BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL"

Transkripsi

1 BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Corporate Social Responsibility Definisi dan Konsep Corporate Social Responsibility Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) memiliki beberapa definisi yang dikemukakan oleh banyak ahli. Definisi CSR berasal dari konsep dan pemikiran yang dicetuskan oleh John Elkington (1997) dalam bukunya yang berjudul Cannibals with Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, dimana dalam buku tersebut Elkington mengemukakan konsep 3P (profit, people, dan planet) yang menerangkan bahwa dalam menjalankan operasional perusahaan, selain mengejar profit/keuntungan ekonomis sebuah korporasi harus dapat memberikan kontribusi positif bagi people (masyarakat) dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). ISO mengenai Guidance on Social Responsibility juga memberikan definisi CSR. Menurut ISO dalam Suharto (2008), CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, etis yang sejalan dengan pembangunan mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Dahlsrud (2008) dalam penelitiannya yang berjudul How Corporate Social Responsibilty is Defined: an Analysis of 37 Definitions, menggunakan lima dimensi CSR sebagai acuan, yakni dimensi lingkungan (the environmental dimension), dimensi sosial (the social dimension), dimensi ekonomi (the economic dimension), dimensi pemangku kepentingan (the stakeholder dimension), dan dimensi kesukarelaan (the voluntariness dimension). Menurut Samuel dan Saarf dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait dengan CSR: 1. Kapital reputasi Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk

2 meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga kepercayaan stakeholder. 2. Ekososial Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat. 3. Hak-hak pihak lain Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat dan bisnisnya Penyelenggaraan Program CSR Tanggung jawab perusahaan merupakan sebuah konsep yang berkaitan dengan bagaimana perusahaan bertanggung jawab terhadap kegiatan dan kebiasaan yang berkelanjutan dalam segala sesuatunya yang berhubungan dengan perusahaan, baik aspek finansial, lingkungan, dan sosial (Lakin & Scheubel, 2010). Menurut Wibisono (2007) cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan CSR dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni: 1. Sekedar basa-basi dan keterpaksaan, artinya CSR hanya dipraktikkan lebih karena faktor eksternal (external driven). 2. Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance), dimana CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksakannya. 3. Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias compliance plus, yakni CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkah-langkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan tekanan dari masyarakat. Menurut Rahman (2009), terdapat dua alasan yang mendasari korporat melakukan kegiatan CSR, yakni alasan moral (moral argument) dan alasan ekonomi (economic argument). Alasan ekonomi lebih menekankan pada bagaimana korporat mampu memperkuat citra dan kredibilitas brand/produknya

3 melalui aktivitas CSR, sedangkan alasan moral lebih didasarkan bahwa CSR memang benar bermula dari inisiatif korporat untuk dapat menjalin relasi yang saling menguntungkan dengan stakeholders. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, terdapat empat pengkategorian tanggung jawab sosial perusahaan menurut Archie Carrol dalam Rahman (2009), yakni: 1. Tanggung jawab Ekonomi (Economic Respoinsibilities) Terminologi tanggung jawab ekonomi dan tanggung jawab sosial terasa dekat jika dikaitkan dengan mekanisme pricing korporat. Pricing sebagai aktivitas ekonomi, akan bersinergi dengan tanggung jawab sosial jika didasari pada itikad untuk memberikan harga yang memihak kepada konsumen. Hal tersebut merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh guna mensinkronkan fungsi ekonomi dengan aktivitas tanggung jawab sosial. 2. Tanggung jawab Hukum (Legal Responsibilities) Tanggung jawab hukum oleh korporat merupakan modifikasi sejumlah nilai dan etika yang dicanangkan korporat terhadap seluruh pembuat dan pemilik hukum yang terkait. Sudah seharusnya korporat menjalankan kepatuhan terhadap hukum dan norma yang berlaku. 3. Tanggung jawab Etis (Ethical Responsibilities) Tanggung jawab etis berimplikasi pada kewajiban korporat untuk menyesuaikan segala aktivitasnya sesuai dengan norma sosial dan etika yang berlaku meskipun tidak diselenggarakan secara formal. Tanggung jawab etis ini bertujuan untuk memenuhi standar, norma, dan pengharapan dari stakeholders terhadap korporat. 4. Tanggung jawab Filantropis (Phylantropic Responsibilities) Tanggung jawab filantropis ini seyogyanya dimaknai secara bijak oleh korporat, tidak hanya memberikan sejumlah fasilitas dan sokongan dana, korporat juga disarankan untuk dapat memupuk kemandirian komunitasnya. Tanggung jawab ini didasari itikad korporat untuk berkontribusi pada perbaikan komunitas secara mikro maupun makro sosial.

4 Archie Carrol dalam Rahman (2009) berpandangan bahwasanya apabila keempat unsur tanggung jawab di atas teraplikasikan secara menyeluruh maka akan terselenggara sebuah Total CSR. Gagasan Prince of Wales International Business Forum dalam Wibisono (2007) mengenai lingkup penerapan CSR mengusung lima pilar yakni: 1. Building human capital Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang handal, di sisi lain perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat. 2. Strengtening economies Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar terjadi pemerataan kesejahteraan. 3. Assesing social chesion Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan konflik. 4. Encourging good governance Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governance (GCG). Telaah lebih lanjut atas berbagai literatur menunjukkan bahwa ada empat skema yang biasa dipergunakan untuk menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu (1) kontribusi pada program pengembangan masyarakat, (2) pendanaan kegiatan sesuai dengan kerangka legal, (3) partisipasi masyarakat dalam bisnis, dan (4) tanggapan atas tekanan kelompok kepentingan 2. Wibisono (2007) mengemukakan perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan tahapan implementasi CSR sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat

5 dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun, CSR manual, dilakukan melalui benchmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif, dan efisien. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumber daya, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan, pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. 3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi. 4. Tahap Pelaporan Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan Peran dan Fungsi Stakeholder dalam CSR Kebermulaan pengakuan terhadap keberadaan dan pengaruh pemangku kepentingan dapat dilacak sejak 1960-an (Sukada, 2007). Dalam bukunya tersebut, Sonny Sukada (2007) memaparkan bahwa Stamford Research Institute

6 pertama kali menggunakan terminologi perspektif pemangku kepentingan (stakeholder perspective) yang dibangun berdasarkan teori-teori Charles Darwin dan Adam Smith, serta perubahan lingkungan di era itu dimana terdapat orangorang dan organisasi di samping pemegang saham yang terkena pengaruh operasi perusahaan. Konsepnya kemudian dipopulerkan oleh Freeman (1984) dalam Sukada (2007), yang membicarakan masalah pemangku kepentingan secara lebih komprehensif. Menurut Freeman (1984) dalam Sukada (2007), pemangku kepentingan diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Pengertian ini mencakup mereka yang mempengaruhi atau yang terkena pengaruh dari satu organisasi. Stakeholders, yang jamak diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompokkelompok tersebut mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh perusahaan (Saidi, 2004). Menurut Wibisono (2007), apapun definisinya, yang jelas antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Salah satu aspek penting yang mendukung keberhasilan implementasi program CSR adalah sinergitas yang positif antara seluruh stakeholders terkait, yakni dalam hal ini Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, diantaranya adalah pemerintah (government), sektor privat (private sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/ Non-Governmental Organizations (NGOs), dan masyarakat (Community). Renald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007) membagi stakeholders menjadi berikut: 1. Stakeholder internal dan stakeholder eksternal Stakeholder internal adalah stakeholder yang berada di dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer, dan pemegang saham (shareholder). Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers,

