BAB II DESKRIPSI OBYEK KAJIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II DESKRIPSI OBYEK KAJIAN"

Transkripsi

1 BAB II DESKRIPSI OBYEK KAJIAN 2.1. Dinas Kelautan dan Perikanan Pendahuluan Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber protein utama masyarakat dunia, sebagai mata pencaharian dan lapangan kerja bagi banyak negara. Peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, telah mendorong peningkatan permintaan produk perikanan. Di waktu yang akan datang negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga akan menjadi konsumen utama hasil perikanan. Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan secara tidak langsung (indirect human consumption) seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia merupakan salah satu pemain kunci dalam percaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang luas dan sumberdaya ikan yang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Total produksi ikan Indonesia dari hasil budidaya sesungguhnya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat dalam dua dekade terakhir, tetapi sudah mulai digeser oleh negara tetangga seperti Vietnam yang mampu menggenjot produksi ikan dalam jumlah dan kecepatan yang lebih tinggi. Kecenderungan meningkatnya kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun Peningkatan produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat yang semakin tinggi. Konsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus 4

2 meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun Total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi permintaan ikan terus meningkat, dengan suplai yang lebih kecil dari demand. Total nilai ekspor produk perikanan dunia telah mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus meningkat, yaitu sebesar 5% ( ). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) mengalami peningkatan dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan menjadi US$35,3 miliar pada tahun Perkembangan nilai perdagangan komoditas perikanan tersebut jauh melampaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula, pisang, teh, tembakau, beras, daging, dan susu). Tuna dan udang menjadi komoditas utama perdagangan tersebut. Indonesia menjadi salah satu pemain kunci dalam perdagangan dua komoditas tersebut. Untuk udang, Indonesia berperan sangat penting untuk pasar-pasar udang utama dunia seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Pada tahun 2012, Indonesia memproduksi udang sekitar ton dan ditarget meningkat dengan tambahan produksi ton sampai pada tahun 2014 (Shrimp September 2013: (total nilai ekpor perikanan Indonesia pada tahun 2013 mencapai US2,856 juta). Data FAO Globefish terbaru (September 2014) menunjukkan masih bermasalahnya produksi udang di negara-negara penghasil utama udang selama ini seperti Cina dan Thailand, yang menjadi pesaing udang Indonesia, karena serangan penyakit EMS (early syndrome mortality). Hal ini seperti menjadi durian runtuh (windfall) bagi Indonesia, sehingga perlu mengoptimalkan pengelolaan usaha udang secara berkelanjutan. Pengelolaan usaha yang secara berkelanjutan dibutuhkan karena kecenderungan permintaan ikan dunia saat ini masih terus meningkat. Harga ikan pun secara rata-rata masih terus naik, bahkan melampaui harga komoditas pertanian lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun dengan nilai 100, FAO Fish Price Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun ) (FAO 2014). Peningkatan harga tersebut berkaitan erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi, baik produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokannya. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menetapkan visi kelautan yang sangat kuat, dengan menetapkan kerangka dan arahan kebijakan Among Tani menjadi Dagang Layar. Dengan arahan kebijakan tersebut pembangunan wilayah DIY bergeser dari basis daratan ke arah pesisir dan laut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah DIY (RPJMD) tahun secara eksplisit menyebutkan pergeseran paradigma pembangunan Dari Among Tani Menuju Dagang Layar yang ditempuh melalui strategi akselerasi pengembangan wilayah 5

3 Pantai Selatan (Pansela). Dalam paradigma pembangunan Dari Among Tani Menuju Dagang Layar, DIY juga mengembangkan potensi Pansela sebagai pusat pelayanan jasa bagi kawasan Jawa bagian selatan dan sebagai hub (penghubung) bagi daerah sekitarnya dalam mengakses pasar internasional. Usaha perikanan menjadi salah satu potensi kegiatan usaha sebagai penggerak perekonomian DIY. RPJMD DIY Tahun memberikan arahan kebijakan dan strategi pembangunan sektor perikanan dan kelautan, antara lain melalui upaya: (1) Percepatan pengembangan sarana-prasarana untuk mendukung peningkatan produksi perikanan tangkap sebagai basis ekonomi wilayah selatan, (2) Pengembangan perikanan budidaya secara terintegrasi berbasis kawasan, (3) Mengakselerasi terbangunnya budaya maritim dengan pengembangan sumber daya manusia berkelanjutan dan (4) Fasilitasi pengembangan agribisnis perikanan secara berkeadilan dan berkelanjutan. Kegiatan perikanan DIY telah mengalami pertumbuhan yang cukup berarti dalam dekade terakhir, dengan target produksi total yang selalu melampaui target RPJMD, seperti tertuang dalam RPJMD DIY tahun Namun demikian, terdapat beberapa tantangan pengembangan sektor perikanan dan kelautan di DIY diantaranya kapasitas produksi yang belum mampu memenuhi permintaan ikan di DIY. Diperkirakan lebih dari 60% ikan yang dikonsumsi di DIY masih didatangkan dari luar DIY. Pemanfaatn sumberdaya lahan untuk budidaya perikanan juga baru sebesar 11,6% dari potensi yang ada (potensi lahan lebih dari hektar). Potensi sumberdaya ikan Samudera Hindia selatan Jawa yang diperkirakan sebesar ton/tahun dan Samudera Hindia mencapai ton/tahun, juga belum dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan DIY. Pemanfaatan secara optimal dan berkelanjutan berbagai potensi sumberdaya ikan dapat menjadi sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat dan daerah. Daerah dapat menggerakkan potensi sumberdaya ikan tersebut sebagai pendapatan asli daerah (PAD) baik melalui pengelolaan usaha perikanan tangkap, budidaya, maupun pengolahan hasil perikanan serta jasa-jasa perikanan dan kelautan Keadaan Umum Perikanan DIY Perikanan merupakan salah satu sub-sektor pertanian yang berkembang pesat dan diminati oleh masyarakat sebagai sumber penghidupan penting di DIY. Berdasarkan analisis location quotient (LQ) di DIY diketahui bahwa perikanan dapat menjadi sub-sektor unggulan/basis di beberapa wilayah seperti di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo (Triyanto dan Dwijono 2010). Studi yang dilakukan olek Pustek Kelautan UGM (2000) di pesisir selatan DIY bahkan menunjukkan usaha perikanan tangkap dapat memberikan pendapatan yang lebih 6

4 tinggi dibandingkan aktivitas ekonomi lainnya di pedesaan. Hasil studi tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa masyarakat dapat sejahtera melalui usaha perikanan, jika usaha tersebut dikelola dengan bijaksana. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan DIY (Dislautkan DIY, 2010a) juga diketahui pendapatan pelaku usaha perikanan berkisar antara Rp 1,9-2,1 juta per bulan, atau dua kali lebih tinggi dibandingkan Upah Minimum Regional (UMR). Gambaran ini mengindikasikan bahwa pengembangan perikanan memiliki potensi yang sangat besar untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan DIY. Perkembangan pesat kegiatan produksi perikanan telah menarik perkembangan kegiatan perikanan terkait lainnya. Hasil studi di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa berkembangnya kegiatan perikanan di Kabupaten Sleman telah memberikan dampak positif terhadap kegiatan terkait perikanan lainnya. Dengan tingkat konsumsi ikan yang mencapai 26,73 kg/kapita/tahun, tumbuh 8,96% per tahun, Kabupaten Sleman secara total menjadi konsumen produk perikanan tertinggi di DIY yaitu mencapai ,4 ton ikan per tahun (Gambar 2.1). Peningkatan produksi dan konsumsi ikan tersebut juga diikuti oleh bisnis perikanan lainnya seperti rumah makan khas ikan yang tumbuh mencapai 11,4% per tahun dan pemancingan dengan laju pertumbuhan 7,4% per tahun, serta pasar ikan kelompok yang naik rata-rata 5,4% per tahun. Dengan demikian, pengembangan usaha perikanan tidak saja penting untuk pembangunan ekonomi khususnya di wilayah pedesaan, tetapi juga peningkatan ketahanan pangan, gizi dan kesehatan masyarakat, serta hobi. 7

5 Gambar 2.1. Perkembangan Konsumsi Ikan dan Aktifitas Terkait Perikanan di Kabupaten Sleman, Sumber: Suadi dkk A. Kondisi Perikanan Tangkap DIY Usaha perikanan tangkap terdiri dari beberapa jenis usaha, antara lain: (1) Penangkapan ikan; (2) Penangkapan dan pengangkutan ikan dalam satuan armada penangkapan ikan; dan (3) Pengangkutan ikan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 18 ayat 3, menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut meliputi (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) pengaturan kepentingan administrasi, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah tersebut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk tingkat provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. 1. Potensi Sumberdaya Ikan Samudra Hindia Selatan Jawa Pengelolaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), 8

6 yang meliputi 10 WPP. Jika disinkronkan dengan WPP yang telah ditetapkan oleh Badan Pangan DUnia (FAO), DIY termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan No. 573 yang merupakan bagian dari perairan Samudera Hindia. Sehubungan dengan itu maka perlu diketahui potensi perikanan laut yang ada di Samudera Hindia seperti yang tercantum pada tabel berikut: Tabel 2.1. Potensi dan Pemanfaatan SDI di WPP 573 Kelompok Sumberdaya Potensi (ton) Tingkat Pemanfaatan (%) Ikan pelagis besar Moderate untuk cakalang, fully exploited untuk madidihang dan albakore, serta overexploited untuk mata besar dan SBT Ikan pelagis kecil Fully exploited, untuk D. kuroides pada tingkat moderate ikan demersal Moderat, dan fully-exploited untuk kakap merah dan kuwe Udang penaeid Over-exploited Cumi-cumi Moderate Ikan karang konsumsi Lobster Total TAC 80% Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Nomor KEP.45/MEN/2011, diolah. Tabel 2.1. menunjukkan bahwa beberapa sumberdaya ikan sudah over exploited sehingga perlu adanya kehati-hatian dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap untuk menjamin keberlanjutan usaha penangkapan ikan. Dengan kelestarian sumberdaya ikan maka kegiatan perikanan tangkap akan terus berlangsung. Berlangsungnya kegiatan perikanan tangkap secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak bagi nelayan dan pelaku usaha sektor hulu dan hilir perikanan tangkap sebagai multiplier effect pengelolaan sumberdaya alam. Tabel 2.1. juga memberikan indikasi bahwa kegiatan perikanan tangkap sesungguhnya masih dapat dikembangkan untuk beberapa jenis kegiatan usaha, seperti cumi-cumi, perikanan demersal, cakalang, dan pengembangan secara hati-hati untuk perikanan yang telah overexploited. Apabila DIY dapat memanfaatkan 5% dari potensi lestari sumberdaya ikan, maka DIY memiliki potensi produksi sebesar ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam wilayah perairan DIY yang sepanjang 113 km tetapi di dalam WPP 573, yang memiliki panjang pantai sekitar km. 9

7 2. Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap DIY Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pantai sepanjang km terletak di kawasan Samudera Hindia dan termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 yang meliputi Laut Selatan Jawa, sampai Laut Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Timor Bagian Barat yang memiliki potensi sumberdaya perikanan besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan potensi ikan di Samudera Hindia di DIY sudah mulai bekembang. Hal ini ditandai dengan berkembangnya jumlah tempat pendaratan ikan yang saat ini telah mencapai 19 titik pendaratan ikan, dari tanpa pendaratan ikan di tahun 1970an. Produksi perikanan laut di DIY juga terus meningkat, dari 134,93 ton (tahun 1994) naik menjadi ton (tahun 2010), 3.952,9 ton (tahun 2012), dan 4.093,2 ton (tahun 2013) dengan total nelayan telah mencapai orang. Kegiatan perikanan tangkap tersebut berkembang di tiga kabupaten yang memiliki wilayah pesisir, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo, dengan panjang garis pantai sekitar 113 kilometer. Sebaran nelayan di DIY ditunjukkan pada Tabel 2.2. dan jumlah armada perikanan pada Gambar 2.2. Tabel 2.2. Jumlah Rumah Tangga Perikanan menurut Kabupaten di DIY, No. Kabupaten Jumlah RTP Gunungkidul Bantul Kulonprogo Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY,

