Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH*"

Transkripsi

1 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) IMPLEMENTASI ASAS NEBIS IN IDEM DALAM PERKARA YANG TELAH MEMILIKI KEKUATAN HUKUM TETAP YANG DIGUGAT KEMBALI DENGAN SENGKETA OBYEK YANG SAMA TETAPI DENGAN SUBYEK YANG BERBEDA Oleh : Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.MH* Abstrak Penulisan ini mengkaji tentang adanya suatu perkara yang dahulu telah terdapat putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, digugat kembali dengan subyek yang berbeda tetapi obyek yang sama. Hal ini dapat membuat rasa kepastian hukum para pencari keadilan menjadi terganggu dikarenakan tidak adanya kepastian hukum yang jelas, karena gugatan yang dahulu telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap jika digugat kembali bertentangan dengan asas nebis in idem. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah suatu perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat digugat kembali walaupun dengan subyek berbeda, mengingat ketentuan pada pasal 1917 KUHPerdata menyatakan bahwa hanya subyek yang sama dan obyek yang sama yang dapat disebut sebagai nebis in idem lalu Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI tentang nebis in idem, YMA No K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002 yang bertentangan dengan Pasal 1917 KUHPerdata, Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Nebis In Idem 1 dan juga untuk mengetahui suatu putusan hakim terdahulu yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) mengikat para hakim lainnya, mengingat yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang undangan. Kata kunci : Nebis In Idem, Yurisprudensi. 1. Pendahuluan Mengajukan gugatan menjadi suatu cara untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan serta bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah pihak menjadi hakim bagi dirinya sendiri. * Muhammad Yusuf Ibrahim, SH.,MH., Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

2 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan merupakan permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam gugatan selalu ada pihak pengugat, tergugat, atau turut tergugat, sengketa melalui pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of Procedur). 2 Ketentuan Hukum acara perdata pada dasarnya tidak membebani hak dan kewajiban, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil perdata yang ada atau melindungi hak perseorangan. Dengan kata lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Sedangkan hukum materiil sebagaimana terjemahan dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, menjadi pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Tidak sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Diharapkan dengan adanya hukum acara perdata, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui Pengadilan dan tidak menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Sehubungan dengan tahap pelaksanaan putusan tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu memperhatikan tiga hal yang sangat esensial yaitu unsur keadilan, unsur kemanfaatan dan unsur kepastian hukum. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap). Terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,terkadang seseorang yang merasa haknya dilanggar akan menggugat kembali suatu perkara yang sebelumnya sudah digugatnya, walaupun dengan subyek yang berbeda tetapi dengan obyek yang sama. Dalam hal ini dibutuhkan kejelian dan ketelitian seorang hakim dalam menilai apakah perkara yang diajukan tersebut masuk kategori Nebis In Idem. Nebis In Idem adalah sebuah perkara dengan obyek yang sama, para pihak yang sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap baik mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung Nebis In Idem, harus dinyatakan oleh hakim bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard), namun jika dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk Nebis In Idem. Pasal 1917 KUHPerdata yang mengatakan hanya subyek dan obyek yang sama dapat disebut sebagai Nebis In Idem. Diperkuat juga oleh Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar obyek gugatannya sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya tidak sama, tidak ada Nebis In Idem document/52-putusan-perkara-perdata-no.-25-tahun html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en&ct=clnk 1157

3 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) 2. Pengertian Sistem Hukum Sistem berasal dari bahasa Yunani systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem adalah suatu perangkat komponen yang berkaitan secara terpadu dan dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 4 Pendapat lain tentang sistem adalah kesatuan yang utuh dari suatu rangkaian, yang kait mengait satu sama lain. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya. 5 Sedangkan hukum didefinisikan sebagai suatu sistem konseptual aturan hukum dan putusan hukum, suatu produk kesadaran hukum, yang terdiri atas suatu keseluruhan aturan hukum dan putusan hukum yang saling berkaitan. 6 Sedangkan Begitulah seterusnya sampai pada bagian yang terkecil unsur-unsur dalam sistem mencakup antara lain: Seperangkat komponen, elemen, bagian. Saling berkaitan dan tergantung. Kesatuan yang terintegrasi. Memiliki peranan dan tujuan tertentu. Interaksi antar sistem membentuk sistem lain yang lebih besar. 7 Hukum sulit didefinisikan karena kompleks dan beragamnya sudut pandang yang akan dikaji. Van Apeldoorn mengatakan bahwa definisi hukum sangat sulit dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan. Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli hukum terkemuka berikut ini 8 : Mr. E.M. Meyers, Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan tugasnya. Leon Duguit, Hukum adalah aturan tingkah laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap pelakunya. Utrecht, Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. 9 Simorangkir, dan Woerjono Sastropranoto, Hukum adalah peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu hukuman terentu. 10 Dari pengertian sistem dan hukum maka dapat diartikan bahwa : Sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu yang di patuhi dan di taati oleh setiap warganya. 11 Dengan konsep sistem hukum tersirat bahwa tata hukum (legal Order) merupakan suatu kesatuan (unity) meskipun seringkali kompleks. 12 Meuwissen, mengartikan sistem hukum sebagai konstruksi (teoritis) yang didalamnya berbagai Bruggink alih bahasa Arief Sidartha, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal Ibid 10 Ibid 11 Op.Cit. 12 Julius Stone, Legal system and Lawyers Reasoning, hlm 21, (Dikutip dari : Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, (Bandung : Alumni, 2009), hlm

