SKRIPSI. Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI. Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A009044"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) SKRIPSI Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

2 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) SKRIPSI Oleh: YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i

3

4 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : YUSTYAWAN WIDYATMIKO NIM : E1A Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) Yang saya buat ini betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH) yang saya sandang. Purwokerto, Februari 2015 YUSTYAWAN WIDYATMIKO E1A iii

5 MOTTO SEKALI LAYAR TERKEMBANG, SURUT KITA BERPANTANG iv

6 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi dengan judul: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009) telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dengan segala hormat, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Prof. Dr. Ade Maman Suherman, SH, M.Sc., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional, atas segala masukan yang diberikan kepada penulis; 3. Dr. H.M. Isplancius, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir;

7 4. Aryuni Yuliantiningsih, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 5. Dr. Noer Indriati, S.H, M.Hum., selaku Dosen Penguji atas segala masukan yang diberikan kepada penulis; 6. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 7. Orangtuaku tercinta, Ayahanda Drs. H. Setyo Mukaryadji dan Ibunda Yusnani serta adikku tersayang Herlambang Yustyasaputra dan Fauziah Sekar Yustyawati atas semua kasih sayang dan doanya yang tidak pernah terputus sepanjang waktu; 8. Mia Sarah Zuztitiana, S.Si., atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis; 9. Keluarga besar Pemuda Pancasila dan Satuan Pelajar dan Mahasiswa Pemuda Pancasila (SAPMA PP) Kabupaten Banyumas atas semua pengalaman berharganya. Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan. Amin. Purwokerto, Februari 2015 Penulis

8 ABSTRAK Pada saat ini ada teknologi yang sudah digunakan atau yang akan digunakan dalam berperang, pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang paling terlihat sebagai contoh teknologi terbaru. Amerika Serikat menggunakan pesawat tanpa awak (unmanned drones) untuk melakukan serangan militer dengan alasan bahwa unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam membasmi jaringan teroris. Tetapi kenyataannya unmanned drones dapat memberikan penderitaan dan mengakibatkan luka yang berlebihan kepada manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peraturan penggunaan unmanned drones menurut Hukum Humaniter Internasional dan untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data kemudian dianalisis menggunakan metode normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan unmanned drones belum diatur secara tegas dalam Hukum Humaniter Internasional. Unmanned drones merupakan senjata yang ilegal penggunaannya dalam sengketa bersenjata internasonal karena melanggar prinsip-prinsip yang ada di dalam Hukum Humaniter Internasional. Karena banyak pelanggaran yang dilakukan oleh penggunaan unmanned drones, maka perlu dibuat peraturan yang mengatur penggunaan unmanned drones dalam konflik bersenjata dan memberikan batasan yang dipandang pantas dalam penggunaannya. Serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 merupakan pelanggaran kedaulatan negara lain. Operasi militer Amerika Serikat untuk menangkap teroris melanggar prinsip yang ada di dalam Hukum Humaniter Internasional, yaitu prinsip kemanusiaan (humanity), prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionality principle). Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari ancaman teroris, namun kewajiban tersebut harus seimbang terhadap kewajiban untuk melindungi kehidupan penduduk sipil yang tidak bersalah dalam konflik antara negara dan teroris.

9 ABSTRACT Nowadays there are some technologies that had been used or to be used in war, unmanned drone is the most visible as an example that latest technology. United States use an unmanned drones for a military attack with a reason that the unmanned drones are the most effective in rooting out terrorist. But in fact unmanned drones can give an excessive wound and caused misery to man. The purpose of this research is to determine the use of unmanned drones regulation by International Humanitarian Law and to determine the United State unmanned drones attack in Pakistan in 2009 by International Humanitarian Law and to determine the case of United States of America s unmanned drones attack in Pakistan in 2009 reviewed according to International Humanitarian Law. The research method used is the juridical norm, by means of a statutory approach method and the approach of the case. The source of the data used are secondary data. The data are then analyzed using the methods of normative qualitative. Based on the survey results of research that the use of unmanned drones not clearly regulated in humanitarian international law. Unmanned drones were a illegal its use in an armed dispute internasional because it violated the principles laid down in humanitarian international law. Because many of the violations committed by the use of unmanned drones, it needs to be made to the regulations governing the use of unmanned drones in armed conflict and provide restrictions deemed appropriate in its use. The united states unmanned drone attack in Pakistan in 2009 is a violation of the sovereignty of other countries. United States military operation to capture terrorists in violation of the principle of International Law, namely the principle of Humanity, the principle of limitation, and the principle of proportionality. United States have a duty to protect its citizens from terrorist threats, but such obligations should be balanced against the obligation to protect the lives of innocent civilians in the conflict between the State and terrorists.

10 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii MOTTO... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 6 C. Tujuan Penelitian... 7 D. Kegunaan Penelitian... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8 A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional Pengertian Hukum Internasional dan Subyek Hukum Internasional Sumber Hukum Internasional B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional Sarana dan Metode Berperang ix

11 C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones Sejarah Unmanned Drones Pengertian Unmanned Drones Jenis-Jenis Unmanned Drones BAB III METODE PENELITIAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V PENUTUP A. Simpulan B. Saran Daftar Pustaka ix

12 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dari gangguan, baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah. 1 Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban, dengan terwujudnya ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Sehingga untuk mewujudkan ketertiban itu manusia akan memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah, oleh karena itu demi mewujudkan ketertiban, segala aspek kehidupan manusia perlu diatur oleh hukum. Tujuan utama hukum internasional mengarah kepada upaya untuk menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin secara obyektif adanya keadilan diantara negara-negara. Selain mengingat bahwa negara-negara memperoleh perlakuan adil, hukum bangsabangsa modern juga bertujuan untuk menjamin keadilan bagi umat manusia. 2 Salah satu cabang dalam Hukum Internasional adalah Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional memberikan banyak kontribusi untuk adanya perang yang manusiawi yaitu perang yang menjunjung tinggi 1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm.2. 2 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm.6.

