BAB II PENGATURAN FREIGHT FORWARDER UJPT (USAHA JASA PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI) DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENGATURAN FREIGHT FORWARDER UJPT (USAHA JASA PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI) DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB II PENGATURAN FREIGHT FORWARDER UJPT (USAHA JASA PENGANGKUTAN DAN TRANSPORTASI) DI INDONESIA A. Pengertian Freight Forwarder Pengertian Jasa Freight Forwarding didefinisikan dalam PER-178/PJ/2006 (yang kemudian dicabut dengan terbitnya PER-70/PJ/2007) yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 10 Tahun 1988 tentang Jasa Pengurusan Transportasi. Berdasarkan SK Menhub tersebut, yang dimaksud dengan Jasa Freight Forwarding adalah : Usaha Berbadan Hukum Indonesia, yang ditujukan untuk mewakili kepentingan Pemilik Barang, untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut dan udara yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, klaim asuransi, atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya. Jasa Ekspedisi Angkutan Barang (Freight Forwarding Services) merupakan jasa yang berhubungan dengan penerimaan, angkutan, pengkonsolidasian, penyimpanan, penyerahan, Logistik dan atau distribusi barang beserta jasa tambahan dan jasa pemberian nasehat yang terkait dengannya, termasuk kegiatan kepabeanan dan perpajakan, kewajiban pemberitahuan tentang barang untuk keperluan instansi pemerintah, penutupan asuransi barang dan pengutipan atau pembayaran tagihan atau dokumen yang berhubungan dengan barang tersebut. 32

2 Menurut Ensiklopedi umum terbitan Yayasan Kanisius tahun 1973 menyatakan bahwa Ekspedisi (Belanda Expeditie) : Pengiriman barang-barang; Perusahaan Pengangkutan dan pengiriman barang; juga perlawatan barang; perlawatan kelompok penyelidik ke suatu daerah yang belum dikenal. Menurut undang-undang Ekspeditur adalah seorang perantara yang kerjanya mengurus pengangkutan barang (dalam bahasa Inggris disebut Forwarding Agent atau Shipping Agent). Dalam prakteknya pekerjaan ekspedisi tidak terbatas pada mengurus pengangkutan saja, selain mengambil dari dan mengantarkannya ke tempat pengangkutan, ekspeditur juga menjadi pengusaha pengangkutan transporter (ada yang memiliki alat-alat transport sendiri), bahkan ada yang menyelenggarakan pekerjaan pergudangan (memiliki gudang sendiri) dan menjadi agen-agen perusahaan asuransi. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM.10 Tahun 1988, tanggal 26 Februari 1988, tentang Jasa Pengurusan Transportasi, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 : Yang dimaksud dengan Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarder) dalam keputusan ini adalah usaha (BHI) yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan peneraimaan barang melalui transportasi darat, laut atau udara yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen

3 angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barangbarang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya. B. Pengaturan Freight Forwarder UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi) di Indonesia 1. Dalam KUHD Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Bagian ke-ii tentang Ekspedisi : Pasal 86 Ekspedisi adalah orang yang pekerjaannya menjadi tukang menyuruhkan kepada orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan lainnya, melalui daratan atau perairan. Ia diwajibkan membuat catatan-catatan dalam sebuah register harian berturut-turut tentang macam dan jumlah barang-barang dagangan dan lainnya yang harus diangkut, seperti harganya, manakala yang belakangan dianggap perlu. Pasal 87 Ia harus menanggung, bahwa pengiriman barang dagangan dan lainnya yang untuk itu diterimanya, akan mendapatkan penyelenggaraannya dengan rapid an selekaslekasnya, pula dengan mengindahkan segala upaya, yang sanggup menjamin keselamatan barang-barang yang diangkutnya.

4 Pasal 88 Iapun setelah barang-barang dagangan dan lainnya itu dikirimkannya, harus menanggung segala kerusakan atau hilangnya barang-barang itu, yang mana dapat dipersebabkan karena kesalahan atau kurang hati-hati. Pasal 89 Ia harus menanggung pula segala ekspeditur antara yang dipakainya. Pasal - 90 Surat Angkutan merupakan persetujuan antar si pengirim atau ekspeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain. Surat itu memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakan dan mengenai pergantian rugi dalam hal keterlambatan, memuat juga : 1. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun merek dan bilangannya 2. Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkannya 3. Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu 4. Jumlah upahan pengangkutan 5. Tanggal 6. Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur Surat angkutan itu, ekspeditur harus membukukannya dalam register hariannya. Pasal 517 f KUH Dagang juga mengatur tentang Freight Forwarder serta Pasal 506 ayat 1 KUH Dagang.

5 2. Di Luar KUHD Pengaturan hukum pengangkutan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang jasa pengangkutan. Istilah peraturan hukum (rule of law) dalam defenisi ini meliputi semua ketentuan: a. Undang-undang pengangkutan yaitu UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran; b. Perjanjian pengangkutan; c. Konvensi internasional tentang pengangkutan Laut The Hague Rules 1924; d. Kebiasaan dalam pengangkutan kereta api, darat, perairan, dan penerbangan. Peraturan hukum tersebut meliputi juga asas hukum, norma hukum, teori hukum, dan praktik hukum pengangkutan 46. Menurut situs GAFEKSI (Gabungan Forwarder & Ekspedisi Indonesia) atau INFA (Indonesian Forwarders Associations) Jasa Ekspedisi Angkutan Barang (Freight Forwarding Services) merupakan jasa yang berhubungan dengan penerimaan, angkutan, pengkonsolidasian, penyimpanan, penyerahan, Logistik dan atau distribusi barang beserta jasa tambahan dan jasa pemberian nasehat yang terkait dengannya, termasuk kegiatan kepabeanan dan perpajakan, kewajiban pemberitahuan tentang barang untuk keperluan instansi 46 http. Hukum Pengangkutan Laut,diakses tanggal 03 Mei 2010

6 pemerintah, penutupan asuransi barang dan pengutipan atau pembayaran tagihan atau dokumen yang berhubungan dengan barang tersebut. Secara garis besar Freight Forwarding Services meliputi: 1) Ocean freight forwarder / NVOC 2) Air freight forwarder / air cargo agent 3) Customs Agent 4) Road haulier Trucking 5) In transit warehousing / Depot Opeartors; 6) Packing / Consolidating Manfaat Freight Forwarders Liability, antara lain: 1. Care Custody and Control (Penanganan dan pengawasan) Freight Forwarders bertanggung jawab terhadap barang-barang pihak ketiga (cargo) yang berada dalam penanganan dan pengawasannya (care, custody and control) agar aman dan selamat sampai tujuan So Many Parties Mengangkut barang dari satu lokasi ke lokasi lainnya di seluruh Indonesia (domestic) maupun diseluruh belahan bumi (worldwide) melibatkan banyak sekali pihak-pihak terkait mulai dari pemilik barang, sub-kontraktor, pihak angkutan 47 http. Hukum Pengangkutan Laut,diakses tanggal 03 Mei 2010

7 darat, pihak pekerja bongkar muat, pelabuhan, pihak pelayaran, bea-cukai, dan pihak ketiga lainya. Jika terjadi klaim, siapa yang bertanggung jawab? 3. So Many Claims Klaim dapat timbul dari kontrak pengangkutan, bill of lading atau airway bill, kontrak pergudangan, maupun tanggung gugat hukum pihak ketiga lainnya yang mungkin timbul dari suatu peristiwa kecelakaan pengangkutan. 4. High Cost of Defence Terbukti bertanggung jawab ataupun tidak, jika terjadi suatu permasalahan maka dapat dipastikan bahwa biaya investigasi dan pembelaan hukum bisa sangat mahal, biaya pengacara (lawyer) dan biaya-biaya pengadilan baik tingkat pertama, banding dan kasasi bisa sangat lama dan sangat mahal. 48 Freight Forwarders Liabilty Insurance sebenarnya adalah persyaratan wajib (compulsory) bagi perusahaan untuk bisa beroperasi di bidang jasa freight forwarders, namun demikian yang terjadi di Indonesia FFL belumlah merupakan keharusan terkecuali jika mereka dipersyaratkan dalam suatu kontrak atau keagenan dengan perusahaan asing. Marine Cargo Insurance dibeli dan premi dibayar oleh pemilik barang (cargo owner) untuk menjamin kerusakan atau kerugian yang terjadi pada kargo selama dalam perjalanan (transit), jika kerusakan atau kerugian cargo terjadi akibat dan berada dalam penanganan dan pengawasan (care, custody and control) 48 Ibid

