Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran. Bagian IV: A. Kesimpulan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran. Bagian IV: A. Kesimpulan"

Transkripsi

1 Foto : Taufik Rinaldi Bagian IV: Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari segi inklusifitas sosial dan perspektif pihak-pihak yang terpinggirkan. Tulisan ini juga mencoba untuk memahami dinamika perubahan peradilan non-negara dan menerapkannya ke dalam strategi yang memanfaatkan kelebihan maupun mengatasi kelemahan penyelesaian sengketa informal. Kesimpulan Utama Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin. Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi. Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas bisa menciptakan kesewenangwenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Kasus-kasus mengenai hak atas tanah dan kekayaan didalamnya, adalah kasus yang paling rumit dan sulit dipecahkan. Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagi pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif. 57

2 Kesimpulan dan Saran Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah bahwa peradilan non-negara merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Perpaduan antara kemudahan diakses dan kewenangan sosial berarti bahwa sistem peradilan informal mediasi dan negosiasi melalui kepala desa, pemimpin agama, hukum adat dan pemimpin masyarakat merupakan pengalaman keadilan satu-satunya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya, dalam mengadakan pembaharuan sektor peradilan di Indonesia, pendekatan yang terfokus terhadap sistem negara menjadi tidak cukup karena sebagian besar masyarakat mencari keadilan di tingkat desa dan bukan di pengadilan negara. Temuan penting kedua adalah bahwa cara berjalannya peradilan non-negara akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kasus yang diteliti mencakup akses terhadap tanah dan sumber daya alam, sengketa kekeluargaan, perceraian dan warisan, tindak pidana berat dan konflik kekerasan antar suku. Ketidakberhasilan penyelesaian sengketa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi perseorangan dan masyarakat. Untuk sebagian besar kasus ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Masyarakat lebih puas dengan kinerja mekanisme peradilan non-negara daripada pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Legitimasi dan kewenangan sosial merupakan sumber kepuasan masyarakat terhadap peradilan non-negara, namun di lain sisi pelaksanaan kewenangan sosial yang tidak terpantau justru menjadi kelemahan utamanya. Tanpa pengawasan, kelompok terpinggirkan sering tidak diikutsertakan, pembuatan putusan berjalan sewenangwenang dan penyelesaian sengketa lebih ditentukan oleh relasi kuasa daripada negara hukum. Peradilan nonnegara cenderung mencerminkan dan dipengaruhi oleh kedekatan hubungan sehingga merugikan perempuan dan kelompok terpinggirkan. Padahal jelas bahwa ketidakadilan seperti inilah yang memicu meluasnya konflik kekerasan. Konflik lahan yang mempunyai nilai ekonomi yang jelas adalah hal yang paling sering memicu konflik dan sulit untuk diselesaikan. Karena itu, hal ini terlalu penting untuk diabaikan. Kegagalan dalam mendukung peradilan non-negara berarti berlanjutnya ketidaksamarataan, hilangnya hak atas ekonomi dan meningkatnya peluang terjadinya konflik. Tetapi mencari solusi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan prosedur dan substansi peradilan non-negara di masing-masing daerah mempersulit proses untuk membuat kerangka kerja yang berkaitan dengan sistem peradilan non-negara. Karena itu tidak mengherankan bahwa penelitian ini tidak menemukan contoh perubahan atau pembaharuan yang menyeluruh yang membuka kesempatan bagi perempuan dan kelompok terpinggirkan. Namun, keterbukaan politik dan demokrasi menciptakan dinamika progresif dimana beberapa kelompok lokal menggali pembentukan model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan tepat sasaran. Munculnya gerakan yang mendesak perubahan dan adanya perubahan yang didorong dari bawah baik berasal dari pemerintah maupun masyarakat madani merupakan pertanda bahwa sudah mulai ada perubahan. Hal ini perlu didukung. Pemahaman Peradilan Non-Negara di Indonesia: Temuan-temuan Utama Peradilan Non-Negara telah menjadi Mekanisme Utama dalam Penyelesaian Sengketa Meskipun sering dipandang sebagai cara penyelesaian alternatif seringkali peradilan non-negara merupakan satu-satunya pengalaman di bidang keadilan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepala desa, petugas pemerintahan desa dan agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat diakui oleh sebagian besar rakyat desa sebagai pelaku utama dalam penyelesaian sengketa. Sebagai perbandingan, hanya dua persen dari masyarakat 58