8 Gambar 2.2. Perkembangan Jumlah Armada Perikanan Perahu Motor Tempel, Sumber: Statistik Perikanan Tangkap 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY 2012 Tabel 2.2. menyajikan data dalam periode tahun , perkembangan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di DIY sedikit berfluktuasi, terutama di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulonprogo, sedangkan di Kabupaten Bantul relatif stabil. Sementara, armada perikanan di DIY dalam lima tahun terakhir cenderung stabil atau dengan rata-rata kenaikan kecil sekitar 1% per tahun. Total jumlah armada perikanan mencapai 451 unit kapal ikan (PMT dan Kapal Motor) pada tahun 2011, atau naik dari 429 unit pada tahun Namun demikian, dari struktur armada jumlah kapal motor telah bertambah dibandingkan dekade sebelumnya. Kapal motor yang ada di DIY saat ini telah mencapai 10% dari total armada perikanan yang ada. Namun demikian, armada tersebut masih dapat dikatakan sangat kecil jumlahnya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan yang ada. Jumlah hasil tangkapan sesungguhnya mengalami perkembangan yang positif, terutama diakibatkan oleh perkembangan positif produksi ikan di PPP Sadeng, Kabupaten Gunungkidul. Gambar 2.3. menyajikan data perkembangan produksi ikan laut, yang secara mayoritas dihasilkan dari kegiatan penangkapan. 11

9 Produksi (ton) Gambar 2.3. Perkembangan Produksi Ikan Laut di DIY, ,500 4,000 3,500 4,238 3,862 3,953 4,093 3,394 3,000 2,500 2,342 2,152 2,000 1,731 1,500 1, Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 (data diolah) Berdasarkan Gambar 2.3. terlihat bahwa produksi ikan laut di DIY dari tahun 2006 hingga tahun 2011 terus mengalami peningkatan, walaupun produksi pada tahun 2013 mengalami kontraksi dikarenakan faktor cuaca. Perkembangan jumlah produksi ikan hasil tangkapan tersebut, menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan DIY masih cukup besar. Hasil tangkapan ikan di laut selatan Jawa didominasi ikan cakalang dan ikan tuna. Dengan demikian kedua jenis ikan ini merupakan peluang besar bagi pengembangan perikanan ke depan. Keberadaan pelabuhan perikanan menjadi kunci perkembangan produksi perikanan di DIY. Adanya fasilitas pelabuhan yang relatif lengkap dan dilengkapi tempat bersandar kapal berupa dermaga di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng telah mendorong berkembangnya kapal motor, khususnya kapal dengan ukuran 30 GT ke bawah. PPP Sadeng saat ini merupakan fishing base kapal motor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah selatan DIY dengan jangkauan mencapai jalur III dengan alat bantu penangkapan berupa rumpon. Hasil tangkapan ikan berupa ikan pelagis besar seperti tuna, tongkol, marlin, lemadang, tengiri, dan cakalang. Secara umum, pengembangan perikanan tangkap di selatan DIY masih dapat dilakukan. Hasil perhitungan produktivitas perikanan saat ini menunjukkan kecenderungan yang meningkat, baik berdasarkan pendekatan armada perikanan maupun rumah tangga perikanan. Peningkatan tersebut didorong oleh mulai berkembangnya pengoperasian kapal ikan bermotor 12

10 di luar wilayah pantai (zona empat mil). Perkembangan tersebut secara umum tersaji pada Gambar 2.4. Gambar 2.4. Perkembangan RTP, Armada, Produksi dan Produktivitas Perikanan Tangkap di DIY, Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2012 (data diolah) Gambar 2.4. juga memberikan indikasi bahwa perubahan struktur armada perikanan yang terjadi, walaupun dalam jumlah yang kecil, telah meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan yang cukup besar. Karena itu, untuk mendorong berkembangnya perikanan tangkap yang lebih baik di DIY adalah mendorong perubahan struktur armada perikanan. Hal ini didukung oleh temuan sebelumnya yang memberikan indikasi bahwa produktivitas perikanan jika hanya mengandalkan perahu motor tempel akan semakin menurun, walaupun jumlah armadanya terus ditambah (Suadi dkk., 2003). Perubahan tersebut tentu saja membutuhkan salah satunya adalah tempat bersandarnya kapal-kapal motor berukuran besar. Jika saat ini PPP Sadeng hanya mampu menampung kapal motor berukuran kurang dari 30 GT, maka diharapkan dengan beroperasinya pelabuhan perikanan Tanjung Adi Karto, kapal-kapal ukuran besar dapat tertampung. Aspek lain yang perlu disiapkan adalah SDM perikanan yang akan mengisi perubahan struktur tersebut. Dengan asumsi DIY memiliki kemampuan untuk memanfaatan 5% potensi lestari perikanan di Samudra Hindia, dengan melakukan pengembangan perikanan di laut teritorial dan ZEEI maka diperkirakan DIY memiliki potensi lestari sekitar ton per tahun. Karena 13

11 itu, walaupun produksi perikanan laut mengalami peningkatan (seperti tersaji pada gambar 3.3.), namun pemanfaatan potensi sumberdaya ikan masih sangat rendah (jumlah produksi tahun 2013 hanya sekitar ton). 3. Nelayan dan Armada Perikanan Tangkap Perkembangan produksi perikanan laut sangat erat kaitannya dengan jumlah nelayan, armada dan alat tangkap. Nelayan di DIY tersebar di tiga kabupaten (Gunungkidul, Bantul, Kulonprogo) sepanjang pantai Selatan DIY (Tabel 2.3). Nelayan DIY telah melakukan peningkatan kemampuan adopsi dan pemanfataan teknologi dari menggunakan perahu motor tempel telah berkembang dengan menggunakan kapal motor dengan kapasitas antara 5-30 GT (Tabel 2.4). Dukungan yang diberikan pemerintah berupa bantuan kapal motor beserta alat tangkap serta pelatihan nelayan dalam pengelolaan dan pengoperasian kapal motor tersebut, sehingga mampu melakukan kegiatan produktif dalam menggali potensi perikanan tangkap di DIY. Dengan penggunaan sarana penangkapan tersebut daya jangkau nelayan DIY telah dapat menjangkau perairan lepas pantai dan perairan samudera. Tabel 2.3. Jumlah RTP/PP Menurut Kabupaten di DIY, No. Kabupaten Jumlah RTP Gunungkidul Bantul Kulonprogo Jumlah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY,

12 Tabel 2.4. Jumlah Armada Penangkapan Ikan di DIY, Sarana Penangkapan Dengan Perahu Motor Tempel Kapal Motor < 5 GT GT GT Jumlah Kapal Motor Sumber: Data Statistik Perikanan Tangkap Tahun , Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Tahun, 2012 Sebagai sarana untuk memperoleh hasil perikanan, kegiatan eksploitasi perikanan menggunakan alat tangkap digunakan untuk memudahkan manusia dalam menangkap ikan. Alat tangkap di DIY sudah berkembang berbagai alat tangkap disesuaikan dengan jenis ikan dan musim penangkapan, seperti yang tersaji dalam tabel berikut ini. Tabel 2.5. Jumlah Unit Penangkapan Ikan di Laut Menurut Jenis, (Unit) Jenis Alat Penangkapan Pukat cincin Jaring Insang Hanyut Jaring Klitik Jaring Insang Tetep Jaring Tiga Lapis Serok dan Songko Anco Rawai Tuna Rawai Tetap Rawai Tetap dasar Pancing Tonda Pancing Ulur Pancing Tegak Perangkap Lainnya Alat Pengumpul Alat Penangkap Tripang Alat Penangkap Kepiting Muroami Garpu dan Tombak Jumlah Sumber: Statistik Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, Jumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan di DIY berfluktuasi yaitu sejumlah unit pada tahun 2008, meningkat menjadi unit tahun 2009, dan pada 15

13 tahun 2010 jumlah jenis alat tangkap menjadi berjumlah unit alat tangkap. Namun apabila dicermati terjadi peningkatan penggunaan alat pancing berupa alat pancing ulur, pancing tegak dan pancing cumi. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Gunungkidul sangat tinggi apabila dibandingkan dengan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Hal ini sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana yang ada di Kabupaten Gunungkidul yaitu adanya Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng dan armada penangkapan ikan berupa kapal motor dengan kapasitas 5 - <30 GT (Gambar 2.6). Armada penangkapan ikan berupa kapal motor memiliki jangkauan dan daya jelajah dalam melakukan kegiatan penangkapan mencapai 80 mil dari pantai. Sehingga pengembangan perikanan lepas pantai sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mempercepat penyelesaian pelabuhan Tanjung Adikarto untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap di DIY. Gambar 2.6. Produksi Perikanan Tangkap menurut Kabupaten/Kota di DIY, (ton) , , , , , , Sumber: Statistik Perikanan Tangkap DIY Tahun , Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Tahun B. Kondisi Perikanan Budidaya DIY Kab. Gunungkidul Kab. Bantul Kab. Kulon Progo Dari aspek geografis, DIY memiliki posisi strategis untuk berkembangannya usaha perikanan budidaya. Di wilayah pesisir dan laut, DIY memiliki potensi lahan dan wilayah untuk pengembangan perikanan di beberapa titik di sepanjang pantai yang mencapai ± 113 km. Potensi sumberdaya lahan pesisir seluas kurang lebih 650 ha sangat potensial untuk 16

14 pengembangan tambak dan budidaya kolam. Potensi produksi perikanan budidaya di lahan pesisir ini diperkirakan dapat mencapai kurang lebih ton per tahun. Tentu saja potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena usaha perikanan dapat dikategorikan usaha yang baru dikenal oleh masyarakat di DIY. Di wilayah darat, DIY dialiri oleh beberapa sungai kecil dan besar yang membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Opak-Oyo dan DAS Progo serta Bogowonto sehingga memungkinkan berkembangnya kegiatan perikanan baik di sungai maupun di wilayah sekitarnya. Adanya waduk dan telaga juga menjadi sumber air untuk kegiatan perikanan. Sementara, keberadaan Saluran Vanderweigh (Selokan Mataran) telah menghidupi ratusan pembudidaya ikan di daerah yang dilintasinya, bahkan menjadi sentra-sentra perikanan budidaya di DIY. Untuk pengembangkan perikanan budidaya DIY memiliki lahan potensial seluas ha, bahkan angka ini dapat bertambah dengan perkembangan teknologi terkini budidaya ikan di wilayah pedesaan seperti teknologi budidaya dengan kolam terpal. Dengan demikian, untuk berkembangnya kegiatan usaha perikanan, lahan tidak lagi memiliki faktor pembatas. 1. Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Budidaya Walaupun DIY memiliki luasan wilayah yang relatif sempit, demikian juga dengan lahan untuk pengembangan budidaya perikanan. Namun demikian potensi sumberdaya tersebut tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Tabel 2.5 menunjukkan bahwa dari total luas lahan potensial sejumlah hektar untuk kegiatan budidaya perikanan baru dimanfaatkan sekitar hektar atau hanya 8% dari luas lahan potensial. Secara total, produksi perikanan di DIY baru mencapai ton pada tahun 2008, dan saat ini telah meningkat mencapai lebih dari ton (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Potensi Lahan dan Peluang Pengembangan Perikanan Budidaya Jenis Usaha /Lahan Potensi Lahan (ha) Tingkat Pemanfaatan (ha) Persentase (%) Perairan Umum (KJA) 3.133,50 0,17 0,01 Tambak 650,00 35,0 5,38 Kolam 4.630,20 700,0 15,12 Sawah / Mina Padi ,60 786,0 7,73 Jumlah , ,17 8,04 Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY,

