ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A"

Transkripsi

1 ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh Nia Kurniawati Hidayat A PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN NIA KURNIAWATI HIDAYAT. Analisis Hubungan Komponen Indeks Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat (dibawah bimbingan HERMANTO SIREGAR) Hakekat pembangunan merupakan suatu perubahan yang membuat keadaan sekarang menjadi lebih baik dimasa yang akan datang. Tujuan akhir pembangunan pada dasarnya adalah kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia cenderung diprioritaskan pada pembangunan ekonomi. Hal tersebut terlihat dari rata-rata pengeluaran publik untuk pendidikan dan kesehatan serta kedudukan pembangunan manusia Indonesia yang masih berada pada posisi terendah dibandingkan dengan Negara- Negara ASEAN. Rendahnya pembangunan manusia tersebut menjadi penyebab sulitnya upaya mencapai suatu hidup layak. Propinsi Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, letaknya yang strategis menjadi keuntungan bagi perkembangan perekonomian Jawa Barat. Akan tetapi, masalah kemiskinan masih menjadi masalah yang tak kunjung habis dalam kehidupan masyarakat. Perbaikan dalam kondisi perekonomian Jawa Barat tidak serta merta menunjukan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu perlu untuk diketahui faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Hal tersebut merupakan tujuan dilakukannya penelitian ini. Kemudian analisis deskriptif terhadap perkembangan variabel yang diduga berpengaruh terhadap kemiskinan dilakukan untuk mengetahui penyebab kemiskinan di Propinsi Jawa Barat dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat dilakukan analisis regresi data panel dengan bantuan software Eviews 4.1. dan Microsoft Excel. Perkembangan tingkat pengangguran di Propinsi Jawa Barat semakin menurun dari , Komponen Indeks Pembangunan Manusia seperti angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf dan daya beli mengalami peningkatan dari tahun , skor infrastruktur sosial tidak mengalami perubahan selama kurun waktu Akan tetapi angka beban ketergantungan meningkat dan tingkat kemiskinan juga meningkat secara umum dari tahun Faktor-faktor yang secara siginfikan pada taraf nyata lima persen berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, kemampuan daya beli dan tingkat pengangguran. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan Propinsi Jawa Barat yaitu angka melek huruf, skor infrastruktur sosial, dan angka beban ketergantungan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, kebijakan yang dapat dilakukan untuk menekan tingkat kemiskinan yaitu peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat, meningkatkan pelaksanaan program-program dengan prioritas peningkatan aksesibilitas, kualitas, daya saing, dan tata kelola pendidikan yang telah dirancang Pemerintahan Propinsi Jawa Barat, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat miskin dan tertinggal, Mengoptimalkan pelaksanaan program peningkatan kompetensi dan perlindungan tenaga kerja, Pengendalian laju pertumbuhan alamiah.

3 Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disarankan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan hendaknya penentu dan pembuat kebijakan tidak mengabaikan perkembangan kualitas pembangunan manusia kemudian dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat harus berpihak pada masyarakat miskin dan memperhatikan kesejahteraannya.

4 ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh: NIA KURNIAWATI HIDAYAT A Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 SKRIPSI Judul : Analisis Hubungan Komponen Indeks Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Nia Kurniawati Hidayat : A : Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Disetujui, Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc NIP Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP Tanggal lulus :

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN Bogor, Mei 2008 NIA KURNIAWATI HIDAYAT NRP: A

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi tanggal 1 Februari 1988, yang merupakan putera ke tiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Achmad Hidayat dan Ibu Atikah. Tahun 1993 penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Cipurut Kabupaten Sukabumi. Tahun 1999 penulis melanjutkan di SLTP 1 Sukaraja dan pada tahun 2002 di SMUN 3 Sukabumi. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada berbagai kegiatan organisasi dan kemahasiswaan antara lain Gema Almamater IPB dan Koperasi Mahasiswa. Di samping itu penulis sempat menjadi asisten Mata Kuliah Ekonomi Umum.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Hubungan Komponen Indeks Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salahsatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berusaha mengerjakan dan menyajikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Namun demikian, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penelitian selanjutnya. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Bogor, Mei 2008 Nia Kurniawati Hidayat NRP A

9 UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan skripsi ini merupakan tahap akhir dari proses pendidikan yang penulis jalani pada Institut Pertanian Bogor. Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan banyak terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar atas bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan selama proses penyelesaian skripsi ini. 2. Ir. Nindyantoro, MSp dan Adi Hadiyanto, Sp sebagai dosen penguji utama dan penguji wakil departemen. 3. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 4. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat. 5. Bapak dan Mamah tercinta, terima kasih atas dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. 6. Kakak-kakak tersayang, terima kasih atas tauladannya 7. Keluarga Besar Maha Rani dan Pondok ACC, atas keceriaannya. 8. Rekan-rekan EPS 41, semangat dan tetap kompak! 9. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI. v DAFTAR TABEL.. vii DAFTAR GAMBAR.. viii DAFTAR LAMPIRAN ix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kemiskinan Indeks Pembangunan Manusia Pengangguran Infrastruktur Sosial Angka Beban Ketergantungan Analisis Panel Data Penelitian Terdahulu Penelitian Tentang Pembangunan Manusia Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Penelitian Mengenai Strategi Penanggulangan Kemiskinan dan Efektivitas Penanggulangan Kemiskinan Perbedaan Dengan Penelitian Terdahulu 34 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Hipotesis.. 38 VI. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengolahan dan Analisis Data Spesifikasi Model Panel Data Evaluasi Model Uji F Uji t Uji Statistik R Multikolinearitas Heteroskedastisitas... 48