3 Kesimpulan dan Saran pernah berhubungan dengan pengadilan formal. Berhubungan dengan jaksa dan pengacara juga hampir tidak dilakukan. Adanya Kaitan antara Keadilan, Stabilitas dan Kemiskinan Peradilan non-negara menangani persengketaan secara luas, termasuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan stabilitas dan kehidupan sosial. Kejahatan, konflik tanah, warisan, perkawinan dan perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk-bentuk masalah hukum yang paling umum. Penyelesaian adil dari sengketa-sengketa tersebut membantu pihak perempuan mendapatkan harta gono-gini dalam perceraian dan memastikan bahwa anak mereka memiliki status hukum untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dan pastinya tidak ada yang lebih penting bagi keamanan dan kesejahteraan mereka selain kepastian hak penguasaan tanah. Mekanisme Peradilan Non-Negara didominasi oleh Norma-norma Sosial Penyelesaian sengketa informal secara keseluruhan tidak memiliki sistem jelas yang menyeluruh, melainkan merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa wilayah, misalnya Sumatera Barat, dimana dewan adat setempat telah terbentuk, peradilan nonnegara ditegakkan dengan baik dan memiliki struktur serta hukum dan prosedur tertulis. Namun di kebanyakan wilayah proses berjalan serupa dengan yang terjadi di Kalimantan dan Maluku, dimana kepala desa atau pemimpin agama menyelesaikan sengketa berdasarkan pandangan lokal terhadap keadilan ataupun pendapat subyektif. Keputusan sering tidak ditunjuk kepada hukum negara, agama atau adat. Norma sosial dan relasi kekuasan menentukan keputusan. Ketidakjelasan prosedur peradilan non-negara memberi pelaku peradilan non-negara keleluasan dalam menentukan penyelesaian dan sanksi yang sesuai dengan budaya lokal. Tapi hal ini juga dapat mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum lemah. Menjaga Kerukunan dapat Menghasilkan Kebebasan dari Hukuman (Impunitas) Kemampuan mengembalikan kerukunan antar pihak adalah salah satu kekuatan utama dari peradilan nonnegara. Namun kepentingan kerukunan dapat juga disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Selain itu, pada masyarakat yang memiliki marga atau suku, upaya mencapai kerukunan umumnya mengutamakan menjaga keseimbangan hubungan antar-marga. Seringkali tercapainya kerukunan berarti hilangnya hak asasi manusia dan keadilan secara individu. Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus Sepa, dimana keluarga dari korban perkosaan yang berusia tujuh belas tahun dipaksa untuk meminta maaf pada pelaku. Kasus ini merupakan contoh dimana dorongan untuk mengembalikan kerukunan digunakan untuk menekan keluhan yang sah dan berdasar dari kaum lemah. Tidak adanya proses pengawasan berarti kaum lemah tidak mempunyai saluran untuk banding ataupun menolak keputusan yang tercapai. Upaya menjaga kerukunan juga berpengaruh terhadap penentuan sanksi dalam sistem peradilan non-negara. Sanksi terhadap sengketa perdata dan pidana biasanya berupa kompensasi berbentuk uang, sehingga tampak menyamakan unsur hukuman dengan ganti rugi kerusakan material. Penelitian ini juga mencatat adanya hukuman fisik, termasuk cambuk dan pukulan, yang secara hukum berada diluar wewenang pelaku peradilan non-negara. Tanpa adanya kerangka pengawasan yang efektif, pemberian sanksi secara berlebihan dapat terjadi dan begitu juga pembebasan dari hukuman. 59

4 Kesimpulan dan Saran Kekuatan: Kemudahan Akses dan Legitimasi Sosial Kombinasi dari flexibilitas dan legitimasi serta kewenangan sosial di tingkat lokal memberi banyak keuntungan. Peradilan non-negara, selain lebih populer daripada peradilan formal, kinerjanya juga dilaporankan memberikan tingkat kepuasan kepada warga masyarakat yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69 persen untuk peradilan non-negara dan 59 persen untuk peradilan negara. Sengketa sederhana dan ringan di dalam masyarakat umumnya terselesaikan dengan cepat. Dari empat belas kasus yang tercatat dalam studi ini, sebelas diantaranya dapat diselesaikan tanpa kesulitan berarti. Pada kasus sederhana, kemudahan akses, kelonggaran, biaya ringan dan kecepatan kinerja dari peradilan nonnegara membawa keuntungan yang lebih signifikan daripada peradilan formal. Kasus-kasus yang diteliti rata-rata terselesaikan dalam dua sampai tiga minggu, bahkan kurang. Biaya untuk administrasi kasus biasanya ringan. Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan, tercapai penyelesaian yang memenangkan keduabelah pihak melalui penyelesaian adat yang memungkinkan keluarga pelaku dan korban tetap menjalin hubungan yang baik. Kekuatan utama dari peradilan non-negara berada pada wewenang dan legitimasi sosial yang dimilik para pelakunya. Legitimasi yang melekat pada kepala desa, pemimpin agama dan tokoh masyarakat mampu meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar secara bersama dan juga memungkinkan penegakkan putusan yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut. Kelemahan: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Kurangnya Pertanggungjawaban Meskipun legitimasi sosial adalah kekuatan hukum adat, pelaksanaannya yang tidak diawasi dapat mengarahkannya pada ketidakadilan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk menggunakan pengaruh mereka untuk mengatur norma-norma dan proses penyelesaian sengketa. Hal ini sangat jelas pada kasus penghinaan adat di Sumatera Barat dimana norma-norma diterapkan secara selektif sesuai wewenang orang-orang yang bersengketa. Kasus perkelahian di pasar dan Anggeng juga menunjukkan bahwa kekuasaan orang-orang yang bersengketa dapat membuat mereka kebal dari kewajiban pelaksanaan putusan. Kurangnya Keterwakilan Perempuan Perempuan dan minoritas kurang terwakili dalam institusi penyelesaian sengketa di desa. Kepala desa dan kepada dusun adalah pelaku utama penyelesaian sengketa, tetapi hanya 3 persen dan 1 persen dari keduanya adalah perempuan. Hal ini tidak mengakibatkan tertutupnya sama akses terhadap keadilan, sebagaimana tetap banyaknya perempuan yang menyetujui pendapat seorang penduduk desa perempuan di desa Sembuluh II di Kalimantan Selatan bahwa, Akan lebih mudah (untuk melaporkan masalah) dengan perempuan. Terkadang kami malu dengan pria. Kasus perceraian di Kalimantan dan beberapa kasus lahan dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurangnya perwakilan perempuan di institusi peradilan informal membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dirugikan. Ini 60

