BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang lebih berfokus pada guru/dosen sebagai sumber pengetahuan sehingga ceramah menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa sering bersikap pasif, bahkan ada kecenderungan hanya bersikap menerima saja pengetahuan dari pendidik. Untuk itu, diperlukan suatu pendekatan belajar yang memberdayakan peserta didik. Salah satu pembelajaran yang memberdayakan peserta didik adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu dosen/guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan pemaparannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Diknas, 2002: 1). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa/mahasiswa dan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa belajar dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Melalui metode kontekstual, mahasiswa belajar melalui pengalaman, tidak menghafal. Dalam hal ini proses dan strategi pembelajaran lebih dipentingkan. Menurut Muslich (2007: 41), salah satu metode dalam pembelajaran yang dapat merangsang aktivitas mahasiswa dalam belajar adalah pembelajaran kontekstual. Penerapan kontekstual sering digalakan dan dilaksanakan dalam 1

2 2 pelatihan-pelatihan dengan harapan berpengaruh positif terhadap hasil belajar mahasiswa. Metode kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran, yakni pendidik memosisikan para mahasiswa sebagai subjek, bukan sebagai objek pembelajaran. Dengan kata lain, pendidik sebagai fasilitator. Pembelajaran kontekstual di kelas melibatkan tujuh komponen utama, yakni (1) konstruktivisme, (2) menemukan, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian yang sebenarnya. Berdasarkan komponen tersebut, dalam pembelajaran kontekstual mahasiswa diharapkan lebih aktif dan kreatif. Proses keterlibatan mahasiswa terjadi secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Pendekatan kontekstual mendorong mahasiswa untuk dapat menerapkan keterampilan atau pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pembelajaran tidak hanya mengharapkan mahasiswa memahami materi yang dipelajari, tetapi juga menghendaki agar pelajaran itu dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, pengetahuan dan kemampuan seorang dosen/guru dalam menerapkan model pembelajaran yang tepat. Menurut Buchori (dalam Khabibah, 2006:1) pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para mahasiswa untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi juga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal itu tampak dari rata-rata hasil belajar siswa yang

3 3 senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Dalam arti yang lebih substansial proses pembelajaran hingga dewasa ini tampaknya masih mencirikan dominasi guru/dosen dan kurang memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Di pihak lain, secara empiris berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rendahnya hasil belajar peserta didik disebabkan oleh salah satu proses pembelajaran yang didominasi oleh pembelajaran konvensional Pada pembelajaran ini suasana kelas cenderung berpusat pada dosen/guru sehingga mahasiswa menjadi pasif. Meskipun demikian, dosen/guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab tidak memerlukan alat dan bahan praktik. Artinya, guru/dosen cukup menjelaskan konsep-konsep yang ada pada buku ajar atau referensi lain. Dalam hal ini, siswa/mahasiswa tidak diajarkan strategi belajar yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir, dan memotivasi diri sendiri. Masalah ini banyak dijumpai dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu, diperlukan penerapan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa untuk memahami materi ajar dan aplikasinya dalam kehidupan seharihari. Terkait dengan itu, berlakunya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal. Perubahan tersebut harus pula diikuti oleh dosen/guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas.

4 4 Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada dosen/ guru beralih berpusat pada murid, metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Untuk itu, dosen/guru harus bijaksana dalam menentukan suatu model pembelajaran yang sesuai dan dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berbicara tentang masalah penggunaan metode dalam kaitan dengan proses pembelajaran, guru atau dosen harus tepat dalam memilih dan menentukan metode yang secara rasional dipandang paling cocok. Mengingat tujuan pembelajaran yang hendak dicapai sangat beragam, jenis metode dan pendekatan yang digunakan atau dipilih dosen/guru juga harus beragam sesuai dengan karakteristik tujuan pembelajaran tersebut. Metode kontekstual dapat dijadikan alternatif strategi belajar yang lebih memberdayakan mahasiswa. Penggunaan metode kontekstual ini sangat cocok untuk menyampaikan pelajaran karena merupakan konsep belajar yang membantu dosen/guru mengaitkan antara materi yang diajarkanya dan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).

5 5 Dengan metode kontekstual, diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi mahasiswa. Proses pembelajaran juga berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa belajar menemukan, bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Dalam hal ini, strategi dan proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dosen/guru juga mengupayakan perbaikan-perbaikan kualitas pembelajaran melalui serangkaian usaha yang langsung berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab profesional dosen/guru dengan harapan pengajaran dan pembelajaran bahasa berhasil dengan baik sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Jepang adalah suatu hal yang kompleks, terutama dalam bidang tata bahasa. Apa yang dipelajari pada tahap pemula atau tahap awal merupakan kunci keberhasilan penguasaan bahasa asing yang akan diperoleh di akhir pembelajaran. Bagi pelajar bahasa Jepang, tata bahasa bisa dianggap sebagai kompas dalam praktik bahasa pada kenyataannya. Pengajaran tata bahasa yang benar tidak semata-mata berpusat pada tata bahasa itu sendiri, tetapi juga harus diseimbangkan dengan empat aspek keterampilan berbahasa, yakni aspek menulis, aspek membaca, aspek mendengarkan (menyimak), dan aspek berbicara. Keempat aspek tersebut perlu dikuasai oleh mahasiswa. Di samping menguasai keempat aspek tersebut, pembelajar bahasa Jepang juga harus memahami struktur dan tata bahasa Jepang. Kemampuan seseorang memahami dan menguasai tata bahasa Jepang dibagi dalam beberapa tingkat, yaitu tingkat dasar (shokyou), tingkat terampil (chukyou) dan tingkat mahir (jukyou).

6 6 Menurut Sudjianto (2004:14), dilihat dari aspek kebahasaan, bahasa Jepang memiliki karakteristik yang unik dan dapat diamati dari huruf yang digunakan, sistem pengucapan, gramatika, ragam bahasa, kosakata, kaidah-kaidah, aturan penggunaan yang berbeda dengan bahasa lainnya. Bahasa Jepang mempunyai gramatika yang berbeda sekali dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Jepang memiliki gramatika yang sangat unik, yaitu susunan kalimat berpola S-K-O-P (subjek- keterangan - objek- predikat). Di antara selasela S-K-O-P tersebut mutlak harus disisipi dengan kata bantu atau partikel. Contoh: 大学生はカンチンでごはんを食べます Daigakusei wa kantin de gohan o tabemasu mahasiswa part tempat part nasi part makan Mahasiswa makan nasi di kantin. Kata daigakusei dalam bahasa Indonesia berarti mahasiswa, yang berfungsi sebagai subjek (shugo) dalam kalimat dan disertai partikel wa ( は ). Kantin (joukyougo) adalah serapan dari bahasa Inggris berarti keterangan tempat, dalam penulisan bahasa Jepang ditulis dengan huruf Katakana disertai partikel de( で )yang berarti di. Unsur objek (taishougo) adalah gohan berarti nasi dan selalu diikuti partikel o ( を ). Kata tabemasu berarti makan berfungsi sebagai predikat (jutsugo) dan selalu terletak di akhir kalimat. Hal itu berbeda dengan bahasa Indonesia yang susunan kalimatnya berpola S-P-O-K. Contoh: Rita membaca buku di perpustakaan. Setiap bahasa memilki gramatika atau tata bahasa yang memuat kaidah-kaidah, aturan bentuk, struktur dan ciricirinya.