13 2 prinsip kemanusiaan dan hak asasi tiap manusia untuk dilindungi. Dengan ini menyebabkan adanya aturan-aturan dari hukum kebiasaan maupun sumbersumber hukum internasional lainnya untuk mencegah terjadinya perang yang sangat besar. Seiring dengan dinamisnya perkembangan Hukum Internasional, ada beberapa senjata yang dilarang penggunaannya dan persenjataan lain diatur penggunaannya sesuai dengan prinsip-prinsip umum Hukum Internasional maupun Hukum Humaniter Internasional. Prinsip-prinsip dalam Hukum Internasional ini terdapat baik dalam kondisi jus ad bellum dan jus in bello. Prinsip jus ad bellum (law on the use of force atau peraturan dalam kekuatan bersenjata) dan prinsip jus in bello (law in war atau peraturan saat perang). Jus ad bellum berorientasi pada peraturan yang diatur dalam Piagam PBB ataupun peraturan yang mengesahkan suatu negara dalam mengambil tindakan kekerasan. Jus in bello merupakan pengaplikasian peraturan-peraturan yang dilakukan pada saat peperangan atau lebih dikenal dengan Hukum Humaniter Internasional. 3 Kedua keadaan di atas memiliki prinsip-prinsip yang harus diterapkan, baik prinsip pada jus ad bellum agar dapat mengkategorikan bahwa penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara dapat diakui keabsahannya ataupun prinsip dalam jus in bello yang terkait dengan apakah negara-negara yang sedang dalam peperangan tidak melanggar atau bertindak jauh dari apa yang seharusnya 3 ICRC Overview. IHL and Other Legal Regimes Jus Ad Bellum and Jus In Bello. Diakses pada tanggal 13 Maret 2014.

14 3 dilakukan. 4 Prinsip-prinsip tersebut, khususnya prinsip yang terkait dalam jus in bello telah lama digunakan dan dituangkan dalam Konvensi Jenewa. Perkembangan dari senjata-senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik, perlindungan untuk negara dan keamanan internasional diatur dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 mengenai alat dan cara berperang, bunyi Pasal 36 ini adalah: In the study, development, acquisition or adoption of a new weapon, means or method of warfare, a High Contracting Party is under an obligation to determine whether its employment would, in some or all circumstances, be prohibited by this Protocol or by any other rule of international law applicable to the High Contracting Party terjemahan bebasnya adalah : di dalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu Pihak Peserta Agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung). Pasal tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada. Memasuki abad 20 masyarakat internasional sadar akan pentingnya peraturan yang lebih luas, detail dan mengatisipasi penggunaan kekuatan bersenjata. Lewat pernyataannya dalam diskusi International Humanitarian Law and New Weapon Technologies, Presiden Palang Merah Internasional menyatakan bahwa sekarang ini, kita hidup dalam masa teknologi informasi dan melihat Alexander Moseley. Just War Theory. Diakses pada tanggal 13 Maret

15 4 teknologi dipergunakan dalam wilayah tempur. Pada saat ini banyak teknologi baru yang sudah digunakan maupun yang baru akan digunakan untuk berperang. Beberapa teknologi yang sekarang ini sudah digunakan untuk berperang diantaranya yaitu teknologi cyber, sistem remote control dan sistem senjata robot. Pesawat tanpa awak (unmanned drones) adalah yang paling terlihat sebagai contoh teknologi terbaru. 5 Pernyataan ini tentu saja merupakan refleksi dari peristiwa-peristiwa yang meresahkan dunia internasional sekarang ini khususnya penggunaan remotecontrolled weapon systems. Penggunaan unmanned drones atau pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam memerangi terorisme ataupun tindak kejahatan lain menjadi perbincangan yang kontroversial dalam forum internasional. Pada saat ini Hukum Internasional tidak mempunyai kepastian dalam mengatur mengenai penggunaan unmanned drones, tidak sama seperti pengaturan Hukum Internasional terhadap nuklir ataupun misil balistik. Unmanned drones digunakan oleh Amerika Serikat dengan alasan bahwa unmanned drones merupakan senjata paling efektif dalam membasmi jaringan teroris dan telah dioperasikan semenjak jaman Presiden Bush dan dimasa Presiden Obama sekarang ini. Pada tahun 2009 salah satu agen spesial dari PBB, the Special Rapporteur, Philip Alston menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones oleh Amerika Serikat dalam menarget militan di Pakistan dan Afghanistan dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional, kecuali Amerika 5 Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak (Unmanned Drones) Dalam Hukum Internasional, Lex Crimen, Volume 2 Nomor 1 Januari 2013, hlm. 186.

16 5 Serikat dapat menunjukkan pemberitahuan yang sepantasnya dan mekanisme yang akuntabilitas. Hal ini dipicu dari fakta yang terjadi dilapangan yang mana pemerintah Amerika Serikat menolak untuk menyediakan informasi resmi mengenai penggunaan unmanned drones dalam penyerangan yang menewaskan ribuan orang di Afganistan, Iraq, Pakistan, Yemen dan Somalia. Penyerangan di Pakistan sendiri, tentara militer Amerika Serikat telah melepaskan serangan sebanyak 297 kali yang menyebabkan meninggalnya rakyat sipil. Penggunaan unmanned drones semakin dikenal dengan penyerangan yang menewaskan Osama Bin Laden di Pakistan tahun 2011 lalu. 6 Penyerangan Amerika di Pakistan atau penyerangan Central Intelligence Agency ( CIA ) di Pakistan dan daerah yang telah dikenal sebagai war zones (wilayah perang) banyak dipandang oleh pemerhati Hukum Internasional sebagai penyerangan yang illegal karena bertentangan dengan Hukum Perang. Kemudian beberapa pemerhati Hukum Internasional menyatakan bahwa pembunuhan masyarakat sipil secara luas dapat berakibat pada kejahatan perang. Hal ini dikarenakan penyerangan terhadap penduduk lokal yang tidak berdaya dan tanpa adanya kepentingan militer dapat berakibat pada pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa yang membuat tindakan itu masuk dalam kategori kejahatan perang. 10 Maret Bin Laden Is Dead. Obama Says. Doug Mills. Diakses pada tanggal

17 6 Terkait dengan hal diatas dalam laporan pada Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) mengenai extrajudicial, summary or arbitrary executions, Philip Alston melaporkan adanya kontroversi penggunaan unmanned drones. Beberapa mengungkapkan penggunaan unmanned drones tidak sesuai dengan Hukum Humaniter Internasional dikarenakan penggunaannya menyebabkan kematian yang tidak seharusnya. Ada pula yang menyatakan bahwa penggunaan unmanned drones sesuai karena mempergunakan misil yang diperbolehkan dalam Hukum Humaniter Internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGGUNAAN PESAWAT TANPA AWAK (UNMANNED DRONES) MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Studi Terhadap Kasus Serangan Pesawat Tanpa Awak Amerika Serikat di Pakistan Tahun 2009). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah legalitas penggunaan unmanned drone dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional? 2. Bagaimanakah kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional?