15 Tabel 2.6 menyajikan luas usaha budidaya menurut jenis budidaya berdasarkan kabupaten yang ada di wilayah DIY pada tahun Dibandingkan data tahun 2010 dan 2011, luasan lahan budidaya pada tahun 2013 mengalami peningkatan. Kenaikan tersebut disebabkan peningkatan luasan lahan budidaya tambak, kolam, dan telaga. Luasan lahan tambak meningkat dari 14,5 hektar pada tahun 2011 menjadi 66,21 hektar pada tahun 2013 atau terjadi peningkatan luasan tambak sebesar 356,62% selama periode tahun Peningkatan luasan lahan tersebut terjadi karena adanya pembukaan lahan yang masif di pesisir selatan DIY oleh masyarakat karena tingginya keuntungan yang diperoleh dari budidaya tambak (udang). Walaupun tidak setinggi pertumbuhan luasan lahan tambak, luasan kolam DIY mengalami peningkatan dari 839,3 hektar pada tahun 2011 menjadi 1.006,3 hektar pada tahun 2013 (naik 19,86%). Berbeda dengan luasan lahan tambak, kolam, dan telaga yang mengalami peningkatan, luasan lahan sawah, karamba, dan jaring apung justru mengalami penurunan walaupun penurunan luasan lahan tersebut tidak signifikan. Sebagai contoh, luasan karamba pada tahun 2011 adalah sebanyak 274 unit dan pada tahun 2013 menurun menjadi hanya 146 unit. Kabupaten/Kota Tabel 2.6. Luas Usaha Budidaya menurut Jenis Budidaya dan Kabupaten, 2013 Tambak (ha) Kolam (ha) Sawah (ha) Karamba (unit)] Jaring Apung (unit) Telaga (ha) Gunungkidul 1,47 36,66 0, ,80 Bantul 19,15 105, Kulonprogo 45,59 56, Sleman - 806,39 63, Yogyakarta - 0, Jumlah 66, ,03 64, ,80 Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY, 2013 Peningkatan luasan lahan juga diikuti peningkatan pelaku usaha perikanan budidaya yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan rumah tangga perikanan dimana jumlah rumah tangga perikanan pada tahun 2010 adalah sebanyak unit meningkat menjadi unit pada tahun Peningkatan jumlah rumah tangga perikanan terbanyak terdapat pada pada rumah tangga yang melakukan usaha budidaya kolam yaitu sebanyak unit diikuti budidaya di telaga sebanyak 139 unit, budidaya tambak sebanyak 100 unit, dan budidaya di jaring apung sebanyak 10 unit. Jika melihat pada tabel 2.7, pertumbuhan jumlah rumah tangga yang melakukan budidaya di tambak dan kolam selalu menunjukkan pertumbuhan yang positif 18

16 setiap tahun, sedangkan rumah tangga perikanan yang melakukan budidaya di sawah, keramba, jaring apung, dan telaga jumlahnya naik turun (fluktuatif). Jumlah rumah tangga perikanan budidaya di DIY pada periode tahun dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Budidaya di DIY, Lahan RTP (unit) Budidaya di Tambak Budidaya di Kolam Budidaya di Sawah Budidaya di Karamba Budidaya di Jaring Apung Budidaya Telaga Jumlah Sumber: Statistik Perikanan Budidaya DIY, Produksi perikanan budidaya DIY berasal dari budidaya air tawar (kolam, sawah, karamba, jaring apung) dan budidaya air payau. Produksi perikanan budidaya DIY dalam 5 tahun terakhir ( ) menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan, ditunjukkan dengan data produksi pada tahun 2009 hanya sebesar ,5 ton menjadi ,7 ton pada tahun Rata-rata pertumbuhan produksi perikanan budidaya DIY dalam periode waktu tersebut adalah sebesar 34,55% dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan pertumbuhan sebesar 94,4% dan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya tumbuh sebesar 12,8%. Produksi perikanan budidaya DIY selama periode tahun ditampilkan pada Gambar 2.7. Produksi perikanan budidaya tersebar hampir merata di semua wilayah kabupaten dan kota di DIY, namun sebagian besar produksi perikanan budidaya DIY berasal dari Kabupaten Sleman. Pada tahun 2013, produksi perikanan budidaya Kabupaten Sleman adalah sebesar ton (44,4%), diikuti Kabupaten Bantul sebesar ton (23,85%), Kabupaten Kulon Progo sebesar ton (20,39%), Kabupaten Gunungkidul sebesar ton (11,24%) dan Kota Yogyakarta sebesar 63,55 ton (0,11%). Jenis ikan yang paling banyak diproduksi di Kabupaten Sleman adalah nila (7.940,9 ton), lele (6.768,8 ton), gurami (4.993,8 ton), bawal (4.779,4 ton), dan grass carp (826,9 ton). Produksi perikanan budidaya di setiap kabupaten dan kota di DIY ditunjukkan pada Gambar

17 Produksi (ton) Pertumbuhan (%) Gambar 2.7. Produksi Perikanan Budidaya DIY, , ,000 50,000 40,000 30, , , , , ,000 10,000 20, Tahun - Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY,

18 Produksi (ton) Persentase Produksi (%) Gambar 2.8. Produksi Perikanan Budidaya dan Persentasenya menurut Kabupaten dan Kota di DIY, ,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5, , , , , Gunungkidul Kulon Progo Bantul Sleman Yogyakarta Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 Pada tahun 2013, produksi perikanan sebagian besar berasal dari budidaya di kolam dengan produksi sebesar ,6 ton (98,08%) diikuti budidaya tambak sebesar 816,9 ton (1,41%), dan budidaya di sawah sebesar 146,91 ton (0,25%). Terdapat 5 jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan masyarakat DIY diantaranya adalah lele dengan produksi pada tahun 2013 sebesar ,9 ton (50,43%), diikuti nila dengan produksi sebesar ,87 ton (19,72%), gurami sebesar 9.794,14 ton (16,92%), bawal sebesar 5.106,52 ton (8,82%), dan grasscarp sebesar 826,88 ton (1,43%). Kabupaten Sleman merupakan produsen terbesar untuk komoditas nila, gurami, bawal, dan grass carp, sedangkan untuk lele, Kabupaten Bantul merupakan penyumbang produksi terbesar di DIY. Khusus untuk budidaya air payau di DIY, jenis komoditas yang dibudidayakan adalah udang vanamei dan bandeng, dimana sumbangan produksi terbesar dihasilkan oleh Kabupaten Bantul dan Kulon Progo. Produksi perikanan budidaya di DIY menurut jenis ditampilkan pada Gambar

19 Produksi (ton) Gambar 2.9. Produksi Perikanan Budidaya Menurut Jenis Ikan di DIY, ,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 - Lele Nila Gurami Bawal Tawar Grasscrap Udang Vanamei Ikan Mas Udang Galah Tawes Patin Bandeng Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, 2013 Usaha perikanan budidaya di DIY mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam dekade terakhir. Sesuai dengan Renstra Kelautan dan Perikanan tahun 2009, produksi ikan untuk konsumsi di DIY tumbuh mencapai 14,7% per tahun antara Pertumbuhan pesat terjadi pada usaha budidaya yaitu mencapai 18,4% pada periode yang sama (19,7% untuk tambak dan 20,4% untuk budidaya kolam). Pertumbuhan pesat pada usaha budidaya ini juga diikuti oleh permintaan benih yang melambung tinggi. Produksi benih ikan meningkat lebih dari 2 kali antara tahun 2004 dan 2009, yaitu dari 363,7 juta ekor pada tahun 2004 menjadi 807,6 juta pada tahun Statistik perikanan tahun 2013 bahkan melaporkan produksi benih ikan DIY naik menjadi lebih dari 1,2 miliar ekor (Tabel 2.8). Selain kegiatan produksi ikan untuk konsumsi, usaha ikan hias juga mengalami perkembangan yang mengembirakan yaitu ditandai dengan peningkatan produksi ikan hias mencapai 7,13% antara tahun 2010 dan 2014 (tabel 2.9). Pertumbuhan tersebut telah juga mendorong bertambahnya jumlah pelaku usaha seperti tersaji pada Tabel

20 Tabel 2.8. Produksi Benih Ikan/Udang menurut Sumber Usaha dan Kabupaten, Kabupaten Jumlah Produksi (ekor) Jumlah Gunungkidul Bantul Kulonprogo Sleman Yogyakarta UPTD Sumber: Statistik Perikanan DIY, Tabel 2.8 menyajikan produksi benih ikan/udang berdasarkan pada sumber usaha dan kabupaten pada periode tahun 2010 hingga Selama kurun periode waktu tersebut, produksi benih ikan/udang di DIY secara keseluruhan mengalami pertumbuhan produksi sebesar 6,1% dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 16,31%. Produksi benih ikan/udang di DIY disumbang dari balai benih yang dimiliki oleh pemerintah daerah (BBI/BBUG/BBIP) dan unit pembenihan rakyat (UPR). Pada tahun 2013 produksi benih ikan/udang DIY adalah sebanyak ekor yang disumbang oleh balai benih milik pemerintah sebanyak ekor dan UPR sebanyak ekor. Statistik tersebut menunjukkan bagaimana peranan UPR dalam mendukung kegiatan perikanan budidaya di DIY. Jika dilihat perkembangan produksi benih per kabupaten, produksi benih di Kabupaten Sleman selalu menunjukkan perkembangan yang positif dengan produksi selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan pertumbuhan produksi benih ikan per tahun mencapai 6,6%. Hal tersebut berbeda dengan daerah lain di DIY yang produksinya cenderung fluktuatif. Tabel 2.9. Jumlah Produksi Ikan Hias di Kabupaten/Kota di DIY, Kabupaten/Kota Jumlah Produksi (ekor) Jumlah Gunungkidul Bantul Kulonprogo Sleman Yogyakarta Sumber: Statistik Perikanan DIY,

21 Selain ikan konsumsi, usaha ikan hias juga berkembang di DIY. Tabel 2.9 menunjukkan produksi ikan hias tahun , menunjukkan kenaikan jumlah produksi ikan hias di wilayah DIY. Jumlah produksi pada tahun 2010 sebanyak ekor, kemudian pada tahun 2013 naik menjadi ekor. Kenaikan produksi ikan hias ternyata juga didukung oleh kenaikan luas lahan produksi yang pada awalnya seluas 4,67 hektar, naik menjadi 5,51 hektar pada tahun Kabupaten yang menjadi penyumbang produksi ikan hias terbesar di wilayah DIY adalah Kabupaten Sleman dengan produksi mencapai ekor pada tahun Besarnya produksi ikan hias di Kabupaten Sleman disebabkan karena memiliki lahan budidaya ikan hias terluas yaitu mencapai 4,7 hektar. Berkembangnya produksi ikan hias juga diikuti dengan berkembangnya rumah tangga perikanan yang melakukan usaha budidaya ikan hias. Jumlah rumah tangga perikanan ikan hias pada tahun 2010 adalah sebanyak 76 RTP dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 182 RTP. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha ikan hias mulai diminati masyarakat DIY karena usaha ikan hias tidak membutuhkan lahan yang luas. Kabupaten yang memiliki jumlah RTP ikan hias terbanyak adalah Kabupaten Bantul yaitu sebanyak 87 RTP. Selain itu, dari data statistik juga diketahui bahwa tidak terdapat RTP ikan hias di Kabupaten Gunungkidul. Jumlah RTP di DIY disajikan pada Tabel Tabel Jumlah RTP Ikan Hias di Kabupaten/kota di DIY, Kabupaten/Kota Jumlah RTP (unit) Jumlah Gunungkidul Bantul Kulonprogo Sleman Yogyakarta Sumber: Statistik Perikanan DIY, Pengembangan Perikanan Budidaya Perkembangan positif perikanan DIY ini tentu saja sangat mengembirakan. Namun demikian, peningkatan jumlah produksi perikanan (supply) belum mampu mencukupi permintaaan (demand) ikan di daerah ini. Tercatat jumlah konsumsi ikan di DIY meningkat sebesar 2,64% per tahun dalam periode Jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya konsumsi per kapita dan pertambahan penduduk. Untuk memenuhi 24

22 kebutuhan tersebut DIY membutuhkan suplai ikan dari luar daerah. Dengan demikian, untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan di DIY perlu pengoptimalan pemanfaatan potensi sumberdaya seperti peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Peningkatan kapasitas produksi ikan, khususnya melalui kegiatan budidaya ikan, yang tentu sangat erat kaitannya dengan penyediaan jumlah dan kualitas benih yang memadai sangat perlu didorong. Melihat pemanfataan sumberdaya perikanan yang ada masih terbatas, pengembangkan usaha perikanan DIY perlu terus dilakukan. Upaya ini perlu berjalan beriringan dan mendapat dukungan program nasional, salah satunya yang dikenal dengan Program Minapolitan atau Industrialisasi perikanan. Dalam kerangka pengembangan perikanan budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislautkan) DIY telah menetapkan program Kawasan Sentra Pengembangan Perikanan (KSPP). Pemerintah daerah telah menetapkan 16 KSPP di DIY yang tersebar diseluruh kabupaten/kota. KSPP DIY menetapkan 9 komoditas unggulan dan 4 diantaranya adalah ikan nila, gurami, lele dumbo dan udang galah. C. Penanganan Pasca Panen Hasil Perikanan di DIY Penanganan pasca panen merupakan kegiatan yang berfungsi untuk menjaga kualitas hasil perikanan dari proses produksi sampai dengan terdistribusi kepada konsumen akhir dari hasil perikanan. Kegiatan penanganan pasca panen hasil perikanan mencakup kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Pengolahan dan pemasaran hasil perikanan merupakan kegiatan hilir yang memiliki nilai strategis dimana peranan yang harus dimainkan bila dapat di lakukan dengan baik dapat membawa dapak positif bagi peningkatan produktivitas usaha baik pada bidang usaha perikanan budidaya maupun usaha perikanan penangkapan. Hampir sebagian besar hasil tangkapan ikan laut di kawasan pesisir DIY dijual langsung dalam bentuk segar untuk diolah di tempat lain. Hanya sebagian kecil ikan hasil tangkapan yang dilakukan pengolahan seperti: pemindangan dan pengasinan. Jenis ikan yang diolah ini pun merupakan ikan yang nilai jualnya tidak begitu tinggi atau ikan yang merupakan hasil sampingan dari target penangkapan seperti ikan layang dan sebagainya. Dengan tersedianya SDI laut di DIY yang belum dimanfaatkan secara optimal, maka di masa mendatang produksi perikanan tangkap tentunya dapat ditingkatkan sampai lebih dari 10 ton per hari. Meningkatnya hasil tangkapan ikan laut ini harus disertai adanya kegiatan penanganan dan pengolahan ikan yang secara keseluruhan diharapkan dapat memberikan dampak peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian di wilayah DIY pada umumnya. 25

