BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA"

Transkripsi

1 62 BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN DWI KEWARGANEGARAAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN ETNIS TIONGHOA Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian, untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah Bagaimana Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Etnis Tionghoa tahun Pokok permasalahan tersebut diuraikan dan disusun ke dalam empat bahasan utama : pertama, Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Ketiga, Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. Keempat, Dampak Pembatalan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan terhadap Kehidupan Etnis Tionghoa. IV.1. Kedudukan Warganegara Keturunan Etnis Tionghoa di Indonesia IV.1.1. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Zaman Kolonial Belanda Pemerintahan kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan sering menggunakan siasat devide et impera. Siasat ini digunakan mengingat jumlah orang Belanda yang lebih sedikit dari jumlah penduduk jajahan. Seperti halnya di Indonesia, pemerintah kolonial Belanda menggunakan golongan-golongan tertentu dalam usaha mengendalikan mayoritas orang-orang pribumi untuk mempertahankan kekuasaannya. 62

2 63 Dalam menjalankan siasatnya ini pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan. Golongan pertama yaitu orang-orang Eropa yang merupakan warganegara kelas satu, lalu golongan Timur Asing yaitu orang-orang Arab, India dan Cina serta terakhir adalah orang-orang pribumi. Siasat devide et impera dijalankan dengan memberikan fasilitas atau kedudukan pada kelompok tertentu. Di Indonesia kelompok tersebut adalah kaum ningrat dari golongan pribumi dan orang-orang Tionghoa untuk golongan Timur Asing. Kepada kaum ningrat pemerintah kolonial Belanda memberikan jabatan seperti Pamong Praja, sedangkan untuk orang-orang Tionghoa pemerintah Belanda memberikan kedudukan sebagai Mayoor dan kapitein der Chinezen. Jabatan untuk orang-orang Tionghoa tersebut diberikan setelah pada tahun 1917 pemerintah Belanda menyamakan kedudukan hukum orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda. Dengan perubahan itu berarti status sosial orang-orang Tionghoa lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi. Di samping pemisahan status sosial, pemerintah Belanda juga memisahkan kehidupan orang-orang Tionghoa dari masyarakat pribumi dengan dibentuknya suatu perkampungan yang disebut kampong tjina (Chinese Wijk) (Lie Tek Tjeng, 1971: 4). Dengan pemisahan ini maka sulit terjadi asimilasi antara penduduk pribumi dengan orang-orang Tionghoa. Dalam bidang pendidikan pemerintah kolonial Belanda memberikan kesempatan yang lebih kepada orang-orang Tionghoa dengan

3 64 didirikannya Hollandsch Chinesche School (HCS) pada tahun Kesempatan inilah yang menghasilkan lahirnya kaum intelektual di kalangan orang-orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda ini akhirnya menyadari akan pentingnya berpolitik dan berorganisasi. Pada tahun 1920 mereka membentuk suatu organisasi yang bertujuan mengarahkan kaum Tionghoa peranakan untuk tidak berkiblat kepada pemerintah Cina melainkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Dalam kongresnya pada tahun 1928 akhirnya organisasi ini sepakat membentuk partai politik kaum peranakan yang pertama yaitu Chung Hwa Hui (Perhimpunan Tionghoa, CHH). Dalam perkembangannya partai ini pada tahun 1939 berhasil menempatkan tiga orang wakilnya dalam Volksraad (Suryadinata, 1984: 50). Dalam bidang ekonomi orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan dari pemerintah Belanda untuk terlibat sebagai pengumpul pajak (yang kemudian dimanfaatkan untuk memeras rakyat), mengusahakan pegadaian, monopoli perdagangan candu dan sebagainya, oleh karena itu banyak penduduk pribumi yang merasa benci kepada orang-orang Tionghoa. Kondisi seperti tersebut diatas secara tidak langsung telah merebut lapangan ekonomi orang-orang Arab yang merupakan saingan bagi orang Tionghoa, pengusaha-pengusaha Jawa, serta sejumlah saudagar. Bagi masyarakat pribumi tindakan ini merupakan tekanan yang kuat dari orangorang Tionghoa di kepulauan Nusantara. Kehidupan ekonomi pribumi mulai tergeser dimana semua perekonomian mulai dikuasai atau didominasi orang-

4 65 orang Tionghoa, oleh karena itu benteng terakhir bagi orang-orang pribumi adalah SDI. Sebagai reaksi atas situasi ini adalah munculnya Sarekat Dagang Islam (tahun 1911) yang didirikan oleh Hadji Samanhudi di Solo. Tujuan organisasi ini adalah untuk mempertahankan dan mengimbangi para pedagang Tionghoa yang makin meluas. Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang mencari jalan untuk merebut sebagian dari benteng terakhir kehidupan ekonomi pribumi ditanggapi dengan aksi kekerasan oleh anggota-anggota muda SDI di Solo yang dipimpin oleh R.M. Tirtoadisuryo. Gangguan-gangguan yang bersifat rasialis ini meningkat sedemikian rupa hingga akhirnya pada 10 Agustus 1912 Residen Surakarta terpaksa mengeluarkan suatu dekrit untuk mengurangi aktivitas organisasi itu ( Niel, 1984: 120). Sejak dibekukannya organisasi tersebut, perekonomian orangorang Tionghoa semakin maju. Mereka tidak lagi mendapat saingan dari orang-orang pribumi. Hal ini menimbulkan rasa superioritas dan menjadikan status sosial mereka lebih tinggi dari orang-orang pribumi. IV.1.2. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Jepang Sikap pemerintah pendudukan Jepang terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari pengalamannya ketika berperang melawan negeri Cina. Walaupun akhirnya Jepang menang dan berhasil mendirikan pemerintahan boneka di negara Cina, namun banyak korban kerugian yang diderita oleh tentara Jepang. Orang-orang Tionghoa yang bersimpati kepada negeri leluhurnya ditawan, seperti Thio Thiam Tjong

5 66 tokoh CHH dan Ang Jan Goan salah satu pemimpin Sin Po. Surat kabar Cina diberangus, semua partai politik (baik partai pribumi, Belanda maupun Cina) dilarang, demikian pula perkumpulan-perkumpulan Cina dibubarkan dan diganti dengan perkumpulan Cina yang dibentuk dan ditunjuk pengurusnya oleh Jepang. Salah satu organisasi sosial yang dibentuk oleh pemerintahan militer Jepang bagi orang-orang Tionghoa adalah Hua Chiao Tsung Hui (Perhimpunan Perantau Cina). Organisasi ini dipimpin oleh orang Jepang bernama Toyoshima dan bertanggungjawab kepada pimpinan militer setempat (Hidajat, 1977: 96). Organisasi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan lebih praktis dalam mengkonsentrasikan orang-orang Tionghoa dalam kehidupan eksklusifnya. Manfaat lain dari organisasi ini adalah untuk memudahkan pemungutan pajak dan sumbangan-sumbangan untuk biaya perang. Perlakuan yang diterima oleh orang-orang Tionghoa ini berbeda dengan yang diterima oleh orang-orang pribumi. Jepang mengharapkan kerjasama orang-orang pribumi untuk mendukung peperangan yang sedang dilaksanakannya dengan janji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Kedudukan orang-orang Tionghoa pada masa ini selalu dicurigai oleh pemerintah Jepang karena mereka dianggap sebagai mata-mata Belanda. Walaupun demikian ada pula orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang bekerjasama dengan Jepang, seperti Ong Siang

6 67 Tjun, Drs. Yap Tjwan Bing, Han Kang Oen, Ir. Soekarno dan Drs. M. Hatta. Dukungan tersebut diperlukan pemerintah Jepang untuk menumbuhkan semangat dan kerjasama rakyat dalam melawan sekutu. Selama pendudukan Jepang sekolah-sekolah Belanda dilarang dibuka dan yang diizinkan hanya sekolah-sekolah berbahasa pengantar Indonesia dan Cina. Anak-anak peranakan yang sebelumnya memperoleh pendidikan Belanda dan tidak dapat berbahasa Cina diharuskan untuk belajar dalam sekolah yang berbahasa sekolah Cina. Program ini dikenal dengan totokisasi (pengtionghoan kembali) orang-orang Tionghoa peranakan (Suryadinata, 1988: 23). Seperti halnya pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, perekonomian pada saat itu tetap didominasi oleh orang-orang Tionghoa yang mendapat pengawasan ketat dari pemerintah militer Jepang. Bahan mentah terutama minyak bumi, karet, kina dan gula saat itu sangat dibutuhkan oleh Jepang untuk mendukung tentaranya. IV.1.3. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia pada Jaman Kemerdekaan Kekalahan Jepang pada pertengahan Agustus 1945, telah dimanfaatkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Tetapi Belanda yang dibantu pasukan Inggris masuk lagi ke Indonesia guna melanjutkan pemerintahan kolonialnya. Kembalinya Belanda ini menimbulkan konflik antara kaum nasionalis Indonesia dan Belanda.