5 Kesimpulan dan Saran juga berarti bahwa masalah hukum perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Lebih serius lagi, untuk kasus peka seperti kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang tidak melapor karena khawatir akan dampak sosialnya. Sengketa Antar Suku, Antar Desa dan Pihak Ketiga Sulit untuk Diselesaikan Sengketa lintas suku atau agama sulit untuk diselesaikan. Terutama karena dalam mekanisme yang berdasarkan adat pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu berasal dari golongan elit dari suku setempat. Suku minoritas dan transmigran sering diberi status kelas dua oleh hukum adat. Konflik antara suku Batak dan kelompok Minang lokal di Kinali, Sumatera Barat, dan kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah memunculkan keraguan atas kemampuan sistem peradilan yang berdasarkan hukum adat tradisional untuk menjawab kebutuhan keadilan dengan tetap tanggap menghadapi kebutuhan modernitas keberagaman Indonesia. Kelompok minoritas, terutama di daerah yang pernah berkonflik, secara konsisten lebih memilih sektor peradilan formal karena menganggap sistem formal cenderung lebih netral, tidak melihat perbedaan suku, dan lebih bebas dari pengaruh politik. Sengketa lintas wilayah perbatasan juga sulit diselesaikan. Jarang ada pelaku hukum adat yang dapat membangun wewenangnya di luar batas wilayah atau sosial mereka. Kenyataan ini diperburuk dengan rendahnya tingkat kepercayaan sosial antar desa yang berbatasan. 58 persen penduduk desa menyatakan bahwa orang-orang yang berada di lingkungan mereka dapat dipercaya, tapi hanya 36 persen mengatakan bahwa orang-orang dari desa-desa tetangga dapat dipercaya. Kasus Tembok Berlin di Lombok adalah contoh yang luar biasa. Pada sebuah pulau tempat pesiar yang indah, perselisihan dan bentrokan antar kampung mengakibatkan didirikannya tembok pemisah antar kampung setinggi tiga meter. Pemimpin lokal tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kekerasan. Pentingnya Sengketa Tanah Sengketa kecil dalam desa tentang batas-batas tanah umumnya dapat diselesaikan tanpa kesulitan melalui sistem hukum adat. Namun, seperti yang jelas terlihat pada kasus pertambangan Gunung Sari dan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, masalah menjadi lebih rumit ketika melibatkan kepentingan kelompok luar yang berkuasa. Aparat desa biasanya tidak memiliki kewenangan maupun pengaruh yang cukup untuk mencegah timbulnya masalah-masalah lingkungan dan sengketa lahan dimana pihak perusahaan swasta yang biasanya didukung oleh pemerintah mulai terlibat. Lemahnya aparat desa dalam kondisi seperti ini dapat berakibat munculnya konflik horizontal di tingkat lokal, seperti di Sampang di pertambangan Sari Gunung dan lokasi penelitian lain di Kalimantan Tengah. Program pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan perkebunaan kelapa sawit secara besarbesaran ikut memperumit pokok permasalahan. Sistem peradilan formal maupun informal belum mampu bekerja secara efektif untuk menyelesaikan sengketa semacam ini. Sistem peradilan non-negara gagal karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh seperti yang telah disebutkan diatas. Pengadilan formal gagal dengan alasan yang sama, dan juga karena persengketaan tersebut seringkali mencakup lebih dari permasalahan hukum murni. Masyarakat sering juga menginginkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui persetujuan hak guna tanah bersama. Namun sering juga inti sengketa tidak terletak pada hak dan kewajiban hukum dan lebih terletak pada penegakan prinsip kewajaran dan keadilan sosial misalnya berkaitan dengan para penghuni liar jangka lama di tanah milik negara; ataupun komunitas penghuni yang mendapat ijin tinggal tidak resmi namun tetap dipaksa untuk pindah ke tempat yang baru. Masalah-masalah ini membutuhkan hasil mediasi yang lentur berdasarkan kepentingan publik. 61

6 Kesimpulan dan Saran Mekanisme peradilan informal tidak berfungsi sebagai forum mediasi yang efektif untuk sengketa-sengketa ini. Maka dibutuhkan sebuah mekanisme alternatif. Mekanisme alternatif ini harus berdasarkan mediasi dan dapat mewakili semua pihak yang berkepentingan pemerintah, sektor swasta, kelompok masyarakat madani dan masyarakat itu sendiri. Ketidakjelasan Persinggungan antara Sistem Formal dan Informal Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan informal dan formal, khususnya mengenai kewenangan, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kesempatan untuk mencari keuntungan dan manipulasi sengketa. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian di Kalimantan, polisi menentukan kasus apa akan dimediasikan atau diteruskan secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur resmi. Seperti pada kasus Anggeng dan carok, pengadilan juga memutuskan secara sepihak untuk menerima atau menolak adat istiadat lokal tanpa mengunakan kriteria yang jelas. Ketidakpastian seperti ini membuat masyarakat lemah dan tidak berpendidikan menjadi mudah dieksploitasi. Tidak adanya kejelasan hak untuk mengajukan banding terhadap hasil peradilan non-negara di pengadilan negara juga mengurangi pertanggungjawaban fungsi aparat hukum negara. Otonomi Daerah Merupakan Awal dari Perubahan Otonomi daerah memberi kesempatan untuk mengatasi beberapa kelemahan-kelemahan ini. Peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi memberi wewenang pada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini memungkinkan lahirnya stuktur dan mekanisme baru untuk mengatasi konflik antar suku, menambah perwakilan perempuan dan mengatasi sengketa antar desa yang rumit. Namun demikian, penelitian lapangan ini tidak menemukan adanya contoh pembentukan struktur ataupun mekanisme baru seperti yang diharapkan. Bahkan di Sumatera Barat, Maluku dan Kalimantan Tengah, wewenang ini justru digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan tradisional yang berdasarkan adat. Kembalinya ke cara lama tidak hanya menegaskan kembali identitas budaya suku lokal, tapi juga melambangkan idealisme yang dibawa dari masa lalu. Seperti yang diungkapkan oleh Benda-Beckmann pada Sumatera Barat, adat telah diberikan kepentingan simbolis dan retorik dan dianggap sebagai jimat yang dapat membawa masa depan yang lebih baik. 77 Temuan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kembalinya hukum adat tidak dapat mengatasi kelemahankelemahan peradilan non-formal, seperti kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas. Namun Contoh Perubahan yang Baik Juga Ada Penelitian menemukan beberapa contoh pembaharuan di tingkat masyarakat. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi yang muncul dari kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat. Setelah membekali diri dengan pengetahuan mendalam mengenai hukum adat, kini mereka diterima secara baik oleh masyarakat dan mendapatkan hak suara dalam proses penyelesaian sengketa. Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) di Lombok Barat menganut pandangan yang progresif terhadap adat yang mengakui perlunya budaya lokal untuk beradaptasi dengan realita modern, 77 Benda Beckmann (2001), diatas n.22, hal