11 Autokorelasi V. GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT 5.1. Kondisi Geografis Kependudukan Pendidikan dan Kesehatan Kondisi Perekonomian Propinsi Jawa Barat 58 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Kemampuan Daya Beli (PPP), Infrastruktur Sosial (INF), Tingkat Pengangguran (UNMPLY), dan Angka Beban Ketergantungan (DPNDN) Tingkat Kemiskinan Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Kemampuan Daya Beli Tingkat Pengangguran Terbuka Angka Beban Ketergantungan Infrastruktur Sosial Analisis Hubungan Antara Komponen Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan Evaluasi Model Interpretasi Model Implikasi Kebijakan 90 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Saran 94 DAFTAR PUSTAKA 95 LAMPIRAN... 99

12 DAFTAR TABEL Tabel Teks Halaman 1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Di Indonesia Pertumbuhan Ekonomi, PDRB, Pendapatan per kapita Jawa Barat Tahun Atas Dasar Harga Konstan Kriteria dan Garis Kemiskinan Perbedaan Persepsi Penyebab Kemiskinan Menurut Jender dan Tipologi Masyarakat Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya beli (PPP) Jumlah Rumah Tangga dan Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Jawa Barat Tahun Penduduk Propinsi Jawa Barat Menurut Kelompok Umur Tahun 2006 (dalam ribu) Penduduk Propinsi Jawa Barat Menurut Kelompok Umur Tahun 2006 (dalam ribu) Jumlah Fasilitas Pendidikan di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006/ Jumlah Fasilitas Kesehatan di Propinsi Jawa Barat Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun Presentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Barat Tahun PDRB Perkapita Propinsi Jawa Barat Tahun Jumlah Kabupaten/Kota Menurut Persentase Penduduk Miskin Tahun Infrastruktur Sosial Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance Hasil Estimasi data hasil transformasi dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance. 84

13 DAFTAR GAMBAR Gambar Teks Halaman 1. Rata-rata Belanja Publik untuk Kesehatan dan Pendidikan Dimensi, Indikator, dan Indeks Dimensi untuk IPM Kerangka Pemikiran Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten /Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Kaitan Investasi Bidang Kesehatan dengan Pembangunan Manusia Perkembangan Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Laju Pertumbuhan Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf di Jawa Barat Tahun Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Perkembangan Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Perkembangan Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabuten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Perkembangan Angka Beban Ketergantungan Menurut Kabupaten /Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun Perkembangan Skor Infrastruktur Sosial Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Residual Unit Cross Section 84

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Teks Halaman 1. Data yang akan diestimasi (sebelum ditransformasikan) Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance Data Hasil Transformasi Hasil Estimasi data hasil transformasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance 107 BAB I

15 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses perubahan yang membuat keadaan sekarang diharapkan akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Pembangunan nasional atau pembangunan daerah pun memiliki hakekat yang sama yakni perubahan secara terus-menerus pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Hal tersebut dilakukan guna mencapai peningkatan taraf hidup serta mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual. Oleh sebab itu, semua kebijakan akan terus diarahkan dan diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia secara menyeluruh dan merata sesuai dengan UUD Akan tetapi, pembangunan yang telah dilakukan selama ini cenderung lebih diprioritaskan pada pembangunan ekonomi (fisik). Kenyataan ini diperkuat melalui fakta pada Gambar 1 Sumber: Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (2004) Gambar 1. Rata-rata Belanja Publik Untuk Kesehatan dan Pendidikan (% dari PDB)

16 Berdasarkan Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa persentase pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebagai sektor yang dapat meningkatkan kualitas manusia, paling rendah jika dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN lainnya. Padahal hakikat pembangunan tidaklah sesempit itu. Pembangunan pada akhirnya harus bermanfaat bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya dan harus dapat mengangkat kualitas dari masyarakatnya tersebut. Hal ini berarti, dalam melaksanakan pembangunan ini kita tidak boleh melupakan unsur manusia yang tinggal di dalamnya. Dengan kata lain, penduduk harus ditempatkan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan. 1 Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia tidak hanya masalah pertumbuhan penduduk dan pengangguran saja, melainkan juga menyangkut kualitas sumber daya manusia (SDM). Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (Human Development Report 2005), Indonesia berada pada level menengah (Medium Human Development), dengan peringkat ke-110 dari 117 negara dengan nilai IPM yang secara regional jauh berada di bawah peringkat negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. 2 SDM yang tidak berkualitas akan menjadi penyebab sulitnya upaya mencari penghidupan yang layak, sehingga menyebabkan kemiskinan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya jumlah kemiskinan di Indonesia dan bahkan mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin secara nasional tercatat sebesar 36.1 juta jiwa atau persen dari total penduduk Indonesia, kemudian BPS menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di 1 diakses tanggal 22 Februari 2008 (13:30) 2 diakses tanggal 22 Februari 2008 (15:25)

17 Indonesia naik dari 35.1 juta orang (15.97 persen) pada Februari 2005 menjadi juta orang (17.75 persen) pada Maret Disamping itu, tingkat kerentanan untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia, hampir 42 persen dari seluruh rakyat Indonesia hidup di antara garis kemiskinan AS$1 AS$2 per hari (World Bank, 2006). Hal tersebut menunjukkan banyaknya rakyat Indonesia yang rawan kemiskinan artinya sedikit saja goncangan pada perekonomian menjadikan banyak masyarakat Indonesia yang hampir miskin menjadi termasuk ke dalam golongan miskin (World Bank, 2006). Disamping tingginya angka kemiskinan di Indonesia, masalah disparitas juga masih tinggi di Indonesia sehingga hal tersebut dapat memperparah kemiskinan. Masalah ketimpangan ini terjadi antara perdesaan dan perkotaan dan antar daerah di Indonesia. Adanya disparitas antara desa dengan kota tersebut dapat terlihat dari perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia berikut. Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Penduduk Miskin Tahun Absolut (juta Jiwa) Relatif (%) Kota Desa Total Kota Desa Total Sumber: BPS, Data dan Informasi Kemiskinan (diolah)