7 7 Dalam berbahasa seseorang perlu mengetahui tata bahasa yang baik dan benar, terutama pada saat hendak berkomunikasi kepada orang asing dalam hal ini kepada orang Jepang. Hal ini amat penting bila ingin menjalin hubungan komunikasi dengan baik. Sudjianto (1996:22) mengemukakan perlunya pembelajar bahasa mempelajari gramatika karena bahasa tidak boleh ditulis dan diucapakan secara sembarangan. Bahasa harus digunakan dengan baik, benar, dan efektif agar dapat memahami apa yang ingin disampaikan ataupun pesan yang diterima dalam komunikasi atau memahami wacana. Dengan kata lain, apabila pembelajar mengetahui dan memahami gramatika dengan baik, dengan sendirinya ia dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berkomunikasi dengan baik pula. Artinya, dapat dengan mudah menyampaikan ide, pesan kepada lawan bicara. Di pihak lain, pesan yang disampaikan lawan bicara akan mudah dimengerti. Sehubungan dengan itu, Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata dan penyusunan kata-kata dalam kelimat. Pada waktu berkomunikasi, khususnya dalam bahasa Jepang pemahaman tata bahasa sangatlah penting, karena bahasa Jepang memiliki karakteristik unik, baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Untuk menanamkan pemahaman tata bahasa Jepang yang baik dan benar, pendidik harus tepat menentukan dan memilih metode pembelajaran bahasa yang diberikan kepada para pelajar bahasa Jepang tahap pemula dalam proses belajar mengajar. Untuk itu, metode kontekstual dapat dijadikan salah satu alternatif yang efektif dalam pembelajaran tata bahasa.

8 8 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1) Bagaimana hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebelum menerapkan metode kontekstual? 2) Bagaimana hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, setelah menerapkan metode kontekstual? 3) Faktor apa sajakah yang memengaruhi hasil belajar mahasiswa semester III Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan diuraikan sebagai berikut Tujuan Umum Adapun tujuan umum penelitian ini adalah memberikan referensi tentang penggunaan metode kontekstual dalam pengajaran dan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar(shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar.

9 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini merujuk pada apa yang dimuat dalam rumusan masalah sebelumnya, yakni seperti di bawah ini. 1) Untuk mendeskripsikan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar sebelum diterapkan metode kontekstual di dalam kelas. 2) Untuk mengetahui hasil belajar tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar sesudah menggunakan metode kontekstual di dalam kelas. 3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual 1.4 Manfaat hasil Penelitian Pada penelitian ini terdapat dua manfaat, yakni manfaat praktis dan teoritis. Kedua manfaat penelitian ini secara terperinci terlihat pada paparan di bawah ini Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian terhadap penerapan metode kontekstual dalam pembelajaran bahasa Jepang, khususnya pada pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Model pembelajaran yang dihasilkan dapat meningkaktan aktifitas belajar mahasiswa dan memberikan sumbangan terhadap metode dan teori pembelajaran bahasa, khususnya tata bahasa Jepang dasar. Hal ini penting, mengingat masih langkanya bahan referensi

10 10 yang membahas metode kontekstual dalam meningkatkan pembelajaran dan pengajaran bahasa Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yang relevan, terutama bagi peningkatan profesional dosen dalam menyusun dan mengelola pengajaran dan pembelajaran bahasa Jepang menjadi lebih inovatif. Kecermatan atau ketepatan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran akan memengaruhi hasil belajar mahasiswa. Bagi mahasiswa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar mahasiswa, karena pembelajaran kontekstual menekankan pada interaksi kerja sama di antara mahasiswa sebagai kelompok belajar. Mahasiswa terlatih untuk lebih aktif bertanya, menemukan sendiri dan mengonstruksi proses materi pembelajaran. Selain itu, juga mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluaga dan masyarakat. Manfaat bagi lembaga, yaitu dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dengan memperhatikan dan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang memadai seperti laboratorium bahasa, tape recorder beserta kasetnya, TV beserta DVD dan CD-nya. Pada hakikatnya hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak pembaca.

11 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini difokuskan pada pemerolehan informasi berupa teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian sehingga dapat memperjelas kegunaannya terkait dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang dikaji pada penelitian terdahulu dijadikan bahan masukan pada penelitian ini. Penelitian Lestari (2010) berjudul Pembelajaran Kosa Kata secara Kontekstual dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa di Kelas XI Bahasa SMA N 2 Semarapura. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa melalui pelaksanaan pembelajaran membaca secara kontekstual, siswa telah terbukti mampu menunjukkan potensinya dalam pembelajaran membaca. Untuk itu, dalam pembelajaran tersebut, tidak hanya mentransfer materi pelajaran, tetapi dapat juga menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Penelitian Lestari memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena kemampuan tata bahasa yang baik dan benar dalam berkomunikasi sangat terpengaruh oleh penguasaan pembendaharaan kosa kata bagi mahasiswa. Pembelajaran struktur dan unsur tata bahasa secara bertahap juga ditentukan proses pengenalan kosa kata. Penelitian Narohita (2010) berjudul Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa 11

12 12 Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada SMP Negeri 1 Tejakula). Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah sebelum dan setelah dikendalikan penalaran formal. Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan rancangan The Posttest-Only Control Group Design dengan melibatkan sampel sebanyak 76 orang siswa SMP Negeri 1 Tejakula. Dengan rancangan tersebut berarti penelitian Narohita tidak melaksanakan pre-test untuk mengetahui akibat perlakuan sebelum tes dilaksanakan. Pada penelitian ini menggunakan The One Pre-Test Pos-Test Design. Artinya kondisi perlakuan diberikan pada kelompok subjek yang sama, sehingga perlu dilaksanakan pre-test dan pos-test untuk mengetahui hasil perubahan sebagai akibat dari tindakan yang dilaksanakan. Dengan kedua desain tersebut ternyata menunjukkan hasil penerapan pendekatan kontekstual berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah setelah diadakan pengendalian terhadap penalaran formal siswa. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa pendekatan kontekstual menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan belajar bermakna, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Penelitian Susriati (2009) berjudul Penerapan Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi Siswa Kelas XI Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya CTL pada pembelajaran IPA. Untuk mencapai tujuan

13 13 tersebut dilakukan penelitian tindakan kelas pada semester gasal tahun pelajaran 2009/2010. Prosedur penelitian menggunakan siklus Kemmis dan Taggart yaitu tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pada siklus tindakan guru/dosen dominan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa atau mahasiswa untuk mendorong mereka mengatakan apa yang mereka pahami, dan apa yang mereka minati. Sedangkan penelitian ini menggunakan siklus Arikunto yang lebih menekankan tahapan proses pelaksanaan untuk berdiskusi, tanya jawab dalam kelompok belajar untuk menemukan hasil pembelajaran. Hasil penelitian Susriati menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan metode kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada pratindakan rata-rata hasil belajar yang dicapai siswa sebesar 65,73. Pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 70,15. Pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 83,85. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian Susriati mengkaji bidang pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas. Penelitian dilakukan oleh Widhiastuty (2014) berjudul Penerapan Metode Contextual Teaching and Learning dalam Upaya Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Siswa Kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan. Penelitian dengan dua siklus ini menunjukkan bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa meningkat dengan diterapkannya metode Contextual Teaching and Learning. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil

14 14 persentase pada siklus I sebesar 64,61% dan termasuk kategori tidak cukup, dan kemudian meningkat pada siklus II menjadi 82,55% termasuk kategori baik. Artinya metode CTL dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan. Penelitian yang didilakukan oleh Widhiastuty dari aspek kebahasaan memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena penguasaan kosakata dan tata bahasa termasuk aspek kebahasaan yang tidak dapat terpisahkan. Pembendaharaan kata yang baik dan benar dapat dengan mudah menyusun kalimat yang disampaikan kepada orang lain. Perbedaannya terdapat pada bidang kajian penelitian, Widhiastuty meneliti kosakata bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini meneliti bidang tata bahasa Jepang dasar, dengan penerapan metode yang sama yaitu metode kontekstual. Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Suryawan (2008) dengan judul Penerapan Pendekatan Konteksual Menggunakan Media Skema Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Singaraja. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa adanya peningkatan yang cukup signifikan pada hasil belajar berbicara siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual menggunakan media skema. Walaupun banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh pembelajaran kontekstual (CTL) terhadap aspek aspek pembelajaran mata pelajaran tertentu, belum ditemukan penelitian sejenis yang mencoba meneliti pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa pada tataran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) yang memiliki karakteristik unik,

15 15 baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Demikian pula subjek dan objek penelitian yang dilakukan oleh para peneliti berbeda, sudah barang tentu konsep, landasan teori, metode, dan kerangka berpikir berbeda pula. Subjek penelitian terdahulu adalah siswa tingkat dasar dan menengah yang memiliki tingkat berpikir berbeda dengan mahasiswa. Objek yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah bidang kajian yang diteliti. Perbedaan lainnya, yakni tidak ditemukan hasil analisis data kualitatif, tetapi semua penelitian yang sudah dilaksanakan hanya menemukan data kuantitatif dalam bentuk angka-angka. Lagi pula, tidak ada yang melengkapi penelitiannya dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil belajar mahasiswa dengan metode kontekstual (CTL). Hasil penelitian di atas yang menerapkan metode kontekstual dalam proses pengajaran dan pembelajaran memiliki keunggulan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya keunggulan peningkatan hasil belajar. Peningkatan tersebut terjadi pada siklus I dan siklus II sehingga kriteria nilai minimal terlampaui. Penelitian terdahulu cukup relevan dengan penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian dapat menjawab permasalahan dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul Metode Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Pembelajaran Tata Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa Semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar.