7 kelompok sosial masyarakat, responsible investor, licensing partner dan lain-lain. 2. Stakeholder primer, stakeholder sekunder dan stakeholder marjinal Tidak semua elemen dalam stakeholder perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholder yang paling penting disebut stakeholder primer, stakeholder yang kurang penting disebut stakeholder sekunder, dan yang bisa diabaikan disebut stakeholder marjinal. 3. Stakeholder tradisional dan stakeholder masa depan Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholder tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholder masa depan adalah stakeholder pada masa depan yang akan datang diperkirakan dapat memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial. 4. Proponents, opponents, dan uncommitted Diantara stakeholder, ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak peduli atau abai (uncommitted). 5. Silent majority dan vocal majority Dilihat dari aktivitas stakeholder dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang menyatakan secara silent (pasif). Menurut Soemanto (2007) dalam bukunya yang berjudul Sustainable Corporation: Implikasi Hubungan Harmonis Perusahaan dan Masyarakat, dalam implementasi CSR pemerintah dapat melakukan peran dalam empat ranah, yakni menyediakan data dan informasi, memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Stakeholder kedua adalah sektor privat atau dalam hal ini adalah perusahaan yang dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, mensosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah

8

9 dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu kekuasaan, legitimasi, dan urgensi Corporate Social Responsibility dan Community Development Konsep Community Development Community Development dalam perspektif internasional merupakan salah satu kekuatan sosial yang signifikan dalam proses perubahan yang direncanakan, dipromosikan sebagai pengembangan dunia, dan sebagai bagian dalam proses pembangunan bangsa, serta sebagai standar dalam pembangunan masyarakat miskin (Budimanta dkk, 2008). Budimanta dkk (2008) menambahkan bahwa konsep dasar dari community development adalah kebutuhan manusia, komuniti, partisipasi, dan pengembangan. Sejalan dengan hal tersebut, Nasdian (2006) memaparkan bahwasannya pengembangan masyarakat (community development) adalah konsep dasar yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang telah digunakan sejak lama, seperti community resource development, rural areas development, community economic development, rural revitalization, dan community based development. Suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, dimana semua usaha swadaya masyarakat disinergikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dengan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis, sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian, 2006). Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep, yaitu pengembangan dan masyarakat, secara singkat pengembangan dan pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia (Suharto, 2005). Blackburn (1989) dalam Nasdian (2006) juga menggambarkan hal serupa, dimana community development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community, bermakna kualitas hubungan sosial, dan development, perubahan ke arah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual.

10 Dengan keberadaan suatu perusahaan di suatu daerah, akan dapat mendorong bermunculannya kegiatan-kegiatan sosial ekonomi komuniti sekitarnya, seperti adanya perusahaan-perusahaan jasa penunjang kehidupan perusahaan yang besar. Kondisi tersebut membentuk adanya pola hubungan baru diantara komunitas pendatang dan komunitas lokal atau dalam hal ini masyarakat sekitar. Untuk meningkatkan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan perusahaan diperlukan suatu cara untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian masyarakat, salah satunya adalah melalui community development Hubungan antara CSR dan Community Development CSR merupakan salah satu upaya perusahaan untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line) seperti halnya konsep yang disampaikan oleh John Elkington yang terdiri dari Profit (Keuntungan), People (Masyarakat Pemangku Kepentingan), Planet (Lingkungan). Hal ini terkait dengan keberlanjutan usaha, dimana penting halnya bagi perusahaan untuk melihat bagaimana pengaruh dimensi sosial dan lingkungan pada setiap akitivitas bisnis. Pada dasarnya, dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan tiga aspek yang saling berkaitan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya sinerji diantara seluruh stakeholder yang terkait melalui kemitraan antara perusahaan, pemerintah, komunitas (Kemitraan Tripartit). Implementasi CSR merupakan salah satu upaya membangun konsep pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan hubungan sinergis serta harmonis antar stakeholder, dalam hal ini adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Ambadar, 2008). Tanggung jawab sosial dapat diwujudkan melalui pengembangan potensi kedermawanan perusahaan. Kedermawanan perusahaan sesungguhnya adalah kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Saidi, 2003). Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006), terdapat sejumlah alasan mengapa perusahaan memiliki program-program filantropik atau kedermawanan sosial, yaitu pertama, untuk mempraktikkan konsep good corporate citizenship ; kedua, untuk meningkatkan

11 kualitas lingkungan hidup; dan ketiga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Nursahid (2006) memaparkan bahwasanya kedermawanan sosial biasanya didasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi, dan pada saat yang bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain. Dewasa ini, praktik filantropi sangat berkembang dan modern dengan cirinya yang berkelanjutan (sustain) dan mampu mengekalkan diri. Selain pengembangan kerangka hukum, transformasi juga menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi perusahaan-menurut hasil survei PIRAC, merupakan donasi berbentuk hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Nursahid (2006) menyatakan bahwa transformasi terhadap orientasi sumbangan ini perlu dilakukan karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukkan guna pemenuhan keperluan sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu, perlu didorong kegiatan kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju pada pengembangan dan akhirnya pemberdayaan dengan ruang lingkup yang sesuai. Menurut Budimanta (2008), ruang lingkup program-program pengembangan masyarakat (community development) dapat dibagi berdasarkan tiga kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-sama yang terdiri dari: 1. Community Relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) perusahaan. Dari hubungan ini, dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. 2. Community Services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Dalam kategori ini, program-program dilakukan dengan adanya pembangunan secara fisik,

12 seperti sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, dan sumber air minum. Inti dari kategori ini adalah kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan tentang masalah yang ada di komunitas, dilakukan oleh komunitas sendiri dan perusahaan hanya sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer. 3. Community Empowering; merupakan program-program yang berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya, misalnya pembentukan koperasi. Pada dasarnya, kategori ini melalui tahapan-tahapan lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community service dengan segala metodologi panggilan data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini. Community Development (Pengembangan Masyarakat) sebagai salah satu dari tujuh isu CSR merupakan sarana aktualisasi CSR yang paling baik jika dibandingkan dengan implementasi yang hanya berupa charity, philantrophy, atau dimensi-dimensi CSR yang lain, karena dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat prinsip-prinsip kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas, keberlanjutan, dan mampu meningkatkan perasaan solidaritas Konsep Partisipasi Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi (Nasdian, 2006_). Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan,