23 Penanganan pasca panen di sisi darat di awali dari kegiatan di TPI hingga ke pedagang atau pengolah ikan sebelum sampai kepada konsumen. Keterkaitan antar kegiatan tersebut sangat erat, masing-masing besar pengaruhnya terhadap mutu ikan yang dihasilkan. Penanganan hasil tangkapan di TPI masih belum memadai, terutama dari segi sanitasi dan higienis. Faktor utama penyebab kurang memadainya penanganan pasca panen di TPI, adalah kurangnya pasokan air bersih untuk kebutuhan pencucian, pembersihan keranjang ikan dan pembersihan lantai tempat pelelangan. Meskipun ketersediaan air bersih di PPP Sadeng cukup melimpah, namun sistem penyaluran air bersih ke lokasi TPI kurang mencukupi. Fasilitas sarana penanganan pasca panen, seperti pabrik es dan atau ruang pendingin (cold storage/cold room), yang merupakan sarana penanganan pasca panen di sisi darat belum tersedia. Satu pabrik es yang terdapat di PPP Sadeng tidak berfungsi, sehingga kebutuhan es untuk pengawetan ikan diperoleh dari penduduk setempat atau didatangkan dari luar daerah. Beberapa faktor pendukung dari pengembangan teknologi pasca panen di DIY adalah : 1. Rata-rata konsumsi ikan penduduk DIY masih rendah, belum mencapai tingkat konsumsi yang ditargetkan secara nasional, sebesar 22,06 kg/kapita/tahun. 2. Ikan merupakan protein hewani yang berkualitas tinggi, sehingga merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang sangat diperlukan. 3. Permintaan produk ikan olahan masih cukup tinggi. 4. Teknologi pengolahan ikan yang dilakukan oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional sehingga merupakan peluang bagi peningkatan produksi ikan olahan. Usaha pengelolaan dan pengawetan hasil perikanan, merupakan suatu bidang usaha yang sangat penting dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan secara optimal. Usaha ini bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan hingga sampai ke konsumen dalam keadaan layak konsumsi. Apabila peningkatan usaha penangkapan ikan berkembang sedemikian besarnya, maka usaha pengolahan dan pengawetan merupakan suatu kebutuhan yang harus dikembangkan. Pengolahan hasil perikanan yang umumnya telah dilakukan meliputi jasa pembekuan dan penyimpanan dingin (cold storage atau frezeer), pengawetan dengan pengeringan (drying) atau penggaraman (salting), pemindangan, pengalengan (canning), Pembuatan tepung ikan (fish meal) dan usaha pengolahan lainnya. Usaha ini dikembangkan sebagai upaya diversifikasi produk sesuai permintaan pasar. Pengolahan ikan di DIY adalah pengolahan tradisional yang meliputi jenis olahan penggorengan, bubur, bakso, kripik, dan abon ikan. Namun demikian, jenis ikan olahan yang banyak ditawarkan adalah jenis penggorengan. Selain itu, keterampilan nelayan pengolah ikan 26

24 dan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan ikan (pasca panen) belum memadai. Bila mutu ikan olahan dapat ditingkatkan, ketersediaannya dapat kontinyu sesuai dengan permintaan konsumen serta harganya dapat lebih murah, maka akan merupakan peluang besar untuk dipasarkan di DIY. Jenis dan jumlah unit usaha pengolahan ikan yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup beragam sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar Gambar Keragaman Produk Ikan Olahan di DIY kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta Sumber: Statistik P2HP Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012 Jumlah usaha pengolahan hasil perikanan paling banyak terdapat di Kabupaten Kulonprogo. Sedangkan usaha pengolahan yang banyak dilakukan oleh masyarakat berturutturut adalah pemindangan, pereduksian, pengasapan dan penanganan segar. Dari pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat di DIY, agar diperoleh produk yang aman dengan mutu yang terjamin, proses pengolahan harus dilakukan secara baku. Standardisasi hendaknya dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, proses pengolahan, sampai lingkungan pengolahan. Kondisi fisik dan bakterial, komposisi kimia, serta kesegaran bahan baku dan bahan pembantu harus diketahui untuk memilih proses pengolahan yang tepat. Melalui standardisasi, konsumen akan mendapatkan produk yang sesuai dan yang setara kualitasnya. Kondisi ini juga akan membuka peluang pengembangan pemasaran produk olahan tradisional. Pemilihan proses pengolahan harus didasarkan pada ciri kerusakan spesifik dan masa simpan yang diinginkan. 27

25 Pengolahan ikan secara tradisional masih mempunyai prospek untuk dikembangkan. Mengingat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap produk perikanan dalam memenuhi kebutuhan gizi, belum meratanya distribusi ikan dari pusat produksi ke pusat konsumsi serta belum terpenuhinya persyaratan untuk melakukan pengolahan modern. Prospek ini didukung oleh cukup tersedianya sumberdaya ikan, khususnya di Tempat Pelelangan lkan (TPI), masih sederhananya teknologi pengolahan, dan cukup banyaknya industri rumah tangga yang melakukan pengolahan ikan secara tradisional. Keberhasilan pengembangan perlu disertai dengan upaya perbaikan berupa rasionalisasi dan standardisasi, agar sifat fungsional, mutu, nilai nutrisi, keamanan produk terjamin.upaya perbaikan perlu diikuti dengan peningkatan industrialisasi dan komersialisasi. Pengolahan hasil perikanan di DIY masih didominasi oleh unit pengolahan tradisional berskala rumah tangga (skala mikro). Dari sekitar 487 unit usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro dan kecil, usaha pengolahan hasil perikanan yang skala mikro sebanyak 473 unit sedangkan yang skala kecil hanya berjumlah sekitar 14 unit (Gambar 2.11). Berbagai permasalahan yang terjadi pada tingkat unit pengolah seperti permodalan, teknologi dan informasi, manajemen dan pemasaran, tingkat pendidikan SDM pengolah, kualitas produk, peralatan dan kemasan yang belum memadai. Permasalahan ini menyebabkan produk olahan memiliki daya saing rendah. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Dinas Kelautan dan Perikanan DIY menyelenggarakan berbagai program kegiatan. 28

26 Gambar Skala Usaha Pengolahan Ikan di DIY Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta Skala Mikro Skala Kecil Jumlah Sumber: Statistik P2HP Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang Kehutanan dan perkebunan serta kewenangan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah. Dalam melaksanakan pembangunan kehutanan dan perkebunan, maka dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di lingkungan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY. Unit Pelaksana Teknis Dinas tersebut adalah: (1) Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) (2) Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH), dan (3) Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan (BSPMBPTKP). Tiga balai tersebut di atas, memiliki potensi aset daerah yang dikembangkan. Balai Sertifikasi, Pengawasan Mutu Benih dan Proteksi Tanaman Kehutanan dan Perkebunan berfungsi untuk mensertifikasi benih-benih yang layak dan unggul setelah dilakukan pengamatan dan pengujian terhadap benih tersebut. Untuk fungsi dari Balai Pengembangan Perbenihan dan Percontohan Kehutanan dan Perkebunan (BP3KP) yaitu sebagai tempat untuk pembibitan tanaman hutan dan perkebunan serta sebagai lahan percontohan untuk semua kalangan.sedangkan fungsi dari Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) adalah menciptakan hutan lindung. Hutan lindung yang dikelola oleh Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) ditanami tanaman pinus, dimana getah dari tanaman pinus disadap untuk dikelola menjadi karet pinus. Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) yang menangani hutan 29

27 pinus berada di Wilayah Mangunan, Kabupaten Bantul. Selain itu juga Balai Kesatuan Pengelolan Hutan (BKPH) menangani pabrik penyulingan minyak kayu putih yang berada di Wilayah Playen, Gunungkidul. Fungsi dari BKPH pengolahan minyak kayu putih ini mengolah daun dari pohon kayu putih untuk diolah menjadi minyak kayu putih Dinas Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta (sub sektor tanaman pangan dan hortikultura) memiliki 4 (empat) balai sebagai penyumbang PAD yaitu: Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman pangan dan Hortikultura (BPPTPH), Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian (BPSBP), Balai Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPSMP), serta Balai Proteksi Tanaman Pertanian (BPTP). Terkait dengan kepemilikan dan pengelolaan asset. Dinas Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai beberapa aset yang berpotensi sebagai sumber PAD dalam bentuk unit kebun yang terdiri dari 7 kebun yang dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis kebun yaitu: (1) kebun benih padi, (2) kebun benih hortikultura, dan (3) kebun benih palawija Sub Sektor Peternakan A. Pendahuluan Pertumbuhan sektor peternakan meningkat secara tajam. Produksi tahunan komoditas daging sapi dunia diproyeksikan mencapai 376 juta pada tahun Komoditas peternakan meliputi daging telur dan susu meningkat sesuai dengan peningkatan kebutuhan protein hewani dunia. Peningkatan kebutuhan protein hewani terjadi karena terjadi peningkatan pendapatan secara global dan terdapat korelasi positif terhadap urbanisasi yang terjadi di beberapa negara berkembang dengan konsumsi hasil peternakan (WHO, 2014). Pertumbuhan populasi dunia dan terutama di negara berkembang terutama di daerah perkotaan menyebabkan kebutuhan akan makanan meningkat. Kesadaran dan gaya hidup untuk mengonsumsi protein hewani semakin meningkat. Indonesia dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat berbanding lurus dengan kebutuhan protein hewani. Terjadi perubahan pola konsumsi daging, dimana kebutuhan akan protein daging terus meningkat. Asosiai Pengusaha Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi) menyatakan kebutuhan akan daging impor mencapai ton. Pada tahun 2010 lalu, Indonesia mengimpor daging sebanyak ton/bulan, dan meningkat menjadi ton/bulan. Daging impor tersebut beredar di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dimana distribusi daging 30

28 impor digunakan 50% untuk industri pengolahan, 30% untuk hotel dan restoran, dan sisanya untuk pasar modern dan tradisional. Kebutuhan daging yang terus meningkat di Indonesia merupakan suatu peluang sekaligus tantangan bagi sub-sektor peternakan untuk terus berkembang. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki potensi pengembangan sub-sektor peternakan. RPJMD DIY tahun menyebutkan bahwa su-sektor peternakan memiliki wilayah dengan sebaran ternak besar maupun kecil pada sejumlah kabupaten dan kota. Untuk ternak besar di wilayah DIY, sebagian besar atau 99% terdiri atas jenis sapi potong, kambing, dan domba. Pertumbuhan populasi ternak menunjukkan angka positif pada tahun 2011 sebesar 7,4%. Produksi daging juga mengalami kecenderungan meningkat. Hal ini dalam rangka mendukung kebijakan strategis swasembada daging tahun Visi pembangunan peternakan DIY adalah Pengembangan Peternakan Berbasis Sumber Daya Lokal, Berdaya Saing dan Berkelanjutan untuk Mencukupi Pangan Hewani dan Meningkatkan Kesejahteraan Peternak. Misi pembangunannya adalah Menyelenggarakan dan Menggerakkan Pengembangan Perbibitan, Budidaya Ternak Ruminansia, Budidaya Ternak Non Ruminansia, Kesehatan Hewan, dan Kesehatan Masyarakat. Pembangunan sub-sektor peternakan diarahkan pada penguatan sistem agribisnis peternakan mulai dari sub sistem hulu (up-stream), budidaya (on-farm), hilir (down-stream) dan sub-sistem penunjang, secara terintegrasi dan berkelanjutan. Program dan kegiatan pembangunan sub-sektor peternakan telah dirancang, dengan tujuan antara lain: Meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak; Mengembangkan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas, dan produksi ternak; Meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan; Meningkatkan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH; Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak; Menurunkan angka kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat petani/peternak; dan Meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Pengembangan sub-sektor peternakan tidak hanya penting untuk mendukung ketahanan pangan dan penguatan ekonomi masyarakat, tetapi juga untuk mendukung pembiayaan pembangunan daerah dari hasil pendapatan daerah sub-sektor peternakan. 31