4 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: norma / kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis konsisten menjadi suatu kesatuan tertentu. 13 Sedangkan menurut Bruggink, sistem hukum ialah aturan aturan hukum dan putusan putusan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu dalam hubungan saling berkaitan. 14 Bruggink menambahkan, hukum adalah suatu gejala yang dari dirinya sendiri menghendaki sistematisasi. Jika orang meletakkan titik berat pada aspek hukum ini, maka kita sudah berbicara tentang suatu sistem hukum. 15 Dan ilmu hukum menurut Bruggink mempunyai tugas menata aturan aturan hukum dan putusan putusan hukum sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin menampilkan gambaran keseluruhan yang tertata dalam suatu ikhtisar (overzichtelijke gehelen). 16 Jadi sistem hukum sebagai system of reasons pengadilan menurut hemat penulis harus dibaca dalam pengertian sebagaimana yang dikemukan oleh pound yaitu sebagai sebuah ideal tentang apa yang seharusnya meskipun bisa jadi bahwa apa yang seharusnya tersebut sebagian telah ditranformasikan ke dalam bentuk peraturan. Seperti diakui oleh pound, ideal memang memiliki peranan yang tidak bisa diremehkan dalam sejarah perkembangan hukum. 17 Maka sistem hukum bukan sekedar kumpulan peraturanperaturan saja namun peraturan-peraturan itu dapat diterima sebagai sesuatu yang sah apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama, seperti peraturan hukum, yurisprudensi, dan kebiasaan Sistem Hukum di Indonesia Sistem hukum Indonesia sebagai suatu sistem aturan yang berlaku di negara Indonesia adalah sistem aturan yang sedemikian rumit dan luas, yang terdiri atas unsur unsur hukum, dimana diantara unsur hukum yang satu dengan yang lain saling bertautan, saling mengaruh memengaruhi serta saling mengisi. 19 Oleh karenanya membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain, sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan suatu organ yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain. 20 Sistem hukum Indonesia saat ini masih menganut campuran antara hukum adat, hukum agama, serta sistem hukum eropa. Hal ini mungkin dapat dimaklumi karena sistem hukum Indonesia menganut sebagian besar hukum peninggalan Belanda. Indonesia yang notabene menjadi daerah atau wilayah "jajahan" Belanda selama berabad-abad tentunya tidak bisa lepas dari sistem hukum yang ditinggalkan Belanda. 21 Sehingga sistem hukum Indonesia adalah campuran dari sistem hukum agama, hukum adat, dan hukum Eropa yang lebih tepatnya hukum Belanda. 22 Menurut penulis sistem hukum Indonesia tersebut terbentuk tidak dengan sendirinya, melainkan hasil dari 13 Meuwissen, Teori Hukum, hlm 20 (dikutip dari : Ibid) 14 Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, hlm 139 (dikutip dari : Ibid) 15 Ibid, hlm Ibid 17 Roscoe pound, Law Finding Through Experience And Reason, hlm 1-2 (dikutip : Ibid) 18 ngobrolinhukum.wordpress.com, Op. Cit 19 IIlhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010) hal Ibid 21 Sistem-Hukum-Dunia.html 22 Ibid 1159

5 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dominan hukum peninggalan belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budayabudaya yang ada di wilayah nusantara. 23 Terdapat tiga pilar utama yang mendukung atau mempengaruhi pembentukan sistem hukum di Indonesia, yaitu 24 : 1. Sistem hukum barat, ini merupakan warisan dari Belanda yang mana pada saat itu mereka menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sistem hukum yang diterapkan para koloni di Indonesia pada saat itu ialah Burgerlijk Wetboek (BW) yang mengatur hukum perdata di Indonesia dengan menyesuaikan daerah hukum negara Indonesia atau prinsip concordantie. Dan sistem BW tersebut masih diterapkan hingga saat ini di Indonesia karena sampai sekarang, Indonesia belum mampu untuk membuat hukum perdatanya sendiri. 2. Sistem hukum adat, sifat dari sistem hukum ini komunal. Dimana dalam sistem hukum ini terdapat hukum kebiasaan yang menjadi cermin kepribadian bangsa Indonesia serta campuran dari hukum islam. Hukum adat ini tidak tertulis di dalam perundang-undangan, hanya saja hukum adat ini bersifat mutlak di sebagian besar daerah Indonesia yang mayoritas masih menggunakannya. Hukuman yang berlaku dalam sistem hukum ini juga melalui musyawarah warga sekitar atau sudah ditentukan oleh para pendahulu. 3. Sistem hukum islam, sistem hukum ini sudah ada jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia. Dimana kedatangan agama islam di Indonesia disambut cukup baik oleh masyarakat yang merupakan agama yang berasal dari Arab. Kemudian terdapat kerajaan islam pertama di Indonesia yakni Samudera Pasai, dimana sejak berdirinya kerajaan islam tersebut, sistem hukum islam pun sudah diterapkan. Menurut Titon Slamet Kurnia, sistem hukum Indonesia, dari perspektif ilmu hukum tidak memiliki keterkaitan dengan rezim kolonial, meskipun untuk mencegah kekosongan dalam tata peraturan sehingga peraturan perundang undangan produk rezim kolonial tetap diberlakukan. 25 Sistem hukum Indonesia sebagai suatu kaidah adalah sesuatu yang abstrak, sementara yang konkret ialah sumber sumber hukum yang menjelaskan darimana sistem kaidah itu berasal Sistem_Hukum_di_Indonesia.html 25 Titon Slamet Kurnia, Op. Cit, hlm Ibid, hlm

