TUTURAN DAN TINDAKAN BAHASA MENURUT JOHN L. AUSTIN (SUATU ANALISIS MAKNA BAHASA SEHARI-HARI) Purwo Husodo Universitas Andalas Padang ABSTRACT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUTURAN DAN TINDAKAN BAHASA MENURUT JOHN L. AUSTIN (SUATU ANALISIS MAKNA BAHASA SEHARI-HARI) Purwo Husodo Universitas Andalas Padang ABSTRACT"

Transkripsi

1 TUTURAN DAN TINDAKAN BAHASA MENURUT JOHN L. AUSTIN (SUATU ANALISIS MAKNA BAHASA SEHARI-HARI) Purwo Husodo Universitas Andalas Padang ABSTRACT In his research, Austin focused to daily language. Austin divided into two kinds of utterance: constative utterance and performative utterance. According to Austin, constative utterance is an utterance that can be proved by empirical observation, while performative utterance is an utterance that claimed uttering obligation to act conform to uttering expression. To differentiate two utterances, Austin proposed an analysis speech act approach. The speech act divided into three type: locution, illocution and perlocution. Locution is a speech act that uttering could say something without obligation, illocution is an implement act from locution, whereas perlocution expected to listener could do something. Key words: Tuturan, Tindak Bahasa, Konstatif, Performatif Lokusi, Ilokusi, Perlokusi 1. Pendahuluan Salah satu tema pokok pemikiran filsafat dalam abad ke-20 adalah bahasa. Tugas filsafat bahasa adalah mencari kriteria untuk membangun tuturan atau ungkapan yang bermakna. Dengan menetapkan kriteria dalam bahasa maka setiap tuturan dapat dianalisis. Oleh karena itu filsafat bahasa (philosophy of language) sering juga disebut dengan filsafat analitis (philosophy of analysis). Kadang-kadang nama untuk filsafat bahasa disebut juga filsafat linguistik (philosophy of linguistic), karena bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai aturan permainan linguistik yaitu kosa kata dan struktur dalam membuat kalimat. Bahasa tidak hanya terdiri dari suatu perpaduan kata-kata, tetapi juga mempunyai masalah linguistik yang mengundang orang untuk meneliti masalah semiotik dan sintaksis (Lorens, 1991:94). Filsafat bahasa pertama kali muncul di Inggris pada awal abad ke-20, terutama dipelopori oleh George Edward Moore ( ) dan Bertrand Russell ( ). Dan kemudian di Perancis pemikiran tentang bahasa dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure ( ), yang diteruskan oleh Claude Levi-Strauss (1908). Munculnya filsafat bahasa tersebut merupakan reaksi terhadap pemikiran filsafat yang berkembang di Inggris pada waktu itu yaitu, idealisme. Pemikiran filsafat ini di Inggris sering disebut dengan Neo- Hegelianisme. Pada saat itu, Mc. Taggart ( ) dan Bradley ( ) merupakan dua tokoh pendukung Neo-Hegelianisme. Menurut Moore, seorang penganut atomisme logis, cara dan gaya bahasa kaum Neo-Hegelianisme terlalu bombastis sehingga membingungkan orang yang menggunakannya. Moore tidak menolak pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh kaum Neo-

2 Purwo Husodo Hegelianisme, namun tuturan-tuturan yang diucapkannya terasa kabur dan tidak jelas. Akibatnya orang yang diajak bicara tidak menangkap maksud si pembicara (Lorens, 1991:95). Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran filsafat bahasa terdapat empat periode penting, yaitu: periode pemula atau periode atomisme logis, kemudian periode positivisme logis dari Alfred Jules Ayer (1910), periode permainan bahasa (language game) dari Ludwig Wittgenstein ( ), dimana ketiga periode ini dimasukkan ke dalam kelompok Cambridge dan dominan pada masa sebelum Perang Dunia II, dan periode filsafat bahasa biasa (ordinary language) yang dimasukkan ke dalam kelompok Oxford dan dominan pada masa setelah Perang Dunia II. Sebelum Perang Dunia II gerakan filsafat bahasa didominasi oleh kelompok Cambridge, dengan tokohnya seperti Moore, Wittgenstein dan Wisdom. Namun setelah Perang Dunia II peran mereka digantikan oleh kelompok Oxford. Salah seorang kelompok Oxford yang terkenal dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah pemikiran dari John Langshaw Austin tentang tuturan dan tindakan bahasa dalam bukunya How to Do Things with Words. 2. Latar Belakang Pemikiran Austin John Langshaw Austin lahir pada tahun 1911, ia belajar filologi dan filsafat di Oxford. Austin memulai karirnya di bidang akademik sebagai pengajar di Magdalen Colledge, Oxford. Sewaktu Perang Dunia II, ia menjadi seorang militer pada British Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan kolonel. (Bertens, 1983:56). Setelah perang usai, ia kembali ke dunia akademik. Pada tahun 1952, Austin menjadi guru besar di Oxford University dan tahun 1955 di Harvard University. Pada tahun 1958, ia mengajar di California University sampai meninggal pada tahun 1960 akibat menderita sakit. Meskipun usianya masih muda ketika meninggal, namun Austin meninggalkan karya-karya yang penting bagi perkembangan dan kemajuan filsafat bahasa. Banyak karya-karya Austin yang menonjol dan diterbitkan oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnock setelah ia meninggal.tiga karya Austin yang paling menonjol adalah Philosophical Papers (1961), karya ini berupa kumpulan makalah yang pernah dibawakan oleh Austin di berbagai diskusi dan seminar. Karya lain adalah Sense and Sensebilian (1962), memuat kumpulan kuliah yang diberikannya di Oxford dan karya utama dari Austin adalah How to Do Things with Words, dimana tulisan ini membicarakan tentang tuturan dan tindakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran Austin berbeda dengan pemikiran atomisme logis (Moore dan Russell) atau positivisme logis (Ayer), yang meneliti makna bahasa secara ideal. Austin lebih memusatkan penelitiannya pada bahasa sehari-hari. Menurutnya, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak sekali perbedaan dan nuansa atau variasi yang berkembang untuk mengungkapkan pemikiran para penuturnya. Keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari ini seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai obyek penelitian para filsuf analitis. Menurut Austin, tidak sedikit masalah filosofis akan tampak dalam bentuk baru apabila didekati dengan cara-cara yang tersembunyi dalam bahasa sehari-hari. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa selalu berkaitan dengan situasi konkrit dimana penutur berada dan dari fenomena-fenomena yang berkembang. Pernyataan yang sering diungkapkan 198