18 7 C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Untuk memahami legalitas dari penggunaan unmanned drones dalam sengketa bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional. 2. Untuk mengetahui kasus serangan unmanned drones Amerika Serikat di Pakistan tahun 2009 ditinjau menurut Hukum Humaniter Internasional. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah pengembangan ilmu pengetahuan dibidang Hukum Humaniter Internasional yang terkait dengan penggunaan kekuatan bersenjata khususnya unmanned drones, yang dipergunakan oleh suatu negara beserta dengan tanggung jawab negara terkait. b. Memperluas cakrawala dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. b. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi serta masukan bagi para mahasiswa, akademisi dan terutama bagi masyarakat luas dalam upaya memahami isu-isu yang terkait dengan Hukum Humaniter Internasional, khususnya dalam hal kekuatan bersenjata.

19 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Terhadap Hukum Internasional 1. Pengertian Hukum Internasional dan Subjek Hukum Internasional Pada umumnya Hukum Internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Hukum internasional sekarang mengacu pada peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian internasional, seperti organisasi internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan lainnya. Hukum Internasional mengakui bahwa aktor-aktor baru dapat diminta untuk berpartisipasi di pentas internasional. Negara, meskipun tetap sebagai pemeran utama hukum internasional, tidak lagi sebagai subjek yang eksklusif seperti dulu. Hukum internasional pada awalnya hanya mengenai pengaturan hubungan antar negara dan kemudian hanya dalam hal hubungan diplomatik dan pengaturan perang. 7 7 Rebecca M.M Wallace, International Law, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993, hlm.1.

20 9 Hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar negara tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional, dan gerakan-gerakan pembebasan nasional. Hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara. Pada saat ini hukum internasional tidak lagi semata-mata merupakan hukum antar negara dengan tampilnya aktor-aktor baru non negara, namun dalam kehidupan internasional, negara masih tetap memainkan peranan utama mengingat dampak kedaulatan yang dimilikinya terhadap keseluruhan sistem hukum internasional. 8 Subjek hukum internasional adalah setiap pemilik, pemegang, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. 9 Hal itu terlihat dari fase awal kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, yaitu hanya negara yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan terhadap pelaku-pelaku subjek hukum internasional. Bentuk-bentuk subjek hukum internasional, diantaranya : Negara Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti klasik dan telah seperti itu sejak lahirnya hukum internasional. Hingga saat ini masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hubungan antar Negara. 8 Boer Mauna, Hukum Internasional Edisi ke-2, PT Alumni, Bandung, 2005, hlm.1. 9 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (dari Konsepsi sampai Aplikasi), Bandung, CV Pustaka Setia, 201, hlm. 214.

21 10 2. Takhta Suci Takhta suci Vatican merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum internasional yang telah ada sejak dahulu disamping Negara. Hal ini merupakan peninggalan-peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya merupakan Kepala gereja roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga saat ini takhta suci mempunyai perwakilan diplomatik dibanyak ibu kota terpenting di Indonesia termasuk di Jakarta. 3. Palang Merah Internasional Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Organisasi ini dapat dkatakan sebagai suatu subjek hukum yang terbatas yang lahir karena sejarah, walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang, Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. 4. Organisasi Internasional Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa PBB merupakan subjek hukum

22 11 internasional, setidaknya menurut hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional. 5. Orang Perseorang (Individu) Sejarah singkat mengenai individu sebagai subjek hukum internasional yaitu pada saat perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri Perang Dunia antara Jerman, Inggris, dan Perancis dengan setiap sekutunya, terdapat pasal-pasal yang memungkinkan individu mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbritase Internasional. Ketentuan serupa terdapat dalam perjanjian antara Jerman dan polandia tahun 1922 mengenai Silsela atas (Upper Silsela). 2. Sumber Hukum Internasional Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat internasional. Sumber hukum dalam hukum internasional diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice), 11 yang berbunyi : 1. The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states, b. International custom as evidence of a general ractices accepted as law, c. The general principles of law recognized by civilized nations, d. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. 11 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.33.

23 12 Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum internasional yaitu : a. Perjanjian internasional atau Traktat (International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states). Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional. Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu kaidah hukum internsional. Pada dasarnya traktat memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan traktat kontrak (treaty of contract). b. Kebiasaan internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a general practices accepted as law). Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara. Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut : 1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional; 2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negara-negara tidak menyatakan keberatan terhadapnya.

24 13 c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal mengandung kesamaan. 12 d. Keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law). Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional, kebiasaan internasional, dan asas-asas umum hukum. 13 B. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter Internasional atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Hukum Humaniter Internasional (HHI) ialah sebagai salah satu bagian Hukum Publik Internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang digunakan oleh setiap negara, termasuk oleh negara damai atau 12 Jawahir thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm

25 14 negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai negara. Hukum Humaniter Internasional merupakan satu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional yang berkaitan dengan kerugian dan korban perang. 14 International Committee of The Red Cross memberi pengertian pada hukum humaniter internasional yaitu aturan-aturan internasional, yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan, yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik. Hukum Humaniter Internasional merupakan salah satu bagian dari Hukum Publik Internasional yang diterapkan pada waktu pertikaian senjata. Tujuan Hukum Humaniter Internasional adalah menjamin penghormatan manusia dalam batas keperluan militer dan ketertiban umum, serta mengurangi akibatakibat permusuhan. Sebagai bagian dari Hukum Publik Internasional, tentu saja aturan-aturan hukum humaniter internasional tidak hanya bersumber dari perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, 14 Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 27.

26 15 norma hukum humaniter internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa. Di dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yang konsepnya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan. Di dalam perkembangan sekarang ini, istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Beberapa rumusan mengenai hukum humaniter antara lain : 15 a) Menurut Jean Pictet : International Humaniterian Law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and costumary, ensuring respect for individual and his well being. b) Geza Herzegh merumuskan bahwa Hukum Humaniter Internasional adalah: Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these it purpose and spirit being different. 15 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committee of The Redcross, Jakarta, 1999, hlm.8.