6 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: Pengertian Sumber Hukum Dalam bahasa Inggris, sumber hukum disebut source of law. Perkataan sumber hukum berbeda dengan dasar hukum, landasan hukum atau pun payung hukum. Dasar hukum adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal. 27 Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian. Pertama, yang dapat dipahami sebagai source of law ada dua yaitu custom dan statute. Oleh karena itu source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statuary creation of law. Kedua, source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma, moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the source of law. 28 Pengertian yang lain bahwa Sumber Hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. 29 Menurut Soedikno ada beberapa arti sumber hukum 30 : 1. Sebagai asas hukum. 2. Hukum terdahulu yang memberi bahan. 3. Dasar berlakunya. 4. Tempat mengetahui hukum. 5. Sebab yang menimbulkan hukum. Sumber hukum dalam pengertian asal hukum, yaitu: Keputusan otoritas yang berwenang mengenai sebuah keputusan hukum, bisa berupa peraturan atau ketetapan. 31 Pengertian ini membawa pada suatu penyelidikan tentang kewenangan. Sumber hukum dalam pengertian tempat ditemukannya peraturan hukum. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa pada satu penyelidikan tentang macam, jenis, atau bentukbentuk dari peraturan. Misalnya: apakah sumber hukum tersebut Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, atau bentuk yang lainnya. Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam menentukan hukum. Misalnya: Keyakinan hukum, rasa keadilan baik dari penguasa atau rakyat, dan juga teori-teori atau ajaran dari ilmu Pengetahuan hukum. Hal-hal yang dapat mempengaruhi penentuan hukum meliputi semua bidang kehidupan masyarakat, baik itu sosial, politik, budaya, maupun ekonomi Ibid 29 Ibid 30 Ibid Ibid 1161

7 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) Sumber sumber hukum juga dapat diartikan sebagai bahan bahan yang digunakan sebagai dasar oleh pengadilan dalam memutus perkara. 33 Istilah sumber hukum mengandung banyak pengertian, dapat dilihat dari segi historis, sosiologis, filsufis, dan ilmu hukum, yang masing masing disiplin mengartikan nya dari perspektifnya terhadap hukum dan melihat hukum dari sudut pandangnya masing masing. 34 Bagi sejarawan dan sosiolog, hukum tidak lebih dari sekedar gejala sosial sehingga harus didekati secara ilmiah. 35 Filsuf dan yuris sebaliknya, memandang hukum sebagai keseluruhan aturan tingkah laku dan sistem nilai. 36 Sumber hukum bisa berupa tulisan, dokumen, naskah, dan lain sebagainya yang kemudian dipergunakan oleh suatu bangsa atau negara untuk dijadikan sebagai pedoman hidup bangsa dan rakyatnya pada masa tertentu Putusan Hakim dan Kekuatan Putusan Hakim Putusan Hakim menurut Andi Hamzah adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan. 38 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyeleseiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 39 Bukan hanya yang di ucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. 40 Sehingga dapat disimpulkan bahwa putusan hakim adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara para pihak pihak yang berpekara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. HIR tidak mengatur secara rinci mengenai kekuatan putusan. Namun para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing. Di antaranya adalah ; a) Soepomo dalam literaturnya menjelaskan 3 (tiga) kekuatan putusan, yakni 41 : 1. Kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat (bindende kracht, binding force). 2. Kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk 33 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, Cet ) hlm Ibid 35 P.Van et al, Van Apeldoorn s inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht. W.E.J. Tjeenk-Willinjk.1985 (dikutip dari : Ibid) 36 Ibid Andi Hamzah, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Liberty, 1986), hlm Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm Ibid, hlm Soepomo R., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hlm

8 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut. 3. Kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power). b) Sudikno Mertokusumo 42, putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan: 1. Kekuatan Mengikat, Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menentapkan hak itu.suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat kedua belah pihak. Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberikan dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan, 43 yaitu : a. Teori Hukum Materiil Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan yang lazimnya disebut gezag van gewijisde mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan; menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini putusan dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber materiil. Disebut juga ajaran hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat hukum pada putusan. Mengingat bahwa putusan hanya mengikat para pihak dan tidak memberi wewenang untuk mempertahankan hak seseorang terhadap pihak ketiga dan saat ini ajaran ini telah ditinggalkan. b. Teori Hukum Acara Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata- mata hanyalah sumber wewenang prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa. c. Teori Hukum Pembuktian 42 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm Ibid, hlm

9 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang di tetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya. d. Terikatnya para Pihak pada Putusan Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan negatif, yakni ; 1) Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur). Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada undang- undang Ps BW. 2) Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan mempunyai akibat hukum:nebis in idem (ps.134 Rv). Kecuali didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti negatif ini juga didasarkan asas litis finiri oportet yang menjadi dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalam hukum acara kita putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. e. Kekuatan hukum yang pasti Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewisjde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum khusus yakni request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga. Pendapat para ahli hukum lain, ada yang berpandangan bahwa suatu putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat yang negatif kalau belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan sejak mempunyai kekuatan hukum yang pasti memperoleh kekuatan hukum yang positif, maka putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang dijatuhkan harus dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak harus menghormati dan mentaatinya. 2. Kekuatan Pembuktian Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau 1164

