AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT"

Transkripsi

1 TESIS AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL NGAKAN KETUT WIRA SUASTIKA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 TESIS

2 AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL NGAKAN KETUT WIRA SUASTIKA NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

3 DAFTAR ISI Halaman PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PERSETUJUAN... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... viii ABSTRACT... ix RINGKASAN... x DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR SINGKATAN... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV Epidemiologi Etiologi Dampak Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV Dampak anemia terhadap kualitas hidup Anemia dan survival Eritropoesis dan Hemoglobin... 14

4 2.5 Aktivasi Imun Pada Infeksi HIV Akivasi Imun dan Disregulasi Sitokin Abnormalitas Eritropoesis Pada Infeksi HIV Pengaruh inflamasi/aktivasi imun terhadap eritropoesis Apoptosis sel progenitor eritroid, peranan Interferon-γ Mekanisme IFN-γ menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid Mekanisme Patogenesis Penurunan Jumlah Sel Limfosit T CD Aktivasi imun dan apoptosis sel limfosit T CD4 + (activation-induced cell death/apoptosis) Apoptosis sel T CD4 +, peranan Fas/APO-1/CD Status Imun Pada Penderita Terinfeksi HIV Total Lymphocyte Count (TLC) Sebagai Marker Pengganti (Surrogate Marker) Jumlah Limfosit T CD4 + Dalam Memulai Terapi ARV Pada Daerah Dengan Sumber Daya Terbatas (resource-limited settings) BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis BAB IV METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Populasi Penelitian Populasi Target Populasi Terjangkau Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel Besar sampel Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi Kriteria eksklusi... 53

5 4.7 Bahan dan Instrumen Penelitian Alur Penelitian Variabel Penelitian Identifikasi variabel Definisi operasional variabel Analisis Data BAB V HASIL PENELITIAN BAB VI PEMBAHASAN BAB VII SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

6 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Klasifikasi imunologis infeksi HIV menurut WHO Tabel 4.1 Variabel dalam uji diagnostik Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Tabel 5.2 Data Parameter Hematologi Tabel 5.3 Frekuensi Leukopenia, Anemia, dan Trombositopenia Tabel 5.4 Klasifikasi Kadar Hemoglobin dan Jumlah Limfosit CD Tabel 5.5 Frekuensi Anemia Menurut Klasifikasi Jumlah Limfosit CD Tabel 5.6 Korelasi Kadar Hemoglobin dan Parameter Lainnya dengan Jumlah Limfosit CD Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Linear Kadar Hemoglobin, Jumlah Limfosit CD4 +, Infeksi Tuberkulosis, dan IMT Tabel 5.8 Area Under Curve (AUC) TLC dalam Dalam Memprediksi Imunodefisiensi berat Tabel 5.9 Analisis tabel 2x2 antara TLC dengan jumlah limfosit CD Tabel 5.10 Area Under Curve (AUC) Kombinasi TLC dan Kadar Hemoglobin dalam Dalam Memprediksi Imunodefisiensi berat Tabel 5.11 Analisis tabel 2x2 kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit CD

7 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kurva Kaplan-Meier waktu kematian pada penderita terinfeksi HIV dengan hemoglobin normal, anemia ringan, atau anemia berat dalam penelitian EuroSIDA Gambar 2.2 Gambaran proses eritropoesis normal Gambar 2.3 Struktur hemoglobin Gambar 2.4 Peningkatan aktivitas imun pada kondisi inflamasi mengakibatkan apoptosis sel eritroid progenitor Gambar 2.5 Apoptosis (programmed cell death) pada infeksi HIV Gambar 2.6 Apoptosis limfosit CD4 + yang dimediasi oleh Fas/APO Gambar 2.7 Model bagaimana mekanisme kerja sistem Fas/APO-1 - FasL/APO-1L dalam menimbulkan apoptosis Gambar 3.1 Kerangkan Konsep Penelitian Gambar 4.1 Alur penelitian Gambar 5.1 Frekuensi Anemia Pada Sampel Gambar 5.2 Frekuensi Sampel Berdasarkan Jumlah Limfosit CD Gambar 5.3 Grafik Scatter plot korelasi kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD Gambar 5.4 Kurva ROC variabel TLC dalam memprediksi jumlah Imunodefisiensi berat Gambar 5.5 Kurva ROC kombinasi TLC dan Kadar Hemoglobin dalam Memprediksi jumlah Imunodefisiensi berat... 77

8 DAFTAR SINGKATAN ACD : anemia on chronic disease AIDS : Acquired immunodeficiency syndrome anti-fas Mo-Ab : anti-fas monoclonal antibody APC : Antigen precenting cell APO-1 : sel yang mengekspresikan reseptor APO-1 APO-1L : APO-1 ligand ARV : antiretroviral BFU-E : burst forming units-erythroid BMMC : bone marrow mononuclear cells CD4 + : Cluster of Diferrentiation 4 CDC : Department of health and human services Centers for Disease Control and Prevention CFU-E : colony forming units-erythroid ELISA : enzim-linked immunoabsorbent assay FACS : flow cytomery activated cell shorter scan FasL : Fas ligand Fpn : ferroportin Gp120 : glikoprotein 120 HepC : hepcidin HIV : Humman Immunodeficiency Virus HLA : Human leucocyte antigen IFN-γ : Interferon-γ IL : Interleukin LH+ : positive likelihood ratio LH- : negative likelihood ratio MCH : Mean corpuscular hemoglobin MCV : Mean corpuscular volume MCHC : Mean corpuscular hemoglobin concentration MHC : Major histocompability complex NPV : Negative predicted value PBMC : peripheral blood mononuclear cells

9 PPV rhγepo rhγifn SCF stfr Tat TB TCR TLC TNF-α UNAIDS WHO : Positive predicted value : recombinant human erythropoietin : recombinant human Interferon-γ : stem cell factors : soluble transferin receptor : Trans-Activator transciption : Tuberkulosis : T- cells receptors : Total lymphocyte count : Tumour necrosis factor-α : Joint United Nations Programme on HIV/AIDS : World Health Organization

10 DAFTAR LAMPIRAN halaman Lampiran 1 Informed Concern Lampiran 2 Formulir Persetujuan Tertulis Lampiran 3 Formulir Penelitian Lampiran 4 Daftar penyakit yang digolongkan dalam infeksi opportunistik pada infeksi HIV yang ditetapkan menurut CDC (1999) Lampiran 5 Stadium Klinis Infeksi HIV menurut WHO Lampiran 6 Data sheet SPSS Lampiran 7 Output analisis data SPSS Lampiran 8 Surat Keterangan Laik Etik (ethical clearance) Lampiran 9 Surat Ijin Penelitian

11 AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana NGAKAN KETUT WIRA SUASTIKA NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

12 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 24 JUNI 2013 Pembimbing I Pembimbing II Prof. Dr. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI NIP Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM NIP Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS NIP Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K) NIP

13 Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal 24 Juni 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 881/UN14.4/HK/2013 Tanggal 11 Juni 2013 Ketua : Prof. Dr. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI Anggota : 1. Dr. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM 2. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro 3. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD 4. Dr. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes

14 UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-nya, tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. DR. dr. K. Tuti Parwati Merati, SpPD-KPTI, pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada DR. dr. Ketut Suega, SpPD-KHOM, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. DR.dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana yang dijabat Prof. DR. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) serta Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. Dr.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And. FAACS atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis pula penulis mengucapkan terima kasih pada Prof. DR. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Ketut Agus Somia, SpPD-KPTI; dr. Made Susila Utama, SpPD-KPTI; dr. A.A.A Yuli Gayatri, SpPD; dr. Dewi Dian Sukmawati, SpPD, staf Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah atas masukan, bimbingan, dorongan, dan bantuannya dalam penyusunan Tesis ini. Kepala Poliklinik VCT dan semua staf yang telah memberikan bantuan selama melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, PhD; Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro; DR. dr. Ida Sri Iswari, SpMK, M.Kes, yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini.

15 Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ayah dan almarhum Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis. Seluruh Keluarga Besar Residen Interna atas kerjasama yang baik selama ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Denpasar, April 2013 Penulis

16 ABSTRAK AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL Pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + tidak selalu tersedia sehingga diperlukan penanda laboratorium sederhana yang dapat diperiksa pada daerah dengan sumber daya terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + dan mengetahui akurasi diagnostik kombinasi total lymphocyte count (TLC) dan kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi ARV. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik. Untuk mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + digunakan uji korelasi Spearman. Untuk menentukan Cut off point kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat digunakan metode receiver operator characteristic (ROC). Melalui uji diagnostik dengan metode analisis multivariat berjenjang dapat dihitung akurasi diagnostik TLC sendiri serta kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat. Didapatkan korelasi positif kuat yang signifikan antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + (r = 0,683; p < 0,001). Didapatkan cut off point kadar hemoglobin 12,2 gr/dl pada laki-laki dan 11,2 gr/dl pada perempuan dalam memprediksi imunodefisiensi berat. Dengan metode ROC didapatkan akurasi diagnostic TLC yang ditunjukkan oleh nilai area under curve (AUC) adalah sebesar 77,4% (IK 95% 68% 86,7 %) sedangkan akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin adalah sebesar 89,3% (IK 95% 83,2% - 95,5%) dalam memprediksi imunodefisiensi berat. Kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri sebesar 11,9% dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV sehingga dapat digunakan sebagai penanda pengganti (surrogate marker) jumlah limfosit CD4 + dalam memulai terapi ARV pada daerah dimana pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + atau viral load tidak tersedia. Kata kunci: Hemoglobin, Total lymphocyte count (TLC), Jumlah limfosit CD4, akurasi diagnostik.

17 ABSTRACT DIAGNOSTIC ACCURACY OF THE COMBINATION OF TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) AND HEMOGLOBIN LEVEL FOR PREDICTING SEVERE IMMUNODEFICIENCY IN PATIENTS WITH HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRE ANTIRETROVIRAL THERAPY Examination of the CD4 + lymphocytes count is not always available, so we need a simple laboratory markers that can be examined in resource-limited areas. This study was aimed to determining the correlation between hemoglobin levels with CD4 + lymphocyte count and determining the diagnostic accuracy of the combination of total lymphocyte count (TLC) and hemoglobin levels for predicting severe immunodeficiency in HIV-infected patients pre ARV therapy. This study was an observational study with analytic cross-sectional design. Spearman correlation test was used to determine the correlation between hemoglobin levels and CD4 + lymphocyte counts. Receiver operator characteristic (ROC) methode was used to determine hemoglobin level cut off point in predicting severe immunodeficiency. Diagnostic accuracy of TLC alone and combined TLC and hemoglobin levels in predicting severe immunodeficiency was calculated through a diagnostic test with multistep multivariate analysis methods. A significant strong positive correlation was proved between hemoglobin levels and CD4 + lymphocyte count (r = 0.683, p <0.001). We found cut off point of hemoglobin level was 12.2 g/dl in male and 11.2 g/dl in female for predicting severe immunodeficiency. With the ROC method, diagnostic accuracy of TLC indicated by the value of area under the curve (AUC) was 77.4% (95% CI 68% %), and the diagnostic accuracy of the combination of TLC and hemoglobin levels was 89.3% ( 95% CI 83.2% %) in predicting severe immunodeficiency. This study showed that a combination of TLC and hemoglobin levels can increase 11,9% of the diagnostic accuracy of TLC alone in predicting severe immunodeficiency in HIV-infected patients that can be used as a surrogate marker of CD4 + lymphocyte count in initiating antiretroviral therapy where the laboratory test for CD4 + lymphocyte count or viral load is not available. Key words: Hemoglobin, total lymphocyte count (TLC), CD4 + lymphocytes count, diagnostic accuracy.

18 RINGKASAN AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL Pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + yang merupakan gold standar untuk memulai terapi ARV tidak selalu tersedia, sehingga diperlukan penanda laboratorium sederhana yang dapat diukur untuk menilai progresifitas penyakit pada sumber daya yang terbatas. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik untuk mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah total limfosit T CD4 +. Dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk mengetahui akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV. Didapatkan korelasi positif kuat yang signifikan antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + (r = 0,683; p < 0,001). Didapatkan cut off point kadar hemoglobin 12,2 gr/dl pada laki-laki dan 11,2 gr/dl pada perempuan dalam memprediksi imunodefisiensi berat. Dengan prosedur ROC didapatkan akurasi diagnostik TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat yang ditunjukkan oleh nilai area under curve (AUC) adalah sebesar 77,4% (IK 95% 68,0% 86,7 %) dengan sensitifitas 59,5 %; spesifisitas 95,2%; PPV 98,1%; NVP 35,7%, LH+ 12,3; dan LH- 0,42. Sedangkan akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin adalah sebesar 89,3% (IK 95% 83,2% - 95,5%) dengan sensitifitas 83,14 %; spesifisitas 90,47%, PPV 97,3%; NVP 55,8%; LH+ 8,7, dan LH- 0,18. Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri sebesar 11,9% dan peningkatan sensitifitas dari 59,5% menjadi 83,1% dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV. Jadi kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat digunakan sebagai penanda pengganti (surrogate marker) jumlah limfosit CD4 + dalam memulai terapi ARV pada daerah dengan sumber daya terbatas dimana pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + atau viral load tidak tersedia.

19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Laporan UNAIDS tahun 2010 menyatakan bahwa walaupun secara global infeksi HIV baru turun 19%, namun jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS tetap naik karena angka kematian yang turun dimana tahun 2010 diperkirakan sebanyak 33,3 juta orang hidup dengan HIV/AIDS. Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2011) terdapat total kasus AIDS di seluruh Indonesia secara kumulatif. Anemia adalah komplikasi yang sering terjadi pada penderita HIV, yaitu sekitar 20-80% (Balperio, dkk., 2006). Anemia lebih sering terjadi daripada leukopenia atau trombositopenia pada penderita AIDS (Attili, dkk., 2008). Anemia pada penderita HIV/AIDS memberikan dampak yang sangat besar terhadap kualitas hidup penderita. Penelitian menunjukkan penurunan kualitas hidup pada penderita HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga secara independen berhubungan dengan progresifitas penyakit dan penurunan survival (Russel, dkk., 2010). Intervenesi untuk mencegah terjadinya anemia dapat meningkatkan survival penderita terinfeksi HIV (Sullivan, dkk., 2002). Infeksi HIV dapat menimbulkan anemia melalui beberapa mekanisme antara lain: peningkatan produksi sitokin yang mempengaruhi eritropoesis (Salome, dkk., 2002; Koka, dkk., 2004; Constantini, dkk., 2009), adanya infeksi opportunistik seperti mycobacterium avium complex (Hoursborgh, dkk., 1991) dan Parvovirus B19 (Frickhofen, dkk., 1990), pemberian terapi agen kemoterapeutik seperti zidovudine, ganciclovir (Faulds dan Heel, 1990), dan trimetroprimsulfametoxazole (Keisu, dkk.,

20 1990) serta myeloptisis oleh karena kanker seperti limfosarkoma. Penyebab lain dari anemia yang berhubungan dengan HIV walaupun jarang antara lain: defisiensi vitamin B12 (Ramacha, dkk., 1991) dan destruksi eritrosit oleh mekanisme autoimun (Wasif, 2001). Penurunan kadar hemoglobin mencerminkan kecepatan progresifitas penyakit dan perkiraan prognosis pada kohort dengan demografi yang berbeda (Mocroft, dkk., 1999). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar hemoglobin dengan jumlah total sel limfosit T CD4 + darah perifer (Florence, dkk., 2004; Obirikorang, dkk., 2009; Marin, dkk., 2010; Owirebu, dkk., 2011). Mekanisme patogenesis utama terjadinya anemia dan penurunan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV adalah hampir sama yaitu melalui apoptosis sel progenitor eritroid (Maciejewski, dkk., 1995; Taniguchi, dkk., 1997; Dai, dkk., 1998) serta apoptosis limfosit T CD4 + (Cottrez, dkk., 1997; Wang, dkk., 1999; Kirschner, dkk., 2000; Sousa, dkk., 2002; Resino, dkk., 2006). Apoptosis terjadi pada limfosit T CD4 + yang telah teraktivasi sebelumnya akibat presentasi antigen oleh antigen precenting cells (APC) serta ikatan dengan protein HIV gp120 pada reseptor CD4, mekanisme ini dikenal dengan activation-induced cell death (Groux, dkk., 1992; Banda, dkk., 1992). Peningkatan aktivasi imun oleh infeksi HIV menyebabkan adanya disregulasi sitokin terutama peningkatan interferon-γ (IFN-γ) (Graziosi, dkk., 1996; Westby, dkk., 1998). IFN-γ adalah inhibitor eritropoesis yang paling poten dalam menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid (Dai, 1998). Fas reseptor/apo-1/cd95 adalah suatu molekul reseptor permukaan sel, dimana aktivasi oleh ligand-nya dapat menimbulkan tranduksi sinyal apoptosis (Krammer, dkk., 1994). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa interaksi Fas dengan Fas ligand (FasL) memainkan peranan penting dalam menimbulkan apoptosis

21 baik pada sel limfosit T CD4 + yang teraktivasi (Katsikis, dkk., 1995) maupun sel progenitor eritroid yang terpapar IFN-γ (Dai, dkk., 1998). Mekanisme tersebut di atas dapat menjelaskan terdapatnya korelasi antara penurunan kadar hemoglobin dengan penurunan jumlah total sel limfosit CD4 + pada infeksi HIV. Status imun pada penderita terinfeksi HIV dewasa dapat dinilai melalui pemeriksaan jumlah absolut limfosit T CD4 +, dan ini merupakan standar untuk menilai dan menentukan derajat imunodefisiensi. Penurunan progresif limfosit T CD4 + berhubungan dengan progresifitas penyakit dan peningkatan infeksi opportunistik dan juga kematian. WHO membuat klasifikasi imunologis untuk menilai derajat imunodefisiensi menjadi empat kategori: imunodefisiensi yang tidak signifikan/no significant immunodeficiency (CD4 + > 500 sel/mm 3 ), imunodefisiensi ringan/mild (CD sel/mm 3 ), imunodefisiensi lanjut/advanced ( CD sel/mm 3 ), dan imunodefisiensi berat/severe (CD4 + < 200 sel/mm 3 ). Sedangkan CDC (2008) mengklasifikasikan derajat imunodefisiensi menjadi tiga stadium: stadium 1 (CD4 + > 500 sel/mm 3 ), stadium 2 (CD sel/mm 3 ), dan stadium 3/AIDS (CD4 + < 200 sel/mm 3 ). Progresifitas penyakit menjadi stadium AIDS atau kematian mengalami peningkatan dengan jumlah sel CD4 < 200 sel/mm 3 (WHO, 2007a). Kesulitan dalam pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada penderita HIV adalah mengidentifikasi penderita yang benar-benar memerlukan terapi. Pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + dan viral load yang merupakan gold standar membutuhkan peralatan yang mahal dan teknisi yang terlatih serta tidak selalu tersedia pada beberapa negara dan juga beberapa daerah di Indonesia. Beberapa penanda laboratorium telah diteliti untuk tujuan ini, yaitu penanda yang sederhana yang dapat diukur untuk menilai progresifitas penyakit pada sumber daya yang terbatas.