27 16 c) Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah : Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri Berdasarkan pengertian diatas, maka terbentuk ruang lingkup hukum humaniter, dimana dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah, aliran sempit. Jean Pictet, menganut aliran luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag, dan Hukum Hak Asasi Manusia. Hal ini berseberangan dengan Geza Hergezh. Menurutnya, pengertian hukum humaniter internasional termasuk dalam aliran sempit, hanya terbatas pada hukum Jenewa saja, adapun alasan yang dikemukakan oleh Hergezh adalah : 16 a. Hukum yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional hanyalah Hukum Jenewa saja, apabila Hukum Den Haag dimasukan maka akan mengurangi sifat humaniter yang diutamakan. b. Hak Asasi Manusia tidak dimasukkan karena di dalam literatur hukum Negara sosialis, hak asasi manusia ini ditegakkan dengan sarana hukum nasional. Haryomataram sebagai penganut aliran tengah mengatakan hukum humaniter hanya terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Tujuan pokok dari kaidah-kaidah hukum ini untuk alasan-alasan perikemanusiaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan konflik bersenjata diizinkan. Berdasarkan 16 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, hlm.20.

28 17 alasan inilah, ketentuan-ketentuan itu kadang-kadang disebut sebagai hukum perang humaniter atau kaidah-kaidah hukum perang yang berperikemanusiaan. Nama-nama yang ada pada saat ini diakui untuk kaidah-kaidah tersebut adalah hukum humaniter internasional. 17 Hukum Humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohamed bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter itu adalah untuk memanusiawikan perang. 18 Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh hukum humaniter internasional diantaranya adalah : a. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary syffering) karena perang akan selalu memakan korban baik dari pihak kombatan maupun dari pihak penduduk sipil. b. Menjamin Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh, tidak dibenarkan perlakuan yang tidak layak, sistem pembalasan, ini sangat dilarang oleh Hukum Humaniter. Bagi kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus diberi perlindungan dan perawatan serta berhak diperlakukan sebagai tahanan perang. c. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa batas, seperti penggunaan senjata perang yang sangat berbahaya dan memiliki daya membunuh yang 17 T.May Rudy, Hukum Internasional 2, PT.Refika Aditama, Bandung, 2002, hlm Arlina Permanasari, Op-cit, hlm.12.

29 18 sangat dahsyat. Dalam hal ini yang terpenting adalah tidak melanggar kemanusiaan. 2. Asas dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional Hukum perang yang kini lazim disebut Hukum Humaniter dibuat untuk mengatur penggunaan perang atau kekuatan bersenjata sedemikian rupa, seandainya perang atau konflik bersenjata tidak mungkin lagi bisa dicegah atau dihindari. Upaya pengaturan itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dan sebenarnya tidak perlu, baik bagi masyarakat awam atau penduduk yang tidak berdosa (dalam arti penduduk sipil), maupun bagi korban perang dan anggota combatant (pelaku pertempuran) yang terluka. Oleh karena itu ada beberapa asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter. Asas-asas yang terkandung dalam Hukum Humaniter adalah : 19 a. Asas keperluan/kepentingan militer (military necessity), yaitu untuk memberikan batasan, landasan atau pedoman bagi pihak angkatan bersenjata yang saling bertempur mengenai hal-hal apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, mengenai tindakan apa yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum (dalam situasi perang), alat/sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh digunakan. b. Asas Kemanusiaan (humanitarian), yaitu untuk menerapkan perlakuan terhadap manusia sebagaimana kodratnya dan bukan diperlakukan bagaikan binatang (hewan), menyadari rasa kasih sayang sesama manusia, menghargai 19 T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81.

30 19 hak-hak hidup bagi manusia, dan tidak melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia. c. Asas Ksatria (chivalry), yaitu untuk berlaku ksatria, tidak membokong lawan, dan tidak berbuat khianat. Dalam hal ini termasuk larangan untuk melakukan pembalasan dendam kesumat dengan mengatasnamakan perang atau situasi pertempuran. Perang diharapkan hanya dilakukan sebatas mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan lawan dan bukan untuk menghancurkan personel, keluarga, dan harta-benda lawan. Selain adanya asas-asas dalam Hukum Humaniter Internasional, terdapat pula prinsip-prinsip mendasar dari Hukum Humaniter Internasional. Prinsipprinsip tersebut adalah : a. Prinsip Non-Diskriminasi, maksudnya untuk menghargai persamaan derajat tidak membeda-bedakan, baik para pihak dalam pertempuran maupun korban perang atas dasar agama, ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, status sosial, dan sebagainya. Sehingga setiap pelaku dalam konflik bersenjata mendapat perlindungan dari kekejaman perang. 20 b. Prinsip Pembedaan, prinsip ini diterapkan dalam Hukum Humaniter agar ada pembedaan antara pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Dalam perang harus dapat dibedakan antara kombatan dengan penduduk sipil. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah sasaran dalam perang. Kombatan adalah golongan penduduk yang ikut secara aktif dalam permusuhan, mereka secara terangterangan mengangkat senjata untuk berperang, dan merupakan pihak yang 20 T.May Rudy, Op.Cit, hlm.81.

31 20 dapat dijadikan sasaran dalam perang. Mereka berhak mempertahankan diri, baik menyerang bahkan sampai membunuh lawan. Sedangkan penduduk sipil adalah mereka yang tidak ikut langsung dalam permusuhan, dan dilindungi haknya. Mereka bukan merupakan sasaran dalam perang, bahkan dimungkinkan untuk pindah menuju tempat yang lebih aman apabila di daerahnya terjadi perang. Prinsip ini muncul dari adanya Konvensi Jenewa Hal ini diterapkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum humaniter, khususnya ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja. c. Prinsip Proporsionalitas, prinsip ini menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau obyek-obyek sipil harus proporsionalitas sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer. Prinsip-prinsip diatas harus selalu dijadikan pedoman oleh para pihak yang bersengketa agar tujuan perang yang diinginkan dapat terwujud. Baik asas maupun prinsip harus dilakukan secara seimbang dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab oleh para pihak. 3. Sumber-Sumber Hukum Humaniter Internasional Meskipun pemikiran untuk membatasi perang dengan memasukkan dan memperhatikan unsur-unsur kemanusiaan telah memiliki akar sejarah yang panjang, hukum humniter sebagai suatu sistem yang modern baru muncul pada abad 19 dengan lahirnya konvensi-konvensi yang menjadi dasar hukum bagi