10 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: pelaksanaannya. Putusan itu sendiri merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti. 3. Kekuatan Eksekutorial Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu putusan memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di Indonesia yang menganut Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Ps. 4 ayat 1 Undang undang No. 4 tahun 2004) dan semua putusan pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian atasnya yang berbunyi Demi Keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa (Ps. 435 Rv jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004) Upaya Hukum Terhadap Putusan Suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kehilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kehilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. 45 Sifat dan berlakunya upaya hukum, bergantung pada apakah itu merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa 46 : a) Upaya hukum biasa, pada asasnya terbuka setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Wewenang menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya ini bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara. Upaya hukum biasa ialah : 1. Perlawanan (verstek), Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (Ps. 125 ayat 3 jo Ps. 129 HIR, Ps. 149 ayat 3 jo Ps. 153 Rbg.). Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi penggugat yang dengan putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding. 44 Ibid, hlm Ibid, hlm Ibid, hlm

11 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) 2. Banding, Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan dalam dua tingkat itu disandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan pada tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi. 3. Kasasi. Terhadap putusan putusan yang diberikan dalam tingkat akhir oleh pengadilan pengadilan lain daripada Mahkamah Agung demikian pula terhadap putusan pengadilan yang dimintakan Banding dapat dimintakan Kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 22 Undang-undang No. 4 tahun 2005 tentang Kehakiman, Pasal 43 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Jadi apabila pihak bersangkutan belum atau tidak mempergunakan hak melawan putusan pengadilan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat atau hak memohon ulangan pemeriksaan perkara oleh Pengadilan Tinggi, permohonan pemeriksaan Kasasi tidak dapat diterima (Pasal 43 Undang- undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Dalam meninjau alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan Kasasi, dipakai sebagai dasar Pasal 30 Undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yaitu karena : 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, dan 3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. b) Upaya hukum istimewa, digunakan untuk putusan-putusan yang telah berkekuatan hukum yang pasti dan sudah tidak dapat diubah serta tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Upaya hukum ini hanyalah dibolehkan dalam hal-hal tertentu yang disebut dalam Undang-undang saja. Yang termasuk upaya hukum istimewa ialah 1. Peninjauan Kembali (request civil), Diatur dalam Pasal 66 Undang-undang No. 4 tahun 2004 Kehakiman. Permohonan PK dapat diajukan secara tertulis maupun lisan oleh para pihak sendiri (ayat 1) kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama. Permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan satu kali saja. 2. Perlawanan dari pihak ketiga (derdenverzet). Pada asasnya suatu putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1917 BW). Akan tetapi apabila pihak 1166

12 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: ketiga merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut (Pasal 378 Rv). 7. Tinjauan Umum Tentang Nebis Ins Idem Nebis in idem adalah asas hukum yang berlaku dalam hukum perdata maupun pidana. Dalam hukum perdata, asas ini mengandung pengertian bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya. Pengertian dari kamus hukum tentang nebis in idem adalah asas yang menyatakan bahwa tidak boleh satu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh pengadilan. 47 Jadi, berdasarkan pengertian tersebut, penulis beranggapan bahwa dalam sebuah perkara dengan obyek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihakpihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk nebis in idem. Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung nebis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk nebis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya. Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar nebis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan nebis in idem. Sebuah perkara yang nebis in idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima. 48 Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana: 1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan, 2. Telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seperti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikut sertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi. 3. Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama Dzulkifli Umar & Utsman Handoyo, Op. Cit, hlm

13 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) Pengertian tentang asas nebis in idem terdapat pada ketentuan pasal 1917 Kitab Undang undang Hukum Perdata, yang berbunyi Kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagipula dimajukan oleh dan terhadap pihak pihak yang sama didalam hubungan yang sama pula. Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan objek yang sama pula. Dalam perkembangan asas nebis in idem, kadang sering muncul perkara yang mirip dengan asas nebis in idem, yaitu pekara yang digugat kembali dengan objek yang sama tetapi subyek berbeda. Karena itu, agar tidak menjadi kesimpang siuran kaidah hukum yang tidak jelas, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Yurisprudensi MA.RI tentang nebis in idem, YMA No K/Pdt/2001 ; Tanggal 20 Mei 2002, dengan majelis hakim sebagai berikut : 1. H. Suharto, SH 2. H. Achmad Syamsudin, SH 3. H. A. Kadir Mappong, SH Kaidah Hukum dari yurisprudensi tersebut adalah Meski kedudukan subyeknya berbeda, tetapi obyek sama dengan perkara yang telah diputus terdahulu dan berkekuatan hukum tetap, maka gugatan dinyatakan Nebis In Idem 50 Pada dasarnya asas nebis in idem dapat terlaksana dengan baik dan demi kepastian bagi pencari keadilan, maka sesuai dengan SEMA No. 3 TAhun 2002, Ketua MA telah meminta agar Pengadilan tingkat pertama untuk mempertimbangkan mengenai perkara serupa yang pernah diputus dimasa lalu, baik dalam eksepsi maupun dalam pokok perkara. 51 Tetapi ada hal yang menarik berkaitan dengan yurisprudensi, yaitu pertentangan antara yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya tentang Nebis In Idem, Menurut kamus istilah hukum Foekema Andreal, Belanda-Indonesia :Nebis In Idem penunjukan yang berlaku untuk asas bahwa satu sengketa atau satu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diserahkan untuk diputuskan oleh Pengadilan. Tetapi Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Juli 1973 No.102 K/Sip/1972 apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak- pihak dalam perkara yang sudah diputus lebih dahulu, maka tidak ada Nebis In Idem. Dan dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 22 Oktober Nomor 1121 K/Sip/1973 perkara ini benar obyek gugatannya sama dengan perkara Nomor 597/perd./1971/PN.Mdn, tetapi karena pihak-pihaknya tidak sama, tidak ada Nebis In Idem. 52 Jika terjadi pertentangan antara yurisprudensi yang satu dengan yang lainnya, maka menurut penulis, yurisprudensi yang terakhirlah yang digunakan sebagai pedoman sumber hukum bagi para hakim Varia Peradilan, Hal. 161, bulan Pebruari html+putusan+Mahkamah+agung+RI+no.1121+K/Sip/1973&cd=4&hl=en&ct=clnk 1168