22 Beberapa di antaranya termasuk delayed type hypersensitivity (DTH), total lymphocyt count (TLC), hemoglobin, dan body mass index (BMI) (Langford, dkk., 2007). Berdasarkan pedoman Kementerian Kesehatan RI (2007) serta WHO (2006), pada seting dimana pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + tidak tersedia, terapi ARV bisa diberikan pada penderita dengan WHO stadium III atau IV tanpa memandang jumlah limfosit total atau stadium II dengan jumlah total limfosit 1200 sel/mm 3. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat korelasi yang baik antara TLC dan jumlah limfosit T CD4 + (Fornier dan Sosenko, 1992; Blatt, dkk., 1993; Beck, dkk., 1996; van der Ryst, dkk., 1998). Namun memprediksi jumlah limfosit T CD4 + dengan TLC juga terdapat kelemahan. Letak kesulitannya adalah menentukan letak cut off point untuk TLC dalam menentukan imunodefisiensi berat (limfosit T CD4 + < 200 sel/mm 3). Cut off point ini akan mempengaruhi sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan. Dengan menurunkan level TLC untuk memprediksi jumlah limfosit T CD4 +, kita dapat mengoptimalkan spesifisitas dan meminimalkan jumlah penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + yang tinggi di misklasifikasikan sebagai sebagai penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + rendah. Akan tetapi, cut off point TLC yang rendah akan meningkatkan jumlah penderita dengan hasil false negatif. Meningkatkan cut off point dari TLC kita dapat memaksimalkan sensitifitas dan lebih dapat mendeteksi penderita dengan jumlah limfosit T CD4 + rendah akan tetapi juga meningkatkan angka false positif (Spacek, dkk., 2003; Kamya, dkk., 2004). Penelitian menunjukkan peningkatan sensitifitas TLC dalam memprediksi rendahnya jumlah limfosit T CD4 + apabila dikombinasikan dengan kadar hemoglobin (Spacek, 2003), namun apakah kombinasi ini memberikan kontribusi yang bermakna

23 terhadap penambahan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV belum pernah diteliti. Pemberian terapi ARV khususnya zidovudin akan mempengaruhi kadar hemoglobin, sehingga sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita terinfeksi HIV yang belum memulai terapi ARV (HIV naive patient). Dengan demikian akan didapatkan korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + yang disebabkan oleh aktivasi imun akibat infeksi HIV itu sendiri. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi dan besarnya korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 +. Penelitian ini juga mencoba mengkombinasikan TLC dengan kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat (CD4 < 200 sel/mm 3 ) pada penderita HIV. Kombinasi ini dapat digunakan untuk mendeteksi (screening) penderita dengan imunodefisiensi berat sehingga dapat dijadikan pedoman untuk memulai terapi ARV pada daerah dengan sumber daya terbatas dimana pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + atau viral load tidak tersedia atau menentukan apakah penderita tersebut perlu dirujuk untuk pemeriksaan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral? 2. Berapakah cut off point kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral? 3. Apakah kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral?

24 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit CD4 + pada penderita terinfeksi HIV Tujuan khusus 1. Mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral. 2. Mencari cut off point kadar hemoglobin untuk memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV antiretroviral. 3. Membuktikan bahwa kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan: dapat diketahui adanya korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit T CD4 + pra terapi antiretroviral. 2. Manfaat praktis: dengan mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 +, maka kadar hemoglobin dapat dipakai sebagai penanda adanya imunodefisiensi berat pada penderita HIV sehingga dapat dijadikan pedoman untuk memulai terapi ARV pada daerah dengan sumber daya terbatas. dimana pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + dan viral load tidak dapat dikerjakan, atau apakah penderita ini perlu di rujuk segera untuk pemeriksaan tersebut.

25 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia Infeksi HIV/AIDS merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan angka insiden, prevalensi penderita yang hidup dengan HIV/AIDS tetap meningkat. Hal ini berhubungan dengan menurunnya jumlah kematian akibat AIDS sebagai dampak pengobatan antiretroviral (ARV) pada beberapa tahun terakhir. Menurut UNAIDS, pada tahun 2009, diperkirakan 2,6 juta orang mendapatkan infeksi baru (newly infected) oleh HIV. Angka ini 19% lebih kecil dibandingkan tahun 1999 (3,1 juta orang) dan 21% lebih kecil dibandingkan tahun 1997 (3,2 juta orang) tahun dimana infeksi baru HIV mencapai puncaknya. UNAIDS juga memperkirakan terdapat 33,3 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir tahun 2009, meningkat 27% dibandingkan tahun 1999 (26,2 juta orang). Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2011) terdapat total kasus AIDS di seluruh Indonesia secara kumulatif. Prevalensi kasus AIDS di Indonesia secara nasional adalah 11,09 per penduduk. Sedangkan jumlah kasus baru HIV/AIDS secara nasional pada tahun 2010 adalah kasus, lebih tinggi daripada tahun sebelumnya (3.863 kasus). Angka ini didominansi golongan usia produktif (20-40 tahun), serta heteroseksual sebagai faktor risiko. 2.2 Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV Epidemiologi Anemia adalah komplikasi yang sering ditemukan pada penderita terinfeksi HIV dan disebabkan oleh penyebab yang multifaktorial. Pada studi retrospektif terhadap

26 rekam medis penderita terinfeksi HIV di 9 kota di Amerika didapatkan distribusi dari kadar hemoglobin sangat bervariasi tergantung stadium dari penyakit. Pada penderita terinfeksi HIV tanpa gejala klinis AIDS, 72% pada pria dan 69% pada wanita memiliki kadar hemoglobin dalam batas normal (masing-masing lebih dari 14 atau 12 g/dl). Akan tetapi pada penderita dengan gejala klinis AIDS hanya 13% pada pria dan 23% pada wanita yang memiliki kadar hemoglobin dalam batas normal. Insiden anemia berhubungan dengan stadium penyakit dimana insiden dalam satu tahun adalah 3,2 % penderita terinfeksi HIV tanpa gejala klinis AIDS dan 36,9% pada penderita dengan gejala klinis AIDS. Kejadian anemia pada infeksi HIV lebih banyak terjadi pada ras kulit hitam serta jenis kelamin perempuan (Sullivan, 2008). Penelitian Levine, dkk (2001) pada 2056 perempuan dengan HIV positif dan 569 perempuan dengan HIV negatif menunjukkan bahwa 37% dari perempuan dengan HIV positif menderita anemia sedangkan hanya 17% prevalensi anemia pada HIV negatif. Perempuan dengan HIV positif juga lebih cenderung mengalami anemia berat dibandingkan dengan HIV negatif. Anemia lebih sering terjadi pada ras kulit hitam daripada ras lainnya, pada perempuan terinfeksi HIV, 44,9% terjadi pada ras kulit hitam, sedangkan 25,7% pada ras kulit putih dan 24,8% pada ras latina. Penelitian di Ghana pada 442 penderita dengan HIV/AIDS mendapatkan insiden anemia sebesar 63% pada penderita pra ARV, lebih besar secara signifikan dibandingkan penderita dengan terapi ARV yaitu 46% (Owiredu, 2011) Etiologi Penyebab anemia pada penderita HIV adalah multifaktorial, namun penurunan produksi eritrosit akibat eritropoesis yang inefektif merupakan faktor utama dibandingkan penyebab lain. HIV secara langsung mempengaruhi sel progenitor hematopoetik sumsum tulang atau secara tidak langsung melalui melalui efek sitokin

27 yang menyebabkan penurunan produksi eritrosit. Interferon-γ (IFN-γ), tumour necrosis factor-α (TNF-α) dan beberapa sitokin lain dapat menghambat hematopoesis. Level sitokin tersebut ditemukan meningkat pada penderita terinfeksi HIV. Pengobatan terhadap infeksi HIV dan penurunan viral load menggunakan ARV dapat memperbaiki hematopoesis (Claster S, 2002). Infeksi opportunistik juga dapat menyebabkan anemia pada penderita HIV. Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi opportunistik tersering pada infeksi HIV dan diketahui menyebabkan anemia on chronic disease (ACD). Infeksi parvovirus B19 yang menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap jumlah eritrosit. Penelitian Naides, dkk (1993) menunjukkan empat dari sembilan pasien dengan viremia B19 yang persisten setelah diperiksa secara serial menderita anemia berat (hemoglobin < 8,5 g/dl) bahkan setelah zidovudin dihentikan. Sedangkan 5 penderita dengan anemia berat yang mengalami perbaikan setelah zidovudin dihentikan tidak menunjukkan viremia B19. Penelitian pada tujuh penderita HIV dengan pure red cell aplasia menunjukkan terdapat giant pronormoblast pada sumsum tulang akibat infeksi akut dari parvovirus B19 (Frichofen, 1990). Micobacterium avium complex dapat mengenai beberapa organ. Organ yang paling sering terkena adalah darah, sumsum tulang, hati, limpa, dan limfonodi. Anemia berat adalah salah satu tanda infeksi mikroorganisme ini (Desforges, 1991). Anemia juga dapat disebabkan oleh efek samping dari pengobatan, walaupun banyak obat yang digunakan untuk terapi HIV/AIDS adalah bersifat myelosupresif, anemia berat lebih sering terjadi akibat penggunaan zidovudin. Cotrimoxazole menghambat metabolisme asam folat dan beberapa penelitian telah melaporkan adanya kelainan akibat penggunaannya. Kelainan ini potensial diperburuk jika penggunaannya dikombinasi dengan myelosupresif dan obat anti asam folat seperti

28 zidovudin. Penelitian pada 982 penderita HIV dengan pemberian cotrimoxazole profilaksis menunjukkan peningkatan persentase penderita dengan kelainan hematologi antara lain: leukopenia (2,1%), neutropenia (2,0%), trombositopenia (2,3%), dan anemia (2,3%). Data ini telah distratifikasi dengan mean jumlah CD4 + (Watera, 2007). Penelitian oleh Keizu tahun 1990, dalam periode 10 tahun ( ) terdapat total 154 kasus dengan diskrasia darah dilaporkan di Swedia dimana setelah dievaluasi berhubungan penggunaan cotrimoxazole. Kelainan tersebut berupa 61 kasus leukopenia, 28 kasus trombositopenia, dan 2 kasus anemia non hemolitik. Ganciclovir adalah analog nukleosid dengan dengan aktivitas antivirus secara invitro terhadap grup herpes virus dan beberapa virus DNA yang lain. Efek terhadap sistem hematologi sering terjadi pada pemberiannya, tetapi efek ini bersifat reversibel (Faulds dan Heel, 1990) Perubahan pada hormon eritropoesis seperti penurunan hematopoetic growth factor dan eritropoetin dapat menyebabkan anemia. Produksi eritropoetin oleh ginjal dibutuhkan untuk menstimulasi prekursor eritroid sumsum tulang untuk berproliferasi dan meningkatkan produksi eritrosit, jadi insufisiensi renal yang berat memberikan kontribusi terhadap terjadinya anemia pada penderita terinfeksi HIV. Produksi eritrosit normal juga membutuhkan fungsi sumsum tulang yang normal, jadi harus bebas dari infeksi dan tumor. Walaupun relatif jarang, defesiensi vitamin B 12 merupakan penyebab anemia pada penderita HIV. Studi prospektif terhadap 60 penderita terinfeksi HIV yang dirawat di rumah sakit. Kadar serum vitamin B12 yang rendah didapatkan pada 10 penderita (16,7%). Pemberian terapi parenteral memberikan respon yang berbeda walaupun serum vitamin B12 telah terkoreksi (Remacha, 1991).

29 Walaupun penyebab utama terjadinya anemia pada penderita terinfeksi HIV disebabkan oleh penurunan produksi eritrosit, adalah penting untuk mempertimbangkan penyebab lain seperti hemolisis serta perdarahan gastrointestinal yang dapat terjadi pada penderita ini. Hasil yang positif pada direct Coombs tes dilaporkan terdapat pada 20% sampai 40% penderita HIV. Walaupun demikian autoimmune hemolytic anemia (AIHA) jarang terjadi pada penderita ini. Walaupun belum jelas, mekanisme patofisiologi penyakit ini berhubungan dengan produksi antibodi antieritrosit, hipergammaglobulinemia, atau terbentuknya kompleks imun. Hal ini mungkin disebabkan oleh defek secara umum pada regulasi produksi antibodi akibat infeksi HIV (Saif, 2001). Anemia pada penderita terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan apa yang dinamakan anemia on chronic disease karena sering penurunan produksi eritrosit terjadi sekunder akibat Infeksi HIV yang kronik. Hal ini disertai dengan menurunnya respon terhadap eritropoetin. 2.3 Dampak Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV Dampak anemia terhadap kualitas hidup Fatigue adalah adalah gejala utama tersering pada penderita HIV, hal ini menyebabkan gangguan fungsi fisik dan penurunan kualitas hidup. Perkiraan prevalensi fatigue pada penderita HIV yang asimtomatik berkisar antara 10% sampai 30%, sedangkan pada penderita dengan stadium lanjut mencapai 50% (Breibhart, dkk., 1998; Darko, dkk., 1992). Saat anemia yang berhubungan dengan infeksi HIV dapat diatasi, secara umum terdapat peningkatan kualitas hidup penderita. Bukti ini ditunjukkan oleh penelitian Revicki, dkk (1994) pada studi multisenter untuk mengevaluasi efek terhadap pemberian recombinant human erythropoietin (epoetin alfa) pada kualitas

30 hidup penderita HIV dengan anemia. Penderita dengan anemia yang terkoreksi dengan epoetin alfa menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam energi/fatigue, home management, kesehatan yang memuaskan (health satisfaction), kesehatan global dibandingkan dengan penderita dengan anemia yang tidak terkoreksi. Studi selanjutnya meneliti hubungan pemberian epoetin alfa terhadap kualitas hidup penderita HIV. Pada penderita ini tetap diberikan zidovudin dengan kombinasi dengan antiviral yang lain termasuk protease inhibitor. Analisis kualitas hidup pasien distratifikasi berdasarkan jumlah limfosit CD4 +. Hasilnya, terapi epoetin alfa secara signifikan memperbaiki anemia dan menurunkan kebutuhan transfusi, independent terhadap jumlah CD4 +. Lebih lanjut, peningkatan kadar hemoglobin secara signifikan memperbaiki kualitas hidup penderita terutama kesehatan fisik (Abrams, 2000) Anemia dan survival Beberapa penelitian menunjukkan bukti yang konsisten mengenai hubungan antara anemia dengan mortalitas pada penderita terinfeksi HIV. Hasil penelitian multisenter menunjukkan bahwa penderita terinfeksi HIV dengan anemia memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mortalitas dibandingkan dengan penderita tanpa anemia, walaupun setelah dikontrol dengan beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi survival seperti viral load atau jumlah limfosit T CD4 +. The Center for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian pada kohort retrospektif yang besar (large retrospective observational cohort study) dimana informasi dikumpulkan dari rekam medis dari penderita HIV positif yang diobati di rumah sakit, klinik dan praktek swasta di seluruh Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penderita anemia memiliki median survival yang lebih pendek secara signifikan dibandingkan dengan penderita tanpa anemia (Sullivan, 1998).

31 The EuroSIDA study group melakukan dan menganalisis data kohort retrospektif yang dikumpulkan di Eropa pada 6725 penderita dengan kadar hemoglobin normal, anemia ringan, dan berat. Kurva Kaplan Meier menunjukkan proporsi penderita yang meninggal dalam beberapa bulan sejak observasi (gambar 2.1). Pada penderita, 3,1% tanpa anemia, 15,9% dengan anemia ringan dan 40,8% dengan anemia berat, meninggal setelah 12 bulan. Perbedaan antara 3 kelompok berbeda secara signifikan (p<0,001) (Mockrof dkk., 1999). Gambar 2.1 Kurva Kaplan-Meier waktu kematian pada penderita terinfeksi HIV dengan hemoglobin normal (Hb), anemia ringan, atau anemia berat dalam penelitian EuroSIDA Sumber: Mockroft A, Kirk O, Barton SE, Dietrich M, Proenca R, Colebunders R, Pradier C, Monforte A, Ledergerber B, Lundgren JD, Anemia is an independent predictive marker for clinical prognosis in HIV-infected patients from across Europe. J Acquir Immune Defic Sindr 13: Penelitian yang lain menanalisis hubungan antara kadar hemoglobin dan survival pada pada 2343 penderita terinfeksi HIV. Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin <9,5 g/dl. Hasilnya menunjukkan penderita dengan anemia memiliki risiko kematian yang lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan penderita tanpa anemia. Hubungan ini independen terhadap jumlah limfosit CD4 +, adanya infeksi oportunistik, umur, serta penggunaan antiretroviral maupun terapi infeksi opportunistik (Moore, dkk., 1998).

32 Perbaikan anemia juga menunjukkan hubungan terhadap survival pada penderita HIV. Pada studi kohort yang dilakukan CDC terhadap 3203 penderita HIV dengan anemia menunjukkan perbaikan terhadap anemia secara signifikan menurunkan risiko terhadap kematian walaupun telah dikontrol dengan jumlah limfosit T CD4 +. (Sulivan, dkk., 1998). Penelitian Moore dkk. (1998) juga menunjukkan koreksi anemia dengan pemberian epoetin alfa menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap risiko kematian. Hubungan ini tetap setelah dikontrol dengan faktor yang diketahui mempengaruhi prognosis. 2.4 Eritropoesis dan Hemoglobin Sistem eritroid terdiri dari sel darah merah (red cell) atau eritrosit dan prekursor eritroid. Unit fungsional dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron (erythron) yang mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen (oxygen carrier). Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hematopoetik, melalui jalur sel induk myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, yaitu BFU-E dan selanjutnya CFU-E. Prekursor eritroid yang dapat dikenal secara morfologik konvensional dalam sumsum tulang dikenal dengan pronormoblast, kemudian berkembang menjadi basophilic (early normoblast), selanjutnya polychromatophilic normoblast, dan acidophilic (late) normoblast. Sel ini kehilangan intinya, masih tertinggal sisa-sisa RNA, yang jika di cat dengan pengecatan khusus akan tampak seperti jala sehingga disebut retikulosit. Retikulosit akan dilepas ke darah tepi, kehilangan sisa RNA sehingga menjadi eritrosit dewasa. Proses ini dikenal sebagai eritropoesis. Proses pembentukan eritrosit memerlukan: sel induk (BFU-E, CFU-E, normoblast); bahan pembentuk eritrosit (besi, vitamin B12, asam folat, protein); mekanisme regulasi (faktor pertumbuhan hematopoetik dan hormon eritropoetin) (Greer, dkk., 2004).

33 Prekursor eritroid pada beberapa stadium perkembangan berinteraksi dengan makrofag sumsum tulang. Lingkungan mikro ini sering disebut dengan erythroid island (gambar 2.2). Proses perkembangan eritrosit tergantung dari adanya eritropoetin (Epo-dependent) dimana secara langsung akan mempengaruhi proliferasi dan survival dari progenitor eritroid. Prekursor eritroid yang masih memiliki nukleus disebut eritroblas mengekspresikan transferin reseptor (TfR) dalam kadar yang tinggi, reseptor ini diperlukan untuk uptake besi dari transferin serum. Jika produksi hemoglobin telah mencukupi, TfR disimpan dan membentuk soluble-transferin reseptor (stfr) (Roy, 2010). Gambar 2.2. Gambaran proses eritropoesis normal A. Prekursor eritroid matur dalam sumsum tulang dalam kontak dengan sentral makrofag; B. Setelah proses hemoglobinisasi lengkap, prekursur eritroid mengeluarkan nukleusnya dan masuk ke dalam sirkulasi; C. Senescent erythrocytes difagosit oleh makrofag jaringan, dimana besi mengalami recycled; D. Besi dikembalikan ke eritron via transferin. Sumber: Roy CN, Anemia of inflammation. Blood 83: Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES.