7 68 Pada masa kemerdekaan ini orang-orang Tionghoa banyak yang menjadi korban baik oleh pihak Belanda maupun karena kemarahan rakyat Indonesia yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Timbulnya korban ini disebabkan pada masa itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga golongan (Hidayat, 1993: 95), yaitu : a. Golongan Cina yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.Mereka tetap pada usahanya yaitu mencari untung dalam situasi apapun yang dihadapi. Mereka berusaha melayani kebutuhan Belanda dengan sebaik-baiknya. Untuk keperluan ini Belanda mendirikan suatu organisasi semi militer Pao An Tui, yang dilatih dan dididik militer serta dipersenjatai oleh Belanda. Tujuan organisasi ini adalah untuk melindungi keselamatan orang Cina disamping Belanda sendiri mendapat tambahan pertahanan dari orang-orang Cina. Sebagai contoh adalah organisasi Chung Hua Hui wilayah Jakarta dengan tokohnya Thio Thiam Tjong cenderung membantu Belanda. b. Golongan Cina yang berada di wilayah Republik Indonesia. Orangorang Cina ini banyak usahanya untuk ikut membantu perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Seperti halnya organisasi CHH di wilayah Jakarta, organisasi yang berada di wilayah kekuasaan tentara RI ini dengan pemimpinnya Ong Siang Tjoen, cenderung membantu tentara RI.

8 69 c. Golongan orang-orang Cina intelektual sebagai hasil pendidikan Belanda. Mereka ini dalam politiknya juga berpihak pada Belanda, seperti Dr. Kwa Tjoan Sioei salah seorang tokoh CHH Jakarta. Sikap orang-orang Tionghoa pada masa ini pada hakekatnya hanya mencari keselamatan pribadi dan kepentingan golongannya. Sikap inilah yang menimbulkan rasa benci masyarakat Indonesia terhadap orang-orang Tionghoa. Ditambah lagi dengan adanya gerakan Pao An Tui, yaitu organisasi orang Tionghoa yang dipersenjatai oleh Belanda, di Jakarta pada tahun 1947 yang meluas keseluruh pulau Jawa. Keadaan kacau selama masa revolusi ini dimanfaatkan oleh pedagang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan lebih banyak lagi. Mereka melakukan perdagangan gelap baik untuk keperluan Belanda maupun untuk keperluan pejuang Republik Indonesia. Bagi mereka politik tidaklah penting, yang penting adalah mencari keuntungan dengan berdagang. Dalam hal pendidikan, pada masa kemerdekaan anak-anak Tionghoa mendapat perhatian pula. Setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949, sekolah-sekolah Belanda ditutup. Anak-anak Tionghoa peranakan yang berada di sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda melanjutkan sekolahnya di sekolah berbahasa pengantar Indonesia yang dikelola oleh kelompok swasta ataupun pemerintah. Melihat adanya kecenderungan orang-orang Tionghoa yang menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah Tionghoa atau ke

9 70 sekolah-sekolah Katolik dan Protestan, maka pada tahun 1950 pemerintah Indonesia menghentikan subsidi terhadap sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina. Tindakan tersebut merupakan akibat dari sistem sikap hidup eksklusifisme pemerintah kolonial Belanda dan Jepang. Dengan penghapusan subsidi tersebut diharapkan orang-orang Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Namun, kebanyakan orang-orang Tionghoa memperlihatkan sikap yang anti dan apatis terhadap pemerintah RI. Mereka juga lebih bersikap menutup diri dalam tradisi mereka sendiri tanpa mau menyesuaikan dan mengintegrasikan ke dalam masyarakat dan kebudayaan nasional Indonesia. Sikap eksklusifisme ini mereka pertahankan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sikap semacam ini dikenal dengan racial and cultural nationalits, seperti yang diharapkan oleh pemerintah Cina komunis di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 98). IV.2. Latar Belakang Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Masalah hukum mengenai status sipil golongan Tionghoa di Indonesia merupakan masalah rumit yang merupakan warisan dari jaman kolonialisme Belanda. Perundang-undangan pemerintah Belanda menggolongkan mereka sama dengan orang-orang pribumi, setingkat lebih rendah dari orang-orang Eropa, dalam hal hukum mereka dianggap sebagai kaula negara Belanda. Namun, orangorang Tionghoa di Hindia Belanda digolongkan sebagai orang asing, bahkan

10 71 untuk tujuan statistik mereka digolongkan sebagai Orang Timur Asing yang dibedakan dari Orang-orang Eropa dan Bumiputera. Penggolongan-penggolongan tersebut sesungguhnya melukai perasaan orang-orang Tionghoa, dan pada saat rasa nasionalisme Cina tumbuh menjelang abad ke 20, maka baik orang-orang Tionghoa yang di negeri Cina maupun yang berada di Laut Cina Selatan menuntut dihapusnya penggolongan tersebut. Pemerintah Manchu pada waktu itu mulai menekan pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menempatkan konsul-konsulnya di negeri koloni guna menghapus segala bentuk diskriminasi hukum bagi orang-orang Cina di Hindia Belanda. Melihat kondisi tersebut pemerintah Cina pada tahun 1909 mengumumkan undang-undang kewarganegaraan yang menganut asas ius sanguinis, yaitu kewarganegaraan yang ditentukan dari garis keturunan. Undang-undang tersebut yang kemudian menjadi inti pokok masalah dwi kewarganegaraan bagi orangorang Tionghoa di perantauan. Pemerintah Belanda pada tahun 1910 membalas dengan diberlakukannya Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda (Wet op het Nederlandsch onderdaanschap atau WNO) yang menganut asas ius soli, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang tersebut. Undang-undang Kekawulaan Negara Belanda tahun 1910 ini berisi peraturan mengenai kaula negara Belanda dari penduduk Hindia Belanda, menyatakan bahwa mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orang tua yang bertempat tinggal disana, jika bapaknya tidak diketahui dari ibunya yang bertempat tinggal di sana dan masih ada beberapa kelompok orang yang bertautan

11 72 WET dari Belanda sekalipun mereka itu bukan orang Belanda menurut tahun 1892 (Paulus, 1983: 156). Penentuan UU 1910 tersebut mengakibatkan seorang anak dapat dipisahkan status kewarganegaraannya dari orang tuanya. Undangundang tersebut juga masih membedakan antara warganegara yaitu warga dari sebuah negara dengan kaulanegara Belanda yaitu semua orang yang lahir di negeri jajahan Belanda seperti Suriname, Hindia Belanda dan Antillen (Paulus,1983:164). Dengan demikian baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Cina sama-sama memiliki hak yuridis atas orang-orang Tionghoa kelahiran Hindia Belanda. Masalah ini kemudian dibawa ke meja perundingan antara pemerintah Cina dan Belanda. Perundingan tersebut menghasilkan penandatanganan Perjanjian Konsuler tahun Hakikat perjanjian itu adalah bahwa pemerintah kekaisaran Cina mengakui bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda selama di negeri Belanda dan wilayah kekuasaannya tunduk pada undang-undang Belanda. Namun bila mereka keluar dari wilayah kekuasaan Belanda mereka bebas menentukan kebangsaannya. Sebaliknya Belanda menyetujui pembukaan konsulat Cina di Hindia Belanda yang akan bertindak sebagai perwakilan dagang. Perjanjian konsuler tersebut berlaku untuk lima tahun dan akan diperbarui setiap tahun. Meskipun telah ada perjanjian konsuler, namun pada kenyataannya pemerintah RRC tetap melindungi keturunan Tionghoa di perantauan. Hal ini dapat diketahui dari kasus Oen Keng Hian, seorang pegawai bank Belanda di Pulau Jawa. Pada tahun 1926 Oen menggelapkan uang dalam jumlah besar dan