3 Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009 oleh Austin adalah what to say when, dimana unsur bahasa (what) dianggap sama penting dengan dunia fenomena (when). Oleh karena itulah Austin memakai istilah linguistic phenomenology sebagai teknik analisa bahasa untuk menjelaskan fenomena-fenomena melalui penyelidikan bahasa (Bertens, 1983:58). Austin tidak membuat perbedaan antara pernyataan yang dapat dipastikan benar atau salah berdasarkan pada fakta-fakta tetapi menyatakan suatu tindakan atau perbuatan dalam bahasa. Sementara penganut atomisme logis, seperti Russell mengatakan bahwa bahasa berfungsi untuk menggambarkan realitas. Oleh karena itu bahasa berhubungan erat dengan fakta-fakta. Fakta-fakta tersebut tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat bersifat benar atau salah adalah pernyataan yang menggambarkan realitas. (Bertens, 1983:29). Dengan demikian Russell menyimpulkan bahwa bahasa merupakan sebatas dengan dunia. Sedangkan penganut positivisme logis, terutama Ayer menyoroti bahasa dari aspek bermakna atau tidak bermakna suatu ucapan bukan benar atau salahnya suatu ucapan. Untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ucapan adalah dengan menggunakan prinsip verifikasi. Dalam prinsip verifikasi ditegaskan bahwa suatu ucapan dikatakan bermakna, jika berdasarkan pada pengamatan empiris atau setidak-tidaknya berkaitan dengan keadaan faktual. Contoh ucapan yang bermakna: Mahasiswa yang mengikuti kuliah Filsafat Ilmu hari ini berjumlah 24 orang. Suatu ucapan yang bermakna bisa benar atau salah; contohnya, seseorang mengatakan Kota Dumai berada di propinsi Sumatera Barat atau Ibukota propinsi Sumatera Barat adalah Bukittinggi. Ucapan ini menurut Ayer merupakan ucapan yang bermakna tetapi tidak benar karena ucapan tersebut kesalahannya dapat ditetapkan. Ucapan yang bermakna, kata Ayer juga yang berdasar pada bahasa logika dan matematika, contohnya: Separuh dari 18 sama dengan 5 ditambah 4. Sedangkan ucapan yang tidak bermakna adalah ucapan yang tidak dapat diverifikasi, contoh: Hari ini cuaca lebih baik dari pada di luar. Ucapan yang tidak bermakna, sebagai konsekuensi dari prinsip verifikasi adalah ucapan yang mengandung unsur theologis, metafisis, etis dan estetis; contohnya: Ada jin di rumah yang kosong, Dunia diciptakan oleh Tuhan atau Lukisan itu bernilai tinggi (Bertens, 1983:36). Sama juga dengan pendahulunya, Austin juga ingin melihat kebenaran dalam bahasa. Namun ia tidak berhenti pada prinsip verifikasi yang diberikan oleh positivisme logis. Oleh karena dalam kenyataan sehari-hari kita tidak selalu dihadapkan pada kalimat yang dapat diverifikasi, ada banyak kalimat yang tidak dapat diverifikasi. Contoh, kalimat: Saya berjanji untuk mengajar hari ini atau kalimat Saya mengucapkan terima kasih atas undangan dari ibu Adriyetti Amir. Ucapan ini dianggap tidak bermakna bagi positivisme logis, karena ucapan tersebut tidak dapat diverifikasi. Oleh Austin, kalimat semacam itu disebutnya dengan kalimat performatif (performative utterance). Contoh lain kalimat performatif menurut Austin, Saya menunjuk saudara sebagai ketua rombongan atau Kami mengucapkan selamat datang kepada hadirin sekalian (Bertens, 1983:59). 3. Tuturan Konstatif dan Tuturan Performatif Austin membedakan dua jenis tuturan, yaitu tuturan konstatif (constative utterance) dan tuturan performatif (performative utterance). Kedua jenis tuturan tersebut tidak hanya berbeda dari pengucapannya tetapi juga berbeda dalam 199