32 21 pelaksanaan HHI. Sebagaimana yang dikemukakan oleh jean Pictet bahwa dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat 2 aturan pokok disamping aturan-aturan lainnya, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag merupakan ketentuan HHI yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan mengenai Hukum Den Haag berarti membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 yang disebut dengan Konvensi Den Haag 1899 serta Konferensi Perdamaian II tahun 1907 atau dikenal dengan Konvensi Den Haag Konvensi Den Haag 1899 yang dilaksanakan pada Mei 1899 selama 2 bulan tersebut menghasilkan tiga konvensi, yaitu : a. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional b. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di darat c. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut. Sedangkan Konvensi Den Haag 1907 mengatur mengenai alat-alat, sarana, atau metode yang diperbolehkan dalam perang merupakan hasil Konferensi Perdamaian II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun Konvensi ini menghasikan 13 konvensi, yaitu: 1) Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional; 2) Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata; 3) Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan; 21 Arlina Permanasari, Op.cit, hlm T.May Rudy, Op.Cit, hlm.82.

33 22 4) Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag; 5) Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat; 6) Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Peperangan; 7) Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang; 8) Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut; 9) Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang; 10) Konvensi X tentang Adaptasi Asas-Asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut; 11) Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut; 12) Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan; 13) Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Berbeda dengan Hukum Den Haag, Hukum Jenewa lebih mengatur mengenai perlindungan korban sebagai akibat perang yang terjadi. Hukum Jenewa terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949 yang masing-masing adalah : i. Konvensi Jenewa mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di pertempuran darat.

34 23 ii. Konvensi Jenewa mengenai perbaian keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit, dan korban karam. iii. iv. Konvensi Jenewa mengenai perlakuan tawanan perang. Konvensi Jenewa mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 disempurnakan dengan Protokol Tambahan yang mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil. Protokol Tambahan ini disebut dengan Protokol Tambahan I tahun 1977 (Additional Protocol I) tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II tahun 1977 (Additional Protocol II) tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Non-internasional. Secara umum Protokol Tambahan I Tahun 1977 mengatur mengenai sengketa bersenjata internasional. Sengketa bersenjata internasional (international armed conflict) adalah pertempuran antara angkatan bersenjata dari setidaktidaknya dua negara. Artinya sengketa bersenjata internasional adalah persengketaan antara negara yang satu dengan beberapa negara lain. Disamping berlaku terhadap situasi perang antar negara, Protokol I tahun 1977 tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata Internasional juga berlaku dalam situasi-situasi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4). Pada Pasal ini dikatakan bahwa Protokol I juga berlaku dalam keadaan konflik bersenjata antara suatu bangsa melawan colonial domination, alien occupation dan racist regimes, dalam upaya untuk melakukan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam

35 24 Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar negara sebagaimana yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 23 Protokol Tambahan II mengatur mengenai sengketa bersenjata noninernasional. Sengketa bersenjata non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata noninternasional dapat terlihat sebagai suatu situasi dimana terjadi permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu negara. Disamping itu sengketa bersenjata non-internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi dimana faksi-faksi bersenjata (armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah Sarana dan Metode Berperang Telah kita ketahui bahwa hukum Den Haag terdiri dari serangkaian peraturan yang mengatur mengenai sarana (alat) dan metode (cara) berperang, baik berupa konvensi maupun deklarasi, yang terbentuk dalam Konferensi Perdamaian di Den Haag pada tahun 1899 dan 1907, yakni yang menghasilkan serangkaian konvensi Den Haag. 25 Sarana dan metode berperang diatur dalam Konvensi Den Haag. Metode berperang menurut Konvensi Den Haag diatur dalam beberapa ketentuan. Pertama, ketentuan Pasal 23 (b) Konvensi Den Haag yang melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat ( treacherously). 23 Arlina Permanasari, Op Cit, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm.57

36 25 Ketentuan Pasal 24 Konvensi Den Haag yang menyatakan bahwa tipu muslihat ( ruses of war) serta pelaksanaan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai musuh dianggap diperbolehkan. Salah satu masalah adalah bagaimana menentukan bahwa suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu tindakan curang atau tipu muslihat. Contoh tindakan yang termasuk tindakan curang adalah sebagaimana tercermin dalam Pasal 23(f) dimana penggunaan bendera perdamaian (flag of truce) tidak pada tempatnya adalah dilarang (sebagaimana diketahui, bendera perdamaian berfungsi untuk melindungi negosiator atau perantara). Konvensi Den Haag juga melarang, bukan berdasarkan ada sifat curang tidaknya suatu perbuatan, tetapi karena sifat kejamnya suatu perbuatan (cruelty), misalnya larangan membunuh atau melukai musuh yang telah berstatus hors de combat atau yang telah menyerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 (c) Konvensi Den Haag. Demikian pula hal ini tercermin dalam ketentuan pasal 25 Konvensi Den Haag mengenai larangan pemboman terhadap kota, pedesaan, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. Apabila hal tersebut akan dilakukan, maaka komandan yang bersangkutan harus mengumumkan terlebih dulu kepada penguasa sipil yang bersangkutan. Demikian pula terdapat larangan perampasan suatu kota atau suatu tempat, sebagaimana tercermin dalam Pasal 28 Konvensi Den Haag.

37 26 Di dalam Konvensi Den Haag, Pasal 35 menurut apa yang disebut peraturan dasar dicantumkan tiga ketentuan, yaitu : 26 a. Dalam setiap konflik bersenjata, hak dari pihak-pihak dalam konflik untuk memilih atau menentukan cara atau alat berperang dibatasi (ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 22 Konvensi Den Haag). b. Dilarang menggunakan senjata proyektil material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. c. Dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang, atau dapat diharapkan akan menyebabkan kerusakan luas (hebat) berjangka panjang terhadap lingkungan hidup. Pasal 38 Konvensi Den Haag melarang penggunaan secara tidak tepat atau tidak terbatas dari emblem-emblem: palang merah, bintang sabit merah serta singa dan matahari merah, dan emblem-emblem lain yang ditentukan dalam konvensi atau protokol. Selain diatur di dalam Konferensi Den Haag, aturan mengenai sarana dan metode berperang juga dijelaskan di dalam Protokol Tambahan I. Ketentuan mengenai sarana dan metode berperang dalam Protokol Tambahan I terdapat dalam Bagian III Protokol yang berjudul Methods and Means of Warfare, Combatant and Prisoner of War Status (pasal 35-47). Secara garis besar, ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, antara lain dengan adanya penambahan aturan dasar (basic rules), ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penabahan lambang-lambang internasional 26 T.May Rudy, Op.Cit, hlm. 89.