12 73 melarikan diri ke negeri Cina. Atas permintaan konsul Belanda, Oen ditahan di Shanghai. Kasus ini menimbulkan perselisihan antara pemerintah Belanda dan pemerintah RRC yang memasalahkan status kewarganegaraan Oen. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa Oen adalah kawula kerajaan Belanda, maka ia harus diadili di Jawa. Namun pemerintah RRC bersikeras bahwa Oen adalah warga negara Cina yang hanya dapat diadili di Cina. Argumentasi pemerintah RRC adalah bahwa Oen belum pernah menyatakan melepas kewarganegaraan Cinanya, maka ia tetap warga negara RRC. Akhirnya Oen diadili oleh pengadilan campuran dan dapat keluar dari tahanan dengan membayar uang tanggungan (Suryadinata, 1984: 122). Perjanjian konsuler diatas kemudian membawa dampak pada jaman Indonesia merdeka, yaitu kewarganegaraan ganda. Timbulnya kewarganegaraan ganda ini karena perbedaan sistem penentuan kewarganegaraan yang dianut oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Cina. Pemerintah Indonesia menganut sistem ius soli, sedangkan pemerintah Cina menganut sistem ius sanguinis. Adanya dua sistem tersebut menjadikan etnis Tionghoa di perantauan mendapatkan status dwi kewarganegaraan. Segala sesuatu menjadi sulit setelah pemerintah Cina Nasionalis memperlihatkan sikap mempertahankan para warganegaranya sedapat mungkin. Pemerintah Cina tetap berpegang teguh pada Undang-undang Kewarganegaraan Cina Taiwan yang ditetapkan pada tahun Dalam undang-undang tersebut tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali mendapat izin dari Menteri Dalam Negeri Cina. Menteri hanya dapat memberikan izin bila yang bersangkutan telah

13 74 menjalankan wajib militer untuk Angkatan Bersenjata Cina (Suryadinata, 1984:121). Pada tahun 1949 situasi politik di Cina mengalami perubahan, yaitu dengan jatuhnya pemerintahan Kuo Min Tang di negeri Cina daratan yang kemudian digantikan oleh pemerintahan komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong. Rezim Kuo Min Tang yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membentuk negara sendiri yang kini dikenal dengan Cina Taiwan. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa terbagi dalam tiga kelompok, yaitu Cina daratan dengan pusatnya di Peking yang dipimpin oleh Mao Zedong, kemudian Cina Taiwan yang dipimpin oleh Kuo Min Tang dan Cina yang dianggap berdiri sendiri berbeda dari dua kelompok terdahulu yaitu Cina Singapura dan Cina Hongkong. Kedua golongan Cina yang pertama, yaitu Peking dan Taiwan saling berebut pengaruh terhadap para Tionghoa perantauan di negara-negara Asia Tenggara. Kedua kelompok ini berusaha menggunakan para Tionghoa perantauan ini sebagai kekuatan politik di luar negerinya. Hal ini penting karena dari para perantau tersebut diperoleh uang jutaan dolar yang selalu dikirim kedaratan Cina yang sangat berpengaruh dalam memperkuat posisi devisa pemerintah Cina. Dalam usaha memperebutkan pengaruh ini pemerintah Cina daratan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan tujuan utama untuk memutuskan ikatan Cina di Asia Tenggara dengan Cina Taiwan. Karena undang-undang kewarganegaraan Cina yang ditetapkan pada tahun 1929 ini tidak diubah pada saat orang-orang komunis Cina berkuasa di Cina, maka pemerintah Indonesia yang non komunis khawatir akan intervensi RRC melalui

14 75 warga negara Indonesia keturunan Cina. Ditambah lagi dengan politik pemerintah RRC terhadap para imigran Cina di Asia Tenggara ini juga dijadikan alat penyebaran ideologi negaranya. Pemerintah RRC tetap mengikat dan memelihara kesetiaan para warganya yang merantau untuk tetap cinta pada bangsa dan negeri leluhurnya(hidajat, 1993: 70). Sebagai contoh adalah berdirinya organisasi kamar dagang Shiang Hwee pada tahun Organisasi dagang ini selain bertujuan untuk melindungi kepentingan dagang orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda juga sebagai wadah yang mengumpulkan dana bantuan material untuk negeri leluhurnya. Penyebaran ideologi komunis juga dilakukan oleh pemerintah Cina melalui sekolah-sekolah Tionghoa perantauan. Pemerintah komunis Mao Zedong membentuk kader-kader guru yang diambil dari Tionghoa perantauan. Mereka diberi bea siswa untuk menyelesaikan sekolahnya diperguruan-perguruan tinggi di negeri Cina. Sehingga setelah selesai studinya mereka kembali ke negara tempat mereka merantau dan bertugas sebagai guru yang juga membawa misi untuk menanamkan ajaran komunis (Hidajat, 1993: 93). Berdasarkan hal-hal diatas, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan kepada pemerintah RRC untuk mencari jalan keluar bagi masalah dwi kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia. Bersamaan dengan niat pemerintah RI ini, pemerintah RRC pun ingin memainkan peranan yang besar dalam percaturan politik dengan menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Dengan demikian kepentingan keduabelah pihak, RI dan RRC dapat dipertemukan untuk bersama-sama memecahkan masalah.

15 76 Usaha-usaha pemerintah RI untuk mewujudkan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini diawali pada masa kabinet Ali yang disampaikan kepada Parlemen pada tahun Pada saat itu dikemukakan usul untuk membuat untuk undang-undang kewarganegaraan yang akan membawa akibat terhadap status hukum orang-orang Tionghoa perantauan di Indonesia. Pada bulan Februari 1954 rancangan itu telah siap, namun karena belum ada pembicaraan dengan pihak RRC mengenai aspek-aspek tertentu dari undang-undang yang diusulkan tersebut, maka undang-undang yang diusulkan itu, maka undang-undang tersebut belum dapat diberlakukan. Rancangan undang-undang tersebut timbul dari memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat-akibat perumusan KMB. Dalam hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949, dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang semula kaula negara Belanda diberi kesempatan untuk memilih kewarganegaraannya. Mereka dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia secara otomatis atau memperkokoh kewarganegaraan Cina dengan penolakan secara resmi kewarganegaraan Indonesia. Kesempatan untuk memilih ini diberikan selama dua tahun dari tahun 1949 sampai dengan tahun Selama periode tersebut banyak peranakan Tionghoa yang dituntut sebagai warganegara baik oleh pemerintah Indonesia maupun RRC. Namun dalam pelaksanaannya orang-orang keturunan Tionghoa yang tidak melakukan penolakan terhadap kewarganegaraan Indonesia ternyata secara hukum tetap memiliki kewarganegaraan Cina. Hal ini berarti isi perjanjian KMB tersebut tidak menyelesaikan masalah kewarganegaraan orangorang Tionghoa di Indonesia. Kabinet Ali berkesimpulan bahwa keadaan tersebut

16 77 harus segera diperbaiki. Sebelum kabinet Ali, tidak ada satu pemerintah pun yang siap untuk menggarap masalah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah RRC tetap menjalankan politik kebudayaan guna memelihara kesetiaan para emigran untuk selalu setia pada bangsa dan negeri leluhurnya. Dengan demikian keuntungan yang mereka peroleh dari berdagang di negeri orang mereka gunakan untuk membangun negeri leluhurnya. Ikatan yang erat ini oleh pemerintah RRC juga digunakan untuk menyebarkan ideologinya melalui para emigran tersebut (Hidajat, 1993: 70). Dengan dijalankannya politik kebudayaan tersebut maka pemerintah RI menghendaki perubahan-perubahan di dalam hubungannya dengan beberapa negara Asia Tenggara sampai pada suatu tingkat yang berarti untuk dapat menekan pemerintah RRC. RRC harus mengubah masalah-masalah yang tidak berkenan bagi negara lain sehubungan dengan minoritas Tionghoa yang dapat digunakan demi keuntungannya. Apabila RRC dapat melepaskan tuntutannya terhadap kewarganegaraan Cina yang lahir di luar negeri maka hal itu merupakan suatu dorongan bagi beberapa negara Asia Tenggara untuk memajukan hubungannya dengan RRC. Masalah di atas juga dikemukakan oleh Duta Besar Mononutu setibanya di Peking. Dalam kesempatan tersebut Dubes RI ini mengajukan pemecahan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa dan mendapat tanggapan positif dari Perdana Menteri Chou En-lai. Menurut Mononutu, pemimpin Cina itu menyatakan bahwa dengan menyetujui untuk membicarakan masalah kewarganegaraan saja sudah merupakan suatu langkah besar, karena akan