14 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: Dalam hukum acara perdata juga, berlaku asas Nebis in Idem, dalam artian putusan dengan objek sengketa, subjek yang terlibat sengketa, dasar hukum yang sama dan telah mendapat kekuatan hukum tetap tidak dapat dipersengketakan ulang di pengadilan. Namun untuk beberapa kasus spesifik tertentu, keberlakuan asas Nebis in Idem yang mendasarkan diri pada asas kepastian hukum dapat disimpangi dengan asas keadilan dan kemanfaatan. Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menutup diri untuk menguji materiil undang-undang atau pasal yang sama dengan yang dahulu pernah diuji-materiil-kan, dengan ketetuan pengajuan uji materiil memaparkan argumentasi dan dasar bernalar yang berbeda dari sebelumnya dengan suatu alasan yang memadai yang mampu menyimpangi kemutlakan asas Nebis in Idem. 53 sedangkan menurut penulis, jika ditemukan suatu bukti baru yang kuat, maka nebis in idem pun bisa disimpangi. 8. Hakim dan Yurisprudensi Hakim merupakan unsur utama dalam pengadilan, sehingga tanpa hakim pengadilan tidak layak dikatakan sebagai lembaga peradilan. Bahkan dalam perkembangannya oleh sebagian masyarakat sering diasosiasikan hakim dengan pengadilan. Artinya bahwa hakim selalu identik dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman identik dengan kebebasan hakim. Demikian pula halnya dengan keputusan pengadilan identik dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan pengadilan sangat ditentukan oleh keberadaan hakim dalam lembaga peradilan. Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu fungsi hakim yang sangat penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Dalam kepustakaan hukum anglo saxon perkataan yurisprudensi mengandung arti yang lebih luas dari perkataan yurisprudensi dalam hukum Eropa Kontinental. Di dalam kepustakaan anglo saxon, yurisprudensi selain bermakan hukum (dalam putusan) hakim, juga bermakna filsafat hukum dalam ilmu hukum. Sedangkan dalam kepustakaan Eropa kontinental dan dalam kepustakaan hukum Indonesia, yang disebut yurisprudensi adalah kumpulan keputusan Mahkamah Agung (dan Pengadilan Tinggi) mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan (kebijaksanaan) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh lain dalam memutus perkara yang sama atau hampir sama. Beberapa literatur mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang selalu diikuti oleh hakim lain (sesudahnya) dalam hal memutus sesuatu perkara yang sifatnya sama. Secara garis besar yurisprundensi (dilihat dari daya ikatnya) bagi hakim lain, dibagi menjadi dua, yaitu yurisprudensi yang bersifat tetap dan yurisprudensi tidak tetap. 54 a. Yurisprundensi tetap, yurisprudensi dapat dikatakan yurisprudensi tetap, apabila keberadaannya selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Ini berarti, bentuk yurisprudensi ini sudah menjadi kaidah hukum. Contoh dari yurisprudensi tetap ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung No. 47/kr/28 Maret 1957 yang