38 27 yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orangorang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata (antara lain terdapat ketentuan baru mengenai tentara bayaran, mata-mata, dan sebagainya). Ketentuan lain tentang alat/sarana berperang yang ditambahkan dalam Protokol adalah adanya kewajiban bagi Pihak Peserta Agung untuk menentukan apakah penggunaan senjata-senjata baru yang sedang dikembangkan akan bertentangan dengan Protokol I atau dengan aturan hukum internasional lainnya yang mengikat negara tersebut. Apabila negara yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut, maka negara tersebut akan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang terjadi. 27 C. Tinjauan Tentang Unmanned Drones 1. Sejarah Unmanned Drones Upaya pertama untuk membuat pesawat udara dari torpedo angkatan udara terjadi di Amerika Serikat pada saat perang dunia I. Sebuah pesawat tanpa pilot dibuat untuk menyerang target dan menjatuhkan bom yang mematikan dengan sendirinya. Pada tahun dibuat pesawat tanpa awak yang diberi nama Hewitt Sperry Automatic Airplane. Pesawat tanpa awak ini melakukan sejumlah tes penerbangan pendek untuk membuktikan bahwa pesawat tanpa awak itu ada dan bisa diciptakan. Pada November 1917 perwakilan Angkatan Darat Amerika Serikat menyaksikan salah satu penerbangan ini dan memulai sebuah peluncuran torpedo atau bom terbang. Proyek ini dipimpin oleh Letnan.Kolonel Bion J. 27 Arlina Permanasari, Op.Cit, hlm

39 28 Arnold. Berbagai perusahaan bekerja sama untuk memproduksi 20 pesawat tanpa awak lengkap, dan uji coba penerbangan berhasil dilakukan pada 4 Oktober Pada saat Perang Dunia I berakhir, lima minggu kemudian semua proyek dihentikan kecuali untuk beberapa eksperimen pesawat tanpa awak. Kemudian proyek ini dihentikan total pada tahun Angkatan Udara dari Ordnance memutuskan untuk melanjutkan pengembangan sebuah pesawat radio kontrol. Sebuah pesawat latih N-9 digunakan sebagai dasar kendaraan dan ditambah dengan stabilisasi dan peralatan radio kontrol yang dikembangkan oleh Naval Research Laboratory dan oleh Carl Norden. Sebuah penerbangan pesawat tanpa awak sukses pada 15 September 1924, tapi pesawat itu rusak pada saat pendaratan dan tenggelam. Kejadian tersebut mengakhiri pengembangan pertama drone, atau disebut pesawat tanpa awak. Pada tahun 1936 Angkatan Udara memulai program drone lain yang dimaksudkan untuk memberikan target yang realistis untuk latihan meriam anti pesawat. Pesawat yang digunakan adalah Stearman Hammond JH 1 dan peralatan radio kontrol dikembangkan kembali oleh Naval Research Laboratory. Drone ini melakukan penerbangan pertama pada 15 November Pada musim panas berikutnya drone tersebut pertama kali digunakan untuk latihan sasaran antipesawat dari USS Ranger. Komandan Fahrney kemudian menyarankan pengembangan drone untuk penyerangan.

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 :

Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1 : Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, selalu timbul perbedaan kepentingan dan tujuan diantara negara negara yang ada. Perbedaan perbedaan ini memberikan dinamika

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA

LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA LEGALITAS PENGGUNAAN PELURU KENDALI BALISTIK ANTARBENUA (INTERCONTINENTAL BALLISTIC MISSILE) DALAM PERANG ANTARNEGARA Oleh : I Gede Bagus Wicaksana Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing lagi di mata dunia internasional. Dalam kurun waktu

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Alan Kusuma Dinakara Pembimbing: Dr. I Gede Dewa Palguna SH.,

Lebih terperinci

Sumber Hk.

Sumber Hk. Sumber Hk 2 Protokol Tambahan 1977 ( PT 1977 ) : merupakan tambahan dan pelengkap atas 4 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 ( KJ 1949 ) PT I/1977 berkaitan dengan perlindungan korban sengketa bersenjata internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi, banyak hal mengalami perubahan yang cukup signifikan termasuk dalam peperangan. Perkembangan teknologi akan mempengaruhi cara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang.

BAB III PENUTUP. bersenjata internasional maupun non-internasional. serangan yang ditujukan kepada mereka adalah dilarang. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama pembentukan Konvensi Jenewa 1949 adalah untuk memberikan perlindungan bagi korban perang terutama kepada penduduk sipil. Perlindungan ini berlaku dalam setiap

Lebih terperinci

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA 1 STATUS TENTARA ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA I Gede Adhi Supradnyana I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahannya serta sumber hukum lain yang menguatkan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah

BAB III PENUTUP. prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah 59 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Menurut ketentuan dalam Hukum Humaniter Internasional tentang prinsip Pembedaan (distinction principle) maka Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army (FSA) berhak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.

BAB I PENDAHULUAN. perang sebisa mungkin harus dihindari. lebih dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konflik bersenjata baik yang berupa perang atau konflik bersenjata lainnya adalah suatu keadaan yang sangat dibenci oleh bangsa-bangsa beradab diseluruh dunia

Lebih terperinci

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA

PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA BANGSA DALAM PEMBATASAN PENGGUNAAN SENJATA Oleh Grace Amelia Agustin Tansia Suatra Putrawan Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas

Lebih terperinci

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang adalah suatu istilah yang tidak asing lagi bagi manusia yang ada di dunia ini. Hal ini dikarenakan perang memiliki sejarah yang sama lamanya dengan sejarah umat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran

BAB I PENDAHULUAN. ketika lawan terbunuh, peperangan adalah suatu pembunuhan besar-besaran BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut Hukum Perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. 1 Inti dari

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penerapan Prinsip Pembeda (Distinction Principle) dalam Konflik Bersenjata di Suriah Menurut Hukum Humaniter Internasional Implementation of Distinction Principle in

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..?