17 78 melepaskan politik tradisional Cina. Selain itu, pemerintah RRC juga mengemukakan bahwa bila perjanjian dengan Jakarta berhasil maka akan diperluas dengan negara-negara lain secara bilateral. Sebagai tindak lanjut atas pembicaraan di atas maka pada tanggal 24 November dan 23 Desember 1954 dikirim suatu tim khusus ke Peking untuk melakukan perundingan pertama. Perundingan ini diakhiri dengan persetujuan formal mengenai Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tanggal 22 April 1955 tepat pada waktu Konferensi Asia-Afrika berlangsung. Sikap keras pemerintah Cina terhadap status dwi kewarganegaraan orangorang Tionghoa peranakan ini berubah pada pertengahan tahun 1955 saat tukar menukar pandapat antara Chou En-lai dan Ali Sastroamidjojo. Pada kesempatan tersebut Chou menyatakan bahwa adalah merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh menjadi warganegara Indonesia dan siapa yang tidak boleh bagi orang-orang dari golongan Cina (Suryadinata, 1984: 121). Tukar menukar pendapat antara Chou En-lai dan Ali Sastromidjojo dilanjutkan dalam perundingan antara Jakarta dan Peking. Pada tanggal 22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konfrensi Asia-Afrika, perjanjian mengenai dwi kewarganegaraan ditandatangani. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk memberikan pemisahan yang tegas antara warganegara Indonesia dengan warganegara RRC, sehingga dapat diambil tindakan-tindakan ke arah tercapainya suatu proses asimilasi, untuk menjadi bangsa yang homogen. Perjanjian tersebut memuat ketentuan untuk memilih salah satu di antara dua kewarganegaraan dalam waktu dua tahun setelah perjanjian itu mulai berlaku.

18 79 Ketentuan ini dikenakan bagi mereka yang sudah dewasa, yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah (pernah) kawin. Bagi anak yang belum dewasa kewarganegaraan mereka ditentukan oleh kedua orang tuanya. Untuk seorang warganegara RI yang kawin dengan warganegara RRC, maka masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan yang dimilikinya ketika sebelum kawin, kecuali bila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan yang lain. Selain itu perjanjian tersebut juga menggunakan sistem aktif untuk pelaksanaan pemilihan kewarganegaraan. Dalam sistem ini seseorang dalam menentukan pilihannya harus menyatakan menerima kewarganegaraan yang satu dan melepas kewarganegaraan yang lain dihadapan petugas negara yang kewarganegaraannya dipilih. Pada awalnya pemerintah Cina menghendaki digunakannya sistem pasif, yaitu penerimaan kewarganegaraan secara otomatis tanpa adanya pernyataan di depan pengadilan, seperti yang sudah berjalan sampai saat itu, tetapi pemerintah Indonesia menolaknya dan menghendaki sistem aktif. Sistem aktif, yaitu penerimaan atau pelepasan suatu kewarganegaraan yang harus dilakukan dengan membuat pernyataan di depan pengadilan, dikehendaki oleh pemerintah Indonesia karena berkaitan dengan ketidak percayaan pemerintah kepada kelompok minoritas Tionghoa yang tidak hanya secara ekonomi kuat, melainkan juga tak dapat berasimilasi. Di samping sistem aktif ini untuk menunjukkan kesetiaan dan kesungguhan mereka kepada pemerintah juga dimaksudkan untuk membatasi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia (Suryadinata, 1984: 118).

19 80 Menanggapi keinginan pemerintah Indonesia yang menghendaki digunakannya sistem aktif, akhirnya pemerintah Cina menyetujui hampir semua usul pemerintah Indonesia. Menurut pemerintah RRC pada dasarnya sistem pasif yang telah dilaksanakan selama ini sebenarnya juga akan memberikan hasil yang kurang lebih sama dengan sistem aktif. Kesediaan pemerintah Cina untuk menggunakan sistem aktif tidak lepas dari masalah-masalah etnis Tionghoa di luar negeri yang sejak pemerintahan Cina terdahulu tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Maka perjanjian dengan pemerintah Indonesia ini merupakan salah satu kesempatan bagi pemerintah RRC untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan cepat. Ketentuan-ketentuan yang tercantum di atas dimuat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1958 dan peraturan-peraturan pelaksanaan (PP No.20 Tahun 1959 jo PP No. 5 Tahun 1961) (Paulus, 1983: 299). Undang-undang dwi kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau di konsulatkonsulat Indonesia untuk orang Tionghoa di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda harus menolak kewarganegaraan Cina dalam periode antara 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari Di luar periode itu dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia (Siong, 1958:170). Usaha-usaha dari RI dan RRC dalam mewujudkan perjanjian ini yaitu pertukaran nota Perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Perdana Menteri kedua negara pada tanggal 3 Juni 1955 di Peking. Nota tersebut mengatur tentang

20 81 kewarganegaraan rangkap yang harus dipilih salah satu. Dalam pidatonya Menlu RRC Tjen Ji mengatakan bahwa upacara penandatanganan mengenai pertukaran piagam ratifikasi perjanjian Cina-Indonesia telah disahkan oleh kedua pihak menurut prosedur Undang-Undang Dasar masing-masing. Hal ini dilakukan mengingat perantau Tionghoa mempunyai dwi kewarganegaraan adalah tidak wajar. Status tersebut bukan hanya merugikan perantau Cina tetapi ada kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan yang memusuhi persahabatan kedua negara untuk mengadu domba. Oleh karena itu pemerintah Tiongkok senantiasa bersikap aktif dan secara sungguh-sungguh berusaha untuk bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut (Warta Bandung, 1959: II). Untuk melaksanakan perjanjian tersebut pemerintah Indonesia membentuk suatu panitia yang dilantik pada tanggal 25 Januari 1960 oleh Menteri Luar Negeri Subandrio. Panitia ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah dwi kewarganegaraan dengan bijaksana agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut diratifikasi dalam undangundang No. 2 Tahun 1958 dan disahkan di Jakarta pada 11 Januari Undangundang No. 2 Tahun 1958 ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah dwikewarganegaraan yang ada pada waktu itu dan mencegah timbulnya dwikewarganegaraan di kemudian hari. Masalah dwi-kewarganegaraan diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang. Pada hakikatnya dalam perjanjian tersebut diatur dan ditentukan siapa saja orang Tionghoa di Indonesia yang diakui berstatus WNI dan siapa saja yang

21 82 berstatus warga negara RRC. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal berikut ini : 1. Suatu golongan yang mempunyai dwi kewarganegaraan dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat Pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan bahwa mereka dengan sendirinya telah melepaskan kewarganegaraan RRC- nya. 2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a, harus memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang akan mereka pertahankan. Dengan ketentuan bahwa mereka yang tidak menyatakan pilihannya menjadi warga negara asing. Suami/ istri yang berkewarganegaraan rangkap menentukan pilihannya masing-masing. Dan selama anak belum dewasa, mengikuti pilihan bapak/ ibunya. Dan jika telah dewasa anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan. Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masingmasing tetap memiliki kewarganegaraan asal, kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan dari partnernya. Apabila ia memperoleh kewarganegaraan partnernya, dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan asalnya. Dari sudut ketentuan Indonesia, ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum yang diatur dalam Undang-Undang No. 68 Tahun 1958.