13 bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program. 2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. 3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya. 4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Keseluruhan tingkatan partisipasi di atas merupakan kesatuan integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan, meskipun sebuah siklus konsisten dari kegiatan partisipatoris mungkin dinilai belum biasa. Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1

14 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1986 dalam Wicaksono 2010): Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein No. Tangga/Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan Manipulasi Permainan oleh 1. (Manipulation) pemerintah Sekedar agar Tidak ada partisipasi 2. Terapi (Therapy) masyarakat tidak marah/sosialisasi 3. Pemberitahuan Sekedar pemberitahuan (Informing) searah/sosialisasi Masyarakat didengar, Konsultasi Tokenism/sekedar 4. tapi tidak selalu dipakai (Consultation) justifikasi agar sarannya mengiyakan Saran Masyarakat Penentraman 5. diterima tapi tidak (Placation) selalu dilaksanakan 6. Kemitraan Timbal balik (Partnership) dinegosiasikan 7. Pendelegasian Masyarakat diberi Tingkat kekuasaan ada Kekuasaan (Delegated kekuasaan (sebagian di masyarakat Power) atau seluruh program) 8. Kontrol Masyarakat Sepenuhnya dikuasai (Citizen Control) oleh masyarakat Sumber: Arnstein (1969:217) dalam Wicaksono (2010) Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi di mana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada pola distribusi kekuasaan dan peran dominan stakeholder. 1. Manipulatif, yakni partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog.

15 2. Terapi (therapy), yakni partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokal untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari penyelenggara program dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penenangan (placation), komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. Masyarakat

16 dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas, duduk berdampingan dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. 7. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri. 8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pihak penyelenggaran program.

17 Konsep Modal Sosial Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama (Djohan, 2007). Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007) menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Modal sosial yaitu perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000). Menurut Colleta dan Cullen (2000) dalam Nasdian (2006), modal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world- view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Modal sosial adalah seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannnya (Putman,1993 dalam Suwartika, 2003). Sedangkan modal sosial menurut Coleman (1988) dalam Suwartika (2003) adalah keseluruhan yang terdiri dari sejumlah aspek struktur sosial dan semua itu berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu di dalam suatu struktur pencerminan dari struktur kepercayaan sosial dimana tersedia jaminan-jaminan dan harapan-harapan atas suatu tindakan sosial. Coleman (2000) dalam Suwartika (2003) manganggap kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan oleh adanya dan terjaganya amanah dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga hubungan transaksi antar manusia, baik yang bersifat

18 ekonomis maupun non-ekonomis, hanya mungkin bisa berkelanjutan apabila ada kepercayaan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi. Uphoff (2000) dalam Suwartika (2003) membagi komponen modal sosial ke dalam dua kategori, yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial dan kedua, kategori kognitif dihubungkan dengan proses proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya. Komponen-komponen modal sosial (Uphoff, 2000 dalam Suwartika, 2003) tersebut diantaranya: 1. Hubungan sosial (jaringan); merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan. Komponen ini termasuk pada kategori struktural. 2. Norma; kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama. 3. Kepercayaan; komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertindak sama. Komponen ini termasuk dalam kategori kognitif. 4. Solidaritas; terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersamasama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. Komponen ini termasuk dalam kategori struktural 5. Kerjasama; terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan. Komponen ini termasuk dalam kategori kognitif. Menurut Djohan (2007), modal sosial yang ideal adalah modal sosial yang tumbuh di masyarakat. Modal sosial yang dimiliki seyogianya memiliki muatan

19 nilai-nilai yang merupakan kombinasi antara nilai-nilai universal yang berbasis humanisme dan nilai-nilai pencapaian (achievement values) dengan nilai-nilai lokal. Modal sosial yang berbasis pada ideologi pancasila merupakan bentuk modal sosial yang perlu dikembangkan bersama-sama guna membangun masyarakat Indonesia yang partisipatif, kokoh, terus bergerak, kreatif, kompak, dan yang menghormati manusia lain. Modal sosial memiliki unsur-unsur penopang, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Social participation. Social participation berarti partisipasi sosial anggota masyarakat. Pada masyarakat tradisional, hal ini melekat dalam perayaan kelahiran, perkawinan, kematian, (2) Reciprocity atau timbal balik, yaitu saling membantu dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian hubungan yang terjadi menyangkut hak dan tanggung jawab, (3) Trust atau kepercayaan, (4) Acceptance and diversity atau penerimaan atas keberagaman, yaitu adanya toleransi yang memperhatikan sikap dan tindak-tanduk serta perilaku yang saling hormatmenghormati, saling pengertian, dan apresiasi di antara lingkungan, (5) Norma dan nilai, Norma dan nilai merupakan value system yang akan berkembang menjadi suatu budaya, (6) Sense of efficacy atau perasaan berharga, yaitu timbulnya rasa percaya diri dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang, dan (7) Cooperation and proactivity atau kerjasama dan proaktif. Dalam kaitannya dengan modal sosial, kerjasama harus terus bergerak serta dituntut kreatif dan aktif (Djohan, 2007) Konsep Dampak Program CSR Jalal (2010) mengemukakan bahwasanya praktik-praktik bisnis yang dilakukan oleh banyak perusahaan di Indonesia dalam berhubungan dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya belum dapat dibilang memadai, tampaknya kesimpulan itu tidak akan ditolak. Pertanyaan penting berkaitan dengan kondisi itu adalah bagaimana cara untuk mengetahui bahwa sebuah program pengembangan masyarakat oleh perusahaan telah dapat dianggap memadai. Jawaban tersebut sebenarnnya ada pada fungsi indikator keberhasilan. Indikator keberhasilan akan menjadi sangat penting manakala perusahaan hendak

