BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Perkembangan Kemiskinan, Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat Gambaran perkembangan kemiskinan, angka harapan hidup, angka melek huruf dan Rata-rata Lama Sekolah, Daya Beli, dan Infrastruktur Sosial di Propinsi Jawa Barat dilakukan secara deskriptif secara umum dari semua Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang kompleks dan masih menjadi isu strategis yang menjadi perhatian baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Penanganan masalah kemiskinan di Jawa Barat menjadi prioritas pertama dari delapan isu strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Propinsi Jawa Barat Tahun Berbagai kebijakan dilakukan dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan, dalam hal ini termasuk juga dengan melakukan pendataan jumlah penduduk miskin. Penghitungan jumlah penduduk miskin pada tahun dilakukan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan. Pendekatan ini bersifat makro dan melakukan perhitungan penduduk miskin sampai pada tingkat Kabupaten/Kota. Garis kemiskinan yang digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin Jawa Barat pada tahun 2003 adalah Rp perkapita/bulan, pada tahun 2004 adalah Rp perkapita/bulan dan Rp perkapita/bulan pada tahun Berdasarkan batas kemiskinan tersebut, pada tahun 2003

2 persentase penduduk miskin mencapai persen terus menurun menjadi persen pada tahun Akan tetapi penurunan angka kemiskinan tersebut tidak berlanjut pada tahun berikutnya. Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin Jawa Barat meningkat menjadi persen. Peningkatan jumlah penduduk miskin ini diperkirakan karena adanya peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak dua kali pada tahun Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat kembali meningkat menjadi atau meningkat 1.43 point dari tahun Angka kemiskinan ini meningkat karena adanya peningkatan harga bahan makanan terutama untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya. Hal ini terlihat dari peningkatan secara signifikan pada Indeks Harga Konsumen untuk sub kelompok padi-padian, umbi-umbian dan hasilnya yang mencapai pada Desember 2005 meningkat menjadi pada Desember 2006 untuk Kota Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat. Kenaikan IHK ini merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan peningkatan IHK sub kelompok lain dan terjadi di sebagian besar Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Perkembangan jumlah penduduk miskin tiap Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat pada Tahun dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa pada tahun jumlah penduduk miskin menurun di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Hal ini diduga karena adanya perbaikan kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi pada tahun jumlah penduduk miskin ini kembali meningkat pada hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat.

3 25 Tingkat Kemiskinan (%) Kabupaten/ Kota Gambar 4. Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

4 78 Tabel. 13. Jumlah Kabupaten/Kota Menurut Persentase Penduduk Miskin Tahun Tahun Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Jawa Barat Jumlah Kabupaten/Kota dengan Persentase di Atas Rata-Rata Jawa Barat Jumlah Kabupaten/Kota dengan Persentase di Bawah Rata-Rata Jawa Barat Sumber : BPS, Data dan Informasi Kemiskinan Berdasarkan Tabel 13 diatas dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan penduduk di Jawa Barat dari tahun ke tahun relatif sama karena setiap tahun, jumlah Kabupaten/Kota dengan persentase jumlah penduduk miskin yang berada di bawah rata-rata persentase jumlah penduduk miskin Jawa Barat tidak berubah. Hal ini juga menggambarkan bahwa persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Barat, banyak terdapat diwilayah pedesaan. Gambaran ini terlihat dari kenyataan bahwa seluruh Kabupaten di Jawa Barat kecuali Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bandung, yang identik dengan wilayah pedesaan, memiliki persentase jumlah penduduk miskin di atas rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di Jawa Barat. Kabupaten yang memiliki persentase jumlah penduduk miskin melebihi rata-rata propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Kabupaten Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, dan Karawang. Secara rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang terendah adalah Kota Bekasi. Hal ini dikarenakan banyaknya Industri yang berkembang di Kota Bekasi yang didukung oleh letaknya yang dekat dengan Ibu Kota Negara sehingga memiliki akses dan tingkat pertumbuhan baik serta disokong oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga kesejahteraan rakyat menjadi lebih terjamin.

5 79 Sedangkan rata-rata persentase jumlah penduduk miskin yang tertinggi adalah Kabupaten Majalengka. Hal ini dikarenakan pertumbuhan dan kemajuan wilayah yang sulit berkembang dan kualitas sumberdaya yang rendah Angka Harapan Hidup di Jawa Barat Faktor kesehatan merupakan salah satu indikator penting penunjang pembangunan manusia karena tingkat produktivitas manusia secara langsung bisa tergali dengan optimal ketika kondisi tubuhnya sedang maksimal. Dengan kata lain, orang yang sehat lebih produktif dibandingkan orang yang sakit. Berikut merupakan kaitan antara kesehatan dengan pembangunan manusia. Investasi Kesehatan Perbaikan Fisik dan Mental (Perbaikan Kesehatan) Pengurangan Kemiskinan Peningkatan Kualitas SDM Pertumbuhan Ekonomi Peningkatan Produktivitas Sumber: Departemen Kesehatan RI dalam BPS Jawa Barat Gambar 5. Kaitan Investasi Bidang Kesehatan dengan Pembangunan Manusia Berdasarkan Gambar 5 di atas terlihat bahwa perbaikan kesehatan yang dihasilkan oleh adanya investasi kesehatan akan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, produktivitas manusia dan akhirnya dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat diukur salah satunya dari tingkat mortalitas. Ukuran mortalitas yang digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan manusia adalah angka kematian bayi (AKB) dan angka harapan

6 80 hidup (AHH). Panjang usia hidup berhubungan negatif dengan rendahnya angka kematian dan tingginya angka kesehatan. Semakin tinggi kesehatan menyebabkan semakin rendahnya angka kematian sehingga memperbesar harapan hidup. Angka harapan hidup Jawa Barat semakin meningkat dari pada tahun 2003 menjadi pada tahun 2005 dan tahun Angka harapan hidup Kabupaten/Kota juga memiliki kecenderungan yang sama seperti wilayah di atasnya yaitu Propinsi Jawa Barat. Dari tahun 2003 sampai dengan 2006 angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Jawa Barat semakin meningkat, meskipun dengan peningkatan yang berbeda. Secara Keseluruhan, angka harapan hidup tertinggi adalah Kota Bandung kemudian Kota Depok. Rata-rata angka harapan hidup masing-masing Kota ini adalah dan Hal ini dapat dipahami melihat Kota Bandung merupakan Ibu Kota Propinsi Jawa Barat sehingga sarana dan prasarana sosial dan ekonomi memadai, dan Kota Depok merupakan wilayah yang dekat dengan Ibu Kota Negara dan dijadikan wilayah yang menyokong ibukota sehingga infrastrukturnya juga baik, sedangkan rata-rata angka harapan hidup paling rendah adalah Kabupaten Garut yaitu sebesar Hal ini terjadi karena Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah tertinggal yang ada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan infrastruktur sosial yang relatif lebih terbatas dibandingkan dengan Ibu Kota Propinsi.

7 81 Angka Harapan Hidup (Tahun) Kabupaten/ Kota Gambar 6. Perkembangan Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

8 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah di Propinsi Jawa Barat Pendidikan merupakan salah satu elemen penting pembangunan dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pendidikan juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup individu dan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin baik kualitas sumber dayanya. Komponen pendidikan atau pengetahuan diukur dari kombinasi angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dari penduduk 15 tahun keatas. Pencapaian pendidikan yang dicerminkan oleh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun keatas di Jawa Barat relatif terus membaik. Angka melek huruf penduduk dewasa (15 tahun keatas) di Propinsi Jawa Barat selama periode mengalami perkembangan. Hal ini menggambarkan semakin berkurangnya jumlah penduduk dewasa yang buta huruf. Pada tahun 2003 angka melek huruf Jawa Barat mencapai persen terus mengalami peningkatan setiap tahun dan mencapai persen pada tahun 2005 kemudian persen pada tahun Rata-rata lama sekolah di Propinsi Jawa Barat juga menunjukan perkembangan setiap tahunnya, dari 7.2 tahun pada tahun 2003 kemudian meningkat menjadi 7.37 pada tahun 2004 dan pada 7.46 tahun pada tahun Akan tetapi pencapaian komponen pendidikan ini belum begitu besar. Hal ini terjadi karena laju pertumbuhan angka melek huruf mengalami penurunan pada tahun dan diperkuat dengan penurunan laju pertumbuhan rata-rata lama sekolah yang terjadi sepanjang waktu dalam periode analisis yang terjadi karena masih banyaknya penduduk yang tidak tamat SD.

9 (a) (b) Gambar 7. Laju Pertumbuhan Rata-Rata Lama Sekolah (a) dan Angka Melek Huruf (b) di Jawa Barat Tahun Hampir seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat memiliki kecenderungan yang sama dengan wilayah diatasnya, di mana angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun keatas semakin meningkat dari tahun 2003 sampai dengan tahun Secara rata-rata, angka melek huruf paling tinggi adalah Kota Bandung yaitu mencapai persen sedangkan wilayah dengan rata-rata angka melek huruf yang paling rendah adalah Kabupaten Indramayu. Dilihat dari indikator Rata-rata Lama Sekolah, rataan paling tinggi yaitu Kota Bekasi, tahun atau mencapai setara SMU. Kemudian yang paling rendah adalah Kabupaten Indramayu dengan rata-rata mencapai 5.72 atau setara SD. Berdasarkan pada kedua kecenderungan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah perkotaan relatif memiliki angka yang tinggi, baik untuk melek huruf maupun rata-rata lama sekolah dibandingkan dengan wilayah perdesaan. Hal ini diduga terkait dengan kesadaran masyarakat Kota yang lebih tinggi terhadap pendidikan. Perkembangan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah menurut Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Gambar 8. dan Gambar 9. berikut.

10 Gambar 8. Perkembangan Rata-rata Lama Sekolah Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

11 Angka Melek Huruf (%) Kabupaten/ Kota Gambar 9. Perkembangan Angka Melek Huruf Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

12 Kemampuan Daya Beli di Propinsi Jawa Barat (PPP) Berdasarkan kesepakatan UNDP, kemampuan daya beli atau purchasing power parity (PPP) digunakan untuk menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat dalam perhitungan indeks pembangunan manusia. Kemampuan daya beli tersebut merupakan konsumsi per kapita riil yang telah disesuaikan. Oleh sebab itu, daya beli masyarakat suatu wilayah dapat dibandingan dengan daya beli masyarakat di wilayah lain. Secara umum, kemampuan daya beli penduduk Propinsi Jawa Barat telah mengalami perbaikan dalam kurun waktu Pada tahun 2003, daya beli masyarakat mencapai Rp meningkat menjadi Rp pada tahun Akan tetapi, dalam kurun waktu empat tahun peningkatan daya beli penduduk Propinsi Jawa Barat masih relatif kecil, yaitu hanya 7.4 poin. Relatif lambatnya peningkatan kemampuan daya beli masyarakat Jawa Barat tersebut, kemungkinan disebabkan oleh kebijakan makro ekonomi nasional seperti adanya pencabutan subsidi BBM pada tahun 2005 dan adanya larangan impor beras yang menyebabkan kenaikan harga beras sebesar 33 persen secara nasional antara bulan Februari 2005 dan Maret 2006 (World Bank, 2006). Fenomena tersebut menunjukan bahwa setiap perubahan kebijakan makro ekonomi nasional, berdampak serius terhadap ketatnya daya beli masyarakat. Sebagian besar, kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat juga mengalami peningkatan. Rata-rata kemampuan daya beli yang paling tinggi adalah Kota Depok. Hal ini diduga karena Kota Depok memiliki posisi yang strategis yaitu dekat dengan ibu kota Negara dan dijadikan sebagai penyokong ibu Kota,

13 Purchasing Power Parity (Rp/ Bulan Kabupaten/ Kota Gambar 10. Perkembangan Kemampuan Daya Beli Masyarakat Kabuten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

14 88 sehingga laju perekonomian Kota Depok tidak berbeda jauh dengan ibu kota Jakarta (BPS Jawa Barat, 2005). Kondisi ini membawa penduduk Kota Depok memiliki tingkat penghasilan yang cukup tinggi dan daya beli yang tinggi pula. Pada Gambar 10. dapat dilihat perkembangan kemampuan daya beli menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Pengangguran Terbuka di Propinsi Jawa Barat Pengangguran merupakan suatu fenomena yang diduga menjadi salah satu penyebab kemiskinan di suatu wilayah. Pengangguran yang dimaksud dalam kajian ini adalah pengangguran terbuka yaitu angkatan kerja dewasa yang tidak bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Banyaknya penduduk yang bekerja akan berdampak pada peningkatan kemampuan penduduk tersebut dalam pemenuhan kebutuhan secara lengkap karena adanya peningkatan pendapatan. Berlawanan dengan pernyataan tersebut, pengangguran akan mengurangi kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya yang akhirnya akan membawa masyarakat ke dalam kemiskinan. Secara rata-rata, tingkat pengangguran Kabupaten/kota di Jawa barat, tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 rata-rata tingkat pengangguran Kabupaten/Kota di Jawa Barat mencapai 9.92 persen kemudian meningkat menjadi persen tahun Akan tetapi pada tahun berikutnya yaitu tahun 2005 dan 2006 rata-rata tingkat pengangguran terbuka Kabupaten/Kota di Jawa Barat kembali mengalami penurunan secara bertahap yaitu mencapai persen pada tahun 2005 dan persen pada tahun Perkembangan tingkat pengangguran terbuka Kabupaten/Kota di Jawa Barat dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 11.

15 25 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) Kabupaten/ Kota Gambar 11. Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun

16 90 Berdasarkan Gambar 11 tersebut, Kabupaten/Kota yang memiliki rata-rata tingkat pengangguran tertinggi dari tahun adalah tingkat pengangguran wilayah gabungan Kabupaten Bandung dengan Kota Cimahi dan tingkat pengangguran yang paling rendah adalah Kabupaten Ciamis. Tingginya tingkat pengangguran tersebut di duga karena tingginya migrasi yang masuk, terutama di Kota Cimahi, sehingga menimbulkan persaingan dalam memperoleh pekerjaan. Kondisi tersebut juga terjadi di kota-kota lain di Propinsi Jawa Barat. Hal tersebut terbukti dengan besarnya rata-rata tingkat pengangguran seluruh kota di Jawa Barat yang melebihi rata-rata tingkat pengangguran Jawa Barat Angka Beban Ketergantungan di Propinsi Jawa Barat Angka beban ketergantungan merupakan perbandingan antara jumlah penduduk usia tidak produktif dengan jumlah penduduk usia produktif. Semakin tingginya persentase dependency ratio atau angka beban ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif. Sebaliknya semakin rendah angka beban ketergantungan menunjukan semakin rendahnya beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk tidak produktif. Rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat berfluktuasi dari tahun Pada tahun 2003 angka beban ketergantungan mencapai persen. Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2004 sebesar 0.86 poin, menurun kembali pada tahun 2005 menjadi persen, dan menjadi persen pada tahun Dengan kata lain, secara umum rata-rata angka beban ketergantungan Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa

17 91 Barat meningkat dari tahun Hal ini terjadi karena struktur penduduk Propinsi Jawa Barat masih tergolong struktur penduduk muda dimana jumlah penduduk usia muda lebih banyak dari pada penduduk dewasa. Akan tetapi angka ini mulai mengalami penurunan pada tahun , dengan kata lain mulai terjadi pergeseran struktur penduduk sehingga jumlah penduduk usia produktif yakni penduduk usia tahun meningkat dan akhirnya mempengaruhi besarnya rasio beban ketergantungan. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang mempunyai angka beban ketergantungan tertinggi adalah wilayah Kabupaten Garut sedangkan wilayah dengan angka beban ketergantungan yang paling rendah adalah wilayah Kota Bandung. Perkembangan angka beban ketergantungan dapat dilihat pada Gambar Infrastruktur Sosial Propinsi Jawa Barat Infrastruktur merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan manusia. Oleh sebab itu pembangunan infrastruktur sosial menjadi penting untuk menunjang perbaikan kualitas sumber daya manusia. Infrastruktur sosial yang dikemukakan dalam pembahasan ini terdiri dari infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Infrastruktur pendidikan tersebut terdiri dari bangunan sekolah baik SD, SMP, SMA, dan SMK, sedangkan infrastruktur kesehatan terdiri dari rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, puskesmas keliling, dan balai pengobatan. Perkembangan Infrastruktur sosial menurut kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 14.

18 70 Angka Beban Ketergantungan (%) Kabupaten/ Kota Gambar 12. Perkembangan Angka Beban Ketergantungan Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun

19 93 Tabel 14. Infrastruktur Sosial Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Barat Tahun Pendidikan Infrastruktur Sosial Kesehatan SD SMP SMA SMK Rumah sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Puskesmas keliling Balai pengobatan Sumber: BPS Jawa Barat, Propinsi Jawa Barat dalam Angka (diolah) Berdasarkan Tabel 14 menunjukan bahwa secara umum dari tahun jumlah infrastruktur sosial di Propinsi Jawa Barat mengalami peningkatan, terutama pada infrastruktur kesehatan. Hal ini terlihat dari semakin tingginya jumlah rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling pada tahun , meskipun ada penurunan jumlah balai pengobatan secara nyata pada tahun Hal itu menunjukan bahwa perbaikan dan peningkatan dukungan pemerintah terhadap peningkatan sarana kesehatan harus terus di lakukan dan ditingkatkan untuk menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap sarana kesehatan. Perkembangan jumlah infrastruktur pendidikan di Propinsi Jawa Barat bervariasi disetiap tahun. Jumlah Sekolah Dasar tahun mengalami peningkatan dari unit menjadi unit. Akan tetapi peningkatan ini tidak bertahan lama, jumlah Sekolah Dasar kembali menurun sampai tahun Jumlah Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Kejuruan semakin meningkat setiap tahun dari tahun

20 Skor Infrastruktur Sosial Kabupaten/ Kota Gambar 13. Perkembangan Skor Infrastruktur Sosial Menurut Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat

21 95 Secara umum, jumlah Sekolah Menengah Atas dan kejuruan juga menunjukan perkembangan yang sama, yakni mengalami peningkatan dalam rentang waktu analisis, meskipun pada tahun terjadi penurunan jumlah SMK. Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur sosial secara umum yang meliputi sarana pendidikan dan kesehatan setiap Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat digambarkan melalui Gambar 13. Secara umum, rata-rata perkembangan skor infrastruktur sosial Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat setiap tahun bervariasi. Skor infrastruktur sosial menurun pada tahun sebesar 1.23 poin, kemudian meningkat pada tahun 2005 dan kembali menurun pada tahun Rata-rata skor infrastruktur sosial yang paling tinggi adalah gabungan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, sedangkan rata-rata skor infrastruktur yang paling rendah adalah Kota Sukabumi Analisis Hubungan Antara Komponen Pembangunan Manusia dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat Evaluasi Model Analisis hubungan pembangunan manusia dengan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat dilakukan dengan mengevaluasi dan menginterpretasi hasil regresi data panel yang terdiri dari 22 Kabupaten/Kota sebagai komponen cross section dan dengan komponen time series yaitu data tahunan dari tahun 2003 sampai dengan Estimasi dilakukan dengan menggunakan metode pooled least square. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa data dalam unit cross section yang digunakan tidak menunjukan heterogenitas antar waktu yang nyata. Hal ini terlihat dari kondisi perubahan sebagian besar unit cross section terjadi pada arah yang sama untuk setiap unit time series. Disamping itu, dilihat dari

22 96 signifikansi data dan kesesuaian dengan teori ekonomi, metode tersebut memberikan hasil estimasi yang terbaik. Hasil estimasi dengan metode pooled least square disajikan secara lengkap pada Lampiran 2, dapat dilihat pada Tabel 15, dari hasil estimasi yang diperoleh, kita dapat melakukan uji asumsi penting ekonometrika yang terdiri atas uji multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Selain itu, kemampuan model yang digunakan dalam menjelaskan keragaman yang terjadi juga dapat diketahui. Adanya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat hasil t dan F- statistik hasil regresi. Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa F-statistik signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen (taraf nyata 5 persen) dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar Uji signifikansi individu juga dapat diketahui dengan melihat probabilitas t-statistik dan membandingkannya dengan taraf nyata yang digunakan. Tabel 15. Hasil Estimasi dengan Menggunakan Model Pool Least Square dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C LOG(AHH?) AMH? LOG(RLS?) LOG(PPP?) LOG(INF?) UNMPLY? DPNDN? Weighted Statistics R-squared Sum squared resid Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid Durbin-Watson stat

23 97 Berdasarkan hasil estimasi yang dilakukan terdapat empat variabel yang signifikan dari tujuh variabel penjelas, atau lebih dari 50 persen jumlah variabel penjelas signifikan pada taraf nyata 5 persen sehingga asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan. Uji asumsi penting ekonomika yang kedua adalah uji autokorelasi. Statistik DW yang diperoleh dari hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukan adanya autokorelasi positif dimana DW-statistik yang dihasilkan yaitu 0.88 dan jatuh pada wilayah kurang dari dl. Jika gejala autokorelasi ini diabaikan, maka estimasi yang diperoleh tidak efisien meskipun masih tidak bias dan konsisten. Estimasi standar error dan varian koefisien regresi yang diperoleh underestimate sehingga uji-t, uji-f menjadi tidak sahih lagi untuk digunakan. Gejala autokorelasi ini dapat diatasi dengan metode pembedaan pertama (The First Difference Methode). Data ditransformasikan dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. estimasi selanjutnya dilakukan dengan metode least square dengan hasil estimasi disajikan secara lengkap pada Lampiran 4. dan secara ringkas pada Tabel 16. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 16 tersebut, terlihat bahwa asumsi adanya multikolinearitas dapat diabaikan karena empat dari tujuh variabel penjelas signifikan. Kemudian gejala autokerelasi yang terdeteksi pada estimasi awal, sudah diatasi hal ini terlihat dari statistik DW yang bernilai 1.5. Meskipun nilai tersebut masih berada pada wilayah tidak ada kesimpulan akan tetapi residual tiap individu berfluktuasi tidak sistematis dan tidak menunjukan suatu kecenderungan tertentu dalam setiap waktu. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sudah tidak terdapat autokorelasi.

24 98 Tabel 16. Hasil Estimasi data hasil transformasi dengan Pembobotan (Cross Section Weight) dan White Cross Section Covariance Variable Coefficient Std. Error t-statistic Prob. C LOG(AHH_TRAN?) AMH_TRAN? LOG(RLS_TRAN?) LOG(PPP_TRAN?) LOG(INF_TRAN?) UNMPLY_TRAN? DPNDN_TRAN? Weighted Statistics R-squared Sum squared resid Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid Durbin-Watson stat RESID_BGR RESID_SMI RESID_CNJR RESID_BDGCMH RESID_GRT RESID_TSK RESID_CMSBNJR RESID_KNGN RESID_CRBN RESID_MJLGK RESID_SMDG RESID_INDR RESID_SBG RESID_PWKT RESID_KRWG RESID_BKS RESID_KBGR RESID_KSMI RESID_KBDG RESID_KCRBN RESID_KBKS RESID_KDPK Gambar 14. Residual Unit Cross Section Langkah selanjutnya dalam mengevaluasi hasil regresi adalah mendeteksi adanya heteroskedastisitas. Karena dalam mengestimasi model diatas diberi perlakuan cross section weights, serta White Heteroskedasticity-consisten Standar Error and Covariance maka asumsi adanya heteroskedastisitas dapat diabaikan.

25 99 Nilai R 2 atau koefien determinasi sebesar yang menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan sebesar persen dapat dijelaskan oleh variasi angka harapan hidup (AHH), angka melek huruf (AMH), kemampuan daya beli (PPP), skor infrastruktur sosial (INF), tingkat pengangguran (UNMPLY), dan angka beban ketergantungan (DPNDN), sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Hasil ini diperkuat dengan probabilitas F-statistik yang signifikan pada taraf nyata lima persen yaitu sebesar Berdasarkan hasil estimasi dan evaluasi model tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut merupakan model terbaik untuk digunakan dalam penelitian ini Interpretasi Model Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa variabel yang signifikan mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat pada selang kepercayaan 95 persen adalah variabel angka harapan hidup (AHH), rata-rata lama sekolah (RLS), kemampuan daya beli (PPP), dan tingkat pengangguran terbuka (UNMPLY). Sedangkan variabel yang mempengaruhi kemiskinan di Propinsi Jawa Barat secara tidak nyata adalah variabel angka melek huruf (AMH), infrastruktur sosial (INF), dan angka beban ketergantungan (DPNDN). Variabel angka harapan hidup yang menggambarkan derajat kesehatan suatu masyarakat, berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Nilai koefisien regresi dari variabel angka harapan hidup sebesar tanda negatif pada koefisien regresi tersebut menunjukan bahwa variabel angka harapan hidup memiliki hubungan negatif atau berhubungan terbalik dengan tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Artinya semakin tinggi angka harapan hidup maka semakin rendah tingkat

26 100 kemiskinan Propinsi Jawa Barat, ceteris paribus. Hubungan negatif dan signifikannya variabel angka harapan hidup tersebut telah sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat. Tingginya angka harapan hidup mencerminkan derajat kesehatan yang semakin baik. Dengan semakin baiknya derajat kesehatan maka produktivitas masyarakat akan semakin baik dan akhirnya tingkat kesejahteraan akan meningkat dan secara umum akan menurunkan tingkat kemiskinan. Variabel rata-rata lama sekolah pun mempunyai pengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka tingkat kemiskinan akan semakin menurun, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya. Tingginya rata-rata lama sekolah mencerminkan kondisi pendidikan suatu masyarakat semakin baik. tingkat pendidikan yang semakin baik akan meningkatkan kemampuan individu yang terkait dalam meningkatkan asetnya dan meningkatkan posisi tawarnya dalam memperoleh kesempatan bekerja. Kemampuan ini mendorong pada peningkatan pendapatan, akhirnya peningkatan kesejahteraan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara umum. Variabel kemampuan daya beli atau purchasing power parity (PPP) juga menunjukkan hubungan negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata lima persen. Semakin tinggi kemampuan daya beli masyarakat, semakin rendah tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, ceteris paribus. Hubungan negatif dan signifikan pada variabel kemampuan daya beli ini telah sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya. Semakin tinggi kemampuan daya beli berarti kemampuan masyarakat secara

27 101 ekonomi dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya juga semakin baik, dengan demikian tingkat kemiskinan akan semakin menurun. Berdasarkan hasil estimasi, variabel tingkat pengangguran juga dinyatakan sebagai variabel yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Tanda dari nilai koefisien regresi variabel tingkat pengangguran adalah negatif, yang menyatakan bahwa semakin rendah tingkat pengangguran maka tingkat kemiskinan akan semakin tinggi. Hubungan negatif dan signifikan pada variabel tingkat pengangguran tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa kemungkinan. Pertama, tingginya migrasi masuk di Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi 2005 terungkap bahwa tingginya laju pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jawa Barat tidak hanya karena pertumbuhan penduduk alami, tetapi juga tingginya migrasi masuk dibandingkan dengan migrasi keluar. Dari pertumbuhan penduduk 2.10 persen per tahun, sekitar 1.53 persen adalah laju pertumbuhan alami, sisanya diperoleh dari migrasi masuk. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa dari jiwa, sebanyak jiwa merupakan pertambahan penduduk dari selisih angka kelahiran dikurangi kematian dan sisanya jiwa merupakan selisih dari migrasi masuk dan migrasi keluar serta 49 persen dari penduduk migran tersebut datang untuk mencari kerja dan kehadirannya menambah beban Jawa Barat. 4 Hal tersebut mengakibatkan tingginya persaingan antara penduduk migran dengan penduduk asli, bahkan penduduk migran dapat mengambil kesempatan penduduk setempat untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga upaya perluasan 4 http : // / kompas-cetak/ 0603/18/ jabar/590.htm (diakses tanggal 3 mei 2008)

28 102 kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, kondisi kebijakan ekonomi makro nasional, seperti kebijakan pencabutan subsidi BBM, menyebabkan inflasi. Akibatnya, peningkatan pendapatan nominal masyarakat sebagai akibat dari adanya perluasan kesempatan kerja tidak mampu mengimbangi kenaikan harga ini atau dengan kata lain, secara riil, pendapatan yang diperoleh tidak mampu mendongkrak kemampuan masyarakat untuk memenuhi konsumsinya. Sehingga penurunan tingkat pengangguran tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan bahkan kemiskinan di Propinsi Jawa Barat semakin meningkat. Pada hasil estimasi, dapat dilihat bahwa variabel angka melek huruf (AMH) berpengaruh tidak signifikan terhadap variabel tingkat kemiskinan dalam taraf nyata lima persen. Insignifikansi dari variabel angka melek huruf ini mengindikasikan bahwa pada kenyataannya, kondisi melek huruf yang menggambarkan kemampuan baca masyarakat Jawa Barat bukanlah faktor yang menentukan perubahan tingkat kemiskinan di Jawa Barat. Hal ini dapat terjadi karena berdasarkan informasi dari berita daerah Propinsi Jawa Barat (2007) mengenai Isu Strategis Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat diketahui bahwa Penduduk Jawa Barat yang masih buta aksara sebagian besar yaitu penduduk usia lanjut dan penduduk yang secara geografis sulit menjangkau sarana pendidikan. Sehingga upaya pemberantasan buta huruf yang dilakukan tidak secara maksimal diterjemahkan pada peningkatan produktifitas, peningkatan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan pada akhirnya. Variabel Infrastruktur sosial juga menujukan hal yang sama dengan variabel angka melek huruf, variabel ini tidak signifikan pada taraf nyata lima persen.

29 103 Peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi dalam jangka waktu yang diamati tidak mampu menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Hal ini terjadi terkait dengan tidak meratanya infrastruktur sosial, baik infrastruktur pendidikan maupun infrastruktur kesehatan. Disamping itu, sarana dan prasarana yang telah dibangun untuk mengurangi ketidakmerataan infrastruktur sosial, belum dimanfaatkan secara optimal karena terbatasnya jumlah dan kualitas SDM (Pemda Jawa Barat, 2007). Sehingga peningkatan infrastruktur sosial yang terjadi tidak mencerminkan perubahan yang searah dalam hal aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan. Disamping itu, aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan tidak dapat dijamin secara langsung oleh tingginya jumlah infrastruktur tersebut, biaya pendidikan dan kesehatan yang terjangkau dan kualitas pelayanan yang diberikan melalui sarana pendidikan dan kesehatan tersebut juga termasuk kedalam cakupan aksesibilitas tersebut. Demikian juga dengan variabel angka beban ketergantungan (DPNDN), variabel tersebut tidak signifikan pada taraf nyata lima persen. Perubahan pada variabel angka beban ketergantungan sangat sedikit bahkan tidak berpengaruh terhadap perubahan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Naik turunnya angka beban ketergantungan tidak bisa secara langsung diartikan sebagai naik turunnya tanggungan ekonomi penduduk usia produktif terhadap usia belum/tidak produktif. Meskipun penduduk usia kurang 15 tahun dan penduduk usia diatas 65 tahun termasuk penduduk tidak produktif faktanya banyak diantara mereka yang bekerja membantu ekonomi rumahtangga. Sehingga tingkat pendapatan perkapita tidak menurun secara drastis sejalan dengan meningkatnya jumlah beban ketergantungan seperti yang digambarkan dalam penelitian Nurhayati (2007).

30 Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, maka dapat dirumuskan beberapa implikasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat dalam rangka menekan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat, yaitu sebagai berikut. 1. Peningkatan aksesibilitas dan kualitas kesehatan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan pemerataan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan seperti dokter dan bidan, mendorong penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang mudah diakses dan murah, terutama untuk daerah terpencil dan di Kabupaten yang memiliki IPM atau secara khusus memiliki angka harapan hidup di bawah rata-rata angka harapan hidup Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Kemudian peningkatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin, serta peningkatan pelaksanaan dan realisasi program-program kesehatan lain yang telah dirumuskan Pemerintah Propinsi. 2. Meningkatkan pelaksanaan program-program dengan prioritas peningkatan aksesibilitas, kualitas, daya saing, dan tata kelola pendidikan yang telah dirancang Pemerintahan Propinsi Jawa Barat, seperti rehabilitasi, penambahan, serta pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan angka partisipasi sekolah masyarakat miskin dan mengurangi angka Drop Out dengan memberikan bantuan beasiswa kepada siswa yang kurang mampu dan siswa yang berprestasi. Kemudian meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan non formal untuk memfasilitasi masyarakat dalam komunitas dan lokasi yang sulit menjangkau pendidikan, seperti

31 105 pengembangan kejar paket A, B, dan C dan pengembangan keaksaraan fungsional dengan sistem pembelajaran yang disesuaikan dan kualitas pengajar yang baik. 3. Mempertahankan dan meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat miskin dan tertinggal. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pelaksanaan program terkait peningkatan daya beli yang telah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat seperti seperti peningkatan ketahanan pangan secara berkelanjutan untuk membentengi kesejahteraan masyarakat dari peningkatan harga pangan sebagai akibat dari ketidakstabilan kebijakan makro nasional hal tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan akses terhadap permodalan bagi petani yang disertai dengan pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya terutama untuk Kabupaten-Kabupaten dimana sebagian besar penduduknya bekerja dalam sektor pertanian. Peningkatan daya beli dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan keterampilan masyarakat terutama peningkatan pendidikan di luar sekolah. Hal itu dapat dilakukan dengan pembinaan dan pengembangan lembaga kursus dan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan kepada mayarakat. 4. Mengoptimalkan pelaksanaan program peningkatan kompetensi dan perlindungan tenaga kerja seperti peningkatan keterampilan ketenagakerjaan dan peningkatan akses peluang kerja dan pasar kerja bagi masyarakat Propinsi Jawa Barat seperti pelatihan dan penempatan dengan pola magang dan perluasan lapangan kerja melalui pengembangan usaha produktif.

32 Pengendalian laju pertumbuhan alamiah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memudahkan akses masyarakat terhadap alat dan kontrasepsi dan pendewasaan usia kawin. Pengendalian laju pertumbuhan penduduk ini penting untuk menekan tingginya angka beban ketergantungan muda yang mungkin akan semakin tinggi dan akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

BAB IV METODE PENELITIAN. dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam lingkup wilayah Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) melihat bahwa propinsi Jawa Barat

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 5.1 Trend Ketimpangan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dihitung menggunakan data PDRB Provinsi

Lebih terperinci

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 )

BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL. Tabel 5.1. Output regresi model persentase penduduk miskin absolut (P 0 ) 97 BAB V HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS MODEL 5.1. Hasil Estimasi Model Persentase Penduduk Miskin Absolut (P 0 ) Head count index (P 0 ) merupakan jumlah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa 72 V. PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data. merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi oleh

BAB III METODE PENELITIAN Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data. merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi oleh BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data panel dan merupakan data sekunder yang bersumber dari data yang dipublikasi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 41 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penghitungan Indeks Williamson Untuk melihat ketimpangan PDRB per kapita antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat digunakan alat analisis Indeks Williamson.

Lebih terperinci

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat

Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat Analisis Tingkat Pengangguran di 25 Kabupaten Kota di Jawa Barat 2006-2009 Indra Yudha Mambea, Estro Dariatno Sihaloho, Jacobus Cliff Diky Rijoly Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik Estimasi model pertumbuhan ekonomi negara ASEAN untuk mengetahui pengaruh FDI terhadap pertumbuhan ekonomi negara ASEAN yang menggunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengenai hasil dari uji statistik yang terdiri dari uji F, uji t, dan uji R-squared.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. mengenai hasil dari uji statistik yang terdiri dari uji F, uji t, dan uji R-squared. V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi dan pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam tiga pemaparan umum yaitu pemaparan secara statistik yang meliputi pembahasan mengenai hasil dari uji statistik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Regional Bruto tiap provinsi dan dari segi demografi adalah jumlah penduduk dari

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Regional Bruto tiap provinsi dan dari segi demografi adalah jumlah penduduk dari 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas hasil dari estimasi faktor-faktor yang memengaruhi migrasi ke Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia. Adapun variabel

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perkembangan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Pembahasan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah ditinjau dari beberapa hal. Pertama, proporsi belanja

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tahap Evaluasi Model 5.1.1. Tahap Evaluasi Pemilihan Model Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai BAB III METODE PENELITIAN A. Langkah Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Merumuskan spesifikasi model Langkah ini meliputi: a. Penentuan variabel,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Data tersebut didapat dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT IV. PROFIL PROVINSI JAWA BARAT Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah 63 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Belanja Barang dan Jasa (BBJ) terhadap pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB 4 ANALISIS HASIL ESTIMASI 4.1 Analisis Deskriptif Data 4.1.1 Angka Kematian Bayi 25 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Angka kematian bayi (AKB) Provinsi Jawa Barat selama kurun waktu tahun 2005

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten induknya yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi ke BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2008 yang mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan

III. METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan 49 III. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kualitas sumber daya manusia terhadap tingkat pengangguran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITIAN. tahun mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder periode tahun 2001-2010 mencakup wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur. Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun

BAB III METODE PENELITIAN. Utara. Series data yang digunakan dari tahun BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dan BPS Provinsi Maluku Utara.

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 1%.

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. semua variabel independen tidak signifikan pada tingkat 1%. A. Uji Kualitas Data 1. Uji Heteroskedastisitas BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidakstabilan varians dari residual

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1 Data Penelitian

LAMPIRAN. Lampiran 1 Data Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1 Data Penelitian Kota/Kab Tahun PDRB INV LBR Bogor 2009 1273760 110108 111101 2010 1335090 1382859 268543 2011 1439103 23266318 268543 2012 1527428 23266318 268543 2013 1628110 23272174

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalamnya. Kota Bandung juga memiliki jumlah penduduk yang banyak,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami 44 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia Menurut Laporan Perekonomian Indonesia dari Bank Indonesia (2003-2007) perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1. Gambaran Umum Subyek penelitian Penelitian ini tentang pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kesempatan kerja terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Provinsi Jawa Barat ini didasarkan pada data realisai anggaran menunjukkan bahwa Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Estimasi Variabel Dependen PDRB Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menganalisis pengaruh Belanja Pemerintah di Bidang Kesehatan, Belanja Pemerintah di Bidang Pendidikan, Indeks Pemberdayaan Gender, dan Infrastruktur Jalan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 No. 64/11/32/Th. XIX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Agustus 2017 : Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan

III. METODE PENELITIAN. series dan (2) cross section. Data time series yang digunakan adalah data tahunan 29 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder berupa data panel, yaitu data yang terdiri dari dua bagian : (1)

Lebih terperinci

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung

semua data, baik variabel dependen maupun variable independen tersebut dihitung BAB VI ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas mengenai pengaruh pertumbuhan variabel PMTDB, pertumbuhan variabel angkatan kerja terdidik, pertumbuhan variabel pengeluaran pemerintah daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah 44 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah Kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat ditentukan menggunakan indeks Williamson yang kemudian dikenal

Lebih terperinci

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan pangan regional di 38 kabupaten/kota

Lebih terperinci

PENGARUH KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN BELANJA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KOTA CIREBON (PROVINSI JABAR) TAHUN

PENGARUH KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN BELANJA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KOTA CIREBON (PROVINSI JABAR) TAHUN PENGARUH KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, DAN BELANJA TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI KOTA CIREBON (PROVINSI JABAR) TAHUN 2007-2011 Oleh : Drs. H. MARDJOEKI MM. Dosen Tetap Fakultas Ekonomi UNTAG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. tingkat migrasi risen tinggi, sementara tingkat migrasi keluarnya rendah (Tabel

METODE PENELITIAN. tingkat migrasi risen tinggi, sementara tingkat migrasi keluarnya rendah (Tabel 30 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup nasional, yang dilihat adalah migrasi antar provinsi di Indonesia dengan daerah tujuan DKI Jakarta, sedangkan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 57 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Estimasi Model Dalam analisis data panel perlu dilakukan beberapa pengujian model, sebagai awal pengujian pada ketiga model data panel statis yakni pooled least square (PLS),

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Analisis pengaruh PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah sektor kesehatan, dan pengeluaran pemerintah sektor pendidikan terhadap indeks pembangunan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapita (Irawan dan Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Todaro (2003),

BAB I PENDAHULUAN. kapita (Irawan dan Suparmoko, 2002). Sedangkan menurut Todaro (2003), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan ekonomi adalah sebuah usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang diukur melalui tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita (Irawan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 2002). Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

BAB III METODE PENELITIAN. 2002). Penelitian ini dilakukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 No. 02/11/Th. XIV, 12 November 2014 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Kota Bekasi Tahun 2013 A. Penjelasan Umum IPG merupakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menganalisis pengaruh kemiskinan, pengeluran pemerintah bidang pendidikan dan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan terhadap Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga.

1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga. LAMPIRAN Lampiran 1. Evaluasi Model Evaluasi Model Keterangan 1) Kriteria Ekonomi Estimasi model dikatakan baik bila hipotesis awal penelitian terbukti sesuai dengan tanda dan besaran dari penduga. 2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Perbankan Indonesia. kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Perbankan Indonesia. kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum 4.1.1. Gambaran Umum Perbankan Indonesia Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank di Indonesia dibedakan menjadi enam kategori bank, diantaranya adalah Bank

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 No. 38/07/32/Th. XVIII, 1 Juli 2016 Pembangunan manusia di Jawa Barat pada tahun 2015 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengumpulan data yang berupa laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota Se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. demografi, dan sosial terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. demografi, dan sosial terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Statistik Deskriptif Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran umum dari variabel penelitian yang digunakan Analisis diskriptif bersifat pemaparan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tengah.secara astronomis DIY terletak antara Lintang Selatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tengah.secara astronomis DIY terletak antara Lintang Selatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu wilayah.

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu wilayah. BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umumnya dipergunakan untuk melihat keadaan perekonomian di suatu

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 39 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator

Lebih terperinci

5. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, INFRASTRUKTUR, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB

5. PENGARUH BELANJA PEMERINTAH, INFRASTRUKTUR, DAN TENAGA KERJA TERHADAP PDRB Sementara itu, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Teluk Wondama tercatat sebagai daerah dengan rata-rata angka kesempatan kerja terendah selama periode 2008-2010. Kabupaten Supiori hanya memiliki rata-rata

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Data Panel Guna menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah diutarakan dalam Bab 1, dalam bab ini akan dilakukan analisa data melalui tahap-tahap yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan masyarakat berahlak mulia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dinamis dalam mengubah dan meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Ada tiga indikator keberhasilan suatu pembangunan dalam

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 39 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Daya Saing Komoditi Mutiara Indonesia di Negara Australia, Hongkong, dan Jepang Periode 1999-2011 Untuk mengetahui daya saing atau keunggulan komparatif komoditi

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DI KOTA MEDAN TAHUN 2000-2014 NADIA IKA PURNAMA Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara email : nadiaika95@gmail.com

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Tengah tahun dan apakah pengangguran berpengaruh terhadap

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN. Tengah tahun dan apakah pengangguran berpengaruh terhadap BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian yang telah diperoleh sekaligus pembahasannya. Hasil penelitian ini menjawab masalah penelitian pada Bab I yaitu apakah jumlah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 9 BAB 2 TINJAUAN LITERATUR 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sekunder deret waktu (time series) mulai dari Januari 2013 sampai

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sekunder deret waktu (time series) mulai dari Januari 2013 sampai BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis dan Hasil Regresi Semua data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data sekunder deret waktu (time series) mulai dari Januari 2013 sampai Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses menuju perubahan yang diupayakan suatu negara secara terus menerus dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hubungan Antara Penerimaan DAU dengan Pertumbuhan PDRB Dalam melihat hubungan antara PDRB dengan peubah-peubah yang mempengaruhinya (C, I, DAU, DBH, PAD, Suku Bunga dan NX)

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sektor perekonomian yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari

III. METODE PENELITIAN. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari 34 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, time series triwulan dari tahun 2005-2012, yang diperoleh dari data yang dipublikasikan

Lebih terperinci

KAJIAN TENTANG DETERMINAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT

KAJIAN TENTANG DETERMINAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT KAJIAN TENTANG DETERMINAN KEMISKINAN DI JAWA BARAT Apip Supriadi 1, Gusti Tia Ardiani Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi ABSTRACT The purpose of this study is to analyze

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup pada tahap subsisten dan mata pencarian utama adalah dari mata. pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan berburu.

I. PENDAHULUAN. hidup pada tahap subsisten dan mata pencarian utama adalah dari mata. pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan berburu. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan fenomena penting yang dialami dunia semenjak dua abad belakangan ini. Dalam periode tersebut dunia telah mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian Lampiran 1 Daftar Populasi dan Sampel Penelitian No Kabupaten/Kota Kriteria Sampel 1 2 1 Bogor Sampel 1 2 Sukabumi Sampel 2 3 Cianjur Sampel 3 4 Bandung Sampel 4 5 Garut Sampel 5 6 Tasikmalaya Sampel 6

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1. Deskripsi Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang merupakan datatime series atau data runtun waktu sebanyak 12 observasi, yaitu

Lebih terperinci

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Pada Bab ini akan dibahas tentang hasil analisis yang diperoleh secara rinci

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Pada Bab ini akan dibahas tentang hasil analisis yang diperoleh secara rinci IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Pada Bab ini akan dibahas tentang hasil analisis yang diperoleh secara rinci disertai dengan langkah-langkah analisis data yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi/Objek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan Provinsi Jawa Timur ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kontribusi Sektor Pertanian bagi PDRB di Kabupaten Simeulue Kabupaten Simeulue mempunyai sembilan sektor yang memiliki peranan besar dalam kontribusi terhadap PDRB. Indikator

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITAN. Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur.

BAB III METODE PENELITAN. Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. BAB III METODE PENELITAN A. Lokasi Penelitian Lokasi pada penelitian ini adalah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini salah satunya karena Provinsi Jawa Timur menepati urutan pertama

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemiskinan Analisis data panel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan

Lebih terperinci