16 16 Penelitian ini dikhususkan pada peningkatan penguasaan tata bahasa Jepang dasar sebagai bahasa asing, sebab tata bahasa merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Jepang. Jika seorang mahasiswa lemah dalam penguasaan tata bahasa, ia tidak akan dapat mengomunikasikan pikiran dan idenya dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan. 2.2 Konsep Pada penelitian ini terdapat beberapa konsep penting sebagai dasar atau acuan untuk memperlancar proses penelitian. Konsep konsep tersebut, yaitu (1) metode kontekstual (CTL ), (2) pembelajaran, (3) tata bahasa Jepang dasar (Shokyou Bunpo) Metode kontekstual Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran yang akan dicapai. Menurut Sutikno, metode adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan. Para ahli lain menyatakan bahwa metode adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana, 2005:76). Metode kontekstual merupakan suatu proses yang dilakukan dalam pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan

17 17 akademis atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Ketujuh komponen utama yang dimaksud adalah konstruktivisme, bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Untuk mengaitkan materi pembelajaran bisa dilakukan dengan berbagai cara. Selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata mahasiswa sehari-hari (Rusman, 2012:188). Metode kontekstual pada penelitian ini adalah cara pembelajaran yang membantu guru/dosen mengaitkan antara materi yang dihajarkan dengan situasi nyata siswa atau mahasiswa dan mendorong untuk menghubungkan antar pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat Pembelajaran Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang dirancang, dan disusun demikian rupa untuk mendukung dan memengaruhi terjadinya proses belajar mahasiswa yang bersifat internal. Pembelajaran berupaya mengubah input mahasiswa yang belum terdidik menjadi mahasiswa yang terdidik, mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu menjadi mahasiswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula mahasiswa yang memiliki sikap, kebiasaan, atau tingkah laku yang belum memiliki eksistensi dirinya sebagai pribadi yang baik menjadi mahasiswa yang memiliki sikap yang baik, sebagai hasil dari

18 18 pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Aunurrahman, 2010:34). Darsono (2000:24) menambahkan bahwa secara umum pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa. Dengan demikian tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Menurut Syaiful Sagala (2010:61), pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan dan teori belajar sebagai proses komunikasi dua arah. Pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat mahasiswa/siswa belajar secara aktif, mampu berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses belajar mengajar di kelas yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik di lingkungan sekolah untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. ((Aunurrahman, 2010:34) Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyou Bunpo) Menurut Iwabuchi Tadasu, gramatika atau tata bahasa adalah aturan-aturan mengenai bagaimana menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat (dalam Sudjianto dan Dahidi, 2009:133). Shokyou bunpo adalah tata bahasa tingkat dasar (pemula); kelas pemula (Matsura, 1994:959).

19 19 Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata. Selain itu, juga penyusunan kata-kata dalam kalimat. Pada penelitian ini, tata bahasa Jepang dasar adalah seputar aturan-aturan dalam menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menguasai aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang sederhana. Artinya, gramatika atau tata bahasa dasar dicirikan oleh pola kalimat yang sederhana. Contoh : わたし は だいがくせい です Watashi wa daigakuesi desu saya part mahasiswa kopula Saya adalah mahasiswa. Bahasa Jepang adalah bahasa yang memiliki gramatika/struktur pola kalimat subjek-keterangan-objek-predikat (S-K-O-P). Contoh: あにさんはマタハリでかばんをかいます Ani san wa Matahari de kaban o kaimasu nama part nama tempat part tas part membeli Ani membeli tas di Matahari. Ani san adalah subjek, partikel wa/ は penanda subjek, Matahari adalah keterangan tempat, partikel de/ で berarti di, kaban berarti tas adalah objek, o/ を penanda objek, dan kaimasu berarti membeli adalah predikat. Predikat dalam pola kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat (Jonathan, 2013:8). Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada empat unsur-unsur bahasa, yakni penggunaan partikel, pola

20 20 kalimat, unsur predikat, dan makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar. 2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori yang melandasi penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah (1) teori pembelajaran bahasa konstruktivisme, (2) dasar-dasar linguistik bahasa Jepang, dan (3) penelitian tindakan kelas (PTK) Teori Pembelajaran Bahasa Konstruktivisme Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, pada tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berpikir. Individu ini tidak menyerap secara sembarangan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk membentuk pengetahuan baru dalam pikiran mereka dengan bentuk interaksi sosial, baik bersama rekan maupun gurunya (Brooks&Brooks,1993 dalam Aqib, 2013). Komponen penting dalam teori konstruktivisme adalah bagaimana mengemas pembelajaran menjadi proses mengontruksi tidak sebatas menerima pengetahuan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana. Teori belajar konstruktivisme merupakan landasan berpikir metode CTL. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri pengetahuan melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih banyak berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.

21 21 Artinya, sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengonstruksi tidak menerima pengetahuan. Menurut teori ini satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Akan tetapi, mahasiswa/siswa itu sendiri harus membangun pengetahuan dalam benaknya. Guru atau dosen dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ideide mereka sendiri. Di samping itu, mengajari siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari (Trianto, 2008:41). Konstruktivisme menurut Martin et. al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling memengaruhi antara belajar sebelumnya dan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah constructivism may be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning) which argues humans construct meaning from current knowledge structures. Artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistemologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri,

22 22 dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin, 1994). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimatkalimat tersebut, dan bagaimana menulis titik dan komanya. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun, guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Sebagai fasilitator, guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Di antara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction). 1) Prinsip-Prinsip Konstruktivisme Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:

23 23 a) Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa/siswa sendiri. b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari dosen/guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar. c) Mahasiswa/siswa aktif megonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah disesuaikan dengan kehidupan nyata. d) Dosen/guru sekadar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar. e) Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan. f) Mencari dan menilai pendapat mahasiswa/siswa. g) Menyesuaikan bahan pengajaran untuk menanggapi anggapan mahasiswa/siswa. Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting yaitu dosen/guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/siswa. Mahasiswa/siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang dosen/guru dapat membantu proses ini dengan caracara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa/siswa. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa/siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak mahasiswa/siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. 2) Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran Terdapat beberapa implikasi penting konstruktivisme terhadap pembelajaran. Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.

24 24 1) Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa mengonstruksi pengetahuan dan memperluas pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif mahasiswa/siswa dalam pembelajaran merupakan hal yang utama. 2) Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental mahasiswa. Di samping kebenaran jawaban mahasiswa, dosen/guru juga perlu memperhatikan proses yang digunakan mahasiswa hingga memperoleh jawaban tersebut. 3) Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam mengonstruksi pengetahuan atau dalam pemecahan masalah. Bantuan ini akan memotivasi mahasiswa dalam belajar dan meningkatkan kemandirian mahasiswa. Di samping itu, juga akan mengembangkan ZPD (zon perkembangan prokimal) mahasiswa. 4) Perlu disadari tentang pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran. Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi. Pedagogis lebih ditekankan pada diskusi, kolaborasi, negosiasi, dan makna bersama. 5) Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan mahasiswa, sekaligus merangsang mahasiswa untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide mereka.