22 83 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun peraturan tersebut antara lain menjelaskan bahwa mereka yang melepas kewarganegaraan RRC, harus membuat pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis. Mereka yang menyatakan penolakan secara tertulis akan diberi surat pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara RI. Sedangkan mereka yang membuat pernyataan lisan akan diberi Surat catatan pernyataan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Selanjutnya diatur siapa saja orang Tionghoa yang terkena dan dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan dan mereka diharuskan membuat pernyataan melepaskan diri dari warga negara RRC. Dalam Pasal 12 Bab II Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 disebutkan bahwa ada berbagai kelompok Warga Negara Indonesia yang dikelompokkan sebagai Warga Negara Indonesia tunggal atau mereka yang tidak diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan RI-RRC dan tetap menjadi Warga Negara Indonesia, yaitu mereka yang berstatus tentara, veteran, pegawai pemerintah, mereka yang pernah membela nama Republik Indonesia di dunia Internasional, petani, bahkan secara implisit mereka yang sudah mengikuti Pemilu Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan sehingga pemilihan kewarganegaraan RI atau RRC tetap diterapkan kepada mereka. Bagi mereka yang berkewarganegaraan ganda disediakan sejumlah formulir pernyataan. Terdapat enam jenis formulir bagi orang-orang Tionghoa yang dianggap mempunyai dwi kewarganegaraan. Lima dari enam jenis formulir

23 84 tersebut dituangkan padaa PP No. 20 Tahun 1959 (formulir I-V), sedangkan satu jenis formulir lainnya (formulir VI) adalah perwujudan dari PP No. 5 Tahun Masing-masing formulir tersebut yang menunjukkan latar belakang pemohon dan merupakan indikator penting untuk menelusuri keabsahan keterangan kewarganegaraan RI, khususnya dalam rangka menentukan status kewarganegaraan para keturunan mereka di kemudian hari (Poerwanto, 2005: 241). Surat pernyataan keterangan ini merupakan surat bukti langsung tentang kewarganegaraan Republik Indonesia bagi orang yang menyatakan keterangan tersebut dan bagi anak-anak yang belum dewasa yang disebut di dalam surat itu selama anak-anak tersebut belum dewasa. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI- RRC yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 pada tanggal 11 Januari 1958 dan diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1959 dengan masa opsi mulai tanggal 20 Januari 1960 sampai 20 Januari 1962 telah menyelesaikan permasalahan dwi kewarganegaraan RI-RRC. Pada tanggal 10 April 1969, Undang-Undang No.2 Tahun 1958 dicabut dengan Undang-Undang No. 4 Tahun Pencabutan ini dilakukan karena menurut Titi Sumbung (Suryadinata, 1984: ): perjanjian tersebut, sebagaimana diuraikan oleh seorang pengacara peranakan, tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana yang dimaksudkan karena sebagian besar orang yang berkewarganegaraan ganda telah memilih warga negara Indonesia pada akhir Berdasarkan ketentuan yang baru, mereka yang memiliki status warga negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 tetap menjadi warga negara Indonesia. Demikian juga dengan keturunannya atau mereka yang mempunyai hubungan hukum dengannya. Untuk selanjutnya mereka tunduk

24 85 kepada Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 mengenai kewarganegaraan Republik Indonesia. Sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1969, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Edaran No. DTB/16/4 tentang Penyelesaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1958 tidak dapat dipergunakan lagi mulai tanggal 10 April Surat Edaran tersebut kemudian diikuti oleh Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/9/11, tanggal 1 Juli 1969, yang ditujukan kepada semua ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat Edaran ini memberikan pedoman kerja, salah satunya adalah Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) bagi orang-orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), Pasal 9, dan Pasal 13 Undang no. 62 Tahun Dengan demikian, setelah Perjanjian Dwi Kewarganegaraan tersebut dibatalkan pada 10 April 1969 dengan UU No 4/1969, permasalahan status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal, yang setelah dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain kewarganegaraan Indonesia (Penjelasan Umum UU No 4/1969) dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan SBKRI.

25 86 IV.3. Dampak Terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Pada tanggal 22 April 1955 telah tercapai perjanjian antara pemerintah RI dan RRC mengenai masalah dwi kewarganegaraan, dan perjanjian tersebut telah diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958 (Lembaran Negara No.5 Tahun 1958). Dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut dalam waktu dua tahun, secara yuridis formal orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia yang memilih dan menentukan kewarganegaraannya sesuai dengan perjanjian tersebut. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak menyelesaikan persoalan dwi kewarganegaraan, karena pada saat itu masih terdapat kekaburan kewarganegaraan diantara orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Sebagaimana Titi Sumbung mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi tentang pelaksanaan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (Sinar Harapan, 26 dan 28 Februari 1969) yaitu : 1. Sebagian besar dari mereka telah memilih kewarganegaraan RI dan melepaskan kewarganegaraan RRT. 2. Banyak diantara mereka juga dengan perjanjian ini seruan RRT atau tidak menggunakan kesempatan yang diberikan oleh perjanjian tersebut. Sehingga secara yuridis formal mereka warga neagra RRT. Tetapi secara sosial-psikologis mereka acuh tak acuh dengan kewarganegaraan RRTnya sebab mereka merasa tidak ada pilihan lain dengan tidak diakuinya Republik Cina Taiwan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Orang yang berstatus demikian ini lebih banyak lagi jumlahnya sekarang. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik RI-RRT dan dibukanya hubungan Indonesia-Taiwan, meskipun secara tidak resmi, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memilih berdasarkan perjanjian tersebut, atas permintaan sendiri minta pasport Stateless dan menjadi tanpa kewarganegaraan. 3. Kepada anak-anak yang belum dewasa, setelah mereka dewasa 18 tahun diharuskan memilih kewarganegaraan meskipun orang tuanya berdasarkan perjanjian ini sudah menjadi orang Indonesia. Keadaan juga demikian ini akan berlaku terus, juga kepada anak-anak yang dilahirkan setelah perjanjian tersebut selesai dilaksanakan (1961) karena dalam pasal XIV dari perjanjian tersebut ditetapkan bahwa perjanjian ini

26 87 berlaku untuk 20 tahun dan sesudah 20 tahun akan terus berlaku, kecuali salah satu pihak hendak memutuskannya. Dengan demikian terus menerus status kewarganegaraan anak-anak keturunan Tionghoa masih belum jelas, yaitu masih berstatus sementara, begitu ia sudah berumur 18 tahun, dalam waktu satu tahun ia harus memilih warga negara RI ataukah RRC, jika ia memilih kewarganegaraan RI maka ia harus menyatakan melepaskan kewarganegaraan RRC, demikian juga sebaliknya. Dengan dibekukannya hubungan diplomatik antara RI-RRC, pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC sudah tidak mempunyai arti lagi, sedangkan bagi mereka yang mau memilih kewarganegaraan RRC, praktis sudah tidak ada yang menampung lagi dengan kenyataan-kenyataan tersebut sudah jelas bahwa perjanjian tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan, yang ada justru merugikan kepentingan-kepentingan nasional bangsa Indonesia (Sinar Harapan, 28 Februari 1969). Selain berdampak kepada kepentingan nasional bangsa Indonesia, terbentuknya Perjanjian Dwi Kewarganegaraan pada tahun 1955, tentunya menimbulkan dampak bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Baik dampak dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial-budaya. 1. Dampak dalam Bidang Politik Orang-orang Tionghoa dalam perkembangan politik di Indonesia, bersikap dan bertindak dengan dasar politik menumpangkan nasib. Bagi mereka siapa saja yang memegang pemerintahan Indonesia, tidak menjadi soal bagi mereka. Dengan politik demikian mereka berhasil menyelamatkan kedudukannya. Pada waktu kemerdekaan ada sepenuhnya ditangan bangsa Indonesia, mereka merasa

27 88 khawatir, cemas oleh karena merasa kehilangan perlindungan dari Belanda. Itulah sebabnya mereka berusaha untuk mencari perlindungan kepada pemerintah di negeri leluhurnya (Hidayat, 1993: 110). Pada periode banyak partai, muncul sebuah partai orang-orang Tionghoa yang berorientasi pada konsep integrasi, yaitu Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI). Akan tetapi umur partai tersebut tidak lama karena tak dapat bertahan mengahadapi tumbuhnya kecenderungan untuk berbaur di kalangan peranakan, sikapnya yang apatis terhadap masalah politik dan sosial, serta ketidakacuhan golongan totok, para penganut konsep pembauran mendorong Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa untuk bergabung dengan berbagai partai yang di dominasi pribumi dan tidak menjadi elite yang secara rasial, ekonomi, dan kultural berbeda. Pada masa Demokrasi Parlementer ( ) terdapat beberapa orang Tionghoa yang menjadi anggota parlementer dan menteri, delapan orang etnis Tionghoa menjadi anggota DPRS yaitu: Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan, Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954 diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bula Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To). Di dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I Dr. Ong Eng Die ditunjuk menjadi menteri keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi menteri kesehatan. Dalam DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung Tin Jan (Partai Khatolik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di