18 Dari tabel tersebut dapat terlihat bahwa setiap tahun, jumlah absolut dan relatif penduduk miskin di wilayah pedesaan di Indonesia selalu lebih besar dari wilayah perkotaan. Di samping itu, World Bank (2006) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan dalam kantong-kantong kemiskinan yang terdapat di dalam daerahdaerah di Indonesia. Misalnya, angka kemiskinan di Jawa/Bali adalah 15.7 persen, sedangkan di Papua adalah 38.7 persen. Meskipun tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih tinggi di kawasan Indonesia Bagian Timur, akan tetapi kebanyakan dari rakyat miskin hidup di Indonesia Bagian Barat yang berpenduduk padat. Sebagai contoh, meskipun angka kemiskinan di Jawa/Bali relatif rendah, pulau-pulau tersebut dihuni 57 persen dari jumlah total rakyat miskin Indonesia dibandingkan Papua yang hanya memiliki tiga persen dari total rakyat miskin. Hal tersebut juga yang mendasari mengapa penelitian ini difokuskan pada Propinsi Jawa Barat, karena Jawa Barat merupakan Propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yaitu sebesar ribu jiwa (BPS, 2007). Kebijakan-kebijakan pengentasan kemiskinan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut akan tetapi pelaksanaannya belum efektif karena adanya kekurangan dalam implementasi program pengentasan kemiskinan yang akhirnya dapat memperkuat dan membangun kapasitas masyarakat miskin (Karim, 2005). Ketidakefektifan kebijakan pemerintah tersebut dapat terlihat dari perkembangan penduduk miskin di Indonesia (Tabel.1) yang masih jauh dari angka kemiskinan yang dapat dicapai pada sebelum terjadi krisis 1997 lalu, yaitu mencapai persen atau secara

19 absolut mencapai 22.5 juta jiwa pada tahun Oleh sebab itu, masalah kemiskinan harus diatasi secara menyeluruh dari akar permasalahannya dan meliputi semua wilayah baik kota, desa dan meliputi seluruh daerah di Indonesia agar tercapai kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kajian mengenai hal yang berpengaruh terhadap kemiskinan suatu wilayah menjadi penting untuk dilakukan. 1.2 Perumusan Masalah Kemiskinan merupakan suatu persoalan yang kompleks dan dilematik bagi negara yang sedang berkembang. Hal ini terjadi seiring dengan semakin meningkatnya penduduk dan berkembangnya wilayah. Peningkatan penduduk yang tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar manusia dan upaya-upaya peningkatan daya beli akhirnya akan menyebabkan kemiskinan. BPS (2007) menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yaitu mencapai ribu jiwa pada tahun Hal tersebut menunjukan besarnya potensi sumber daya manusia bagi perkembangan wilayah Jawa Barat. Selain itu, kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan suatu keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan, yang akhirnya dapat mendukung sektor perdagangan sebagai salah satu sektor penggerak perekonomian. Akan tetapi pada faktanya, kemiskinan di Jawa Barat terus saja menjadi suatu permasalahan yang tak kunjung habis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk yang dikategorikan ke dalam penduduk miskin terutama setelah krisis, dimana angka kemiskinan meningkat sangat signifikan dari tahun 1996 yang mencapai 3962 juta orang (9.88%) menjadi 7019 juta orang

20 (20.3%) pada tahun Setelah tahun 1999 angka kemiskinan mulai menurun. Sampai pada tahun 2004, angka kemiskinan absolut mencapai 4654 juta orang, akan tetapi pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin di Jawa Barat meningkat kembali menjadi 5138 juta atau sebesar persen dari total jumlah penduduk Jawa Barat dan bahkan semakin meningkat pada tahun berikutnya, yakni mencapai 5713 juta orang atau persen pada tahun Disisi lain, kondisi perekonomian Jawa Barat cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari indikator ekonomi yang ditinjau dari LPE, PDRB, dan pendapatan perkapita yang semakin baik (Tabel 2). Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi, PDRB, Pendapatan per kapita Jawa Barat Tahun Atas Dasar Harga Konstan. Tahun LPE (%) PDRB (Rp. juta) Pendapatan Perkapita (Rp) Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Jawa Barat Dalam Angka (diolah) Berdasarkan Tabel 2. tersebut terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat berdasarkan harga konstan tahun 2000 memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi produk domestik regional bruto atas harga konstan tahun 2000 mencapai 4.53 persen dan terus mengalami peningkatan hingga 6.01 persen pada tahun Besaran PDRB juga semakin meningkat dari 221 trilyun rupiah pada tahun 2003 menjadi 258 trilyun rupiah pada tahun Hal yang sama juga terjadi pada pendapatan per kapita Jawa Barat. Pendapatan per kapita meningkat dari 5.8 juta rupiah pada tahun 2003 menjadi 6.2 juta rupiah pada tahun Akan tetapi

21 kondisi tersebut belum dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kesejahteraan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya berbagai permasalahan yang belum dituntaskan yakni masalah kemiskinan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang rumit. Perbaikan indikator ekonomi tidak serta merta menunjukan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, kemiskinan harus diatasi secara menyeluruh dan tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pembangunan ekonomi saja, pembangunan manusia diduga sangat penting dalam mengurangi kemiskinan. Hal ini karena pendidikan dan kesehatan yang baik memungkinkan penduduk miskin untuk meningkatkan nilai asetnya (Lanjouw, Pradhan, Saadah, Sayed, dan Sparrow, 2001 dalam Brata, 2005). Dari uraian di atas maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kemiskinan, gambaran komponen indeks pembangunan manusia yakni angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, daya beli, infrastruktur sosial, tingkat pengangguran, dan angka ketergantungan di Propinsi Jawa Barat? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat? 3. Bagaimana implikasi kebijakan berdasarkan tujuan satu dan dua untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Propinsi Jawa Barat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:

22 1. Mendeskripsikan tingkat kemiskinan, gambaran komponen indeks pembangunan manusia yakni angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, daya beli, infrastruktur sosial, tingkat pengangguran, dan angka ketergantungan di Propinsi Jawa Barat. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. 3. Merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan tujuan satu dan dua untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Propinsi Jawa Barat Kegunaan Penelitian Kegunaan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 1. Bagi peneliti dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan referensi dalam penelitian selanjutnya. 2. Bagi pemerintah dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam merumuskan arah pelaksanaan pembangunan Ruang Lingkup Penelitian Pembahasan dalam penelitian ini adalah melihat hubungan antara komponen indeks pembangunan manusia dengan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Komponen indeks pembangunan manusia ini meliputi angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, purchasing power parity, dan angka melek huruf yang diperoleh dari BPS dalam terbitannya mengenai komponen penyusunan IPM, sedangkan kemiskinan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persentase jumlah penduduk miskin yang diperoleh dari Data dan Informasi

23 Kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS dan berdasarkan pada kriteria dari Badan Pusat Statistik, dimana penduduk miskin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penduduk yang memiliki pendapatan atau tingkat pengeluaran dibawah garis kemiskinan. Hubungan antara komponen indeks pembangunan manusia terhadap kemiskinan dalam penelitian ini disertai variabel-variabel lain seperti tingkat pengangguran, angka beban ketergantungan dan skor infrastruktur sosial untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap persentase jumlah penduduk miskin dibatasi pada variabel-variabel yang terkait dengan aspek ekonomi dan sosial. Adanya keterbatasan data juga membatasi unit time series yang digunakan yaitu tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 dan unit cross section adalah wilayah Kabupaten/Kota sebelum dilakukan pemekaran.

24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kemiskinan Definisi mengenai kemiskinan sangat beragam mulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar hingga definisi kemiskinan dengan mempertimbangkan komponen sosial dan moral. Kemiskinan dapat diartikan suatu kondisi serba kekurangan. Kemiskinan juga dapat dicirikan dengan ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan, perumahan, dan pakaian, tingkat pendapatan rendah, pendidikan dan keahlian rendah, keterkucilan sosial karena keterbatasan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Singkatnya, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar hidup yang rendah yaitu suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan,1984) Kemiskinan merupakan suatu konsep yang multidimensional artinya kemiskinan tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi tapi juga dapat dilihat dari segi sosial, budaya, dan politik. Definisi kemiskinan ini semakin berkembang sesuai dengan penyebabnya. Papilaya (2006) mengemukakan bahwa pada awal 1990-an definisi kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan tetapi mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan, dan perumahan. SMERU dalam Krisnamurti (2006) menyebutkan definisi kemiskinan yang memadai harus mencakup berbagai dimensi, antara lain : 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan).

25 2. Ketidakmampuan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi) 3. Tidak ada jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual dan massal. 5. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumberdaya alam. 6. Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar,wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda, kelompok marginal dan terpencil). Pengertian tersebut sesuai dengan konsep Chambers (1983) tentang jebakan kemiskinan yang diacu dalam Mutaqien (2006), antara lain kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok sesuai dengan pemahaman atas kondisi kemiskinan yang dihadapi (krisnamurthi, 2006), yaitu: 1. Kemiskinan absolut, kemiskinan yang terjadi bila seseorang, keluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatan atau pengeluarannya berada di bawah suatu batas minimal tertentu untuk dapat hidup layak sebagai manusia. Batas tersebut disebut garis kemiskinan. 2. Kemiskinan relatif, kemiskinan yang terjadi jika seseorang, sekeluarga, atau masyarakat yang tingkat pendapatannya atau pengeluarannya relatif lebih

26 rendah dibandingkan dengan pendapatan atau pengeluaran masyarakat sekitarnya. 3. Kemiskinan Kronis (chronic) atau struktural, kemiskinan ini terjadi jika kondisi kemiskinan ini yang terjadi terus menerus dalam jangka waktu yang lama. 4. Kemiskinan sementara (transitory) atau accidental, kemiskinan ini terjadi akibat adanya perubahan atau shock yang mengakibatkan seseorang atau sekeluarga atau masyarakat berubah dari tidak miskin menjadi miskin. 5. Kemiskinan masal, terjadi jika sebagaian besar dari masyarakat mengalami kemiskinan. 6. Kemiskinan individual, yaitu kemiskinan yang terjadi jika hanya beberapa orang atau sebagian kecil masyarakat yang mengalami kemiskinan. Disamping itu, beberapa peneliti berpendapat berbeda tentang kemiskinan struktural dan kemiskinan kronis dengan klasifikasi yang telah dilakukan Krisnamurthi (2006). Alfian, dkk (1980) mendefinisikan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya. Kemiskinan struktural juga dapat diukur dari kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi atau peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan kesempatan yang ada. Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Papilaya (2006) bahwa kemiskinan struktural merupakan perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau

27 kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia terjebak dalam kondisi yang memiskinkan Disamping itu, Kemiskinan kronis merupakan suatu bentuk kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, rendahnya pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar, sedangkan kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman, dan bencana alam atau sesuatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi kemiskinan yaitu: 1. Menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence poverty) yakni kemiskinan merupakan ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Pengukuran dengan pendekatan subsistensi dikenal dengan tiga metode yakni : a. Metode yang dikembangkan Sayogyo, yaitu mereka yang tidak mampu memperoleh penghasilan per kapita setara 230 kg beras bagi penduduk desa dan 480 kg beras bagi penduduk kota. b. Metode Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu menghitung pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan menurut BPS ditetapkan berdasarkan