34 Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar tujuh mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri dari: membran eritrosit, sistem enzim, dan hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas: heme, yang merupakan gabungan protoforfirin dengan besi; dan globin, bagian protein yang terdiri dari dua rantai alfa dan dua rantai beta (gambar 2.3). Gambar 2.3 Struktur Hemoglobin. Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian anemia maka kita perlu menetapkan definisi anemia. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (Beutler, dkk., 2001). Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas hemoglobin yang bisa kita anggap sudah tejadi anemia. Cutoff point yang umum dipakai adalah kriteria WHO (1989). Dinyatakan anemia bila: laki-laki dewasa hemoglobin < 13 gr/dl; perempuan dewasa tidak hamil emoglobin < 12 gr/dl.

35 2.5 Aktivasi Imun Pada Infeksi HIV Untuk mengetahui patogenesis anemia pada penderita terinfeksi HIV, terlebih dahulu harus dipahami pengaruh infeksi HIV terhadap aktivasi sel limfosit dan monosit yang akan menyebabkan adanya disregulasi sitokin, kemudian bagaimana sitokin pro inflamasi mempengaruhi eritropoesis normal. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit T, monosit, dan makrofag pada infeksi HIV berada dalam keadaan teraktivasi yang ditandai peningkatan marker akivasi pada permukaan selnya serta peningkatan jumlah memory/primed/activated T cell dan penurunan naïve/resting T cell. Aktivasi sel limfosit T terjadi karena presentasi antigen pada T cell receptor (TCR) oleh antigen precenting cells (APC) serta protein HIV seperti gp120 pada reseptor CD4 sel T. Parameter dari aktivasi imun ini dapat memberikan nilai prognostik yang kuat dalam memprediksi progresifitas penyakit. Hazenberg, dkk (2003) melakukan penelitian pada 149 pria homosexual penderita terinfeksi HIV yang dilakukan pada peripheral blood mononuclear cells (PBMC). Sampel diambil sebelum terjadinya serokonversi dan 1 serta 5 tahun setelah serokonversi. Level dari marker aktivasi sel dari sel limfosit T CD4 + dan CD8 + seperti CD38, HLA-DR, CD70, dan Ki67 diukur menggunakan flow cytomery activated cell shorter scan (FACS scan). CD38 dan HLA-DR (MHC class II antigen) adalah dua antigen yang diketahui meningkat ekspresinya pada sel T yang telah teraktivasi. CD70 merupakan famili dari reseptor tumor necrosis factor (TNF) diekspresikan pada sel T yang teraktivasi dan mengontrol besar dan durasi dari respon sel T. Penderita terinfeksi HIV menunjukkan peningkatan ekspresi CD70 dimana mencerminkan menetapnya peningkatan level dari aktivasi imun. Ki67 adalah antigen inti sel dimana diekspresikan secara khusus oleh sel yang dalam keadaan membelah,

36 karena itu sering digunakan sebagai marker untuk proliferasi sel T. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah serokonversi terjadi peningkatan secara signifikan ekspresi Ki67, HLA-DR, CD38 dan CD70 pada sel T CD4 + dan CD8 + dibandingkan nilai pada preserokonversi. Pada penderita yang progresifitas penyakitnya lambat (slow progresor) ekspresi Ki67 stabil stiap waktu, akan tetapi pada yang progresifitas penyakitnya cepat (fast progresor) terdapat peningkatan secara signifikan ekspresi antigen ini pada sel T CD4 + dan CD8 +. Korelasi negatif kuat didapatkan pada jumlah total sel CD4 + dengan dengan level ekspresi dari Ki67, HLA-DR, CD 38 (r: -0,506-0,599; p<0,005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan level aktivasi sistem imun yang persisten setelah fase akut dari infeksi HIV. Seperti pada infeksi HIV-1, jumlah sel T CD4 + mengalami penurunan secara progresif pada infeksi HIV-2, akan tetapi penurunannya lebih lambat dan level viremia lebih rendah pada setiap stadium penyakit. Sousa, dkk (2002) melakukan penelitian potong lintang pada 27 penderita terinfeksi HIV-2, dan 26 penderita terinfeksi HIV-1, serta 25 individu sehat sebagai kontrol. Hasilnya menunjukkaan bahwa untuk jumlah sel T CD4 + yang sama, penderita terinfeksi HIV-1 maupun HIV- 2 menunjukkan level yang sama pada marker aktivasi dan proliferasi sel meskipun terdapat perbedaan yang besar pada plasma viral load. Hal ini ditandai dengan: 1. Imbalans rasio populasi sel T naïve : memory; 2. Peningkatan ekspresi marker aktivasi sel T CD4 + dan CD8 + (HLA-DR, CD38, CD69, Fas/CD95). Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat antara aktivasi imun dan penurunan jumlah sel T CD4 + pada infeksi HIV dan hubungan yang tidak langsung dengan viral load. Penelitian lain bertujuan mengetahui hubungan antara penurunan jumlah sel T CD4 + dan aktivasi imun pada anak yang terinfeksi HIV-1 dengan terapi ARV. Penelitian potong lintang dilakukan pada 143 anak dengan terapi ARV lebih dari 24

37 minggu, sebagai kontrol juga diperiksa 23 anak sehat. Hasilnya, anak yang terinfeksi HIV dengan persentase CD4 + yang rendah memiliki sel T CD4 + memori (CD45RO + ) yang tinggi dan sel CD4 naïve + (CD45RA + ) yang rendah. Lebih lanjut, anak dengan CD4 > 25% memiliki jumlah sel T CD4 + memori dan naive yang sama dengan grup kontrol. Pada anak dengan persentase CD4 + rendah menunjukkan peningkatan yang signifikan ekspresi HLA-DR, dan CD38 pada sel T CD4 + dan CD8 + independen terhadap level viral load. Penelitian ini mencerminkan bahwa pada penderita terinfeksi HIV dengan terapi ARV memiliki ekspresi marker aktivasi sel T yang tinggi pada jumlah sel T CD4 + yang rendah. Anak dengan infeksi HIV dengan persentase CD4 + yang terendah memiliki jumlah sel T CD4 + memori dan teraktivasi tertinggi dan juga jumlah naive sel T CD4 + dan CD8 + yang terendah. Jadi, penurunan jumlah sel T CD4 + pada penderita berhubungan dengan level yang tinggi dari aktivasi sel T yang diinduksi oleh replikasi HIV yang kontiniu (Resino, 2006). 2.6 Aktivasi Imun dan Disregulasi Sitokin Inflamasi telah diketahui sebagai penyebab disfungsi imun pada penderita terinfeksi HIV, mengindikasikan bahwa aktivasi imun adalah faktor penyebab lemahnya imunitas dan progresifitas penyakit pada penderita terinfeksi HIV. Penelitian menunjukkan replikasi virus sendiri merupakan penyebab utama keadaan chronic inflamatory state pada penderita HIV, dimana pada penderita menunjukkan peningkatan marker dari inflamasi dan aktivasi imun. Aktivasi imun dapat mempengaruhi proses eritropoesis melalui peningkatan produksi sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interferon-γ (IFN-γ), serta interleukin-10 (IL-10) oleh sel T yang telah teraktivasi. Infeksi HIV berhubungan dengan perubahan pada imunitas seluler (cell mediated immunity) yang dapat diidentifikasi melalui kultur sel dari penderita

38 terinfeksi secara invitro. Peripheral blood mononuclear cells (PBMC) yang diisolasi dari penderita terinfeksi HIV menunjukkan ketidakseimbangan produksi sitokin yang berhubungan dengan disfungsi imunitas seluler. Penelitian Graziosi, dkk (1996) mempelajari kinetik ekspresi dari beberapa sitokin seperti IL-2, IL-4, IL-6, IL-10, IFN-γ, dan TNF-α pada PBMC sembilan penderita terinfeksi HIV menggunakan teknik semiquantitative reverse transcriptasepolymerise chain reaction( RT-PCR). Hasilnya menunjukkan ekspresi dari IL-2 dan IL-4 tidak atau minimal sekali terdeteksi pada PBMC. Akan tetapi kadar IL-2 yang cukup tinggi ditemukan pada sel mononuklear yang diisolasi dari limfonodi (lymph node mononuclear cell). Ekspresi dari IL-6 terdeteksi hanya pada tiga dari sembilan pasien, dan ditemukan pada saat transisi dari fase akut ke fase kronik. Eksprei dari IL- 10 dan TNF-α konsisten terdeteksi pada semua pasien, dan kadar semua sitokin ini bersifat stabil dan meningkat menurut waktu. Sama dengan IL-10 dan TNF-α, peningkatan ekspresi dari IFN-γ terdeteksi pada semua penderita. Lima dari sembilan penderita menunjukkan puncak level ekspresi IFN-γ yang sangat awal dari infeksi HIV. Ekspresi puncak dari IFN-γ bersamaan dengan ekspansi oligoklonal dari sel T CD8 + dan sel T CD8 + paling banyak mengekspresikan sitokin ini. Sebagai tambahan, ekspresi dari IL-6, IL-10, IFN-γ, dan TNF-α oleh sel mononuklear pada limfonodi dibandingkan dengan darah perifer lebih tinggi secara signifikan (tiga kali lipat untuk tiap sitokin). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa sitokin tertentu seperti IL-2 dan IL-4 pada darah perifer mungkin tidak akurat merefleksikan situasi pada organ yang lain seperti limfonodi dan sumsum tulang. Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa sitokin mungkin diproduksi dan bekerja lokal pada jaringan tanpa masuk kedalam sirkulasi. Level dari sitokin dalam serum adalah relatif rendah dan lebih mudah dipengaruhi pleh fluktuasi diurnal dari aktivitas imun. Lebih jauh lagi, sitokin berbeda

39 dengan hormon, dimana sitokin merupakan soluble factor yang menunjukkan efek lokal pada lingkungan seluler tertentu. Jadi, secara in vitro stimulasi terhadap sel T memberikan gambaran yang lebih baik bagaimana sel T memberikan reaksi dalam bentuk produksi sitokin. T-cell mediated response sangat berhubungan dengan adanya puncak yang awal dari ekspresi IFN-γ, dan penelitian menunjukkan bahwa respon sitokin pada saat awal memainkan peranan utama dalam menekan replikasi virus. Akhirnya, respon yang bifasik dari ekspresi sitokin (puncak yang awal dari IFN-γ dan puncak yang lambat dari IL-6, IL-10, dan TNF-α) secara jelas menggambarkan peranan sel T dalam antiviral immune respon. Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Caruso, dkk (1995). Dengan teknik immunoflorescence dan flow cytometry didapatkan bahwa pada penderita HIV mulai dari stadium awal infeksi terdapat peningkatan persentase limfosit yang memproduksi IFN-γ dibandingkan dengan kontrol sehat. Peningkatan ekspresi IFN-γ oleh limfosit meningkat dengan meningkatnya stadium penyakit. Peningkatan ekspresi sitokin ini terjadi pada sel T CD4 + maupun CD8 +. Westby, dkk. (1998) menggunakan three colour- flowcytometry activated cell shorter (FACS) menganalisis produksi sitokin intraselular pada 20 penderita terinfeksi HIV dan 20 orang sehat sebagai kontrol. Hasilnya, sel limfosit T pada penderita HIV baik yang simtomatik maupun asimtomatik menunjukkan penurunan kapasitas untuk memproduksi IL-2 khususnya pada sel T CD4 + dan peningkatan produksi IFN-γ khususnya pada sel T CD8 + dibandingkan dengan kontrol. Produksi IL-2 oleh sel T CD4 + juga juga lebih rendah secara signifikan pada penderita HIV yang simtomatik dibandingkan dengan asimtomatik. Produksi IL-2 oleh sel T CD8 + juga lebih rendah pada penderita HIV simtomatik dibandingkan dengan asimtomatik walaupun secara statistik tidak signifikan. Di sisi lain tidak terdapat perbedaan

40 produksi IFN-γ antara penderita HIV simtomatik dan asimtomatik. Jadi, aktivasi sel T yang ditandai dengan tingginya produksi IFN-γ tampak pada awal terjadinya infeksi HIV dan menetap seiring perjalanan penyakit. Sedangkan penurunan produksi IL-2 oleh sel T bersifat progresif. Perbedaan produksi IL-2 dan IFN-γ antara kelompok sampel dan kontrol tidak secara sederhana dijelaskan oleh terbaliknya rasio jumlah limfosit CD4:CD8, karena telah distratifikasi dengan jumlah sel T CD4 + maupun CD8 + pada masing-masing kelompok. Akan tetapi hasil ini disebabkan oleh penurunan kemampuan sel T CD4 + untuk memproduksi IL-2 dan peningkatan kemampuan sel T CD8 + untuk memproduksi IFN-γ akibat aktivasi sel. Terdapat korelasi negatif antara produksi IL-2 oleh sel T dengan viral load (r = -0,832), korelasi ini terdapat pada sel T CD4 + dan CD8 + (masing r = -0,435 dan -0,622). Penurunan ekspresi IL-2 dan peningkatan ekspresi IFN-γ oleh sel T juga didapatkan Fan, dkk (1993). Dengan teknik quantitative polymerise chain reaction, didapatkan ekspresi mrna untuk IL-2 yang lebih rendah dan ekspresi mrna IFN-γ yang lebih tinggi pada PBMC penderita HIV dibandingkan kontrol sehat. Penelitian dengan teknik immunofluorescence dan flow cytometric analysis juga menunjukkan peningkatan produksi IFN-γ pada penderita HIV asimtomatik dibandingkan kontrol sehat. (Caruso, dkk., 1996). Penelitian Haissman, dkk. (2009) pada 229 penderita HIV, dan 54 kontrol bertujuan mengevaluasi peranan aktivasi imun dalam peningkatan produksi sitokin dalam patogenesis infeksi HIV serta efek pemberian ARV pada parameter ini. Konsentrasi IL-6, IL-8, IL-10, TNF-α, Interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), dan monosite chemotactic protein-1 (MCP-1) dari plasma penderita terinfeksi HIV dan kontrol distratifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4 + dan diikuti selama 2 dan 4 bulan setelah pemberian ARV. Hasilnya, pada penderita terinfeksi HIV menunjukkan

41 peningkatan kadar sitokin TNF-α, IL-6, IL-8, IL-1ra, dan MCP-1 dibandingkan kontrol. Progresifitas HIV juga memiliki efek terhadap peningkatan sitokin, dimana terdapat kadar yang lebih tinggi secara signifikan dari TNF-α, IL-6, IL-8, IL-1ra, dan MCP-1 pada kelompok penderita dengan jumlah sel T CD4 + kurang dari 200 sel/mm 3. Kadar semua sitokin menurun setelah 2 bulan pemberian ARV dan berlanjut setelah 4 bulan pengobatan. Pada analisis univariat, semua sitokin memiliki korelasi positif dengan viral load dan berkorelasi negatif dengan jumlah sel T CD4 +. Inflamasi merupakan penyebab utama dari HIV-related immunodeficiency dimana replikasi virus sendiri merupakan faktor utama yang menyebabkan aktivasi imun dan peningkatan kadar sitokin walaupun terdapat bermacam koinfeksi. Penelitian ini juga menggambarkan bahwa ARV sangat efisien untuk menurunkan aktivasi imun dan kadar sitokin. Tuberkulosis (TB) adalah infeksi opportunistik tersering pada penderita AIDS. Manifestasi klinis dari tuberkulosis pada penderita HIV biasanya lebih berat dengan kerusakan paru yang difus dan sering dengan manifestasi ekstrapulmoner yang berat. Oleh karena itu parameter imunologik mungkin berbeda pada penderita AIDS dengan TB dibandingkan dengan penyakit itu secara sendiri-sendiri. Dengan stimulasi mitogen pada PBMC, produksi IFN-γ dan TNF-α oleh sel T dianalisis dengan metode enzim-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Sampel didapat melalui 33 penderita dan dibagi menjadi empat kelompok: sebelas penderita AIDS dengan tuberkulosis, enam penderita HIV asimtomatik, delapan pasien dengan tuberkulosis, dan delapan kontrol sehat. Hasilnya menunjukkan proporsi sel T CD4 + yang mengekspresikan TNF-α lebih tinggi pada grup penderita TB dibandingkan dengan penderita HIV asimtomatik, sedangkan kelompok HIV-TB menunjukkan nilai intermediet yaitu diantara kelompok penderita HIV asimtomatik dan kelompok TB. Pada sel T CD8 +

42 ekspresi IFN-γ dan TNF-α berbeda pada keempat kelompok. Persentase sel T CD8 + yang mengekspresikan IFN-γ lebih tinggi pada kelompok penderita TB dibandingkan dengan kelompok penderita HIV asimtomatik, sedangkan kelompok HIV-TB menunjukkan nilai intermediet namun lebih mendekati nilai kelompok HIV asimtomatik. Yang menarik, ekspresi TNF-α oleh sel T CD8 + pada kelompok HIV- TB menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok HIV asimtomatik dan lebih rendah dengan kelompok TB. Respon sel T terhadap Micobacterium tuberculosis membutuhkan produksi IFN-γ. Mekanisme proteksi ini berhubungan dengan terbentuknya granuloma untuk melokalisir infeksi yang tergantung oleh terdapatnya IFN-γ. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan ekspresi sitokin ini oleh sel T CD4 + pada keempat kelompok penderita sedangkan pada sel T CD8 + ekspresi IFN-γ lebih tinggi pada kelompok TB daripada kelompok TB-HIV. Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita HIV terdapat hiporesponsif sel T dalam mengenali antigen Mycobacterium tuberculosis yang mengakibatkan gangguan produksi IFN-γ pada kelompok TB-HIV. Hiporesponsif sel T ini terjadi akibat aktivasi imun secara umum (Cunha, dkk., 2005). 2.7 Abnormalitas Eritropoesis Pada Infeksi HIV Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hambatan pertumbuhan dan diferensiasi sel progenitor hematopoetik secara in vitro. Infeksi langsung HIV pada sel progenitor CD34 + pernah dilaporkan (Steinberg, dkk., 1991; Stanly, dkk., 1992), akan tetapi Thomas, dkk menemukan hanya 2 dari 10 sel CD34 + penderita yang positif, dan jumlah kopi dari proviral DNA pada sampel ini adalah 2 sampai 5 per sel. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa sel progenitor hematopoetik CD34 + tidak rentan terhadap infeksi HIV dan bukan merupakan reservoir virus pada sebagian besar

43 penderita HIV asimtomatik (Thomas, dkk., 1995). Hal ini mengindikasikan bahwa HIV mempengaruhi mekanisme hematopoesis secara indirek. HIV menghambat beberapa jalur hematopoesis tanpa infeksi langsung pada sel progenitor eritroid CD34 + tetapi dengan merubah lingkungan mikro (microenvironment) yang mendukung hematopoesis. Hematopoesis abnormal terjadi pada infeksi HIV sebagai akibat dari disregulasi sitokin yang akan mempengaruhi ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan hematopoesis (Koka dan Reddy, 2004) Pengaruh inflamasi/aktivasi imun terhadap eritropoesis Beberapa penelitian menyatakan bahwa eritropoesis (dan myelopoesis) menurun pada penderita HIV naïve dibandingkan dengan kontrol akibat disregulasi produksi sitokin dan growth factor dan peningkatan apoptosis sel progenitor sumsum tulang. Isgro, dkk (2005) meneliti efek terapi ARV terhadap produksi sitokin oleh sel limfosit dan sel stromal sumsum tulang pada penderita terinfeksi HIV sebelum dan sesudah terapi ARV. Dibandingkan dengan penderita sehat, terdapat penurunan produksi IL-2 dan peningkatan TNF-α oleh sel sumsum tulang, bersamaan dengan terdapatnya penurunan aktivitas clonogenic. Terapi ARV menunjukkan perbaikan aktivitas stem cell, perbaikan gambaran fungsi sel stromal, peningkatan produksi IL-2 pada sumsum tulang, penurunan ekspresi Fas antigen bersamaan dengan penurunan produksi TNFα. Fas antigen bertanggung jawab terhadap terjadinya apoptosis pada sel eritroid progenitor maupun sel CD4 + yang secara detail akan dijelaskan kemudian. Penelitian Isgro, dkk (2000) menunjukkan bahwa perubahan morfologi dan tidak efektifnya fungsi sumsum tulang bertanggung jawab terhadap terjadinya sitopenia pada infeksi HIV. Penelitian mengenai efek terapi ARV pada jumlah colony forming units erythroid (CFU-E) menggunakan bone marrow cell cultures bertujuan