4 Purwo Husodo situasi dan implikasi yang ditimbulkannya. Meskipun demikian perbedaan antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak bersifat mutlak. Bahkan dalam situasi tertentu antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak selalu jelas, contoh ucapan hakim: Saya menjatuhkan hukuman atas saudara enam bulan kurungan. Tuturan ini tidak dapat dinyatakan benar atau tidak benar. Namun tuturan tersebut mempunyai hubungan dengan fakta-fakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau hakim menjatuhkan vonis atas orang yang tidak bersalah, maka tidak dapat dikatakan bahwa vonis tersebut tidak benar namun masih ada hubungan dengan kebenaran fakta-fakta. Austin mengatakan ucapan semacam itu adalah fair or unfair to facts. Oleh karena itu perbedaan antara ucapan performatif dengan ucapan konstatif tidak bersifat mutlak, disatu sisi vonis tersebut merupakan tuturan performatif di sisi lain mengandung kebenaran fakta-fakta (Bertens, 1983:61-62). Tuturan konstatif yang digunakan oleh Austin adalah sama halnya dengan yang digunakan oleh kaum positivisme logis. Suatu pernyataan dapat dibenarkan apabila dapat dibuktikan melalui pengalaman empirik. Dengan kata lain antara pernyataan dengan kenyataan harus berkorespondensi atau berkesesuaian, sehingga kebenaran tuturan konstatif dapat diuji melalui pengamatan empirik. Ucapan seperti, Di rumah saya terdapat tiga ekor kucing atau Saya mempunyai uang lima puluh ribu rupiah. Ucapan ini menggambarkan tentang keadaan faktual. Dalam ucapan tersebut dinyatakan ada tiga ekor kucing di rumah, jika kenyataannya saya mempunyai tiga ekor kucing maka pernyataan tersebut benar dan sebaliknya jika kenyataannya tidak mempunyai tiga ekor kucing maka pernyataan tersebut tidak benar. Austin sering memberikan contoh tuturan konstatif, seperti: Raja Perancis botak, Ada kucing di atas permadani atau Ada tiga puluh orang di ruang sebelah. Ketiga contoh tersebut memberikan gambaran suatu keadaan faktual dan kebenarannya dapat dibuktikan. Berbeda dengan tuturan yang mengandung unsur emotif dan etis normatif, seperti ucapan Saya menyesal, Saya berjanji, Saya bersedia, Saya berterima kasih atau Saya menyatakan. Ucapan tersebut tidak mengandung unsur faktual, sehingga bukan ucapan konstatif. Para filsuf bahasa sebelumnya tidak menganalisa kalimat seperti itu karena mereka menganggap kalimat tersebut tidak bermakna. Menurut Austin, kalimat sejenis itu sebenarnya mengandung suatu kekuatan yang mengkondisikan adanya suatu tindakan dari si penutur. Oleh karena itu perlu dianalisa dan untuk tuturan sejenis itu, Austin memasukkannya ke dalam tuturan performatif. Tuturan performatif, menurut Austin adalah tuturan yang menuntut kewajiban si penutur melakukan suatu tindakan sesuai dengan tuturan yang diucapkannya. Contoh tuturan yang sering diberikan Austin diantaranya: (Austin, 1962:5). (1) Saya bersedia (menerima wanita ini sebagai istri yang syah) (2) Saya menamakan kapal ini dengan Queen Elizabeth (3) Saya memberikan dan mewariskan jam milik saya ini kepada saudara saya. Kalimat-kalimat tersebut tidak menggambarkan suatu keadaan saja tetapi terkandung suatu kekuatan misalnya, kalimat Saya bersedia, kalimat tersebut diucapkan oleh mempelai pria pada saat perkawinannya. Kalimat ini mempunyai kekuatan yang menuntut si penutur mempertanggungjawabkan isi ucapan dan kelayakan mengucapkan kalimat tersebut. Penutur yang menyatakan bersedia maka ia wajib menepati janjinya untuk menerima wanita yang akan menjadi 200

5 Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009 istrinya tersebut. Ucapan ini baru dapat dianggap benar bila ternyata ia menepati janjinya. Menurut Austin, tuturan performatif tidak dapat dinyatakan benar atau salah, karena tuturan sejenis ini tidak diperbandingkan dengan suatu fakta. Tuturan performatif hanya bisa dinilai berhasil atau gagal, berdasarkan perbuatan yang dinyatakan tersebut dilakukan atau tidak. Austin juga mengatakan bahwa kalimat performatif hanya bisa mengalami kegagalan-kegagalan (infelicities) (Bertens, 1983:60). Austin mengklasifikasikan tuturan performatif menjadi wajar atau tidak wajar, layak atau tidak layak, artinya apakah pernyataan itu diucapkan pada tempatnya atau tidak, wajar atau tidak. Tuturan Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang syah merupakan kalimat yang wajar jika diucapakan oleh seorang pria yang tidak terikat perkawinan dengan wanita lain, kecuali dalam budaya yang membolehkan poligami. Austin memberikan beberapa kriteria gramatikal tertentu untuk membedakan sebuah tuturan performatif, yaitu: the first person singular present indicative active (orang pertama, waktu sekarang, indikatif dan aktif) (Austin, 1962:56). Dengan demikian tuturan performatif harus mempunyai syarat sebagai berikut: (1) Dituturkan oleh orang pertama (the first person) (2) Dituturkan pada waktu sekarang (simple present) (3) Bersifat indikatif (indicative) (4) Penutur terlibat langsung (active) Jelaslah kalau keempat ciri tersebut diterapkan untuk menganalisa suatu kalimat, contoh kalimat Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang syah merupakan tuturan performatif. Oleh karena kalimat tersebut dituturkan oleh orang pertama (saya), dituturkan pada waktu sekarang (dituturkan saat upacara perkawinan), sifatnya indiktif (mengandung pernyataan berupa kesediaan) dan penutur terlibat langsung. Austin mengingatkan bahwa keempat ciri tersebut belumlah dapat dijadikan jaminan bahwa tuturan performatif itu layak dituturkan. Agar ucapan benar-benar bersifat performatif, beberapa syarat harus dipenuhi. Suatu ucapan performatif mempunyai aturan-aturan yang khusus bagi ucapan performatif dan tidak berlaku bagi ucapan-ucapan jenis lainnya. Dalam hal ini, Austin mengajukan prasyarat lain, yaitu: (1) Harus mengikuti tata cara prosedur umum yang berlaku di lingkungan masyarakat setempat dan mempunyai akibat tertentu pula. Contoh : Dalam suatu lingkungan masyarakat yang tidak mengakui poligami, kalimat Saya bersedia hanya layak dituturkan satu kali pada saat perkawinan. Apabila tuturan diucapkan dalam situasi yang tidak mengizinkan tindakan yang dituturkan itu, maka tutuaran performatif itu gagal atau tidak wajar. Di suatu lingkungan di mana poligami tidak diizinkan, seorang pria yang telah menikah mengucapkan Saya mengambil engkau menjadi isteri saya yang syah, kepada wanita lain, maka tuturan tersebut tidak layak atau tidak wajar. (2) Harus diucapkan oleh orang yang berkompeten dalam bidangnya. Contoh : Seorang dosen menyatakan Saya mengangkat anda menjadi manajer personalia dianggap tidak layak karena tidak memiliki kewenangan untuk itu. Contoh lain : Saya menunjuk anda sebagai menteri luar negeri yang diucapkan bukan presiden, maka tuturan tersebut tidak wajar. (3) Prosedur itu harus berlaku bagi semua orang yang terlibat dan menuntut kejujuran 201