25 25 6) Jika mahasiswa harus mengaplikasikan pemahaman saat ini dalam situasi baru ke bentuk pengetahuan baru, dosen/guru harus sungguh-sungguh melibatkan mahasiswa dalam pembelajaran. 3) Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme Adapun ciri-ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai berikut. 1) Pembelajaran berpusat pada mahasiswa. 2) Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran. 3) Dosen/guru sebagai fasilitator. 4) Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang kepada mahasiswa membina pengetahuan baru. 5) Menyokong pembelajaran secara kooperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan mahasiswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu. 6) Menggalakkan mahasiswa bertanya dan berdialog dengan sesama mahasiswa dan dosen. 7) Pendidik memahami karakteristik mental para mahasiswa untuk mengenal penalaran yang dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran. 8) Menggalakkan dan menerima daya usaha para mahasiswa dalam mengembangkan pengetahuannya. 9) Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh mahasiswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.

26 26 4) Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Keunggulan 1) Berpikir Dalam proses membina pengetahuan baru, mahasiswa berpikir menyelesaikan masalah, mengemukakan dan membuat simpulan dengan bahasa sendiri. 2) Paham Karena mahasiswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya. 3) Ingat Karena mahasiswa terlibat secara langsung dan aktif, mereka akan mengingat lebih lama mengenai semua konsep. 4) Yakin Melalui pendekatan ini mahasiswa membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah pada situasi baru dalam kehidupan sehari-hari. 5) Interaktif dan Senang Mahasiswa/siswa lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan dengan teman dan dosen/guru dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan baru. Karena mereka paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.

27 27 Kelemahan 1) Pemahaman para mahasiswa terhadap materi cenderung kurang merata. 2) Diperlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan dengan lancar. 3) Mahasiswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga tidak jarang hasil konstruksi tersebut tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terjadi miskonsepsi. 4) Konstruktivisme menanamkan agar mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap mahasiswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda. 5) Situasi dan kondisi tiap kampus tidak sama karena tidak semua kampus memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas mahasiswa. 5) Kendala dalam Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan dosen/guru. Selama ini pendidik telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional. Upaya mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.

28 28 2) Dosen/guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Dosen/guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai. 3) Adanya anggapan dosen/guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Pendidik khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai. 4) Sistem evaluasi masih menekankan pada nilai akhir. Padahal, yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajar, bukan hasil akhirnya. 5) Besarnya beban mengajar dosen/guru, latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan mata kuliah yang diasuh, dan banyaknya pelajaran/mata kuliah yang harus dipelajari mahasiswa merupakan hal yang cukup serius. 6) Mahasiswa/siswa terbiasa menunggu informasi dari dosen/guru. Peserta didik akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari dosen/gurunya. Upaya mengubah sikap menunggu informasi menjadi pencari dan pengonstruksi informasi merupakan kendala tersendiri. 7) Adanya budaya negatif di lingkungan mahasiswa/siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke kampus. Mahasiswa/siswa terkondisi untuk mengiakan pendapat atau penjelasan pendidik. Mahasiswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan dosen/ gurunya

29 29 Beberapa kelemahan dan kendala tersebut di atas dialami ketika melaksanakan penelitian pada tindakan siklus I. Kelemahan teori konstruktivisme dengan penerapan metode kontekstual tampak pada kemampuan intelektual mahasiswa kurang merata, sehingga mengonstruksi hasil temuan belajar kelompok tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari hasil pembelajaran pada siklus I masih kurang. Cara mengatasi kelemahan tersebut, peneliti berkonsultasi dengan dosen pengampu mata kuliah mengenai tingkat kemampuan mahasiswa dan melihat indeks prestasi tiap-tiap mahasiswa. Kemudian berdasarkan data dan masukan dosen pendamping peneliti merombak keanggotaan kelompok belajar dengan tujuan menimalisir ketimpangan yang ada di antara individu dan kelompok belajar. Kendala-kendala yang dialami antara lain, mahasiswa tidak terbiasa bekerja kelompok, mahasiswa kurang berani mengemukakan pendapatnya, dan ada kecenderungan mahasiswa hanya menerima informasi dari dosen. Sikap mahasiswa seperti ini tidak baik untuk tujuan pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh kemauan, percaya diri, keberanian, minat, dan motivasi belajar mahasiswa Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang Pembelajar bahasa Jepang perlu memahami atau minimal mengetahui dasar-dasar linguistik bahasa Jepang. Pengetahuan linguistik ini merupakan media untuk mempermudah dan memperlancar penguasaan bahasa Jepang. Linguistik

30 30 bahasa Jepang disebut dengan nihongo-gaku, bisa diterjemahkan ilmu bahasa Jepang. Jadi, dalam nihongo-gaku dipelajari seluk beluk bahasa Jepang,yang mencakup berbagai cabang, yaitu : 1) fonetik (onseigaku) 2) fonologi (oninron) 3) morfologi (keitairon) 4) sintaksis (tougoron) 5) semantik (imiron) 6) pragmatik (goyouron) 7) sosiolinguistik (shakai gengogaku) 8) psikolinguistik (shinri gengogaku) Cabang linguistik yang dijadikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah cabang sintaksis. Sintaksis (tougoron) dalam bahasa Jepang disebut tougoron. Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari struktur kalimat atau kaidah-kaidah dan unsurunsur pembentuk kalimat dalam suatu bahasa. Bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencakup unsur-unsur pembentuknya, struktur kalimat dan maknanya, serta jenis dan fungsi kalimat (Nita, 1994 : 18) Secara garis besar jenis kalimat berdasarkan struktur kalimat terdiri atas dua macam, yaitu kalimat yang tidak memiliki unsur predikat dan kalimat yang memiliki unsur predikat. Contoh kalimat sebagai berikut. 1) Kalimat yang tidak mempunyai predikat. Oame (banjir), kaji (kebakaran).

31 31 2) Kalimat yang memiliki predikat, Contoh : エカさん は にほんご を ならいます Eka san wa nihongo o naraimasu. nama orang part bahasa Jepang part belajar. Eka belajar bahasa Jepang. Kata naraimasu berarti belajar, yang berfungsi sebagai predikat dalam bahasa Jepang. Partikel wa/ は penanda subjek, dan partikel o/ を penanda objek. Pola dan struktur kalimat bahasa Jepang berdasarkan jenis kata yang dijadikan predikat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat verbal, baik transitif maupun intrasitif, kalimat adjektiva, dan kalimat nominal. Contoh pola kalimat bahasa Jepang sebagai berikut 1) Pola kalimat verbal intransitif (SP) Contoh : あめ が ふる Ame ga furu hujan part air turun Hujan turun. Kata furu adalah kata kerja intrasitif. Partikel ga / が penanda subjek. 2) Pola kalimat verbal transitif (SOP) Contoh : ちち は しんぶん を よみます Chichi wa shinbun o yomimasu bapak part surat kabar part membaca Bapak membaca surat kabar. Kata yomimasu berkonjugasi dari bentuk kamus yomu, yang berarti membaca dan berfungsi sebagai predikat kata kerja transitif. 3) Pola kalimat adjektiva Contoh keiyoushi : この みかん は あまい です Kono mikan wa amai desu ini jeruk part manis kopula Jeruk ini manis.

32 32 Kata amai berarti manis adalah kata sifat keiyoushi, sering pula disebut kata sifat berakhiran i, dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa / は penanda subjek. Contoh keiyoudoshi : バリ は きれい です Bali wa kirei desu daerah part indah kopula Pulau Bali indah. Kata kirei berarti indah adalah termasuk kata sifat keiyoudoshi, sering pula disebut kata sifat berakhiran na/da, dan berfungsi sebagai predikat. 4) Pola kalimat nomina Contoh : ワヤンさん は だいがくせい です Wayan san wa daigakusei desu. Nama orang part mahasiswa kopula. Wayan adalah mahasiswa. Kata daigakusei berarti mahasiswa termasuk kata benda dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa/ は penanda subjek. Berdasarkan maknanya kalimat dapat dibagi dua, yaitu dari segi isi dan fungsinya. Dari segi isi kalimat dapat menyatakan keadaan dan menyatakan aktivitas, seperti contoh berikut: 1) へや に テレビ が ある Heya ni terebi ga aru kamar part TV part ada Televisi ada di kamar. Makna kalimat di atas menyatakan keadaan. 2) はは は テレビ を みる Haha wa terebi o miru. Ibu part TV part menonton Ibu menonton televisi.

33 33 Makna kalimat menyatakan aktivitas. Berdasarkan fungsi, kalimat dibedakan atas kalimat perintah (meirei), kalimat menyatakan maksud (ishi), keinginan (kibou), kalimat berita (nobetate no bun) kalimat larangan (kinshi), kalimat tanya (toikake no bun) kalimat permohonan (irai), kalimat ajakan (kanyuu). Makna atau fungsi kalimat yang diteliti pada penelitian ini adalah kalimat perintah (meirei), kalimat larangan (kinshi), dan kalimat permohonan (irai) Contoh kalimat perintah (meirei): べんきょうを しなさい Benkyou o shinasai Pelajaran part melakukan Belajarlah. Contoh kalimat larangan (kinshi): さけを のまないでください Sake o nomaide kudasai Arak part jangan minum Jangan minum arak. Contoh kalimat permohonan (irai): どうぞ たべてください Douzo tabete kudasai Silakan makanlah Silahkan makan. Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besar terdiri atas (1) subjek (shugo), (2) predikat (jutsugo), (3) objek (taishougo), (4) keterangan (joukyougo), (5) modifikator (shiuushokugo), dan (6) penyambung (setuzokugo). Unsur subjek dan objek biasanya diisi oleh nomina, unsur predikat diisi oleh verbal, adjektiva, nomina ditambah kopula. Unsur keterangan mencakup keterangan tempat, waktu, alat, penyerta, dan yang lainnya.

34 34 Pada awal pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo), dosen hendaknya memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana keadaan gramatikal bahasa yang dipelajari dan bagaimana pula perbedaannya jika dibandingkan dengan gramatika bahasa lain yang lebih dahulu dipelajari. Dengan demikian, pada pengaplikasiannya mahasiswa bisa memiliki keterampilan berbahasa yang baik dan benar karena ditunjang oleh penguasaan tata bahasa yang baik dan benar pula. Bagi pembelajar, tata bahasa menjadi semacam kompas dalam pemakaian bahasa. Bagaimanapun juga, penguasaan tata bahasa tidak bisa dinomorduakan. Memang sekarang ini ada juga yang berpendapat bahwa orientasi pada latihan percakapan harus lebih diutamakan daripada orientasi tata bahasa. Seorang pengajar yang baik haruslah bisa menyeimbangkan hal tersebut. Dengan demikian pada pengaplikasiannya pelajar bisa memiliki aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang semakin seimbang dan baik karena ditunjang penguasaan tata bahasa yang baik pula. Dalam pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula, para guru/dosen tidak berarti memberikan pengetahuan tentang ilmu bahasa yang telah dikuasai kepada pelajar tahap pemula begitu saja. Pengajaran tata bahasa tidak sesederhana itu. Dalam mengajarkan tata bahasa pada tahap pemula, dosen/guru sebagai pengajar harus memberikan materi pelajaran sedikit demi sedikit, terutama pada pokok-pokok tata bahasa yang dirasa sangat penting atau diperlukan. Sehubungan dengan itu, sebelum masuk kegiatan pembelajaran, pengajar harus bisa membuat rancangan memulainya dari mana, apa yang akan diajarkan, dan bagaimana cara

35 35 mengajarkannya agar mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, guru atau dosen wajib mempersiapkan Silabus dan SAP sebelum memulai pembelajaran. Permasalahan yang sering muncul saat pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula yaitu, pada umumnya pelajar menggunakan buku pelajaran tata bahasa tingkat awal yang ditulis dengan bahasa asli mereka, tidak menggunakan bahasa Jepang. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan kemudahan dalam pemahaman tata bahasa. Walaupun mereka bisa memahami uraian dalam buku pelajaran tersebut, ada kalanya masih sering menghadapi kesulitan untuk benarbenar dapat menguasai persoalan tata bahasa termasuk juga pemahaman terhadap pengertian fungsi tiap-tiap kata yang dilihat dari segi ketatabahasaan. Pemahaman tata bahasa tidaklah hanya terbatas untuk pemenuhan pencapaian keterampilan memahami bacaan, tetapi juga harus mencakup kemampuan aktivitas berbahasa yang lain, seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pengajaran tata bahasa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan uraian-uraian tentang bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Selain hal di atas, ada pula masalah yang muncul, yaitu tuntutan mahasiswa atas penjelasan atau pembenaran pada struktur pola tata bahasa sebuah kalimat yang salah. Memang dalam hal kesalahan ucapan, secara mudah pengajar dapat mengatasinya dengan cara langsung melakukan koreksi pembetulan. Akan tetapi, dalam hal kesalahan yang berhubungan dengan unsur tata bahasa terkadang siswa sering meminta penjelasan yang lebih lanjut atas hal yang dianggap salah oleh pengajar. Misalnya, pada kalimat 道を歩く (michi o aruku,berjalan di jalan), bila ada siswa yang mengucapkan 道に歩く (michi ni aruku atau 道で歩く (michi de

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang lebih berfokus pada guru/dosen sebagai sumber pengetahuan sehingga ceramah menjadi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN. teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini difokuskan pada pemerolehan informasi berupa teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Dalam KBBI, definisi dari tanda baca adalah tan da n 1 yang menjadi alamat

Bab 2. Landasan Teori. Dalam KBBI, definisi dari tanda baca adalah tan da n 1 yang menjadi alamat Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Tanda Baca Dalam KBBI, definisi dari tanda baca adalah tan da n 1 yang menjadi alamat atau yang menyatakan sesuatu: dari kejauhan terdengar sirene -- bahaya; 2 gejala: sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Umumnya pembelajar bahasa Jepang adalah siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tingkat perguruan tinggi. Namun saat ini siswa tingkat Sekolah Menengah

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Linguistik merupakan ilmu bahasa yang diperlukan sebagai dasar untuk meneliti suatu bahasa. Ilmu linguistik terdapat dalam semua bahasa. Bahasa merupakan media komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem informasi dan sistem komunikasi. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem informasi dan sistem komunikasi. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan sistem informasi dan sistem komunikasi. Dengan seiringnya waktu, bahasa terus mengalami perkembangan dan perubahan. Bahasa disampaikan oleh

Lebih terperinci

PROGRAM TAHUNAN. Kompetensi Dasar Materi Pokok Alokasi Waktu. Salam. Mengucapkan salam : おはようございます こんにちは こんばんは. Mengucapkan salam ketika berpisah :

PROGRAM TAHUNAN. Kompetensi Dasar Materi Pokok Alokasi Waktu. Salam. Mengucapkan salam : おはようございます こんにちは こんばんは. Mengucapkan salam ketika berpisah : LAMPIRAN PROGRAM TAHUNAN Mata Pelajaran : Bahasa Jepang Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Kelas / Program : X Tahun Pelajaran : 2008 / 2009 Semester : 1 dan 2 Kompetensi Dasar Materi Pokok Alokasi

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 PANDUAN MATERI SMA DAN MA BAHASA JEPANG PROGRAM STUDI BAHASA PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN BALITBANG DEPDIKNAS KATA PENGANTAR Dalam rangka sosialisasi kebijakan dan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO. Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO. Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PARTIKEL GURAI DAN GORO 2.1 Pengertian Partikel Menurut Drs. Sugihartono ( 2001:178 ), joshi adalah jenis kata yang tidak mengalami perubahan dan tidak bisa berdiri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu yang mempelajari bahasa disebut linguistik. Dalam bahasa Jepang linguistik disebut juga dengan gengogaku. Ada lima cabang ilmu linguistik yang dipelajari

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG JOSHI 2.1 Pengertian Joshi Joshi memiliki beberapa pengertian. Salah satu pengertian joshi dapat dilihat dari penulisannya. Istilah joshi ditulis dengan dua buah huruf kanji.

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2006/2007

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2006/2007 UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2006/2007 PANDUAN MATERI SMA DAN MA BAHASA JEPANG PROGRAM STUDI BAHASA PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN BALITBANG DEPDIKNAS KATA PENGANTAR Dalam rangka sosialisasi kebijakan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dedi Sutedi, bahasa adalah alat pengungkap pikiran maupun perasaan. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. Dedi Sutedi, bahasa adalah alat pengungkap pikiran maupun perasaan. Melalui 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari bahasa karena bahasa merupakan alat penghubung atau alat untuk berkomunikasi

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat. Contoh : 歩く 倒れる 話す.

Bab 2. Landasan Teori. perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat. Contoh : 歩く 倒れる 話す. Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Hinshi Masuoka dan Takubo (1992:8) membagi hinshi 品詞 atau kelas kata ke dalam beberapa jenis, yaitu : 1. Doushi 動詞 (verba), yaitu salah satu jenis kelas kata yang dapat mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kesalahan dalam berbahasa lumrah terjadi dalam proses belajar bahasa, karena dengan adanya kesalahan pembelajar berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual manusia

BAB I PENDAHULUAN. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mempelajari bahasa kedua terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Sejak zaman dahulu kala, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi

Bab 1. Pendahuluan. Sejak zaman dahulu kala, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sejak zaman dahulu kala, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi kepada sesamanya, baik itu lisan maupun tulisan. Menurut Parera (1997:27), bahasa ialah

Lebih terperinci

3. Dimasa mendatang, saya bermaksud menjadi pelukis terkenal. ~ つもりです. 4. Sekarang, pertandingan baseball dapat ditonton di televisi.

3. Dimasa mendatang, saya bermaksud menjadi pelukis terkenal. ~ つもりです. 4. Sekarang, pertandingan baseball dapat ditonton di televisi. Lampiran 1 Soal Pre Test Terjemahkan kedalam bahasa jepang! 1. Anda boleh mengambil foto. ~てもいいです 2. Mandi ofuro Sambil bernyanyi. ~ ながら 3. Dimasa mendatang, saya bermaksud menjadi pelukis terkenal. ~

Lebih terperinci

BAB II SOFTWERE JLOOK UP. Softwere kamus Jlook up adalah softwere kamus Jepang yang cukup

BAB II SOFTWERE JLOOK UP. Softwere kamus Jlook up adalah softwere kamus Jepang yang cukup BAB II SOFTWERE JLOOK UP 2.1 SOFTWERE KAMUS JLOOK UP Softwere kamus Jlook up adalah softwere kamus Jepang yang cukup handal, karena di samping dapat mengartikan bahasa Jepang ke Inggris dan begitu juga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan, filologi,

BAB 1 PENDAHULUAN. dipelajari sebagai ilmu dasar bagi ilmu-ilmu lain seperti kesusastraan, filologi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Linguistik dipelajari dengan pelbagai maksud dan tujuan. Untuk sebagian orang, ilmu itu dipelajari demi ilmu itu sendiri; untuk sebagian yang lain, linguistik

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN PERCAKAPAN BAGI PENGAJAR BAHASA JEPANG

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN PERCAKAPAN BAGI PENGAJAR BAHASA JEPANG UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN PERCAKAPAN BAGI PENGAJAR BAHASA JEPANG Sugihartono, Drs. M.A. Work Shop Pendidikan Bahasa Jepang FPS UPI 2009 FAKTOR KEMAMPUAN BERCAKAP-CAKAP Faktor kemampuan memahami melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara lisan maupun tertulis. Dalam komunikasi secara lisan, makna yang

BAB I PENDAHULUAN. secara lisan maupun tertulis. Dalam komunikasi secara lisan, makna yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi makhluk hidup di seluruh dunia. Fungsi bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu pesan kepada seseorang baik secara lisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada pengajaran bahasa asing diperlukan satu strategi tepat yang dapat membuat pembelajar mudah memahami hal yang sedang dipelajarinya. Penggunaan bahasa asing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal ini disebabkan karena keunikan dari bahasa-bahasa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. hal ini disebabkan karena keunikan dari bahasa-bahasa tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa-bahasa di dunia sangat banyak, dan para penuturnya juga terdiri dari berbagai suku bangsa atau etnis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu setiap bahasa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian adalah tatacara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. (method =

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian adalah tatacara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. (method = BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tatacara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. (method = tatacara). Eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu eksperimen

Lebih terperinci

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran NAMA SEKOLAH : SMA NEGERI 1 KRIAN MATA PELAJARAN : BAHASA JEPANG MATERI POKOK : SALAM, UNGKAPAN dan HURUF KELAS / SEMESTER : X / I ALOKASI WAKTU : 6 Jam Pelajaran ( 6 x

Lebih terperinci

TEMA 5 JADWAL PELAJARAN じかんわり

TEMA 5 JADWAL PELAJARAN じかんわり TEMA 5 JADWAL PELAJARAN じかんわり Standar Kompetensi Mengungkapkan informasi secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog sederhana tentang Kehidupan Sekolah. Kompetensi Dasar - Mengidentifikasikan waktu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengertian bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) adalah sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengertian bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) adalah sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengertian bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenangwenang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa mempunyai kaidah-kaidah ataupun aturan-aturan masing-masing yang baik dan

BAB I PENDAHULUAN. bahasa mempunyai kaidah-kaidah ataupun aturan-aturan masing-masing yang baik dan BAB I PENDAHULUAN.1 Latar Belakang Masalah Robert Sibarani (1997: 65) mengemukakan, bahwa bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat komunikasi. Setiap

Lebih terperinci

Dewa Putu Adnyana STIBA Saraswati Denpasar

Dewa Putu Adnyana STIBA Saraswati Denpasar METODE KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) DALAM PEMBELAJARAN TATA BAHASA JEPANG DASAR (SHOKYOU BUNPO) BAGI MAHASISWA SEMESTER II SASTRA JEPANG SEKOLAH TINGGI BAHASA ASING SARASWATI DENPASAR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Partikel dalam bahasa Jepang disebut joshi. Joshi adalah kelas kata yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Partikel dalam bahasa Jepang disebut joshi. Joshi adalah kelas kata yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Partikel dalam bahasa Jepang disebut joshi. Joshi adalah kelas kata yang termasuk fuzokugo (kelas kata yang tidak dapat berdiri sendiri) dipakai setelah suatu kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8)

BAB I PENDAHULUAN. alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu. serta latar belakang suatu bangsa (Simatupang, 1999 : 8) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam masyarakat sebagai alat komunikasi. Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan

Lebih terperinci

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran SILABUS Seklah : SMPN 2 CIAMIS Kelas : IX (Sembilan) Mata Pelajaran : Bahasa Jepang Semester : 1 ( Satu ) Standar : Mendengarkan 1. Memahami lisan berbentuk paparan atau dialg hbi dan wisata 1.1 Mengidentifikasi

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial, di mana bahasa merupakan alat

BAB 1. Pendahuluan. Manusia merupakan makhluk sosial, di mana bahasa merupakan alat BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial, di mana bahasa merupakan alat pengantar untuk berhubungan ataupun berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Bahasa adalah sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar, 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar, mengingat kemampuan memahami dari peserta didik di Indonesia hanya berada ditingkat kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, mempelajari bahasa bertujuan untuk memperoleh empat keterampilan berbahasa (language competence) yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya era globalisasi jumlah orang asing yang datang ke

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berkembangnya era globalisasi jumlah orang asing yang datang ke - 1 - BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring berkembangnya era globalisasi jumlah orang asing yang datang ke Indonesia pun bertambah dengan berbagai macam tujuan, seperti bisnis, rekreasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Jepang merupakan bahasa yang banyak dipelajari di Indonesia. Bahasa Jepang banyak diminati, karena memiliki keunikan tersendiri. Sama seperti bahasa lainnya,

Lebih terperinci

1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : Bahasa Jepang b. Semester : 1 c. Kompetensi Dasar : 3.3 dan 4.3

1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : Bahasa Jepang b. Semester : 1 c. Kompetensi Dasar : 3.3 dan 4.3 Ima nanji desuka? 1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : Bahasa Jepang b. Semester : 1 c. Kompetensi Dasar : 3.3 dan 4.3 3.3 Menentukan informasi berkenaan dengan memberi dan meminta informasi terkait tanggal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (tidak tetap) yang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (tidak tetap) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer (tidak tetap) yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE

SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE A. Identitas Mata Kuliah Mata Kuliah/Kode : Pengantar Bahasa Kode : MR 102 Bobot : 2 SKS Semester : 2 Jenjang : S-1 Dosen/Asisten : Drs. Mulyana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial memegang peranan yang sangat penting. Komunikasi yang baik perlu mempertimbangkan sikap

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. responden, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: mitra tutur, ungkapan yang digunakan responden disesuaikan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. responden, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: mitra tutur, ungkapan yang digunakan responden disesuaikan dengan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Dari analisa data yang diperoleh dari kuisoner yang diberikan kepada responden, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam mengungkapkan penolakan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap bahasa mempunyai keunikannya masing-masing. Baik dari segi penulisan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap bahasa mempunyai keunikannya masing-masing. Baik dari segi penulisan, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Manusia membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan seharihari. Bahasa yang digunakan bisa beragam sesuai bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu keunikan bahasa Jepang adalah penggunaan partikel sebagai pemarkah yang

BAB I PENDAHULUAN. satu keunikan bahasa Jepang adalah penggunaan partikel sebagai pemarkah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam setiap ragam bahasa, baik dalam bahasa Indonesia, Inggris, maupun dalam bahasa Jepang, memiliki kaidah atau aturan dan beberapa keunikan, salah satu keunikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sebuah sistem dari simbol vokal yang arbiter yang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sebuah sistem dari simbol vokal yang arbiter yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa adalah sebuah sistem dari simbol vokal yang arbiter yang memungkinkan semua orang dari satu kelompok sosial tertentu atau orang lain yang sudah mempelajari kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa pertamanya untuk tujuan tertentu. Salah satu bahasa asing yang

BAB I PENDAHULUAN. bahasa pertamanya untuk tujuan tertentu. Salah satu bahasa asing yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Banyak orang mempelajari bahasa asing selain bahasa ibu atau bahasa pertamanya untuk tujuan tertentu. Salah satu bahasa asing yang dipelajari adalah bahasa Jepang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerjemahan merupakan upaya untuk mengganti teks bahasa sumber ke dalam teks yang sepadan dengan bahasa sasaran. Munday (2001) mendefinisikan penerjemahan as changing

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasi Eksperiment.

BAB III PROSES PENELITIAN. Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasi Eksperiment. BAB III PROSES PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian Quasi Eksperiment. Menurut Arikunto yang dimaksud penelitian pre eksperimen atau kuasi eksperimen adalah

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi. 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan segala usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana dan bertujuan mengubah tingkah laku manusia kearah yang lebih baik dan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyampaikan informasi yang ingin disampaikan kepada orang. salah satunya adalah mempelajari bahasa Asing.

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyampaikan informasi yang ingin disampaikan kepada orang. salah satunya adalah mempelajari bahasa Asing. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia, bahasa mempunyai fungsi sebagai alat untuk berkomunikasi (Chaer, 2003: 31). Dengan adanya bahasa kita dapat menyampaikan informasi

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Bahasa di dalam wacana linguistik diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi

BAB 1. Pendahuluan. Bahasa di dalam wacana linguistik diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bahasa di dalam wacana linguistik diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui bahasa, seseorang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan atau apa yang

BAB I PENDAHULUAN. Melalui bahasa, seseorang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan atau apa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran maupun perasaan (Sutedi: 2003:2). Melalui bahasa, seseorang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan atau apa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian 3.1.1 Metode Dalam kegiatan penelitian metode dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang harus ditempuh untuk menjawab masalah penelitian (Sutedi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serius, karena terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa. ibu pembelajar yang didasari oleh berbagai hal.

BAB I PENDAHULUAN. serius, karena terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa. ibu pembelajar yang didasari oleh berbagai hal. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mempelajari Bahasa Asing memerlukan usaha yang cukup serius, karena terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa ibu pembelajar yang didasari oleh berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan kembali kepada orang-orang lain sebagai bahan komunikasi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menyadari betapa pentingnya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Dengan adanya bahasa sebagai alat komunikasi, maka yang berada di sekitar manusia

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini, penulis akan menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini, penulis akan menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil 50 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis akan menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil belajar mengajar menggunakan permainan menemukan gambar sebagai upaya untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 54 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Penelitian Pada BAB ini pertama penulis akan menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penerapan media story pictures dalam pembelajaran membaca

Lebih terperinci

PENERAPAN STUDENT CENTERED LEARNING PADA MATA KULIAH DOKKAI SEMESTER 5 Riri Hendriati Fakultas Sastra / Jurusan Sastra Jepang.

PENERAPAN STUDENT CENTERED LEARNING PADA MATA KULIAH DOKKAI SEMESTER 5 Riri Hendriati Fakultas Sastra / Jurusan Sastra Jepang. PENERAPAN STUDENT CENTERED LEARNING PADA MATA KULIAH DOKKAI SEMESTER 5 Riri Hendriati Fakultas Sastra / Jurusan Sastra Jepang Abstrak Fokus penelitian ini adalah penerapan metode pembelajaran yang berpusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan sejalan dengan kemampuan yang dimiliki peserta didik. dapat dimengerti dan dipahami oleh siswa dengan baik.

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan sejalan dengan kemampuan yang dimiliki peserta didik. dapat dimengerti dan dipahami oleh siswa dengan baik. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis, karena langsung berhadapan dengan para peserta didik untuk mentransfer

Lebih terperinci

SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN)

SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN) SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN) Satuan Pendidikan : SMA Kelas : XI Kompetensi Inti : KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya KI 2 : Menghayati dan mengamalkan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMAKAIAN PARTIKEL ~NI DAN ~DE DALAM BAHASA JEPANG (Studi kasus pada Mahasiswa Semester III)

ANALISIS PEMAKAIAN PARTIKEL ~NI DAN ~DE DALAM BAHASA JEPANG (Studi kasus pada Mahasiswa Semester III) ANALISIS PEMAKAIAN PARTIKEL ~NI DAN ~DE DALAM BAHASA JEPANG (Studi kasus pada Mahasiswa Semester III) Hargo Saptaji, Hani Wahyuningtias, Julia Pane, ABSTRAK Dalam Bahasa Jepang, partikel (joshi) sangat

Lebih terperinci

SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE

SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE SILABUS MATA KULIAH PROGRAM STUDI MANAJEMEN RESORT & LEISURE A. Identitas Mata Kuliah Mata Kuliah/Kode : Parawisata Lanjutan Kode : MR 302 Bobot : 2 SKS Semester : 4 Jenjang : S-1 Dosen/Asisten : Drs.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelas kata dalam bahasa Jepang (hinshi bunrui) diklasifikasikan ke dalam 10

BAB I PENDAHULUAN. Kelas kata dalam bahasa Jepang (hinshi bunrui) diklasifikasikan ke dalam 10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN 1.1.1 LATAR BELAKANG Kelas kata dalam bahasa Jepang (hinshi bunrui) diklasifikasikan ke dalam 10 bagian yaitu doushi (verba), i-keiyoushi (adjektiva),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada

I. PENDAHULUAN. Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Atria Ramadhanty Irawan, 2014 Pengaruh evaluasi formatif pop test terhadap penguasaan huruf hiragana

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Atria Ramadhanty Irawan, 2014 Pengaruh evaluasi formatif pop test terhadap penguasaan huruf hiragana BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembelajaran Bahasa Jepang saat ini telah berkembang pesat di Indonesia, khususnya pada tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Dalam pembelajaran bahasa Jepang di SMA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini, dunia pendidikan tengah mengalami pergeseran paradigma yang sangat cepat dan bersifat global. Hal ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 話すということは人と人の間で意思を伝えるあう いわゆるコミュニケーションであり その形には 1 人たい 1 人 1 人対多数 多数対 1 人などがある (Ogawa, 1984, hlm. 636)

BAB I PENDAHULUAN. 話すということは人と人の間で意思を伝えるあう いわゆるコミュニケーションであり その形には 1 人たい 1 人 1 人対多数 多数対 1 人などがある (Ogawa, 1984, hlm. 636) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode adalah suatu cara teratur yang digunakan untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode adalah suatu cara teratur yang digunakan untuk BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode adalah suatu cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai hasil yang baik seperti yang dikehendaki (Kamus Umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, jenis kalimat berdasarkan pada jumlah klausanya, terdiri dari dua macam. Sesuai dengan yang disebutkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam suatu bahasa terdapat bermacam macam jenis kata, di antaranya,

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam suatu bahasa terdapat bermacam macam jenis kata, di antaranya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam suatu bahasa terdapat bermacam macam jenis kata, di antaranya, yaitu adverbia atau yang disebut dengan kata keterangan. Menurut Dr. Gorys Keraf (1984;71-72),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui budaya di berbagai negara, dan lain sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. mengetahui budaya di berbagai negara, dan lain sebagainya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Dengan adanya bahasa, kita bisa bertukar pikiran, berbagi informasi, bisa mengetahui budaya

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam

Bab 1. Pendahuluan. semua ahli yang bergerak dalam bidang pengetahuan yang lain semakin memperdalam Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Belakangan ini makin dirasakan betapa pentingnya fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Kenyataan yang dihadapi dewasa ini adalah bahwa selain ahli-ahli bahasa, semua

Lebih terperinci

Peningkatan Ketuntasan Belajar Siswa Melalui Model

Peningkatan Ketuntasan Belajar Siswa Melalui Model Peningkatan Ketuntasan Belajar Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada Materi Konsentrasi Larutan dan Perhitungan Kimia Kelas X Teknik Gambar Bangunan A SMK Negeri 3 Palu Tahun Pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lengkap (Chaer, 2007:240). Menurut Widjono (2005:141) kalimat merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lengkap (Chaer, 2007:240). Menurut Widjono (2005:141) kalimat merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari untuk bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain. Tak terkecuali bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan diri (KBBI, 2001: 85). Sehingga dapat dikatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan diri (KBBI, 2001: 85). Sehingga dapat dikatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa adalah Sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial tak lepas dari interaksi berupa komunikasi antara manusia satu dan manusia lainnya. Pembelajar bahasa Jepang sebagai pelaku komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berawal dari ketertarikan penulis dengan keunikan huruf dan cara pengucapan bahasa Jepang, penulis memperdalam bahasa Jepang dengan mempelajari tata bahasanya. Dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Contextual Teaching and Learning (CTL) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Seperti yang di ungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Seperti yang di ungkapkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dalam membangun harkat dan martabat suatu bangsa. Dengan pendidikan yang bermutu, akan tercipta sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dari pada makhluk lain dimuka bumi ini. Bahasa memegang peranan penting

PENDAHULUAN. dari pada makhluk lain dimuka bumi ini. Bahasa memegang peranan penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penggunaan bahasa oleh manusia merupakan salah satu kelebihan manusia dari pada makhluk lain dimuka bumi ini. Bahasa memegang peranan penting sebagai alat komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam aspek kehidupan manusia (Sutedi, 2003:2). Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam aspek kehidupan manusia (Sutedi, 2003:2). Sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran bahasa Jepang sebagai bahasa asing pada tingkat SMA

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran bahasa Jepang sebagai bahasa asing pada tingkat SMA BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Pembelajaran bahasa Jepang sebagai bahasa asing pada tingkat SMA maupun SMK di Indonesia bertujuan untuk pembelajaran berkomunikasi dalam bahasa Jepang, pemahaman

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI. Shuujoshi Danseigo Pada Komik One Piece Volume 1 Karya Eiichiro Oda BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan digunakan sebagai acuan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial tidak dapat hidup tanpa adanya komunikasi dengan sesama. seseorang dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial tidak dapat hidup tanpa adanya komunikasi dengan sesama. seseorang dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam sebuah kehidupan bermasyarakat, saling berkomunikasi dan berinteraksi adalah hal yang selalu terjadi setiap saat. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat

Lebih terperinci

1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : BAHASA JEPANG PEMINATAN b. Semester : Genap c. KompetensiDasar : 3.5 dan 4.5

1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : BAHASA JEPANG PEMINATAN b. Semester : Genap c. KompetensiDasar : 3.5 dan 4.5 UNIT KEGIATAN BELAJAR (UKB JEP-02-05) 1. Identitas a. Nama Mata Pelajaran : BAHASA JEPANG PEMINATAN b. Semester : Genap c. KompetensiDasar : 3.5 dan 4.5 3.5menganalisisungkapanyangmenyatakankemampuan (dekirukoto)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang roda pemerintahan, guna mewujudkan cita cita bangsa yang makmur dan

BAB I PENDAHULUAN. penunjang roda pemerintahan, guna mewujudkan cita cita bangsa yang makmur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu Negara terbesar didunia yang termasuk kategori Negara berkembang yang saat ini menempatkan pendidikan sebagai fondasi dan atau penunjang

Lebih terperinci

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) : X MIA 6 (kelas Eksperimen)

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) : X MIA 6 (kelas Eksperimen) LAMPIRAN 88 89 90 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Nama Sekolah Mata Pelajaran Kelas Semester : SMAN 1 Yogyakarta : Bahasa Jepang : X MIA 6 (kelas Eksperimen) : 2 (dua) Pertemuan ke : 1 dan 2 Alokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang yang dapat berdiri sendiri dan dipakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang yang dapat berdiri sendiri dan dipakai untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Verba dalam bahasa Jepang disebut dengan 働詞 doushi. Doushi termasuk salah satu yoogen dalam kelas kata bahasa Jepang. Menurut Sudjianto (2007:149), verba merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berbahasanya. Salah satunya bahasa Jepang, Dewasa ini semakin

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berbahasanya. Salah satunya bahasa Jepang, Dewasa ini semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, perkembangan di dunia bahasa pun meningkat. Semakin banyak orang yang mempelajari dan mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bahasa Jepang terdapat banyak sekali kata-kata yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bahasa Jepang terdapat banyak sekali kata-kata yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bahasa Jepang terdapat banyak sekali kata-kata yang memiliki makna yang hampir mirip. Salah satunya terdapat pada kelas kata adverbia. Adverbia adalah kata yang

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Manusia sebagai makhluk hidup sangat memerlukan komunikasi. Menurut Trenholm

Bab 1. Pendahuluan. Manusia sebagai makhluk hidup sangat memerlukan komunikasi. Menurut Trenholm Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup sangat memerlukan komunikasi. Menurut Trenholm dan Jensen dalam Wiryanto (2004, hal.44), mengatakan bahwa komunikasi antara dua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlakunya kurikulum 2004 yang Berbasis Kompetensi yang menjadi roh bagi berlakunya Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menuntut perubahan paradigma

Lebih terperinci

SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN)

SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN) SILABUS MATA PELAJARAN:BAHASA DAN SASTRA JEPANG (PEMINATAN) Satuan Pendidikan : SMA Kelas : XII Kompetensi Inti : KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya KI 2 : Menghayati dan mengamalkan

Lebih terperinci

Pergi kemana? どこへ行きますか

Pergi kemana? どこへ行きますか Pergi kemana? どこへ行きますか i Oleh : Ahmad Hasnan www.oke.or.id doko e ikimasuka. pergi kemana, pertanyaan ini mudah dan sering digunakan dalam bepergian,dalam artikel edisi ini akan di bahas cara bertanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan baik dengan mitra tutur saat melakukan tuturan. Maka pada saat

BAB I PENDAHULUAN. hubungan baik dengan mitra tutur saat melakukan tuturan. Maka pada saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuturan merupakan realisasi budaya yang tercermin dalam berbagai bentuk ungkapan yang berfungsi sebagai pralambang sistem budaya dan sistem sosial. Pada dasarnya dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. 135 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Penggunaan kakujoshi no dan ga sebagai penanda subjek pada anak kalimat pembentuk nomina dilihat dari struktur. Berdasarkan strukturnya, kakujoshi no dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi sesuai dengan yang disepakati oleh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Pada hakikatnya, manusia

Lebih terperinci