44 untuk mengevaluasi mekanisme pengaruh imun rekonstitusi terhadap sumsum tulang. Pada semua penderita setelah terapi ARV, peningkatan pertumbuhan koloni adalah homogen pada semua tipe sel progenitor hematopoetik. Hasil ini berhubungan dengan data in vivo yang menunjukkan peningkatan jumlah bone marrow mononuclear cells (BMMCs) disertai dengan peningkatan jumlah sel T CD4 + darah perifer serta penurunan plasma HIV-RNA. Hasil ini mengindikasikan bahwa penurunan jumlah sel progenitor hematopoetik dan atau tidak efektifnya rangsangan terhadap pertumbuhan sel progenitor merupakan penyebab abnormalitas hematologi pada penderita HIV. Pengendalian replikasi virus oleh ARV menyebabkan perbaikan aktivitas sel progenitor yang disebabkan supresi terhadap beberapa sitokin yang menginhibisi hematopoesis normal. Constantini dkk. (2009) meneliti kapasitas eritropoetik dari sel progenitor CD34 + yang telah dimurnikan (purified CD34 progenitors) melalui analisis longitudinal terhadap pertumbuhan burst forming unit erythroid (BFU-E) sebelum dan sesudah terapi ARV pada 12 penderita terinfeksi HIV dan 31 kontrol sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa secara in vitro terdapat akumulasi dari jumlah BFU-E pada penderita HIV naïve dibandingkan dengan kontrol dan supresi terhadap replikasi virus oleh ARV diikuti dengan penurunan akumulasi BFU-E. Peningkatan jumlah BFU-E pada penderita HIV dengan replikasi virus aktif disebabkan oleh: (1) peningkatan produksi pro-erythropoietic factor yang bekerja pada sumsum tulang untuk mempertahankan eritrosit normal, (2) peningkatan eritropoesis yang tidak efektif dengan akumulasi prekursor eritroid, dan (3) penyakit inflamasi kronik. Hasil tersebut di atas mengindikasikan bahwa pada penderita HIV naïve, imflamasi kronik atau aktivasi imun berhubungan dengan tidak efektifnya eritropoesis dan akumulasi dari pekursor eritroid BFU-E. Interferon-γ dan TNF-α menghambat pembentukan

45 perkembangan sel eritroid khususnya pada pertumbuhan diferensiasi BFU-E menjadi CFU-E sehingga terjadi akumulasi dari BFU-E. ARV menyebabkan supresi terhadap replikasi HIV, menurunkan aktivasi imun dan menormalkan jumlah BFU-E. Penelitian Constantini mendapatkan bahwa baseline soluble transferin receptor (stfr) pada infeksi HIV lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan meningkat dengan pemberian ARV. Sitokin pro inflamasi khususnya IFN-γ menurunkan kadar serum stfr melalui mekanisme transkripsional dan postranskripsional (Weiss, dkk., 2002). stfr diproduksi ketika prekursor eritroid telah cukup memproduksi hemoglobin dan kemudian menyimpan reseptornya. Saat persediaan besi untuk eritron menurun, atau kapasitas eritroid meningkat, stfr dalam plasma meningkat. Walaupun terjadi restriksi besi pada anemia akibat inflamasi, stfr tidak meningkat tetapi tetap dalam rentang normal akibat down regulation oleh sitokin pro inflamasi (Roy, 2010). Hal ini memperkuat indikasi bahwa inflamasi kronik atau aktivasi imun memang berperan terhadap penurunan eritropoesis. Eritropoetin secara langsung akan mempengaruhi proliferasi dan survival dari eritroid progenitor. Penelitian Constantini juga mendapatkan bahwa kadar eritropoetin serum lebih mendekati kadar normal rendah dan meningkat setelah pemberian ARV. Hal ini menunjukkan gangguan terhadap produksi eritropoetin pada penderita HIV naïve walaupun tidak terdapat bukti adanya gagal ginjal berdasarkan kadar serum kreatinin. Hasil ini sesuai dengan penelitian sesuai dengan penelitian Wang, dkk (1993) dimana HIV dapat menginduksi penurunan produksi eritropoetin secara in vitro. Kadar eritropoetin serum relatif lebih rendah pada penderita HIV dan ini mungkin memberikan kontribusi terhadap terjadinya diseritropoesis dimana kadar eritropoetin yang normal atau normal rendah tidak cukup untuk melawan efek inhibisi

46 dari sitokin inflamasi sehingga diperlukan kadar eritropoetin yang tinggi untuk mempertahankan eritropoesis normal (Levine, 2003). Hasil yang berbeda didapatkan Salome dkk (2002) mengenai kadar serum eritropoetin pada 111 penderita HIV dimana didapatkan pada kebanyakan penderita menunjukkan kadar eritropoetin serum yang normal atau sedikit mengalami peningkatan serta korelasi terbalik yang signifikan antara kadar eritropoetin dan hemoglobin (r = - 0,6353). Penelitian Rarick dkk (1991) pada 110 penderita HIV simtomatik juga menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan antara kadar eritropoetin serum dan kadar hemoglobin (r = - 0,42). Data ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan kemampuan eritroid progenitor untuk berespon terhadap eritropoetin sehingga kompensasi sumsum tulang terhadap terjadinya anemia menjadi tidak adekuat. Menurunnya respon eritroid progenitor terhadap eritropoetin terjadi pada keadaan chronic inflammatory states dimana terjadi efek inhibisi oleh sitokin pro inflamasi terhadap proses eritropoesis, kadar eritropoetin yang lebih tinggi diperlukan untuk melawan efek tersebut. Adanya inflamasi kronik pada infeksi HIV juga menyebabkan gangguan hemoostasis besi. Di Indonesia, Wisaksana, dkk (2011) melakukan penelitian potong lintang terhadap beberapa parameter metebolisme besi pada penderita HIV di RS Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat dari bulan September 2007 sampai agustus Hasilnya menunjukkan bahwa anemia pada penderita HIV naïve sebagian normokromik-normositik dengan retikulosit indek yang normal atau rendah, kadar stfr yang rendah, serta peningkatan kadar high sensitive C-reactive protein (hscrp). Mengindikasikan bahwa anemia on chronic disease (ACD) merupakan penyebab utama mekanisme anemia pada infeksi HIV. Kadar ferritin yang lebih tinggi secara signifikan ditemukan khususnya pada penderita dengan jumlah limfosit CD4 + < 200

47 sel/mm 3. Kadar feritin serum juga lebih tinggi juga ditemukan pada penderita dengan anemia sedang-berat dibandingkan dengan penderita dengan anemia ringan (p = 0,01) atau tanpa anemia (p = 0,07). Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara kadar feritin dengan jumlah limfosit CD4 + (r = -0,48). Kadar ferritin yang tinggi dan stfr yang rendah mengindikasikan bahwa redistribusi besi (iron redistribution) dan aktifitas eritropoetik yang rendah lebih berkontribusi dalam menimbulkan anemia dibandingkan defesiensi besi pada penderita terinfeksi HIV. Akibat dari inflamasi, besi dialihkan dari sirkulasi ke system retikuloendotelial atau tempat penyimpanan lain dalam bentuk feritin. Hepcidin (HepC) memainkan peranan dalam proses ini (Nemeth, 2009). HepC adalah hormon peptida yang diproduksi oleh hepatosit. Ferroportin (Fpn) adalah suatu transporter untuk memfasilitasi transport besi dari makrofag (gambar 2.2). Fpn berada pada enterosit duodenal dan makrofag jaringan. HepC adalah regulator yang poten dengan menginduksi internalisasi dan degradasi dari Fpn. Jadi, HepC berikatan dengan Fpn pada permukaan sel dan mengakibatkan restriksi absopsi besi melalui enterosit serta restriksi pelepasan besi oleh makrofag (Roy, 2010; Weiss, dkk., 2005). IFN-γ juga berperan dalam menyebabkan retensi besi oleh makrofag dengan menurunkan ekspresi Fpn yang akhirnya menghambat pelepasan besi oleh makrofag (Ludwiczek, dkk., 2003) Apoptosis sel progenitor eritroid, peranan Interferon-γ Beberapa penelitian seperti yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan peningkatan IFN-γ pada infeksi HIV. Interferon-γ adalah sitokin multifungsional yang disekresi oleh sel limfosit T yang teraktivasi dan natural killer cell. Sitokin ini sangat poten dalam menginduksi aktivasi dan diferensiasi sel fagosit dan limfosit, juga sebagai antiviral, antiproliferatif, dan imunomodulator pada beberapa jenis sel. IFN-γ juga

48 menunjukkan efek inhibisi terhadap perkembangan ganulocyte-macrophage colony forming unit (CFU-GM), burst forming units-erythroid (BFU-E) dan colony forming units-erythroid (CFU-E) secara in vitro. IFN-γ menghambat pembentukan koloni sel eritroid progenitor, hal ini menunjukkan bahwa IFN-γ memainkan peranan penting dalam menimbulkan anemia pada penyakit kronik. Interferon-γ merupakan inhibitor eritropoesis yang paling poten, peningkatan konsentrasi IFN-γ mengindikasikan aktivasi dari cell-mediated immunity yang persisten. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara penurunan kadar hemoglobin dengan peningkatan ekspresi IFN-γ sebagai marker aktivasi imun seluler. Hal ini menunjukkan bahwa inhibisi eritropoesis oleh IFN-γ memiliki peran penting sebagai penyebab anemia pada penderita terinfeksi HIV (Fuchs, dkk., 1993; Denz, dkk., 1990). Interferon-γ diketahui menghambat proliferasi dan diferensiasi sel eritroid progenitor dan menyebabkan apoptosis sel eritroid, sebaliknya eritropoetin berperan meningkatkan produksi sel eritroid dan dan mencegah apoptosis. Efek yang berlawanan dari eritropoetin dan IFN-γ pada keadaan inflamasi kronis dibuktikan oleh beberapa penelitian. Means dan Krantz (1991) meneliti pengaruh recombinant human Interferon-γ (rhγifn) terhadap pembentukan koloni secara invitro pada higly purified erythroid colony forming units (CFU-E) yang didapat melalui sumsum tulang. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan koloni CFU-E secara signifikan dihambat oleh rhγifn pada semua konsentrasi yang di tes. Inhibisi oleh rhγifn dapat diatasi oleh peningkatan konsentrasi recombinant human erythropoietin (rhepo). Penelitian ini menunjukkan bahwa inhibisi pertumbuhan CFU-E oleh rhγifn dan beberapa sitokin lain dapat dikoreksi dengan paparan (exposure) rhepo dosis tinggi. Peningkatan dosis rhepo bukan bukan secara langsung menstimulasi pertumbuhan koloni akan tetapi

49 rhepo mengatasi efek inhibisi yang diinduksi oleh rhγifn. Sebab pemberian rhepo pada dosis yang lebih tinggi lagi tidak secara signifikan menyebabkan peningkatan pertumbuhan koloni. Hal tersebut dapat disebabkan karena rhγifn menurunkan ekspresi reseptor Epo pada CFU-E dan membutuhkan konsentrasi reepo yang tinggi untuk pertumbuhan koloni yang optimal. Gambar 2.4 Peningkatan aktivitas imun pada kondisi inflamasi mengakibatkan apoptosis sel eritroid progenitor Keterangan: IFN, interferon; TNF, tumor necrosis factor; IL, interleukin; Th, sel T- helper Sumber: Macdougall IC, Cooper AC, Erythropoietin resistance: the role of inflammation and pro-inflammatory cytokines. Nephrol Dial Transplant 17: Interferon-γ adalah mediator utama supresi terhadap sel progenitor eritroid karena sitokin ini merupakan antagonis efek anti-apoptotik eritropoetin pada CFU-E. Karena IFN-γ hanya diproduksi oleh sel T yang teraktivasi, maka aktivasi sel T adalah sangat penting dalam memediasi supresi terhadap proses eritropoesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suatu keadaan chronic inflammatory state menunjukkan resistensi terhadap pemberian rhepo yang anti-apoptotik oleh karena pengaruh sitokin pro inflamasi yang pro-apoptotik. Macdougall, dkk (2002) serta

50 Cooper, dkk (2002) meneliti peningkatin level aktivasi imun melalui studi terhadap sel T pada penderita yang menjalani hemodialisis yang dibagi menjadi kelompok berespon baik (good responders) dan berespon buruk (poor responders) terhadap eritropoetin. Hasilnya menunjukkan bahwa secara signifikan ekspresi TNF-α, IFN-γ, dan IL-10 pada sel T CD4 + dan CD8 + lebih besar secara signifikan pada penderita yang berespon buruk dibandingkan yang berespon baik terhadap rhepo. Hasil ini mendukung konsep bahwa penderita yang berespon buruk terhadap terapi rhepo disebabkan oleh peningkatan kapasitas sel T CD4 + dan CD8 + untuk memproduksi sitokin pro inflamasi terutama IFN-γ (gambar 2.4). Penderita dengan kondisi inflamasi kronik seperti infeksi HIV dapat meningkatkan aktivasi imun yang melibatkan sel T dan monosit (gambar 2.3). Sel T dan monosit mensekresikan beberapa sitokin pro-inflamasi dimana salah satunya dapat meningkatkan produksi IFN-γ. Monosit saat teraktivasi memproduksi IL-12 dalam jumlah yang tinggi, dimana diketahui dapat menstimulasi sel T-helper untuk memproduksi IFN-γ (Gately, dkk., 1998). Terdapat juga peningkatan produksi TNFα oleh monosit dimana dapat memacu aksi dari IFN-γ sebagai agen pro-apoptotik baik melalui mekanisme addiktif maupun sinergistik (Sitter dan Bergner, 2000). IFN-γ memicu kematian sel eritroid progenitor pada sumsum tulang dengan cara mengantagonis aksi anti-apoptotik dari eritropoetin Mekanisme IFN-γ menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid Beberapa penelitian telah menunjukkan efek inhibis IFN-γ terhadap sel progenitor eritroid. IFN-γ menghambat pertumbuhan dan diferensiasi CFU-E pada sumsum tulang dan menginduksi apoptosis. Proses apoptosis melibatkan banyak perubahan metabolik yang akan menimbulkan degradasi genomik DNA menjadi fragmen nukleosomal. Mekanisme bagaimana IFN-γ menimbulkan efek inhibisi terhadap

51 pertumbuhan sel progenitor eritroid dan menginduksi apoptosis adalah multifaktorial. Beberapa mekanisme yang diketahui antara lain: 1. Interferon-γ menginduksi ekspresi Fas reseptor pada sel progenitor eritroid sumsum tulang Fas antigen adalah suatu molekul reseptor permukaan sel, dimana aktivasi oleh ligand-nya dapat menimbulkan tranduksi sinyal apoptosis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem Fas/Fas ligand (FasL) memainkan peranan penting dalam menimbulkan apoptosis pada beberapa sel yang berbeda akibat interaksi antara fas dengan FasL. Fas (APO-1/CD95) adalah membran glikoprotein berukuran 45 kd dan merupakan famili tumour necrosis factor-receptor. Fas mengandung 70 asam amino yang dibutuhkan untuk menimbulkan sinyal transduksi apoptosis. Fas mrna diekspresikan oleh sel limfosit, monosit, dan juga sel leukemia. Sedangkan FasL adalah suatu protein famili dari TNF berukuran 40 kd. FasL diproduksi oleh sel T yang teraktivasi terutama sel T sitotoksik (Takahashi, dkk., 1994). Antigen presenting cells adalah sumber dari FasL, dan infeksi HIV menyebabkan peningkatan ekspresi FasL oleh makrofag. Hal ini mengindikasikan bahwa makrofag juga berperan dalam apoptosis sel limfosit dan eritroid progenitor pada infeksi HIV (Baddley, dkk., 1996). Dai, dkk (1998) meneliti ekspresi Fas pada CFU-E sumsum tulang manusia setelah diinkubasi dengan IFN-γ dan interaksi Fas dan FasL dalam menimbulkan kematian sel akibat apoptosis yang diinduksi oleh IFN-γ (IFN-γ induced apoptotic cell death). Untuk menentukan bahwa ekspresi Fas/FasL berhubungan dengan IFN-γ dalam menginduksi apoptosis, ditentukan ada atau tidaknya molekul ini pada permukaan CFU-E dalam keadaan terdapat atau tidaknya IFN-γ. Analisis menggunakan northern and flow cytometric menunjukkan persentase yang kecil dari CFU-E manusia normal yang mengekspresikan Fas pada permukaannya dan juga

52 levelnya sangat rendah. Ekspresi Fas pada permukaan mengalami peningkatan setelah enam jam inkubasi CFU-E dengan IFN-γ pada konsentrasi kurang dari 50 U/mL dan meningkat secara gradual dan mencapai puncak dalam 72 jam setelah inkubasi dengan IFN-γ dimana efek inhibisi IFN-γ terhadap pertumbuhan CFU-E jelas terlihat. Jadi, efek inhibisi IFN-γ terhadap CFU-E bersifat dose and time dependent. Eksperimen selanjutnya menunjukkan aktivasi Fas oleh anti-fas monoclonal antibody (anti Fas MoAb) yang secara fungsional mirip dengan FasL menyebabkan penurunan viabilitas CFU-E. Apoptosis yang diinduksi IFN-γ sangat menurun setelah pemberian antihuman FasL antibody yang menghambat interaksi Fas dengan FasL. Penelitian ini menunjukkan bahwa IFN-γ meningkatkan ekspresi Fas pada permukaan sel progenitor eritroid serta menginisiasi interaksi antara Fas dengan FasL yang akan menimbulkan efek inhibisi dan apoptosis sehingga memberikan kontribusi yang besar dalam menghambat eritropoesis normal. Penelitian lain juga membuktikan efek inhibisi dari TNF-α dan IFN-γ pada hematopoesis yang dimediasi atau dipotensiasi oleh sistem Fas/FasL. Terdapat peningkatan ekspresi Fas pada permukaan sel CD34 + setelah diinkubasi dengan TNFα atau IFN-γ atau keduanya secara bersama-sama. Ekspresi Fas paling kuat diinduksi oleh adanya IFN-γ dan TNF-α secara bersamaan. Pemberian anti-fas MoAb sangat memperkuat efek inhibisi dari TNF-α dan IFN-γ pada pertumbuhan koloni sel CD34 + bahkan pada konsentrasi TNF-α dan IFN-γ yang sangat rendah. Untuk menentukan apakah anti-fas Mo-Ab memediasi terjadinya apoptosis dilakukan pemeriksaan terhadap DNA, dimana terdapat gambaran degradasi nukleosom yang merupakan tipikal terjadinya apoptosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari FasL adalah sinergistik dengan TNF-γ dan TNF-α dalam mempengaruhi proliferasi dan viabilitas sel. Jadi ekspresi Fas reseptor yang diinduksi oleh TNF-α dan IFN-γ akan

53 menyebkan sel rentan terhadap FasL dimana interaksi Fas-FasL akan mentransduksi sinyal apoptosis (Maciejewski, dkk., 1995). Kerjasama antara beberapa sitokin inhibisi seperti TNF-α, IFN-γ, dan FasL akan menimbulkan efek inhibisi yang poten pada sel sumsum tulang pada setting yang dikenal dengan immune-system attack. Ekspresi Fas juga terdapat pada sel limfosit penderita terinfeksi HIV yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. 2. IFN-γ menurunkan reseptor eritropoetin dan stem cell factor pada sel eritroid progenitor Eritropoetin dan stem cell factor (SCF) menunjukkan kerja yang bersifat sinergis untuk merangsang proliferasi dan/atau diferensiasi sel eritroid progenitor dan mencegah apoptosis in vitro (Muta dan Krantz, 1993; Muta, dkk., 1994). SCF dan eritropoetin juga dapat mengatasi efek inhibisi dari IFN-γ pada sel eritroid progenitor in vitro (Dai, dkk., 1995; Means, dkk., 1991). Jadi, IFN-γ dan growth factor ini memiliki efek yang berlawanan terhadap sel progenitor eritroid. Penelitian Taniguchi, dkk. (1997) menunjukkan bahwa IFN-γ menurunkan ekspresi reseptor eritropoetin dan SCF pada permukaan sel CFU-E dengan menurunkan ekspresi mrna untuk kedua reseptor ini. IFN-γ menekan ekspresi mrna pada tingkat transkripsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa IFN-γ menghambat proliferasi dan diferensiasi sel progenitor eritroid dan menurunkan survival dengan menurunkan jumlah target reseptor untuk eritropoetin dan SCF. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana dosis yang tinggi dari eritropoetin ini dapat mengatasi efek inhibisi dari IFN-γ, karena dengan sedikit reseptor yang terdapat pada permukaan sel, membutuhkan konsentrasi yang tinggi dari eritropoetin untuk mengembalikan probabilitas interaksi antara reseptor dengan ligand-nya.