15 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) menyatakan bahwa yang menjadi dasar keputusan oleh Pengadilan Negeri adalah surat dakwaan dan bukan surat tuduhan yang dibuat oleh polisi dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). b. Yurisprudensi tidak tetap, putusan hakim dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tidak tetap, apabila tidak selalu diikuti oleh hakim yang lainnya. Sebagai catatan, seringkali putusan-putusan yang dimaksud dalam yurisprudensi tersebut di atas, baikyang bersifat tetap atau yang tidak tetap biasanya sangat tergantung dari hakim MA lebih menguntungkan. Kemungkinan seperti ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa masih banyak pihak yang untuk memperoleh keadilan hukum selalu berupaya sampai ke Mahkama Agung, sehingga putusannya dianggap solid. Pengembangan yurisprudensi selain menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Dalam konteks tersebut, yurisprudensi sebagai sumber hukum atau inspirasi hukum dapat dikatakan sangat dinamis karena merupakan respon terhadap perkaraperkara nyata yang dihadapi masyarakat. Selain itu yurisprudensi juga dapat dikategorikan sebagai fatwa hakim yang mempunyai integritas keilmuan yang tidak diragukan. Oleh karena itu, yurisprudensi merupakan hasil ijtihad seorang hakim sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Yurisprudensi dalam kategori ini, di antara cirinya ialah bersifat kasuistik, karena merupakan respon atau jawaban atas kasus yang diajukan oleh pencari keadilan. Kaitannya dengan pengembangan yurisprudensi, hakim mempunyai peranan yang penting dan strategis. Tentunya hakim dalam hal ini adalah hakim dalam lembaga peradilan secara fungsional. Dikatakan demikian karena hakim dalam melaksanakan tugas-tugasnya senantiasa berhadapan dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus yang terjadi di masyarakat tidak semua mempunyai ketentuan hukum secara normatif dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi adakalanya bahkan di antara kasuskasus yang diajukan pada hakim banyak yang tidak mempunyai dasar hukum secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang. Terhadap kasus-kasus yang demikian inilah hakim mempunyai tanggung jawab dan dituntut untuk berijtihad sesuai dengan ilmunya. Ijtihad atau fatwa hakim dalam memberikan putusan terhadap suatu kasus yang tidak mempunyai dasar hukum dalam Undang-Undang itulah yang kemudian disebut dengan istilah yurisprudensi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi hakim yang penting adalah mengembangkan yurisprudensi. Oleh karena itu, yang paling penting bagi hakim dalam mengembangkan yurisprudensi adalah kemampuan hakim itu sendiri. Dalam artian bahwa hakim hendaknya mempunyai integritas keilmuan yang diandalkan dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan yurisprudensi. Ada beberapa alasan para hakim mengikuti keputusan hakim lain, dalam memutuskan perkara yang sifatnya sama. Alasan pertama adalah alasan psikologi, yang kedua adalah alasan bersifat praktis dan ketiga adalah persesuaian pendapat. 55 a. Alasan psikologis 55 Ibid 1170

16 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkompeten di dalamnya. Dalam kenyataannya, keputusan hakim juga dapat dan mampu menyusun pendapat umum (Publik Opini) bahwa yang diputuskan adalah benar adanya. Sehingga semua pihak yang berkecimpung dalam masalah hukum tertentu yang sejenis dengan perkara yang serupa dengan perkara yang telah diputuskan oleh hakim tadi secara tidak langsung dirinya merasa terikat di dalamnya. Termasuk di dalamnya para hakim itu sendiri. Lebih-lebih, hakim yang secara organisasi berada dalam stuktur di bawah hakim yang memutuskan perkara tadi (misalnya putusan hakim Mahkamah Agung). Keputusan hakim Mahkamah Agung apabila tidak diikuti oleh hakim yang berada dalam tingkat yang lebih rendah, akan menimbulkan beban psikologis yang tidak menguntungkan bagi hakim yang bersangkutan. Meskipun tidak ada satu ketentuan pun yang mengharuskan agar ia harus selalu berpedoman pada keputusan hakim yang ada di atasnya. Dalam hal keputusan yang diputuskan oleh hakim Mahkamah Agung, hal yang demikian dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk pengawasan yang tidak langsung kepada para hakim yang berada di bawahnya. b. Alasan praktis Kesan yang akan timbul apabila seorang hakim yang memutus perkara yang jenisnya sama yang tidak sesuai dengan keputusan hakim yang diputuskan oleh hakim yang berada di atasnya adalah seakan-akan ia memutuskan tanpa mengindahkan norma-norma hukum yang ada. Alangkah janggalnya, apabila suatu putusan hakim yang lebih rendah secara administrasi akan bertentangan dengan keputusan hakim yang secara administrasi sementara jenis dan sifat dari jenis perkara tersebut adalah sama. Sebab, apabila seseorang terlibat dalam sebuah perkara tidak puas, maka tentunya ia akan mengajukan banding kepada Pengadilan yang lebih tinggi. Yang menyebabkan keputusan hakim terdahulu akan dibatalkan. c. Persesuaian Pendapat Persesuaian pendapat ini bukan hanya menyangkut bagi para hakim itu sendiri melainkan untuk rasa sekarang semua pihak (para praktisi dan akademis) telah menganggap bahwa apabila sebuah kasus ditangani tanpa berdasarkan yurisprudensi (keputusan hakim yang telah ada), akan menimbulkan reaksi yang tidak sedikit, ini berarti bahwa pada dasarnya semua pihak mengingkari adanya persesuaian pendapat tetang yurisprudensi sebagai sumber hukum. Di samping beberapa alasan yang menyebabkan yurisprudensi itu diikuti oleh hakim yang lainnya, yurisprudensi dapat berperan untuk menciptakan standar hukum dan pembinaan landasan hukum yang sejenis Ibid 1171