6 Purwo Husodo Contoh : ucapan Saya bersedia atau Saya berjanji harus berasal dari kesadaran diri tanpa paksaan atau maksud-maksud lain, seperti hanya sekedar formalitas. (4) Prosedur harus sesuai dengan isi pikiran, perasaan, maksud penutur dan menuntut tanggung jawab penutur atas ucapannya dalam tindakan. Contoh : Saya bersedia mengandung tanggung jawab yang harus ditepati oleh kedua mempelai dan wajib mereka penuhi. Apabila ada salah satu dari keempat syarat tersebut tidak terpenuhi maka akan terjadi kegagalan-kegagalan inkonsistensi atau ketidakpantasan (Austin, 1962: 14). Sebagai contoh kalimat basa-basi, Saya turut berbahagia atas pernikahan saudara, yang diucapkan seseorang yang sakit hati karena pacarnya diambil oleh orang yang diberi ucapan selamat, menurut Austin merupakan tuturan yang inkonsisten atau ketidakpantasan. 4. Tindakan Bahasa : Lokusi, Illokusi dan Perlokusi Dalam usahanya untuk membedakan dua macam tuturan yaitu tuturan konstatif yang mengacu pada suatu fakta dan tuturan performatif yang mengacu pada suatu tindakan, Austin mengajukan pendekatan baru, yaitu menganalisa tentang speech-acts (tindakan bahasa). Austin mencoba menjelaskan hubungan antara tuturan dan tindakan, Ia membedakan tindakan bahasa (speech act) dalam tiga jenis yaitu : lokusi, illokusi, dan perlokusi (Austin, 1962 :101). Analisa Austin dalam hal ini adalah mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu, artinya setiap pernyataan yang sudah diucapkan harus mempunyai tanggung jawab untuk bertindak sesuai dengan isi tuturan. Lokusi merupakan tindakan bahasa, di mana si penutur mengungkapkan sesuatu tanpa adanya tanggung jawab. Lokusi dipakai untuk tindakan yang mengungkapkan sesuatu. Dalam tindakan lokusi, penutur tidak dituntut tanggung jawab untuk melaksanakan isi ucapannya tersebut. Contoh: Ada anjing di kebun. Penutur hanya menyampaikan isi pikirannya, Austin mencontohkan : Ia mengatakan kepada saya, Tembaklah dia!. Makna tuturan ini mengandung perintah yang tidak mengarah pada si penutur. Dalam arti, penutur tidak dikenai tanggung jawab untuk melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturannya. Kata tembaklah mengacu pada orang ketiga bukan pada penutur. Apabila dalam tindakan lokusi, penutur menyatakan sesuatu tanpa dituntut keharusan penutur melakukan tindakan sesuai dengan isi tuturannya, maka tindakan ilokusi merupakan pelaksanaan tindakan dari lokusi (Austin, 1962: 132). Antara tuturan performatif dan tindakan ilokusi ada keterkaitannya. Menurut Austin, ketika kita menuturkan sebuah tuturan performatif maka sebenarnya kita juga melakukan tindakan illokusi (Austin, 1962: 98). Begitu pula dengan kata kerja yang digunakan dalam tuturan performatif dapat juga digunakan pada tindakan illokusi. Perbedaan antara tuturan performatif dan tindakan illokusi terletak pada akibat implikasi yang ditimbulkannya. Tuturan performatif lebih menekankan layak tidaknya atau wajar tidaknya suatu pernyataan dituturkan sedangkan pada tindakan illokusi penekanannya terletak pada kemungkinan penutur melakukan tindakan. 202

7 Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009 Hal ini dapat dilihat dalam contoh: Saya berjanji akan mengembalikan buku-buku yang saya pinjam dari Pak Hanafi. Sebelum menuturkan kalimat tersebut penutur telah mengkondisikan hal-hal sbb: (1) memang benar Pak Hanafi meminjamkan buku-bukunya; (2) penutur telah menerima buku-buku tersebut; (3) buku-buku yang dipinjamkan belum dikembalikan, dan (4) penutur berniat akan mengambalikan buku-buku tersebut Apabila salah satu dari kondisi tersebut tidak dipenuhi maka tindakan illokusi tidak perlu dilakukan penutur. Misalnya penutur tidak berniat mengambalikan buku-buku tersebut, analisa Austin terhadap tuturan tersebut adalah mencoba memahami apa yang ada dalam pikiran penutur. Saat penutur mengucapkan janjinya maka sebenarnya dalam kesadaran (mind) penutur terkandung muatan bahwa penutur akan menepati janjinya dan sekaligus mempertaruhkan reputasinya pada orang lain. Penutur telah mengambil resiko untuk dinilai kurang baik jika ia mengingkari janjinya tersebut. Tindakan illokusi penutur dimintai tanggung jawabnya untuk melakukan tindakan sesuai dengan isi penuturannya. Apabila dalam illokusi penutur dimintai untuk bertindak sesuai dengan isi tuturan yang disampaikannya, maka dalam perlokusi pendengar yang diharapkan bertindak. Sebagai contoh, Pak Sawirman mengatakan di depan kelas kepada mahasiswanya, bahwa penghapusanya tidak ada. Kalimat tersebut bukan sekedar pemberitahuan tentang keadaan faktual yang sifatnya informatif tetapi lebih dari itu mempunyai kekuatan (force) berupa efek psikologis pada pendengar. Efek yang diharapkan penutur pada kalimat tersebut adalah suatu tindakan dari mahasiswa untuk mengamblkan penghapus. 5. Kesimpulan Tema utama Austin dalam bukunya How to Do Things with Words adalah menggantikan tuturan konstatif menjadi tuturan performatif. Pembedaan yang mula-mula dilakukan adalah dengan membedakan antara tuturan yang berupa pernyataan faktual atau deskripsi dengan tuturan yang berupa tindakan. Austin memperlihatkan bahwa tuturan konstatif dapat dinyatakan benar atau tidak benar, sedangkan tuturan performatif dinyatakan dengan wajar atau tidak wajar (happy or unhappy). Pada awalnya, Austin meyakini bahwa tuturan konstatif dan tuturan performatif dapat dibedakan dengan jelas. Seolah-olah memang ada dua golongan cara pemakaian bahasa. Kemudian Austin mencoba menentukan suatu kriteria-kriteria untuk membedakan dua jenis tuturan tersebut. Akan tetapi, kriteria tersebut juga tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan perbedaan dua jenis tuturan. Akhirnya Austin mengakui bahwa dalam situasi tertentu antara tuturan konstatif dan tuturan performatif tidak selalu jelas perbedaannya. Sebagai contoh, kalimat vonis. Ucapan hakim: Saya jatuhkan hukuman atas saudara Ricardo Tumbuan delapan bulan kurungan. Tidak mungkin dinyatakan benar atau tidak benar, yang pasti bahwa ucapan tersebut berhubungan dengan faktafakta yang bersifat benar atau tidak benar. Kalau hakim menjatuhkan vonis atas orang yang tidak bersalah maka vonis tersebut tidak benar dijatuhkan kepadanya. Akan tetapi suatu hukuman dijatuhkan pasti ada hubungannya dengan fakta-fakta yang memberatkan terdakwa. Jadi, disatu sisi vonis tersebut merupakan tuturan performatif disisi lain mengandung kebenaran fakta-fakta. Austin mengatakan, ucapan semacam itu merupakan ucapan fair or unfair to 203