20 mengetahui kinerja program pengembangan masyarakatnya, atau hendak menyusun rencana strategik yang menginginkan tingkat kinerja tertentu. Menurut Jalal (2010), kepentingan utama perusahaan tentu saja adalah untuk mempertanggungjawabkan investasi sosial yang telah dikeluarkannya. Pengeluaran untuk program pengembangan masyarakat hendak dinyatakan sebagai investasi, maka perusahaan harus diyakinkan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkannya sesungguhnya memang menguntungkan perusahaan. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, paradigma perusahaan terus berubah dan cara pandang perusahaan terhadap orientasi pelaksanaan community development itu sendiri pun terus berkembang. Min-Dong Paul Lee (2008) melakukan studi khusus terkait bagaimana jejak dan perkembangan mengenai teori tanggung jawab sosial perusahaan diulas secara detail dalam jurnalnya yang berjudul A Review of the Theories of Corporate Social Responsibility: Its Evolutionary Path and the Road Ahead. Studi ini ditujukan untuk menunjukkan jejak evolusioner konseptual dari teoriteori tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan untuk melihat refleksi implikasinya terhadap pembangunan. Restropeksi menunjukkan bahwa perkembangan tren telah menjadi sebuah rasionalisasi progresif dari konsep dengan sebuah fokus tertentu dalam ikatan lebih kuat terhadap tujuan finansial perusahaan. Rasionalisasi mencakup dua termin besar konseptualisasi CSR. Pertama adalah pada level analisis, dimana peneliti-peniliti harus berpindah dari diskusi pada tataran pengaruh makro sosial menjadi analisis level organisasional dari pengaruh CSR terhadap keuntungan (profit). Kedua, pada tataran orientasi teoritis, para peneliti telah berpindah dari argumen normatif eksplisit dan argumen yang berorientasi etika menjadi normative implicit dan studi manajerial berorientasi performa/kiprah. Dalam melihat sejauhmana konseptualisasi tersebut terus berkembang sejalan dengan pengimplementasian program-program CSR oleh perusahaan/korporasi, aspek dampak (impact) penting untuk dikaji sebagai bagian dari evaluasi implementasi program. Telah banyak upaya dilakukan oleh berbagai pihak di dunia untuk menstimulasi pelibatan aktif masyarakat, bagaimana membangun kemitraan baik untuk mengatur hubungan dengan masyarakat dan lingkungan. Jurnal Reporting

21 on Community Impacts: A survey conducted by the Global Reporting Initiative, menambahkan bahwa peningkatan terjadi ketika upaya tersebut disusun secara strategis dan dikaitkan dengan kerangka internasional seperti halnya Millenium Development Goals (MDGs) (Dragicevic, 2008). Pada waktu yang sama, pertumbuhan atau peningkatan yang terjadi memperkuat pemahaman mengenai dampak dari kegiatan bisnis terhadap masyarakat dan lingkungan. Ada peningkatan kepentingan dari stakeholders kepada perusahaan untuk mengklarifikasi dan mendemonstrasikan dampaknya. Bagaimanapun juga, berdasarkan sebuah penelitian terkait dampak dari CSR pada perusahaan besar agar mampu melihat dampak secara umum, kasus bisnis, sikap bisnis, kesadaran dan praktik seharusnya juga mengetahui secara baik kebiasaan stakeholder, tetapi upaya untuk mengklarifikasi dampak pada hubungan terhadap manusia. Oleh karena itu, saat ini makin maraknya tren terhadap kepentingan yang lebih dari sebuah perusahaan dan stakeholder nya untuk mengukur hasil dan memahami bagaimana CSR dapat memberikan nilai baik bagi perusahaan maupun bagi komunitas. GRI (Global Reporting Initiative) sebagai sebuah jaringan multistakeholder yang mendukung pembangunan kesepakatan untuk membentuk dan secara berkelanjutan meningkatkan keberlanjutan kerangka kerja pelaporan. Dimana, GRI berinisiatif untuk melakukan penelitian berkaitan dengan pencapaian pemahaman yang lebih baik mengenai praktik tertentu dalam pelaporan, jenis informasi, pola (mencakup sektor dan lokasi geografis) sejalan dengan panduan dari GRI. University of Hongkong bersama GRI dan CSR Asia mengadakan penelitian untuk memahami pelaporan mengenai dampak perusahaan. Dragicevic (2008) memaparkan bahwa dalam survei yang dilakukan oleh Global Reporting Initiative terdapat lima pertanyaan fundamental terkait pengukuran terhadap aspek dampak, yakni apakah terdapat aspek-aspek tertentu dari CSR seperti dampak secara mudah dapat diukur. Ini adalah asumsi yang dibuat secara luas dan sejalan penelitian Blowfield yang berpandangan bahwa CSR Reports overall are better at covering environmental issues than social ones, and are only beginning to pay attention to companies (Dragicevic, 2008). Pengukuran dampak dari perusahaan kepada komunitas bukan merupakan tugas

22 yang sederhana. Selama beberapa dekade, praktisi pengembangan masyarakat telah mencoba melakukan berbagai cara untuk melihat dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dengan menggunakan pendekatan tertentu. Dragicevic (2008) memaparkan bahwa penelitian ini dapat digunakan untuk melihat dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, terdapat lima pertanyaan besar yang dapat diangkat. Pertama, bagaimana dampak perusahaan pada komunitas setempat? Pertanyaan ini ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap praktik pelaporan partisipasi masyarakat dan dampak sesuai dengan pendekatan yang digunakan, jenis informasi, pola (baik sektor maupun lokasi geografis). Sejumlah 72 laporan berkelanjutan secara acak dipilih untuk analisis ini dan laporan yang terpilih harus merefleksikan keanekaragaman sektor untuk melihat dampak komunitas secara relatif berdasarkan substansinya. Kedua, bagaimana pendekatan perusahaan dalam pelaporan terhadap kinerja masyarakat? Dari pertanyaan tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa sixty-three percent of the reports, followed by philantrophy and charitable giving, community services, and employee volunteering, total community ebih baik expenditure dan community engagement and dialogue. Selain itu, sixty-nine percent of the companies choose to group community related topics under a distinct section in the report. Ketiga, informasi apa yang tersedia dalam konteks pelaporan? Perusahaan biasanya berfokus pada pelaporan kinerja mereka dan dalam kaitannya dengan inisiatif komunitas untuk menuju perubahan dan lingkungan sebagai sebuah hasil dari aktivitas mereka. Oleh Karena itu, sulit untuk menggambarkan bagaimana dampak komunitas berdasarkan informasi pada laporan seperti halnya indikator kuantitatif yang lebih sedikit digunakan untuk melaporkan dampak komunitas. Keempat, bagaimana pola dari sektor dan lokasi geografi yang ada? Hasilnya adalah terdapat perbedaan dalam pola pelaporan antar sektor, seperti halnya pada Community Engagement and Dialogue yang muncul sebagai topik penting dalam sektor pertambangan dimana 90% dari sektor perusahaan melaporkan isu ini. Kelima, bagaimana pendekatan dan informasi ini berkaitan dengan panduan GRI dan pada kenyataannya sebagian besar laporan secara relatif lemah untuk memenuhi persyaratan seperti halnya yang tertulis pada pendekatan manajemen GRI terkait