17 Implementasi Asas Nebis in Idem... (Muhammad Yusuf Ibrahim) a. Menciptakan standar hukum Dengan adanya yurisprudensi ini diharapkan akan menciptakan standar hukum yang benar-benar mengandung unsur-unsur aktual, dalam kasus-kasus tertentu yang terjadi pada sebuah Negara (peradilan) pada sebuah Negara. b. Membina landasan hukum yang sama Keseragaman hukum yang sama pada suatu yurisprudensi yang akan mampu menciptakan standar hukum yang sama, dengan sendirinya akan berperan dan berfungsi membina dan mewujudkan landasan hukum yang sama. Apabila terjadi persamaan-persamaan persepsi yang sama terhadap sebuah kasus yang sama, baik oleh praktisi dan akedemisi dan para pencari keadilan dan hakim yang telah menjadikan yurisprudensi sebagai landasannya, yang demikian itu akan sangat berpengaruh pada pembinaan hukum yang sama dalam hal mengadili dan memeriksa kasus yang sifat dan jenisnya berbeda. dengan adanya landasan hukum yang sama yang secara tidak langsung juga dibina bersama, keefektivitasan dalam menangani sebuah kasus akan tercapai. Ini merupakan salah satu bentuk pengisisan hukum oleh hakim. 9. Daya ikat yurisprudensi terhadap para Hakim, mengingat yurisprudensi berada diluar tata urutan peraturan perundang undangan. Para ahli hukum Indonesia, memiliki pandangannya masing-masing, namun dapat diambil garis besar bahwa kekuatan putusan antara lain 57 : 1. Kekuatan mengikat, Sifat mengikat ini bertujuan untuk menetapkan suatu hak atau suatu hubungan hukum antara para pihak yang berperkara. Dalam hukum acara kita putusan mempunyai kekuatan mengikat baik dalam arti positif maupun negatif. Yakni dapat dijelaskan sebagai berikut : i. Dalam arti positif, bahwa pada prinsipnya putusan pengadilan itu untuk menyelesaikan perselisihan antara mereka yang sebagaimana yang mereka kehendaki. Pihak-pihak tersebut harus tunduk dan patuh kepada putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Dan tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan putusan tesebut, karena putusan mempunyai kekuatan mengikat terhadap para pihak yang berperkara (Pasal BW). ii. Sedangkan dalam arti negatif, bahwa kekuatan mengikat pada suatu putusan ialah hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan tersebut dapat mengakibatkan Nebis in Idem (Pasal 134 RV). 2. Kekuatan pembuktian Tujuannya adalah untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti oleh para pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau juga untuk eksekusi. Sehingga putusan harus dibuat secara tertulis, dan juga merupakan akta otentik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Sekalipun putusan tidak mempunyai kekuatan 57 Abdul Manan, Op. Cit, hlm

18 Jurnal Ilmiah FENOMENA, Volume XII, Nomor 1, Mei 2014: mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian terhadap putusan pidana, diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, namun tentang kekuatan pembuktian putusan perdata tidak ada ketentuannya. Menurut pasal 1916 ayat 2 Nomer 3 BW maka putusan hakim adalah persangkaan. Putusan hakim merupakan persangkaan bahwa isinya benar : apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habateur). Adapun kekuatan pembuktian putusan perdata diserahkan kepada pertimbangan hakim. Hakim mempunyai kebebasan untuk menggunakan kekuatan pembuktian putusan terdahulu Kekuatan Eksekutorial. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power). Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, maka ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Pada tahap pelaksanaan dari pada putusan ini, maka akan diperoleh suatu putusan yang in kracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap).terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dapat dilanjutkan pada tahap eksekusi. Menurut M. Yahya Harahap,eksekusi merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemerikasaan perkara. Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan yang bersinambungan dari keseluruhan proses Hukum Acara Perdata. 59 Aturan-aturan inilah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi. Namun dalam pelaksanaan nya tidak terlepas dari dari peraturan lain seperti yang terdapat pada asasasas hukum, yurisprudensi maupun praktik peradilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam konkreto. 60 Daya ikat yurisprudensi terhadap hakim sangat tinggi sekali, walaupun yurisprudensi berada diluar aturan perundang - undangan. Keduanya merupakan sumber hukum yang diakui. Berdasarkan pembentukannya sumber hukum 61 : a. Undang undang Menetapkan hukum secara in abstracto, yang berlaku secara umum orang yang tunduk pada kekuasaan undang-undang. Pembentukan UU : 1. Alasan politis 2. Alasan praktis 3. Alasan cost benefit principles, Yang artinya menjangkau masa yang akan datang. b. Yurisprudensi Pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim: 58 Ida Iswojokusumo dalam Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1998), hlm M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm 1 60 Ibid

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak.

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam praktik sehari-hari, hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain maupun hubungan antara manusia dengan badan hukum atau badan hukum dengan badan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III PERADILAN TATA USAHA NEGARA. Secara teoritik, putusan hakim memiliki tiga macam kekuatan yaitu: 42

BAB III PERADILAN TATA USAHA NEGARA. Secara teoritik, putusan hakim memiliki tiga macam kekuatan yaitu: 42 42 BAB III PERADILAN TATA USAHA NEGARA A. Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan Secara teoritik, putusan hakim memiliki tiga macam kekuatan yaitu: 42 a. kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. formil. Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum

BAB I PENDAHULUAN. formil. Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara perdata bisa disebut juga dengan hukum acara perdata formil. Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata formil. Hukum

Lebih terperinci

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

ELIZA FITRIA

ELIZA FITRIA EKSEKUSI RIIL TERHADAP PUTUSAN HAKIM YANG TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR KLAS II (STUDI KASUS PERKARA PERDATA NO. 02/Pdt.G/2007/PN.BS) SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

A.Latar Belakang Masalah

A.Latar Belakang Masalah A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban

Lebih terperinci

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? Oleh: Ahmad Z. Anam (Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok) Pendahuluan Ada dua hak bagi pihak berperkara yang perkaranya dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum. Hal ini ditegaskan pula dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepemilikan terhadap harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak diatur secara komplek dalam hukum di Indonesia. Di dalam hukum perdata, hukum adat maupun

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara BAB III Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata Usaha Negara A. Upaya Hukum Ada kalanya dengan keluarnya suatu putusan akhir pengadilan sengketa antara Penggugat

Lebih terperinci

QUA VADIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PPU-X/2013 TERTANGGAL 28 MEI 2013

QUA VADIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PPU-X/2013 TERTANGGAL 28 MEI 2013 91 QUA VADIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PPU-X/2013 TERTANGGAL 28 MEI 2013 H. Saripudin Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kita adalah negara hukum, demikianlah makna yang tersirat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti di negara Indonesia ada tata hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan, 49 BAB III WEWENANG MAHKAMAH KOSTITUSI (MK) DAN PROSES UJIMATERI SERTA DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMPERBOLEHKAN PENINJAUAN KEMBALI DILAKUKAN LEBIH DARI SATU KALI. A. Kronologi pengajuan uji materi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D 101 09 643 ABSTRAK Pemeriksaan suatu perkara perdata dimulai pada tingkat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan. Hak tersebut

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada dasarnya menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan gugatan adalah suatu tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan

Lebih terperinci

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN A. Pendahuluan Pokok bahasan III ini mengandung sub-sub pokok bahasan tentang putusan, upaya hukum terhadap putusan dan pelaksanaan putusan. Penguasaan materi pada

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI A. Pengertian Eksekusi Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah hidup bersama dengan manusia lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah bermasyarakat, dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan empat badan Peradilan yang ada di Indonesia. Masing-masing badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam dunia filsafat, para filosof, khususnya Aristoteles menjuluki manusia dengan zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan notaris sangat penting ditengah-tengah masyarakat. Notaris memberikan jaminan kepastian hukum pada masyarakat menyangkut pembuatan akta otentik. Akta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2 EKSEKUSI YANG TIDAK DAPAT DIJALANKAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA 1 Oleh: Rahmawati Kasim 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan eksekusi menurut

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website : ALAT BUKTI SURAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI TEMANGGUNG (Studi Kasus Putusan No. 45/Pdt.G/2013/PN Tmg) Abdurrahman Wahid*, Yunanto, Marjo Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan, oleh karena itu diharapkan segala tindakan dan perbuatan harus berdasarkan atas hukum.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis/lisan, di mana norma tersebut bertujuan untuk menciptakan kondisi

Lebih terperinci

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA Oleh : M. Luqmanul Hakim Bastary* PENGERTIAN Untuk kesamaan penggunaan istilah, maka kata Executie yang berasal dari bahasa asing, sering diterjemahkan ke dalam Bahasa

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim)

PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN. Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) PERAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PENGADILAN Drs. ARPANI, S.H., M.H. (Hakim PA Bontang- Kaltim) A. Pendahuluan Kekuasaan Kehakiman dengan para Hakimnya

Lebih terperinci

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET

PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET PANDANGAN HAKIM TENTANG PUTUSAN DAMAI ATAS UPAYA HUKUM VERZET TERHADAP PUTUSAN VERSTEK DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JOMBANG (Studi Perkara No. 1455/Pdt.G/2013/PA.Jbg) BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan SUMBER HUKUM A. Pendahuluan Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum? Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law. Perkataan sumber hukum itu sebenarnya berbeda dari perkataan dasar hukum,

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL TATA NEGARA ( waktu : 30 menit)

LATIHAN SOAL TATA NEGARA ( waktu : 30 menit) Langkah untuk mendapatkan kunci jawaban dan pembahasan download di Ferry Andriyanto, S. Pd. 1. Untuk membiayai kebutuhan pemerintah local tanpa campurtangan pusat, pemerintah kolonial membentuk a. Algemeene

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini hukum di Indonesia mengalami suatu perubahan dan perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang direncanakan tersebut jelas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perkawinan mempunyai nilai-nilai yang Sakral dalam agama, karena

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perkawinan mempunyai nilai-nilai yang Sakral dalam agama, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkawinan mempunyai nilai-nilai yang Sakral dalam agama, karena mempunyai asas yaitu perkawinan untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang

Lebih terperinci

PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.

PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN. PERANAN HAKIM TERHADAP LAHIRNYA PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA (Studi Kasus Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.Mks) Rezki Erawati. S Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS A. Sekilas Profil Mahkamah Agung Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bersosialisasi dengan sesamanya merupakan kebutuhan mutlak manusia yang kemudian membentuk kelompok-kelompok tertentu dengan sesamanya tersebut. Tentulah kita

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB III. hukum khususnya dalam penyelesaian perkara-perkara di tingkat peradilan.

BAB III. hukum khususnya dalam penyelesaian perkara-perkara di tingkat peradilan. 69 BAB III AKIBAT HUKUM DALAM KEPUTUSAN HAKIM TERHADAP PENCABUTAN BERITA ACARA PEMERIKSAAN PADA SAAT DI PERSIDANGAN OLEH POLISI SEBAGAI SAKSI DALAM KASUS NARKOTIKA 3.1. Hakim dan Kedudukannya Dalam Peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA

PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA PHI 5 ASAS HUKUM ACARA PERDATA Oleh Herlindah, SH, M.Kn 1 Sub Pokok Bahasan: 1. Istlah dan Pengertan Hukum Acara Perdata 2. Sumber Hukum Acara Perdata 3. Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata 4. Asas-Asas

Lebih terperinci