8 Freight Forwarders, maka pemilik cargo maupun cargo underwriters akan menuntut hak subrogasi kepada perusahaan Freight Forwarders. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 1365 dan 1366) Pasal 1365 KUH Perdata yang menyebutkan: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 KUHPerdata, yang menyebutkan: Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatannya, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hatihatinya. Polis Freight Forwarders Liability Insurance memberikan jaminan yang lengkap untuk segala aktivitas jasa pengangkutan barang, tidak hanya terbatas pada jaminan atas kerugian dan kerusakan cargo tetapi juga menjamin

9 consequential loss, misdelivery, delay, fines & duties, dan tentu saja jaminan terhadap third party legal liability, yang dibagi dalam 4 kelompok jaminan: 49 1) Cargo and Related Liabilities 2) Third Party Liability 3) Liability for Fines & Duty 4) Claims Expenses a.d. 1) Cargo and Related Liabilities Menjamin tanggung gugat hukum terhadap kerugian atau kerusakan cargo yang berada dalam penanganan atau pengawasan, freight forwarder sesuai dengan kontrak pengangkuan atau konvensi pengangkutan internasional; a. Kerusakan atau kerugian fisik pada cargo b. Kerusakan atau kerugian fisik pada kapal atau peralatan pihak ketiga c. Kerugian lanjutan atau biaya-biaya ekstra (direct consequential loss) sebagai akibat dari kerusakan atau kerugian a dan b d. Kesalahan pengiriman, penyerahan cargo dan keterlambatan karena kelalaian dalam menjalankan SOP, (delay, incorrect or wrongful delivery of cargo, failure or omission to follow specific instruction) e. Kontribusi biaya GA yang tidak bisa diperoleh dari klien (cargo s contribution to general average and salvage which the Insured is unable to recover form the Customers) 49 Ibid

10 a.d. 2) Third Party Liability Menjamin tanggung gugat hukum terhadap cidera badan atau kerusakan harta benda pihak ketiga akibat suatu kecelakaan dalam pengangkutan atau kegiatan freight forwarder a. Cidera badan pihak ketiga (third party bodily injury) b. Kerusakan atau kerugian harta benda pihak ketiga (loss or damage to third party property) c. Kerugian lanjutan atau biaya-biaya ekstra (direct consequential loss) yang diderita pihak ketiga sebagai akibat dari a dan b a.d. 3) Liability for Fines & Duty Menjamin tanggung gugat hukum terhadap biaya-biaya, denda akibat pelanggaran aturan kepabeanan (custom) atau regulasi yang berlaku (Unintentional breach of any law or statutory provision) sehubungan dengan: a. Export-import cargo b. Peralatan (equipment) yang digunakan untuk pengangkutan atau handling cargo c. Keimigrasian (immigration) d. K3 (safety of working conditions) 50 a.d. 4) Claims Expenses 50 Ibid

11 Menjamin biaya-biaya perkara dan pengacara dalam proses klaim dan penyelesaian klaim, biaya-biaya tsb dapat meliputi: a. biaya-biaya surveyor, lawyer, or expert b. biaya-biaya untuk memusnahkan cargo c. biaya-biaya karantina, fumigasi, disinfektan (selain untuk prosedur normal) Pengaturan Freight Forwarder juga diatur di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. C. Perjanjian Pengangkutan Antara Pemilik Barang Dengan UJPT (Usaha Jasa Pengangkutan dan Transportasi) 1. Bentuk Perjanjian Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Nomor 98 Tahun 1992) diundangkan tanggal 17 September 1992, pengangkutan perairan diselenggarakan oleh Perusahaan Pengangkutan Perairan yang menjalankan kegiatan usaha khusus di bidang pengangkutan perairan. Usaha pengangkutan perairan diselenggarakan berdasarkan izin pemerintah. Pelayaran rakyat sebagai usaha rakyat yang bersifat tradisional merupakan bagian dari usaha pengangkutan perairan, mempunyai peran penting dan karakteristik tersendiri. Pembinaan pelayanan rakyat dilaksanakan dengan tujuan agar kehidupan usaha dan peran pentingnya tetap terpelihara sebagai bagian dari tatanan pengangkutan perairan. Pengembangan pelayaran rakyat dilaksanakan untuk :

12 a. Meningkatkan kemampuan sebagai lapangan usaha dan pekerjaan. b. Terwujudnya pengembangan sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha pelayaran. Jadi, pengangkut pada pengangkutan perairan adalah Perusahaan Pengangkutan Perairan yang mendapat izin operasi dari pemerintah menggunakan kapal dengan memungut bayaran. Pengangkutan perairan dapat berupa pengangkutan sungai, danau, dan penyeberangan laut. Penyelenggaraan pengangkutan perairan dalam negeri (pengangkutan sungai, danau, dan penyeberangan laut) dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia. Akan tetapi, dalam keadaan dan dengan persyaratan tertentu, pemerintah dapat menetapkan penggunaan kapal berbendera asing untuk pengangkutan penyeberangan laut dalam negeri yang dioperasikan oleh badan hukum Indonesia. 51 Pernyelenggaraan pengangkutan laut dari dan ke luar negeri antara negara Republik Indonesia dan negara asing dilakukan berdasarkan perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara asing yang bersangkutan. Penyelenggaraan pengangkutan sungai dan danau disusun secara terpadu intra dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan tatanan pengangkutan nasional. Pengangkutan sungai dan danau diselenggarakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur yang dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur Pasal 73 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. 52 Pasal 80 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

13 Penetapan lintasan pengangkutan penyeberangan laut dilakukan dengan memerhatikan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalan kereta api yang tersusun dalam satu kesatuan tatanan pengangkutan nasional. Pengangkutan penyeberangan laut diselenggarakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur. Pemerintah juga menyelenggarakan pengangkutan perintis berupa pengangkutan perairan yang menghubungkan daerah-daerah terpencil dan belum berkembang. Daerah terpencil dan belum berkembang adalah daerah yang masih sulit dijangkau oleh sarana pengangkutan. Penyelenggaraan pengangkutan ke dan dari daerah terpencil biasanya secara komersial kurang menguntungkan sehingga penyelenggara pengangkutan pada umumnya tidak tertarik untuk melayani rute-rute demikian. Karena itu, pengangkutan ke dan dari daerah-daerah terpencil diselenggarakan oleh pemerintah dengan mengikutsertakan Perusahaan Pengangkutan Perairan, baik swasta maupun koperasi yang dapat diberi kemudahan. Perusahaan Pengangkutan Perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. Karcis penumpang dan dokumen muatan merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian pengangkutan. 53 Khusus pengangkutan menyeberang lautan (samudera) harus diselenggarakan oleh pengangkut yang berbentuk badan hukum, sedangkan pengangkutan perairan lainnya boleh diselenggarakan oleh pengangkut yang 53 Pasal 84 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

14 berbentuk badan hukum dan yang tidak berbentuk badan hukum (warga negara Indonesia). Pengangkut berbentuk badan hukum boleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), contohnya PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau PT. PELNI, boleh juga Badan Usaha Milik Swasta, misalnya Perusahaan Pelayaran Nasional PT. Baruna Shipping Line. 2. Hak dan Kewajiban Para Pihak Perusahaan pengangkutan perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. Karcis penumpang dan dokumen muatan merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka kewajiban utama pengangkut adalah mengangkut penumpang dan/atau barang serta menerbitkan dokumen pengangkutan, sebagai imbalan haknya memperoleh pembayaran biaya pengangkutan. 54 Dalam praktik perjanjian pengangkutan, biaya pengangkutan selalu diperjanjikan dibayar lebih dahulu. Dengan demikian, kewajiban pokok penumpang dan/atau pengirim barang adalah membayar biaya pengangkutan yang dibuktikan dengan dokumen pengangkutan. Sebagai imbalannya, penumpang dan/atau pengirim barang berhak atas pelayanan pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut Syahroni, Hak dan Kewajiban dalam Pengangkutan, Surat Kabar Harian Pos Kota, Edisi 13 Maret 2003, hal Ibid