54 3. IFN-γ menginduksi peningkatan ekspresi dan aktivasi caspase 1, 3 dan 8 Terdapat 10 enzym caspase yang telah teridentifikasi. Caspase merupakan protease yang memainkan peranan penting dalam perubahan biokimia yang menyebabkan kematian sel. Konversi caspase dari bentuk proenzym yang bersifat dorman ke bentuk enzym aktif adalah langkah penting dalam menimbulkan kaskade apoptosis yaitu penyusutan sel (cell shrinkage), kondensasi kromatin, pecahnya DNA, pembengkakan membran dan pembentukan apoptotic bodies (Cohen, 1997). Dai dan Krantz (1999) meneliti efek IFN-γ terhadap ekspresi dan aktivasi beberapa caspase pada sel progenitor eritroid (CFU-E) menggunakan RNase protection assay dan western blot analysis. Hasilnya menunjukkan terdapat peningkatan ekspresi caspase 1,3 dan 8. Caspase ini tidak hanya meningkat ekspresinya, tetapi juga teraktivasi ketika sel mengalami apoptosis. Caspase inhibitor sangat efisien memblokade aktivasi kaspase dan mengurangi inhibisi pertumbuhan sel oleh IFN-γ. Penelitian Cohen, dkk. (1997) menunjukkan bahwa Fas menginduksi apoptosis dengan mengaktivasi caspase 8 yang mengandung Fas-associating protein with death domain (FAAD) yang berfungsi sebagai death effector. Jadi terdapat hubungan langsung antara reseptor untuk kematian sel (cell death teceptors) dan caspase. 2.8 Mekanisme Patogenesis Penurunan Jumlah Sel Limfosit T CD4 + Keadaan imunodefisiensi pada penderita HIV ditandai oleh penurunan baik jumlah maupun fungsi dari sel limfosit T CD4 +. Penyebab penurunan jumlah sel T CD4 + pada infeksi HIV antara lain adalah mekanisme direk dan indirek. Efek langsung HIV terhadap penurunan jumlah sel T CD4 + (direct HIV-mediated cytophatic effects) pernah dilaporkan pada studi in vitro namun tidak secara in vivo (Pantaleo, dkk.,

55 1993). Namun penelitian menunjukkan bahwa derajat penurunan sel limfosit CD4 + tidak berkorelasi dengan derajat sitopatisitas HIV secara in vitro. Infeksi oleh strain HIV yang noncytophatic menyebabkan deplesi sel limfosit CD4 + yang ekstensif, sedangkan strain virus yang highly cythopatic menyebabkan deplesi sel limfosit CD4 + yang minimal walaupun dengan beban virus (viral burden) yang sama (Mosier, 1993). Penelitian dengan melabel sel limfosit pada limfonodi menunjukkan bahwa sel limfosit CD4 + yang mati akibat apoptosis bukanlah sel yang terinfeksi HIV melainkan bystander cells atau sel disekitarnya yang tidak terinfeksi (Finkel, dkk., 1995). Fakta lain menyebutkan bahwa sangat sedikit PBMC yang aktif terinfeksi HIV sedangkan terjadi penurunan yang cepat dan agresif dari sel limfosit CD4 + di sirkulasi (Wood, dkk., 1993). Jumlah sel yang terinfeksi HIV secara aktif adalah sangat rendah, dengan rasio sel terinfeksi dengan tidak terinfeksi adalah 1:10 5 dengan kata lain sekitar 10 7 sel yang terinfeksi dari sel limfosit yang terdapat dalam tubuh (Chun, dkk., 1997). Bukti tersebut di atas secara jelas mengindikasikan bahwa mekanisme indirek dari infeksi HIV lebih berperan dalam penurunan jumlah sel limfosit CD4 + daripada efek langsung HIV terhadap sel. Beberapa penelitian in vitro telah dapat mengidentifikasi mekanisme indirek dari infeksi HIV, dan HIV-induced apoptosis adalah mekanisme yang paling bisa menjelaskan penurunan jumlah sel limfosit CD4 +. HIV-induced apoptosis telah dipublikasikan oleh beberapa penelitian. PBMC dari penderita HIV mengalami apoptosis secara in vitro (Meyaard, dkk., 1992; Oyaizu, dkk., 1993) dan kematian sel akibat apoptosis juga terjadi pada limfonodi. Derajat apoptosis sel pada limfonodi pada penderita terinfeksi HIV 3-4 kali lebih besar daripada yang diamati pada individu sehat. Apoptosis ini terjadi secara ekstensif pada semua kompartemen fungsional dari limfonodi seperti kortex, parakortex, dan sinus, berbeda pada individu

56 dengan HIV negatif yang hanya terjadi pada germinal centers (Muro-Cacho, dkk., 1995) Aktivasi imun dan apoptosis sel limfosit T CD4 + (activation-induced cell death/apoptosis) Beberapa penelitian seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya menunjukkan bahwa pada infeksi HIV, adanya replikasi virus menyebabkan aktivasi imun yang ditandai dengan peningkatan marker aktivasi seperti HLA-DR, CD38, CD69, CD70, dan juga Fas/CD95 pada permukaan sel T CD4 +. Peningkatan marker aktivasi ini berhubungan dengan penurunan jumlah limfosit T CD4 + independent terhadap viral load. Penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan langsung (direct causal relationship) antara aktivasi imun dan penurunan jumlah limfosit T CD4 + dan hubungan yang tidak langsung antara penurunan jumlah sel limfosit T CD4 + dengan virus replication rate karena status imunologik berhubungan langsung dengan aktivasi imun dan bukan viral load (Resino, dkk., 2006; Hazenberg, dkk., 2003; Sousa, dkk., 2002). Aktivasi imun juga terjadi pada awal infeksi, sebelum terjadi penurunan yang signifikan dari jumlah sel T CD4 + (Sousa, dkk., 2002). Penelitian Muro-Cacho, dkk. (1995) pada limfonodi penderita terinfeksi HIV juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara intensitas terjadinya apoptosis dengan derajat aktivasi imun, sedangkan tidak terdapat korelasi antara intensitas apoptosis dengan viral burden pada limfonodi. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan intensitas apoptosis pada infeksi HIV disebabkan oleh akivasi imun secara umum (general state of immune activation), dan independent terhadap viral load. Beberapa penelitian membuktikan bahwa aktivasi limfosit T CD4 + oleh antigen tertentu dapat menimbulkan apoptosis. Banda, dkk (1992) membuktikan

57 bahwa ikatan silang (cross linked) envelove glycoprotein dari HIV, gp120 dengan anti-gp120 pada pada reseptor CD4 limfosit diikuti oleh ikatan antigen yang terikat MHC class II (MHC class II restricted antigen) pada T Cell Receptor (TCR) menyebabkan aktivasi sel T CD4 + yang menyebabkan terjadinya apoptosis atau programmed cell death. Data ini menunjukkan bahwa hanya dengan konsentrasi pikomolar dari gp120 menyebabkan activation-induced cell death. Kematian sel ini memberikan gambaran yang karakteristik untuk apoptosis, seperti perubahan histologik dari inti sel dan kondensasi sitoplasma serta fragmentasi DNA. Fakta ini didukung oleh penelitian Groux, dkk (1992) yang menunjukkan bahwa rangsangan pada TCR oleh MHC class II dependent antigen menyebabkan kematian sel T CD4 + yang aktif dengan gambaran biokimia dan ultrastruktural dari apoptosis. Activationinduced cell death terjadi terutama pada sel limfosit T CD4 + dan kematian sel ini tidak tampak pada kontrol yang seronegatif HIV walaupun dengan infeksi akut maupun kronis. Terjadinya Activation induced cell death dapat dicegah dengan pemberian cyclosporin A. Organ limfoid adalah reservoir utama HIV, dan monosit serta makrofag adalah target utama infeksi HIV. Sel limfosit T CD4 + baik yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi HIV akan bermigrasi menuju limfonodi saat timbulnya respon imun. Pada keadaan ini sel limfosit CD4 + yang tidak terinfeksi akan kontak dengan APC yang terinfeksi HIV menyebabkan aktivasi dari sel T CD4 +. Setelah teraktivasi, sel T CD4 + mengalami resirkulasi ke perifer dan mengalami apoptosis. Jadi APC seperti monosit dan makrofag memainkan peranan penting dalam imunosupresi akibat infeksi HIV (Cotrez, dkk., 1997). Peranan aktivasi monosit akibat infeksi HIV dalam menyebabkan apoptosis limfosit CD4 + dibuktikan oleh penelitian Gascon, dkk (2002). Pada penderita dengan

58 peningkatan ekspresi HLA-DR pada monosit memiliki jumlah limfosit T CD4 + yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan penderita tanpa marker aktivasi ini. Pada penderita yang memiliki marker aktivasi HLA-DR pada monosit yang persisten setelah 24 minggu pemberian ARV menunjukkan jumlah limfosit T CD4 + yang tetap rendah sampai 2 tahun pengamatan dibandingkan dengan penderita tanpa marker aktivasi yang persisten. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivasi monosit yang didefinisikan dengan peningkatan ekspresi HLA-DR berhubungan dengan penurunan jumlah limfosit T CD4 + pada infeksi HIV dan menyebabkan respon yang buruk setelah pemberian ARV. Gambar 2.5 Apoptosis (programmed cell death) pada infeksi HIV Sinyal pertama oleh cross-linking molekul CD4 oleh gp120 dan anti-gp120 serta aktivasi T cell receptor (TCR) oleh antigen maupun superantigen sebagai sinyal kedua menyebabkan apoptosis limfosit T CD4 +. Sumber: Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS, The immunopathogenesis of Human Immunodeficiency Virus infection. N Engl J Med 328: Peranan monosit dalam menimbulkan apoptosis diperkuat oleh penelitian Cotrez, dkk (1997) yang menunjukkan bahwa apoptosis limfosit T CD4 + membutuhkan 2 sinyal dari APC, pertama stimulasi antigen pada T cell receptor

59 (TCR) oleh APC melalui MHC clas II dan kedua adalah protein HIV gp 120. Kedua sinyal ini akan membuat limfosit T CD4 + yang tidak terinfeksi virus menjadi teraktivasi dan kemudian mengalami apoptosis (gambar 2.5). Apoptosis terjadi tanpa adanya replikasi virus dalam sel. Lebih lanjut pada limfosit T CD4 + yang teraktivasi terjadi peningkatan ekspresi L-selectin (CD62L) sebuah homing receptor atau reseptor pada limfosit yang menyebabkan limfosit mengalami migrasi ke limfonodi dari sirkulasi perifer (homing). Gambaran lalulintas sel (cell trafficking) pada infeksi HIV mengalami perubahan). Pada lalu lintas sel yang normal sel limfosit T CD4 + naïve bermigrasi ke dalam limfonodi dan jaringan limfoid lainnya. Jika tidak terdapat antigen akan kembali ke dalam sirkulasi dalam 1-2 hari. Akan tetapi pada infeksi HIV sel limfosit T CD4 + akan kontak dengan APC menyebabkan peningkatan ekspresi homing receptor CD62L. Rangsangan reseptor ini oleh ligannya akan menyebabkan peningkatan jumlah sel yang bermigrasi ke limfonodi, di dalam limfonodi sinyal lainnya dari APC akan menyebabkan apoptosis sel T CD4 +. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa limfadenopati sering terjadi pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya penurunan jumlah limfosit T CD4 + dalam darah (Wang, dkk., 1999; Kirschner, dkk., 2000) Apoptosis sel limfosit T CD4 +, peranan Fas/APO-1/CD95 Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme biologis apoptosis menunjukkan suatu reseptor memediasi apoptosis pada limfosit T CD4 +. Data terbaru menunjukkan, interaksi antara Fas dan FasL, bersamaan dengan aktivasi dari TCR oleh antigen menyebabkan apoptosis pada limfosit T CD4 +. Jadi, aktivasi dari limfosit oleh antigen dibutuhkan untuk terjadinya apoptosis pada infeksi HIV yang dimediasi oleh interaksi Fas-FasL (Wang, dkk., 1994).

60 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada infeksi HIV limfosit T dalam sirkulasi memiliki derajat aktivasi yang tinggi dibandingkan dengan kontrol yang ditunjukkan oleh peningkatan marker aktivasi. Sel T yang teraktivasi menyebabkan peningkatan ekspresi Fas reseptor pada permukaannya. Penelitian Debatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan ekspresi Fas pada sel T CD4 + dan CD8 + dibandingkan dengan kontrol. Mekanisme peningkatan ini dapat disebabkan langsung oleh infeksi HIV atau stimulasi oleh produk HIV atau aktivasi secara umum pada sel T. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa ekspresi Fas pada sel T CD4 + naïve mengalami peningkatan sesuai dengan progresifitas penyakit dan mengalami penurunan sebagai akibat terapi ARV. Bohler, dkk (2000) meneliti 37 penderita HIV dan 12 kontrol sehat. Ekspresi Fas pada resting/naïve dan primed/memory sel T CD4 + serta CD8 + diperiksa secara kuantitatif menggunakan four-colour dan three-colour flow cytometry. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sel yang mengekspresikan Fas secara kuantitatif pada resting/naïve T cells dan peningkatan persentase CD95 high primed/memory T cells sesuai dengan progresifitas penyakit. Ekspresi Fas pada resting/naïve CD4 + cells mengalami penurunan sampai mendekati nilai normal pada penderita dengan jumlah total limfosit T CD4 + darah perifer yang stabil setelah 6 bulan pemberian ARV, sedangkan ekspresi Fas pada sel limfosit T CD8 + tetap tinggi dibandingkan kontrol. Makrofag yang terinfeksi HIV merupakan sumber dari FasL. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi HIV pada sel monositik tidak hanya menyebabkan peningkatan ekspresi Fas pada permukaannya tetapi juga peningkatan produksi FasL. Makofag dari penderita sehat juga menunjukkan peningkatan produksi FasL setelah diinfeksi dengan HIV monositotropic strain. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa

61 sel makrofag yang terinfeksi HIV dan APC yang lain seperti sel dendritik tidak hanya sebagai reservoir virus tetapi juga sumber dari FasL (Badley, dkk., 1996). Penelitian Debatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi Fas secara signifikan pada sel limfosit T CD4 + dan CD8 + anak penderita HIV dibandingkan kontrol. Yang menarik, sensitasisi terhadap Fas terutama mempengaruhi limfosit T CD4 +. Hal ini mengindikasikan bahwa kostimulasi reseptor CD4 pada sel T oleh ikatan silang gp120-anti gp120 membuat sel T CD4 + menjadi lebih sensitif terhadap apoptosis yang diinduksi oleh Fas dibandingkan dengan sel limfosit T CD8 +. Produk lain dari HIV, Trans-Activator Transcription (Tat), yang diproduksi oleh sel yang terinfeksi HIV dapat melakukan penetrasi ke dalam sel yang tidak terinfeksi dan dan bekerja seperti toxin menyebabkan sel menjadi hipersensitif terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas (Accornero, dkk., 1997) (gambar2.6). Gambar 2.6 Apoptosis limfosit CD4 + yang dimediasi oleh Fas/APO-1. Model bagaimana produk gen HIV seperti HIV Tat dan gp120 yang diproduksi oleh sel T CD4 + dan makrofag yang terinfeksi HIV dapat mengaktivasi sel T CD4 + yang tidak terinfeksi menjadi sensitif terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas/APO-1. Sumber: Krammer PH, Dhein J, Walczak H, Behrmann I, Mariani S, Matiba B, Fath M, Daniel PT, Knipping E, dkk., The role of APO-1-mediated apoptosis in the immune system. Immunological Reviews 142:

62 Bagaimana mekanisme kerja sistem Fas-FasL dalam menimbulkan apoptosis sel limfosit T? interaksi antara Fas dengan FasL adalah spesifik dalam menimbulkan apoptosis sel. Sel T yang teraktivasi akan menghasilkan FasL/APO-1L yang akan berinteraksi dengan Fas reseptor sel yang berada disekitarnya (bystander/neighboring T-cell), akibat interaksi ini sel disekitarnya akan mengalami apoptosis, mekanisme ini dikenal dengan fratricide atau bystander effect. FasL yang diproduksi sel limfosit T yang teraktivasi dapat berinteraksi dengan Fas reseptor dan menyebabkan apoptosis pada dirinya sendiri yang dikenal dengan autocrine suicide dan juga sel yang jauh yang dikenal dengan paracrine death (gambar 2.7). Mekanisme paracrine death ini dapat menjelaskan mekanisme sel limfosit T yang teraktivasi dalam menyebakan apoptosis sel lain yang mengekspresikan Fas reseptor seperti sel eritroid progenitor yang terpapar dengan IFN-γ (Krammer, dkk., 1994). Gambar 2.7 Model bagaimana mekanisme kerja sistem Fas/APO-1 - FasL/ APO-1L dalam menimbulkan apoptosis Mekanisme fratricide, paracrine death, serta autocrine suicide. Sumber: Krammer PH, Dhein J, Walczak H, Behrmann I, Mariani S, Matiba B, Fath M, Daniel PT, Knipping E, dkk., The role of APO-1-mediated apoptosis in the immune system. Immunological Reviews 142:

63 Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara peningkatan ekspresi Fas/FasL dengan penurunan jumlah sel limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV. Penelitian Katsikis dkk menunjukkan bahwa terjadi peningkatan apoptosis pada sel limfosit T CD4 + dan CD8 + penderita terinfeksi HIV dibandingkan kontrol sehat setelah distimulasi dengan anti-fas antibody yang kerjanya mirip FasL. Apoptosis yang diinduksi oleh anti-fas antibody lebih tinggi pada penderita HIV simtomatik daripada penderita asimtomatik. Yang menarik, besarnya kejadian apoptosis pada sel T CD4 + in vitro berkorelasi terbalik dengan jumlah total sel T CD4 + pada darah perifer yang menunjukkan mekanisme apoptosis ini memegang peranan penting terhadap penurunan jumlah total sel limfosit T CD4 +. Sel T CD4 + memori yang mengekspresikan L selectin (CD62L) subpopulasi yang poten dalam mengenal antigen lebih banyak mengalami apoptosis setelah distimulasi dengan anti-fas antibody (Katsikis, dkk., 1995). 2.9 Status Imun Penderita Terinfeksi HIV Patogenesis infeksi HIV ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T CD4 +. Status imun pada penderita HIV dewasa dapat dinilai dengan mengukur jumlah absolut sel CD4 + dan ini merupakan standar untuk menilai dan mendefinisikan beratnya imunodefisiensi yang disebabkan infeksi HIV. Penurunan yang progresif limfosit T CD4 + berhubungan dengan progresifitas penyakit dan peningkatan kemungkinan infeksi opportunistik, wasting, dan kematian. Jumlah limfosit CD4 absolut pada remaja dan dewasa berkisar antara 500 sampai 1500 sel/mm 3 darah. Secara umum jumlah limfosit T CD4 + mengalami penurunan secara progresif seiring progresifitas penyakit. Klasifikasi berdasarkan imunologis dibagi menjadi empat antara lain: imunodefisiensi yang tidak signifikan (no significant immunodeficiency), ringan (mild immunodeficiency), lanjut (advance

64 immunodeficiency), dan berat (severe immunodeficiency) (tabel 1). Dalam membuat klasifikasi ini, remaja dan dewasa didefinisikan sebagai individu dengan umur diatas 15 tahun (WHO, 2007a). Sedangkan CDC (2008) mengklasifikasikan derajat imunodefisiensi menjadi tiga stadium: stadium 1 (CD4 + > 500 sel/mm 3 ), stadium 2 (CD sel/mm 3 ), dan stadium 3/AIDS (CD4 + < 200 sel/mm 3 ). Tabel 3.1 Klasifikasi imunologis infeksi HIV menurut WHO (2007a) Derajat Immunodefisiensi Jumlah absolut Limfosit T CD4 (sel/mm 3 ) Tidak ada atau tidak signifikan (none or > 500 not significant) Ringan (mild) Lanjut (advanced) Berat (severe) < 200 Kemungkinan progresifitas penyakit menjadi stadium AIDS tanpa terapi ARV mengalami peningkatan seiring peningkatan derajat imunodefisiensi (penurunan jumlah CD4 + ). Infeksi opportunistik dan kondisi terkait HIV lainnya mengalami peningkatan secara signifikan dengan jumlah limfosit CD4 + < 200 sel/mm 3. Respon terhadap ARV dipengaruhi oleh stadium imunologis saat dimulainya terapi, penderita yang memulai terapi ARV dengan imunodefisiensi lanjut (CD4 + > sel/mm 3 ) menunjukkan outcome yang lebih baik dibandingkan dengan penderita dengan imunodefisiensi yang lebih berat. Penderita yang memulai terapi ARV dengan CD4 + < 50 sel/mm 3 memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Penderita yang memulai terapi ARV dengan hanya imunodefisiensi ringan tidak memberikan keuntungan tambahan (Bonnet, dkk., 2005).