28 89 Konstituante terpilih sebagai anggota antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen seng, Oei Poo Djiang semuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI. Di masa Demokrasi Terpimpin ( ), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam kabinet kerja ke IV, Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya dan Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yangdisempurnakan. ( Namun, kondisi menjadi berubah dengan adanya gejala-gejala disintegrasi dalam bidang politik, sosial dan ekonomi Indonesia menjelang akhir tahun an, kemenangan-kemenangan di parlemen, kemajuan ekonomi pada umumnya, dan perpecahan yang semakin besar di antara orang-orang totok yang tidak mau berpartisipasi, golongan peranakan integrasionis, dan saingannya yakni golongan asimilasionis, bahkan ancaman hebat yang ada terhadap kehadiran orang Tionghoa di Indonesia. Seperti pengusiran orang Tionghoa dari daerah pedalaman, serta masalah-masalah lainnya yang membuat kehidupan orang Tionghoa di Indonesia tidak menentu. Sebagai akibat dari keadaan tidak menentu tersebut, lahirlah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1954 atas inisiatif Siauw Giok Tjhan. Organisasi tersebut terbuka untuk semua orang Indonesia, tanpa memandang ras, dan tujuannnya yaitu untuk memilih dan

29 90 mendukung calon-calon dalam partai-partai politik yang nonetnis dan non religius, serta untuk memperjuangkan perlakuan yang sama terhadap semua WNI (Greif, 1991: 14). Di masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin perlu dicatat peranan Baperki sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa WNI yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku. Pada hakikatnya Baperki itu bersifat Cina dan peranakan, untuk menggantikan PDTI yang tidak bertahan lama. Pada awalnya Baperki tidak menganut sesuatu ideologi dan pada dasarnya integrasionis, yakni menginginkan agar golongan Tionghoa menjadi sebuah suku bangsa di samping suku-suku bangsa Indonesia lainnnya yang sudah ada. Dalam menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat, mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam tubuh bangsa Indonesia.

30 91 Secara sederhana integrasi adalah suatu proses percampuran etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, tanpa meninggalkan budaya asalnya. Dalam pengertian yang lebih spesifik, integrasi ini lebih tepat sebagai penggabungan etnis Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia, sebagai suku baru lengkap dengan budayannya. Nation yang bersih dari diskriminasi hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, etnis, ras dan agama beserta budayanya masingmasing. Pada awalnya Baperki menguntungkan, namun selanjutnya Baperki larut ke dalam kemelut politik Indonesia. Dalam perkembangannya, Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak memiliki pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol-Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, tentunya Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh kekuatan revolusi pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Partai Khatolik, NU, PSII dsb. Dalam rangka perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia.

31 92 Kondisi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, PNI, Partindo serta kekuatan-kekuatan pendukung Soekarno lainnya. Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal tersebut menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, selanjutnya turut bergabung di dalamnya. Masalah kewarganegaraan bukan semata-mata masalah hukum, melainkan mencakup soal yang lebih kompleks, seperti loyalitas dan arti memiliki negara. Oleh karena itu dengan didirikannya organisasi di kalangan orang Tionghoa yakni Baperki,diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut. Awalnya organisasi ini tujuan utamanya adalah membantu pemecahan masalah dwi kewarganegaraan. Akan tetapi organisasi tersebut cenderung berfungsi sebagai partai politik. Baperki ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun Setelah Pemilihan Umum tahun 1955 dan krisis tahun , di bawah ketuanya Siauw Giok Tjhan yang pro komunis, organisasi tersebut beralih ke kiri. Hal tersebut menyebabkan reputasi Baperki menurun di mata publik. Setelah PKI mengejutkan dengan meraih sukses dalam pemilu tahun 1955 dan sikap simpatinya terhadap orangorang keturunan Tionghoa yang dinyatakan secara terang-terangan., membuat aktivitas Baperki menjadi sejajar dengan aktivitas PKI, sebagai akibatnya

32 93 sentimen kaum pribumi yang anti komunis dan anti Cina makin besar. Mulai saat itu komunisme diasosiasikan dengan Cina. Meskipun Baperki berhasil melindungi kepentingan bisnis orang Tionghoa, namun banyak kaum peranakan yang merasa kecewa pada Baperki yang berpindah haluan ke kiri dan mengeluarkan pernyataan yang kurang baik bahwa pembauran itu salah dan orang Tionghoa harus hanya berkeinginan untuk menjadi salah satu suku bangsa Indonesia. Karena itu Baperki dituduh berusaha untuk melestarikan sikap ekslusif orang Tionghoa. Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan Statement Asimilasi yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritas hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktif dan bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr. Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs. Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs. Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr. Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Selanjutnya pada tanggal Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan Piagam Asimilasi. Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan. (

33 94 Dalam rangka melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta mengahambat pengaruh Baperki, maka pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof. Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs. Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo, dllnya. Para pemimpin organisasi tersebut terdiri dari orangorang muda yang terpelajar dan bersikap agresif dalam mengejar tujuan pembaurannya banyak dari mereka yang telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menganjurkan agar semua orang Tionghoa melakukannya. Bagi organisasi tersebut hanya ada dua kategori orang Indonesia yaitu WNI dan WNA, tanpa adanya perbedaan ras. LPKB dan kaum penganut pembauran muncul pada saat yang tepat, yaitu ketika kaum totok telah berkurang jumlahnya dengan terusirnya 100 ribu orang Tionghoa pada tahun Perjanjian Dwi Kewarganegaraan dengan RRC telah meningkatkan jumlah orang Tionghoa WNI yang memutuskan semua hubungan dengan Cina. Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan dengan menitikberatkan pada asimilasi sosial. Asimilasi dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan yakni, asimilasi politik, asimilasi ekonomi, asimilasi kultural, dan asimilasi sosial. Semuanya harus dilaksanakan dengan seimbang dan sebaik-baiknya.

BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN KOMUNITAS CINA DI YOGYAKARTA. A. Dasar Hukum Kewarganegaraan Komunitas Keturunan Cina

BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN KOMUNITAS CINA DI YOGYAKARTA. A. Dasar Hukum Kewarganegaraan Komunitas Keturunan Cina BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN KOMUNITAS CINA DI YOGYAKARTA A. Dasar Hukum Kewarganegaraan Komunitas Keturunan Cina Pada tahun pertama kemerdekaan Republik Indonesia, Pemerintah belum memperhatikan persoalan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Dalam pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai kedatangan Etnis Tionghoa ke Indonesia baik sebagai pedagang maupun imigran serta terjalinnya hubungan yang

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan diteliti.

11. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan diteliti. 11. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA 2.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini akan diuraikan beberapa

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1958 TENTANG PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Bangsa yang majemuk, artinya Bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beranekaragam Agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan daerah.

Lebih terperinci

TOKOH-TOKOH TIONGHOA DALAM REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA 1

TOKOH-TOKOH TIONGHOA DALAM REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA 1 TOKOH-TOKOH TIONGHOA DALAM REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA 1 Bondan Kanumoyoso http://www.nabilfoundation.org/media.php?module=publikasi&id=152 Kamis, 25 November 2010-12:05:57 WIB Tulisan ini menyorot

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

KEDUDUKAN WARGA NEGARA & PERWAGA- NEGARAAN DI INDONESIA

KEDUDUKAN WARGA NEGARA & PERWAGA- NEGARAAN DI INDONESIA EDITOR Rakyat Dalam Suatu Negara Penduduk Bukan Penduduk Warga Negara Bukan WN KEDUDUKAN WARGA NEGARA & PERWAGA- NEGARAAN DI INDONESIA Asas Kewarganegaraan Penduduk dan Warga Negara Indonesia Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. kekuasaan dan mempertahankan penjajahan Jepang di Indonesia, khususnya di

BAB V KESIMPULAN. kekuasaan dan mempertahankan penjajahan Jepang di Indonesia, khususnya di BAB V KESIMPULAN Pada masa pemerintahan Jepang berkuasa di Yogyakarta dari tahun 1942-1945. Jepang membuat peraturan mengenai pemerintahan Jepang yang ditujukan kepada kepentingan dan usaha perang, dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, bebas dan jujur.tetapi pemilihan umum 1955 menghasilkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Kedudukan Opsir Cina dalam Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia antara Tahun 1910-1942. Bab ini berisi

Lebih terperinci

Pasang surut hubungan partai komunis dan partai nasionalis di cina tahun

Pasang surut hubungan partai komunis dan partai nasionalis di cina tahun Pasang surut hubungan partai komunis dan partai nasionalis di cina tahun 1934-1949 UNIVERSITAS SEBELAS MARET OLEH : Ana Rochayani K 4404012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cina adalah sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum kedatangan bangsa Belanda, etnis Tionghoa sudah menyebar ke seluruh Nusantara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum kedatangan bangsa Belanda, etnis Tionghoa sudah menyebar ke seluruh Nusantara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum kedatangan bangsa Belanda, etnis Tionghoa sudah menyebar ke seluruh Nusantara. Secara umum etnis Tionghoa adalah orang-orang yang berasal dari Tiongkok. Sebutan