15 Di samping kewajiban utama tersebut, pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib: a. Menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai saat penyerahannya. 56 b. Menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai turun dari kapal. 57 Penyelenggaraan pengangkutan laut dalam negeri dilakukan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia. Dalam keadaan dan persyaratan tertentu, pemerintah dapat menetapkan penggunaan kapal berbendera asing untuk pengangkutan laut dalam negeri yang dioperasikan oleh badan hukum Indonesia (perusahaan pengangkutan laut). Keadaan tertentu adalah belum terpenuhinya kebutuhan ruang kapal bagi pengangkutan laut dalam negeri dan jika dalam kurun waktu tertentu ruang kapal sudah terpenuhi, pengangkutan laut dalam negeri dilaksanakan oleh kapal berbendera Indonesia. Untuk mengatasi keadaan demikian, pemerintah dapat memberikan kelonggaran syarat bendera (dispensasi) penggunaan kapal asing yang dioperasikan secara nyata oleh badan hukum Indonesia (perusahaan pengangkutan laut) Pasal 468 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia 57 Pasal 522 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia. 58 Pasal 73 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

16 Untuk tindakan penyelamatan, nakhoda atau pemimpin kapal berhak menyimpang dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan yang diperlukan. Tugas nakhoda adalah membawa kapal dari tempat tolak ke tempat tujuan dengan aman dan selamat. Dalam hal dijumpai keadaan yang mungkin membahayakan keselamatan berlayar, nakhoda dapat menyimpang dari rute dan/atau garis haluan yang telah ditetapkan walaupun tindakan tersebut akan menambah biaya operasional dan lama perjalanan. Karena nakhoda bertindak atas nama pengangkut, maka semua biaya yang timbul dan tindakan penyelamatan tersebut menjadi beban tanggung jawab pengangkut. 59 Mengenai pembatalan pemberangkatan kapal, tidak ada pengaturan yang tegas dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia. Namun, pada dokumen pengangkutan dapat dicantumkan kewajiban pengangkut untuk mengembalikan biaya pengangkutan yang sudah dibayar lunas lebih dahulu. Untuk memperoleh pengembalian biaya pengangkutan dari pengangkut, penumpang dan/atau pengirim barang wajib menyerahkan dokumen pengangkutan kepada pengangkut. Penyerahan dokumen itu penting karena berfungsi sebagai bukti bahwa penumpang atau pengirim barang sudah melunasi biaya pengangkutan lebih dahulu. Karena pembatalan pemberangkatan oleh pengangkut, wajarlah jika pengembalian biaya pengangkutan itu disertai dengan penyerahan dokumen sebagai bukti kepada pengangkut. 59 Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

17 Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam pengangkutan perairan. 60 Pelayaran khusus itu dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan pengangkutan dengan baik. Pelayanan khusus tersebut dapat berupa penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda, atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur. Yang dimaksud dengan cacat dalam ketentuan ini, misalnya, penumpag yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, dan tunanetra. tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktik perjanjian pengangkutan penumpang dengan kapal laut niaga dijumpai beberapa ketentuan yang ditentukan oleh pengangkut secara baku. Penumpang yang ingin menggunakan jasa pengangkutan laut hanya menyetujui ketentuan-ketentuan tersebut (take it or leave it). Karena perjanjian pengangkutan umumnya terjadi secara lisan dan dibuktikan dengan karcis penumpang, maka beberapa ketentuan tersebut tertulis pada karcis penumpang. Pengangkutan penumpang diselenggarakan oleh beberapa perusahaan pengangkutan laut niaga, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Swasta 60 Pasal 83 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

18 (BUMS). ketentuan-ketentuan yang tertulis pada karcis penumpng juga bervariasi, tetapi pada pokoknya berisi kewajiban dan hak yang sama. 61 Berikut ini dikemukakan beberapa ketentuan yang tertulis pada dokumen pengangkutan (karcis penumpang) yang dikeluarkan oleh perusahaan pengangkutan laut niaga yang diobservasi: a. Karcis penumpang dikeluarkan untuk dan atas nama serta hanya dapat digunakan oleh penumpang yang namanya tertera pada karcis dan nama kapal yang tercantum pada karcis. b. Apabila karena kerusakan kapal keberangkatannya terpaksa ditunda atau keberangkatan kapal dimajukan oleh pengangkut lebih dari 24 jam lamanya, karcis penumpang dapat dikembalikan/ditukar dengan nilai uang yang sama dengan harga karcis yang bersangkutan. c. Pengembalian karcis karena pembatalan pengangkutan oleh penumpang sebelum kapal berangkat dikenakan potongan 10% dari harga karcis. d. Pengembalian karcis karena pembatalan pengangkutan oleh penumpang sesudah kapal berangkat dikenakan potongan 25% dari harga karcis. e. Pengembalian karcis karena pembatalan pengangkutan oleh penumpang sesudah 15 jam kapal berangkat dianggap karcis sudah dipergunakan dan tidak diberikan pengembalian harga karcis. 61 Syahroni, op cit.

19 f. Setiap pemutusan perjalanan oleh pemegang karcis tanpa memandang alasan apapun, tidak dapat diberikan pembayaran ganti kerugian atau restitusi karcis. g. Karcis penumpang hanya berlaku untuk satu kali perjalanan seperti yang telah ditetapkan dalam karcis penumpang. h. Penumpang yang namanya tertera pada karcis penumpang diasuransikan pada PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero) i. Barang bagasi (personal effects) lebih dari 0.5 m 3 atau 50 kg untuk kelas VIP dan kelas ekonomi, kelebihannya dikenakan biaya pengangkutan sesuai dengan tarif yang berlaku. Ada juga perusahaan pengangkutan laut niaga yang menetapkan ketentuan pembatalan pengangkutan oleh penumpang sebelum dan sesudah kapal berangkat, dikenakan potongan 50% dari harga karcis penumpang. Menurut ketentuan Undang-Undang Penerbangan Indonesia, perusahaan pengangkutan udara wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian pengangkutan. Tiket penumpang atau tiket bagasi merupakan tanda bukti telah disepakati perjanjian pengangkutan dan pembayaan biaya pengangkutan. 62 Perjanjian pengangkutan yang sudah terjadi itu dibuktikan dengan tiket penumpang atau tiket bagasi. sebagai surat bukti, pada tiket tersebut tertera tanggal pengeluarannya dan tanda tangan pengangkut atau orang yang mewakilinya. Perjanjian sudah terjadi dan mengikat sejak tanggal pengeluarannya 62 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.

20 itu. Sejak tanggal tersebut, pengirim atau penumpang wajib membayar biaya pengangkutan dan pengangkut wajib melaksanakan pengangkutannya. Staatsblad Nomor 100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara Indonesia memuat ketentuan yang mengatur saat terjadi perjanjian pengangkutan udara, baik barang maupun penumpang. surat muatan udara asli (original airway bill) dibuat oleh pengirim dalam rangkap tiga dan diserahkan bersama dengan barang. Pengangkut harus menandatangani surat muatan udara segera setelah barang diterimanya. Tanda tangan pengangkut dapat diganti dengan cap, sedangkan tanda tangan pengirim dapat dicetak atau diganti dengan cap. 63 Dalam praktiknya, ketika pengirim menyerahkan barang untuk diangkut, surat muatan udara (airway bill) disertakan dengan barang tersebut, isi surat muatan ini diteliti oleh pengangkut, kemudian baru diparaf dan diberi stempel pengangkut bahwa dia telah menerima barang untuk diangkut dan setuju melaksanakan pengangkutan. Karena itu, sejak pengangkut memberi paraf dan stempel, terjadilah perjanjian pengangkutan udara dan mengikat pihak-pihak. Memberi paraf dan stempel diinterpretasikan sama dengan menandatangani. 64 Dalam prakteknya, tidak pernah ada pengiriman barang tanpa surat muatan udara (airway bill). Surat muatan udara adalah dokumen resmi untuk membuktikan bahwa beban tanggung jawab pengangkut tunduk pada Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Indonesia dan hak pengangkut untuk meminta surat 63 Pasal 8 Staatsblad Nomor 100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara 64 Pasal 5 Staasblad Nomor 100 Tahun 1939 tentang Ordonansi Pengangkutan Udara.