8 Purwo Husodo fact. Dengan alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara tuturan performatif dengan tuturan konstatif tidak bersifat mutlak. DAFTAR PUSTAKA Austin, John Langshaw; 1961, Philosophy Paper, Oxford, University Press. : 1962, How to Do Things with Words, Oxford, University Press. Bertens, Kees; 1983, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, Jakarta, Gramedia. Lorens Bagus; 1991, Diktat, Silabus Logika dan Bahasa, Jakarta, Universitas Indonesia Purwo Husodo dan Mayang Sari; 1992, Makalah, Tuturan sebagai Tindakan Bahasa Dalam How to Do Things with Words dari John L. Austin, Jakarta, Pascasarjana UI. Redaksi Driyarkara; 1993, Pertautan Berkata dan Bertindak, Analisis Makna Bahasa Sehari-hari John L. Austin dalam Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XIX No

PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI G.E MOORE HINGGA J.L AUSTIN

PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI G.E MOORE HINGGA J.L AUSTIN PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI G.E MOORE HINGGA J.L AUSTIN Iman Santoso 1 Abstrak Bahasa sejak dahulu kala telah menjadi perhatian para filsuf, karena mereka menyadari betapa pentingnya peran

Lebih terperinci

PRINSIP VERIFIKASI: POKOK PIKIRAN ALFRED JULES AYER DALAM KHASANAH FILSAFAT BAHASA

PRINSIP VERIFIKASI: POKOK PIKIRAN ALFRED JULES AYER DALAM KHASANAH FILSAFAT BAHASA PRINSIP VERIFIKASI: POKOK PIKIRAN ALFRED JULES AYER DALAM KHASANAH FILSAFAT BAHASA Iman Santoso 1 Abstrak Dalam dunia filsafat bahasa dikenal seorang filsuf kebangsaan Inggris bernama Alfred Jules Ayer

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI RUSSEL HINGGA AUSTIN

PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI RUSSEL HINGGA AUSTIN PERKEMBANGAN FILSAFAT ANALITIKA BAHASA: DARI RUSSEL HINGGA AUSTIN Oleh: Iman Santoso Disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah: Filsafat Bahasa Lanjut Program Studi Linguistik (S3) Sekolah Pasca

Lebih terperinci

PERANAN FILSAFAT BAHASA DALAM PENGEMBANGAN ILMU BAHASA

PERANAN FILSAFAT BAHASA DALAM PENGEMBANGAN ILMU BAHASA PERANAN FILSAFAT BAHASA DALAM PENGEMBANGAN ILMU BAHASA 0 L E H Dra. SALLIYANTI, M.Hum UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2004 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR....i DAFTAR ISI...ii BAB I. PENDAHULUAN...1

Lebih terperinci

Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa

Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa Peranan Filsafat Bahasa Dalam Pengembangan Ilmu Bahasa Salliyanti Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Tulisan ini membicarakan peranan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial yang berhubungan dan berkomunikasi satu dan lainnya, manusia membutuhkan bahasa. Bahasa diciptakan, selain sebagai alat komunikasi juga sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya dalam kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia saling berkomunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sosial kita selalu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Komunikasi melalui bahasa memungkinkan setiap orang untuk dapat menyesuaikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Lord John Russell. Pada usia empat tahun ibunya meninggal dunia, dan setelah

BAB II KAJIAN TEORI. Lord John Russell. Pada usia empat tahun ibunya meninggal dunia, dan setelah BAB II KAJIAN TEORI A. Biografi Bertrand Russell (1872-1970 M) Bertrand Russell dilahirkan di Cambridge pada abad ke-19 M dia dilahirkan setahun sebelum kematian John Stuart Mill. Ibunya adalah anak Lord

Lebih terperinci

Satuan Acara Perkuliahan (SAP)

Satuan Acara Perkuliahan (SAP) Satuan Acara Perkuliahan (SAP) A. Identitas Mata Kuliah dan : Nama Mata Kuliah : Filsafat Bahasa Jurusan : Aqidah Filsafat Kode/Status MK : B037/Kompetensi Utama SKS : 2 sks/ 90 Menit Hari/Jam/Ruang :

Lebih terperinci

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ANALITIK

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ANALITIK ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ANALITIK A Pendahuluan Seiring dengan perkembangan filsafat, abad XX ini ditandai dengan adanya suatu tema pemikiran tentang bahasa yang disebabkan oleh adanya situasi politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB 2 JOHN LANGSHAW AUSTIN DALAM SEBUAH BIDIKAN

BAB 2 JOHN LANGSHAW AUSTIN DALAM SEBUAH BIDIKAN 11 BAB 2 JOHN LANGSHAW AUSTIN DALAM SEBUAH BIDIKAN 2.1. Membidik Awal Kehidupan J.L. Austin Tepat pada 26 Maret 1911, di daerah Lancaster, pasangan Geoffrey Langshaw Austin (1884 1971) dan Mary Bowes-Wilson

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatik yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya, tindak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kota Melbourne bertujuan untuk menelaah jenis, bentuk, fungsi,dan faktor-faktor

BAB V PENUTUP. kota Melbourne bertujuan untuk menelaah jenis, bentuk, fungsi,dan faktor-faktor BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian tindak tutur ilokusi dalam papan peringatan pada sarana publik di kota Melbourne bertujuan untuk menelaah jenis, bentuk, fungsi,dan faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah, meminta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana terpenting dalam segala jenis komunikasi yang terjadi di dalam kehidupan, mulai dari sarana untuk menyampaikan informasi, memberi perintah,