7 Kesimpulan dan Saran termasuk berkaitan dengan perwakilan perempuan. Desa-desa di dalam persekutuan ini telah membangun struktur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. dengan norma-norma dan prosedur tertulis serta hak untuk mengajukan permohonan banding. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah membuat sistem formal menjadi lebih mudah diakses semua kalangan. Dengan mengurangi monopoli pelaku sistem peradilan non-negara, peningkatan kesadaran hak dapat memberdayakan kelompok terpinggirkan untuk mendapat hasil pengadilan yang lebih baik. Contoh dari Negara tetangga seperti Sistem Pengadilan Barangay di Filipina dan Unit Perantara Peradilan Komunitas di Papua Nugini juga dapat memberi inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat kemampuan, keberhasilan dan keterbukaan mekanisme peradilan informal. Walaupun contoh perubahan positif masih terbatas, diskusi dengan ratusan pegawai pemerintah, anggota DPRD, aktivis, pemimpin desa, dan masyarakat umum memperlihatkan bahwa banyak pihak yang ingin menuntut ataupun mendorong perubahan. Pihak pro-perubahan seperti ini dapat dan harus didukung. B. Saran-saran Saran-saran Utama Menggabungkan perubahan di tingkat masyarakat dan perubahan kebijakan. Menemukan titik keseimbangan yang bermakna yang mensyaratkan gabungan antara perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Memperkuat pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Memberdayakan kelompok yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari peradilan non-negara. Meningkatkan kualitas peradilan non-negara. Meningkatkan kapasitas dan keahlian teknis dari institusi dan pelaku peradilan non-negara. Memperluas bayangan hukum ( Shadow of the law ). Meningkatkan akses ke sistem peradilan formal untuk menambah pilihan dalam memproses sengketa tingkat lokal. Meningkatkan pertanggungjawaban kepada negara dan pengadilan formal. Membentuk pedoman nasional untuk memperkuat persinggungan dengan peradilan formal dan peraturan daerah supaya prinsip-prinsip utama yang memajukan kesetaraan dan sejalan dengan standar Undang-Undang Dasar dapat dilembagakan. Pentingnya peradilan non-negara menunjukkan bahwa sebuah strategi yang menyeluruh dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia harus melihat jauh hingga ke luar pengadilan. Strategi yang hanya meliputi pengacara, proses litigasi dan pengadilan formal tidak akan menjangkau masyarakat miskin, khususnya di daerah perdesaan. Namun perencanaan strategi seperti ini dipersulit dengan besarnya keragaman pelaku, institusi dan proses. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat adanya norma sosial dan struktur kekuasaan yang tidak dapat ditiadakan oleh peraturan dan kebijakan negara. Rekomendasi untuk memperbaharui institusi lokal dengan mudah dapat diabaikan karena dianggap terlalu sulit ataupun karena ketidaklayakannya atau diartikan sebagai upaya sentris untuk merekayasa dan mengubah struktur sosial di tingkat lokal. Ada anggapan bahwa kerumitan peradilan non-negara sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah yang telah dikemukakan tidak bisa dipecahkan sama sekali. Mendukung peradilan non-negara hanya akan mempertahankan keadilan yang lemah 63

8 Kesimpulan dan Saran bagi orang miskin. Sehingga sumber daya yang ada lebih baik diarahkan untuk upaya meningkatkan efektivitas pengadilan formal. 78 Namun pandangan lain menganggap peradilan non-negara dan adat lebih ideal sehingga layak diakui secara luas oleh negara. 79 Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini juga memiliki cacat, karena seakan-akan meremehkan permasalahan yang timbul dari tidak adanya standar minimum dan pengawasan yang efektif. Diantara keduanya adalah pandangan yang lebih realistis. Peradilan non-negara adalah mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa. Daya tahannya telah terbukti. Karena itu, pelibatan sistem informal harus menjadi elemen inti dalam setiap program yang bertujuan mendukung penegakan hukum di Indonesia. Seperti kata Xanana Gusmao, yang terpenting adalah memupuk bagian yang baik dan membuang bagian yang jelek. Dapat dikatakan dengan adanya desentralisasi yang efektif pemerintah memberi ruang untuk menerapkan pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) sistem peradilan non-negara. Bagaimanapun, pendekatan ini belum diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di daerah dimana telah ada tindakan, seringkali hasilnya justru kembali ke cara lama, yang cenderung tertutup dan melawan arus kemajuan sosial. Tulisan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membentuk titik keseimbangan antara sistem peradilan non-negara dan pengadilan formal. Pendekatan ini mencoba untuk menggabungkan akses sosial, wewenang dan legitimasi dari proses non-negara dengan mekanisme pertanggungjawaban, baik terhadap masyarakat dan negara. Pendekatan ini menyadari realita pluralisme hukum di Indonesia dan juga bahwa penetapan satu model untuk seluruh bentuk peradilan non-negara tidak diinginkan ataupun dimungkinkan. Karena itu titik keseimbangan tersebut harus mengakomodir perbedaan sosial budaya dan adat istiadat dengan tetap memperkenalkan prinsip-prinsip umum guna melindungi masyarakat terpinggirkan. Jadi di bagian akhir ini, kami memberi beberapa saran dalam membentuk titik keseimbangan tersebut. Tujuannya bukan untuk membuat peradilan non-negara yang ideal atau sempurna, tetapi lebih ditujukan pada dua kelemahan (i) mengatasi ketidakadilan dan menyeimbangkan wewenang sosial dengan pertanggungjawaban sosial; dan (ii) untuk meningkatkan kinerja peradildan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Saran-saran ini ditujukan pada pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, organisasi masyarakat yang aktif di bidang ini dan pihak donor yang mendukung mereka. Menggabungkan Aksi Masyarakat di Tingkat Akar Rumput dengan Perubahan Kebijakan Studi kasus, analisa dan contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa pembentukan titik keseimbangan membutuhkan gabungan dari perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Perubahan ini harus memberdayakan kaum lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan melalui mekanisme peradilan informal dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui perubahan peraturan. Jadi, ada empat tingkatan dari tindakan yang disarankan. 78 Hohe dan Nixon membedakan antara idealis, yang berpegang pada sistem pengadilan yang sempurna, dan realis, yang lebih cenderung untuk bekerjasama dengan apa yang ada. Lihat Tania Hohe & Rod Nixon (2003) Reconciling Justice: Traditional Law and State Judiciary in East Timor (Laporan Kerja yang disiapkan untuk United States Institute of Peace, January 2003), 38. Untuk pendirian tipologi umum, Negara dapat menggunakan kepada mekanisme hukum adat, lihat Connolly (2005), diatas n Studi baru LP3ES mengenai mediasi desa menggembarkan beberapa elemen terkait dengan pendekatan ini: Widodo S. Dwi Saputro, Burhanuddin, Adnan Anwar & Badrus Sholeh (2007). Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES & NZAID. 64