65 2.10 Total Lymphocyte Count (TLC) Sebagai Marker Pengganti (Surrogate Marker) Jumlah Limfosit T CD4 + Dalam Memulai Terapi ARV Pada Daerah Dengan Sumber Daya Terbatas (resource-limited settings) WHO (2006) dan Kemenkes RI (2007) telah mengeluarkan pedoman untuk memulai terapi ARV khususnya pada daerah dengan sumber daya terbatas. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akses terhadap terapi ARV pada penderita HIV/AIDS. Berdasarkan pedoman ini, pada seting dimana pemeriksaan jumlah total limfosit T CD4 + tidak tersedia atau tidak terjangkau, TLC dapat digunakan sebagai marker pengganti untuk jumlah limfosit CD4 +. WHO dan Kemenkes RI merekomendasikan terapi ARV dapat dimulai pada penderita HIV stadium IV menurut WHO tanpa memandang jumlah total limfosit CD4 +, stadium III WHO dengan jumlah limfosit CD4 < 350 sel/mm 3, serta stadium I atau II WHO dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm 3 pada daerah dimana pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + dapat dilakukan. Jika pemeriksaan jumlah limfosit CD4 + tidak tersedia, terapi ARV direkomendasikan pada stadium III dan IV tanpa memandang jumlah limfosit total, stadium II WHO dengan TLC < 1200 sel/mm 3, sedangkan penderita asimtomatik (stadium I WHO) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada penanda yang lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi yang baik antara TLC dan jumlah limfosi T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV (Fornier dan Sosenko, 1992; Blatt, dkk., 1993; Beck, dkk., 1996). Penelitian longitudinal juga menunjukkan TLC dan jumlah limfosit T CD4 + merupakan marker yang sama dalam memprediksi progresifitas penyakit (Post, dkk., 1996).

66 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Infeksi HIV akan menyebabkan aktivasi sel limfosit dan monosit yang ditandai dengan peningkatan marker aktivasi pada permukaan sel, peningkatan rasio sel T memori : naïve, dan peningkatan produksi sitokin pro inflamasi. Aktivasi pada sel limfosit T CD4 + disebabkan oleh pengenalan antigen oleh APC pada TCR serta produk HIV seperti gp120. Aktivasi limfosit T CD4 + menyebabkan peningkatan ekspresi Fas reseptor pada permukaan selnya. Apoptosis terjadi pada sel limfosit T CD4 + akibat diinduksi oleh interaksi antara Fas reseptor dengan FasL melalui mekanisme fratricide, paracrine death, atau autocrine suicide. Besarnya kejadian apoptosis pada sel limfosit T CD4 + berhubungan dengan penurunan jumlah total limfosit T CD4 + dalam darah perifer. Aktivasi imun akibat infeksi HIV pada sel limfosit T serta monosit juga mempengaruhi profil sitokin pada sirkulasi. Terdapat perubahan profil sitokin pada infeksi HIV terutama peningkatan IFN-γ dan TNF-α. IFN-γ adalah sitokin yang paling poten dalam menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid dimana IFN-γ akan menyebabkan peningkatan ekspresi Fas pada permukaan selnya. Interaksi antara Fas reseptor dengan FasL yang dihasilkan oleh limfosit T serta makrofag yang teraktivasi merupakan penyebab utama terjadinya apoptosis pada sel progenitor eritroid. Apoptosis sel progenitor eritroid menyebabkan penurunan produksi eritrosit yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin. Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat mekanisme yang sama sebagai penyebab utama penurunan jumlah total limfosit T CD4 + dan penurunan kadar hemoglobin pada infeksi HIV dimana aktivasi imun menyebabkan apoptosis baik

67 pada sel limfosit T CD4 + dan sel progenitor eritroid yang diinduksi oleh interaksi antara Fas reseptor dan FasL. 3.2 Konsep Infeksi HIV Aktivasi Imun Limfosit T CD4 + Hemoglobin - Infeksi kronis seperti Tuberkulosis, Parpovirus B19, dan Micobacterium avium Complex - Inflamasi kronis seperti osteomyelitis, SLE, rheumatoid arthritis. - Perdarahan akut maupun kronis saluran cerna, pernafasan maupun urogenital. - Riwayat transfusi darah 3 bulan sebelumnya - Anemia hemolitik autoimun - Keganasan solid maupun liquid, seperti karsinoma, leukimia maupun limfoma maligna. - Anemia defisiensi besi, vitamin B12, dan asam folat. - Tumor serta infeksi primer pada sumsum tulang - Penyakit ginjal kronis - Kehamilan Keterangan: Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian varibel yang diteliti variabel antara variabel kendali faktor penyebab faktor yang berpengaruh Infeksi HIV akan menyebabkan aktivasi imun kronik. Aktivasi imun merupakan faktor yang menyebabkan penurunan jumlah limfosit T CD4 + dan penurunan kadar hemoglobin sehingga terdapat korelasi antara kedua parameter tersebut.

68 Korelasi antara jumlah limfosit T CD4 + dan kadar hemoglobin dipengaruhi beberapa variabel sebagai perancu. Infeksi tuberkulosis sebagai variabel perancu dikontrol melalui regresi multipel (by analisis) sedangkan variabel perancu lainnya dikontrol dengan cara eksklusi (by design). 3.3 Hipotesis 1. Terdapat korelasi positif antara kadar hemoglobin dengan jumlah limfosit T CD4 + pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral. 2. Kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dapat meningkatkan akurasi diagnostik TLC sendiri dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV pra terapi antiretroviral.

69 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan studi observasional dengan rancangan potong lintang analitik untuk mengetahui korelasi antara kadar hemoglobin dengan jumlah total limfosit T CD4 +, dilanjutkan dengan uji diagnostik untuk mengetahui akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di poliklinik VCT, Ruangan Nusa Indah, dan Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Oktober sampai Desember Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berada dalam ruang lingkup ilmu penyakit dalam, khususnya bagian penyakit tropik dan infeksi. 4.4 Populasi Penelitian Populasi target Penderita terinfeksi HIV Populasi terjangkau Penderita terinfeksi HIV yang menjalani perawatan di poliklinik VCT dan ruangan Nusa Indah RSUP Sanglah.

70 4.5 Sampel Penelitian Teknik pengambilan sampel Sampel diambil secara berturut-turut (consecutive sampling) dari penderita HIV yang menjalani perawatan di poliklinik VCT dan Ruangan Nusa Indah RSUP Sanglah Besar sampel Untuk menentukan besar sampel minimal pada penelitian analisis korelatif digunakan rumus sebagai berikut (Hulley, Cummings, 1988; dikutip oleh Madiyono, dkk., 2011): n = zα +zβ 0,5 In 1+r / 1 r (1) r : Korelasi minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan 0,3 α : Kesalahan tipe I, ditetapkan 5%, hipotesis 2-arah sehingga z α = 1,96 β : Kesalahan tipe II, ditetapkan 20%, sehingga power = 80%; z β = 0,84 dengan demikian: n = = 84 1,96+0,84 0,5 In 1+0,3 / 1 0, Dengan menggunakan rumus di atas didapatkan besar sampel minimal untuk menentukan koefisien korelasi = 84 sampel. Pada penelitian uji diagnostik digunakan rumus sebagai berikut (dikutip oleh Dahlan, 2010) : n = Zα 2 Sen 1 sen d 2 P (2)

71 n : jumlah sampel Sen: Sensitifitas yang diinginkan dari uji diagnostik, ditetapkan 75%= 0,75 d : Presisi/penyimpangan yang dapat diterima, ditetapkan 10% α : Tingkat kesalahan, ditetapkan 5% sehingga Z α = 1,96 P : prevalensi penyakit (perkiraan penderita HIV baru (naïve) yang datang dengan jumlah sel T CD4 + < 200 sel/mm 3 ) = 80% Dengan demikian, n = 1,96 2 0,75 1 0,75 0,1 2 x 0,8 = 90 Berdasarkan rumus di atas didapatkan jumlah sampel minimal untuk uji diagnostik adalah 90 orang. Jadi, berdasarkan kedua rumus tersebut ditetapkan jumlah sampel yang terbesar yaitu minimal 90 orang sampel. 4.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi: - Penderita terinfeksi HIV berusia tahun. - Belum mendapatkan terapi ARV maupun terapi/profilaksis infeksi oportunistik. - Gambaran eritrosit normokromik-normositer (MCV fl; MCH pg) melalui pemeriksaan darah rutin Kriteria eksklusi: - Penderita terinfeksi HIV dengan perdarahan akut maupun kronis. - Penderita terinfeksi HIV dengan riwayat transfusi darah 3 bulan sebelumnya.

72 - Penderita terinfeksi HIV dengan anemia hemolitik autoimun - Penderita terinfeksi HIV dengan keganasan - Penderita terinfeksi HIV dengan infeksi dan inflamasi kronis seperti, osteomyelitis, SLE, dan rheumatoid arthritis. - Penderita terinfeksi HIV dengan tumor serta infeksi primer pada sumsum tulang - Penderita terinfeksi HIV dengan penyakit ginjal kronis - Penderita terinfeksi HIV dengan kehamilan 4.7 Bahan dan Instrumen Penelitian Sampel darah vena diproses menggunakan automated blood analyzer Advia 2120 Siemen Diagnostic untuk menentukan kadar hemoglobin. Metode modified methemoglobin digunakan untuk menentukan kadar hemoglobin secara kalorimetrik. Sejumlah sampel pada whole blood cells mixing chamber digunakan untuk pemeriksaan kadar hemoglobin. Sinar LED dipancarkan melewati haemoglobin flow cell dan filter berukuran 540 nm menuju sebuah photo detector. Kadar hemoglobin adalah proporsi dari penyerapan (absorbancy) cahaya LED dari sampel pada photo detector. Jumlah limfosit T CD4 + ditentukan menggunakan alat Becton Dickinson (BD) FASCount System, USA. Alat BD FASCount system menggunakan teknik flow cytometry untuk kuantifikasi jumlah limfosit T CD4 +. Flow cytometry menggunakan prinsip penyebaran cahaya (light scattering), perangsangan cahaya (light excitation) dan emisi dari sebuah molekul fluorochrome untuk menimbulkan data multiparameter yang spesifik dari sebuah partikel dan sel dengan diameter berukuran 0,5 sampai dengan 40 mikrometer.

73 4.8 Alur Penelitian Penelitian dilakukan setelah mendapat ijin dari Direktur RSUP Sanglah dan memenuhi kelayakan etik (ethical clearance) dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Penderita HIV yang baru terdiagnosis (HIV naïve patients) yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + yang dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan TLC (gambar 4.1). Penderita HIV/AIDS baru Rawat jalan/rawat inap Kriteria inklusi Sampel Umur Jenis Kelamin Riwayat Penyakit Infeksi opportunistik Jumlah sel T CD4 + Kadar hemoglobin dan TLC Analisis data Gambar 4.1. Alur penelitian 4.9 Variabel Penelitian Identifikasi variabel 1. Variabel uji : kadar hemoglobin dan total lymphocyte count 2. Variabel baku emas : jumlah total limfosit T CD Variabel kendali : 1. Infeksi dan inflamasi kronis seperti tuberkulosis, osteomyelitis, SLE, rheumatoid arthritis.

74 2. Perdarahan akut maupun kronis saluran cerna, pernafasan maupun urogenital. 3. Riwayat transfusi darah 3 bulan sebelumnya 4. Anemia hemolitik autoimun 5. Keganasan solid maupun liquid, seperti karsinoma, leukimia maupun limfoma maligna. 6. Tumor serta infeksi primer pada sumsum tulang 7. Penyakit ginjal kronis 8. Kehamilan 4. Variabel rambang : infeksi Parvovirus B19 dan Micobacterium avium complex Definisi operasional variabel 1. Infeksi HIV didefinisikan sebagai hasil reaktif pada pemeriksaan darah penderita dengan metode enzyme immunoassay (EIA) rapid test dengan menggunakan tiga preparat dan metode antigen yang berbeda. Tes pertama menggunakan preparat Bio Line SD HIV-1/2 3.0 (Standar Diagnostic Inc, Korea); jika test pertama positif dilanjutkan dengan tes kedua menggunakan preparat HIV 1 & 2 Antibody Rapid Test 4 th Generation IR-100c (PT Oncoprobe Utama, Jakarta); jika tes kedua positif dilanjutkan dengan tes ketiga menggunakan preparat One Step Anti-HIV (1& 2) Tri-line Test (InTec Products Inc). Ketiga tes tersebut harus memberikan hasil yang positif (WHO, 2007b). 2. Infeksi opportunistik didefinisikan sebagai infeksi oleh mikroorganisme yang secara normal tidak menyebabkan penyakit, daftar penyakit yang digolongkan dalam infeksi opportunistik pada infeksi HIV ditetapkan menurut CDC (1999) (lampiran 3).

75 3. Kadar Hemoglobin berfungsi sebagai variabel uji baru, dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita HIV digunakan cutoff point yang diperoleh dengan metode ROC. Kadar hemoglobin < cutoff point dikategorikan sebagai imunodefisiensi berat. Kadar hemoglobin diperiksa menggunakan alat automated blood analyzer Advia 2120 Siemen Diagnostic dengan satuan gram/dl. 4. Total lymphocyte count (TLC) berfungsi sebagai variabel uji baru, dalam memprediksi imunodefisiensi berat pada penderita HIV digunakan cutoff point sesuai kriteria WHO (2006). TLC < 1200 sel/mm 3 dikategorikan sebagai imunodefisiensi berat. TLC diperiksa menggunakan alat automated blood analyzer Advia 2120 Siemen Diagnostic dengan satuan sel/mm Limfosit T CD4 + berfungsi sebagai variabel gold standard. Jumlah limfosit T CD4 + < 200 sel/mm 3 dikategorikan sebagai imunodefisiensi berat (WHO, 2007; CDC, 2008). Jumlah limfosit T CD4 + diperiksa menggunakan alat dengan teknik flow cytometry (Becton Dickinson (BD) FASCount System, USA) dengan satuan sel/mm Stadium klinis infeksi HIV adalah stadium klinis pasien pada saat sebelum memulai terapi ARV, sesuai dengan kriteria WHO (2007a) (lampiran 5). Data diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. 7. Infeksi Tuberkulosis didefinisikan dengan adanya gejala berupa batuk produktif lebih dari dua minggu disertai gejala pernafasan (sesak nafas, nyeri dada, hemoptisis) dan/atau gejala tambahan berupa keringat malam dan penurunan berat badan serta ditemukannya Mycobacterium tuberculosis complex yang diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur atau setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter (PDPI, 2011). Adanya infeksi tuberkulosis diperoleh

76 dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 8. Wasting syndrome didefinisikan sebagai penurunan berat badan minimal 10% disertai dengan diare atau kelemahan kronis dan demam selama 30 hari yang tidak diakibatkan penyebab lain selain infeksi HIV itu sendiri (CDC, 1999). Adanya wasting syndrome diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. 9. Kandidiasis didefinisikan sebagai ditemukannya kandida dengan pemeriksaan langsung specimen jaringan termasuk kerokan dengan larutan KOH. Diagnosis kandidiasis oral adalah berdasarkan gambaran membran atau plak putih dengan dasar eritema pada mulut atau ditemukannya filamen jamur pada kerokan jaringan, sedangkan diagnosis kandidiasis esofagus adalah didapatkannya keluhan nyeri retrosternum, disfagia, dan odinofagia (CDC, 1999). Adanya kandidiasis diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 10. Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) didefinisikan sebagai terdapatnya gejala demam, batuk kering, nyeri dada dan sesak nafas yang terjadi secara subakut (dua minggu atau lebih) dan pada gambaran radiologis terdapat infiltrat interstisial bilateral dan difus (CDC, 1999). Adanya PCP diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 11. Toxoplasmosis cerebri didefinisikan sebagai terdapatnya gejala demam, sakit kepala, defisit neurologik fokal dan penurunan kesadaran dan disertai gambaran neuroimaging yang sesuai (CDC, 1999). Adanya toxoplasmosis cerebri diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien.