23 dengan isu komunitas, kurangnya kapasitas dalam melaporkan dampak komunitas, dan kurangnya panduan atau petunjuk bagaimana menulis laporan. Secara jelas terlihat bahwa, perusahaan sangat sulit untuk melaporkan sejauhmana dampak aktifitasnya terhadap lingkungan dan juga masyarakat. Diperlukan pengukuran yang lebih sistematis dan juga bagaimana menyikapi perbedaan akan strategi investasi komunitas oleh masing-masing perusahaan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini mengacu pada tingkat keterlibatan atau partisipasi stakeholder dalam penyelenggaraan program Corporate Social Responsibility (CSR), yakni program pemberdayaan ekonomi lokal melalui pembentukan LKMS Kartini. Bagaimana membentuk dan membina hubungan sinergis diantara stakeholder-stakeholder tersebut, hal ini merupakan salah satu tolak ukur dalam menilai keberhasilan dalam penyelenggaraan LKMS Kartini, yang mana salah satu kegiatannya adalah kelompok simpan pinjam. Oleh karena itu, stakeholder yang terdiri dari pemerintah (government), perusahaan (private), dan masyarakat (society) memiliki peran dalam keseluruhan tahapan penyelenggaraan program tersebut. Para stakeholder tersebut terkategori berdasarkan keberadaan dan tingkat kepetingannya sesuai dengan konsep pemangku kepentingan menurut Rhenald Khasali (2005) dalam Wibisono (2007), yakni pemerintah dan masyarakat sebagai stakeholder eksternal dan pihak swasta sebagai stakeholder internal Tahapan penyelenggaraan program terdiri dari empat tahapan Sejauhmana keterlibatan para stakeholders dalam tahapan penyelenggaraan program tersebut digambarkan melalui tingkat partisipasi masing-masing stakeholder. Tingkat partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1979) terdiri dari empat kategori, yakni tingkat pengambilan keputusan (perencanaan), tingkat pelaksanaan, tingkat evaluasi, dan tingkat pemanfaatan hasil, namun pada penelitian ini hanya digunakan tingkatan pertama, kedua, dan ketiga. Dampak sosial terkait dengan bagaimana kekuatan modal sosial yang terbangun dalam masyarakat. Modal sosial dalam hal ini, sesuai dengan konsep modal sosial menurut Uphoff (2000) dalam Suwartika (2003) diukur dari tingkat

24 kepercayaan, kekuatan jaringan, dan kekuatan kerjasama. Sedangkan dampak ekonomi dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan juga taraf hidup masyarakat MASYARAKAT (COMMUNITY) PEMERINTAH (GOVERNMENT) PENYELENGGARAAN PROGRAM CSR PERUSAHAAN GEOTHERMAL Perencanaan (Awareness Building, CSR Assesment, CSR Manual) Implementasi (Sosialisasi, pelaksanaan, internalisasi) Evaluasi Pelaporan PERUSAHAAN (PRIVATE) Kondisi Sosial (Modal Sosial ) Tingkat Kepercayaan (Trust) Kekuatan Kerjasama (Cooperation) Kekuatan Jejaring (Network) Kondisi Ekonomi (Taraf Hidup) Luas lantai bangunan tempat tinggal Jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding bangunan tempat tinggal Fasilitas tempat buang air besar Sumber penerangan rumah tangga Sumber air minum Bahan bakar untuk memasak Pemilikan alat transportasi Tingkat pendapatan Tingkat pengeluaran Tingkat investasi Gambar 2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Partisipasi Masyarakat dan Stakeholder dalam Penyelenggaraan Program CSR dan Dampaknya terhadap Komunitas Perdesaan.

25 Partisipasi stakeholder diidentifikasi secara kualitatif dengan menggali informasi dari pihak terkait, yakni pemerintah lokal, Perusahaan Geothermal, mitra perusahaan, maupun tokoh masyarakat. Identifikasi masing-masing stakeholder dilakukan dengan menganalisis sejauhmana keterlibatan dan keaktifan stakeholder dalam penyelenggaraan program hingga kemudian dikategorikan berdasarkan tingkatan partisipasi yang mengacu pada konsep Uphoff. Variabel tingkat partisipasi dihubungan dengan variabel dampak sosial dan dampak ekonomi melalui uji korelasi rank spearman. Hal tersebut dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Analisis menggunakan konsep partisipasi Uphoff kemudian dibandingkan dengan analisis dengan konsep partisipasi Arnstein, untuk melihat kesesuaian pengujian statistik Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam penyelenggaraan program CSR, maka semakin kuat modal sosial komunitas perdesaan 2. Semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam penyelenggaraan program CSR, maka semakin tinggi taraf hidup komunitas perdesaan Definisi Konseptual 1. Perusahaan Geothermal merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan gas bumi yang kemudian dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, terletak di Gunung Salak, Jawa Barat. 2. Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk pelaksanaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan, mencakup daya tanggap perusahaan dalam menghadapi permasalahan kebutuhan masyarakat yang diperlukan dalam implementasi program CSR, konsistensi program, evaluasi & pemantauan program 3. Community Engagement merupakan komitmen kepedulian Perusahaan Goethermal dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. 4. Community Based Micro Finance (CBMF) adalah program Community Engagement yang bersifat bantuan terprogram dengan konsep

26 pengembangan masyarakat. Tujuan akhir program Community Based Micro Finance (CBMF) adalah mewujudkan kemandirian (self help) dan keberlanjutan (sustainability) masyarakat Kecamatan Kabandungan pada umumnya, dan masyarakat Desa Cihamerang pada khsusunya. 5. Komunitas merupakan sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana anggotanya saling berinteraksi memiki pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap anggota-anggotanya. Komunitas dibatasi secara ekologis oleh wilayah desa dan kecamatan. 6. Masyarakat didefinisikan sebagai sebuah entitas yang bersifat heterogen dimana, sekumpulan orang tinggal bersama di suatu wilayah, diikat oleh aturan yang berlaku di wilayah tersebut, dimana dalam hal ini adalah masyarakat Desa Cihamerang. 7. Stakeholders adalah individu maupun kelompok yang terlibat dalam penyelenggaraan Program CSR. Dalam hal ini terdiri dari masyarakat (baik pengurus koperasi maupun anggota koperasi), pemerintah (baik pemerintah desa, kecamatan, maupun dinas koperasi), dan swasta (perusahaan geothermal beserta mitra perusahaan). 8. Anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini didefinisikan sebagai masyarakat Desa Cihamerang yang tergolong sebagai anggota dari kegiatan simpan pinjam yang diselenggarakan oleh LKMS Kartini. 9. Kategori Sosial Masyarakat adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan matapencaharian yang digeluti pada skala rumah tangga. Kategori mata pencaharian dibagi ke dalam dua kelompok yakni mata pencaharian dari sektor pertanian (farm sector) dan sektor non-pertanian (non farm). Selanjutnya dari kedua kategori tersebut, masing-masing digolongkan kembali ke dalam dua sub kategori yakni kategori pengusaha dan kategori buruh.

