per-tahunnya di pesisir timur Sumatera Utara yaitu seluas ±811 ha (Onrizal, 2010). 218 Sintesis RPI

241 Jika diperhatikan di kedua lokasi, penurunan tutupan hutan mangrove primer di wilayah kajian sebesar 44,6% dan peningkatan tutupan hutan mangrove sekundernya 51,8% dari perubahan tutupan hutan mangrove yang terjadi di pesisir Timur Sumatera Utara. Dengan demikian, kecenderungan perubahan tutupan mangrove di wilayah kajian dapat dikatakan masih lebih baik. ( 1972) (1990) (2000) (2010) Gambar Kondisi penutupan lahan wilayah kajian tahun Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 219

242 b. Penyebab Perubahan Tutupan Mangrove Luasan tutupan hutan mangrove primer menjadi susut disebabkan oleh adanya perubahan menjadi beberapa jenis penutupan lahan lainnya, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel (periode ), Tabel (periode ) dan Tabel (periode ), Gambar (periode ), Gambar (periode ), dan Gambar (periode ). Pada Tabel dapat dilihat bahwa pada periode tutupan mangrove primer paling banyak berubah menjadi tutupan semak rawa (± ha atau ±16,1%), sedangkan urutan kedua adalah menjadi hutan sekunder (± ha atau ±13,3%). Berdasarkan pengamatan lapangan,, kegiatan pemanfaatan kayu mangrove (penebangan) untuk keperluan pertukangan dan industri arang diduga menjadi penyebab utama terganggunya hutan mangrove primer di wilayah kajian. Dalam periode (Tabel ), luasan tutupan hutan mangrove primer kembali berubah hingga menjadi ± ha, atau mengalami penurunan seluas ±5.608 ha. Tutupan mangrove primer ini berubah menjadi hutan mangrove sekunder seluas ±4.248 ha. Pemanfaatan lahan untuk tambak pada periode ini diduga menjadi faktor tambahan penyebab penurunan luasan tutupan mangrove di wilayah kajian. Pada periode tersebut mulai terdapat tambak di wilayah kajian dengan luas ±378 ha. Penurunan luas tutupan mangrove primer terjadi juga selama periode tahun 2000 hingga tahun 2010 (Tabel ). Pada tahun 2000 luas tutupannya ± ha sedangkan pada tahun 2010 adalah ± ha, atau mengalami penurunan seluas ±6.297 ha. Luas pemanfaatan lahan untuk tambak mengalami peningkatan hingga mencapai hampir 5 kali dari periode sebelumnya yaitu seluas ±1.855 ha. Pemanfaatan lahan mangrove untuk tambak ini paling banyak berasal dari hutan mangrove yang sudah menjadi semak rawa pada periode sebelumnya. Luasan semak rawa yang berubah menjadi tambak ini adalah ±958 ha. Sementara areal tambak yang berasal dari mangrove sekunder luasnya ±345 ha dan yang berasal dari hutan mangrove primer ±173 ha. 220 S i n te si s R P I

243 Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 221

244 222 S i n te si s R P I

245 Penge lol aa n H utan Ma ng r ove dan Ek o si ste m P an tai 223

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI SINTESIS RPI 4 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN Koordinator Endro Subiandono Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, 2015 Luaran RPI-4 dan Strategi Pencapaiannya Melalui berbagai Kegiatan Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang sangat vital, baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery

Kata kunci: rehabilitasi, mangrove, silvofhisery Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai Koordinator : Judul Kegiatan : Teknologi Penanaman Jenis Mangrove dan Tumbuhan Pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

KAJIAN PERAN DOMINASI JENIS MANGROVE DALAM PENJERATAN SEDIMEN TERLARUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP

KAJIAN PERAN DOMINASI JENIS MANGROVE DALAM PENJERATAN SEDIMEN TERLARUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP KAJIAN PERAN DOMINASI JENIS MANGROVE DALAM PENJERATAN SEDIMEN TERLARUT DI SEGARA ANAKAN CILACAP Oleh : Ugro Hari Murtiono Gunardjo Tjakrawarsa Uchu Waluya Heri Pahlana Disampaikan pada : Ekspose Hasil

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove

KODEFIKASI RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove KODEFIKASI RPI 4 Pengelolaan Hutan Mangrove LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE Jakarta, Februari 2010 Disetujui Oleh: Kepala Pusat, Koordinator

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto

Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan. Wawan Halwany Eko Priyanto Rehabilitasi dan Restorasi Hutan Mangrove di Kalimantan Selatan Wawan Halwany Eko Priyanto Pendahuluan mangrove : sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut air laut. Kriteria Mangrove Tanaman

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSEMBAHAN ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii LEMBAR PERSEMBAHAN... iv ABSTRAK... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai payau yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan mangrove di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove adalah kawasan hutan yang terdapat di daerah pasang surut. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958 dalam Supriharyono, 2007). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mangrove tersebar di wilayah tropis sampai sub tropis dan sebagian besar terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada ) Mangal komunitas suatu tumbuhan Hutan Mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terletak didaerah teluk dan muara sungai dengan ciri : tidak dipengaruhi iklim, ada pengaruh pasang surut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada 27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diduga menjadi faktor penting penyebab kerusakan lingkungan (Gumilar, 2012). Pertambahan jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT 1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Mangrove didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung, hutan yang tumbuh terutama pada tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi UHO jamili66@yahoo.com 2012. BNPB, 2012 1 bencana tsunami 15 gelombang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA Eddy Hamka 1, Fajriah 2, Laode Mansyur 3 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhammadiyah Kendari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**)

PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN. Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) PEMANFAATAN CITRA SATELIT LANDSAT DALAM PENGELOLAAN TATA RUANG DAN ASPEK PERBATASAN DELTA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Oleh : Dede Sugandi *), Jupri**) Abtrak Perairan Segara Anakan yang merupakan pertemuan

Lebih terperinci