77 12. Retinitis Citomegalovirus (CMV) didefinisikan sebagai terdapatnya gejala gangguan penglihatan berupa penurunan visus, penglihatan floater, skotoma, atau gangguan lapangan pandang dan pada pemeriksaan funduskopi terlihat perdarahan retina atau cotton wool spot (CDC, 1999). Retinitis CMV diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 13. Penyakit keganasan didefinisikan sebagai pertumbuhan sel yang tidak terkendali yang ditandai dengan gejala lokal, metastase dan sistemik. Tanda lokal berupa benjolan (tumor) yang disertai perdarahan, nyeri dan ulserasi. Gejala metastase dapat berupa pembesaran kelenjar limpe, pembesaran organ (hati, limpa) dan gejala metastase ke organ lainnya (nyeri tulang, batuk darah dsb). Gejala sistemik berupa penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kelemahan, kaheksia dan keringat malam. Dibuktikan dengan pemeriksaan patologi anatomi dengan ditemukan sel neoplastik (ACS, 2007). Terdapatnya keganasan diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 14. Anemia hemolitik autoimun didefinisikan dengan didapatkan gejala dan tanda anemia hemolitik berupa: anemia, demam, ikterus, splenomegali ditunjang dengan laboratorium berupa anemia normokromik-normositer, peningkatan retikulosit, peningkatan billirubin indirek dan tes Coombs direk (DAT) positif (Bakta, 2006). Terdapatnya anemia hemolitik diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 15. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau dengan laju filtrasi gromerolus < 60 ml/menit/1,73 m 2 selama lebih dari 3 bulan. Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai abnormalitas secara patologi anatomi atau terdapat tanda kerusakan ginjal termasuk kelainan pemeriksaan darah dan urine serta gambaran radiologi (NKF-KDOQI, 2002). Terdapatnya penyakit ginjal kronis

78 diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 16. Rheumatoid arthritis didefinisikan dengan kriteria menurut American College of Rheumatology antara lain berdasarkan jumlah dan lokasi sendi yang terkena, titer reaktan fase aktif, titer rheumatoid factor, dan lama menderita keluhan sendi. Diagnosis ditegakkan bila skor lebih dari enam (ACR, 2010). Terdapatnya rheumatoid arthritis diperoleh melalui anamnesis pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 17. Systemik lupus erythematosus (SLE) didefinisikan dengan kriteria SLE menurut American Rheumatism Association antara lain: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitifitas, ulserasi di mulut atau nasofaring, artritis, serositis (pleuritis atau perikarditis), kelainan ginjal, kelainan neurologi, kelainan hematologi, kelainan imunologik dan antinuklear antibodi (ANA) positif. Diagnosis ditegakkan bila terdapat empat dari 11 kriteria tersebut (ARA, 2008). Terdapatnya SLE diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 18. Kehamilan didefinisikan sebagai adanya pertumbuhan janin dalam rahim yang ditandai dengan adanya gejala dan tanda fisik kehamilan yang dibuktikan dengan tes kehamilan pada urine atau dengan ultrasonografi yang dilakukan oleh dokter ahli kebidanan. Terdapatnya kehamilan diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta catatan medis pasien. 19. Umur: berdasarkan umur yang tercantum di kartu tanda pengenal (KTP). 20. Jenis kelamin: berdasarkan jenis kelamin yang tercantum di kartu tanda pengenal (KTP) Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Untuk mengetahui korelasi antara kadar

79 hemoglobin dan jumlah limfosit T CD4 + digunakan uji korelasi Spearman karena data tidak terdistribusi normal. Untuk menentukan Cut off point kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat (jumlah limfosit T CD4 + < 200 sel/mm 3 ) digunakan metode receiver operator characteristic (ROC). Cut off point yang dipilih adalah angka yang memberikan sensitifitas tinggi dengan spesifisitas yang cukup. Penggunaan TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat digunakan cut off point TLC 1200 sel/mm 3 sesuai kriteria WHO. Jika TLC < 1200 sel/mm 3 dikatakan imunodefisiensi berat dan jika 1200 sel/mm 3 dikatakan imunodefisiensi tidak berat. Sedangkan cut off point kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat diperoleh dari data lokal. Jika kadar hemoglobin < cutoff point dikatakan imunodefisiensi berat dan jika cut off point dikatakan imunodefisiensi tidak berat. Untuk tujuan ini, pemeriksaan jumlah limfosit T CD4 + ditetapkan sebagai gold standard. Jumlah limfosit CD4 + < 200 sel/mm 3 dikatakan sebagai imunodefisiensi berat dan jumlah limfosit CD sel/mm 3 dikatakan sebagai imunodefisiensi tidak berat (tabel 4.1). Tabel 4.1 Variabel dalam uji diagnostik No. Variabel Skala Kode 1. Jumlah CD4 + (Gold Standar) Kategorik 1 : < 200 sel/mm 3 0 : 200 sel/mm 3 2. Kadar Hemoglobin (Uji baru) Kategorik 1 : < cutoff point 0 : cutoff point Kategorik 1 : < 1200 sel/mm 3 0 : 1200 sel/mm 3 3. Total Lymphocite Count (TLC) (Uji baru) Keterangan: Kode 1 = imunodefisiensi berat (tes positif) 0 = imunodefisiensi tidak berat (tes negatif) Melalui uji diagnostik dengan metode analisis multivariat berjenjang dapat dihitung akurasi diagnostik dari TLC sendiri serta kombinasi TLC dan kadar

80 hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat (jumlah limfosit T CD4 + < 200 sel/mm 3 ) pada penderita terinfeksi HIV. Semua data dianalisis menggunakan program komputer SPSS for windows version Nilai p < 0,05 digunakan sebagai batas kemaknaan.

81 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Dari 110 sampel yang masuk dalam penelitian, sebanyak 69 (62,7%) adalah laki-laki dan 41 (37,3%) adalah perempuan. Faktor risiko terbesar yang dijumpai pada sampel adalah perilaku heteroseksual sebanyak 68 (61,8%). Infeksi opportunistik (IO) paling banyak yang ditemukan pada sampel adalah wasting syndrome yaitu sebanyak 67 (60,9%), diikuti kandidiasis oral sebanyak 54 (49,1%) serta tuberkulosis paru dan ekstra paru sebanyak 21 (19,1%). Sampel paling banyak didapatkan pada stadium 4 yaitu sebanyak 75 (68,2%). Data selengkapnya tersaji dalam tabel 5.1. Karakteristik umur, tinggi badan, berat badan, dan indek massa tubuh (IMT) pada sampel terdistribusi tidak normal yaitu p < 0,05 pada uji Kolmogorov-Smirnov. Karena data tidak terdistribusi normal maka digunakan median sebagai ukuran pemusatan dan minimum maksimum sebagai ukuran penyebaran. Median umur sampel adalah 31 (18-55) tahun. Median tinggi badan dan berat badan sampel adalah masing-masing 164 ( ) sentimeter dan 49,5 (28 75) kilogram, sedangkan median indek massa tubuh dari sampel adalah 19,56 (12,49 29,64) kg/m 2 (tabel 5.1). 5.2 Parameter Hematologi Parameter hematologi yang diperiksa seperti leukosit, TLC, hemoglobin, platelet, MCV, dan MCH memiliki data dengan distribusi yang tidak normal dengan p < 0,05, sedangkan eritrosit, hematokrit dan MCHC memiliki data yang terdistribusi normal dengan p > 0,05 dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Leukosit dan TLC masing-masing memiliki median 5,16 (2,40 19,10) x10 3 sel/mm 3 dan 1,20 (0,23 3,64) x10 3 sel/mm 3. Hemoglobin memiliki median 11,40 (7,20 17,00) gr/dl. Median MCV dan

82 MCH masing-masing 82,80 (80,00 94,7) fl dan 28,10 (27,00 34,33) pg sedangkan jumlah platelet memiliki median 267,50 (60-977) x10 3 sel/mm 3. Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Karakteristik Jenis Kelamin, n (%) - Laki-laki - Perempuan Faktor risiko, n (%) - IVDU - Homoseksual - Pasangan ODHA - Heteroseksual Infeksi Opportunistik, n (%) - Wasting syndrome - Kandidiasis oral - Tuberkulosis - Pneumonia bakterial - Kandidiasis esofageal - Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP) - Toxoplasmosis serebri - Retinitis Cytomegalovirus (CMV) Stadium klinis, n (%) - Stadium 1 - Stadium 2 - Stadium 3 - Stadium 4 Nilai 69 (62,7) 41 (37,3) 5 (4,5) 7 (6,4) 30 (27,3) 68 (61,8) 67 (60,9) 54 (49,1) 21 (19,1) 17 (15,5) 10 (9,1) 10 (9,1) 4 (3,6) 1 (0,9) 19 (17,3) 10 (9,1) 6 (5,5) 75 (68,2) Umur,berat badan, tinggi badan, IMT, Median (minimum-maksimum) Umur (tahun), 31 (18 55) Tinggi badan (cm) 164 ( ) Berat badan (kg) 49,5 (28 75) IMT (kg/m 2 ) 19,56 (12,49 29,64) Karena jumlah eritrosit, hematokrit, dan MCHC memiliki data yang terdistribusi normal, maka digunakan mean sebagai ukuran pemusatan dan standar deviasi (SD) sebagai ukuran penyebaran. Jumlah eritrosit dan hematokrit pada sampel

83 masing-masing memiliki rerata 4,28 ± 0,63 x10 6 sel/mm 3 dan 35,13 ± 5,34 %. Data selengkapnya tersaji dalam tabel 5.2. Tabel 5.2 Data Parameter Hematologi Parameter Rerata ± SD / Median (minimum maksimum) Leukosit (x10 3 sel/mm 3 ) 5,16 (2,40 19,10) TLC (x10 3 sel/mm 3 ) 1,20 (0,23 3,64) Eritrosit (x10 3 sel/mm 3 ) 4,28 ± 0,63 Hemoglobin (gr/dl) 11,40 (7,20 17,00) Hematokrit (%) 35,13 ± 5,34 MCV (fl) 82,80 (80,00 94,70) MCH (pg) 28,10 (27,00 34,33) MCHC (%) 33,17 ± 1,36 Platelet (x10 3 sel/mm 3 ) 267,50 (60 977) Jumlah limfosit CD4 + (sel/mm 3 ) 45,00 (1 593) Berdasarkan data parameter hematologi dapat ditentukan frekuensi sampel dengan leukopenia (jumlah total leukosit < sel/mm 3. Holland, 2004), anemia (kadar hemoglobin < 13 gr/dl pada laki-laki dewasa dan < 12 gr/dl pada perempuan dewasa tidak hamil (WHO, 1968), dan trombositopenia (jumlah platelet < sel/mm 3. Holland, 2004). Frekuensi anemia didapatkan paling banyak yaitu sebanyak 78 (70,9%) sampel diikuti leukopenia dan trombositopenia masing-masing sebanyak 27 (24,5%) dan 6 (5,5%) sampel seperti yang tersaji dalam tabel 5.3. Tabel 5.3 Frekuensi Leukopenia, Anemia, dan Trombositopenia Parameter Frekuensi (%) Leukopenia 27 (24,5) Anemia 78 (70,9) Trombositopenia 6 (5,5) Berdasarkan Klasifikasi WHO (1989), anemia ringan sekali paling banyak didapatkan yaitu sebanyak 59 (53,6%) sampel, diikuti anemia ringan dan sedang

84 masing-masing 17 (15,5%) dan 2 (1,8 %) sampel. Tidak didapatkan penderita dengan anemia berat pada penelitian ini. Data tersaji dalam tabel 5.4 dan gambar 5.1 Tabel 5.4 Klasifikasi Kadar Hemoglobin dan Jumlah Limfosit CD4 + Parameter Frekuensi (%) Klasifikasi anemia (WHO, 1989) - Tanpa anemia (Hb cut off point) - Ringan sekali (Hb 10 g/dl < cut off point) - Ringan (Hb 8 9,9 g/dl) - Sedang (Hb 6 7,9 g/dl) - Berat (Hb < 6 g/dl) Klasifikasi Jumlah limfosit CD4 + (WHO, 2010) - Tidak ada imunodefisiensi atau Imunodefisiensi tidak signifikan (> 500 sel/mm 3 ) - Ringan ( sel mm/ 3 ) - Sedang ( sel/mm 3 ) - Berat (< 200 sel/mm 3 ) 32 (29,1) 59 (53,6) 17 (15,5) 2 (1,8) 0 (0) 1 (0,9) 6 (5,5) 14 (12,7) 89 (80,9) Keterangan: Cut off point anemia menurut WHO : Laki-laki dewasa < 13 g/dl; Perempuan dewasa tidak hamil < 12 g/dl p e r s e n tanpa anemia ringan sekali ringan sedang Klasifikasi anemia Gambar 5.1 Frekuensi Anemia Pada Sampel

85 5.3 Jumlah Limfosit CD4 + Data jumlah limfosit CD4 + memiliki data dengan distribusi yang tidak normal yaitu p < 0,05 dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Median Jumlah limfosit CD4 + adalah 45,00 (1-593) sel/mm 3 (tabel 5.2). Berdasarkan klasifikasi WHO 2010 dapat ditentukan frekuensi derajat imunodefisiensi berdasarkan data jumlah limfosit CD4 + seperti yang tersaji pada tabel 5.4 dan gambar 5.2. Imunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 + < 200 sel/mm 3 ) didapatkan paling banyak yaitu sebanyak 89 (80,9%) sampel. Dengan dilakukan krostabulasi, dapat diketahui frekuensi anemia menurut klasifikasi jumlah limfosit CD4 + seperti disajikan pada tabel 5.5. Sebanyak 76 (97,4%) anemia terjadi pada pasien dengan jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm 3, sedangkan sebanyak 2 (2,6 %) anemia terjadi pada jumlah Limfosit CD4 200 sel/mm p e r s e n > < 200 Jumlah limfosit CD4 + (sel/mm 3 ) Gambar 5.2 Frekuensi Sampel Berdasarkan Jumlah Limfosit CD4 +

86 Tabel 5.5 Frekuensi Anemia Menurut Klasifikasi Jumlah Limfosit CD4 + Klasifikasi Jumlah CD4 + (sel/mm 3 ) tanpa anemia Frekuensi anemia ringan sekali Ringan Sedang > < Total Korelasi Kadar Hemoglobin dan Jumlah Limfosit CD4 + Korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + ditunjukkan oleh grafik scatter plot dimana tampak hubungan linear antara keduanya (Gambar 5.3). r = 0,683; p < 0,001 Gambar 5.3 Grafik Scatter plot korelasi kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + Didapatkan korelasi positif kuat antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + (r = 0,683; p < 0,001) Karena kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + memiliki data yang tidak terdistribusi normal maka digunakan uji korelasi Spearman. Didapatkan korelasi

87 positif kuat yang signifikan antara kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + (r = 0,683; p < 0,001). Tabel 5.6 Korelasi Kadar Hemoglobin dan Parameter Lainnya dengan Jumlah Limfosit CD4 + Parameter Koefisien Korelasi (r) p value Kadar hemoglobin 0,683 < 0,001 Hematokrit 0,684 < 0,001 Eritrosit 0,653 < 0,001 TLC 0,646 < 0,001 Neutrofil 0,031 0,745 Platelet -0,132 0,169 IMT 0,408 < 0,001 Terdapat juga korelasi yang signifikan antara hematokrit, jumlah eritrosit, dan TLC dengan jumlah limfosit CD4 +, sedangkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah platelet dan neutrofil. Terdapat pula hubungan yang signifikan antara IMT dengan jumlah limfosit CD4 +. Data selengkapnya disajikan pada tabel Pengaruh Jumlah CD4 +, Infeksi Tuberkulosis, dan IMT Terhadap Kadar Hemoglobin Untuk mengetahui pengaruh infeksi tuberkulosis, IMT, dan jumlah limfosit CD4 + terhadap kadar hemoglobin digunakan analisis multivariat. Oleh karena variabel tergantung yaitu kadar hemoglobin adalah variabel numerik dan variabel bebasnya yaitu jumlah limfosit CD4 + dan IMT adalah variabel numerik maka jenis uji yang dipakai adalah uji regresi linier. Infeksi tuberkulosis dapat dianggap sebagai dummy variabel yakni variabel yang mempunyai dua buah nilai (tidak terdapat infeksi tuberkulosis nilai 0, terdapat infeksi tuberkulosis nilai 1).

88 Variabel yang akan dimasukkan ke dalam analisis regresi linier adalah variabel yang pada analisis bivariat mempunyai nilai p < 0,25. Pada análisis bivariat korelasi antara kadar hemoglobin dan jumlah CD4 + memberikan nilai r = 0,683 dengan p <0,001 serta korelasi kadar hemoglobin dan IMT dengan uji korelasi Spearman memberikan nilai r = 0,442 dengan p <0,001. Hubungan antara kadar hemoglobin dengan infeksi tuberkulosis dianalisis dengan uji t 2 kelompok tidak berpasangan non parametrik (Mann-Whitney) yang memberikan hasil p = 0,094 atau p < 0,25. Jadi Jumlah limfosit CD4 +, IMT, dan infeksi tuberkulosis dapat dimasukkan ke dalam análisis regresi linear. Hasil analisis regresi linier menunjukkan nilai koefisien korelasi jumlah CD4 + adalah 0,631 dengan p < 0,001 dan koefisien korelasi untuk IMT adalah 0,166 dengan p = 0,027. Infeksi tuberkulosis memberikan koefisien korelasi -0,104 dengan p = 0,13 atau p > 0,05, jadi dikeluarkan dari análisis regresi linear (tabel 5.7). Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Linear Kadar Hemoglobin, Jumlah Limfosit CD4 +, Infeksi Tuberkulosis, dan IMT Langkah Variabel Koefisien Langkah 1 Langkah 2 Jumlah CD4 Tuberkulosis IMT Konstanta Jumlah CD4 IMT Konstanta 0,009-0,481 0,091 9,058 0,009 0,092 8,923 Koefisien korelasi 0,613-0,104 0,164 0,631 0,166 P < 0,001 0,13 0,028 < 0,001 < 0,001 0,027 < 0,001 Oleh karena itu variabel yang dapat dipakai untuk memprediksi besarnya kadar hemoglobin adalah jumlah limfosit CD4 + dan IMT. Konstanta yang diperoleh dari regresi linear adalah 8,923 sedangkan koefisien regresi untuk Jumlah limfosit CD4 + adalah 0,009 dan koefisien regresi untuk IMT adalah 0,092. Dengan demikian

89 jumlah limfosit CD4 + dan IMT dapat memprediksi dapat kadar hemoglobin dengan persamaan regresi : Kadar hemoglobin = 8, ,009 (jumlah limfosit CD4 + ) + 0,092 (IMT) (1) Suatu persamaan dikatakan layak untuk digunakan bila nilai p pada uji Anova < 0,05. Pada uji Anova, nilai p < 0,001 sehingga rumus yang didapatkan layak untuk digunakan. Untuk mengetahui seberapa besar nilai (persen) persamaan rumus ini mampu menjelaskan kadar hemoglobin dapat dilihat dari nilai Adjusted R square pada Model Summary. Pada persamaan ini nilai Adjusted R yang diperoleh adalah sebesar 50,2%, artinya bahwa persamaan yang diperoleh mampu menjelaskan kadar hemoglobin sebesar 50,2%, sisanya sebesar 49,8% dijelaskan oleh variabel yang lain yang tidak diteliti. Dengan melakukan prosedur pengujian syarat regresi linear didapatkan nilai Durbin-Watson (DW) 1,808 (mendekati angka 2); pada uji Anova p < 0,05 ; nilai tollerance mendekati angka 1; mean residu sama dengan nol; pada output histogram residu berdistribusi normal; pada grafik scatter plot menunjukkan bahwa korelasi antara variabel tergantung dengan bebas bersifat linear; dan varian dari residual bersifat homogen karena scatter tidak mempunyai pola tertentu (lampiran 7). Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat regresi linear terpenuhi. 5.6 Cut Off Point Kadar Hemoglobin Dalam Memprediksi Imunodefisiensi Berat (CD4 + < 200 sel/mm 3 ) Untuk menentukan cut off point kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 + < 200 sel/mm 3 ) digunakan analisis dengan prosedur Receiver Operating Characteristic (ROC) yang dibedakan menurut jenis kelamin.

90 Pada lampiran ditunjukkan berbagai alternatif cut off point yang mungkin untuk masing-masing jenis kelamin dengan nilai sensitivitas dan spesifisitasnya. Penentuan cut off point ditentukan secara klinis yaitu ditetapkan oleh peneliti sesuai dengan harapan peneliti dan kepentingan klinis. Karena kadar hemoglobin akan digunakan untuk tujuan skrining penderita dengan imunodefisiensi berat, maka dipilih cut off point yang memiliki sensitivitas tinggi dengan spesifisitas yang cukup. Pada laki-laki dipilih cut off point kadar hemoglobin 12,2 gr/dl dengan sensitifitas 100 % dan spesifisitas 80,4%, sedangkan pada perempuan dipilih cut off point kadar hemoglobin 11,2 gr/dl dengan sensitivitas 87,5% dan spesifisitas 54,5% (lampiran 7). 5.7 Akurasi Diagnostik Kombinasi Kadar Hemoglobin dan Total Lymphocyte Count (TLC) Dalam Memprediksi Imunodefisiensi Berat (jumlah limfosit CD4 + < 200) Analisis selanjutnya adalah mengetahui akurasi diagnostik TLC sendiri dan kombinasi TLC dengan kadar hemoglobin dalam mendiagnosis imunodefisiensi berat pada penderita terinfeksi HIV. Setelah ditentukan Cut off point kadar hemoglobin, kemudian dilakukan transformasi data pada SPSS untuk mengubah data numerik menjadi variabel kategorikal untuk tujuan analisis multivariat berjenjang. Kadar hemoglobin < cut off point diberikan kode 1 dan jika cut off poin diberi kode 0. Demikian juga pada TLC dan jumlah limfosit CD4 +. Jika TLC < 1200 sel/mm 3 diberi kode 1 dan jika 1200 sel/mm 3 diberi kode 0. Jika jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm 3 diberi kode 1 dan jika 200 sel/mm 3 diberi kode 0. Analisis regresi logistik digunakan untuk melakukan analisis secara berjenjang. Variabel independen yang mempunyai p < 0,25 pada analisis bivariat boleh dimasukkan ke dalam analisis multivariat (regresi logistik). Oleh karena

91 variabel dependen (jumlah limfosit CD4 + ) dan variabel independen (TLC dan kadar hemoglobin) merupakan variabel kategorikal maka digunakan analisis Chi-Square. Hasil analisis Chi-Square kadar hemoglobin dan jumlah limfosit CD4 + didapatkan nilai odds ratio (OR) sebesar 48,46 dengan interval kepercayaan 95% antara 6,18 380,10 dan p < 0,001. Sedangkan hasil analisis Chi-Square TLC dan jumlah limfosit CD4 + didapatkan nilai OR sebesar 29,44 dengan interval kepercayaan 95% antara 3,78 229,29 dan p < 0,001. Variabel TLC dan kadar hemoglobin dapat dimasukkan ke dalam analisis multivariat karena mempunyai p < 0,25 pada analisis bivariat. Langkah pertama adalah mengetahui akurasi diagnostik TLC sendiri dalam mendiagnosis imunodefiesiensi berat pada penderita terinfeksi HIV. Berdasarkan analisis regresi logistik variabel TLC mempunyai nilai p < 0,05 sehingga dapat dijadikan sebagai prediktor imunodefisiensi berat. Pada data SPSS telah ada satu variabel baru yang bernama PRE_1 (lampiran 6). Variabel ini merupakan probabilitas masing-masing pasien untuk menderita imunodefisiensi berat (Jumlah limfosit CD4 + < 200 sel/mm). Variabel ini berguna untuk menghitung akurasi diagnostik TLC dengan pendekatan ROC. Akurasi diagnostik TLC ditunjukkan oleh area under curve (AUC) pada kurva ROC. Dengan prosedur ROC didapatkan akurasi diagnostik TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat adalah sebesar 77,4% dengan interval kepercayaan 95% antara 68,0 86,7 % dengan p < 0,001 (gambar 5.4 dan tabel 5.8).

92 Gambar 5.4 Kurva ROC variabel TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat Tabel 5.8 Area Under Curve (AUC) TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat Area Under Curve P Interval Kepercayaan 95% Minimum Maksimum 77,4 % < 0,001 68,0 % 86,7% Untuk menghitung sensitifitas, spesifisitas, positive predicted value (PPV), dan negative predicted value (NVP), positive likelihood ratio (LH+), dan negative likelihood ratio (LH-) parameter TLC dalam memprediksi imunodefisiensi berat digunakan analisis tabel 2x2 seperti tabel 5.9. Dengan menggunakan rumus dalam uji diagnostik didapatkan sensitifitas 59,5 %; spesifisitas 95,2%; PPV 98,1%; dan NVP 35,7%; LH+ 12,3; dan LH- 0,42.

93 Tabel 5.9 Analisis tabel 2x2 antara TLC dengan jumlah limfosit CD4 + CD4 < 200 sel/mm 3 Ya Tidak Total TLC < 1200 Ya sel/mm 3 Tidak Total Untuk mengetahui akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dilakukan analisis regresi logistik seperti dibahas sebelumnya dengan menambahkan variabel kadar hemoglobin ke dalam analisis. Pada analisis regresi logistik, TLC dan kadar hemoglobin memberikan hasil yang bermakna (p < 0,05) dalam mendiagnosis imunodefisiensi berat. Pada data SPSS terdapat variabel baru bernama PRE_2 (lampiran 6). Variabel ini berguna untuk mengetahui akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin untuk mendiagnosis imunodefisiensi berat. Untuk mengetahui apakah penambahan kadar hemoglobin ini menambah akurasi diagnostik TLC, dilakukan analisis dengan prosedur ROC dengan memasukkan variabel TLC (PRE_1) dan variabel kombinasi TLC dan kadar hemoglobin (PRE_2) kedalam analisis ROC. Hasil yang diperoleh disajikan dalam gambar 5.5 dan tabel Berdasarkan kurva ROC didapatkan akurasi diagnostik kombinasi TLC dan kadar hemoglobin yang ditunjukkan oleh nilai area under curve (AUC) adalah sebesar 89,3% dengan interval kepercayaan 95% antara 83,2% - 95,5%. Nilai ini lebih besar daripada nilai AUC variabel TLC saja (77,4%). Dengan demikian, penambahan kadar hemoglobin menambah akurasi diagnostik TLC sebesar 11,9%.

94 Gambar 5.5 Kurva ROC kombinasi TLC dan kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat Tabel 5.10 Area Under Curve (AUC) kombinasi TLC dan kadar Hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat Parameter Area Under Curve P 95% Confidence Interval Minimum Maksimum TLC 77,4 % < 0,001 68,0 % 86,7% TLC + Hemoglobin 89,3% 0,031 83,2% 95,5% Untuk menghitung sensitifitas, spesifisitas, PPV, dan NVP, LH+, dan LHkombinasi TLC dan kadar hemoglobin dalam memprediksi imunodefisiensi berat digunakan analisis tabel 2x2 seperti tabel Dengan menggunakan rumus dalam uji diagnostik didapatkan sensitifitas 83,1 %; spesifisitas 90,47%; PPV 97,3%; dan NVP 55,8%, LH+ 8,7, dan LH- 0,18.

HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga

HIV dengan anemia (Volberding, dkk., 2002; Volberding, dkk 2004). Anemia juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Laporan UNAIDS tahun 2010 menyatakan bahwa walaupun secara global

Lebih terperinci

AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT

AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT TESIS AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL

Lebih terperinci

AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT

AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT TESIS AKURASI DIAGNOSTIK KOMBINASI TOTAL LYMPHOCYTE COUNT (TLC) DAN KADAR HEMOGLOBIN UNTUK MEMPREDIKSI IMUNODEFISIENSI BERAT PADA PENDERITA TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PRA TERAPI ANTIRETROVIRAL

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia. laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan angka insiden, prevalensi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia. laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan angka insiden, prevalensi BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia Infeksi HIV/AIDS merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia. antiretroviral (ARV) pada beberapa tahun terakhir.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia. antiretroviral (ARV) pada beberapa tahun terakhir. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia Infeksi HIV/AIDS merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP

DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP TESIS DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP PASIEN ODHA YANG MENERIMA TERAPI ANTIRETROVIRAL DI LAYANAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING SEKAR JEPUN RSUD BADUNG TAHUN 2006-2014 PUTU DIAN PRIMA KUSUMA DEWI PROGRAM

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS Ardo Sanjaya, 2013 Pembimbing 1 : Christine Sugiarto, dr., Sp.PK Pembimbing 2 : Ronald Jonathan, dr., MSc., DTM & H. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh populasi. 1 Wanita hamil merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia Pada Pasien HIV/AIDS 2.1.1 Definisi Anemia Berdasarkan kriteria WHO, anemia merupakan suatu keadaan klinis dimana konsentrasi hemoglobin kurang dari 13 g/dl pada laki-laki

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Epidemi Human immunodeficiency virus (HIV) / Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan krisis global dan tantangan yang berat bagi pembangunan

Lebih terperinci

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 TESIS VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6 JIMMY NIM 0914028203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1 Latar Belakang Penyakit human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu retrovirus yang berasal dari famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum FAKTOR DETERMINAN PENINGKATAN BERAT BADAN DAN JUMLAH CD4 ANAK HIV/AIDS SETELAH ENAM BULAN TERAPI ANTIRETROVIRAL Penelitian Cohort retrospective terhadap Usia, Jenis kelamin, Stadium klinis, Lama terapi

Lebih terperinci

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v UCAPAN TERIMA KASIH... vi ABSTRAK... viii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno Deficiency Syndrome(AIDS) saat ini telah menjadi masalah kesehatan global. Selama kurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang saat ini terus melakukan pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik, peningkatan taraf hidup setiap

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP HARAPAN HIDUP 5 TAHUN PASIEN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) / ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS

Lebih terperinci

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya ABSTRAK Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Untuk membedakan ADB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu sindroma/ kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi

Lebih terperinci

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS ABSTRAK PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS Renaldi, 2013 Pembimbing I : dr. Fenny, Sp.PK., M.Kes Pembimbing II : dr. Indahwaty,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi yang hingga saat ini masih menjadi salah satu penyakit yang paling ditakuti dan memiliki insiden yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. RSUP Dr. Kariadi Semarang telah dilaksanakan mulai bulan Mei 2014

BAB IV METODE PENELITIAN. Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. RSUP Dr. Kariadi Semarang telah dilaksanakan mulai bulan Mei 2014 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Anak Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Pengambilan

Lebih terperinci

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). 10,11 Virus ini akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsi dari organ tempat sel tersebut tumbuh. 1 Empat belas juta kasus baru BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker adalah suatu keganasan yang terjadi karena adanya sel dalam tubuh yang berkembang secara tidak terkendali sehingga menyebabkan kerusakan bentuk dan fungsi dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Tropis. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi 4.2 Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Juni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi derajat kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih menjadi masalah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN...ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR SINGKATAN... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS PADA BAYI DAN ANAK Endang Retnowati Departemen/Instalasi Patologi Klinik Tim Medik HIV FK Unair-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 15 16 Juli 2011

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu. Penurunan imunitas seluler penderita HIV dikarenakan sasaran utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan salah satu infeksi yang perkembangannya terbesar di seluruh dunia, dalam dua puluh tahun terakhir diperkirakan

Lebih terperinci

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI Setelah ditemukannya obat antiretroviral (ARV) telah terjadi peningk atan status gizi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oportunistik yang paling sering dijumpai pada pasien HIV. Adanya hubungan yang kompleks antara HIV dan TB dapat meningkatkan mortalitas maupun morbiditas.

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran umum HUBUNGAN JENIS INFEKSI OPORTUNISTIK DENGAN MORTALITAS ANAK HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME Studi di RSUP Dr. Kariadi Semarang LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA)

ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) ABSTRAK PERAN ERITROPOIETIN TERHADAP ANEMIA ( STUDI PUSTAKA) Hana Setiawati Dhanisworo, 2006 Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr. Pembimbing II : Surjadi Kurniawan, dr., M. Kes Gejala anemia merupakan komplikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm

Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm Cheaper HIV viral load in-house assay and simplified HIV Test Algorithm Agnes R Indrati Clinical Pathology dept, Hasan Sadikin hospital/ University of Padjadjaran Bandung Diperesentasikan pada: 3 rd Bandung

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala akibat penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hemoglobin Hemoglobin adalah pigmen yang terdapat didalam eritrosit,terdiri dari persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein yang disebut globin,dan

Lebih terperinci

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013

KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 i KARYA TULIS ILMIAH PROFIL PASIEN HIV DENGAN TUBERKULOSIS YANG BEROBAT KE BALAI PENGOBATAN PARU PROVINSI (BP4), MEDAN DARI JULI 2011 HINGGA JUNI 2013 Oleh : YAATHAVI A/P PANDIARAJ 100100394 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah usia lanjut di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) memerlukan deteksi cepat untuk kepentingan diagnosis dan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum

LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program strata-1 kedokteran umum HUBUNGAN ANTARA STADIUM KLINIS, VIRAL LOAD DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap perubahan status nutrisi telah diketahui sejak tahap awal epidemi. Penyebaran HIV di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

PREDIKTOR SUBSTITUSI ZIDOVUDIN PADA PASIEN HIV/AIDS DI KLINIK VCT SEKAR JEPUN RSUD BADUNG PERIODE TAHUN

PREDIKTOR SUBSTITUSI ZIDOVUDIN PADA PASIEN HIV/AIDS DI KLINIK VCT SEKAR JEPUN RSUD BADUNG PERIODE TAHUN TESIS PREDIKTOR SUBSTITUSI ZIDOVUDIN PADA PASIEN HIV/AIDS DI KLINIK VCT SEKAR JEPUN RSUD BADUNG PERIODE TAHUN 2006-2014 NI WAYAN SUKMA ADNYANI NIM 1392161007 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

Lebih terperinci

APLIKASI METODE KESINTASAN PADA ANALISIS FAKTOR DETERMINAN LAMA RAWAT PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE DI RUMAH SAKIT UMUM PURI RAHARJA

APLIKASI METODE KESINTASAN PADA ANALISIS FAKTOR DETERMINAN LAMA RAWAT PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE DI RUMAH SAKIT UMUM PURI RAHARJA UNIVERSITAS UDAYANA SKRIPSI APLIKASI METODE KESINTASAN PADA ANALISIS FAKTOR DETERMINAN LAMA RAWAT PASIEN DEMAM BERDARAH DENGUE DI RUMAH SAKIT UMUM PURI RAHARJA I KOMANG CANDRA WIGUNA 0820025045 PROGRAM

Lebih terperinci

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO

TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO TESIS TERDAPAT HUBUNGAN ANTARA UMUR IBU DENGAN JUMLAH FOLIKEL ANTRAL PADA FERTILISASI IN VITRO FRANSISKUS CHRISTIANTO RAHARJA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS TERDAPAT HUBUNGAN

Lebih terperinci

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS).

ABSTRAK. Adherence Scale (MMAS). iv ABSTRAK HIV positif merupakan kondisi ketika terdapat infeksi Human Immunodeficiency Virus di dalam darah seseorang. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul

Lebih terperinci

KADAR CANCER ANTIGEN-125 DAN HUMAN EPIDIDYMIS-4 LEBIH TINGGI PADA KANKER OVARIUM TIPE EPITELIAL DARIPADA TIPE NON EPITELIAL

KADAR CANCER ANTIGEN-125 DAN HUMAN EPIDIDYMIS-4 LEBIH TINGGI PADA KANKER OVARIUM TIPE EPITELIAL DARIPADA TIPE NON EPITELIAL TESIS KADAR CANCER ANTIGEN-125 DAN HUMAN EPIDIDYMIS-4 LEBIH TINGGI PADA KANKER OVARIUM TIPE EPITELIAL DARIPADA TIPE NON EPITELIAL BAGUS NGURAH BRAHMANTARA NIM : 1114038109 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain Penelitian yang dipilih adalah rancangan studi potong lintang (Cross Sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tersebut disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). UNAIDS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tersebut disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). UNAIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV merupakan virus yang menyerang imunitas manusia. Kumpulan gejala penyakit yang muncul karena defisiensi imun tersebut disebut AIDS

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU MEDAN TAHUN 2012 Oleh : ANGGIE IMANIAH SITOMPUL 100100021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002) 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik / penyakit ginjal tahap akhir (ESRD / End Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh

Lebih terperinci

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36 vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

Studi kasus pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

Studi kasus pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA HUBUNGAN ANTARA STADIUM KLINIS, VIRAL LOAD DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG Studi kasus pada pasien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih

BAB 1 PENDAHULUAN. Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sel Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah semacam sel darah putih atau limfosit. Sel tersebut adalah bagian terpenting dari sistem kekebalan tubuh, Sel ini juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Anemia adalah penurunan jumlah normal eritrosit, konsentrasi hemoglobin, atau hematokrit. Anemia merupakan kondisi yang sangat umum dan sering merupakan komplikasi dari

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr.

BAB IV METODE PENELITIAN. dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. Penelitian telah dilaksanakan di bagian Instalasi Rekam Medis RSUP Dr. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk dalam lingkup penelitian bidang Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan dan Ilmu Patologi Klinik. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007

ABSTRAK. STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 vi ABSTRAK STUDI TATALAKSANA SKRINING HIV di PMI KOTA BANDUNG TAHUN 2007 Francine Anne Yosi, 2007; Pembimbing I: Freddy Tumewu Andries, dr., MS Pembimbing II: July Ivone, dr. AIDS (Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan salah satu penyakit hati dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Banyak pasien yang meninggal pada dekade

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopticus.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.

BAB I PENDAHULUAN. kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler. mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Kusta dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun anemia

Lebih terperinci

AKURASI PERSENTASE CD4 DAN ABSOLUT CD4 TIDAK BERBEDA DALAM MEMPREDIKSI VIRAL LOAD

AKURASI PERSENTASE CD4 DAN ABSOLUT CD4 TIDAK BERBEDA DALAM MEMPREDIKSI VIRAL LOAD TESIS AKURASI PERSENTASE CD4 DAN ABSOLUT CD4 TIDAK BERBEDA DALAM MEMPREDIKSI VIRAL LOAD PADA IBU HAMIL TERINFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS TRIMESTER II DAN III DI BALI FERRY SANTOSO PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN ANGKATAN 2010 TENTANG PERANAN KONDOM TERHADAP PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS Oleh: VINCENT 100100246 FAKULTAS KEDOKTERAN MEDAN 2013 ii TINGKAT

Lebih terperinci

HUBUNGAN PELAYANAN KEFARMASIAN DENGAN KEPUASAN PASIEN MENGGUNAKAN JASA APOTEK DI KOTA DENPASAR

HUBUNGAN PELAYANAN KEFARMASIAN DENGAN KEPUASAN PASIEN MENGGUNAKAN JASA APOTEK DI KOTA DENPASAR TESIS HUBUNGAN PELAYANAN KEFARMASIAN DENGAN KEPUASAN PASIEN MENGGUNAKAN JASA APOTEK DI KOTA DENPASAR PUTU EKA ARIMBAWA NIM 1292161025 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama di seluruh

Lebih terperinci

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian pada pasien DBD (DSS) anak ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS

PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS PERBANDINGAN KADAR RET HE, FE, DAN TIBC PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI FE DENGAN ANEMIA KARENA PENYAKIT KRONIS ABSTRAK Renaldi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha Bandung Latar belakang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) & Acquired Immunodeficieny Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang

Lebih terperinci

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL

PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL PERANAN NON-VIRAL LOAD SURROGATE MARKER PADA PASIEN HIV(+) YANG DIMONITOR SELAMA PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP

Lebih terperinci