21 muatan udara serta kewajiban pengirim untuk membuat surat muatan udara. Ternyata, ketentuan mengenai dokumen pengangkutan udara merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Pengangkut udara harus memberikan kepada penumpang suatu tiket penumpang. tiket ini merupakan syarat yang harus dipenuhi dan ini membuktikan bahwa pemegang sudah membayar lunas biaya pengangkutan udara. Seorang penumpang tidak mungkin memiliki tiket penumpang tanpa membayar biaya pengangkutan terlebih dahulu. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan udara sudah terjadi dan mengikat sejak tanggal yang tertera dalam tiket itu. Pengangkut udara wajib melaksanakan pengangkutannya. 3. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pengangkutan 65 Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa: a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; b. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; dan d. Kerugian pihak ketiga. 65 Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

22 Tanggung jawab yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah kematian atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk dalam pengertan lukanya penumpang adalah cacat fisik dan/atau cacat mental. Demikian juga tanggung jawab atas musnah, hilang atau rusaknya barang yang dianngkut dipenuhi sesuai dengan ketentuan perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 66 Tanggung jawab akibat keterlambatan meliputi, antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan pengangkutan perairan kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi kelambatan pemberangkatan karena kelalaian perusahaan pengangkutan yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu dipertimbangkan agar jangan sampai menghambat pengembangan perusahaan pengangkutan perairan yang masih tergolong usaha ekonomi lemah. Tanggung jawab terhadap kerugian pihak ketiga dalam pasal di atas adalah tanggung jawab terhadap orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat pengoperasian kapal hal 9 66 M. Yahya, Tanggung Jawab Pengangkutan, Surat Kabar Harian Orbit, Edisi 617, 29 Oktober

23 Namun, pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila dia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya barang yang diangkut itu karena: a. Peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi; b. Sifat, keadaan, atau cacat barang itu sendiri; atau c. Kesalahan/kelalaian pengirim sendiri. 67 Pengangkut bertanggung jawab terhadap segala perbuatan mereka yang dipekerjakan untuk kepentingan pengangkutan dan terhadap segala alat yang digunakan pada pengangkutan. 68 Namun, pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap pencurian dan kehilangan emas, perak, permata, dan barang berharga lainnya; uang dan surat berharga; serta terhadap kerusakan barang berharga yang mudah rusak apabila sifat dan harga barang-barang tersebut diberitahukan kepada pengangkut sebelum atau pada saat penerimaan. 69 Dalam penyelenggaraan pengangkutan perairan, pengangkut mendelegasikan wewenangnya kepada nakhoda. 70 Nakhoda merupakan pemimpin di atas kapal yang memiliki wewenang penegakan hukum dan bertanggung jawab atas keselamatan; keamanan; dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan yang menjadi kewajibannya. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh nakhoda dalam hal ini bersifat sementara dan terbatas dalam arti selama kapal berlayar dan 67 Pasal 468 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia. 68 Pasal 468 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia. 69 Pasal 469 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia. 70 Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.

24 terhadap tindakan-tindakan yang akan mengganggu keselamatan, keamanan dan ketertiban di atas kapal. Kewenangan penegakan hukum tersebut, antara lain, berupa tindakan memasukkan orang ke dalam sel. Pengertian pelayar meliputi semua orang yang ada di atas kapal, kecuali nakhoda. Incoterms 2000 dan ICC Incoterms tak lain adalah singkatan dari International Commercial Terminologies (terms). Sesuai dengan namanya, Incoterms adalah terminologi-terminologi baku mengenai pengiriman barang 71 yang paling sering digunakan oleh para pelaku perdagangan internasional dalam kontrak mereka. Incoterms sendiri memang lahir dari kebiasaan praktek para praktisi perdagangan internasional selama berabad-abad. Dari kebiasaan inilah kemudian International Chamber of Commerce (ICC) menarik sari pati, membakukan, dan akhirnya menerbitkannya menjadi Incoterms. Dalam sejarahnya, ICC telah merevisi Incoterms sebanyak enam kali sejak pertama kali diterbitkan pada tahun Revisi terakhir, yaitu Incoterms 2000, mulai berlaku sejak 1 Januari Oleh karena adanya beberapa revisi tersebut serta mengingat dimungkinkannya penggunaan Incoterms versi terdahulu 73, maka penyebutan 71 Incoterms hanya berlaku pada kontrak perdagangan internasional yang berobyekkan barang tangible. Barang-barang intangible seperti software komputer tidak bisa menggunakan Incoterms kecuali software tersebut dikemas dalam bentuk tangible, seperti CD. 72 Dikutip dari, diakses pada 23 Maret Incoterms 2000 mulai berlaku sejak 1 Januari 2000, namun Incoterms versi terdahulu masih bisa dipakai. Akan tetapi, pemakaian Incoterms versi terdahulu ini sama sekali tidak disarankan karena tujuan utama dari revisi Incoterms adalah untuk menyesuaikan Incoterms dengan perkembangan

25 Incoterms dalam suatu kontrak harus disertai dengan versi revisinya, misalnya Incoterms Incoterms adalah trademark milik ICC. 75 Organisasi ini sangat keras melindungi trademark-nya karena sejalan dengan tujuan utama Incoterms itu sendiri, yaitu untuk menghindari, mengurangi atau bahkan meniadakan terjadinya ambiguitas atau perbedaan interpretasi ketika terminologi tersebut dipakai di dalam kontrak. Pada saat memakai Incoterms di dalam suatu kontrak perdagangan internasional, maka para pihak harus mengacu pada teks original Incoterms yang telah disediakan oleh ICC demi terwujudnya tujuan tersebut. Kategorisasi dalam Incoterms 2000 Incoterms 2000 terdiri dari 13 terminologi yang bisa dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu: 1. E -term 76 EXW adalah satu-satunya terminologi dalam kategori ini. Dalam hal ini penjual hanya bertanggungjawab untuk menyediakan barang yang dijualnya kepada pembeli di tempat si penjual. 2. F -terms 77 Yang masuk dalam kategori ini adalah FOB, FAS, dan FCA. Inti dari kategori ini adalah bahwa penjual diminta untuk mengirimkan barang ke pengangkut yang ditunjuk oleh pembeli. praktek perdagangan internasional. Jika yang dipakai adalah Incoterms versi terdahulu, bisa jadi versi tersebut sudah tidak up to date lagi dengan perkembangan praktek. 74 Dikutip dari, diakses pada 23 Maret Ibid. 76 Dikutip dari, diakses pada 23 Maret 77 Ibid.

26 3. C -terms 78 CFR, CPT, CIP, dan CIF masuk dalam kategori ini. Pada kategori ini si penjual adalah pihak yang harus terlibat dalam kontrak pengangkutan dengan perusahaan angkutan. Akan tetapi segala resiko atau kerugian akibat kerusakan atau kehilangan terhadap barang atau semua biaya tambahan yang muncul akibat peristiwa-peristiwa yang timbul setelah barang dikapalkan atau diserahkan kepada pengangkut beralih dari penjual kepada pembeli. 4. D -terms 79 DAF, DEQ, DDU, DDP, dan DES adalah terminologi-terminologi yang masuk dalam kategori ini. Pada pokoknya, kelompok ini mempersyaratkan kepada penjual untuk menanggung segala biaya dan resiko untuk membawa barang yang dijualnya kepada pembeli ke tempat tujuan. Terminologi Berikut ini adalah sekilas mengenai hak dan kewajiban para pihak yang diterangkan dalam masing-masing terminologi. Untuk pemakaian di dalam suatu kontrak perdagangan internasional, para pihak harus menjadikan teks original Incoterms 2000 yang telah dipublikasi ICC secara resmi sebagai satusatunya referensi agar tujuan terciptanya mono interpretasi dapat tercapai. 80 a. EXW (sebutkan nama tempat) 81 Ex works artinya penjual hanya menyediakan barang untuk diambil oleh si pembeli di tempat si penjual itu sendiri atau tempat lain seperti gudang, workshop, galeri, showroom, dan lainlain. Penjual tidak bertanggung jawab atas pemindahan (pemuatan) barang ke 78 Ibid. 79 Ibid. 80 Teks original Incoterms 2000 telah diterjemahkan oleh ICC ke dalam 31 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia demi memudahkan para pengguna Incoterms 2000.