Lebih terperinci

Ebook dan Support CPNS Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com:

Ebook dan Support CPNS   Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com: SEJARAH NASIONAL INDONESIA 1. Tanam paksa yang diterapkan pemerintah colonial Belanda pada abad ke-19 di Indonesia merupakan perwujudan dari A. Dehumanisasi masyarakat Jawa B. Bekerjasama dengan Belanda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, artinya bangsa yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, artinya bangsa yang terdiri 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, artinya bangsa yang terdiri dari beberapa suku bangsa, beraneka ragam agama, latar belakang sejarah dan kebudayaan

Lebih terperinci

G30S dan Kejahatan Negara

G30S dan Kejahatan Negara Telah terbit Buku: G30S dan Kejahatan Negara Catatan Penyunting Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar pukul 7 pagi, saya bermain catur dengan ayah saya, Siauw Giok Tjhan di beranda depan rumah. Sebuah kebiasaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

Waktu : 6 x 45 Menit (Keseluruhan KD)

Waktu : 6 x 45 Menit (Keseluruhan KD) Waktu : 6 x 45 Menit (Keseluruhan KD) Standar Kompetensi : 5. Menghargai persamaan kedudukan warga negara dalam berbagai aspek kehidupan. Kompetensi Dasar : 5.1. Mendeskripsikan kedudukan warga negara

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN *)

PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN *) Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1958 (2/1958) Tanggal: 11 JANUARI 1958 (JAKARTA) Sumber: LN 1958/5 Tentang: PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bendera negara yaitu

Lebih terperinci

Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku

Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku Go Gien Tjwan 1 Pada tanggal 4 November 1965, lebih dari sebulan setelah Gerakan 30 September yang melakukan kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965, Siauw Giok Tjhan diambil oleh

Lebih terperinci

UU 2/1958, PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN.*)

UU 2/1958, PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN.*) UU 2/1958, PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN.*) Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:2 TAHUN 1958 (2/1958) Tanggal:11 JANUARI 1958 (JAKARTA)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan keadilan bagi masyarakatnya sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun 1950-1959 di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V, penulis memaparkan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara studi literatur yang data-datanya diperoleh

Lebih terperinci

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan Badan Pekerja KNIP; UUDS 1950 A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS) Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejarah Indonesia penuh dengan perjuangan menentang penjajahan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejarah Indonesia penuh dengan perjuangan menentang penjajahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah Indonesia penuh dengan perjuangan menentang penjajahan. Perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia merupakan rangkaiaan peristiwa panjang yang

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan. Hidup berdampingan secara damai antara warga negara yang beragam tersebut penting bagi

Lebih terperinci

yang korup dan lemah. Berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Qing menandai masuknya Cina ke dalam era baru dengan bentuk pemerintahan republik yang

yang korup dan lemah. Berakhirnya masa pemerintahan Dinasti Qing menandai masuknya Cina ke dalam era baru dengan bentuk pemerintahan republik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Rakyat Cina (RRC) adalah salah satu negara maju di Asia yang beribukota di Beijing (Peking) dan secara geografis terletak di 39,917 o LU dan 116,383

Lebih terperinci

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seorang warga negara Indonesia dengan paspor Indonesia belum tentu orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seorang warga negara Indonesia dengan paspor Indonesia belum tentu orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan. Seorang warga negara Indonesia dengan paspor Indonesia belum tentu orang tersebut adalah bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Orang-orang Indonesia yang berdarah Tionghoa (berikutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Orang-orang Indonesia yang berdarah Tionghoa (berikutnya disebut 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Orang-orang Indonesia yang berdarah Tionghoa (berikutnya disebut sebagai orang Tionghoa Indonesia) dianggap masih belum membaur seutuhnya dengan orang Indonesia

Lebih terperinci

A. Pengertian Orde Lama

A. Pengertian Orde Lama A. Pengertian Orde Lama Orde lama adalah sebuah sebutan yang ditujukan bagi Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Soekarno. Soekarno memerintah Indonesia dimulai sejak tahun 1945-1968. Pada periode

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pemikiran dua tokoh tersebut, tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan masa lalunya yang

BAB V KESIMPULAN. pemikiran dua tokoh tersebut, tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan masa lalunya yang BAB V KESIMPULAN Sutan Sjahrir dan Tan Malaka merupakan dua contoh tokoh nasional yang memberikan segenap tenaga dan pikirannya pada masa kemerdekaan. Kajian terhadap pemikiran dua tokoh tersebut, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan warga Negara. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Indonesia adalah suku Cina atau sering disebut Suku Tionghoa.

I. PENDAHULUAN. oleh Indonesia adalah suku Cina atau sering disebut Suku Tionghoa. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari berbagai macam etnis suku dan bangsa. Keanekaragaman ini membuat Indonesia menjadi sebuah negara yang kaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak Orde Baru memegang kekuasaan politik di Indonesia sudah banyak terjadi perombakan-perombakan baik dalam tatanan politik dalam negeri maupun politik luar negeri.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG LAHIRNYA DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

LATAR BELAKANG LAHIRNYA DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 LATAR BELAKANG LAHIRNYA DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 A. Latar Belakang 1. Kehidupan politik yang lebih sering dikarenakan sering jatuh bangunnya kabinet dan persaingan partai politik yang semakin menajam.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN ASIMILASI ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU TAHUN

KEBIJAKAN ASIMILASI ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU TAHUN KEBIJAKAN ASIMILASI ETNIS TIONGHOA PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1966-1998 SKRIPSI Oleh: Silsilatil Faidho NIM. 060210302114 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

PERANAN KOMUNITAS TIONGHOA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA

PERANAN KOMUNITAS TIONGHOA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA PERANAN KOMUNITAS TIONGHOA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA Siauw Tiong Djin Globalization menimbulkan anggapan di benak banyak orang bahwa nation-building (pembangunan bangsa) dan esensi nation tidak lagi relevan.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis BAB V PENUTUP 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Dampak Nasakom Terhadap Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966, penulis menarik kesimpulan bahwa Sukarno sebagi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 119 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang penulis dapatkan dari hasil penulisan skripsi ini merupakan hasil kajian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya. Wilayaha Eritrea yang terletak

Lebih terperinci

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Indonesia Pembaharuan Hukum Catatan Sipil dan Penghapusan Diskriminasi di Diskriminasi dalam konteks kultural, hubungan antar-individu, sebenarnya merupakan fenomena yang umum terjadi di manapun di belahan dunia

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1].

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA. Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1]. KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH[1]. WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara yang

Lebih terperinci

KISI UAS PPKN 20 Desember 2014

KISI UAS PPKN 20 Desember 2014 KISI UAS PPKN 20 Desember 2014 1. Asas Kekeluarganegaraan 2. Sistem Kekeluarganegaraan 3. Deninisi Hukum 4. Hukum Campuran 5. HAM 6. Pembagian / Jenis HAM 7. Pembangunan Nasional 8. Demokrasi PEMBAHASAN

Lebih terperinci

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA A. Sidang PPKI 18 19 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 hanya menyatakan Indonesia sudah merdeka dalam artian tidak mengakui lagi bangsa

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: DEMOKRASI ANTARA TEORI DAN PELAKSANAANNYA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS 1. MENYEBUTKAN PENGERTIAN, MAKNA DAN MANFAAT

Lebih terperinci

BAB IV PENGARUH NASIONALISME ETNIS KETURUNAN ARAB TERHADAP ETNIS KETURUNAN LAIN DI INDONESIA

BAB IV PENGARUH NASIONALISME ETNIS KETURUNAN ARAB TERHADAP ETNIS KETURUNAN LAIN DI INDONESIA BAB IV PENGARUH NASIONALISME ETNIS KETURUNAN ARAB TERHADAP ETNIS KETURUNAN LAIN DI INDONESIA Menurut Slamet Muljana, Nasionalisme adalah manifestasi kesadaran atau semangat dalam berbangsa dan bernegara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN

BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN Kepartaian yang terjadi di Indonesia, sudah mulai tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial Belanda, untuk hal yang menarik untuk disimak dalam buku ini, dimulai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1976 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1976 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1976 TENTANG PERUBAHAN PASAL 18 UNDANG-UNDANG NOMOR 62 TAHUN 1958 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 BAB II ISI... 4 2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan... 2.2 Sistem Pemerintahan Indonesia 1945 s.d.1949...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e )

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e ) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN ( P r e a m b u l e ) Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

Lebih terperinci

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 3

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 3 TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 3 DISUSUN OLEH: NAMA NIM PRODI : IIN SATYA NASTITI : E1M013017 : PENDIDIKAN KIMIA (III-A) S-1 PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATARAM 2014

Lebih terperinci

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang.