29 B. Keadaan Umum Peternakan DIY Dalam budaya masyarakat petani di pedesaan Jawa, usaha peternakan merupakan usaha sampingan yang dilakukan sebagai investasi atau tabungan di masa yang akan datang dimana hal tersebut juga berlaku di sebagian petani/peternak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Usaha ternak yang dilakukan petani pedesaan di Jawa dan juga di DIY pada umumnya masih tradisional karena usaha ternak dianggap sebagai ingon-ingonan atau kepunyaan untuk memanfaatkan keadaan lingkungan sekitar yang mendukung kegiatan usaha ternak misalnya ketersediaan rumput, air, dan lahan yang cukup luas. Usaha ternak baik ternak besar, kecil, maupun unggas di DIY tersebar di semua wilayah kabupaten/kota yang ada di DIY. Pertumbuhan ternak secara keseluruhan menunjukan hasil yang positif dengan rata-rata pertumbuhan selama periode sebesar 3,96% dimana populasi ternak pada tahun 2002 sebanyak ekor menjadi ekor pada tahun Sementara itu, untuk produksi hasil ternak seperti daging juga mengalami pertumbuhan positif dengan rata-rata pertumbuhan produksi per tahun sebesar 8,41%, untuk produksi telur tumbuh 9,13% per tahun dan susu tumbuh sebesar 2,79% per tahun. Peningkatan jumlah ternak maupun produksi hasil ternak dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan strategis swasembada produk hasil ternak terutama daging. Dalam pengembangan sektor pertanian di DIY termasuk di dalamnya sub-sektor peternakan, menurunnya nilai tukar petani di sub-sektor peternakan juga menjadi suatu tantangan. NTP peternakan berkurang dari 107,24 pada tahun 2009 menjadi 103,79 pada tahun Selain itu, terdapat beberapa tantangan yang dihadapai sesuai dengan Rencana Strategis Dinas Pertanian DIY yaitu sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk DIY yang terus meningkat membawa konsekuensi diantaranya harus terbentuk pasar yang luas bagi produk-produk pertanian. Melalui penguasaan informasi pasar, petani dapat mengusahakan komoditas sesuai dengan preferensi konsumen. Pasar bebas yang sudah mulai terasa pengaruhnya terhadap produk pertanian/peternakan, hendaknya dapat disikapi secara nyata dengan sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas produk lokal serta meningkatkan efisiensi, sehingga produk lokal tetap mampu menembus pasar, baik di wilayah sendiri maupun bersaing di pasar regional dan global. 2. Budidaya pertanian di DIY tergantung pada musim yang berakibat akan selalu terjadi masa tanam dan masa panen yang hampir bersamaan. Akibatnya berlaku hukum pasar, di mana barang tersedia melimpah dengan permintaan yang tetap maka akan terjadi penurunan harga barang secara alami. Di samping itu, produk pertanian umumnya bersifat bulky dan mudah rusak (perishable), termasuk di dalamnya produk yang berasal dari ternak seperti 32

30 daging, telur, dan susu. Dan seperti lazimnya petani di daerah lain, para petani di Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya melakukan usaha tani turun-temurun, sehingga pilihan jenis usaha tani yang diusahakan tidak berdasarkan pada kebutuhan pasar. 3. Peluang bagi peningkatan produksi tanaman pangan, hortikultura dan peternakan melalui peningkatan produktivitas masih terbuka karena adanya perkembangan teknologi budidaya yang sesuai dengan prinsip good agriculture practices (GAP). Selain itu, berdasarkan impact point yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat penggunaan teknologi oleh petani masih belum sesuai dengan anjurannya. Oleh karena itu, jika hal ini diperbaiki akan memberikan peluang yang cukup bagi peningkatan produksi per satuan luas; 4. Peluang untuk memberikan nilai tambah bagi produk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan peternakan di tingkat petani sangat besar, terutama teknologi bercorak good handling practices (GHP) atau good manufacturing practices (GMP). Selama ini petani di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat banyak yang menjual produknya dalam bentuk primer tanpa memberikan sentuhan teknologi untuk menjadi bahan setengah jadi. Akibatnya nilai tambah produk pertanian tanaman pangan/peternakan dinikmati oleh pelaku yang lain, dalam hal ini bukan petani/peternak; Berdasarkan Renstra Dinas Pertaniaan DIY , sasaran yang terkait dengan sub-sektor peternakan tercantum dalam sasaran II (kedua) yaitu dengan meningkatkan populasi ternak, sasaran III (ketiga) yaitu meningkatkan kualitas SDM dan kelembagaan petani, dengan indikator kinerja peningkatan NTP sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, peternakan). Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas mengenai gambaran kinerja sub-sektor peternakan DIY diantaranya terkait populasi ternak, produksi hasil ternak, ketersediaan dan konsumsi per kapita, dan jumlah rumah tangga usaha peternakan. B.1. Populasi Ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta Ternak adalah hewan hasil domestikasi oleh manusia yang diatur segala kehidupannya (reproduksi, produksi kesehatan, pemeliharaan, dan lain-lain) oleh manusia dan dapat dimanfaatkan produk dan jasanya (daging, telur, susu, kulit, lemak, tenaga, wool, dan lain-lain) untuk kepentingan manusia. Ternak dikelompokkan ke dalam lima golongan yaitu ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (babi, kambing, domba), ternak unggas (ayam, itik, angsa, puyuh, kalkun), hewan kesayangan (kucing, anjing), dan aneka satwa (ulat sutera, lebah madu, cacing tanah, burung walet). Dalam kontek DIY, pengembangan sektor peternakan diarahkan untuk pengembangan ternak besar, kecil, dan unggas. 33

31 Gambar Pupulasi Ternak Besar di DIY, , , , , , , , , ,000 Ekor Kerbau Kuda Sapi Perah Sapi Potong Poly. (Sapi Potong) Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Jenis ternak besar yang dibudidayakan masyarakat DIY adalah sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kuda. Ternak besar yang paling banyak dibudidayakan adalah sapi potong. Perkembangan populasi sapi potong DIY mengalami peningkatan selama periode , walaupun populasinya pada dua tahun terakhir ( ) menurun. Rata-rata pertumbuhan populasi sapi potong selama periode o13 adalah sebesar 2,76% per tahun dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 32,45%. Populasi sapi potong pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2013 menjadi sebanyak ekor. Populasi sapi potong tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan populasi sebanyak ekor. Seperti yang telah diuraikan di atas, populasi sapi 34

32 potong mengalami penurunan yang signifikan dalam dua tahun terakhir dengan penurunan populasi mencapai ekor (dibandingkan dengan populasi tahun 2013). Jumlah populasi sapi perah di DIY selama periode cenderung fluktuatif walaupun secara rata-rata mengalami pertumbuhan sebesar 0,64% per tahun. Selama tahun , populasi sapi perah mengalami peningkatan yang cukup signifikan dimana populasi sapi perah pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor dan pada tahun 2005 meningkat menjadi ekor (populasi sapi perah mencapai jumlah tertinggi). Jika pada periode populasi sapi perah mengalami peningkatan yang signifikan, pada periode justru menunjukkan hasil sebaliknya dimana populasi sapi perah di DIY mengalami penurunan setiap tahun dengan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 36,92%. Jumlah populasi sapi perah pada tahun 2006 adalah sebanyak ekor, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi ekor, 2008 sebanyak ekor, 2009 sebanyak ekor, dan pada tahun 2010 mengalami penurunan populasi sebanyak ekor hingga menjadi hanya sebanyak ekor. Dalam 3 tahun terakhir ( ), jumlah populasi sapi perah kembali mengalami kenaikan setiap tahunnya dengan populasi pada tahun 2013 adalah sebanyak ekor. Melihat data statistik di atas, terdapat tiga periode perkembangan populasi sapi perah di DIY dengan peningkatan populasi terjadi pada tahun , kemudian populasi mengalami penurunan pada tahun , dan mengalami peningkatan kembali pada periode Populasi kuda dan kerbau di DIY menunjukkan perkembangan yang berbeda ( ), jika populasi kuda mengalami peningkatan jumlah, populasi kerbau justru mengalami penurunan. Selama periode , populasi kuda mengalami pertumbuhan populasi sebesar 6,98% per tahun (tertinggi diantara ternak besar), sedangkan populasi kerbau mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan populasi sebesar 10,9% per tahun. Jumlah populasi kuda pada tahun 2002 adalah sebanyak 929 ekor dan pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi sebanyak ekor (jumlah populasi tertinggi), sedangkan jumlah populasi kerbau pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor (jumlah populasi tertinggi) kemudian pada tahun 2013 berkurang menjadi 980 ekor. Merujuk pada data statistik Dinas Pertanian DIY (2014), populasi kuda di DIY ( ) cenderung fluktuatif walaupun secara umum mengalami peningkatan. Hal tersebut berbeda dengan populasi kerbau yang setiap tahun jumlahnya selalu bekurang dimana penurunan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 71,05% (dari ekor pada tahun 2010 menjadi ekor pada tahun 2011). 35

33 Gambar Populasi Ternak Besar Menurut Kabupaten di DIY, 2013 Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Pada tahun 2013, jika populasi ternak besar dirinci di tingkat kabupaten/kota di DIY, populasi sapi potong paling banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul ( ekor), diikuti Kabupaten Bantul dan Kulon Progo dengan populasi masing-masing sebanyak ekor dan ekor. Sebagai kabupaten yang menyumbang populasi sapi potong terbanyak di DIY, pola perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Gunungkidul sama dengan pola perkembangan DIY dimana pada periode mengalami kenaikan dan kemudian mengalami penurunan populasi pada tahun 2012 dan Populasi sapi potong di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor, kemudian meningkat setiap 36

34 tahun hingga mencapai populasi tertinggi sebanyak ekor pada tahun 2011, mengalami penurunan populasi menjadi sebanyak o ekor pada tahun 2012, dan menurun kembali pada tahun Untuk populasi sapi perah, jumlah populasi terbanyak berada di Kabupaten Sleman yaitu sebanyak ekor (91%) dengan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 (7.971 ekor). Tingginya populasi sapi perah di Kabupaten Sleman disebabkan kondisi alam yang mendukung untuk kegiatan peternakan sapi perah terutama di wilayah yang berada di lereng Gunung Merapi. Populasi sapi perah di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo masingmasing sebanyak 153 ekor dan 150 ekor, sedangkan di Kabupaten Gunungkidul dan Kota Yogyakarta masing-masing sebanyak 35 ekor dan 34 ekor. Berdasarkan Gambar 2.13, populasi kuda di DIY pada tahun 2013 paling banyak berada di Kabupaten Bantul yaitu sebanyak ekor (78%), diikuti Kabupaten Sleman 347 ekor (20%), dan Kota Yogyakarta sebanyak 20 ekor (1%). Untuk populasi kerbau, kabupaten yang memiliki populasi kerbau tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebanyak 757 ekor (63%), diikuti Kabupaten Bantul sebanyak 271 ekor (23%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 120 ekor (10%). Mengikuti pola populasi kerbau DIY yang menurun selama periode , populasi kerbau di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo juga mengalami penurunan yang signifikan. Sebagai gambaran, populasi kerbau di Kabupaten Sleman pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor, di Kabupaten Bantul sebanyak 988 ekor, dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak 752 ekor, kemudian pada tahun 2013, populasi kerbau di tiga kabupaten tersebut mengalami penurunan yang signifikan seperti yang telah diuraikan pada penjelasan di atas. 37