PERLINDUNGAN KOMBATAN. Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Distinction principle. Pasal 1 HR Kombatan..? PERLINDUNGAN KOMBATAN Pasal 1 HR Kombatan..? Distinction principle Siapa yang boleh dijadikan obyek peperangan dan tidak. Dipimpin seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya Mempunyai lambang yang dapat

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DALAM KONFLIK BERSENJATA ISRAEL-HEZBOLLAH Oleh Ayu Krishna Putri Paramita I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Bagian Hukum Internasional Fakultas

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM (Skripsi)

PENULISAN HUKUM (Skripsi) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENDUDUK SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA ANTARA GERAKAN ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS) DENGAN PEMERINTAH IRAK DAN SURIAH PENULISAN HUKUM (Skripsi) Disusun dan Diajukan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK YANG MENJADI KORBAN PENGGUNAAN SENJATA AGENT ORANGE DALAM PERANG VIETNAM Oleh : Risa Sandhi Surya I Dewa Gede Palguna I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu

BAB I PENDAHULUAN. yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perang adalah suatu kondisi dimana terjadinya pertikaian antara para pihak yang bersengketa dengan menggunakan alat-alat dan metode berperang tertentu untuk

Lebih terperinci

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL BAB 1 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL 1.0 Pendahuluan Hukum internasional, pada dasarnya terbentuk akibat adanya hubungan internasional. Secara spesifik, hukum internasional terdiri dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR

PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL PADA KONDISI PERANG MENGGUNAKAN CLUSTER BOMBS DAN KAITANNYA DENGAN TEORI JUST WAR Oleh Yelischa Felysia Sabrina Pane Ida Bagus Sutama Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia

BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA. A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia BAB II PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DAN HAK AZASI MANUSIA A. Pengertian Humaniter dan Hak Azasi Manusia Sejarah manusia hampir tidak pernah bebas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipakai untuk melakukan penyerangan kepada pihak musuh. Peraturanperaturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian I di Den Haag pada tanggal 18 Mei-29 Juli 1899. Konvensi Den Haag merupakan peraturan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG

TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG TINJAUAN HUKUM HUMANITER MENGENAI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA BAGI PERSONIL MILITER YANG MENJADI TAWANAN PERANG Oleh: Ivan Donald Girsang Pembimbing : I Made Pasek Diantha, I Made Budi Arsika Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM. 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional Pengertian Subjek Hukum Internasional 19 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1 Tinjauan Umum Mengenai Subjek Hukum Internasional 1.1.1 Pengertian Subjek Hukum Internasional Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter?

BAB I PENDAHULUAN. 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! 2. Bagaimana Haryomataram membagi hukum humaniter? BAB I PENDAHULUAN 1. Jelaskan istilah-istilah yang digunakan untuk hukum humaniter! Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini negara-negara enggan mendeklarasikan keterlibatannya secara terus terang dalam situasi konflik bersenjata sehingga sulit mendefinisikan negara tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata

Lebih terperinci

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL Oleh I Komang Oka Dananjaya Progam Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT The

Lebih terperinci

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL EKSISTENSI DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENTARA BAYARAN (MERCENARIES) YANG TERLIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Diajukan Guna Memenuhi Sebahagian Persyaratan Untuk Memperoleh

Lebih terperinci

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (Makalah Hukum Humaniter Internasional) Oleh : PRISCA

Lebih terperinci

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ATURAN PERANG DI LAUT: SAN REMO MANUAL SEBAGAI SUMBER HUKUM INTERNASIONAL Enny Narwati * Abstract Law of naval warfare did not develop since Den Haag Convention in 1907. In 1994, international community

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PEREDARAN MATA UANG ASING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA

KAJIAN YURIDIS PEREDARAN MATA UANG ASING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA KAJIAN YURIDIS PEREDARAN MATA UANG ASING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA Disusun Oleh : SIGAP DHARMA APRIDHIKA E1A008014 SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu pra-syarat memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kewajiban negara adalah melindungi, memajukan, dan mensejahterakan warga negara. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kewajiban negara menciptakan suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban akibat perang seminimal mungkin dapat dikurangi. Namun implementasinya,

Lebih terperinci

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL (PUTUSAN ICJ NOMOR 143 TAHUN ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM TRAKTAT PERDAMAIAN (PEACE TREATY) TAHUN 1947 ANTARA ITALIA DAN JERMAN BERDASARKAN PRINSIP JUS COGENS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH

PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH PENEGAKAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK BERSENJATA INTERNAL SURIAH Oleh I Wayan Gede Harry Japmika 0916051015 I Made Pasek Diantha I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG SKRIPSI PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PERWAKILAN DIPLOMATIK DI WILAYAH PERANG AIRLANGGA WISNU DARMA PUTRA NIM. 1103005065 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016 i PENGATURAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PENULISAN HUKUM/SKRIPSI

PENULISAN HUKUM/SKRIPSI PENULISAN HUKUM/SKRIPSI PERLINDUNGAN TERHADAP TENTARA BAYARAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK BERSENJATA DI IRAK TAHUN 2003-2009 BERDASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Disusun oleh: I WAYAN ARY SUTRISNA

Lebih terperinci

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL BAB II HUKUM HUMANITER SEBAGAI BAGIAN DARI HUKUM INTERNASIONAL A. PENGERTIAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Hukum Humaniter Internasional (HHI), atau International Humanitarian Law (IHL) atau sering disebut

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT.

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT. TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN KETENTUAN JAMINAN FIDUSIA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 102/Pdt/2015/PT.BDG) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk

Lebih terperinci

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat)

YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) YURISDIKSI NEGARA DALAM EKSTRADISI NARAPIDANA TERORISME (Studi Terhadap Permintaan Ekstradisi Hambali oleh Indonesia Kepada Amerika Serikat) SKRIPSI Disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara-negara antara Negara dengan

Lebih terperinci

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di

-2- Konvensi Jenewa Tahun 1949 bertujuan untuk melindungi korban tawanan perang dan para penggiat atau relawan kemanusiaan. Konvensi tersebut telah di TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KESRA. Kepalangmerahan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AGAINST THE SMUGGLING OF MIGRANTS BY LAND, SEA AND AIR, SUPPLEMENTING THE UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL

Lebih terperinci

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian

Abstract. Keywords ; Military Attack, NATO, Libya, Civilian JUSTIFIKASI PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL DALAM SERANGAN MILITER PAKTA PERTAHANAN ATLANTIK UTARA (THE NORTH ATLANTIC TREATY ORGANIZATION/NATO) TERHADAP LIBYA Oleh: Veronika Puteri Kangagung I Dewa Gede Palguna

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WARGA SIPIL DALAM KONFLIK BERSENJATA (NON-INTERNASIONAL) LIBYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh Pande Putu Swarsih Wulandari Ni Ketut Supasti Darmawan

Lebih terperinci

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005

Norway, di Yogyakarta tanggal September 2005 HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DAN KEJAHATAN PERANG Dipresentasikan oleh : Fadillah Agus Disampaikan dalam Training, Training Hukum HAM bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan

Lebih terperinci

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN

PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN PROTOKOL TAMBAHAN PADA KONVENSI-KONVENSI JENEWA 12 AGUSTUS 1949 DAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERLINDUNGAN KORBAN-KORBAN PERTIKAIAN-PERTIKAIAN BERSENJATA INTERNASIONAL (PROTOKOL I) DAN BUKAN INTERNASIONAL

Lebih terperinci

KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH UKRAINA TAHUN 2014 MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Penulisan Hukum. (Skripsi)

KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH UKRAINA TAHUN 2014 MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. Penulisan Hukum. (Skripsi) KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH UKRAINA TAHUN 2014 MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Berbagai pelanggaran hukum perang dilakukan oleh kedua belah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Palestina merupakan daerah yang seolah tidak pernah aman, senantiasa bergejolak dan terjadi pertumpahan darah akibat dari perebutan kekuasaan. 1 Sengketa

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang

BAB I. Pendahuluan. Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penerbangan MH-17 Malaysia Airlines merupakan penerbangan dari Amsterdam ke Kuala Lumpur pada tanggal 17 Juli 2014 dengan 298 penumpang dari berbagai negara, pesawat

Lebih terperinci

SKRIPSI PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA NUKLIR IRAN. Diajukan oleh :

SKRIPSI PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA NUKLIR IRAN. Diajukan oleh : SKRIPSI PERAN DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA NUKLIR IRAN Diajukan oleh : Timothy Daud Meilando Marpaung NPM : 090510173 Program Studi : Ilmu Hukum Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara ialah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dalam hal ini negara yang dimaksud yaitu negara yang berdaulat. 1 Sebagai subjek hukum internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

TINJAUAN TERHADAP PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA WAKTU PERTIKAIAN BERSENJATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

TINJAUAN TERHADAP PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA WAKTU PERTIKAIAN BERSENJATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TINJAUAN TERHADAP PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) PADA WAKTU PERTIKAIAN BERSENJATA DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Oleh Khoirussaleh Nasution ABSTRAK Hubungan Hukum Humaniter dan HAM adalah Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF THE CHILD ON THE SALE OF CHILDREN, CHILD PROSTITUTION AND CHILD PORNOGRAPHY

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto

PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER DALAM KONFLIK MILITER INTERNASIONAL Rubiyanto rubiyanto.151161@gmail.com Abstract In fact Humanitary law had been arranged for civil defence organization. In reality some countries

Lebih terperinci

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL

KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL KEDUDUKAN ORGANISASI INTERNASIONAL DALAM MAHKAMAH INTERNASIONAL Oleh Vici Fitriati SLP. Dawisni Manik Pinatih Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK Penulisan ini berjudul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE USE, STOCKPILING, PRODUCTION AND TRANSFER OF ANTI-PERSONNEL MINES AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA LEGAL PROTECTION FOR CHILDREN IN THE MIDST OF ARMED CONFLICTS Enny Narwati, Lina Hastuti 1 ABSTRACT The purposes of the research are to understand

Lebih terperinci

SILABUS 2015 KULIAH HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIPOL UGM

SILABUS 2015 KULIAH HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIPOL UGM SILABUS 2015 KULIAH HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIPOL UGM Drs. Usmar Salam, M. Int. Stu (Jelita Sari Wiedoko Vicky Anugerah Tri Hantari Ignatius Stanley Andi Pradana) A.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasakan hasil penelitian dan pembahasan pada Bab IV, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagi berikut. 1. Pandangan Hukum Humaniter Internasional

Lebih terperinci

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL LEGALITAS PENGANCAMAN DAN PENGGUNAAN SENJATA NUKLIR OLEH NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: Dani Budi Satria Putu Tuni Cakabawa Landra I Made Budi Arsika Program Kekhususan Hukum Internasional dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Internasional secara tegas melarang intervensi yang dilakukan suatu negara di dalam urusan internal negara lain. Hal ini dikaitkan dengan prinsip kedaulatan negara

Lebih terperinci

SKRIPSI. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah)

SKRIPSI. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN

Lebih terperinci

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA

commit to user BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Hukum Humaniter Internasional a. Definisi Hukum Humaniter Internasional Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP]

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP] GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN [GBPP] Program Studi Hubungan Versi/revisi: Nama Mata Kuliah : Dosen : Very Aziz, Lc., M.Si. SKS : 3 SKS Berlaku Mulai : Maret 2017 Silabus/Deskripsi singkat Tujuan

Lebih terperinci

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI DISUSUN OLEH : Sudaryanto, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Hukum Perjanjian

Lebih terperinci

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza

Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Pengabaian Distinction Principle dalam Situasi Blokade oleh Israel di Jalur Gaza Erwin Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Email :erwin_80@yahoo.co.id Abstract Armed conflict (war) have been there

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT)

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL (STUDI KASUS NIKARAGUA AMERIKA SERIKAT) Oleh: Ida Primayanthi Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Internasional dan Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

SKRIPSI. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA IJIN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Nomor 1187/Pdt.G/2013/PA Bpp.)

SKRIPSI. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA IJIN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Nomor 1187/Pdt.G/2013/PA Bpp.) SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA IJIN POLIGAMI (Studi Kasus Putusan Nomor 1187/Pdt.G/2013/PA Bpp.) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius

BAB III METODE PENELITIAN. yang sedang berlaku. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah hukum positif (Ius 50 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini merupakan penelitian ilmu hukum normatif yang meneliti dan mengkaji hukum tertulis dan kaidah hukum

Lebih terperinci