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Pokok dan Uraian Materi Indikator Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang Dampak Kebijakan Imperialisme Jepang di Indonesia Uji Kompetensi 2. Kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah 1 BAB I PNDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan tersebut lebih dikenal dengan sebutan revolusi nasional Indonesia. Revolusi nasional

Lebih terperinci

TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( )

TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT ( ) TUGAS KELOMPOK REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (1949-1950) DOSEN PEMBIMBING : ARI WIBOWO,M.Pd Disusun Oleh : Rizma Alifatin (176) Kurnia Widyastanti (189) Riana Asti F (213) M. Nurul Saeful (201) Kelas : A5-14

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA I. UMUM Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. political competition and struggles, in which the media, as institution, take a. position (Kahan, 1999: 22).

BAB I PENDAHULUAN. political competition and struggles, in which the media, as institution, take a. position (Kahan, 1999: 22). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah These approaches and almost all the specific literature on media and politics have in common a view of the media as refelction of the society s political competition

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh

Lebih terperinci

KEHIDUPAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

KEHIDUPAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN KEHIDUPAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN Nama : DIMAS DWI PUTRA Kelas : XII MIPA 3 SMAN 1 SUKATANI 2017/3018 Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD) KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA No (IPK) 1 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual Memahami karakteristik peserta

Lebih terperinci

Tentang Permohonannya.

Tentang Permohonannya. P U T U S A N No. 42 P/HUM/TH.2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa dan memutus perkara permohonan keberatan Hak Uji Materiil dalam tingkat pertama

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA Pembukaan

UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA Pembukaan UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 Pembukaan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat. Melalui Pemilihan Umum juga diyakini akan melahirkan wakil dan pemimpin yang dikehendaki rakyatnya.

Lebih terperinci

Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 Nama : Muhammad Anis NIM : 11.11.5300 Kelompok : E Jurusan S1 TI Dosen : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma. ABSTRAKSI Artinya

Lebih terperinci

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Oleh: R. Herlambang Perdana Wiratraman Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: herlambang@unair.ac.id atau HP. 081332809123

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI A. Politik Identitas Identitas memiliki banyak pengertian tergantung bagaimana identitas itu digunakan. Identitas dapat dipandang sebagai suatu cap terhadap suatu bangsa. Namun di

Lebih terperinci

Tentang: PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA REPUBLIK INDONESIA MALAYSIA. PERJANJIAN PERSAHABATAN.

Tentang: PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN MALAYSIA REPUBLIK INDONESIA MALAYSIA. PERJANJIAN PERSAHABATAN. Bentuk: Oleh: UNDANG-UNDANG (UU) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1971 (1/1971) Tanggal: 10 MARET 1971 (JAKARTA) Sumber: LN 1971/15; TLN NO. 2956 Tentang: PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin NEGARA = State (Inggris), Staat (Belanda),Etat (Perancis) Organisasi tertinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dengan berakhirnya Perang Dunia kedua, maka Indonesia yang sebelumnya dijajah oleh Jepang selama 3,5 tahun berhasil mendapatkan kemerdekaannya setelah di bacakannya

Lebih terperinci

Komunisme dan Pan-Islamisme

Komunisme dan Pan-Islamisme Komunisme dan Pan-Islamisme Tan Malaka (1922) Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009 Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat

Lebih terperinci

Kenangan Memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan. Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, pantang mundur menghadapi kesulitan dan penderitaan

Kenangan Memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan. Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, pantang mundur menghadapi kesulitan dan penderitaan Kenangan Memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, pantang mundur menghadapi kesulitan dan penderitaan Huang Shu Hai 1 Judul di atas mengungkapkan dua aspek sosok

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hampir semua negara majemuk termasuk Indonesia mempunyai kelompok minoritas dalam wilayah nasionalnya. Kelompok minoritas diartikan sebagai kelompok-kelompok

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1964 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB DPR-GR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu ditetapkan Peraturan Tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DWIKEWARGANEGARAAN ETNIS TIONGHOA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL

KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DWIKEWARGANEGARAAN ETNIS TIONGHOA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL 1 KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG DWIKEWARGANEGARAAN ETNIS TIONGHOA PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL Oleh : Resti Ratnawati, Iskandar Syah, Suparman Arif FKIP Unila Jalan. Prof. Soemantri Brojonegoro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia saat ini telah dijumpai beberapa warga etnis seperti Arab, India, Melayu apalagi warga etnis Tionghoa, mereka sebagian besar telah menjadi warga Indonesia,

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bendera negara yaitu

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB II GAMBARAN UMUM BAB II GAMBARAN UMUM 2.1. Jepang Pasca Perang Dunia II Pada saat Perang Dunia II, Jepang sebagai negara penyerang menduduki negara Asia, terutama Cina dan Korea. Berakhirnya Perang Dunia II merupakan kesempatan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

BAB IV TANGGAPAN DAN TINDAKAN KOMUNITAS ARAB DALAM MENYIKAPI ADANYA PARTAI ARAB INDONESIA

BAB IV TANGGAPAN DAN TINDAKAN KOMUNITAS ARAB DALAM MENYIKAPI ADANYA PARTAI ARAB INDONESIA BAB IV TANGGAPAN DAN TINDAKAN KOMUNITAS ARAB DALAM MENYIKAPI ADANYA PARTAI ARAB INDONESIA A. Reaksi Pro dan Kontra Pengakuan nasionalisme Indonesia keturunan Arab pada paruh pertama abad ke-20 tidak hanya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Terdapat beberapa hal yang penulis simpulkan berdasarkan permasalahan yang 168 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam bab sebelumnya. Terdapat

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN SPANYOL MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN SECARA RESIPROKAL ATAS PENANAMAN

Lebih terperinci

(Negara dan Kedaulatan)

(Negara dan Kedaulatan) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA (Negara dan Kedaulatan) Modul 10 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 77 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gagalnya Konstituante dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gagalnya Konstituante dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagalnya Konstituante dalam menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan diikuti keadaan politik yang semakin rawan dengan munculnya rasa tidak puas dari daerah terhadap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1961 TENTANG PEMBUATAN PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1961 TENTANG PEMBUATAN PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1961 TENTANG PEMBUATAN PERJANJIAN PERSAHABATAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa perlu

Lebih terperinci

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi.

1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. 1. Menjelaskaan kekuasaan dalam pelaksanaan konsitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan. Menurut Pusat Pembinaan 10 II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Usaha K. H. Abdurrahman Wahid Usaha merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, dapat pula dikatakan

Lebih terperinci

PANCASILA & AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. Tugas akhir kuliah Pendidikan Pancasila. Reza Oktavianto Nim : Kelas : 11-S1SI-07

PANCASILA & AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA. Tugas akhir kuliah Pendidikan Pancasila. Reza Oktavianto Nim : Kelas : 11-S1SI-07 PANCASILA & AGAMA Tugas akhir kuliah Pendidikan Pancasila STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Nama : Reza Oktavianto Nim : 11.12.5818 Kelas : 11-S1SI-07 Jurusan : S1 SISTEM INFORMASI KEL. : NUSANTARA DOSEN : Drs.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulgani, H. Roeslan, Ganyang Setiap Bentuk Neo-Kolonialisme yang Mengepung Republik Indonesia, dalam Indonesia, 1964-B

DAFTAR PUSTAKA. Abdulgani, H. Roeslan, Ganyang Setiap Bentuk Neo-Kolonialisme yang Mengepung Republik Indonesia, dalam Indonesia, 1964-B BAB V KESIMPULAN Jepang menjadi lumpuh akibat dari kekalahanya pada perang dunia ke dua. Namun, nampaknya karena kondisi politik internasional yang berkembang saat itu, menjadikan pemerintah pendudukan

Lebih terperinci