Lebih terperinci

Unit 5 PENALARAN/LOGIKA MATEMATIKA. Wahyudi. Pendahuluan

Unit 5 PENALARAN/LOGIKA MATEMATIKA. Wahyudi. Pendahuluan Unit 5 PENALARAN/LOGIKA MATEMATIKA Wahyudi Pendahuluan D alam menyelesaikan permasalahan matematika, penalaran matematis sangat diperlukan. Penalaran matematika menjadi pedoman atau tuntunan sah atau tidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi tetapi juga untuk tindakan. Tindakan melalui tuturan ini disebut dengan

BAB I PENDAHULUAN. informasi tetapi juga untuk tindakan. Tindakan melalui tuturan ini disebut dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi tetapi juga untuk tindakan. Tindakan melalui tuturan ini disebut dengan (speect act)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan

Lebih terperinci

UNGKAPAN PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA. Nur Anisa Ikawati Universitas Negeri Malang

UNGKAPAN PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA. Nur Anisa Ikawati Universitas Negeri Malang UNGKAPAN PENERIMAAN DAN PENOLAKAN DALAM BAHASA INDONESIA Nur Anisa Ikawati Universitas Negeri Malang Abstrak: Ungkapan penerimaan dan penolakan merupakan bagian dari ungkapan persembahan dalam suatu tindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur merupakan tind yang dilakukan oleh penutur terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tindak tutur merupakan tind yang dilakukan oleh penutur terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tindak tutur merupakan tind yang dilakukan oleh penutur terhadap mitra tutur dengan suatu tujuan dan maksud. Dalam pragmatik tindak tutur dibagi menjadi tiga

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada empat, yaitu tuturan, perkawinan, tindak tutur, dan konteks situasi. Keempat konsep ini perlu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan

BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN. Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan BAB 2 TINDAK TUTUR DAN SLOGAN IKLAN 2.1. Pengertian Tindak Tutur Pandangan Austin (Cummings, 2007:8) tentang bahasa telah menimbulkan pengaruh yang besar di bidang filsafat dan lingustik. Gagasannya yang

Lebih terperinci

LOGIKA BAHASA DAN KETERAMPILAN MENULIS* * Oleh Dali S. Naga

LOGIKA BAHASA DAN KETERAMPILAN MENULIS* * Oleh Dali S. Naga LOGIKA BAHASA DAN KETERAMPILAN MENULIS* * Oleh Dali S. Naga Dari tahun ke tahun, bulan Oktober telah kita jadikan bulan bahasa. Dan pada setiap bulan bahasa, kita mengadakan temu bicara untuk membahas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan

Lebih terperinci

Unit 6 PENALARAN MATEMATIKA. Clara Ika Sari Budhayanti. Pendahuluan. Selamat belajar, semoga Anda sukses.

Unit 6 PENALARAN MATEMATIKA. Clara Ika Sari Budhayanti. Pendahuluan. Selamat belajar, semoga Anda sukses. Unit 6 PENALARAN MATEMATIKA Clara Ika Sari Budhayanti Pendahuluan D alam menyelesaikan permasalahan matematika, penalaran matematis sangat diperlukan baik di bidang aritmatika, aljabar, geometri dan pengukuran,

Lebih terperinci

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu 37 BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ A. Teori Fenomenologi Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan

Lebih terperinci

dan Pertunangan Pernikahan

dan Pertunangan Pernikahan Pertunangan dan Pernikahan Biasanya sebelum orang memulaikan suatu perkongsian di dunia bisnis banyak perencanaan dan persiapan terjadi Sebelum kontrak atau persetujuan terakhir ditandatangani, mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan. 1 Setiap

Lebih terperinci

Pengetahuan dan Kebenaran

Pengetahuan dan Kebenaran MODUL PERKULIAHAN Pengetahuan Kebenaran Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 08 M-603 Shely Cathrin, M.Phil Abstract Kompetensi Kebenaran pengetahuan Memahami pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan kartu yang wajib dimiliki oleh seluruh warga negara di Indonesia. Terutama bagi warga negara yang telah berusia 17 tahun

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan dari mitra tutur. Hal ini yang menjadikan bahasa amat berguna dalam

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan dari mitra tutur. Hal ini yang menjadikan bahasa amat berguna dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana dalam menjalankan segala jenis aktivitas, antara lain sebagai sarana untuk menyampaikan informasi, meminta informasi, memberi perintah, membuat

Lebih terperinci

PRAGMATIK. Disarikan dari buku:

PRAGMATIK. Disarikan dari buku: PRAGMATIK Disarikan dari buku: Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Graha Ilmu: Yogyakarta. Cutting, Joan. 2006. Pragmatics and Discourse 2 nd Edition. New York: Rouledge. Wijana, I Dewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. dalam bukunya Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language dijelaskan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan media pembentuk kebahasaan yang menjadi kunci pokok bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena melalui bahasa baik verbal maupun non verbal manusia

Lebih terperinci

Teori tindak tutur pertama kali disampaikan oleh John L.Austin (Inggris) pada tahun 1955 di Univer.Harvad, yang kemudian diterbitkan dengan judul How

Teori tindak tutur pertama kali disampaikan oleh John L.Austin (Inggris) pada tahun 1955 di Univer.Harvad, yang kemudian diterbitkan dengan judul How Teori tindak tutur pertama kali disampaikan oleh John L.Austin (Inggris) pada tahun 1955 di Univer.Harvad, yang kemudian diterbitkan dengan judul How to do things with word pada tahun 1965. Austin (1962)

Lebih terperinci

TINDAK TUTUR GURU BAHASA INDONESIA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SMK NEGERI SE-KABUPATEN

TINDAK TUTUR GURU BAHASA INDONESIA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SMK NEGERI SE-KABUPATEN TINDAK TUTUR GURU BAHASA INDONESIA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI SMK NEGERI SE-KABUPATEN KUNINGAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013 (Studi deskriptif dilihat dari lokusi, ilokusi, dan perlokusi) Ida Hamidah