35 Gambar Pupulasi Ternak Kecil di DIY, ,579 12,782 13,056 12,695 12,038 8,766 7,907 7,861 10,151 7,056 10,116 9, , , , , , , , , ,137 97,339 79,174 73, , , , , , , , , , , , ,170-50, , , , , , , ,000 Ekor Domba Kambing Babi Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Jenis ternak kecil yang dibudidayakan masyarakat DIY adalah babi, kambing, dan kerbau. Populasi babi di DIY selama periode cenderung fluktuatif walaupun secara umum mengalami pertambahan populasi (Gambar 2.14). Populasi babi pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor dan pada tahun 2013 bertambah menjadi ekor (populasi tertinggi). Pertumbuhan populasi babi sepanjang periode tersebut adalah sebesar 4,93% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 (dari ekor pada tahun 2004 menjadi ekor pada tahun 2005). Populasi kambing di DIY selama periode dapat dikatakan meningkat, walaupun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan populasi sebesar 11,45% (dari ekor pada tahun 2002 menjadi ekor pada tahun 2003). Jika kita melihat Gambar 2.14, dari tahun 2003 hingga 2013, populasi kambing kambing selalu bertambah setiap tahun hingga mencapai populasi tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebanyak ekor. Pertumbuhan populasi kambing sepanjang periode adalah sebesar 2,95% dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2010 (dari ekor pada tahun 2009 menjadi ekor pada tahun 2010). Berbeda dengan populasi babi dan kambing yang sempat mengalami penurunan, populasi domba di DIY selama periode

36 2013 selalu mengalami pertambahan populasi setiap tahun dimana populasi domba pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor menjadi ekor pada tahun 2013 (populasi domba tertinggi). Rata-rata pertumbuhan populasi domba di DIY adalah sebesar 7,32% (tertinggi diantara ternak kecil) dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2004 (dari ekor pada tahun 2003 menjadi ekor pada tahun 2004). Gambar Populasi Ternak Kecil menurut Kabupaten di DIY, 2013 Kabupaten Sleman 6,673 33,625 71,412 Kabupaten Gunungkidul , ,530 Kabupaten Kulon Progo 2,136 22,062 89,725 Kabupaten Bantul 4,498 52,085 74,462 Kota Yogyakarta , , , ,000 Ekor Domba Kambing Babi Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Gambar 2.15 menunjukkan populasi ternak kecil menurut kabupaten di DIY pada tahun Populasi babi tertinggi di DIY berturut-turut terdapat di Kabupaten Sleman sebanyak ekor (49,14%), Kabupaten Bantul sebanyak ekor (33,12%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak ekor (15,73%), sedangkan populasi babi terendah terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak 114 ekor (1,16%). Selama periode , rata-rata pertumbuhan populasi babi tertinggi terdapat di Kabupaten Kulon Progo yaitu sebesar 52,04% per tahun, sedangkan rata-rata pertumbuhan populasi terendah terdapat di Kabupaten Sleman yaitu sebesar 4,2%. Untuk populasi kambing pada tahun 2013, Kabupaten yang memiliki populasi kambing terbanyak adalah Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak ekor 39

37 (46,39%), diikuti Kabupaten Kulon Progo sebanyak ekor (24,27%), dan Kabupaten Bantul sebanyak ekor (20,14%). Rata-rata pertumbuhan populasi kambing tertinggi selama tahun terdapat di Kabupaten Bantul yaitu sebesar 11,18%, sedangkan ratarata pertumbuhan terendah terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebesar 1,3%. Populasi domba di DIY pada tahun 2013 paling banyak terdapat di Kabupaten Sleman yang memiliki populasi domba sebanyak ekor (45,53%), diikuti Kabupaten Bantul sebanyak ekor (33,2%), dan Kabupaten Kulon Progo sebanyak ekor (14,06%). Walaupun memiliki populasi domba terbanyak pada urutan nomor 4 di DIY, tetapi rata-rata petumbuhan populasi domba di Kabupaten Gunungkidul selama periode menempati urutan teratas dengan rata-rata pertumbuhan populasi sebesar 16,79% per tahun, sedangkan wilayah dengan rata-rata pertumbuhan populasi domba yang negatif adalah Kota Yogyakarta (-1,17% per tahun) dan Kabupaten Kulon Progo (-1,11% per tahun). Gambar Pupulasi Ternak Unggas di DIY, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 Ekor (ribu) Itik Ayam ras pedaging Ayam ras petelur Ayam buras Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) 40

38 Jenis ternak unggas yang ada di DIY diantaranya adalah ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, kelinci, puyuh, merpati, dan itik manila. Populasi ayam buras di DIY selama periode mengalami penurunan yang signifikan hingga mencapai ekor (populasi ayam buras tahun 2002 sebanyak ekor (populasi tertinggi) dan populasi ayam buras tahun 2013 sebanyak ekor)). Pada periode tersebut, rata-rata penurunan populasi ayam buras di DIY adalah sebesar 2,12% per tahun dengan penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2006 (turun sebesar 12,91%). Pertumbuhan populasi selama periode hanya terjadi pada tahun 2008, 2011, dan Pada tahun 2008, populasi ayam buras tumbuh sebesar 0,12% (dari ekor pada tahun 2007 menjadi ekor pada tahun 2008), tahun 2011 tumbuh sebesar 4,1% (dari ekor pada tahun 2010 menjadi ekor pada tahun 2011), dan pada tahun 2012 tumbuh sebesar 1,01% menjadi ekor. Namun, pertambahan populasi tersebut tidak terjadi pada tahun 2013 dimana populasi justru mengalami penurunan sebanyak ekor menjadi ekor. Populasi ayam ras petelur selama periode mengalami pertambahan populasi yang signifikan dari sebanyak ekor pada tahun 2002 menjadi sebanyak ekor pada tahun 2013 (Gambar 2.5). Rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras petelur pada periode tersebut adalah sebesar 9,20% dengan pertumbuhan populasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 62,42% (dari ekor pada tahun 2004 menjadi ekor pada tahun 2005). Berdasarkan gambar 2.5, populasi ayam ras pedaging di DIY selama periode jumlahnya selalu meningkat sepanjang tahun. Hal tersebut berbeda dengan ternak unggas lainnya yang walaupun secara umum mengalami peningkatan tetapi pada tahun tertentu mengalami penurunan populasi. Populasi ayam ras pedaging pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor kemudian pada tahun 2014 populasi meningkat menjadi sebanyak ekor. Rata-rata pertumbuhan populasi ayam ras pedaging selama periode adalah sebesar 9,17% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 43,05%, sedangkan pertumbuhan populasi terendah terjadi pada tahun 2012 yang hanya tumbuh sebesar 0,76%. Untuk itik, populasinya sepanjang periode mengalami peningkatan walaupun pada tahun terakhir (2013) mengalami penurunan populasi dibandingkan tahun Populasi itik pada tahun 2002 adalah sebanyak ekor dan mengalami peningkatan hingga mencapai populasi puncak pada tahun 2012 yaitu sebanyak ekor, kemudian pada tahun 2013 populasi itik menurun menjadi hanya sebanyak ekor. Rata-rata pertumbuhan populasi itik selama periode adalah sebesar 9,19% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 39,86% 41

39 dan pada tahun 2013 populasi mengalami penurunan sebesar 0,94%. Pada tahun 2013, populasi kelinci di DIY adalah sebanyak ekor, puyuh sebanyak ekor, merpati sebanyak ekor, dan itik manila sebanyak ekor. Jika populasi ternak kecil dirinci menurut kabupaten di DIY pada tahun 2013, Kabupaten Sleman menempati urutan pertama yang memiliki populasi ternak kecil terbanyak, yang seluruhnya berjumlah ekor (44,36%). Populasi ayam buras di Kabupaten Sleman sebanyak ekor, ayam ras petelur sebanyak ekor, ayam ras pedaging sebanyak ekor, dan itik sebanyak ekor. Populasi ayam buras terbanyak kedua berada di Kabupaten Gunungkidul ( ekor), diikuti Kabupaten Kulon Progo ( ekor), dan Kabupaten Bantul ( ekor). Kabupaten yang memiliki populasi ayam ras petelur dan ayam ras pedaging terbanyak kedua adalah Kabupaten Kulon Progo dengan populasi masing-masing sebanyak ekor dan ekor, diikuti Kabupaten Bantul dengan populasi masing-masing sebanyak dan ekor, sedangkan populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Gunungkidul adalah sebanyak ekor. Pada tahun 2013, Kota Yogyakarta tidak memiliki populasi ayam ras petelur dan ayam ras pedaging. Hal tersebut disebabkan karena usaha ayam ras petelur dan pedaging membutuhkan areal yang cukup luas dan berada di luar pemukiman penduduk sehingga dengan luasan wilayah Kota Yogyakarta yang sempit dan padatnya pemukiman penduduk membuat pengembangan ayam ras petelur dan pedaging di Kota Yogyakarta sangat tidak memungkinkan. Populasi itik berturut-turut terbanyak setelah Kabupaten Sleman adalah Kabupaten Bantul ( ekor), Kabupaten Kulon Progo ( ekor), Kabupaten Gunungkidul (7.147 ekor), dan Kota Yogyakarta (1.626 ekor). 42

40 Ekor Gambar Populasi Ternak Unggas menurut Kabupaten/Kota di DIY, ,000,000 2,718,617 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,539,345 1,672,005 1,541,088 1,000, ,000-64,937 - Kota Yogyakarta - 1, , ,652 Kabupaten Bantul 796, , , , ,960 Kabupaten Kulon Progo 870, ,626 93,275 7,147 Kabupaten Gunungkidul 206,419 Kabupaten Sleman Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) B.2. Produksi Hasil Ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta Produksi hasil ternak di Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi daging, telur, dan susu. Untuk daging, produksi berasal dari sapi, kuda, kerbau, babi, kambing, domba, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan itik, sedangkan telur berasal dari ayam buras, ayam ras petelur, dan itik. Produksi daging di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode meningkat secara signifikan dimana produksing daging pada tahun 2002 hanya sebanyak kg dan pada tahun 2013 meningkat menjadi sebanyak kg. Rata-rata pertumbuhan produksi daging pada periode tersebut adalah sebesar 7,78% per tahun dengan pertumbuhan produksi daging tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 25,68%. Untuk produksi daging yang berasal dari ternak besar, jumlah produksinya dapat dikatakan meningkat selama periode , walaupaun pada tahun tertentu produksinya menurun (Gambar 2.7). Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak besar selama periode tersebut adalah sebesar 6,06% per tahun. Produksi daging yang berasal dari ternak besar pada tahun 2002 adalah sebanyak kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi kg. Walaupun produksi daging ternak besar meningkat, tetapi kontribusi terhadap produksi daging secara total mengalami penurunan dimana kontribusi produksi pada tahun 2002 adalah sebesar 19,77% dan pada tahun 2013 kontribusinya berkurang menjadi hanya sebesar 15,74%. Produksi daging sapi selama periode meningkat 43

41 Kg dari sebelumnya hanya sebanyak kg pada tahun 2002 menjadi kg pada tahun Rata-rata pertumbuhan produksi daging sapi selama periode tersebut adalah sebesar 6,54% per tahun. Berbeda dengan produksi daging sapi yang mengalami peningkatan, produksi daging kuda dan kerbau justru mengalami penurunan. Produksi daging kuda dan kerbau pada tahun 2002 masing-masing sebanyak kg dan kg dan pada tahun 2013, produksi daging dari kedua ternak besar tersebut berkurang menjadi hanya sebanyak kg, bahkan pada tahun 2013, DIY tidak menghasilkan daging kerbau (Gambar 2.18). Gambar Produksi Daging Ternak Besar di DIY, ,000,000 8,000,000 7,000,000 6,000,000 5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000, Sapi Kuda Kerbau Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Produksi daging yang berasal dari ternak kecil mengalami peningkatan selama periode , walaupun pada tahun tertentu produksinya menurun. Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak kecil selama periode tersebut adalah sebesar 5,18%. Produksi daging yang berasal dari ternak kecil pada tahun 2002 adalah sebanyak kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi kg. Walaupun produksi daging ternak kecil meningkat, tetapi kontribusi terhadap produksi daging secara total mengalami penurunan dimana kontribusi produksi pada tahun 2002 adalah sebesar 10,30% dan pada tahun 2013 kontribusinya berkurang menjadi hanya sebesar 6,68%. Untuk produksi daging ternak kecil, hanya produksi daging babi yang mengalami penurunan, sedangkan produksi daging kambing dan domba mengalami peningkatan. Produksi daging babi pada tahun 2002 adalah sebanyak kg, namun pada 2 tahun terakhir ( ), DIY tidak memproduksi 44