27 alat transportasi apapun yang mengambil barang tersebut dari tempatnya, termasuk juga segala prosedur ekspor. Pendek kata, segala biaya dan resiko terhadap kerusakan dan kehilangan barang beralih dari penjual ke pembeli pada saat itu juga. Namun apabila dikehendaki agar si penjual melakukan pemuatan barang ke suatu alat transportasi, maka hal ini harus disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Jika si pembeli tidak bisa melakukan pengurusan prosedur ekspor baik secara langsung maupun tidak langsung, maka sebaiknya terminologi ini tidak dipakai. Jika hal demikian terjadi, maka sebaiknya terminologi yang dipakai adalah FCA yang membebankan pengurusan ekspor ke tangan penjual. EXW membebankan kewajiban yang paling sedikit kepada penjual. Kebalikannya, pembeli dibebani dengan kewajiban yang paling banyak. Terminologi ini berlaku bagi segala jenis alat transportasi. b. FCA (sebutkan nama tempat) 82 Free Carrier maksudnya adalah penjual bertanggung jawab untuk mengirimkan barang ke pengangkut yang ditunjuk oleh pembeli ke tempat yang telah disetujui. Jika tempat pengiriman ini adalah tempat si penjual itu sendiri, maka si penjual bertanggungjawab sampai barang tersebut dimuat dimuat dalam alat transportasi milik pengangkut yang mengambil barang tersebut dari tempat si penjual. Namun bila tempat 81 Dikutip dari, diakses pada 23 Maret Dikutip dari, diakses pada 23 Maret 2010.

28 pengiriman bukan merupakan tempat si penjual, maka penjual tidak bertanggungjawab untuk menurunkan barang tersebut dari alat transportasi yang mengantarkan barang tersebut ke tempat yang ditunjuk. FCA juga mewajibkan penjual untuk membereskan prosedur ekspor. Yang dimaksud sebagai pengangkut adalah setiap orang atau badan hukum yang berdasarkan suatu perjanjian pengangkutan berkewajiban untuk melakukan atau menyediakan jasa pengangkutan melalui jalur kereta api, jalan raya, udara, laut, perairan pedalaman, atau kombinasi dari cara-cara pengangkutan tersebut di atas. Jika pembeli menunjuk orang lain selain pengangkut, maka barang dianggap telah melaksanakan kewajibannya mengantar barang ketika barang tersebut diserahkan kepada orang tersebut. Terminologi ini berlaku untuk segala macam mode transportasi. c. FAS (sebutkan nama pelabuhan muat) 83 Free Alongside Ship maksudnya adalah bahwa barang diserahkan penjual di samping kapal di pelabuhan muat yang disebut. Sehingga tanggung jawab atas barang beralih dari penjual ke pembeli sejak saat itu. Terminologi ini mewajibkan penjual untuk melakukan segala prosedur ekspor. Terminologi ini dalam Incoterms 2000 merupakan kebalikan dari versi terdahulunya dalam Incoterms 1990 yang mewajibkan pembeli untuk menuntaskan segala prosedur ekspor. Namun apabila memang 83 Dikutip dari diakses pada 29 Maret 2010.

29 diinginkan agar pembeli yang berkewajiban dalam pengurusan prosedur ekspor, maka hal ini harus disebutkan secara eksplisit di dalam kontrak. Terminologi ini hanya bisa dipakai pada alat transportasi laut dan perairan pedalaman. d. FOB (sebutkan nama pelabuhan muat) 84 Free on Board artinya peralihan segala resiko atas barang dari penjual kepada pembeli terjadi ketika barang telah melewati rail kapal (pagar pengaman kapal) di pelabuhan muat yang telah disebutkan. Pengurusan prosedur ekspor berdasarkan terminologi ini dibebankan kepada penjual. Jika para pihak tidak menghendaki peralihan resiko terjadi pada saat barang melewati rail kapal, maka FCA adalah terminologi yang sebaiknya dipilih. FOB berlaku khusus hanya bagi alat transportasi laut dan perairan pedalaman. e. CFR (sebutkan nama pelabuhan tujuan) 85 Cost and Freight maksudnya segala resiko atas kerusakan atau kehilangan barang serta segala macam biaya yang timbul setelah barang melewati rail kapal beralih dari penjual kepada pembeli. Namun berdasarkan terminologi ini maka penjual berkewajiban untuk menanggung segala biaya pengangkutan yang dibutuhkan agar barang sampai pada pelabuhan tujuan yang disebutkan. Terminologi ini juga mewajibkan penjual untuk melakukan pengurusan ekspor yang dibutuhkan 84 Dikutip dari diakses pada 29 Maret Dikutip dari diakses pada 23 Maret 2010.

30 oleh barang tersebut. Jika para pihak tidak menghendaki peralihan resiko atas berang terjadi pada saat barang melewati rail kapal, maka CPT-lah yang harus digunakan. CFR hanya berlaku untuk transportasi laut dan perairan pedalaman. f. CIF (sebutkan nama pelabuhan tujuan) 86 Cost, Insurance, and Freight artinya bahwa segala resiko atas kerusakan atau kehilangan barang serta segala macam biaya yang timbul setelah barang melewati rail kapal beralih dari penjual kepada pembeli. Namun berdasarkan terminologi ini maka penjual berkewajiban untuk menanggung segala biaya pengangkutan yang dibutuhkan agar barang sampai pada pelabuhan tujuan yang disebutkan termasuk menyediakan asuransi pengangkutan laut (marine insurance) untuk menanggung resiko pembeli atas kehilangan atau kerusakan barang selama masa pengangkutan laut tersebut. Perlu dicatat bahwa penjual hanya berkewajiban membayarkan premi asuransi dengan perlindungan minimal saja. Jika pembeli menginginkan perlindungan asuransi yang lebih besar, maka pembeli harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dengan penjual karena memang penjual yang harus membayarkannya. Namun jika penjual tidak setuju, maka pembeli harus membayar asuransi tambahan sendiri untuk memberikan perlindungan yang lebih besar. CIF mempersyaratkan penjual untuk mengurus prosedur ekspor. Terminologi ini hanya berlaku untuk alat transportasi laut dan perairan Dikutip dari diakses pada 23 Maret

31 pedalaman. Jika para pihak tidak menghendaki peralihan resiko terjadi pada saat barang melewati rail kapal, maka term yang harus dipilih adalah CIP. g. CPT (sebutkan nama tempat tujuan) 87 Carriage paid to maksudnya adalah bahwa peralihan resiko atas kerusakan atau kehilangan barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang diserahkan kepada pengangkut yang ditunjuk oleh penjual namun penjual masih tetap harus menanggung biaya pengangkutan yang diperlukan sampai dengan barang mencapai tempat tujuan yang telah disebutkan. Apabila terdapat peralihan atau perpindahan alat transportasi, maka peralihan resiko terjadi pada saat barang diserahkan kepada pengangkutan yang pertama. CPT menghendaki agar pengurusan ekspor dilakukan oleh penjual. Terminologi ini berlaku bagi segala jenis alat transportasi. h. CIP (sebutkan nama tempat tujuan) 88 Carriage and Insurance paid to maksudnya adalah bahwa peralihan resiko atas kerusakan atau kehilangan barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barang diserahkan kepada pengangkut yang ditunjuk oleh penjual namun penjual masih tetap harus menanggung biaya pengangkutan yang diperlukan sampai dengan barang mencapai tempat tujuan yang telah disebutkan. Dalam CIP penjual harus menyediakan asuransi pengangkutan yang menanggung resiko pembeli 87 Dikutip dari diakses pada 23 Maret Dikutip dari, diakses pada 23 Maret 2010.