28 tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2100 kalori per orang per hari ditambah dengan beberapa kebutuhan non pangan makanan lain seperti sandang, pangan, dan jasa. c. Kriteria kesejahteraan yang disebut indeks kebutuhan fisik minimum (KFM). KFM adalah nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh suatu keluarga per bulan. Ukuran garis kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dalam mengukur kemiskinan, beberapa ahli memiliki ukuran yang berbeda dan dapat dilihat secara lengkap pada Tabel Kemiskinan dipahami dalam pengertian relatif (relativer deprivation). Indikator kemiskinan ini yaitu: a. Deprivasi material yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan konsumsi dasar lainnya. b. Isolasi yang dicerminkan oleh lokasi geografisnya maupun oleh marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. mereka sering tinggal didaerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan komunikasi. c. Alineasi, yaitu perasaaan tidak punya identitas dan kontrol atas diri sendiri. Hal ini diakibatkan isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif.

29 Tabel 3. Kriteria dan Garis Kemiskinan No. Penelitian Kriteria 1 Esmara ( ) Konsumsi beras per kapita per tahun (kg) 2 Sayogyo Tingkat pengeluaran ekivalen beras per (1970) orang per tahun: Miskin Miskin sekali Paling Miskin 3 Ginneken Kebutuhan gizi minimum per orang per (1969) hari: Kalori Protein (gr) 4 Anne Booth Kebutuhan gizi minimum per orang per ( ) hari: Kalori Protein (gr) 5 Gupta (1973) Kebutuhan gizi minimum per orang per tahun (Rp) 6 Hasan (1975) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US$) 7 Garis Tingkat pendapatan per kapita per tahun Kemiskinan per US$ Internasional Ahluwalia (1975) 8 Garis Kemiskinan Internasional Report (1976) d. Ketergantungan yang selama ini menyebabkan lemahnya posisi tawar orang miskin dalam hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik dan penggarap, antara majikan dan buruh atau antara pandega dan ponggawa. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, petani dan buruh nelayan tidak bisa menetapkan harga hasil produksi yang dihasilkannya. Tingkat pendapatan per kapita per tahun Nilai US$ 1970 US$ paritas daya beli Garis Kemiskinan Kota Desa Kota + Desa BPS (1984) Konsumsi kalori per kapita per hari Pengeluaran per kapita per bulan Sayogyo Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) (1984) 11 Bank Dunia Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) (1984) 12 BPS (1993) Konsumsi kalori per kapita per hari Pengeluaran per kapita per bulan Sumber : BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun

30 e. Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tidak adanya kebebasan memilih dalam produksi, konsumsi dan kesempatan kerja, serta kurangnya perwakilan sosial poitik mereka yang tercermin dari tidak adanya fleksibilitas dan berkurangnya kesempatan bagi kaum miskin di desa. f. Kelangkaan aset yang membuat penduduk miskin desa bekerja dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah. g. Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan konflik-konflik sosial internal. Hal ini terjadi karena faktor alamiah, perubahan pasar, maupun kondisi kesehatan. h. Tidak adanya jaminan keamanan akibat status sosial rendah yang disebabkan oleh posisi yang lemah, faktor agama, ras, etnik, dan sebagainya. Pendekatan kemiskinan tersebut sesuai dengan pendekatan yang dilakukan oleh Bappenas dalam mengidentifikasi kemiskinan. Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi kemiskinan yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach), pendekatan objektif dan subjektif (objective and subjective approach). Dari berbagai pendekatan tersebut, ditunjukan bahwa indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bappenas adalah (1) Kurangnya sandang, pangan, dan papan yang layak, (2) tingkat kesehatan yang memprihatinkan, (3) kurangnya pendidikan yang berkualitas, (4) kurangnya kemampuan membaca dan menulis, (5) terbatasnya kepemilikan tanah dan faktor produksi, (6) kurangnya jaminan kesejahteraan hidup, (7) kurangnya rasa aman, (8) kesejahteraan sosial yang rendah dan lain-lain.

31 Terdapat beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan antara lain : (1) kesempatan kerja, di mana seseorang itu miskin karena menganggur, sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan maupun tahun, (2) upah gaji dibawah minimum, (3) produktivitas kerja yang rendah, (4) ketiadaan aset, (5) diskriminasi, (6) tekanan harga, (7) penjualan tanah (Handayani, 2006). Beberapa faktor lain yang dinilai menjadi penyebab kemiskinan menurut Kartasasmita (1996) dalam Rahmawati (2006) yaitu: 1. Rendahnya Taraf pendidikan Rendahnya taraf pendidikan meyebabkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dimasuki juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. 2. Rendahnya derajat kesehatan Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa. 3. Terbatasnya lapangan kerja Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. 4. Kondisi keterisolasian Banyak penduduk secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat

32 terjangkau oleh pelayan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya. Berdasarkan penelitian Mukherjee, et al. (2001) dalam Papilaya (2006) terdapat perbedaan persepsi mengenai penyebab kemiskinan pada masyarakat miskin menurut laki-laki dan perempuan di beberapa tempat yang dikelompokan berdasarkan mata pencahariannya (Tabel 4). Berdasarkan penelitian Mukherjee, et al, 2001 yang diacu dalam papilaya (2006) tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab kemiskinan secara umum adalah kurangnya akses terhadap sarana dan prasarana sosial seperti pendidikan, kesehatan dan pelayanan kesehatan, masalah gender, ketidakberpihakan kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap golongan miskin, rendahnya pendidikan, dan kualitas kesehatan, kurangnya akses terhadap informasi, serta bargaining position yang rendah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar pembangunan manusia, yaitu: lama hidup, yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir; pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas dan standar hidup yang diukur dengan konsumsi per kapita. Nilai indeks ini berkisar antara IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu daerah/negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan suatu standar hidup yang layak. Ketiganya diukur dengan angka harapan hidup, pencapaian pendidikan, dan pengeluaran per kapita diakses tanggal 24 Februari 2008 (16:25)

33 Tabel 4. Perbedaan Persepsi Penyebab Kemiskinan Menurut Jender dan Tipologi Masyarakat Menurut Laki-laki Menurut Perempuan Masyarakat Nelayan Tidak mempunyai alat menangkap ikan (jala, perahu mesin) Hasil tangkapan sedikit karena para nelayan besar yang datang dari luar yang mempunyai jala dan perahu besar Tidak ada lembaga yang membantu nelayan miskin memasarkan ikan atau membantu menyimpan Tidak punya uang untuk biaya sekolah anak Masyarakat perladangan dan Kehutanan Penggunaan pestisida kimiawi Masa kering yang panjang Sakit kronis Pendidikan rendah/ketidakacuhan/ kebodohan Keluarga yang sangat besar Lahan terlalu Kecil Masyarakat Padi Sawah Punya banyak anak setiap keluarga Penurunan panen karena tikus dan hama Tidak punya modal untuk bertani dan berdagang Bandar panen menentukan harga yang terlalu rendah Ketiadaan lowongan kerja Pendidikan dan pendapatan rendah Masyarakat Miskin Perkotaan Tidak bisa mencari pekerjaan-pendidikan rendah Terpaksa harus berhutang kepada rentenir Krisis moneter Sumber : Mukherjee, et al dalam Papilaya (2006) Tidak punya keahlian selain mengolah ikan Rumah bocor tidak punya tempat penyimpanan ikan yang telah diawetkan Seringnya perceraian (wanita ditinggalkan sendirian untuk menafkahi anak-anaknya) Tidak mampu mengatur perairan sawah (banjir juga terjadi di musim kering). Kerentanan varietas karet baru terhadap penyakit tanaman Monopoli tengkulak karet Tidak ada saran untuk mengikuti KB Tidak ada pilihan keluarga berencana yang murah Tidak punya peluang mendapatkan pelatihan kerja atau modal Buruh pertanian dikurangi karena komersialisasi Anak-anak tidak mampu melanjutkan sekolah ke tingkat SMP Terlalu banyak saingan dalam berjualan Takut atau terlambat menerapkan metode KB Kotor, lingkungan sosial dan fisik tidak sehat. jika IPM hanya dilihat dari pengeluaran per kapita saja, berarti hanya melihat kemajuan status ekonomi suatu daerah/negara berdasarkan pendapatan per tahun sedangkan apabila melihat pada sisi sosial (pendidikan dan kesehatan), maka akan dapat dilihat dimensi yang jauh lebih beragam terkait dengan kualitas hidup masyarakat. Secara tidak langsung, IPM selalu berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat (Yunitasari, 2007). Dengan kata lain semakin tinggi/baik setiap

34 komponen yang menyusun IPM juga berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Secara lebih lengkap, tiga dimensi pembangunan manusia tersebut, yaitu dimensi ekonomi yang diwujudkan oleh kehidupan yang layak dan diukur dengan indikator pengeluaran perkapita riil, dimensi sosial, diwujudkan oleh tingkat pengetahuan dan diukur oleh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, kemudian dimensi kesehatan, perwujudannya adalah umur panjang dan sehat dengan indikator yaitu angka harapan hidup saat lahir (Siregar, 2008). Dimensi, indikator, dan indeks dimensi untuk IPM dapat dilihat pada gambar berikut. - Dimensi : Umur Panjang dan Sehat Pengetahuan Kehidupan yang Layak - Indikator : Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rataan Lama Sekolah Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (PPP rupiah) - Indeks Dimensi : Indeks Harapan Hidup Indeks Pendidikan Indeks Pendapatan INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Gambar 2. Dimensi, Indikator, dan Indeks Dimensi untuk IPM Sumber: Siregar (2008) Angka Harapan Hidup ketika lahir merupakan suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk yang dilahirkan pada tahun tersebut (BPS, 2006). Angka Harapan Hidup ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur indikator kesehatan. Semakin tinggi Angka Harapan

35 Hidup (AHH) suatu masyarakat mengindikasikan tingginya derajat kesehatan masyarakat tersebut. Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam kehidupan sehari-hari (BPS, 2006) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah lama sekolah (tahun) penduduk usia 15 tahun keatas. Seperti halnya Angka Harapan Hidup sebagai indikator kesehatan, Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menggambarkan suatu keadaan pendidikan suatu masyarakat. BPS (2006) mengemukakan bahwa Rendahnya Angka Melek Huruf, dan Rata-rata Lama Sekolah dapat disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal dan terkait dengan kemiskinan. Kemampuan Daya Beli Penduduk atau Purchasing Power Parity (PPP) merupakan suatu indikator yang digunakan untuk melihat kondisi ekonomi masyarakat dalam menghitung IPM. Kemampuan daya beli ini lebih mencerminkan kemampuan masyarakat secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, dan sangat jauh berbeda dengan PDRB per kapita atau yang dikenal dengan income per capita. Untuk mengukur standar hidup layak, data PDRB per kapita tidak dapat digunakan karena bukan ukuran yang peka untuk mengukur kemampuan daya beli penduduk. Oleh sebab itu, penghitungan daya beli penduduk menggunakan konsumsi per kapita yang kemudian disesuaikan. Sumber data yang digunakan meliputi jumlah pengeluaran per kapita baik konsumsi makanan maupun non makanan. Komoditi yang digunakan dalam perhitungan paritas daya beli (PPP) terdapat 27 komoditi yang terdiri dari

36 konsumsi makanan dan konsumsi non makanan. Komoditi-komoditi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Daftar Komoditi Terpilih untuk Menghitung Paritas Daya beli (PPP) No. Komoditi Unit 1. Beras lokal Kg 2. Tepung terigu Kg 3. Ketela pohon Kg 4. Ikan Kg 5. Ikan teri Ons 6. Daging sapi Kg 7. Daging ayam kampung Kg 8. Telur ayam Butir 9. Susu kental manis 397 gram 10. Bayam Kg 11. Kacang panjang Kg 12. Kacang tanah Kg 13. Tempe Kg 14. Jeruk Kg 15. Pepaya Kg 16. Kelapa Butir 17. Gula pasir Ons 18. Kopi bubuk Ons 19. Garam Ons 20. Merica/lada Ons 21. Mie instan 80 gram 22. Rokok kretek/filter 10 batang 23. Listrik Kwh 24. Air minum M Bensin Liter 26. Minyak tanah Liter 27. Sewa rumah Unit Sumber: BPS, (2006) 2.3. Pengangguran Pengangguran merupakan suatu masalah makroekonomi yang secara tidak langsung mempengaruhi manusia. Bagi kebanyakan orang, kehilangan pekerjaan berarti menurunnya standar kehidupan dan tekanan psikologis. Pengangguran berarti jumlah tenaga kerja dewasa yang tidak bekerja dan aktif mencari

37 pekerjaan. Besarnya pengangguran biasanya digambarkan dengan tingkat pengangguran yaitu persentase jumlah mengganggur terhadap angkatan kerja. Pengangguran dapat dikelompokan berdasarkan pada beragam karakteristik, misalnya dikelompokan menurut jenis kelamin, tingkat keterampilan, pendidikan, dan berdasarkan alasan menganggur. Berdasarkan alasan menganggur, terdapat beberapa jenis pengangguran yaitu pengangguran friksional, pengangguran yang disebabkan oleh perputaran normal tenaga kerja, pengangguran struktural yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara struktur penawaran tenaga kerja dengan struktur permintaan tenaga kerja, kemudian pengangguran siklis yaitu pengangguran yang terjadi dikarenakan siklus bisnis yang mengalami periode resesi (Lipsey et al, 1993). Adapun pengangguran yang dimaksudkan di dalam pembahasan yaitu pengangguran terbuka yakni jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja dan yang aktif mencari pekerjaan 2.4. Infrastruktur Sosial Infrastruktur sosial sangatlah penting dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat. Friedmann (1992) yang diacu dalam Surbakti (2005) berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan kemampuan untuk mendapatkan kekuatan (power) dan mengkaitkannya dengan kemampuan golongan miskin untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber seperti jaringan sosial, surplus waktu, alat produksi, pengetahuan dan keterampilan, ruang hidup yang dipertahankan dan sumberdaya keuangan yang menjadi dasar kekuasaan dari suatu sistem. Akhirnya, Pemberdayaan masyarakat yang berhasil

38 dapat mengurangi jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin (Sumodiningrat, 1998 dalam Surbakti, 2005) Rasio Beban Ketergantungan Penduduk muda berusia dibawah 15 tahun umumnya dianggap sebagai penduduk yang belum produktif karena secara ekonomis masih tergantung pada orang tua atau orang lain yang menanggungnya. Selain itu, penduduk berusia diatas 65 tahun juga dianggap tidak produktif lagi sesudah melewati masa pensiun. Penduduk usia tahun, adalah penduduk usia kerja yang dianggap sudah produktif. Atas dasar konsep ini dapat digambarkan berapa besar jumlah penduduk yang tergantung pada penduduk usia kerja. Rasio ketergantungan semacam ini dapat memberikan gambaran ekonomis penduduk dari sisi demografi. Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tahun. Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara atau suatu daerah. Dependency ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Sedangkan persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.

39 2.6. Analisis Panel Data Menurut Gujarati (2003) Data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau data cross section. Baltagi (2001) mengemukakan bahwa kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah: 1. Dapat mengendalikan keheterogenan individu atau unit cross section. 2. Dapat memberi informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas diantara variabel, memperbesar derajat bebas, dan lebih efisien. 3. Panel data lebih baik untuk studi dynamics of adjusment. 4. Dapat lebih baik untuk mengidentifikasikan dan mengukur efek yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioral models) yang komlpeks dibandingkan dengan model data cross section atau time series. Estimasi model yang menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek random (random effect).

ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A

ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh Nia Kurniawati Hidayat A14304086 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi mengenai kemiskinan sangat beragam mulai dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Definisi mengenai kemiskinan sangat beragam mulai dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kemiskinan Definisi mengenai kemiskinan sangat beragam mulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar hingga definisi kemiskinan dengan mempertimbangkan komponen

Lebih terperinci

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0)

Secara lebih sederhana tentang IPM dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Angka harapan hidup pd saat lahir (e0) Lampiran 1. Penjelasan Singkat Mengenai IPM dan MDGs I. INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA 1 Sejak 1990, Indeks Pembangunan Manusia -IPM (Human Development Index - HDI) mengartikan definisi kesejahteraan secara

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang teori-teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Selain itu akan dikemukakan hasil penelitian terdahulu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Manusia merupakan harta atau aset yang sangat berharga bagi kelanjutan ekonomi bagi suatu negara. Demi meningkatkan kelanjutan ekonomi suatu negara, pengembangan kualitas akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Manusia Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang siginifikan selama lebih

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait dengan berbagai dimensi yakni sosial,

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM Pada bab IV ini penulis akan menyajikan gambaran umum obyek/subyek yang meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan kependudukan Provinsi Jawa Tengah A. Kondisi Geografis Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan suatu masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian di setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau berkembang adalah

Lebih terperinci

2.1. Konsep dan Definisi

2.1. Konsep dan Definisi 2.1. Konsep dan Definisi Angka Harapan Hidup 0 [AHHo] Perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (0 tahun) yang akan dicapai oleh sekelompok penduduk. Angka Kematian Bayi (AKB) Banyaknya kematian bayi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat Gambaran perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan seringkali dipahami dalam pengertian yang sangat sederhana yaitu sebagai keadaan kekurangan uang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 No. 05/01/17/IX, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 316,50 RIBU ORANG - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2014 MENURUN DIBANDINGKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi hampir seluruh Negara di dunia, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs).

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 No. 07/01/62/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan rendahnya tingkat pendidikan, dan tingkat pendidikan yang rendah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks. Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan masalah rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi, tetapi berkaitan juga dengan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 58/07/64/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Utara pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 146,90 RIBU JIWA (11,19 PERSEN) Persentase penduduk

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 08/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 No. 66/09/33/Th. IX, 15 ember 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2015 MENCAPAI 4,577 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Konsep Kemiskinan Pada umumnya masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dan mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Tabel 2.1. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun

BAB II LANDASAN TEORI. Tabel 2.1. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 18 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Kemiskinan Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk miskinnya. Semakin banyak jumlah penduduk miskin, maka negara itu disebut negara miskin. Sebaliknya semakin

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/07/53/Th.XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Maret 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2017 MENCAPAI 1.150,79 RIBU ORANG (21,85 PERSEN) Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 No. 40/07/33/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 4,836 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2017 No. 35/07/31/Th.XIX, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2017 sebesar 389,69 ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa depan perekonomian dunia. Menurut Kunarjo dalam Badrul Munir (2002:10),

BAB I PENDAHULUAN. masa depan perekonomian dunia. Menurut Kunarjo dalam Badrul Munir (2002:10), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Kemiskinan merupakan gambaran kehidupan di banyak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.57/07/64/Th.XX,17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR MARET TAHUN 2017 R I N G K A S A N Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2017 sebanyak

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 05 /01/32/Th. XVII, 2 Januari 2015 TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 No. 07/01/62/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 BADAN PUSAT STATISTIK No. 06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 28,59 JUTA ORANG Pada bulan September 2012, jumlah penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 42/07/76/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 SEBANYAK 152,73 RIBU JIWA Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun kemiskinan itu sendiri telah

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017 BPS PROVINSI LAMPUNG No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2017 mencapai 13,69

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 No. 34/07/31/Th. XVI, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014 Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti tingkat kesehatan,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 41/07/76/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN sebesar 149,76 RIBU JIWA (11,30 PERSEN) Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013 No. 04/01/36/Th.VIII, 2 Januari 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 682,71 RIBU ORANG Pada bulan September 2013, jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 No. 04/01/31/Th. XVI/ 2 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72 persen).

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. No. 55/09/17/Th.IX, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN. Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 28/07/31/Th.XIII, 1 Juli 2011 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011 RINGKASAN Garis Kemisknan (GK) tahun 2011 sebesar Rp 355.480 per kapita per bulan, lebih tinggi dibanding

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Dibandingkan dengan Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen), jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang sedang berkembang. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang ada di

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VII, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbedabeda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 59/07/64/Th.XIX, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA MARET TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 No. 05/01/33/Th. VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 MENCAPAI 4,705 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan dalam dua tahun terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun menjadi 5,2%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat Indonesia merupakan suatu cita-cita dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila dapat menyelesaikan masalah-masalah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 No. 07/07/62/Th. VII, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 No. 07/07/62/Th. X, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Kuncoro (2014), dalam jurnal Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Pengangguran dan Pendidikan terhadap Tingkat Kemiskinan

Lebih terperinci

f f f i I. PENDAHULUAN

f f f i I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang kaya akan simiber daya alam di Indonesia. Produksi minyak bumi Provinsi Riau sekitar 50 persen dari total produksi minyak

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016 B P S P R O V I N S I A C E H No.04/01/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2016 Jumlah Penduduk Miskin Mencapai 841 Ribu Orang RINGKASAN Pada September 2016, jumlah penduduk

Lebih terperinci

BPSPROVINSI JAWATIMUR

BPSPROVINSI JAWATIMUR BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 47/07/35/Th.XIV, 18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR MARET 2016 Penduduk Miskin di Jawa Timur Turun 0,23 poin persen Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur bulan dibandingkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET 2016 No. 08/07/18/TH.VIII, 18 Juli 2016 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2016 mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam memperkuat suatu perekonomian agar dapat berkelanjutan perlu adanya suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu negara sangat

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN

ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN (Studi Kasus di Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan) Oleh: MUTIARA PERTIWI A14304025 PROGRAM STUDI EKONOMI

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No.07/01/64/Th.XX, 3 Januari 2017 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN TIMUR SEPTEMBER TAHUN 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 No. 05/01/36/Th.X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 690,67 RIBU ORANG Pada bulan ember 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK

BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 05/01/53/Th.XX, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA TIMUR September 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN September 2016 MENCAPAI 1.150,08 RIBU ORANG (22,01 PERSEN) Jumlah

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 No. 06/01/51/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 195,95 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 BADAN PUSAT STATISTIK No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2010 MENCAPAI 31,02 JUTA Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI DKI JAKARTA TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2016 No.04/01/31/Th. XIX, 03 Januari 2017 Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan September 2016 sebesar 385,84 ribu orang

Lebih terperinci

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Capaian Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan indikator dan faktor-faktor penyebab kemiskinan Mahasiswa mampu menyusun konsep penanggulangan masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 )

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 ) 97 BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL 5.1. Hasil Estimasi Model Persentase Penduduk Miskin Absolut (P 0 ) Head count index (P 0 ) merupakan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 07/01/64/Th.XIX, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI KALIMANTAN UTARA SEPTEMBER TAHUN 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk di bawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 B P S P R O V I N S I A C E H No. 31/07/Th.XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 881 RIBU ORANG RINGKASAN Persentase penduduk miskin

Lebih terperinci