42 Kg daging babi. Produksi daging kambing selama periode meningkat dari sebelumnya hanya sebanyak kg pada tahun 2002 menjadi kg pada tahun Rata-rata pertumbuhan produksi daging kambing selama periode tersebut adalah sebesar 7,99% per tahun. Hal yang sama juga terjadi pada produksi daging domba dimana selama periode produksi meningkat dari kg pada tahun 2002 menjadi kg pada tahun Rata-rata pertumbuhan produksi daging kambing selama periode tersebut adalah sebesar 6,32% per tahun. Gambar Produksi Daging Ternak Kecil di DIY, ,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000, , Babi Kambing Domba Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Produksi daging yang berasal dari ternak unggas menjadi kontributor terbesar produksi daging di DIY dengan kontribusi terhadap produksi daging pada tahun 2013 mencapai 77,58%. Produksi daging ternak unggas mengalami peningkatan selama periode , walaupun pada tahun tertentu produksinya menurun. Rata-rata pertumbuhan produksi daging yang berasal dari ternak unggas selama periode tersebut adalah sebesar 9,32% (pertumbuhannya tertinggi dibandingkan ternak besar dan kecil). Produksi daging yang berasal dari ternak unggas pada tahun 2002 adalah sebanyak kg dan pada tahun 2013 produksi meningkat menjadi kg. Dengan demikian, dalam satu dasawarsa, terjadi peningkatan produksi ternak unggas sebanyak 24,5 juta kg. 45

43 Kg Gambar Produksi Daging Ternak Unggas di DIY, ,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000, Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Untuk produksi daging ayam buras, jika produksi pada tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 2013 maka terdapat penurunan produksi dimana produksi daging ayam buras pada tahun 2002 adalah sebanyak kg, sedangkan produksi pada tahun 2013 hanya sebanyak kg. Namun selama periode , rata-rata pertumbuhan produksi daging ayam buras menunjukkan hasil yang positif yaitu sebesar 2,14% per tahun. Produksi daging ayam buras mencapai puncaknya pada tahun 2007 dengan produksi sebanyak kg. Produksi daging ayam ras pedaging, ayam ras petelur, dan itik selama periode mengalami peningkatan dengan pertumbuhan produksi untuk masing-masing ternak tersebut adalah sebesar 50,37%, 13,65%, dan 18,54% per tahun. Sebagai contoh, produksi daging ayam ras petelur dan pedaging pada tahun 2002 adalah sebanyak kg dan kg, kemudian pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi sebanyak kg dan kg. 46

44 Gambar Persentase Produksi Daging menurut Kabupaten di DIY, 2013 Kabupaten Sleman 38% Kota Yogyakarta 4% Kabupaten Bantul 22% Kabupaten Gunungkidul 15% Kabupaten Kulon Progo 21% Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Jika produksi daging dirinci menurut kabupaten/kota pada tahun 2013, maka Kabupaten Sleman menempati urutan pertama dengan produksi sebanyak kg (38%). Produksi daging di Kabupaten Sleman sebagian besar berasal dari daging ayam ras pedaging ( kg), ayam buras ( kg), ayam ras petelur ( kg), dan sapi ( kg). Wilayah selanjutnya yang menjadi kontributor terbesar kedua untuk produksi daging DIY adalah Kabupaten Bantul dengan produksi total sebanyak kg (22%). Produksi daging di Kabupaten Bantul disumbang dari produksi daging ayam ras pedaging sebanyak kg, sapi sebanyak kg, domba sebanyak kg, dan ayam buras sebanyak kg. Produksi daging di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2013 adalah sebanyak kg (21%) dimana produksi daging sebagian besar berasal dari produksi daging ayam ras pedaging sebanyak kg dan ayam buras sebanyak kg. Untuk produksi daging yang berasal dari sapi, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, dan itik, produksi terbesar berasal dari Kabupaten Sleman, sedangkan untuk produksi daging kuda dan domba, Kabupaten Bantul menjadi produsen terbesar, dan produksi daging kambing terbesar ditempati Kabupaten Gunungkidul. 47

45 Kg Gambar Produksi Telur di DIY, ,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000, Ayam buras Ayam ras petelur Itik Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Produksi telur di DIY mengalami peningkatan dari sebelumnya pada tahun 2002 hanya sebanyak kg menjadi kg pada tahun Rata-rata pertumbuhan produksi telur selama periode adalah sebesar 9,13% per tahun dengan pertumbuhan produksi telur tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 51,33% (dari kg pada tahun 2004 menjadi kg pada tahun 2005). Produksi telur tersebut berasal dari ayam buras, ayam ras petelur, dan itik. Produksi telur ayam buras di DIY selama periode mengalami pertumbuhan dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 1,37%, namun jika produksi telur ayam buras pada tahun 2002 dibandingkan dengan produksi tahun terakhir (2013), justru menunjukkan terjadinya penurunan produksi dimana produksi telur ayam buras pada tahun 2002 sebanyak kg dan pada tahun 2013 berkurang menjadi sebanyak kg. Pada tahun 2013, terdapat kabar yang menggembirakan dimana produksi telur ayam buras mengalami pertumbuhan produksi sebesar 31,64% (produksi telur ayam buras tahun 2012 sebanyak kg). Pertumbuhan produksi telur yang berasal dari ayam ras petelur selama periode menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan (produksi tahun 2002 sebanyak kg dan produksi tahun 2013 sebanyak kg). Walaupun pada tahun 2013 produksi telur ayam ras petelur berkurang sebesar 8,64% (dari produksi tertinggi sebanyak kg), namun selama periode , produksi telur 48

46 ayam ras petelur tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan produksi sebesar 10,85%. Produksi telur itik selama periode juga mengalami peningkatan. Produksi telur itik pada tahun 2002 adalah sebanyak kg dan pada tahun 2013 meningkat menjadi sebanyak kg. Sama seperti produksi telur ayam petelur, produksi telur itik juga mencapai level tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebanyak kg. Rata-rata pertumbuhan produksi telur itik merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan produksi telur ayam buras dan ayam ras petelur dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 13,38%. Gambar Produksi Telur mnurut Kabupaten/Kota di DIY, 2013 (Persen) Kota Yogyakarta 0% Kabupaten Sleman 49% Kabupaten Bantul 22% Kabupaten Kulon Progo 25% Kabupaten Gunungkidul 4% Sumber: Dinas Pertanian DIY, 2014 (diolah) Sama halnya dengan produksi daging, Kabupaten Sleman juga menempati urutan pertama untuk produksi telur yaitu sebanyak kg (49%). Produksi telur di Kabupaten Sleman berasal dari produksi telur ayam ras petelur ( kg), itik ( kg), dan ayam ras buras ( kg). Jika dalam produksi daging, Kabupaten Kulon Progo menempati urutan ketiga, untuk produksi telur, Kabupaten Kulon Progo menjadi kontributor terbesar kedua untuk produksi telur DIY dengan produksi total sebanyak kg (25%). Produksi telur di Kabupaten Bantul disumbang dari produksi telur ayam ras petelur sebanyak kg, itik sebanyak kg, dan ayam buras sebanyak kg. Produksi telur di Kabupaten Bantul pada tahun 2013 adalah sebanyak kg (22%) dimana produksi telur 49

47 terdiri atas produksi telur ayam ras petelur sebanyak kg, itik sebanyak kg, dan ayam buras sebanyak kg. Seperti terlihat pada gambar 2.11, produksi susu di DIY selama tahun 2002 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi susu pada tahun 2002 adalah sebanyak kg, meningkat setiap tahun hingga mencapai produksi tertinggi pada tahun 2006 sebanyak kg. Kemudian setelah produksi mencapai level tertinggi, produksi susu mengalami penurunan hingga titik terendahnya pada tahun 2011 yang hanya memproduksi sebanyak kg. Pada tahun 2012 dan 2013 produksi susu mengalami peningkatan kembali dimana produksi susu pada tahun tersebut masing-masing sebanyak kg dan kg. Jika produksi susu dilihat menurut wilayah kabupaten/kota di DIY pada tahun 2013, Kabupaten Sleman menempati urutan pertama dengan produksi sebanyak kg (91%). Posisi kedua dan ketiga berturut-turut ditempati Kabupaten Bantul dan Kulon Progo dengan produksi masing-masing sebanyak kg (4%) dan kg (3%). Gambar Produksi Susu di DIY, (Kg) 12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 4,000,000 2,000, Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) 50

48 B.3. Ketersediaan dan Konsumsi Per Kapita Produk Hasil Ternak di DIY Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil proses produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Selain itu, dalam undang-undang juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan pangan dimana penyediaan tersebut diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Dalam konteks bahan pangan yang berupa hasil ternak di wilayah DIY, informasi mengenai produksi dan ketersediaan produk hasil ternak diperlukan dalam rangka perencanaan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bagi masyarakat khususnya yang berasal dari produk hasil ternak. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, ketersediaan daging per kapita cenderung fluktuatif sepanjang periode Ketersediaan daging per kapita cenderung menurun dari gram/kapita/tahun pada tahu 2005 menjadi hanya gram/kapita/tahun pada tahun Pada tahun 2010, ketersediaan daging per kapita meningkat menajdi gram/kapita/tahun dan pada tahun 2011 ketersediaan per kapita mencapai level tertingginya dengan ketersediaan per kapita sebesar gram/kapita/tahun. Untuk ketersediaan telur per kapita, terjadi penurunan tingkat ketersediaan telur per kapita dimana pada tahun 2005 ketersediaan telur per kapita mencapai level tertinggi (6.126 gram/kapita/tahun) menurun secara signifikan hingga level terendah pada tahun pada tahun 2007 (1.680 gram/kapita/tahun). Kemudian pada tahun , ketersediaan telur per kapita mengalami peningkatan walaupun belum melampaui titik tertinggi (meningkat dari gram/kapita/tahun pada tahun 2008 menjadi gram/kapita/tahun pada tahun 2011). Ketersediaan susu per kapita di DIY cenderung mengalami penurunan dimana pada tahun 2005, ketersediaan susu per kapita sebesar 1,18 gram/kapita/tahun dan pada tahun 2011 ketersediaan susu per kapita mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 0,22 gram/kapita/tahun. 51

49 Gambar Ketersediaan Produk Hasil Ternak, (gram/kapita/tahun) 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000-7,760 6,766 6,710 6,126 5,620 5,060 4,730 3,440 3,300 3,340 2,450 2,330 2,520 1, Daging Telur Susu Sumber: Dinas Pertanian DIY, (diolah) Tingkat konsumsi hasil ternak dibedakan dalam empat kategori yaitu tingkat konsumsi daging ruminansia, konsumsi daging unggas, konsumsi telur, dan konsumsi susu. Tingkat konsumsi daging ruminansia mengalami peningkatan dari sebelumnya tahun 2011 sebesar 3,8 kg/kapita/tahun menjadi 4,8 kg/kapita/tahun pada tahun Tingkat konsumsi daging ruminansia sempat mengalami penurunan pada tahun 2012 dengan tingkat konsumsi hanya sebesar 3,4 kg/kapita/tahun. Untuk tingkat konsumsi daging unggas, terjadi peningkatan tingkat konsumsi dari yang sebelumnya pada tahun 2011 dan 2012 hanya sebesar 6,4 kg/kapita/tahun menjadi 7,6 kg/kapita/tahun pada tahun Pola konsumsi telur dan susu di DIY mengikuti pola yang sama dengan tingkat konsumsi daging ruminansia dimana pada tahun 2012 mengalami penurunan dan pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan. Tingkat konsumsi telur pada tahun 2011 sebesar 7,8 kg/kapita/tahun, kemudian turun menjadi 7,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2012, dan meningkat kembali pada tahun 2013 menjadi 8,2 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi susu di DIY sepanjang tahun cenderung stagnan dimana tingkat konsumsi pada kedua tahun tersebut adalah sebesar 3,0 kg/kapita/tahun dan sempat mengalami penurunan tingkat konsumsi pada tahun 2012 yang hanya sebesar 2,7 kg/kapita per tahun. 52

50 Kg/Kapita/Tahun Gambar Tingkat Konsumsi Produk Hasil Ternak, Konsumsi Daging Ruminansia Konsumsi Daging Unggas Konsumsi Telur Konsumsi Susu Sumber: Bappeda DIY, 2014 (diolah) B.4. Rumah Tangga Usaha Peternakan di Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut hasil sensus pertanian yang dilakukan BPS (2013), rumah tangga usaha peternakan di Daerah Istimewa Yogyakarta selama periode tahun mengalami penurunan dari unit menjadi hanya unit pada tahun Menurut data sensus pertanian tersebut, jumlah rumah tangga usaha peternakan (RUTP) di DIY paling banyak mengusahakan komoditas ayam buras ( RUTP), diikuti usaha komoditas sapi potong ( RUTP), dan usaha komoditas kambing ( RUTP). Jika dirinci menurut wilayah, rumah tangga usaha peternakan terbanyak berada di Kabupaten Gunungkidul yaitu sebanyak RUTP, diikuti Kabupaten Bantul sebanyak RUTP, Kabupaten Kulon Progo sebanyak RUTP, Kabupaten Sleman sebanyak RUTP, dan Kota Yogyakarta sebanyak RUTP. Jumlah rumah tangga usaha peternakan menurut kabupaten/kota di DIY ditampilkan pada Gambar