32 atas kehilangan atau kerusakan barang selama masa pengangkutan tersebut. Perlu dicatat bahwa penjual hanya berkewajiban membayarkan premi asuransi dengan perlindungan minimal saja. Jika pembeli menginginkan perlindungan asuransi yang lebih besar, maka pembeli harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dengan penjual karena memang penjual yang harus membayarnya. Namun jika penjual tidak setuju, maka pembeli harus membayar asuransi tambahan sendiri untuk memberikan perlindungan yang lebih besar. Apabila terdapat peralihan atau perpindahan alat transportasi, maka peralihan resiko terjadi pada saat barang diserahkan kepada pengangkutan yang pertama. CIP menghendaki agar pengurusan ekspor dilakukan oleh penjual. Terminologi ini berlaku bagi segala jenis alat transportasi. i. DAF (sebutkan nama tempat) 89 Delivered at Frontier maksudnya adalah bahwa penjual dianggap telah melakukan kewajiban pengiriman barang ketika barang telah ditempatkan pada kondisi untuk siap dibawa oleh pembeli, masih berada di dalam alat transportasi yang terakhir membawanya, belum diturunkan, telah diurus prosedur ekspor-nya, tapi belum diurus prosedur impornya, pada suatu titik dan tempat di perbatasan yang telah disebutkan, tetapi sebelum mencapai perbatasan kepabeanan negara tetangga. Kata Maret Dikutip dari diakses pada 23

33 frontier atau perbatasan bisa dipakai untuk semua perbatasan termasuk perbatasan negara ekspor. Oleh karena itulah titik dan nama perbatasan yang dimaksud harus selalu disebutkan dengan jelas. Jika para pihak setuju agar penjual bertanggungjawab untuk menurunkan barang dari alat transportasi terakhir yang membawanya sampai ke perbatasan yang dimaksud, termasuk menanggung segala resiko yang terjadi pada saat penurunan barang tersebut, maka hal ini harus dituliskan secara eksplisit dalam perjanjian jual beli yang dimaksud. Terminologi ini berlaku bagi segala jenis alat transportasi yang membawa barang tersebut melewati perbatasan darat. Namun apabila saat pengiriman terjadi di pelabuhan tujuan, dalam lambung atau geladak suatu kapal, atau di dermaga, maka DES atau DEQ-lah yang seharusnya dipakai. j. DES (sebutkan nama pelabuhan tujuan) 90 Delivered Ex Ship maksudnya adalah bahwa penjual dianggap telah melakukan kewajiban pengiriman barang ketika barang telah ditempatkan pada kondisi untuk siap dibawa oleh pembeli di atas geladak kapal, belum diurus prosedur impor-nya, di pelabuhan tujuan. Penjual berkewajiban untuk menanggung segala biaya dan resiko untuk membawa barang sampai di pelabuhan tujuan sebelum barang diturunkan atau dibongkar. Jika para pihak menghendaki agar penjual menanggung segala resiko dan biaya sampai dengan barang diturunkan atau dibongkar, maka 90 Dikutip dari diakses pada 23 Maret 2010.

34 terminologi yang harus dipakai adalah DEQ. Terminologi ini dipakai untuk alat transportasi laut atau perairan pedalaman atau transportasi multi modal dalam suatu kendaraan air di pelabuhan tujuan. k. DEQ (sebutkan nama pelabuhan tujuan) 91 Delivered Ex Quay maksudnya adalah bahwa penjual dianggap telah melakukan kewajiban pengiriman barang ketika barang telah ditempatkan pada kondisi untuk siap dibawa oleh pembeli di dermaga pelabuhan tujuan namun belum diurus prosedur impor-nya. Penjual menanggung segala resiko dan biaya untuk mengantar barang sampai di pelabuhan tujuan dan menurunkannya di dermaga. DEQ mewajibkan pembeli untuk mengurus segala macam prosedur impor dan membayar bea-bea yang timbul sehubungan dengan hal tersebut. DEQ versi Incoterms 2000 ini adalah kebalikan dari versi pendahulunya, yaitu Incoterms 1990 yang mewajibkan penjual untuk mengurus prosedur impor. Dalam versi 2000, jika para pihak menghendaki agar penjual ikut ambil bagian dalam pembayaran bea impor atau pengurusannya, baik sebagian maupun seluruhnya, maka hal ini harus disebutkan dengan jelas dalam kontrak. Terminologi ini dipakai untuk alat transportasi laut atau perairan pedalaman atau transportasi multi modal dalam suatu kendaraan air yang menurunkan barang sampai di dermaga. Jika para pihak menghendaki agar penjual menanggung biaya dan resiko untuk memindahkan barang dari Maret Dikutip dari diakses pada 23

35 dermaga ke tempat lain (gudang, terminal, stasiun transportasi) baik di dalam maupun di luar pelabuhan, maka terminologi yang seharusnya dipilih adalah DDU atau DDP. l. DDU (sebutkan nama tempat tujuan) 92 Delivered Duty Unpaid maksudnya adalah bahwa penjual mengirimkan barang kepada pembeli sampai ke tempat tujuan yang telah disebutkan, belum dibereskan prosedur impornya, dan belum diturunkan atau dibongkar dari alat transportasi yang terakhir membawanya. Penjual harus menanggung segala resiko dan biaya untuk mengantarkan barang sampai ke tempat tujuan yang telah disebutkan, namun tidak termasuk menanggung bea masuk, dan pajak-pajak lain untuk impor. Segala formalitas impor tersebut menjadi tanggung jawab pembeli, termasuk ia juga harus menanggung segala resiko yang timbul akibat kegagalannya dalam mengurus prosedur impor tepat waktu. Namun apabila para pihak berkehendak agar penjual juga ikut bertanggung jawab dalam pengurusan prosedur impor, maka hal ini harus disebutkan secara eksplisit dalam kontrak. Terminologi ini berlaku pada semua alat transportasi. Namun apabila pengiriman terjadi di pelabuhan tujuan di lambung atau geladak kapal, atau di dermaga, maka terminologi yang seharusnya dipakai adalah DES atau DEQ. Maret Dikutip dari diakses pada 23

36 m. DDP (sebutkan nama tempat tujuan) 93 Delivered Duty Paid maksudnya adalah bahwa penjual mengirimkan barang kepada pembeli sampai ke tempat tujuan yang telah disebutkan, telah diurus prosedur impornya, dan belum dibongkar dari kendaraan yang membawanya. Pendek kata terminologi ini membebankan segala resiko dan biaya kepada penjual untuk mengantarkan barang sampai ke tempat tujuan yang dimaksud. Jika EXW membebankan kewajiban yang terberat kepada pembeli, maka DDP membebankan kewajiban yang terberat kepada penjual. DDP tidak bisa digunakan jika penjual tidak bisa melakukan pengurusan prosedur impor. Jika para pihak menghendaki agar pembeli yang melakukan pengurusan prosedur impor dan menanggung segala resikonya, maka terminologi DDU-lah yang harus dipakai. Jika para pihak ingin agar kewajiban untuk menanggung sebagian bea masuk atau pajak-pajak impor lainnya seperti VAT (value added tax) atau yang lebih dikenal dengan nama pajak pertambahan nilai beralih dari penjual kepada pembeli, maka hal ini harus disebutkan dengan jelas di dalam kontrak. Apabila saat pengiriman terjadi di pelabuhan tujuan di lambung atau geladak kapal, atau di dermaga, maka terminologi yang seharusnya dipakai adalah DES atau DEQ. Cara Penyebutan Incoterms harus disebutkan secara jelas dan tepat untuk menghindari perbedaan interpretasi. Oleh karenanya, Incoterms dilengkapi dengan panduan penyebutannya, yaitu harus diikuti Maret Dikutip dari diakses pada 23

37 dengan nama tempat yang sesuai dan versinya. Berikut ini adalah beberapa contoh penyebutan Incoterms yang benar di dalam kontrak, antara lain: b) DEQ Osaka Incoterms 2000 c) FOB Pearl Harbour Incoterms 2000; d) EXW Kompleks Pergudangan Tandes Indah B-44 Surabaya Incoterms Dalam praktik umum perdagangan internasional, pasal-pasal dalam sales contract mengenai terms of delivery mengacu pada International Commercial Terms versi tahun 2000 (Incoterms 2000) sebagai penyeragaman penafsiran terhadap pelaksanaan syarat penyerahan barang, peralihan risiko, dan biaya dari penjual kepada pembeli berdasarkan sarana transportasi yang digunakan.