Lebih terperinci

SIMULASI PELAKSANAAN AKAD NIKAH

SIMULASI PELAKSANAAN AKAD NIKAH SIMULASI PELAKSANAAN AKAD NIKAH OLEH : H. MAHMUD FAUZI BIDANG URAIS & BINSYAR KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROPINSI JAWA TIMUR I. PENDAHULUAN Pernikahan yang dinyatakan sebagai sunnatullah ini merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pertelevisian ditandai dengan banyaknya jenis acara yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pertelevisian ditandai dengan banyaknya jenis acara yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia pertelevisian merupakan dunia yang sangat cepat berkembang. Perkembangan dunia pertelevisian ditandai dengan banyaknya jenis acara yang ditayangkan selama dua

Lebih terperinci

Bahasa tak sekadar sistem tanda: Berkenalan dengan. Ludwig Wittgenstein. Mata kuliah Bahasa Indonesia Riko, S.S.

Bahasa tak sekadar sistem tanda: Berkenalan dengan. Ludwig Wittgenstein. Mata kuliah Bahasa Indonesia Riko, S.S. Bahasa tak sekadar sistem tanda: Berkenalan dengan Ludwig Wittgenstein Mata kuliah Bahasa Indonesia Riko, S.S. Bahasa adalah. Wittgenstein memang tidak seperti Saussure yang dengan sengaja menelusuri hakikat

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dan teori tentang tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (KBBI, 2007: 588). 2.1.1 Tindak Tutur Istilah dan teori tentang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Tindak Tutur Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu tuturan saat seseorang melakukan beberapa tindakan seperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi

BAB II KERANGKA TEORI. ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi BAB II KERANGKA TEORI Kerangka teori ini berisi tentang teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan: (1) pengertian pragmatik; (2) tindak tutur; (3) klasifikasi tindak tutur;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku.setiap suku memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku.setiap suku memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku.setiap suku memiliki acara adat yang berbeda-beda dalam upacara adat perkawinan, kematian dan memasuki rumah baru.dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses berpikir manusia. Tahap kelanjutan dari proses berpikir

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses berpikir manusia. Tahap kelanjutan dari proses berpikir 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan media komunikasi manusia. Bahasa juga mengalami perkembangan dalam setiap peradapan. Bahasa sebagai media komunikasi selalu dikaitkan dengan

Lebih terperinci

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh

Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh Seorang pria yang telah 18 tahun dan wanita yang telah 15 tahun boleh mengikatkan diri dalam perkawinan dan untuk membuat perjanjian kawin mereka wajib didampingi oleh orang-orang yang wajib memberikan

Lebih terperinci

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh :

PERKAWINAN ADAT. (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan. Provinsi Jawa Timur) Disusun Oleh : PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sehingga

Lebih terperinci

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Bab II : Pidana Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan orang lain. Dalam berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya, manusia memerlukan sebuah alat komunikasi.

Lebih terperinci

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris

Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Diskusi Mata Kuliah Gemar Belajar Perjanjian dan Waris Pembicara : 1. Betric Banjarnahor (2012) : 2. Dian Prawiro Napitupulu (2013) Pemateri : 1. Tioneni Sigiro (2014). 2. Waristo Ritonga (2014) Moderator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan tindak tutur (speech act) dalam wacana pertuturan telah banyak diteliti dan diamati orang. Namun, sejauh yang peneliti ketahui dalam konteks proses

Lebih terperinci

BAB III MEMBEDAH PEMIKIRAN JOHN L. AUSTIN

BAB III MEMBEDAH PEMIKIRAN JOHN L. AUSTIN 31 BAB III MEMBEDAH PEMIKIRAN JOHN L. AUSTIN 3.1. Pendahuluan Bab ini secara khusus membahas dan membedah pemikiran Austin yang terangkum dalam How to Do Things With Words. Sebuah buku yang secara detail

Lebih terperinci

BAB VI. FILSAFAT ANALITIK (Bahan Pertemuan Ke-7)

BAB VI. FILSAFAT ANALITIK (Bahan Pertemuan Ke-7) BAB VI FILSAFAT ANALITIK (Bahan Pertemuan Ke-7) 1. Bahasa dan Filsafat Bahasa dalah alat yang paling penting dari seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. Oleh karena itu, ia sensitif

Lebih terperinci

IMPLIKATUR, TEKNIK PENERJEMAHAN, DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN (Suatu Kajian Pragmatik Dalam Teks penerjemahan)

IMPLIKATUR, TEKNIK PENERJEMAHAN, DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN (Suatu Kajian Pragmatik Dalam Teks penerjemahan) 1 IMPLIKATUR, TEKNIK PENERJEMAHAN, DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS TERJEMAHAN (Suatu Kajian Pragmatik Dalam Teks penerjemahan) Oleh: Indrie Harthaty Sekolah Tinggi Bahasa Asing Pertiwi Abstrak Kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia, komunikasi adalah jalan yang efektif dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia, komunikasi adalah jalan yang efektif dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan manusia, komunikasi adalah jalan yang efektif dan dibutuhkan manusia untuk dapat bersosialisasi. Ada dua bentuk komunikasi yaitu verbal dan non-verbal.

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN digilib.uns.ac.id BAB V SIMPULAN DAN SARAN Bab ini terdiri atas dua subbab yaitu simpulan dan saran. Bagian simpulan memaparkan tentang keseluruhan hasil penelitian secara garis besar yang meliputi strategi

Lebih terperinci

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac. DAMPAK PEMBATALAN PERKAWINAN AKIBAT WALI YANG TIDAK SEBENARNYA TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA MENURUT HAKIM PENGADILAN AGAMA KEDIRI (Zakiyatus Soimah) BAB I Salah satu wujud kebesaran Allah SWT bagi manusia

Lebih terperinci

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta

Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas Maret Surakarta KAJIAN TERJEMAHAN KALIMAT YANG MEREPRESENTASIKAN TUTURAN PELANGGARAN MAKSIM PADA SUBTITLE FILM THE QUEEN (KAJIAN TERJEMAHAN DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK) Septianingrum Kartika Nugraha Universitas Sebelas

Lebih terperinci

FAKTOR PENYEBAB DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TENTANG EKSPLOITASI SEKSUAL SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

FAKTOR PENYEBAB DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TENTANG EKSPLOITASI SEKSUAL SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN ANAK FAKTOR PENYEBAB DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TENTANG EKSPLOITASI SEKSUAL SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN ANAK Oleh Lidya Permata Dewi Gde Made Swardhana A.A. Ngurah Wirasila Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan

BAB I PENDAHULUAN. interaksi antarpesona dan memelihara hubungan sosial. Tujuan percakapan bukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kegiatan berbicara menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia melakukan percakapan untuk membentuk interaksi antarpesona

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. menuntut para pelaku bisnis melakukan banyak penyesuaian yang salah satu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dunia jelas dapat dibaca dari maraknya transaksi bisnis yang mewarnainya. Pertumbuhan ini menimbulkan banyak variasi bisnis yang menuntut para pelaku

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI 1) TITIN APRIANI, 2) RAMLI, 3) MUHAMMAD AFZAL 1),2) Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana,

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi dapat dilakukan oleh manusia melalui bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dibedakan menjadi dua sarana, yaitu bahasa tulis dan bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada

BAB I PENDAHULUAN. atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. apalagi jika ia kepepet atau terjepit maka sangat dimungkinkan niat dan kesempatan yang ada membuka peluang melakukan

Lebih terperinci

Sebuah Pengantar Populer Karangan Jujun S. Sumantri Tentang Matematika Dan Statistika

Sebuah Pengantar Populer Karangan Jujun S. Sumantri Tentang Matematika Dan Statistika Sebuah Pengantar Populer Karangan Jujun S. Sumantri Tentang Matematika Dan Statistika A. MATEMATIKA Matematika Sebagai Bahasa Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem pengupahan yang berlaku sekarang ini sudah tidak lagi sesuai

Lebih terperinci

Rancangan Silabus BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKULIAH UMUM Suatu Tinjauan Pendekatan Pragmatik Oleh : Yuniseffendri. Abstrak

Rancangan Silabus BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKULIAH UMUM Suatu Tinjauan Pendekatan Pragmatik Oleh : Yuniseffendri. Abstrak Rancangan Silabus BAHASA INDONESIA SEBAGAI MATAKULIAH UMUM Suatu Tinjauan Pendekatan Pragmatik Oleh : Yuniseffendri Abstrak Singuistik tradisional mengkaji bahasa berdasarkan komponen kebahasan, meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari makhluk hidup lainnya. Mereka memiliki akal budi untuk berpikir dengan baik dan memiliki kata hati.

Lebih terperinci

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1 A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata Anak dalam kandungan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) memiliki

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah siri

BAB I PENDAHULUAN. ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah siri BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Nikah sirri zaman sekarang seolah menjadi trend dan gaya hidup. Saat ini banyak dijumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah siri atau nikah di bawah tangan

Lebih terperinci

Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik

Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik Perceraian, Perkawinan Kembali, dan Komunitas yang Kurang Piknik Timothy Athanasios CHAPTER 1 PERCERAIAN SEBAGAI ISU PASTORAL Pertama-tama izinkanlah saya untuk mengakui bahwa saya bukanlah seorang praktisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara mereka dan anak-anaknya, antara phak-pihak yang mempunyai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa mengalami perubahan signifikan seiring dengan perubahan masyarakat. Perubahan itu berupa variasi-variasi bahasa yang dipakai sesuai keperluannya. Banyaknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. lain, sehingga orang lain mengetahui informasi untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa berperan penting di dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, hampir semua kegiatan manusia bergantung pada dan bertaut dengan bahasa. Tanpa adanya bahasa

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga orang wanita karir dewasa madya tentang faktor penyebab menunda pernikahan, diperoleh kesimpulan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN

KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN KAJIAN YURIDIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA MUNGKID NOMOR PERKARA 0019/Pdt.P/2012/PA. Mkd TENTANG ITSBAT NIKAH DALAM MENENTUKAN SAHNYA STATUS PERKAWINAN Mochammad Didik Hartono 1 Mulyadi 2 Abstrak Perkawinan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak tutur yang dilakukan manusia ketika berkomunikasi tentunya

BAB 1 PENDAHULUAN. Tindak tutur yang dilakukan manusia ketika berkomunikasi tentunya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak tutur yang dilakukan manusia ketika berkomunikasi tentunya memiliki pesan untuk disampaikan dari penutur kepada mitra tuturnya. Baik itu sekedar tindakan menginformasikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Berbagai rancangan penelitian yang akan dilakukan oleh tiap peneliti memiliki

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Berbagai rancangan penelitian yang akan dilakukan oleh tiap peneliti memiliki BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Berbagai rancangan penelitian yang akan dilakukan oleh tiap peneliti memiliki ciri khas masing-masing, berbeda antara satu dengan yang lain, karena cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN Zulaidi, S.H.,M.Hum Abstract Criminal proceedings on the case relating to the destruction of the body, health and human life, the very need

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bervariasi itu merupakan hal yang menarik. Kalimat itu dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang bervariasi itu merupakan hal yang menarik. Kalimat itu dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimat yang efektif itu bervariasi. Di dalam sebuah alinea kalimat yang bervariasi itu merupakan hal yang menarik. Kalimat itu dapat meriangkan pembaca, bukan saja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki beranekaragam suku bangsa, tentu memiliki puluhan bahkan ratusan adat budaya. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh manusia. Pendidikan bisa berupa pendidikan

Lebih terperinci

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan ketentuan yang mengatur pelaksanaan perkawinan yang ada di Indonesia telah memberikan landasan

Lebih terperinci

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING A. Pelaksanaan Jual Beli Sistem Jual beli Pre Order dalam Usaha Clothing Pelaksanaan jual beli sistem pre order

Lebih terperinci

Suatu Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu

Suatu Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu CATATAN: Suatu Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu Makalah ini saya peroleh dari http://bisikanpena.wordpress.com/2010/10/08/suatu-pengantar-untukmemahami-filsafat-ilmu/. Isinya cukup baik untuk memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dalam masyarakat Indonesia adalah mutlak adanya dan merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia

Lebih terperinci