51 Gambar Jumlah Rumah Tangga Usaha Peternakan menurut Kabupaten/Kota, 2013 (Persen) Sleman 17% Kulon Progo 20% Kota Yogyakarta 0% Gunung Kidul 39% Bantul 24% Sumber: Data Sensus Pertanian BPS, 2013 (diolah) 2.4. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral merupakan salah satu dinas yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Dinas PUP-ESDM DIY ini terletak di Jalan Bumijo No. 5 Yogyakarta. Visi dari Dinas PUP-ESDM ini adalah terwujudnya kualitas layanan infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman yang memadai, peningkatan jumlah rumah layak huni, serta pengelolaan energi dan sumber daya mineral yang ramah lingkungan. Untuk mewujudkan visi tersebut, beberapa misi yang dilakukan antara lain: 1. Mewujudkan integrasi penataan ruang wilayah untuk menjamin kinerja pelayanan infrastruktur dasar. 2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan perencanaan yang berkualitas. 3. Meningkatkan pengelolaan dan pembinan bangunan gedung dan rumah negara. 4. Meningkatkan aksesibilitas wilayah dalam mendukung pengembangan kawasan budaya, kawasan pariwisata, kawasan pendidikan dan kawasan pertumbuhan ekonomi. 54

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia terhadap sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di

BAB I PENDAHULUAN. lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim. Sebagai wilayah dengan dominasi lautnya, Indonesia menjadi negara yang kaya akan hasil lautnya, khususnya di bidang perikanan dan kelautan.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani

POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH. Oleh : Ida Mulyani POTENSI PERIKANAN DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Ida Mulyani Indonesia memiliki sumberdaya alam yang sangat beraneka ragam dan jumlahnya sangat melimpah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya

BAB I PENDAHULUAN. adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah km 2. Posisinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu wilayah yang termasuk ke dalam pesisir laut di Sumatera Utara adalah Pulau Nias. Luasnya secara keseluruhan adalah 5.625 km 2. Posisinya sangat strategis

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES

ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN DI INDONESIA. Oleh: Dr. Sunoto, MES ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KONSEP MINAPOLITAN Potensi dan Tantangan DI INDONESIA Oleh: Dr. Sunoto, MES Potensi kelautan dan perikanan Indonesia begitu besar, apalagi saat ini potensi tersebut telah ditopang

Lebih terperinci

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN

PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN PROFILE DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN I. PROFIL ORGANISASI 1. Pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang terletak Jalan Ir. Suratin, No. 1 Karawang, dengan luas gedung 645 m 2 berdiri di atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP

AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP AGROBISNIS BUDI DAYA PERIKANAN KABUPATEN CILACAP Cilacap merupakan salah satu wilayah yang berpotensi maju dalam bidang pengolahan budi daya perairan. Memelihara dan menangkap hewan atau tumbuhan perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam potensi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah lautan dengan luas mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi manusia. Perikanan budidaya dinilai

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi manusia. Perikanan budidaya dinilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan perikanan tangkap Indonesia yang sebagian besar saat ini telah mengalami overfishing menuntut pemerintah untuk beralih mengembangkan perikanan budidaya. Perikanan

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN A. KONDISI UMUM Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah Indonesia yang secara geografis adalah negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang panjang, serta sebagian besar terdiri dari lautan. Koreksi panjang garis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas keseluruhan sekitar ± 5,18 juta km 2, dari luasan tersebut dimana luas daratannya sekitar ± 1,9 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki potensi besar dalam produksi komoditi yang bersumber dari kekayaan alam terutama dalam sektor pertanian. Besarnya

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

rovinsi alam ngka 2011

rovinsi alam ngka 2011 Buku Statistik P D A rovinsi alam ngka 2011 Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012 1 2 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Statistilk Provinsi Dalam Angka Provinsi Aceh... 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di

I. PENDAHULUAN. potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan ribuan pulau yang mempunyai potensi besar dalam pengembangan di sektor pertanian. Sektor pertanian di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun potensi tersebut. dengan pasokan produk kelautan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun potensi tersebut. dengan pasokan produk kelautan dan perikanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan, dimana memiliki sumber daya perikanan yang besar, baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Sektor kelautan dan perikanan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS. Hulu. Hilir

BAB 4 ANALISIS. Hulu. Hilir BAB 4 ANALISIS Dalam bab ini akan membahas analisis komoditas ikan mulai dari hulu ke hilir berdasarkan klasifikasi inventarisasi yang sudah di tentukan pada bab selanjutnya dengan menggunakan skema pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas perairan yang di dalamnya terdapat beraneka kekayaan laut yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas perairan yang di dalamnya terdapat beraneka kekayaan laut yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (Putra,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Unisba.Repository.ac.id BAB I PENDAHULUAN Segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT di Bumi ini tiada lain untuk kesejahteraan umat manusia dan segenap makhluk hidup. Allah Berfirman dalam Al-Qur an Surat An-Nahl, ayat 14 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Welly Yulianti, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki luas sekitar enam juta mil persegi, 2/3 diantaranya berupa laut, dan 1/3 wilayahnya berupa daratan. Negara

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN 2013, No.44 10 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.27/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN DAN PERIKANAN PEDOMAN UMUM INDUSTRIALISASI KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

I. PENDAHULUAN.  (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi] I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan sektor agribisnis yang hingga saat ini masih memberikan kontribusi yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Dari keseluruhan total ekspor produk

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu terletak di Kecamatan Palabuhanratu yang

Lebih terperinci

Tabel IV.C.1.1 Rincian Program dan Realisasi Anggaran Urusan Perikanan Tahun 2013

Tabel IV.C.1.1 Rincian Program dan Realisasi Anggaran Urusan Perikanan Tahun 2013 C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN 1. URUSAN PERIKANAN Pembangunan pertanian khususnya sektor perikanan merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi, dalam hal ini sektor perikanan adalah sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

PERTANIAN.

PERTANIAN. PERTANIAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM KEHIDUPAN Menyediakan kebutuhan pangan penduduk Menyerap tenaga kerja Pemasok bahan baku industri Sumber penghasil devisa SUBSEKTOR PERTANIAN Subsektor tanaman pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujang Muhaemin A, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat, setidaknya mampu mendorong perekonomian Indonesia secara cepat, ditambah lagi dengan sumber daya

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, aktivitas mikroorganisme atau proses oksidadi lemak oleh udara

BAB I PENDAHULUAN. tersebut, aktivitas mikroorganisme atau proses oksidadi lemak oleh udara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ikan merupakan produk yang mudah rusak. Kerusakan ikan disebabkan oleh kegiatan enzimatis dari dalam tubuh ikan itu sendiri. Untuk menanggulangi kerusakan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap

I. PENDAHULUAN. Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini perikanan tangkap di Indonesia telah mengalami gejala padat tangkap atau overfishing, hal tersebut mengakibatkan timbulnya degradasi pada sistem laut, punahnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan memiliki sumber daya laut yang melimpah. Wilayah perairan Indonesia memiliki

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya kelautan merupakan salah satu aset yang penting dan memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara fisik Indonesia

Lebih terperinci

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU

BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU BOKS : PENGEMBANGAN SUB SEKTOR PERIKANAN BUDIDAYA AIR TAWAR DI KAWASAN MINAPOLITAN KABUPATEN KAMPAR, PROVINSI RIAU I. LATAR BELAKANG Perubahan mendasar cara berpikir dari daratan ke maritim yang dikenal

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau. Kenyataan ini memungkinkan timbulnya struktur kehidupan perairan yang memunculkan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA )

RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA ) RENCANA STRATEGIS ( RENSTRA ) DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TULANG BAWANG TAHUN 2011 2016 PEMERINTAH KABUPATEN TULANG BAWANG MENGGALA DAFTAR ISI Cover Renstra... i Daftar Isi... ii Bab I Pendahuluan...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian ekosistem, serta persatuan dan kesatuan. Sedangkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 20 1.1 Latar Belakang Pembangunan kelautan dan perikanan saat ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mempertimbangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pangan sejak beberapa abad yang lalu. Ikan sebagai salah satu sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. pangan sejak beberapa abad yang lalu. Ikan sebagai salah satu sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ikan merupakan salah satu sumber zat gizi penting bagi proses kelangsungan hidup manusia. Manusia telah memanfaatkan ikan sebagai bahan pangan sejak beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan Indonesia sangat besar dimana luas perairan Indonesia sebesar 2 per 3 luas daratan. Luas wilayah daratan Indonesia mencakup 1.910.931,32

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah provinsi di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

Lomba Penulisan Artikel HUT KORPRI Ke 43 Kabupaten Cilacap Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap*

Lomba Penulisan Artikel HUT KORPRI Ke 43 Kabupaten Cilacap Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap* Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap* Sebagai Kabupaten dengan wilayah administrasi terluas di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Cilacap menyimpan potensi sumberdaya alam yang melimpah. Luas Kabupaten

Lebih terperinci

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN Forum SKPD

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN Forum SKPD RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2017 Forum SKPD oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Yogyakarta, 28 Maret 2016 Outline 1. Potensi dan Permasalahan Pembangunan Sektoral 2. Isu Strategis

Lebih terperinci

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN

C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN C. URUSAN PILIHAN YANG DILAKSANAKAN Yang dimaksud dengan urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan

Lebih terperinci

4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN

4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN 4 PEMBANGUNAN PERIKANAN DI WILAYAH PENELITIAN 4.1 Program Pembangunan Perikanan 4.1.1 Provinsi Banten Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten (2007) menyebutkan bahwa visi institusi tersebut untuk

Lebih terperinci

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN BAB 18 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN A. KONDISI UMUM Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6.1 Tujuan Pembangunan Pelabuhan Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan tercantum dalam pengertian pelabuhan perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, di mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menjadi produsen utama akuakultur dunia. Sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan keempat terbesar sebagai produsen

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

1. PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN, PERIKANAN, PETERNAKAN & PERKEBUNAN. Tabel 1.1.1C

1. PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN, PERIKANAN, PETERNAKAN & PERKEBUNAN. Tabel 1.1.1C SUMBER DAYA ALAM PERTANIAN, KEHUTANAN, KELAUTAN, PERIKANAN, PETERNAKAN & PERKEBUNAN. SUB SEKTOR TANAMAN PANGAN Apa yang sudah dicapai selama ini lebih ditingkatkan, Pemerintah Kota Jayapura akan lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu subsektor pertanian dan kelautan yang memiliki peran penting sebagai penggerak kemajuan perekonomian nasional di Indonesia. Selain menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan lele (Clarias sp) adalah salah satu satu komoditas perikanan yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan komoditas unggulan. Dikatakan

Lebih terperinci

PERUMUSAN STRATEGI. 6.1 Analisis Lingkungan Strategis

PERUMUSAN STRATEGI. 6.1 Analisis Lingkungan Strategis VI. PERUMUSAN STRATEGI Formulasi alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap di Lampung Barat dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap identifikasi faktor strategis yang meliputi faktor internal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas lautan hampir 70% dari total luas wilayahnya, memiliki keberagaman dan kekayaan sumber daya laut yang berlimpah. Pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi lestari perikanan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam, mulai dari sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat pada tahun 2010 terhadap

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertanian merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya untuk menghasilakan bahan pangan, bahan baku untuk industri, obat ataupun menghasilkan sumber energi. Secara sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi perikanan. Artinya, kurang lebih 70 persen dari wilayah Indonesia terdiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sektor perikanan Indonesia cukup besar. Indonesia memiliki perairan laut seluas 5,8 juta km 2 (perairan nusantara dan teritorial 3,1 juta km 2, perairan ZEE

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

1. Secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah.

1. Secara terus menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah. PEMBANGUNAN DAERAH Menurut Balkley, 1988 pembangunan daerah merupakan fungsi dari sumber daya manusia dan alam, investasi, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi teknologi, teknologi lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang memiliki peran penting bagi suatu negara. Perdagangan internasional memberikan manfaat berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet

BAB I PENDAHULUAN. Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia atau bumi adalah planet ketiga dari matahari yang merupakan planet terpadat dan terbesar kelima dari delapan planet dalam tata surya yang digunakan sebagai tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2018

RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2018 RENCANA KERJA DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2018 DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2017 PERAN DISLAUTKAN DIY Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sektor kelautan

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci