KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA Rabu, 10 April :53"

Transkripsi

1 Â KEDUDUKAN MAHKAMAH SYARâ IYAH SEBAGAI SALAH SATU BADAN PERADILAN DI INDONESIA ABSTRACT Delfina Gusman, SH, MH [1] Syar'iyah is a judicial institution established to implement Islamic law in Aceh as part of a national judicial system. Syar'iyah basically a religious court in another province in Indonesia, but with broader authority, ie the field ahwal al-syakhshiyah (family law), muamalah (civil law) and jinayah (criminal law) based on syiar 'on Islam. Syar'iyah as one of Indonesia's judicial bodies have confusion in terms of positioning and applicable law in particular, where there is a dualism of authority by the two courts, religious courts and general courts and legal dualism. Keyword : Syarâ iyah Court,, Judicial Authority A. PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. [2] Wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia tersusun atas provinsi-provinsi. Dimana provinsi tersebut dibagi lagi ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang dinamakan Kabupaten dan Kota. Selain itu juga terdapat daerah bersifat otonom dan ada pula daerah yang bersifat administratif belaka. [3] 1 / 12

2 Dianutnya bentuk negara kesatuan dimaksudkan agar lebih menjamin adanya persatuan yang kokoh diantara para warga negara sampai ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Negara kesatuan Indonesia dikelola dengan sistem desentralisasi dengan menerapkan asas otonomi dan tugas pembantuan. [4] Otonomi berarti â œpemerintahan sendiri, (Auto=sendiri, nomes=pemerintahan), secara dogmatis pemerintahan disini dipakai dalam arti yang luas, sehingga otonomi mencakup : [5] a. Membentuk perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving) b. Melaksanakan sendiri (zelffuitvoering) c. Melakukan peradilan sendiri (zelfrechtspraak) Â Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal, yaitu : pertama, harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. [6] Dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidaklah bersifat asli, melainkan pemberian dari pemerintah pusat, dengan kata lain status daerah otonom bersifat dipinjamkan dan dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat jika pemerintah pusat berkehendak dan bersepakat untuk menarik kembali status daerah otonom yang dimiliki oleh pemerintah daerah. [7] Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang. Pada dasarnya, semua daerah 2 / 12

3 harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama untuk seluruh Indonesia. Hanya saja untuk daerah-daerah tertentu yang mempunyai latar belakang historis, politik dan ekonomi yang berbeda, dapat diterapkan kebijakan yang bersifat khusus, yang dapat menjamin persatuan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [8] Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakatnya yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi yang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariâ at islam yang melahirkan budaya islam yang kuat. [9] Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syariâ at islam. Setelah lahirnya Undang-Undang otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengatur pelaksanaan syarâ iat islam dibentuk Peradilan Syarâ iat Islam. Peradilan Syarâ iat Islam ini dilaksanakan oleh Mahkamah Syarâ iyah. [10] Pembentukan Mahkamah Syarâ iyah menimbulkan berbagai pendapat yang pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama aspek hukumnya. Ada beberapa pertanyaan yang muncul mengenai kedudukan Mahkamah Syarâ iyah dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia dan posisi Peradilan Agama di Nanggroe Aceh Darussalam. Pertanyaan tersebut muncul, karena beberapa analisa dari peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman di Indonesia. Misalnya : pembentukan Mahkamah Syarâ iyah dilakukan melalui sebuah Keputusan Presiden dan diatur melalui sebuah qanun, sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa badan peradilan khusus harus dibentuk berdasarkan undang-undang. [11] Selain itu, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pengadilan Agama yang berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berganti nama menjadi Mahkamah Syarâ iyah. Mahkamah Syarâ iyah di Nanggroe Aceh Darusalam pada dasarnya merupakan Pengadilan Agama yang umum berlaku di Indonesia tetapi ditambah dengan kewenangan lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar islam yang ditetapkan dalam qanun. [12] Jika dinyatakan demikian, maka kedudukan Mahkamah Syarâ iyah sama dengan badan peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kontradiksi juga terlihat dalam Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 / 12

4 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk di dalam salah satu lingkungan peradilan, sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Mahkamah Syarâ iyah merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum jika menyangkut pengadilan umum, dan merupakan pengkhususan dari Peradilan Agama jika menyangkut kewenangan pengadilan agama. Padahal sebelumnya telah dinyatakan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan, dengan kata lain terjadi dualisme peradilan. Kerancuan-kerancuan terhadap kedudukan Mahkamah Syarâ iyah sebagai lembaga peradilan di Indonesia tersebut yang melatar belakangi penulis untuk membahas lebih lanjut mengenai: Kedudukan Mahkamah Syarâ iyah Sebagai Salah Satu Badan Peradilan Di Indonesia. B. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Mahkamah Syarâ iyah Mahkamah Syarâ iyah di Nanggroe Aceh Darussalam dulunya diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syarâ iyah di Provinsi Aceh. Sewaktu penjajahan Jepang, pengadilan bentukan Belanda dihapuskan dan diganti dengan Pengadilan Negeri. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, karena pada saat itu di Aceh pengaruh islam sangat kuat. Pada tanggal 1 Agustus 1946 atas tuntutan masyarakatnya dibentuklah Mahkamah Syarâ iyah. Pada tanggal 14 Januari 1951 berlakulah Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang didalam Pasal 1 membatalkan semua pengadilan yang ada terkecuali pengadilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan bagian tersendiri dari peradilan Swapraja yang selanjutnya pengadilan agama itu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga pada akhirnya dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syarâ iyah di Aceh. Tetapi, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Syarâ iyah dimasukkan sebagai bagian dari Peradilan Agama. 4 / 12

5 Mahkamah Syarâ iyah di Nanggroe Aceh Darussalam kembali muncul di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syarâ iyah dan Mahkamah Syarâ iyah Provinsi. Dimana dinyatakan bahwa Peradilan Syariâ at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syarâ iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Mahkamah Syarâ iyah ini muncul akibat pelaksanaan syariâ at islam sebagai bentuk pelaksanaan kekhususan di bidang Agama. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 telah dicabut dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga Mahkamah Syarâ iyah pada saat ini diatur pada Bab XVIII dari Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 Undang- Undang Nomor 11 Tahun Selain itu juga terdapat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 yang mengatur tentang Mahkamah Syarâ iyah dan Mahkamah Syarâ iyah, yang mana Keputusan Presiden inilah yang menjadi dasar pembentukan Mahkamah Syarâ iyah di Nanggroe Aceh Darussalam. Didalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan Agama yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syarâ iyah. [13] 2. Kedudukan Mahkamah Syarâ iyah dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Mahkamah Syarâ iyah merupakan pengembangan dari pengadilan agama. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan syariâ at Islam dilaksanakan oleh Mahkamah Syarâ iyah dan Mahkamah Syarâ iyah Provinsi. Mahkamah Syarâ iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang ahwal-syakhshiyah, muaâ malah dan jinayah. Mahkamah Syarâ iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat banding. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan syarâ iat islam berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. [14] Selain bidang yudisial, Mahkamah Syarâ iyah juga berwenang didalam bidang non yudisial meliputi pengawasan jalannya Mahkamah Syarâ iyah, hisab dan rukyat, menyaksikan pengangkatan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati serta memberikan nasehat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintahan jika diminta. 5 / 12

6 Pada Mahkamah Syarâ iyah dilakukan asas personalitas keislaman, sebagai berikut : [15] a. Pihak-pihak yang berperkara/bersengketa sama-sama memeluk agama islam b. Perkara hukum yang dipersengketakan dan/atau didakwakan perkara-perkara didalam bidang hukum ahwal-al syakhshiah, muamalah dan jinayah. Â 3. Dualisme Hukum Pada Mahkamah Syarâ iyah Mahkamah Syarâ iyah di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan bagi orang islam yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu kewenangan Mahkamah Syarâ iyah adalah memeriksa dan memutus perkara jinayah (pidana). Sedangkan bagi non islam di Aceh yang melakukan tindak pidana maka akan diadili di Pengadilan Negeri dan berlaku ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penempatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penerapan Syarâ iat islam sebagai sesuatu yang berhadap-hadapan tentu akan mempertajam dualisme hukum pidana yang dapat mengarah kepada kaburnya asas kepastian hukum, asas keadilan hukum (equality before the law). [16] Agar tidak terjebak dalam dualisme hukum tersebut, maka ada beberapa hal antisipasi, diantaranya: [17] a. Penegasan hal-hal yang masih tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat Hal-hal yang masih menjadi kewenangan pusat sebagaimana yang terdapat dalam UU Pemerintahan Daerah, seperti bidang pertahanan negara. Pemerintah Daerah Aceh tidak boleh melahirkan Qanun, apalagi Qanun yang sifatnya berbeda dengan kebijakan pemerintah 6 / 12

7 pusat. b. Qanun dapat mengeyampingkan peraturan yang berlaku umum Qanun yang lahir sebagai peraturan lokal yang bersifat khusus untuk masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam memiliki perbedaan dengan ketentuan yang berlaku umum di Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat istimewa untuk diberlakukan bagi umat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Umum UU No 18 Tahun 2001, yang dinyatakan : â œ Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Meskipun ada adagium Lex Superiore Derogat Lex Inferiore yaitu peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi. Untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam membuat Qanun, maka Mahkamah Agung berwenang menguji Qanun.  c. Hukum Islam hanya diberlakukan bagi masyarakat islam Apabila memperhatikan substansinya, Qanun yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam ada dua macam yaitu Qanun syarâ iat dan Qanun non syarâ iat. Khusus menyangkut Qanun syarâ iat hanya diberlakukan bagi umat islam saja sedang untuk Qanun non syarâ iat akan berlaku secara umum untuk masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan. d. Pemberlakuan asas territorial 7 / 12

8 Asas territorial juga dijadikan pedoman dalam pemberlakuan Qanun, hanya tindak pidana yang dilakukan di Nanggroe Aceh Darussalam sajalah yang diberlakukan Qanun. Dengan kata lain, meskipun pelaku atau orangnya bukan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, asalkan tempat tindak pidana dilakukan di daerah tersebut, maka tidak menjadi persoalan lagi, Mahkamah Syarâ iyah berwenang mengadilinya. C. PENUTUP Pemberlakuan Otonomi Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam memberikan peluang bagi penyelenggaraan syarâ iat islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menegakan syarâ iat islam maka diperlukanlah sebuah Peradilan Syarâ iat, maka dibentuklah Mahkamah Syarâ iyah. Mahkamah Syarâ iyah pada hakikatnya merupakan Pengadilan Agama yang ada pada provinsi lainnya di Indonesia, tetapi dengan kewenangan yang lebih luas. Keberadaan Mahkamah Syarâ iyah yang hanya dengan Keputusan Presiden juga dapat menjadi polemik nantinya, karena badan peradilan lain diatur berdasarkan undang-undang serta adanya dualisme hukum. Maka untuk menjaga eksistensinya sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia diharapkan para pembentuk hukum segera merealisasikan pembentukan undang-undang Mahkamah Syarâ iyah, meskipun hal kewenangannya diatur dalam Qanun. DAFTAR PUSTAKA 8 / 12

9 A. Buku Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung Bambang Waluyo, 2002, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Cik Hasan Bisri, 2000, Peradilan Agama Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Jimly Asshidiqqie, 2007, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, J akarta: PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia Moh. Fauzi, 2008, Formalisasi Syarâ iat Islam Di Indonesia, Semarang : Walisongo Pers Wantjiek Saleh, 1977, Kehakiman dan Peradilan, Jakarta: Ghalia Indonesia B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 9 / 12

10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syarâ iyah dan Mahkamah Syarâ iyah Provinsi Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syarâ iat Islam 10 / 12

11 Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, vivin_nissa@yahoo.co.id [2] Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun [3] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT.Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Hal.287 [4] Lihat Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [5] Amrah Muslimin, 1982, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni Bandung, Hal.6 [6] Ibid [7] Ibid, Hal.8 [8] Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokokâ Op cit. Hal.290 [9] Lihat Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh 11 / 12

12 [10] Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lembaran Negara Tahun 2001, Nomor 114 [11] Pasal 13 UU No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Badan-badan Peradilan Khusus disamping Badan-badan peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-undang. [12] Lihat Pasal 3 ayat (1) Keppres RI No.11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syarâ iyah dan Mahkamah Syarâ iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [13] Lihat Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 [14] Lihat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syarâ iat Islam [15] Ibid [16] Pagar, â œdualisme Hukum Pidana di Nanggroe Aceh Darussalamâ makalah dibawakan dalam A nnual Conference Kajian Islam, diakses tanggal 12 November 2009 [17] Ibid 12 / 12

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah Indonesia di bagi atas daerah - daerah dengan wilayah batas - batas dan hak - haknya ditetapkan dengan

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI PENGADILAN KHUSUS DALAM PENYELESAIAN SENGKETA Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh sebagai Pengadilan Khusus Kanun Jurnal Ilmu Hukum Yusrizal, Sulaiman, Mukhlis No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 65-76. KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR IYAH DI ACEH SEBAGAI

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN KEWENANGAN DARI PERADILAN UMUM KEPADA MAHKAMAH SY AR'IY AH 01 PROVINSI NANGGROE ACEH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan merupakan tempat bagi seseorang atau badan hukum untuk mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul selain alternatif penyelesaian

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XIII/2015 Calon Kepala Daerah Tidak Memiliki Konflik Kepentingan dengan Petahana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUU-XIII/2015 Calon Kepala Daerah Tidak Memiliki Konflik Kepentingan dengan Petahana RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 55/PUUXIII/2015 Calon Kepala Daerah Tidak Memiliki Konflik Kepentingan dengan Petahana I. PEMOHON T.R. Keumangan, SH., MH Kuasa Hukum Dr. A. Muhammad Asrun, SH., MH,

Lebih terperinci

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah utnuk mengetahui bagaimana prosedur pengajuan Peninjauan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga

BAB I PENDAHULUAN. Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide negara kesatuan muncul dari adanya pemikiran dan keinginan dari warga masyarakat suatu negara untuk membentuk suatu negara yang dapat menjamin adanya persatuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN KEKUASAAN KEHAKIMAN SEJARAH: UU Nomor 13 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan UU

Lebih terperinci

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Vol. 18, No. 3, (Desember, 2016), pp. 459-458. DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian pemilihan kepala daerah (pilkada) berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH SEBAGAI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh: Elsa Karina Br. Gultom Suhirman Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Regulation

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh I. PEMOHON Ir. H. Abdullah Puteh. Kuasa Hukum Supriyadi Adi, SH., dkk advokat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Hukum merupakan penyeimbang masyarakat dalam berperilaku. Dimana terdapat sekelompok masyarakat maka dapat dipastikan di situ ada sebuah aturan atau hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. implementasi dari pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. implementasi dari pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah sistem pemerintahan di daerah dengan penguatan sistem desentralisasi (Otonomi Daerah). Perubahan

Lebih terperinci

LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif

LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif Kasus Posisi Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengkritisi penerapan

Lebih terperinci

FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia)

FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia) FIKIH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA (Analisis Kewenangan Mahkamah Syar iyah di Aceh dalam Sistem Hukum Pidana Republik Indonesia) Oleh: Miftahul Ulum 1 Email: miftahul_ulum2001@yahoo.com Abstract: Syar iyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA MUHAMMAD MUSLIH, SH, MH A. Pendahuluan Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia exis tanpa Undang-Undang tersendiri dan

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath

Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath Efektifitas Uqūbat dalam Qanun No. 14/ 2003 dan DQHR Tentang Khalwat dan Ikhtilath Danial * Abstrak: Salah satu bentuk hukuman yang terkandung dalam Qanun nomor 14/ 2003 tentang khalwat dan DQHR tentang

Lebih terperinci

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto

KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto KEMERDEKAAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN PASCA AMANDEMEN UUD TAHUN 1945 Oleh: A. Mukti Arto I. Pendahuluan Pada tahun 1999 2002 dilakukan amandemen terhadap UUD Tahun 1945 yang merupakan bagian

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal) RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal) I. PEMOHON 1. Whisnu Sakti Buana, S.T. -------------------------------------- sebagai Pemohon

Lebih terperinci

PILKADA LANGSUNG DI ACEH, DI ANTARA SENGKETA TIGA ATURAN

PILKADA LANGSUNG DI ACEH, DI ANTARA SENGKETA TIGA ATURAN PILKADA LANGSUNG DI ACEH, DI ANTARA SENGKETA TIGA ATURAN Oleh: REFLY HARUN Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Disahkannya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN. Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1. Abstraksi. Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan CHOICE OF LAW DALAM HUKUM KEWARISAN Oleh: Agus S. Primasta, SH* 1 Abstraksi Secara umum Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan yang sangat mendasar terhadap eksistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah mengalami beberapa kali revisi sejak pengajuannya pada tahun 2011, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA KOMPETENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA Oleh : H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., MH. I. PENDAHULUAN Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014 A. Latar Belakang Keluarnya SEMA No. 7 Tahun 2014 Pada awalnya SEMA dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

Keberadaan UUPA Sebagai Lex Specialis

Keberadaan UUPA Sebagai Lex Specialis JURNAL NANGGROE ISSN 2302-6219 Volume 4 Nomor 3 (Desember 2015) Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh NANGGROE JURNAL HUKUM TATA NEGARA ORIGINAL ARTICLE Keberadaan UUPA Sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad Sholeh,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUUXII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah I. PEMOHON Moch Syaiful, S.H. KUASA HUKUM Muhammad

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016

JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 JAKSA AGUNG DAN PENGESAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 13 Oktober 2016 Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memutuskan untuk mengesampingkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN YANG BERKAITAN DENGAN SYARI AT ISLAM ANTARA PEMERINTAHAN ACEH DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA

Lebih terperinci

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015.

Kuasa Hukum Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Maret 2015. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 42/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Karena Melakukan Tindak Pidana Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Bagi Seseorang Yang Akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanahkan pembentukan sebuah lembaga negara dibidang yudikatif selain Mahkamah Agung yakninya

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Negara ini lahir dari perjuangan bangsa Indonesia yang bertekad mendirikan Negara kesatuan

Lebih terperinci

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI Oleh : I Gusti Made Agus Mega Putra Ni Made Yuliartini Griadhi

Lebih terperinci

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER 1. Pendahuluan. HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER Oleh: Mayjen TNI Burhan Dahlan, S.H., M.H. Bahwa banyak yang menjadi materi perubahan dalam RUU Peradilan Militer yang akan datang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3

I. PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 menegaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Artinya sebagai negara hukum menegaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal

Lebih terperinci

Oleh: Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri *) Keywords: Authority Aceh Government, National Judicial System.

Oleh: Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri *) Keywords: Authority Aceh Government, National Judicial System. Kewenangan Pemerintah Aceh terhadap Pelaksanaan Fungsi Mahkamah Syar iyah Kanun Jurnal Ilmu Hukum Muzakkir Abubakar, Suhaimi, Basri No. 53, Th. XIII (April, 2011), pp. 49-64. KEWENANGAN PEMERINTAH ACEH

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan

BAB I PENDAHULUAN memandang pentingnya otonomi daerah terkait dengan tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintahan Daerah atau di negara-negara barat dikenal dengan Local Government dalam penyelenggaraan pemerintahannya memiliki otonomi yang didasarkan pada asas, sistem,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang :

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan peradilan merupakan bentuk nyata dari proses pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman dalam konteks

Lebih terperinci

Sumber Berita : Sengketa di Atas Tanah 1,5 Juta Meter Persegi, Forum Keadilan, Edisi 24-30 Agustus 2015. Catatan : Menurut Yahya Harahap dalam Buku Hukum Acara Perdata halaman 418, Eksepsi secara umum

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH * Saat ini, peraturan perundangundangan yang berlaku dalam pengurusan piutang negara dan piutang

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa beban target penerimaan pajak yang terlalu berat telah melahirkan kebijakan pemeriksaan yang menghambat

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL Â POLITIK HUKUM DAN MODIFIKASI HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL ABSTRACT By Delfina Gusman SH,MH [1] Political law is the national policy made by an officer or agency or a

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

BAB III PENETAPAN DISPENSASI USIA NIKAH MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH

BAB III PENETAPAN DISPENSASI USIA NIKAH MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH BAB III PENETAPAN DISPENSASI USIA NIKAH MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENCATATAN NIKAH A. Sekilas Tentang Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi informasi dipercaya sebagai kunci utama dalam sistem informasi manajemen. Teknologi informasi ialah seperangkat alat yang sangat penting untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : Jaksa Agung Muda, peraturan perihal Jaksa Agung Muda Pengawasan

BAB III PENUTUP. menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : Jaksa Agung Muda, peraturan perihal Jaksa Agung Muda Pengawasan BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Pengawasan di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia dilakukan

Lebih terperinci

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1. Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 INTELIJEN NEGARA DALAM NEGARA HUKUM YANG DEMOKRATIS 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2 Intelijen negara diperlukan sebagai perangkat deteksi dini adanya ancaman terhadap keamanan nasional, tidak saja ancaman

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 MAHKAMAH KONSTITUSI R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008 Pokok Bahasan Latar Belakang Kelahiran Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY SKRIPSI PENGUJIAN TERHADAP UNDANG - UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN UNDANG UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA 1 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2004 TENTANG PERNYATAAN PERUBAHAN STATUS KEADAAN BAHAYA DENGAN TINGKATAN KEADAAN DARURAT MILITER MENJADI KEADAAN BAHAYA DENGAN TINGKATAN KEADAAN DARURAT

Lebih terperinci

Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context

Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context Available online at: Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context Mahkamah Syariah Aceh dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context

Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context Available online at: Aceh Shariah Court in The Unitary State of the Republic of Indonesia and Human Rights Context Mahkamah Syariah Aceh dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI

KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI KEWENANGAN GUBERNUR DALAM URUSAN AGAMA DI DAERAH SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Reguler Mandiri Universitas Andalas Oleh : FERY WIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007

BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 BAB III BATAS USIA BALIGH SYARAT SAKSI NIKAH DALAM PERNIKAHAN MENURUT PERATURAN MENTERI AGAMA NOMOR 11 TAHUN 2007 A. Sekilas tentang Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 1. Lahirnya Peraturan Menteri

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan penanganan yang luar biasa. Perkembangannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon 75, yaitu bahwa BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepanjang sejarah perkembangan manusia, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa manusia dapat berpisah dari kelompoknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat). Landasan yuridis sebagai negara hukum ini tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Hukum merupakan landasan penyelenggaraan negara dan landasan pemerintahan untuk memenuhi tujuan bernegara, yaitu mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... PENCABUTAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 74/PUU-IX/2011 Tentang Pemberlakuan Sanksi Pidana Pada Pelaku Usaha I. PEMOHON Organisasi Advokat Indonesia (OAI) yang diwakili oleh Virza Roy

Lebih terperinci