9 Kesimpulan dan Saran 1. Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. 2. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. 3. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas bayangan hukum. 4. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi. Tabel 4: Kerangka kerja Tingkat Akar Rumput/ Masyarakat Lembaga desa dan Pelaku Peradilan Informal Tingkat Kabupaten/Kota Tingkat Nasional Tindakan Prioritas Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a-vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini). 65

10 Kesimpulan dan Saran 1. Mendukung Pertanggungjawaban ke bawah: Memberdayakan Masyarakat terpinggirkan untuk Menuntut Keadilan yang Lebih Baik Contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk membawa perubahan adalah melalui tindakan di tingkat masyarakat yang memberdayakan kelompok lemah dan terpinggirkan untuk menuntut pelayanan pengadilan yang lebih baik. Kasus Afrida di atas menunjukkan bagaimana kekuatan informasi hukum dapat mendorong keterwakilan perempuan di dewan adat. Termasuk dalam saran khusus adalah: Kesadaran akan hak-hak hukum: program penyuluhan hukum yang berfokus pada jenis-jenis sengketa utama yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini (yaitu sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, dan hukum keluarga) akan membantu masyarakat untuk memamahi hak-hak mereka dan juga cara mempertahankannya. Hal ini juga melindungi kelompok lemah dan terpinggirkan agar tidak dimanipulasi dan ditipu oleh pihak yang berkuasa. Mobilisasi sosial: khususnya untuk sengketa yang melibatkan kepentingan pihak luar, masyarakat harus belajar bagaimana cara mengambil tindakan bersama. Pendampingan hendaknya disediakan untuk dan oleh LSM demi meningkatkan kemampuan lokal dalam mengorganisir dan melakukan pembelaan agar dapat menandingi kekuatan dari sektor swasta dan kepentingan pihak luar yang berkuasa. Pemilihan pelaksana peradilan non-negara pada tingkat desa: dimana memungkinkan dan mendapat dukungan lokal, pelaksana peradilan non-negara hendaknya dipilih untuk menjamin adanya pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Hal ini bisa dimuat dalam peraturan daerah atau desa. Namun saran ini tidak akan berlaku untuk beberapa daerah tertentu dimana norma-norma dan praktek lokal dalam menentukan pelaksana peradilan non-negara sudah berjalan dengan baik, seperti di Sumatera Barat. 2. Peningkatan Kualitas: Mengembangkan Kapasitas dan Mendorong Perubahan Struktural Di beberapa daerah di Indonesia mekanisme informal tidak lagi cukup berfungsi secara memadai. Hal ini khususnya ditemui di lokasi penelitian di Kalimantan Tengah, dimana banyak damang merasa kekurangan sumber daya dan keahlian teknis dalam menyelesaikan sengketa secara efektif. Kerjasama dengan institusi tingkat lokal untuk memenuhi kebutuhan ini hendaknya dipusatkan pada: Pengembangan pelatihan dan keahlian: Program pelatihan yang dikhususkan pada mediasi, jender dan dokumentasi kasus akan sangat berguna. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya mengutamakan pihak yang paling sering terlibat dalam proses penyelesaian sengketa informal yaitu pemimpin masyarakat, pemimpin adat, kepala desa dan polisi. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya diutamakan pada penyelesaian dari bentuk sengketa yang paling sering terjadi tindakan pidana, sengketa tanah, warisan dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Pengadaan program akreditasi untuk pelaksana peradilan non-negara: Pengembangan pelatihan dan keahlian hendaknya diupayakan agar mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pelatihan harus meliputi prosedur dan substansi dasar dari sistem pengadilan formal dan juga memberi keahlian dalam mediasi dan penyelesaian sengketa. Program seperti ini akan meningkatkan legitimasi mekanisme informal dimata pelaksana formal dan sebaliknya. 66

11 Kesimpulan dan Saran Pengupayaan perwakilan dengan terus melibatkan kelompok terpinggirkan tertentu: Mendorong keterwakilan membutuhkan dua pendekatan. Pertama, sarana perwakilan perempuan dan kelompok terpinggirkan harus disediakan. Contoh dari Sumatera Barat dan juga seorang kepala desa perempuan di Maluku menunjukkan bahwa lobi dan keterwakilan dapat membuat perbedaan. Namun penetapan aturan yang menentukan batas minimum perwakilan tidak akan menjamin hasil di lapangan. Keterwakilan harus berjalan sesungguhnya. Untuk memastikan partisipasi kelompok terpinggirkan seperti perempuan, suku dan agama minoritas dibutuhkan pemberdayaan dan pengembangan kapasitas. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat dilakukan. Mendukung prakarsa pembukuan/kodifikasi sistem peradilan non-negara: Memperjelas prosedur dan struktur mekanisme informal memberi beberapa kelebihan. Mekanisme yang lebih transparan dan mudah dimengerti masyarakat lokal dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini juga dapat memperjelas hubungan dengan sistem pengadilan formal. Bagaimanapun, ada juga resiko yang signifikan. Upaya kodifikasi dapat menjadi penghalang bagi kelenturan mekanisme informal. Selain itu, upaya kodifikasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan pendapat kelompok elit tentang mekanisme informal dan struktur kekuasaan yang ada. Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kodifikasi peradilan non-negara semakin umum dilakukan. Dimana ada permintaan akan kodifikasi maka masyarakat sipil dan donor harus memberi dukungan agar dapat mengurangi akibat-akibat yang negatif. Jelasnya, dukungan ini dapat berbentuk: (a) mendukung proses partisipasif yang melibatkan semua pemegang kepentingan, khususnya perempuan dan kelompok minoritas; dan (b) mengadakan analisa jender dan hak asasi manusia atas norma-norma yang terdapat pada langkah dan substansi peradilan non-negara setempat. Pengembangan kapasitas forum antar desa: Kapasitas mekanisme peradilan non-negara pada tingkat desa untuk menyelesaikan sengketa antar desa dan sengketa yang melibatkan pihak luar sangat kurang. Forum antar desa yang telah ada harus didukung dengan upaya pengembangan kapasitas mereka,. Pendirian Unit Perantara Peradilan Komunitas di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat dan daerah. Unit ini dapat berfungsi sebagai badan pengawas, menjalankan program peningkatan kapasitas pelaku peradilan non-negara, menjalankan program peningkatan kepedulian bagi kelompok terpinggirkan, serta pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai prakarsa lokal di tingkat internasional, nasional dan daerah. Unit ini dapat mengembangkan kerjasama dan kesesuaian antara sistem peradilan non negara dan negara yaitu menjadi agen aktif dalam membentuk titik keseimbangan antara kedua sistem peradilan tersebut. 3. Memperlebar Bayangan Hukum : Membuat Sistem Pengadilan Formal Menjadi Lebih Mudah Diakses Keunggulan yang dimiliki peradilan non-negara tidak dapat meniadakan kebutuhan untuk mempermudah akses terhadap peradilan negara dan meningkatkan kemandirian pengadilan. Meski jarang digunakan, pengadilan bertindak sebagai mekanisme pertanggungjawaban. Jika salah satu pihak tidak puas dengan hasil dari proses informal apakah karena alasan teknis, politik, korupsi atau normatif keputusan itu dapat dibanding atau ditinjau kembali oleh sistem formal. Banyak perempuan dan etnis minoritas yang lebih memilih sistem formal untuk menyelesaikan kasus yang serius. Meningkatkan akses terhadap pengadilan akan memperkuat pengawasan terhadap peradilan non-negara. Pendidikan hukum: Data dari GDS menunjukkan bahwa orang yang sadar akan hak-haknya lebih cenderung menggunakan dan mempercayai sistem hukum formal. Karena itu, pendidikan formal merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam mempermudah akses terhadap sistem 67

12 Kesimpulan dan Saran pengadilan. Program kesadaran hukum masyarakat hendaknya bertujuan untuk membuat sistem pengadilan formal menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti, menyampaikan ruang lingkup dan wewenangnya, dan menunjukkannya sebagai alternatif yang baik. Meningkatkan program paralegal sebagai perantara informal-formal: Kesadaran akan hak tidak akan berarti tanpa adanya sumber daya untuk menegakkannya. Paralegal adalah anggota masyarakat, yang telah diberikan pelatihan di bidang hukum, yang dapat dijadikan sumber pertama dalam pencarian bantuan hukum. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa walaupun jumlah paralegal hanya sedikit, tingkat kepuasan kepada paralelal sangat tinggi. Mereka bisa menyediakan keahlian di bidang organisasi dan membuka akses ke sistem formal. Mendukung program bantuan hukum yang aktif dan berkesinambungan, khususnya untuk kelompok rentan: Agar akses ke sistem formal menjadi berarti, paralegal dan orang yang bersengketa membutuhkan jaringan dimana mereka bisa mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum ini lebih diperlukan untuk beberapa jenis sengketa, seperti tindak pidana berat, pelanggaran berulang, sengketa yang melibatkan tokoh setempat yang berpengaruh, dan sengketa yang secara luas melibatkan sumber daya ekonomi. Dukungan ini juga khususnya penting untuk perempuan, yang sering dihambat oleh tekanan sosial dalam mencari bantuan hukum. Mendukung program pengadilan keliling: pengadilan keliling, dimana hakim melakukan perjalanan ke tingkat daerah dan desa untuk menerima kasus perdata dan pidana ringan, memberi dan membuka kemungkinan untuk mengajukan banding dari hukum adat ke pengadilan negara. 4. Memperkuatkan Pertanggungjawaban ke Atas: Sebuah Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan Sebuah kerangka kerja kebijakan dan peraturan akan menampilkan sejumlah prinsip dan standar minimum untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan dari peradilan non-negara. Perbaikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan tidak akan secara langsung menghasilkan perubahan tindakan. Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, marak dengan contoh hukum, peraturan dan kebijakan yang tidak diterapkan. Tapi adanya peraturan tetap merupakan pernyataan niat yang kuat. Hal ini menjadi titik awal dalam pedoman kerja pemerintah, LSM dan donor untuk mengadakan peningkatan kapasitas, pelatihan dan intervensi lainnya dalam meningkatkan kualitas peradilan lokal. Pedoman Kebijakan Nasional: Bappenas dalam proses menyusun Strategi Nasional untuk Akses Keadilan untuk dimasukkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun RPJMN saat ini mengadung retorika standar mengenai pentingnya peradilan non-negara, tanpa memberi pedoman mengenai cara membentuk hubungan dengan pengadilan formal ataupun cara mendukung pertanggunjawaban terhadap pencari keadilan dan terhadap negara. Rencana seharusnya mencakup kerangka kerja menuju perubahan sambil juga memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatur agar mendapat hasil yang diinginkan. Peraturan Mahkamah Agung untuk Memfasilitasi Interaksi Formal-Informal: Kewenangan di bidang peradilan masih merupakan fungsi utama dari pemerintahan pusat. Jadi, meski pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk mengatur struktur mekanisme peradilan non-negara, Mahkamah Agung tetap memiliki yurisdiksi untuk menetapkan peraturan dan kebijakan yang memfasilitasi hubungan formal-informal. Hal ini bisa dicapai dengan: (a) memberi definisi yang jelas tentang yurisdiksi mekanisme peradilan non-negara; (b) mengembangkan program mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung untuk memperluas akreditasi mediator tingkat desa; (c) memfasilitasi keterlibatan Pengadilan Negeri 68

13 Kesimpulan dan Saran dan Pengadilan Tinggi dalam pengembangan peraturan regional yang berkaitan dengan peradilan non-negara; dan (d) membuat mekanisme dan pedoman yang jelas untuk mengajukan upaya banding dari peradilan informal ke pengadilan formal. Membuat Kerangka Kerja Peraturan Daerah: Peraturan tidak akan lansung tercermin pada tindakan namun tetap diperlukan untuk kemudian dapat menerjemahkan kebijakan nasional menjadi standar mininum dan kerangka pertanggungjawaban yang tepat di tingkat lokal. Laporan ini menyarankan ditetapkannya peraturan daerah yang memuat prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan secara luas namun tetap memberi ruang untuk diadaptasi sesuai kebiasaan dan keadaan setempat. Pemerintah daerah disarankan untuk menerbitkan peraturan daerah tentang sistem peradilan informal yang mencakup hal-hal berikut: o Yurisdiksi: menjelaskan yurisdiksi antara sistem pengadilan formal dan sistem peradilan nonnegara. o Perwakilan: Memberi jaminan keterwakilan bagi semua anggota masyarakat untuk mekanisme peradilan non-negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas. o Pemilihan Pelaku: Kerangka kerja harus menciptakan pertanggungjawab terhadap pencari keadilan dengan membuat prosedur jelas tentang cara memilih pelaku peradilan non-negara. o Prosedur Dasar: Kerangka kerja harus memuat pedoman umum berkaitan dengan langkahlangkah dalam proses mediasi dan penyelesaian sengketa. Pedoman ini hanya mengatur jaminan terhadap prinsip kesukarelaan, serta hak untuk mendengar dan didengar. o Sengketa antar-komunitas: Mekanisme khusus harus dibentuk mengatasi sengketa antar-desa, sengketa antar-komunitas, dan sengketa antara masyarakat dan pihak luar. o Hak Pengajuan banding: Kerangka kerja harus membuat jalur dan kriteria yang jelas untuk mengajukan banding dari sistem informal ke sistem formal. o Sanksi: Memastikan sanksi yang dijatuhkan oleh sistem peradilan non-negara tidak memberatkan dan tidak bertentangan dengan UUD. Membuat forum antar pihak/mediasi sengketa tanah: Untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan terhadap peradilan desa, forum antar pihak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan pelaku peradilan informal harus dibentuk di tingkat daerah. Dengan pertemuan teratur, forum dapat memberi ruang untuk membahas dan mengatasi sengketa khusus, membangun sikap saling mengerti, memfasilitasi dialog mengenai perubahan peraturan dan hukum, serta melakukan pengawasan terhadap peradilan non-negara. Forum ini juga dapat membentuk mekanisme baru dalam mengatasi sengketa tanah dan sengketa antar etnis yang rumit, dimana mediasi cenderung lebih efektif daripada putusan pengadilan karena sifat sengketa yang peka dan rentan kekerasan. Saran-saran diatas mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan pengadilan informal. Saran-saran tersebut didasarkan pada harapan, yang cukup masuk akal, bahwa perubahan secara bertahap dapat meningkatkan keadilan bagi kelompok terpinggirkan. Program Justice for the Poor sedang menindak lanjuti studi ini dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan kebijakan, melalui masukan temuan-temuan dan saran-saran penelitian kepada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas) yang sedang dikembangkan oleh Bappenas. Cara kedua lebih berupa operasional, dengan mengupayakan penerapan saran-saran dalam kerjasama dengan beragam pihak di propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama pengamatan dalam penelitian ini, kedua propinsi tersebut telah terbentuk kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan pejabat pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD, hakim, jaksa dan polisi, organisasi masyarakat, kepala desa, kepala adat dan organisasi keagamaan. 69

14 Kesimpulan dan Saran Bersama kelompok-kelompok kerja ini, Justice for the Poor telah mengembangkan program-program peningkatan kualitas peradilan non-negara di beberapa desa percontohan, dengan menerapkan saransaran yang dikemukakan di tulisan ini. Pendekatan ini sengaja bekerja secara bertahap dengan tujuan yang tidak muluk-muluk tetapi bersifat mendasar,dengan menanfaatkan institusi yang telah ada. Pendekatan ini juga dipastikan akan disesuaikan dengan keadaan setempat, dengan mengakui bahwa kesempatan dan ruang mengadakan perubahan akan berbeda di setiap lokasi. Di Sumatera Barat, advokasi kebijakan sedang diutamakan karena peraturan daerah tentang hukum adat sedang diujikembali dan diperbaiki. Di NTB, program mengutamakan pendefinisian proses, norma dan strukur penyelesaian sengketa, karena pada sisi-sisi inilah pemangku kepentingan setempat mengidamkan perubahan. Maka, kerangka kerja yang dibuat diatas menawarkan berbagai pilihan-pilihan yang dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda di lokasi yang berbeda. Karena itu, kerangka kerja tersebut harus disesuaikan dengan keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan beberapa saran-saran dalam tulisan ini dengan membentuk komponen pemberdayaan hukum masyarakat yang berdiri sendiri dibawah proyek Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. 80 Laporan ini telah menekankan pentingnya keterkaitan peradilan non-negara dengan stabilitas sosial dan kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Strategi menyeluruh yang mendukung penegakan hukum perlu disesuaikan dengan kenyataan dan mencakup mekanisme peradilan non-negara di tingkat desa. Saran-saran yang telah dikemukakan di tulisan ini dapat membantu mendukung perbaikan dan perubahan di tingkat nasional dengan memusatkan bantuan pada tingkatan yang paling dibutukan, memberdayakan kelompok miskin dan terpinggirkan untuk dapat menyelesaikan sengketa, dan mendukung Indonesia dalam menjalankan pembaharuan. 80 Lihat 70

Ringkasan Eksekutif. vii

Ringkasan Eksekutif. vii Ringkasan Eksekutif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifitas sosial dan perspektif

Lebih terperinci

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia XVIII Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Artinya, Negara

Lebih terperinci

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional Oleh Agung Putri Seminar Sehari Perlindungan HAM Melalui Hukum Pidana Hotel Nikko Jakarta, 5 Desember 2007 Implementasi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada Proses peralihan kepemilikan lahan kosong terjadi sejak akhir 2004 dan selesai pada tahun 2005, dan sejak

Lebih terperinci

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara

Lebih terperinci

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia

Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia MIGRANT WORKERS ACCESS TO JUSTICE SERIES Akses Buruh Migran Terhadap Keadilan di Negara Asal: Studi Kasus Indonesia RINGKASAN EKSEKUTIF Bassina Farbenblum l Eleanor Taylor-Nicholson l Sarah Paoletti Akses

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK A. PENDAHULUAN Salah satu agenda pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Majelis Umum, Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993 [1] Mengikuti perlunya penerapan secara

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus

- 9 - No. Permasalahan Tujuan Tantangan Indikator Keberhasilan Fokus - 9 - Strategi 1: Penguatan Institusi Pelaksana RANHAM Belum optimalnya institusi pelaksana RANHAM dalam melaksanakan RANHAM. Meningkatkan kapasitas institusi pelaksana RANHAM dalam rangka mendukung dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR. TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA MUKADIMAH Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi masyarakat dalam segala proses perubahan membutuhkan pendekatan dan pentahapan yang

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) PENGADILAN AGAMA TUAL TUAL, PEBRUARI 2012 Halaman 1 dari 14 halaman Renstra PA. Tual P a g e KATA PENGANTAR Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NKRI) tahun 1945

Lebih terperinci

BAB III TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA PANDEGLANG

BAB III TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA PANDEGLANG BAB III TAHAPAN DAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA PANDEGLANG A. Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Pandeglang Berdasarkan hasil wawancara dengan Nuning selaku Panitera di Pengadilan Agama Pandeglang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 24 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI WARGA MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM BAB III PEMBANGUNAN HUKUM A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang kedua, yaitu mewujudkan supremasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BINTAN, Menimbang:

Lebih terperinci

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975 1 K-143 Konvensi Pekerja Migran (Ketentuan Tambahan), 1975 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, :

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA TENURIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, Menimbang : a. bahwa dengan wilayah

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce

2016, No Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection in Industry and Commerce No.1753, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENAKER. Pengawasan Ketenagakerjaan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. b. c. Mengingat : 1.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 144/KMA/SK/VIII/2007 TAHUN 2007 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI DI PENGADILAN KETUA MAHKAMAH AGUNG, Menimbang : a. bahwa proses peradilan yang transparan merupakan salah

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA BAB 10 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA A. KONDISI UMUM Penghormatan, pengakuan, dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia KOMISI B KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia Mukadimah Konsil LSM Indonesia menyadari bahwa peran untuk memperjuangkan partisipasi

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN.

2016, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN. No.261, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pelaksanaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5958) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia Tujuan Akses thd Keadilan melindungi dan memperkuat mereka yang miskin, lemah dan tertindas memberi mereka pintu untuk bisa masuk ke dalam pengadilan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF KEPADA PEJABAT PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, PENGGABUNGAN DESA DAN PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN. (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Lembaran Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2014 Seri E BUPATI SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK

- 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK Bagian Organisasi - 1 - PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BAHASA DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BAHASA DAERAH DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ----------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BAHASA DAERAH Jakarta, 2015 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA -----------

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN KEPULAUAN

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara menjamin hak konstitusional

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa arsitek dalam mengembangkan diri memerlukan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012 Latar belakang dan konteks Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012 AIPP bekerja untuk mempromosikan hak-hak masyarakat adat. Hak-hak masyarakat adat adalah bagian dari kerangka kerja hak-hak asasi

Lebih terperinci

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA

MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA MENCERMATI PENERBITAN PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA Oleh: Arrista Trimaya * Naskah diterima: 30 Januari 2015; disetujui: 12 Februari 2015 Menteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konflik 1. Pengertian Konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dalam kehidupan manusia. Konflik oleh beberapa aktor dijadikan sebagai salah satu cara yang dapat

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

2017, No Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1035, 2017 OMBUDSMAN. Laporan. Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian. Pencabutan. PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENERIMAAN,

Lebih terperinci

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Anggaran Dasar Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. No.1602, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG PANDANGAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT JAKARTA 2013 KEPUTUSAN NOMOR 17/DPD RI/I/2013-2014

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2008 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI RENCANA PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

TENTANG TATA PEMERINTAHAN DESA BUPATI DOMPU,

TENTANG TATA PEMERINTAHAN DESA BUPATI DOMPU, PERATURAN DAERAH KABUPATEN DOMPU NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG TATA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DOMPU, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal

BAB I PENDAHULUAN. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum tingkat pelayanan publik di Indonesia saat ini masih rendah. Sementara pelayanan publik bukanlah suatu hal yang baru. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci