BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya surat dakwaan sangat penting dalam hukum acara pidana, karena merupakan dasar pemeriksaan suatu perkara pidana di persidangan. Pada Pasal 141 KUHAP yang menyangkut bentuk surat dakwaan kumulasi, undangundang dan praktek hukum memberi kemungkinan menggabungkan beberapa perkara atau beberapa orang dalam satu surat dakwaan. Dengan jalan penggabungan tindak pidana dan pelaku-pelaku tindak pidana dalam suatu surat dakwaan perkara atau pelaku-pelakunya dapat diperiksa dalam suatu persidangan pengadilan yang sama. Dalam dakwaan ini harus dengan tegas dan jelas dirumuskan penggabungan/pengumpulan para terdakwa kedalam satu dakwaan sebagaimana dimaksud Pasal 141 KUHAP perumusan secara cermat, jelas dan lengkap unsurunsur tindak pidana yang didakwakan dikaitkan dengan fakta perbuatan para terdakwa yang dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan harus dirumuskan secara terperinci peran para terdakwa masing-masing atau secara bersama-sama dalam mewujudkan tindak pidana tersebut. Mencermati perkara dengan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl dengan para terdakwa Wachyu Nugroho Bin Aliman; Sukisno Alias Ciu; Sri Wahyuni Alias Leni, yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pemerasan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP jo Pasal 365 ayat 2 ke-2 KUHP. Terdakwa Wachyu Nugroho Bin Aliman bersama temantemannya pada hari Selasa tanggal 28 Januari 2014 sekira jam WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2014 bertempat di pinggir jalan raya Andong Klego, Kec. Klego, Kab. Boyolali atau setidak-tidaknya di suatu 1

2 2 tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali, telah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Pada pelaksanaan terhadap perumusan dakwaan tetap harus didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan dimana dapat diketemukan baik berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli misalnya Visum Et Repertum, disitulah dapat ditemukan perbuatan sungguh-sungguh dilakukan (Perbuatan Materil) dan bagaimana dilakukannya (Hamzah, 2008:170). Terkait penyatuan dari beberapa terdakwa yang telah melakukan tindak pidana pemerasan sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Boyolali tersebut, hal ini dilakukan oleh Penuntut Umum dengan pertimbangan efektifitas dalam penuntutan perkara. Demi alasan persidangan yang cepat, sederhana dan berbiaya murah, penggabungan beberapa berkas dakwaan dengan beberapa terdakwa, sangat mungkin dilakukan. Apalagi Pasal 141 KUHAP mengatur masalah penggabungan dakwaan itu. Selain itu penuntut umum diberi kewenangan untuk mengajukan dakwaan yang berbentuk gabungan atau kumulasi. Baik kumulasi perkara tindak pidana maupun sekaligus kumulasi terdakwa dengan kumulasi dakwaannya. Berdasarkan paparan singkat di atas, penulis tertarik untuk menindaklanjuti apa yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan menyatukan beberapa terdakwa dalam satu berkas penuntutan dari sudut implikasi yuridisnya terkait proses hukum dalam penuntutan perkara pemerasan di Pengadilan Negeri Boyolali, dengan mengajukan judul skripsi : TINJAUAN PENYATUAN BEBERAPA

3 3 TERDAKWA DALAM SATU BERKAS DAKWAAN OLEH PENUNTUT UMUM DAN IMPLIKASI YURIDISNYA PADA PENUNTUTAN PERKARA PEMERASAN DI PENGADILAN NEGERI BOYOLALI (Studi Putusan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl.) B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan permasalahan yang ingin penulis kemukakan yaitu : 1. Apakah penyatuan beberapa terdakwa dalam satu berkas dakwaan yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada putusan perkara pemerasan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. di Pengadilan Negeri Boyolali sudah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP? 2. Bagaimanakah implikasi yuridis terkait penyatuan beberapa terdakwa dalam satu berkas dakwaan yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada putusan perkara pemerasan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. di Pengadilan Negeri Boyolali? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin penulis capai dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui ketentuan hukum dalam penyatuan beberapa terdakwa dalam satu berkas dakwaan yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada putusan perkara pemerasan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. di Pengadilan Negeri Boyolali. b. Untuk mengetahui implikasi yuridis dari penyatuan beberapa terdakwa dalam satu berkas dakwaan yang dilakukan oleh Penuntut Umum pada putusan perkara pemerasan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. di Pengadilan Negeri Boyolali. 2. Tujuan Subyektif

4 4 a. Menambah wawasan/pengetahuan penulis dibidang hukum acara pidana khususnya terkait ketentuan hukum tentang penyatuan beberapa terdakwa dalam satu berkas dakwaan yang dilakukan oleh Penuntut Umum dengan alasan untuk mempersingkat waktu dan biaya yang lebih murah. b. Untuk memperoleh sumber bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Untuk memberi sumbangan pikiran dan manfaat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. b. Hasil Penelitian ini dapat memberikan jawaban yang jelas mengenai benartidaknya strategi penyatuan terdakwa dalam proses beracara pidana. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi, masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu mengetahui dasar hukum Penuntut Umum menyusun penyatuan terdakwa dalam satu berkas tuntutan pada putusan perkara pemerasan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. di Pengadilan Negeri Boyolali.

5 5 b. Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti. E. Metode Penelitian Menurut H.J. van Eikema Hommers sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri. Apa yang dikemukakan mengindikasikan bahwa tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang (H.J. van Eikema Hommers dalam Peter Mahmud Marzuki, 2007 : 11). Berdasarkan hal tersebut, peneliti dalam penelitian ini mengguna kan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum yang merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Penelitian hukum ini merupakan penelitian doktrinal karena keilmuan hukum bersifat preskriptif (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).

6 6 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dapat digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93). Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis gunakan adalah pendekatan kasus (case approach). 4. Sumber Penelitian Hukum Sumber-sumber penelitian hukum ini terdiri dari: a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum dari Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor Putusan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl, dan Undang-undang atau putusan hukum lain yang mendukungnya. b. Bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Peneliti menggunakan buku-buku teks, kamus-kamus hukum serta jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141).

7 7 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan- bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi. Peneliti menggunakan teknik studi pustaka dengan mengumpulkan putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi yakni Putusan Pengadilan Negeri Boyolali Nomor Putusan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl, merupakan tindak pidana pemerasan yang dilakukan bersama-sama dan telah direncanakan sebelumnya. Peneliti juga mendokumentasikan bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. 6. Teknik Analisis Penelitian ini mempergunakan teknis analisis data dengan metode deduksi. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Pada logika silogistik untuk penalaran hukum yang bersifat premis mayor adalah aturan hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangakan menurut Jhonny Ibrahim, yang mengutip pendapat Bernard Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia (Jhonny Ibrahim, 2008). Dalam hal ini, data yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui seberapa jauh Pengadilan Negeri Boyolali dalam hal ini adalah Hakim yang memimpin persidangan dalam perkara pemerasan seperti tercantum dalam Putusan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl.

8 8 F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai penulisan hukum yang disusun, maka penulis menguraikan dalam suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal tentang penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum yang digunakan untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian ini secara garis besar. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan tentang surat dakwaan, tinjauan tentang penuntut umum, tinjauan tentang tindak pidana pemerasan, tinjauan tentang perbuatan perbarengan. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan menyajikan tentang hasil penelitian beserta pembahasan yang meliputi : a. Apakah Penyatuan Beberapa Terdakwa Dalam Satu Berkas Dakwaan Pada Putusan Perkara Pemerasan Nomor: 89/Pid.B/2014/ PN.Byl sudah sesuai dengan KUHAP b. Apakah Implikasi yuridis penyatuan beberapa terdakwa oleh Penuntut Umum dalam satu berkas dakwaan pada perkara Nomor: 89/Pid.B/2014/PN.Byl BAB IV PENUTUP Pada bab ini berisi simpulan dan saran yang berdasarkan pembahasan dan jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.

9 9 DAFTAR PUSTAKA Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum baik langsung maupun tidak langsung. LAMPIRAN Berisi instrumen-instrumen penelitian.

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Surat Dakwaan 1. Pengertian Surat Dakwaan Di dalam Abdul Karim Nasution surat dakwaan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu rumusan dari tindak pidana yang didakwakan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman (Martiman P, 2002 : 31). M. Yahya Harahap, mengemukakan : Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2002:386) Berdasarkan kedua pendapat tersebut yang dimaksud dengan surat dakwaan, yaitu : a. Surat dakwaan merupakan suatu akte, sebagai suatu akte tentunya surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatannya dan tandatangan pembuatannya. Suatu akte yang tidak mencantumkan tanggal dan tanda tangan pembuatnya tidak memiliki kekuatan sebagai akte, meskipun mungkin secara umum dapat dikatakan sebagai surat. b. Surat dakwaan tersebut selalu mengandung element yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. c. Dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, haruslah dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap, sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan. 10

11 11 d. Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. 2. Fungsi Surat Dakwaan Rumusan surat dakwaan harus sesuai dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Rumusan surat dakwaan yang menyimpang dari hasil pemeriksaan penyidikan merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar. Surat dakwaan yang demikian tidak dapat dipergunakan jaksa menuntut terdakwa (Yahya Harahap, 2000 : 376). Fungsi surat dakwaan dalam sidang pengadilan merupakan landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan (Yahya Harahap, 2000 : 378). Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan : a. Bagi Pengadilan atau Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; b. Bagi Penuntut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; c. Bagi terdakwa atau Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan (http: peraturan kejaksaan : pembuatansurat-dakwaan.html, diakses pada tanggal 28 April 2015 pukul 11.53WIB). Mr. B.M Teverne mengemukakan, bahwa kekuasaan lalim dari surat dakwaan itu, adalah sebagai berikut : a. Dimensi Positif, bahwa keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti pada persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim pada putusannya. b. Dimensi Negatif, bahwa apa yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus dapat tercantum pada surat dakwaan.

12 12 Surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum haruslah memenuhi ketentuan/syarat-syarat baik syarat formil maupun syarat materiil, dimana surat dakwaan itu harus berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan karena berdasarkan surat dakwaan itulah yang akan menjadi pedoman proses pemeriksaan yang dilakukan di persidangan untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil (de matriele waarheid) dan pada akhirnya menjadi dasar hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut (Litis Contestatio). Oleh karena itu, arti pentingnya surat dakwaan adalah : a. Sebagai dasar bagi pemeriksaan di persidangan b. Sebagai dasar bagi penuntut umum dalam mengajukan tuntutan c. Sebagai dasar bagi terdakwa untuk membela dirinya d. Sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusannya Surat dakwaan memiliki fungsi sentral dalam pemeriksaan persidangan, karena surat dakwaan merupakan suatu rumusan dari proses penyidikan yang dibuat dalam bentuk suatu akta guna membawa hasil penyidikan tersebut ke dalam pemeriksaan pengadilan untuk memperoleh putusan hakim tentang perbuatan terdakwa yang didakwakan. Hakim pada prinsipnya tidak dapat memeriksa dan mengadili keluar dari lingkup yang didakwakan artinya hakim harus memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara pidana berdasarkan delik yang tercantum dalam surat dakwaan. 3. Syarat-syarat surat dakwaan Mengenai surat dakwaan telah diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP, dimana surat dakwaan haruslah diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi : a. Syarat formil : 1) Nama lengkap, 2) tempat lahir, 3) umur atau tanggal lahir, 4) jenis kelamin, 5) kebangsaan, 6) tempat tinggal,

13 13 7) agama, dan 8) pekerjaan tersangka. b. Syarat materiil ; 1) Uraian secara cermat Artinya surat dakwaan harus didasarkan kepada Undang-Undang yang berlaku bagi terdakwa, dan harus memperhatikan : a) Apakah ada pengaduan dalam hal delik khusus b) Apakah penerapan hukumnya sudah tepat c) Apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan d) Apakah tindak pidana itu belum atau sudah daluarsa e) Apakah nebis in idem atau tidak 2) Jelas Artinya surat dakwaan harus merumuskan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil/fakta yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. Sehingga uraian unsur delik tersebut harus dirumuskan dalam pasal yang didakwakan dan dapat dijelaskan dalam bentuk fakta perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa guna dapat diketahui secara jelas apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut sebagai Pelaku (dader/pleger), pelaku peserta (mededader/pleger), penggerak (uitlokker), penyuruh (doen pleger), pembantu (medeplichting). 3) Lengkap mengenai rumusan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan Artinya uraian surat dakwaan harus mencukupi semua unsurunsur yang ditentukan secara lengkap yaitu apabila perbuatan materiilnya tidak diuraikan secara tegas dalam surat dakwaan, maka perbuatan tersebut akan berakibat bukan merupakan tindak pidana sebagaimana yang ditentukan di dalam Undang-Undang.

14 14 4. Syarat Surat Dakwaan Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun surat dakwaan, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang ditandatangani dan diberi tanggal. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : a. Syarat Formal, yaitu mencakup: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka (terdakwa). b. Syarat Materiil, yaitu mencakup: uraian secara cermat, jelas dan lengakap seksama maka dalam perbedaan itu terkandung pula persamaan. Dengan adanya syarat pembuatan dakwaan yaitu syarat formal dan materiil, maka kedua syarat ini harus dipenuhi dalam menyusun surat dakwaan. Akan tetapi undang-undang sendiri membedakan kedua syarat ini berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (3), yang menegaskan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, batal demi hukum. 5. Akibat hukum tidak dipenuhinya syarat surat dakwaan Berbagai akibat hukum yang muncul terkait tidak terpenuhinya syarat surat dakwaan apabila dalam surat dakwaan terdapat adanya pencampuran adukan unsur suatu pasal tertentu dengan pasal yang lain dalam suatu surat dakwaan maka dakwaan tersebut dinyatakan kabur atau tidak jelas (obscuur libel), contoh : penggabungan unsur Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP, Pasal 372 KUHP dan Pasal 378 KUHP, Pasal 362 KUHP dan Pasal 480 KUHP. Apabila syarat formilnya tidak terpenuhi maka surat dakwaan DAPAT DIBATALKAN (vernietigbaar). apabila syarat materiilnya tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut adalah BATAL DEMI HUKUM (rechtswege nietig) (Pasal 143 ayat (3) KUHAP), dimana dianggap tidak terpenuhinya syarat materiil apabila : a. Dakwaan kabur (obscuur libelen) yaitu karena susunannya tidak jelas atau unsur-unsur tindak pidana yag didakwakan tidak diuraikan secara jelas atau terjadinya pencampuran unsur-unsur tindak pidana atau tidak memuat fakta dan keadaan secara lengkap b. Dalam dakwaan berisi pertentangan antara satu dengan yang lainnya c. Tidak berdasarkan rumusan atau kesimpulan dari hasil penyidikan

15 15 Sehingga materi yang ada di dalam surat dakwaan harus memuat atau dapat diketahuinya siapa yang melakukan tindak pidana (orang), kapan perbuatan tersebut dilakukan (waktu), dimana terjadinya perbuatan tersebut (tempat), cara bagaimana perbuatan itu dilakukan dan dengan alat apa perbuatan itu dilakukan, apa akibat dari perbuatan tersebut dalam artian siapa yang menjadi korban atau siapa yang dirugikan. Kesemuanya itu harus di dukung oleh bukti-bukti yang cukup seseuai dengan ketentuang Undang-Undang. Sedang akibat hukum tidak dipenuhinya syarat surat dakwaan menurut ketentuan Pasal 143 ayat (3) adalah sebagai berikut: 1) Kekurangan syarat formal, tidak menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum. a) Tidak dengan sendirinya batal menurut hukum, pembatalan surat dakwaan yang diakibatkan kekurang sempurnaan syarat formal maka dapat dibatalkan, jadi tidak batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) tapi dapat dibatalkan atau vernietigbaar (voidable) karena sifat kekurangsempurnaan pencantuman syarat formal dianggap bernilai imperfect (kurang sempurna) b) Kesalahan syarat formal tidak prinsipil sekali. Misalnya kesalahan penyebutan umur tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan surat dakwaan. Kesalahan atau ketidak sempurnaan syarat formal dapat dibetulkan hakim dalam putusan, sebab pembetulan syarat formal surat dakwaan, pada pokoknya tidak menimbulkan seuatu akibat hukum yang dapat merugikan terdakwa. 2) Kekurangan syarat materiil, mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum. Jelas dilihat perbedaan diantara kedua syarat tersebut. Pada syarat formal, kekurangan memenuhi syarat tersebut tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan demi hukum, akan tetapi masih dapat dibetulkan. Sedang pada syarat materiil, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi surat dakwaan batal demi hukum. Pencantuman syarat formal dan material dalam penyusunan surat dakwaan sangat erat kaitannya dengan tujuan daripada surat dakwaan itu sendiri. Tujuan surat dakwaan tiada lain ialah dalam proses pidana surat dakwaan itu adalah sebagai dasar pemeriksaan sidang pengadilan, dasar pembuktian dan tuntutan pidana dasar pembelaan diri bagi terdakwa dan merupakan dasar

16 16 penilaian serta dasar putusan pengadilan. Kesemuanya itu guna menentukan perbuatan apa yang telah terbukti, apakah perbuatan yang terbukti tersebut dirumuskan dalam surat dakwaan, siapa yang terbukti bersalah melakukan pebuatan yang di dakwakan itu. 6. Wewenang Penyusunan Surat Dakwaan Pada prinsinya, hanya Jaksa Penuntut Umum yang berhak dan berwenang dalam menyusun surat dakwaan, mendakwa serta menghadapkan seseorang terdakwa kepada hakim di muka sidang pengadilan. Akan tetapi tentu terhadap prinsip umum ini terdapat pengecualian, pada tindak pidana acara ringan dan acara pelanggaran lalulintas jalan (Pasal 205 ayat (2) dan Pasal 212). Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan seperti yang sudah pernah dijelaskan, penyidik atas kuasa penuntut umum menghadapkan dan mendakwa terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan (Pasal 205 ayat (2)). Demikian juga pada acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan, penyidik langsung menghadapkan terdakwa kepada hakim dalam sidang pengadilan. Namun demikian kedua pengecualian diatas, tidak mengurangi arti prinsip bahwa hanya jaksa yang berhak mendakwakan seseorang terdakwa yang melakukan tindak pidana kepada hakim di muka sidang pengadilan. 7. Bentuk Dakwaan Penyusunan surat dakwaan, kecuali harus memenuhi syarat formal (Pasal 143 ayat (3) huruf a) dan syarat materiil (Pasal 143 ayat (2) huruf b) juga terikat dengan bentuk-bentuk surat dakwaan. Penyusunan surat dakwaan dikenal ada 5 (lima) bentuk (Anonim, 1985:24-28). 1) Tunggal Bentuk surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal. Surat dakwaan hanya berisi satu saja dakwaan. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan (mededaderschap) atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas

17 17 dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal. Bentuk surat dakwaan tunggal cukup merumuskan dakwaan dalam bentuk surat dakwaan bersifat tunggal, yakni berupa uraian yang jelas memenuhi syarat formal dan materiil yang diatur Pasal 143 ayat (2) KUHAP (Yahya Harahap, 2000 : 399). Dakwaan tunggal, apabila Jaksa Penuntut Umum berpendapat dan yakin benar bahwa: a) Perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu tindak pidana saja; b) Terdakwa melakukan satu perbuatan, tetapi dalam beberapa ketentuan pidana (eendaadsche semenloop=concursus idealis), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP; c) Terdakwa melakukan perbuatan yang berlanjut (voorgezette handeling), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2) Surat Dakwaan Komulatif (Bersusun) Surat dakwaan ini dibuat apabila ada beberapa tindakan pidana yang tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang lain (berdiri sendirisendiri) atau dianggap berdiri sendiri, yang akan didakwakan kepada seorang terdakwa atau beberapa orang terdakwa. Pada pokoknya surat dakwaan komulatif ini dipergunakan dalam hal kita menghadapi seseorang yang melakukan beberapa tindak pidana atau beberapa orang yang melakukan satu tindak pidana. Jadi surat dakwaan ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi, baik kumulasi perbuatan maupun kumulasi pelakunya, misalnya: Seseorang yang melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan (perampokan) dengan membawa senjata tajam dapat didakwa 2 (dua) perbuatan pidana yaitu melanggar Pasal 365 KUHP dan Pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor 12/Drt/1955. Konsekuensi dari surat dakwaan dengan bentuk kumulatif dalam persidangan harus dibuktikan semuanya satu persatu. Apabila penuntut umum menganggap terbukti semuanya maka didalam

18 18 membuat tuntutan pidana harus diingat Pasal 63 sampai 71 KUHP yakni permintaan lamanya pidana paling berat adalah lamanya ancaman pidana terberat ditambah 1/3nya (H. Sasongko dan Tjuk Suharjanto, dalam buku M. Yahya 2000 : 393). Dakwaan kumulasi ini dapat dibedakan atas dakwaan kumulasi dalam penyertaan melakukan tindak pidana dan dakwaan kumulasi dalam hal dilakukannya beberapa tindak pidana. 3) Surat Dakwaan Alternatif Surat dakwaan ini dibuat apabila tindak pidana yang akan didakwakan pada terdakwa hanya satu tindak pidana, tetapi penuntut umum raguragu tentang pidana apa yang paling tepat untuk didakwakan sehingga surat dakwaan yang dibuat merupakan alternatif bagi hakim untuk memilikinya. Biasanya dakwaan demikian, dipergunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak atau ciri yang sama atau hampir sama, misalnya : Pencurian atau penadahan, penipuan atau penggelapan, pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan mati, dan lain sebagainya. Surat dakwaan alternatif ini disebut dakwaan yang memberi kesempatan kepada hakim memilih salah satu diantara dakwaan yang diajukan dalam surat dakwaan, jadi bersifat dan membentuk alternative accusation atau alternative ten las te leggeng. Penggunaan surat dakwaan alternatif menggunakan segisegi positif maupun segisegi negatif. Segi positifnya dengan bentuk dakwaan ini terdakwa tidak mudah untuk lolos dari dakwaan dan pembuktiaannya lebih sederhana karena dakwaan yang dipandang terbukti. Dakwaan ini memberikan kelonggaran bagi hakim untuk memilih dakwaan mana yang menurut penilaian dan keyakinannya yang dipandang telah terbukti, sedangkan dari segi negatifnya yaitu dapat menimbulkan keraguan bagi terdakwa untuk membela diri. Disamping itu seolaholah penuntut umum tidak menguasai dengan pasti meteri perkara yang bersangkutan. Kadangkadang dengan alasan itu terdakwa/penasehat hukum mengajukan

19 19 keberatannya dengan alasan dakwaan alternatif, pada dasarnya bertitik tolak dari pemikiran atau perkiraan, maka dari penjelasan diatas dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: a) Untuk menghindari pelaku terlepas dari pertanggungjawaban Hukum Pidana (crime liabiality). b) Memberi pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat. Dengan bentuk dakwaan alternatif. c) Hakim tidak terkait secara mutlak kepada salah satu dakwaan saja. Apabila terdakwa terlepas dari dakwaan yang satu, hakim masih bisa beralih memeriksa dan mempertimbangkan dakwaan berikutnya. Konsekuensi dari surat dakwaan alternatif adalah jika salah satu tindak pidana sudah terbukti maka tindak pidana lainnya dikesampingkan (M.Yahya Harahap, 2000:389390). 4) Surat Dakwaan Gabungan (Kombinasi) Bentuk surat dakwaan kombinasi atau gabungan merupakan perkembangan praktek dalam penyusunan surat dakwaan. Surat dakwaan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan dalam praktek penuntutan agar terdakwa tidak lepas atau bebas dari dakwaan, yakni karena kompleknya masalah yang dihadapi penuntut umum. Dalam menyusun surat dakwaan ini haruslah yang dihadapi penuntut umum. Dalam penyusunan surat dakwaan ini haruslah diperhitungkan dengan masakmasak oleh penuntut umum tentang tindak pidana yang akan didakwakan serta harus diketahui konsekuensi di dalam pembuktian dan penyusunan tuntutan pidana berdasarkan surat dakwaan yang dibuat. (Hari Sansongko dan Tjuk Suharjanto, dalam buku M. Yahya, 2000 : 392). Dakwaan kombinasi ini sering juga disebut sebagai dakwaan gabungan, ini disebabkan karena dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang merupakan gabungan dari dakwaan yang bersifat alternatif maupun dakwaan yang bersifat subsidiair. Dakwaan bentuk ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi dari pada tindak pidana yang didakwakan. Contoh bentuk susunan surat dakwaan kombinasi adalah sebagai berikut:

20 20 Kesatu : Melanggar Pasal 340 KUHP, subsidiar melanggar Pasal 355 KUHP, lebih subsidiar melanggar Pasal 353 KUHP Kedua : Primer melangar Pasal 363 KUHP, atau subsidiar melanggar Pasal 362 KUHP. Ketiga : Melanggar Pasal 285 KUHP Pembuktian dakwaan kombinasi ini dilakukan terhadap setiap lapisan dakwaan. Jadi setiap lapisan dakwaan harus ada tindak pidana yang dibuktikan. Pembuktian pada setiap lapisan dakwaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan bentuk lapisannya, apabila lapisannya bersifat subsidiar, maka pembuktian dilakukan secara berurut mulai dari lapisan teratas sampai kepada lapisan yang dipandang terbukti. Apabila lapisannya terdiri dari lapisan-lapisan yang bersifat alternatif, maka pembuktian dakwaan pada lapisan yang bersangkutan langsung dilakukan terhadap dakwaan yang dipandang terbukti 5) Surat Dakwaan Subsidiair Bentuk surat dakwaan subsidiair bentuk dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun secara berurutan, mulai dari dakwaandakwaan tindak pidana yang terberat sampai kepada tindak pidana yang teringan. Pembuatan surat dakwaan subsidiair dalam praktek sering dikacaukan dengan pembuatan surat dakwaan alternatif. Dalam pembuatan surat dakwaan alternatif, penuntut umum raguragu tentang jenis tindak pidana yang akan didakwakan terhadap terdakwa, karena faktafakta dari berita acara pemeriksaan penyidikan kurang jelas terungkap jenis tindak pidananya. Sedangkan dalam dakwaan subsidiair penuntut umum tidak ragu tentang jenis tindak pidananya, tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau kualifikasi ringan. Contoh penyusunan dakwaan subsidiair adalah sebagai berikut: Primer : Melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).

21 21 Subsidiair Lebih Subsidiair : Melanggar Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) : Melanggar Pasal 355 KUHP (penganiayaan berat yang mengakibatkan mati) Lebih Subsidiair lagi : Melanggar Pasal 353 KUHP (penganiayaan berencana yang mengakibatkan mati) Lebih-lebih Subsidiar lagi : Melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP (penganiayaan biasa yang mengakibatkan mati). Sebagai konsekuensi bila dakwaan dibuat secara subsidiair, maka dakwaan primair. Bila tidak terbukti diteruskan dengan dakwaan penggantinya (Subsidiair) dan seterusnya. Bila dakwaan utamanya tidak terbukti maka harus dikesampingkan dan dakwaan pengganti dibuktikan. Begitu pula sebaliknya bila dakwaan utama sudah terbukti maka dakwaan penggantinya harus dikesampingkan. Pada lazimnya ditinjau dari teori dan praktek bentuk dakwaan subsidiair diajukan apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi menimbulkan suatu akibat, dan akibat yang timbul itu meliputi atau bertitik singgung dengan beberapa ketentuan pasal pidana yang saling berdekatan cara melakukan tindak pidana tersebut (M.Yahya Harahap, 2000:391) b. Tinjauan Penuntut Umum 1. Pengertian Penuntut Umum Pengertian tentang Penuntut Umum tertuang dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP yang dijelaskan sebagai berikut : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

22 22 Berkaitan dengan hal tersebut menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) yang disebut Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 2. Tugas dan Kewenangan Penuntut Umum Penuntut umum mempunyai tugas dan kewenangan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana, mulai perkara diungkap sampai akhir pemeriksaan selesai dan demi kepentingan hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Di mana tugas dan kewenangannya adalah sebagai berikut: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu. b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik. c. Membuat surat dakwaan. d. Melimpahkan perkara pidana ke pengadilan. e. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. f. Melakukan penuntutan. g. Menutup perkara demi kepentingan hukum. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini. h. Melaksanakan penetapan hakim (Pasal 14 KUHAP). c. Tindak Pidana Pemerasan

23 23 1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Adami Chazawi, (2002:67) Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalamperundang-undangan negara kita. Dalam hampir seluruh perundangundangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskasuatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu. Menurut Wirjono Projodikoro (1986:55) bahwa istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaarfeit. Oleh pakar hukum pidana bahwa tindak pidana dalam penggunanya yaitu delik, sedangkan oleh para pembuat undang-undang menggunakan istilah perbuatan tindak pidana. Terhadap perbuatan tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan menunjuk suatu perbuatan yang menurut nilai-nilai kemasyarakat dianggap sebagai perbuatan tercela, meskipun tidak diatur secara tertulis dalam ketentuan undang-undang sedangkan pelanggaran mengarah pada perbuatan yang oleh masyarakat bukan sebagai perbuatan tercela dan sifatnya terlarang setelah perbuatan itu dinyatakan dalam undang-undang (Moelyatno, 2002: 18) 2. Tindak Pidana Pemerasan Tindak pidana pemerasan biasa pula disebut sebagai tindak pidana pengancaman. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Menurut R. Soesilo (1995:256) unsur-unsur yang ada dalam pasal ini adalah sebagai berikut: a. Memaksa orang lain;

24 24 b. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang; c. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; d. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan. Memaksa yang dimaksud disini adalah melakukan tekanan kepada orang, sehingga orang tersebut mellakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri. Memaska disini juga termasuk jika orang yang berada dalam tekanan menyerahkan barangnya sendiri. Definisi memaksa dapat dilihat dalam Pasal 89 yang berbunyi : yang disamakan melalui kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut Soesilo (1995;98) yang dimaksud dengan kekerasan disni adalah menggunakan kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani ini penggunaannya tidak kecil. Kekerasan dalam pasal ini termasuk didalamnya adalah memukul dengan tangan, menendang dan sebagainya. Unsur ini mensyaratkan bahwa dengan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan ini, pemilik barang menyerahkan barang tersebut kepada pelaku. Penggunaan kekerasan ini harus berdasarkan niat agar pemilik barang menyerahkan barangnya. Menurut Andi Hamzah (2009;89) maksud untuk menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan ini adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain merupakan tujuan terdekat dari penggunaan kekerasan tersebut. Adapun beberapa pendapat para pakar dalam memberiikan pandangan mengenai pengertian dari melawan hukum itu sendiri sebagaimana yang dikemukakan oleh Simons dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002:143) bahwa sebagai pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada umumnya. Pandangan Pompe

25 25 terkait dengan pengertian melawan hukum dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002:143) mempersamakan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dengan bersifat melawan hukum. Pendapat lain dari pakar yakni sebagaimana yang dikemukakan Moeljatno dan Roeslan Saleh dalam E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002:143) mengemukakan bahwa lebih cenderung pada pendapat bahwa bersifat melawan hukum harus diartikan dengan bertentangan dengan hukum. Dari beberbagai pandangan para pakar dalam memberikan pengertian terhadap melawan hukum maka dapat disimpulkan bahwa bersifat melawan hukum, berarti bertentangan dengan hukum, atau tidak sesuai dengan larangan atau keharusan hukum, atau menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum (hukum positif yang berlaku). d. Tinjauan Umum Terhadap Penyertaan 1. Pengertian Penyertaan (Deelneming) Kata deelneming berasal dari bahasa Belanda dari kata deenemen yang berarti menyertai dan deelneming diartikan sebagai penyertaan, dalam hukum pidana sering terjadi suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Menurut Satochid Kartanegara (Leden Marpaung 2008:77) deelneming berarti apabila satu tindak pidana tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Pengertian ini dibantah oleh Leden Marpaung (2008:77) yang mengatakan bahwa orang-oarang tersebut haruslah mampu bertanggung jawab. Menurut Leden Marpaung (2008:77) deelneming memiliki dua sifat yaitu deelneming yang bersifat berdiri sendiri yaitu pertanggungjawaban dari setiap pelaku dihargai sendiri-sendiri dan deelneming yang yang tidak beridiri sendiri yaitu pertanggungjwaban dari pelaku digantungkan pada perbuatan pelaku lainnya. Didalam KUHP deelneming diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP berikut :

26 26 Pasal 55 KUHP a. Dihukum sebagai pelaku tindak pidana 1) Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; 2) Mereka yang memberi, menjanjikan sesuatu, salah memakai kekuasaan atau martabat dengan kekerasan, paksaan atau ancaman atau penyesatan atau memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan, sengaja membujuk supaya perbuatan itu dilakukan. b. Tentang orang-orang yang disebutkan belakangan, hanyalah perbuatan yang dibujuk dengan sengaja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 KUHP: Sebagai pembantu melakukan kejahatan dihukum : a. Mereka dengan sengaja membantu waktu kejahatan dilakukan b. Mereka dengan sengaja memberiikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pada Pasal 55 dan 56 KUHP tersebut diatas dapat dijumpai lima peran pelaku yaitu : a. Orang yang melakukan (dader) b. Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger) c. Orang yang turut melakukan (medepleger) d. Orang yang sengaja membujuk (uitlokker) e. Orang yang membantu melakukan (medeplichtige) 2. Bentuk-bentuk Penyertaan 1) Orang yang melakukan (dader)

27 27 Dader dalam bahasa Belanda berarti pembuat. Kata dader berasal dari kata daad yang berarti membuat. Sedangkan dalam bahasa Inggris pelaku disebut dengan doer. Menurut Leden Marpaung (2008:78) yang dimaksud dengan pelaku adalah orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam undang-undang. Pelaku dapat diketahui dari jenis tindak pidana yaitu : a) Tindak pidana formil, pelakunya adalah orang yang memenuhi perumusan tindak pidana dalam undang-undang; b) Tindak pidana materiil, pelaku yaitu orang yang menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan tindak pidana; c) Tindak pidana yang memuat unsur kualitas atau kedudukan, pelakunya adalah orang yang memiliki unsur kedudukan atau kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Secara umum orang yang melakukan dapat didefinisikan sebagai orang yang memenuhi seluruh unsur tindak pidana yang dirumuskan didalam undangundang. 2) Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger) Orang yang menyuruh melakukan berarti orang yang berniat atau berkehendak untuk melakukan suatu tindak pidana namun tidak melakukannya sendiri, tetapi melaksanakan niatnya dengan menyuruh orang yang tidak mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya. Orang yang disuruh melakukan disebut manus manistra. Orang yang disuruh melakukan perbuatan tersebut atau manus manistra tidak dapat dimintai pertanggungjwaban atas perbuatan yang disuruhkan tersebut sehingga tidak dapat dihukum. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Putusan Nomor 137 K/ Kr/ 1956 tanggal 1 Desember Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang hanya dapat dikatakan sebagai orang yang menyuruh melakukan apabila orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat bertanggungjwab atas perbuatan yang disuruhkan.

28 28 3) Orang yang turut melakukan (medeplager) Orang yang turut melakukan atau orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana haruslah memenuhi dua unsur berikut : a) Harus ada kerjasama; b) Harus ada kesadaran kerjasama. Setiap orang yang sadar untuk melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan secara bersama-sama, bertanggung jawab atas segala akibat yang timbul dari ruang lingkup kerjasamanya. Artinya jika salah seorang pelaku melakukan tindak pidana yang berada diluar ruang lingkup tindak pidana maka pelaku tersebut mempertanggung-jwabkan perbuatannya sendiri. 4) Orang yang sengaja membujuk (uitlokker) Menurut Laden Marpaung (2008;85) unsur-unsur yang ada didalam uitlokker yaitu : a) Kesengajaan pembujuk ditujukan kepada dilakukannya delik atau tindak pidana tertentu oleh yang dibujuk. b) Membujuk dengan cara yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) sub dua KUHP yaitu dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan, menyalah gunakan kekuasaan, kekerasan, ancaman, tipu daya, dan memberiikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan. c) Orang yang dibujuk sungguh-sungguh telah terbujuk untuk melakukan tindak pidana tertentu d) Orang yang terbujuk benar-benar melakukan tindak pidana, atau setidak-tidaknya percobaan atau poging. 5) Membantu (Medeplichtgheid) Membantu bersifat memberikan bantuan atau memberiikan sokongan kepada pelaku. Berarti orang yang membantu tidak melakukan tindak pidana hanya memberiikan kemudahan bagi pelaku.

29 29 Unsur membantu dalam hal ini memiliki dua unsur yaitu unsur objektif yang terpenuhi apabila perbuatannya tersebut memang dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya suatu tindak pidana. Kemudian unsur subjektif terpenuhi apabila pelaku mengetahui dengan pasti bahwa perbuatannya tersebut dapat mempermudah terjadinya tindak pidana. 2. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Pemerasan Penyusunan Surat Dakwaan Penyatuan Para Terdakwa Implikasi Yuridis Efektifitas Waktu dan Biaya Efektifitas Proses Penyidangan Putusan Sidang Keterangan : Kerangka di atas menjelaskan alur penulis dalam memberikan jawaban atas permasalahan dalam penulisan hukum. Alur berpikir dimulai dari adanya

30 30 tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh beberapa orang yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Boyolali pada Putusan Nomor : 89/Pid.B/2014/PN.Byl. Proses penyusunan surat dakwaan oleh Penuntut Umum dilakukan dengan menggabungkan para terdakwa dengan pertimbangan bahwa para terdakwa telah melakukan satu tindak pidana pemerasan secara bersama. Terkait dasar pertimbangan yang penuntut umum gunakan adalah agar efektif dan efisien dalam pembuatan surat tuntutan. Penggabungan para terdakwa dalam satu surat dakwaan tersebut oleh penuntut umum dilakukan karena biaya yang digunakan lebih murah. Dalam proses persidangan kasus tersebut berjalan tanpa adanya suatu permasalahan terkait adanya penggabungan para terdakwa dalam satu surat dakwaan.

31 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Analisis Penyatuan Beberapa Terdakwa Dalam Satu Berkas Dakwaan Pada Putusan Perkara Pemerasan Nomor: 89/Pid.B/2014/ PN.Byl Berdasarkan KUHAP 1. Identitas Terdakwa Identitas para terdakwa tindak pidana pemerasan, seperti yang tercantum dalam Putusan perkara Nomor 89/Pid.B/2014/ PN.Byl adalah sebagai berikut : b. Terdakwa I Nama lengkap Tempat lahir : Wachyu Nugroho Bin Aliman; : Cimahi; Umur/tanggal lahir : 33 Tahun/03 Oktober 1981; Jenis kelamin Kebangsaan Tempat tinggal : laki-laki : Indonesia; : Dukuh Blulukan II RT.001/006 Blulukan Colomadu, Kabupaten Karanganyar; Agama Pekerjaan : Islam; : Swasta; c. Terdakwa II Nama lengkap : Sukisno Alias Ciu ; Tempat lahir : Boyolali; Umur/tanggal lahir : 27 Tahun /26 Desember 1987 Jenis kelamin : Laki-laki 34

32 35 Kebangsaan Tempat tinggal : Indonesia; : Dukuh Kemel RT.03/09 Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali; Agama Pekerjaan : Islam; : Swasta; d. Terdakwa III Nama lengkap Tempat lahir : Sri Wahyuni Alias Leni; : Kediri; Umur/tanggal lahir : 25 Tahun/01 Pebuari 01 Pebuari 1989; Jenis kelamin Kebangsaan Tempat tinggal : Perempuan; : Indonesia; : Kampung Gandekan RT. 04/01 Gendekan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta; Agama Pekerjaan : Islam; : Swasta; 2. Posisi Kasus Bahwa para terdakwa I Wachyu Nugroho bin Aliman, terdakwa II. Sukisno alias Ciu, terdakwa III. Sri Wahyuni alias Leni bersama-sama dengan sdr. Totok Wahyudianto (melarikan diri dan belum tertangkap) pada hari Selasa tanggal 28 Januari 2014 sekira jam WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2014 bertempat di pinggir jalan raya Andong Klego, Kec. Klego, Kab. Boyolali atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali, telah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang

33 36 sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, perbuatan tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, yakni dilakukan dengan perbuatan atau cara cara antara lain sebagai berikut :

34 37 a. Terdakwa I Wachyu Nugroho Bin Aliman; Bahwa pada Hari Selasa Tanggal 28 Februari 2014, sekira Pukul WIB, di tepi jalan raya Andong-Klego Boyolali. Awal mula kejadian ketika terdakwa diajak oleh Wahyu (melarikan diri) untuk mengendarai sepeda motor, dari Solo Terdakwa Membonceng tardakwa Sri, dan Wahyu (melarikan diri) berboncengan dengan Terdakwa Sukisno. Sesampai di Jl. Andong-Kelego para terdakwa melihat anak kecil menggendarai sepeda motor Yamaha Jupiter Z yang tidak ada plat nomornya. Kemudian penggendara sepeda motor tersebut terdakwa minta berhenti, dan setelah berhenti, terdakwa minta agar pengendara sepeda motor tersebut menunjukan STNK dan ternyata pengendara sepeda motor tersebut tidak membawa STNK kendaraanya. Terdakwa menggaku sebagai petugas Polisi yang bertugas mencari sepeda motor yang bermasalah, dan kemudian sepeda motor saksi korban terdakwa ambil dan saksi korban dibonceng oleh Terdakwa Sukisno menuju Pangkalan Ojek Desa Bade. Ketika para terdakwa menggambil sepeda motor saksi korban para terdakwa menggunakan Foto Copy Berita Acara Serah Terima Kendaraan (BASTK). Para terdakwa tidak merencanakan perbuatan tersebut sebelumnya, terdakwa melakukan perbuatan ini karena diajak saudara Wahyu yang mengajak menarik motor. Ketika Terdakwa bekerja di PT. Nusantara Sakti Kartosuro setiap melakukan penarikan motor, terdakwa dibekali dengan surat jalan atau surat perintah. Bahwa sepeda motor milik saksi korban akhirnya di bawa kerumah Sentot dan dijual dengan harga Rp ,- masing masing terdakwa mendapat bagian Rp ,- dan sisanya untuk oprasional. Bahwa terdakwa sudah menikmati hasil perbuatan terdakwa. b. Terdakwa II Sukisno Alias Ciu; Bahwa peristiwa tersebut terjadi pada Hari Selasa Tanggal 28 Februari 2014, sekira Pukul WIB, di tepi jalan raya Andong-Klego Boyolali. Awal mula kejadian ketika terdakwa diajak oleh Wahyu (melarikan diri) untuk mengendarai sepeda motor, dari Solo Terdakwa Membonceng tardakwa Sri, dan Wahyu (melarikan diri) berboncengan denggan Terdakwa Sukisno. Sesampai di Jl. Andong-Kelego para terdakwa melihat anak kecil menggendarai sepeda motor Yamaha Jupiter Z yang tidak ada plat nomornya. Kemudian penggendara sepeda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Surat Dakwaan 1. Pengertian Surat Dakwaan Di dalam Abdul Karim Nasution surat dakwaan adalah suatu surat atau akte yang memuat suatu rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Acara Pidana adalah memberi perlindungan kepada Hak-hak Asasi Manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Pidana di Indonesia merupakan pedoman yang sangat penting dalam mewujudkan suatu keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah dasar yang kuat

Lebih terperinci

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam persidangan perkara pidana saling berhadapan antara penuntut umum yang mewakili Negara untuk melakukan penuntutan, berhadapan dengan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia merupakan Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke IV yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi dapat dipastikan tidak akan pernah berakhir sejalan dengan perkembangan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui salah satu asas yang dianut oleh KUHAP adalah asas deferensial fungsional. Pengertian asas diferensial fungsional adalah adanya pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana terhadap harta kekayaan yang merupakan suatu penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia dan kepentingan manusia tersebut harus terlindungi, sehingga hukum harus ditegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana bisa terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Tidak terkecuali terjadi terhadap anak-anak, hal ini disebabkan karena seorang anak masih rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mengatur tatanan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi setiap komponen yang berada dalam masyarakat. Dalam konsideran

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yaitu Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman yang sangat pesat ini mengakibatkan meningkatnya berbagai tindak pidana kejahatan. Tindak pidana bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihan. Demikian juga dengan ancaman terhadap keamanan dunia. Akibatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap pelanggaran kaedah hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi : setiap pembunuhan, setiap pencurian harus ditindak, pelakunya harus dihukum. Tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), menjelaskan dengan tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan atau tindak pidana merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkembangan serta dinamika masyarakat menyebabkan hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, negara Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era Globalisasi dan seiring dengan perkembangan zaman, tindak pidana kekerasan dapat terjadi dimana saja dan kepada siapa saja tanpa terkecuali anak-anak. Padahal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjujung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam lingkup masyarakat, yang kadang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Tindak pidana pencurian dilakukan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. commit to user digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Uang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah dalam suatu negara, uang juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini banyak terjadi kasus kejahatan seksual seperti pemerkosaan, pencabulan, dan kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat yang

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila di tinjau dari aspek hukum adalah sah keberadaanya. Undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009 mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19945. Salah satu prinsip penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Negara Indonesia adalah negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang dan tentunya tidak terlepas dari permasalahan kejahatan. Tindak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan Hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di masyarakat. Aparatur penegak hukum merupakan pelengkap dalam hukum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Bentuk klasik perbuatan pidana pencurian biasanya sering dilakukan pada waktu malam hari dan pelaku dari perbuatan pidana tersebut biasanya dilakukan oleh satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari 9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyertaan dalam pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Pengertian dari membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, ketentuan ini tercantum dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Setiap manusia dalam hidup bermasyarakat tidak pernah terlepas dari hubungan satu sama lain dalam berbagai hal maupun aspek. Manusia senantiasa melakukan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan adalah buah perjuangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam kehidupan bangsa yang lebih baik, adil, dan sejahtera. Nilai

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara hukum, sesuai Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), maka merupakan suatu kewajiban

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai konfigurasi peradaban manusia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat sebagai komunitas dimana manusia tumbuh dan berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fasilitas kredit umumnya diberikan oleh lembaga keuangan. Lembaga keuangan dalam dunia keuangan bertindak selaku lembaga yang menyediakan jasa keuangan bagi nasabahnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D 101 08 100 ABSTRAK Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai dengan hukuman pidana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan pembunuhan mengalami peningkatan yang berarti dari segi kualitas dan kuantitasnya. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya pemberitaan melalui media massa maupun

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008 1 PENYANTUNAN BAGI KELUARGA MENINGGAL ATAU LUKA BERAT KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGAMBILAN PUTUSAN HAKIM Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960, telah terjadi perubahan

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Nama lengkap : RIKI FIRDAUS bin SARIP ; Umur / tanggal lahir : 28 tahun / 5 Juni 1985 ;

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Nama lengkap : RIKI FIRDAUS bin SARIP ; Umur / tanggal lahir : 28 tahun / 5 Juni 1985 ; 1 P U T U S A N NOMOR 139/PID/2014/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Pengadilan Tinggi Bandung yang mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat banding telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

Pengadilan Negeri tersebut; Telah membaca seluruh berkas perkara: Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa.

Pengadilan Negeri tersebut; Telah membaca seluruh berkas perkara: Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa. PUTUSAN Nomor : 63/Pid.B/2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang bersidang dan mengadili perkaraperkara pidana pada pengadilan tingkat pertama yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017 PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 765/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 765/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 765/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Peranan korporasi menjadi penting dalam tindak pidana karena sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR :239 / PID B / 2013/PN. BJ. menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa:----------------------

P U T U S A N NOMOR :239 / PID B / 2013/PN. BJ. menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa:---------------------- P U T U S A N NOMOR :239 / PID B / 2013/PN. BJ. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Narkotika dan psikotropika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan pada sisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana atau strafbaar feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hukum mempunyai peranan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana setiap orang dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa penerapan peraturan dalam

Lebih terperinci