27 Tabel 2. Kategori Sosial Masyarakat Pemanfaat Program Sektor Posisi PENGUSAHA BURUH FARM KELOMPOK 1 KELOMPOK 3 NON-FARM KELOMPOK 2 KELOMPOK Definisi Operasional 1. Tingkatan partisipasi adalah keikutsertaan anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam semua tahapan kegiatan sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan. a. Partisipasi pada Tahap Perencanaan Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam merumuskan, merancang penyelenggaraan LKMS Kartini, baik bersifat teknis maupun nonteknis, menyangkut aspek, kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan keaktifan anggota selama proses perencanaan kegiatan. b. Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam tahapan pelaksanaan kegiatan simpan pinjam LKMS Kartini yang menyangkut aspek kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, serta keaktifan anggota selama proses kegiatan. c. Partisipasi pada Tahap Evaluasi Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam mengevaluasi kelebihan kekurangan dari pelaksanaan kegiatan simpan pinjam oleh LKMS Kartini, meliputi keikutsertaan anggota dalam memberikan saran dan kritik.

BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER

BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER DALAM PENYELENGGARAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS PERDESAAN Keberadaan perusahaan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak dapat berdiri sendiri. Keberadaan perusahaan dalam lingkungan masyarakat membawa pengaruh

Lebih terperinci

BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI

BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI BAB V TINGKAT PARTISIPASI DAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI 5.1. Penggolongan dan Non- LKMS Kartini Komunitas perdesaan dalam konteks penelitian ini tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan orang, namun juga sebagai

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility 2.1.1.1 Konsep Corporate Social Responsibility Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki banyak definisi

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DAN STAKEHOLDER DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS PERDESAAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DAN STAKEHOLDER DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS PERDESAAN ISSN : 1978-4333, Vol. 05, No. 01 PARTISIPASI MASYARAKAT DAN STAKEHOLDER DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS PERDESAAN Society and Stakeholder

Lebih terperinci

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Konseptualisasi CSR Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Indah Widowati, MP. Eko Murdiyanto, SP., M.Si. Pertemuan-1 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS UPN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya

Lebih terperinci

BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERDESAAN

BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERDESAAN BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PARTISIPASI DENGAN DAMPAK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PERDESAAN 6.1. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Sosial 6.1.1. Analisis Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saham atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan keuangan tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. saham atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan keuangan tetapi juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan mempunyai tanggung jawab bukan hanya kepada pemegang saham atau pihak-pihak yang mempunyai kepentingan keuangan tetapi juga kepada lingkungan dan

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009)

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2009) ABSTRAK KEMITRAAN PEMERINTAH DAN SWASTA Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan yang mendasar di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tentunya tidak hanya berdampak pada sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.1. Pengertian CSR Definisi Corporate Social Responsibility yang biasanya disingkat CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009)

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TKPKRI, 2008) didefinisikan sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungkapan informasi oleh perusahaan merupakan hal yang penting khususnya bagi para investor. Pengungkapan informasi tersebut disajikan perusahaan dalam bentuk

Lebih terperinci

BAGIAN I. PENDAHULUAN

BAGIAN I. PENDAHULUAN BAGIAN I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kegiatan di sektor ketenagalistrikan sangat berkaitan dengan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah. Selama ini keberadaan industri ketenagalistrikan telah memberikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1. Teori II.1.1. Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah bentuk kepedulian perusahaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility mungkin masih kurang populer di kalangan pelaku bisnis di Indonesia. Namun, tidak berlaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development)

BAB 1 PENDAHULUAN. kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), juga aspek sosial dan lingkungan yang biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu Negara dapat memberikan dampak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu Negara dapat memberikan dampak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu Negara dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi Negara tersebut. Salah satu dampak positif dari pekembangan

Lebih terperinci

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Konteks CSR Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Indah Widowati, MP. Eko Murdiyanto, SP., M.Si. Pertemuan-2 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS UPN V YK 1

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengembangan masyarakat (community development) Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengembangan masyarakat (community development) Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan masyarakat (community development) Pengembangan masyarakat (community development) adalah salah satu kegiatan yang menjadi bagian dari program corporate social responsibility

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi situasi ekonomi pasar bebas. Perkembangan bisnis dalam

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi situasi ekonomi pasar bebas. Perkembangan bisnis dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Corporate Social Responsibility (CSR), merupakan suatu wacana yang sedang mengemuka di dunia bisnis atau perusahaan. Wacana CSR tersebut digunakan oleh perusahaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan sesuai kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergeraknya kegiatan bisnis yang dilakukan. Penunjang tersebut berguna

BAB I PENDAHULUAN. bergeraknya kegiatan bisnis yang dilakukan. Penunjang tersebut berguna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berjalannya kegiatan usaha dari perusahaan di suatu negara akan melibatkan pihak-pihak atau lingkungan sekitarnya sebagai penunjang bergeraknya kegiatan bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring

BAB I PENDAHULUAN. media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaporan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan, baik sebagai media pengungkapan (disclosure) maupun perangkat evaluasi dan monitoring bagi perusahaan terbuka.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan dapat dikatakan sebagai salah satu aktor ekonomi dalam satu wilayah, baik itu wilayah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Meski bukan lagi menjadi isu baru, CSR dapat menjembatani

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perusahaan-perusahaan pada masa kini mengalami pergeseran paradigma. Perusahaan tidak satu-satunya mempunyai tujuan utama dalam menghasilkan laba, namun perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu kegiatan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Program tanggung jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu kegiatan yang direkomendasikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Corporate social responsibility (CSR) merupakan klaim agar. perusahaan tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham

BAB I PENDAHULUAN. Corporate social responsibility (CSR) merupakan klaim agar. perusahaan tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Corporate social responsibility (CSR) merupakan klaim agar perusahaan tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders) tapi juga untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. environmental responsibility (Bakdi Soemanto dkk, 2007). Dari penjelasan diatas

BAB I PENDAHULUAN UKDW. environmental responsibility (Bakdi Soemanto dkk, 2007). Dari penjelasan diatas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Of course, the development of the corporation is not only be followed by rising expectations, but also various matters concerning the social and environmental

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (corporate social responsibility) dikemukakan oleh John Elkington (1997) yang

PENDAHULUAN. (corporate social responsibility) dikemukakan oleh John Elkington (1997) yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Satu terobosan besar perkembangan gema tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dikemukakan oleh John Elkington (1997) yang terkenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jalal (2013) dalam tulisan artikelnya mengatakan bahwa tanggungjawab

BAB I PENDAHULUAN. Jalal (2013) dalam tulisan artikelnya mengatakan bahwa tanggungjawab BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalal (2013) dalam tulisan artikelnya mengatakan bahwa tanggungjawab sosial perusahaan atau Corporate social responsibility sejak beberapa tahun belakangan seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari masyarakat sebagai lingkungan eksternal, ada hubungan timbale balik

BAB I PENDAHULUAN. dari masyarakat sebagai lingkungan eksternal, ada hubungan timbale balik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberadaan serta keberlanjutan suatu perusahaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat sebagai lingkungan eksternal, ada hubungan timbale balik antara perusahaan

Lebih terperinci

BAB V PE N U T U P A. Simpulan

BAB V PE N U T U P A. Simpulan BAB V PE N U T U P A. Simpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan berikut ini: 1. Kebijakan pembangunan sarana air bersih menunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan atau dalam bahasa Inggris adalah enterprise terdiri dari satu

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan atau dalam bahasa Inggris adalah enterprise terdiri dari satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perusahaan atau dalam bahasa Inggris adalah enterprise terdiri dari satu atau lebih unit-unit usaha yang disebut pabrik. Perusahaan merupakan suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE Corporate Social Responsbility (E-LEARNING)

BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE Corporate Social Responsbility (E-LEARNING) Modul ke: BUSINESS ETHIC AND GOOD GOVERNANCE Corporate Social Responsbility (E-LEARNING) Fakultas Pascasarjana Dr. Anik Tri Suwarni, MM. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id KASUS PEMBUKA Pandangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era persaingan bisnis saat ini, sebuah perusahaan dituntut untuk mampu memiliki langkahlangkah inovatif yang mampu memberi daya saing dengan kompetitor. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan

BAB I PENDAHULUAN. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma para pemegang saham dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era yang sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kontribusinya dalam kehidupan komunitas lokal sebagai rekanan dalam kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. kontribusinya dalam kehidupan komunitas lokal sebagai rekanan dalam kehidupan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehadiran perusahaan sebagai bagian dari masyarakat seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam

Lebih terperinci

Oleh : Cahyono Susetyo

Oleh : Cahyono Susetyo PENGEMBANGAN MASYARAKAT BERBASIS KELOMPOK Oleh : Cahyono Susetyo 1. PENDAHULUAN Perencanaan partisipatif yang saat ini ramai didengungkan merupakan suatu konsep yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan dimana merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan dimana merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Corporate social responsibility (CSR) merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suatu perusahaan dimana merupakan wujud tanggungjawab dan sikap

Lebih terperinci

WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN SEBAGAI TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya mewujudkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan merupakan suatu kesatuan usaha yang menghasilkan barang dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perusahaan merupakan suatu kesatuan usaha yang menghasilkan barang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan suatu kesatuan usaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam setiap aktivitasnya, komunikasi adalah suatu instrumen yang penting dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Signal Theory Teori sinyal atau signal theory menjelaskan mengenai bagaimana manajemen mampu memberikan sinyal-sinyal keberhasilan atau kegagalan yang akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham.

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan adalah sebuah entitas ekonomi yang konsep utamanya adalah menghasilkan laba untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemagang saham. Manajemen perusahaan berusaha

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dari kegiatan atau tindakan ekonomi perusahaan. Kegiatan produksi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. dari kegiatan atau tindakan ekonomi perusahaan. Kegiatan produksi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan dalam melaksanakan kegiatan bisnis tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan seringkali

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi ditandai dengan perkembangan industri pada. umumnya. Perkembangan industri merupakan hasil dari perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi ditandai dengan perkembangan industri pada. umumnya. Perkembangan industri merupakan hasil dari perkembangan 18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ekonomi ditandai dengan perkembangan industri pada umumnya. Perkembangan industri merupakan hasil dari perkembangan perusahaan yang pesat. Perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bagian dari perekonomian nasional mempunyai andil yang besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebagai bagian dari perekonomian nasional mempunyai andil yang besar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini, perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini topik mengenai Corporate Social Responsibility (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini topik mengenai Corporate Social Responsibility (selanjutnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini topik mengenai Corporate Social Responsibility (selanjutnya disingkat CSR) banyak dibahas. Perusahaan di dunia maupun di Indonesia juga semakin banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Didirikannya sebuah perusahaan memiliki tujuan yang jelas. Tujuan perusahaan adalah mencapai laba yang sebesar-besarnya dan memakmurkan pemilik perusahaan atau para

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya kesadaran dan kepekaan para stakeholders perusahaan, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatnya kesadaran dan kepekaan para stakeholders perusahaan, maka 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama kurun waktu 20-30 tahun terakhir ini, kesadaran masyarakat akan peran perusahaan dalam lingkungan sosial semakin meningkat. Banyak perusahaan besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sosial, ekonomi, politik, kesehatan, dan lingkungan makin banyak. Kemajuan

I. PENDAHULUAN. sosial, ekonomi, politik, kesehatan, dan lingkungan makin banyak. Kemajuan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Motivasi utama setiap perusahaan atau industri atau bisnis adalah meningkatkan keuntungan. Logika ekonomi neoklasik adalah bahwa dengan meningkatnya keuntungan dan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber informasi penting yang dipakai oleh stakeholders untuk menilai

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber informasi penting yang dipakai oleh stakeholders untuk menilai 18 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada umumnya, laporan keuangan digunakan sebagai salah satu sumber informasi penting yang dipakai oleh stakeholders untuk menilai kinerja perusahaan, dan

Lebih terperinci

TUGAS CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR)

TUGAS CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR) TUGAS CORPORATE SOCIAL RESPONBILITY (CSR) Mata Kuliah : Etika Bisnis Dosen Pembina : Hj.I.G.A.Aju Nitya D, SST,SE,MM CHAIRUL ANAM S. 01210007 UNIVERSITAS NAROTAMA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MANAGEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewasa ini, tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan corporate social responsibility (CSR) semakin banyak dibahas di kalangan bisnis.

Lebih terperinci

A. PENGERTIAN STAKEHOLDERS

A. PENGERTIAN STAKEHOLDERS A. PENGERTIAN STAKEHOLDERS Stakeholder dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang sedang diangkat. Misalnya bilamana isu perikanan, maka stakeholder dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsisbilities atau CSR)

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsisbilities atau CSR) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Seiring dengan perkembangan zaman, wacana mengenai peran etika dan tanggung jawab sosial perusahaan semakin marak diperbincangkan oleh para pelaku bisnis, organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Program tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) pertama kali dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953. Setelah itu,csr

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja, serta kerusakan hutan dan lingkungan (Sembiring, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. kerja, serta kerusakan hutan dan lingkungan (Sembiring, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya perusahaan memberikan keuntungan bagi masyarakat. Dengan adanya perusahaan membuka lapangan pekerjaan dan menyediakan barang dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keanekaragaman dalam hal adat istiadat, bahasa, kepercayaan, norma, dan nilai budaya lainnya. Tidak hanya dalam hal budaya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai suatu entitas bisnis, sebuah perusahaan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Tujuan tersebut terkadang menyebabkan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam dunia industri yang sangat menuntut perbaikan berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam dunia industri yang sangat menuntut perbaikan berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam dunia industri yang sangat menuntut perbaikan berkelanjutan dewasa ini telah banyak dirasakan dampak paham ekonomi kapitalis. Banyak perusahaan yang dalam kegiatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, baik

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan ekonomi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan ekonomi dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi, baik perorangan yang menjalankan perusahaan maupun badan-badan usaha, baik yang mempunyai kedudukan sebagai badan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah, yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak perusahaan untuk memperoleh keuntungan dari hasil tambang batubara. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan timbal balik antara

BAB I PENDAHULUAN. sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan timbal balik antara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Esistensi suatu perusahaan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan timbal balik antara perusahaan dengan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab pada aspek keuntungan secara ekonomis saja, yaitu nilai

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab pada aspek keuntungan secara ekonomis saja, yaitu nilai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pembangunan sekarang ini, perusahaan tidak lagi berhadapan pada tanggung jawab pada aspek keuntungan secara ekonomis saja, yaitu nilai perusahaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maraknya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR),

BAB I PENDAHULUAN. Maraknya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maraknya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR), belakangan ini patut untuk dirayakan. Corporate Social Responsibility (CSR) memang sedang menjadi

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), yang dalam Pedoman ini disebut BADAN, adalah badan hukum publik yang dibentuk dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan

TINJAUAN PUSTAKA. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis dimana keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.

Lebih terperinci

Komite Advokasi Nasional & Daerah

Komite Advokasi Nasional & Daerah BUKU SAKU PANDUAN KEGIATAN Komite Advokasi Nasional & Daerah Pencegahan Korupsi di Sektor Swasta Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social

BAB I PENDAHULUAN. tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan apakah terdapat perbedaan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemegang saham (shareholders) saja namun juga mempunyai tanggung jawab

BAB 1 PENDAHULUAN. pemegang saham (shareholders) saja namun juga mempunyai tanggung jawab BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah wacana yang menjadikan perusahaan tidak hanya berkewajiban atau beroperasi untuk pemegang saham (shareholders)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ide mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) kini semakin diterima secara luas. Namun, sebagai

Lebih terperinci

BAB I. Pada awalnya bisnis dibangun dengan paradigma single bottom line

BAB I. Pada awalnya bisnis dibangun dengan paradigma single bottom line BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian besar perusahaan, terutama di Indonesia saat ini masih fokus untuk mengungkapkan laporan keuangan yang berkaitan dengan kinerja keuangan saja. Laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk fokus pada pengembangan hubungan sosialnya kepada stakeholders

BAB I PENDAHULUAN. untuk fokus pada pengembangan hubungan sosialnya kepada stakeholders BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seiring berkembangnya jaman yang semakin modern ini menjadikan dunia bisnis menuntut perusahaan untuk berkompetisi dan mempertahankan usahanya. Hal ini dimaksudkan bahwa

Lebih terperinci

mereka bekerja di proyek pertambangan migas tersebut.

mereka bekerja di proyek pertambangan migas tersebut. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perusahaan Exxon Mobil melaksanakan program CSR berfokus pada tiga pilar, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi. Salah satu program pilar pengembangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi hubungan yang tidak harmonis antar perusahaan dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi hubungan yang tidak harmonis antar perusahaan dengan lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di era yang serba modern ini, perkembangan bisnis dan persaingannya sangatlah ketat. Semua manajer ingin mengunggulkan perusahaannya dengan cara apapun agar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam perkembangan di era globalisasi dan persaingan bebas saat ini, perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi adalah sesuatu hal yang pasti. Perkembangan teknologi semakin lama semakin berkembang dengan pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini dunia usaha semakin berkembang pesat dan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini dunia usaha semakin berkembang pesat dan masing-masing BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini dunia usaha semakin berkembang pesat dan masing-masing perusahaan beradu strategi dan inovasi untuk menarik konsumen. Persaingan ketat yang ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin maraknya komitmen untuk melaksanakan good governance. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. semakin maraknya komitmen untuk melaksanakan good governance. Pelaksanaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan-perusahaan di Indonesia pada saat ini semakin tumbuh dan berkembang, baik di dalam jumlah maupun jenis usaha yang dijalankan. Pada umumnya, tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebuah perusahaan yang baik harus mampu mengontrol potensi finansial maupun potensi non finansial di dalam meningkatkan nilai perusahaan untuk eksistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wacana CSR berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992

BAB I PENDAHULUAN. wacana CSR berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Saat ini persoalan lingkungan sudah menjadi persoalan yang menarik dan menjadi isu sentral bagi negara-negara di dunia. Semenjak tahun 1980-1990, wacana CSR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan semata (single bottom line), melainkan juga beberapa aspek penting

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan semata (single bottom line), melainkan juga beberapa aspek penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini dunia usaha tidak hanya memperhatikan informasi laporan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan juga beberapa aspek penting lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan. Keberlanjutan perusahaan (corporate sustainability) hanya akan terjamin

Lebih terperinci

pemerintah melalui peraturan daerah. Contoh kerugian jangka panjang adalah menurunnya tingkat kepercayaan perusahaan di mata masyarakat, menurunnya

pemerintah melalui peraturan daerah. Contoh kerugian jangka panjang adalah menurunnya tingkat kepercayaan perusahaan di mata masyarakat, menurunnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era pertumbuhan perusahaan yang semakin tinggi membuat kesadaran akan penerapan tanggung jawab sosial menjadi penting seiring dengan semakin maraknya kepedulian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Kecenderungan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Menurut Gray et al., (1995) teori kecenderungan pengungkapan

Lebih terperinci

PENGUNGKAPAN INFORMASI SOSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DALAM LAPORAN TAHUNAN

PENGUNGKAPAN INFORMASI SOSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DALAM LAPORAN TAHUNAN PENGUNGKAPAN INFORMASI SOSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DALAM LAPORAN TAHUNAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 6 BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.1.1 Definisi CSR Menurut Budimanta (2008), CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) merupakan komitmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal sebagai Corporate

BAB I PENDAHULUAN. Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal sebagai Corporate BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) dalam zaman sekarang ini sudah menjadi fenomena global.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat ketatnya persaingan di industri transportasi, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Melihat ketatnya persaingan di industri transportasi, khususnya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melihat ketatnya persaingan di industri transportasi, khususnya transportasi darat, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) masih senantiasa bertahan dan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan akuntansi yang berkembang pesat setelah terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan akuntansi yang berkembang pesat setelah terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perkembangan akuntansi yang berkembang pesat setelah terjadi revolusi industri di Inggris (1760-1860), menyebabkan pelaporan akuntansi lebih banyak digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.

BAB I PENDAHULUAN. manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Penelitian Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian dalam dunia usaha hingga saat ini yaitu terkait tentang tanggung jawab sosial perusahaan

Lebih terperinci

Corporate Social Responsibility. Etika bisnis

Corporate Social Responsibility. Etika bisnis Corporate Social Responsibility Etika bisnis Perkembangan CSR Dalam perkembangan negara industri, terjadi pengelompokkan negaranegara terutama dalam golongan yang dikenal sebagai negara penghasil bahan

Lebih terperinci