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. INCOTERMS DALAM KAJIAN HUKUM DAGANG INTERNASIONAL Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014. INCOTERMS DALAM KAJIAN HUKUM DAGANG INTERNASIONAL Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan INCOTERMS DALAM KAJIAN HUKUM DAGANG INTERNASIONAL Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dengan adanya perkembangan zaman yang semakin modern, dalam dunia internasional tiap-tiap Negara

Lebih terperinci

Kekhususan Jual Beli Perusahaan

Kekhususan Jual Beli Perusahaan JUAL BELI DAGANG Suatu perjanjian jual beli sebagai perbuatan perusahaan yakni perbuatan pedagang / pengusaha lainnya yang berdasarkan jabatannya melakukan perjanjian jual beli Kekhususan Jual Beli Perusahaan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-4. Incoterm 2010

Pertemuan ke-4. Incoterm 2010 Pertemuan ke-4 Incoterm 2010 INCOTERMS 2010 GROUP E DEPARTURE EXW EX WORKS GROUP F MAIN CARRIAGE UNPAID FCA FAS FOB FREE CARRIER FREE ALONGSIDE SHIP FREE ON BOARD GROUP C MAIN CARRIAGE PAID CFR CIF CPT

Lebih terperinci

DASAR HUKUM BERLAKUNYA BEDING SYARAT-SYARAT (BEDING) DALAM JUAL BELI PERNIAGAAN ISI BEDING JUAL BELI LOKO 11/8/2014. Ps BW:

DASAR HUKUM BERLAKUNYA BEDING SYARAT-SYARAT (BEDING) DALAM JUAL BELI PERNIAGAAN ISI BEDING JUAL BELI LOKO 11/8/2014. Ps BW: DASAR HUKUM BERLAKUNYA BEDING SYARAT-SYARAT (BEDING) DALAM JUAL BELI PERNIAGAAN Ps. 1347 BW: Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan,

Lebih terperinci

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor : 17 Tahun 1988 Tanggal: 21 Nopember Presiden Republik Indonesia,

PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor : 17 Tahun 1988 Tanggal: 21 Nopember Presiden Republik Indonesia, PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT Peraturan Pemerintah (Pp) Nomor : 17 Tahun 1988 Tanggal: 21 Nopember 1988 Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa angkutan laut sebagai salah satu

Lebih terperinci

KEPASTIAN RISIKO, BIAYA DAN TANGGUNG JAWAB DALAM INCOTERMS 2010

KEPASTIAN RISIKO, BIAYA DAN TANGGUNG JAWAB DALAM INCOTERMS 2010 KEPASTIAN RISIKO, BIAYA DAN TANGGUNG JAWAB DALAM INCOTERMS 2010 Oleh: Surono Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai Abstraksi: Incoterms 2010 merupakan produk ICC yang ditujukan untuk memudahkan transaksi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa angkutan laut sebagai salah satu sarana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1988 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa angkutan laut sebagai salah satu sarana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2017 TENTANG CARA PEMBAYARAN BARANG DAN CARA PENYERAHAN BARANG DALAM KEGIATAN EKSPOR DAN IMPOR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2017 TENTANG CARA PEMBAYARAN BARANG DAN CARA PENYERAHAN BARANG DALAM KEGIATAN EKSPOR DAN IMPOR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2017 TENTANG CARA PEMBAYARAN BARANG DAN CARA PENYERAHAN BARANG DALAM KEGIATAN EKSPOR DAN IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.118, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERHUBUNGAN. Penyelenggaraan. Pengusahaan. Angkutan Multimoda. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM. 8 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

JUAL BELI (KE)PERUSAHAAN: INCOTERMS 2010

JUAL BELI (KE)PERUSAHAAN: INCOTERMS 2010 JUAL BELI (KE)PERUSAHAAN: INCOTERMS 2010 Oleh: Dr. Miftahul Huda, SH, LLM Disampaikan Dalam Kuliah HUKUM JUAL BELI (KE)PERUSAHAAN Program S1 Reguler Fakultas Hukum - Universitas Indonesia Semester Genap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan telah mengatur

Lebih terperinci

-2- teknologi, melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan, meningkatkan produksi, dan memperluas kesempatan kerja. Di lain sisi, pemilih

-2- teknologi, melindungi neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan, meningkatkan produksi, dan memperluas kesempatan kerja. Di lain sisi, pemilih TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I EKONOMI. Barang. Pembayaran. Penyerahan. Ekspor. Impor (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 167) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum 1. Pengertian Ekspor Ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan suatu barang atau komoditi dari daerah pabean, atau mengirim barang tersebut dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Asuransi Kerugian Dalam perkembangan dunia usaha tidak seorang pun yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang secara tepat, setiap ramalan

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perjanjian Ekspedisi Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Ekspor 1 Pengertian Ekspor Ekspor merupakan upaya melakukan penjualan komoditi di dalam negeri kepada bangsa lain atau negara asing, dengan mengharapkan pembayaran dalam valuta

Lebih terperinci

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: UU NOMOR 14 TAHUN 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang

BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang 16 BAB II KAJIAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Sejarah dan Pengertian Pengangkutan Barang 1. Sejarah Pengangkutan Barang Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3610) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1999 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa angkutan di perairan selain mempunyai peranan yang strategis dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengangkutan di Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan dan memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya pengangkutan dapat memperlancar

Lebih terperinci

STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1977 tanggal 26 April 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1977 tanggal 26 April 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, STANDAR PENETAPAN HARGA INDONESIA Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1977 tanggal 26 April 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengaturan standar penetapan harga guna perhitungan bea

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG. A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan. A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum Pengangkutan merupakan bidang yang sangat vital dalam

Lebih terperinci

Praktek Pengisian Dokumen Ekspor. Pertemuan ke-7

Praktek Pengisian Dokumen Ekspor. Pertemuan ke-7 Praktek Pengisian Dokumen Ekspor Pertemuan ke-7 I PETUNJUK PENGISIAN PEB PENGERTIAN Adalah Formulir isian tentang Pemberitahuan Ekspor Barang yang wajib diisi secara obyektif, lengkap dan jelas oleh seorang

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, bidang transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda kehidupan perekonomian,

Lebih terperinci

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai) Pendahuluan Dengan semakin majunya dunia

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian dan Fungsi Pengangkutan Istilah pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti mengangkut dan membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartikan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN *48854 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4), Pasal 10A

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran

2017, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran No.913, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Jasa Pengurusan Transportasi. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 49 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN JASA

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, 1 WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa angkutan jalan sebagai salah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2001 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI PELAYARAN NIAGA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan dan kesatuan serta mempengaruhi

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN PERANAN PENTING PENGANKUTAN LAUT. Disusun oleh : YASIR ADI PRATAMA (E1A012096) KELAS B

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN PERANAN PENTING PENGANKUTAN LAUT. Disusun oleh : YASIR ADI PRATAMA (E1A012096) KELAS B TUGAS MATA KULIAH HUKUM PENGANGKUTAN PERANAN PENTING PENGANKUTAN LAUT Disusun oleh : YASIR ADI PRATAMA (E1A012096) KELAS B KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. khususnya di bidang ekonomi internasional. Kelancaran serta kesuksesan

BAB I. Pendahuluan. khususnya di bidang ekonomi internasional. Kelancaran serta kesuksesan digilib.uns.ac.id 1 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang masalah Perkembangan serta kemajuan teknologi dalam bidang komunikasi dan transportasi telah memberi pengaruh yang besar dalam hubungan antar negara

Lebih terperinci

2017, No c. bahwa untuk mempercepat penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, darat, dan udara diperlukan progr

2017, No c. bahwa untuk mempercepat penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut, darat, dan udara diperlukan progr No.165, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PELAYANAN PUBLIK. Daerah Tertinggal, Terpencil, Terluar, Perbatasan. Angkutan Barang. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu: BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG A. Dasar Hukum Penetapan Tarif Angkutan Penumpang Undang-undang pengangkutan Indonesia menggunakan istilah orang untuk pengangkutan penumpang.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KEWAJIBAN PELAYANAN PUBLIK UNTUK ANGKUTAN BARANG DARI DAN KE DAERAH TERTINGGAL, TERPENCIL, TERLUAR, DAN PERBATASAN DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luasnya wilayah Indonesia dan jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Luasnya wilayah Indonesia dan jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luasnya wilayah Indonesia dan jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa lebih serta memiliki sumber daya alam yang sangat besar, jelas membutuhkan transportasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jasa pengiriman paket dewasa ini sudah menjadi salah satu kebutuhan hidup. Jasa pengiriman paket dibutuhkan oleh perusahaan, distributor, toko, para wiraswastawan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PENGANGKUTAN, TANGGUNG JAWAB HUKUM DAN PENGIRIMAN BARANG 1.1 Hukum Pengangkutan 2.1.1 Pengertian Pengangkutan Dalam dunia perniagaan masalah pengangkutan memegang peranan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 22-2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1992 (ADMINISTRASI. PERHUBUNGAN. Kendaraan. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian pengangkut. Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN. A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengertian Pengangkutan Dan Hukum Pengangkutan 1. Pengertian Pengangkutan Beberapa ahli, memberikan pengertian mengenai pengangkutan di antaranya: a. Menurut

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501 2.1. Dasar Hukum Pengangkutan Udara Pengangkutan berasal dari kata angkut, seperti yang dijelaskan oleh Abdulkadir

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.04/2010 TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan pada khususnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan pada khususnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, dimana dunia memasuki era gobalisasi, sektor ekonomi dan perdagangan pada khususnya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dalam dunia perdagangan soal

Lebih terperinci

ISSN No Media Bina Ilmiah 31

ISSN No Media Bina Ilmiah 31 ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah 31 ALAT PEMBAYARAN DAN CARA PENYERAHAN BARANG DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Made Rai Sukmawati Dosen Jurusan Pariwisata di Politeknik Negeri Bali Abstrak

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi.

Lebih terperinci

PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL No... Perjanjian ini dibuat pada hari... tanggal... bulan... tahun... ( ) oleh dan antara :

PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL No... Perjanjian ini dibuat pada hari... tanggal... bulan... tahun... ( ) oleh dan antara : PERJANJIAN SEWA MENYEWA MOBIL No.... Perjanjian ini dibuat pada hari... tanggal... bulan... tahun... (...-...-...) oleh dan antara : I. PT...., sebuah perusahaan yang diatur dan didirikan berdasarkan dan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MENGGUNAKAN KAPAL PETI KEMAS MELALUI LAUT (STUDI KASUS PT. MERATUS LINE CABANG PADANG)

PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MENGGUNAKAN KAPAL PETI KEMAS MELALUI LAUT (STUDI KASUS PT. MERATUS LINE CABANG PADANG) PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MENGGUNAKAN KAPAL PETI KEMAS MELALUI LAUT (STUDI KASUS PT. MERATUS LINE CABANG PADANG) A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki berbagai kebutuhan yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010 PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010 PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 276, 2015 KEMENHUB. Penumpang. Angkatan Laut. Pelayanan. Standar. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 37 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN

Lebih terperinci

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie).

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie). ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie). Ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan udara dalam negeri. (Ord. 9 Maret 1939) S. 1939-100 jo. 101 (mb. 1 Mei 1939). Anotasi: Di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.213, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pabean. Kawasan. Penimbunan Sementara. Tempat. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PMK.04/2015 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi sesama manusia dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Interaksi sesama manusia dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Interaksi sesama manusia dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kelebihan atau adventage masing-masing sebagai akibat dari letak geografis, kondisi alam yang

Lebih terperinci

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG] Untuk keperluan kutipan versi AS, teks bahasa Inggris bersertifikasi PBB dipublikasikan dalam 52

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peranan jasa angkutan dalam menunjang pembangunan. ekonomi memiliki fungsi yang vital. Pengembangan ekonomi suatu

I. PENDAHULUAN. Peranan jasa angkutan dalam menunjang pembangunan. ekonomi memiliki fungsi yang vital. Pengembangan ekonomi suatu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan jasa angkutan dalam menunjang pembangunan ekonomi memiliki fungsi yang vital. Pengembangan ekonomi suatu negara sulit mencapai hasil yang optimum tanpa adanya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 17-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 98, 1992 (PERHUBUNGAN. Laut. Prasarana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

PROSES PENGIRIMAN BARANG EKSPOR DENGAN TERM CFR ( COST AND FREIGHT ) PADA PT. AGILITY INTERNATIONAL DI SURAKARTA

PROSES PENGIRIMAN BARANG EKSPOR DENGAN TERM CFR ( COST AND FREIGHT ) PADA PT. AGILITY INTERNATIONAL DI SURAKARTA PROSES PENGIRIMAN BARANG EKSPOR DENGAN TERM CFR ( COST AND FREIGHT ) PADA PT. AGILITY INTERNATIONAL DI SURAKARTA Tugas Akhir Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Persyaratan Guna Mencapai Gelar Ahli

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengangkutan 1. Dasar Hukum Pengangkutan Pengangkutan kereta api pada dasarnya merupakan perjanjian sehingga berlaku Pasal 1235, 1338 KUH Perdata di mana PT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH LAMONGAN NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MAS ALAH Pengangkutan atau lebih dikenal dengan istilah transportasi di masa yang segalanya dituntut serba cepat seperti sekarang ini memiliki peran yang sangat besar.

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA

P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG ANGKUTAN MULTIMODA P E N J E L A S A N ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG I. UMUM ANGKUTAN MULTIMODA Angkutan multimoda (Multimodal Transport) adalah angkutan barang dengan menggunakan

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :45

1 of 5 21/12/ :45 1 of 5 21/12/2015 12:45 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 224/PMK.011/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010

Lebih terperinci

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L

2016, No kepelabuhanan, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan L BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1867, 2016 KEMENHUB. Pelabuhan Laut. Penyelenggaraan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 146 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian a. Pengertian Umum Perjanjian Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN EKSPOR IMPOR

STANDAR KOMPETENSI LULUSAN EKSPOR IMPOR STANDAR KOMPETENSI LULUSAN EKSPOR IMPOR DIREKTORAT PEMBINAAN KURSUS DAN PELATIHAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, NONFORMAL DAN INFORMAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 2011 A. Latar Belakang.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Bab I KETENTUAN UMUM Pasal 1 1. Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Syarat-syarat dan Prosedur Pengiriman Barang di Aditama Surya Express 1. Syarat Sahnya Perjanjian Pengiriman Barang di Aditama Surya Express Perjanjian dapat dikatakan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA TATA LAKSANA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan ketepatan, maka jasa angkutan udara sangatlah tepat karena ia merupakan salah satu transportasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 1996 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, telah diatur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG ANGKUTAN DI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH SERAM BAGIAN TIMUR NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERAM BAGIAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 127

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan manusia, alat transportasi terdiri dari berbagai macam yaitu alat transportasi darat,

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

154/PMK.03/2010 PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN B

154/PMK.03/2010 PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN B 154/PMK.03/2010 PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN B Contributed by Administrator Tuesday, 31 August 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN MENTERI

Lebih terperinci

ANALISIS PENERAPAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS TRANSAKSI EKSPOR IMPOR JASA FREIGHT FORWARDING (Studi Kasus PT.Welgrow Indopersada)

ANALISIS PENERAPAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS TRANSAKSI EKSPOR IMPOR JASA FREIGHT FORWARDING (Studi Kasus PT.Welgrow Indopersada) ANALISIS PENERAPAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS TRANSAKSI EKSPOR IMPOR JASA FREIGHT FORWARDING (Studi Kasus PT.Welgrow Indopersada) Siti Bolivia Malvi, Drs.Sudarmo,MM Universitas Bina Nusantara

Lebih terperinci