BAB II TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Widyawati Jayadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan pengertian upaya hukum. Upaya hukum menurut R. Atang Ranoe Milhardja, yaitu Suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang di anggapnya kurang adil atau kurang tepat (Andi sofyan dan Abd. Asis, 2014:267). Pengertian upaya hukum terdapat dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP menyatakan bahwa upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Upaya hukum di bagi menjadi dua yaitu : a) Upaya hukum biasa : Banding dan kasasi. b) Upaya hukum luar biasa : kasasi terhadap kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti kasasi adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan undang-undang Tirtaamidjaja merumuskan penegrtian kasasi sebagai berikut: Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat dilawan atau tak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum ini tidak diperbolehkan oleh undangundang, maupun oleh karena ia telah dipergunakan (Leden Marpaung, 2004:4). 10
2 11 b. Alasan Pengajuan Kasasi Alasan-alasan kasasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan : 1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagai mestinya; 2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas. Pihak yang mengajukan permohonan kasasi harus memiliki alasan kuat karena menurut ketentuan Pasal 248 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya, maka sejalan dengan ketentuan tersebut pengajuan memori kasasi harus secara jelas mengemukakan alasan-alasan permohonan kasasinya. Dikabulkan atau tidaknya permohonan kasasi disamping tergantung pada syarat-syarat formil juga tergantung pada syarat materiil, yaitu tentang alasan-alasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa, sedapat mungkin permohonan kasasi memperlihatkan dalam memori kasasi bahwa putusan pengadilan yang di kasasi mengandung : 1) Kesalahan penerapan hukum; 2) Atau Pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undang-undang; 3) Atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbanganya (M.Yahya Harahap, 2012:565).
3 12 Alasan permohonan kasasi diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP tetapi dalam prakteknya sering dijumpai beberapa alasan kasasi yang tidak dibenarkan dalam Pasal tersebut. M. Yahya Harahap menyatakan alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-undang yaitu : 1) Keberatan putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri. 2) Keberatan atas penilaian pembuktian. 3) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta. 4) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara. 5) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda. 6) Keberatan atas pengembalian barang bukti. 7) Keberatan kasasi mengenai novum ( M.Yahya Harahap, 2012: ). c. Tata Cara Pengajuan Kasasi Tata cara pengajuan permohonan upaya hukum kasasi telah ditetapkan dalam KUHAP yaitu sebagai berikut: 1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan ( Pasal 245 ayat (1) KUHAP); 2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP); 3) Dalam hal pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP); 4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang
4 13 bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP); 5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasa si maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP); 6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi ( Pasal 247 ayat (1) KUHAP; 7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan (Pasal 247 ayat (2) KUHAP); 8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP); 9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP). d. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi Tata cara dan prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1) Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim. Jika dianggap perlu, terutama untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang, dapat dibentuk mejelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang hakim. 2) Pemeriksaan berdasar berkas perkara. Berkas perkara yang dimaksud adalah berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan, semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada
5 14 hubungannya dengan perkara, putusan pengadilan tingkat pertama, putusan tingkat banding. 3) Pemeriksaan tambahan yang memiliki tahap yakni pemeriksaan tambahan didasarkan atas putusan sela, Mahkamah Agung sendiri dapat melaksanakan pemeriksaan tambahan. Dan dilakukan dengan tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan yakni 14 hari sejak Mahkamah Agung mengeluarkan perintah penahanan kepada terdakwa. 4) Tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan. Berdasarkan ketentuan undang-undang membedakan membedakan tenggang waktu pemeriksaan antara perkara yang terdakwanya di tahan dengan yang tidak ditahan. Terhadap perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, undang-undang mewajibkan Mahkamah Agung untuk memeriksa dalam waktu 14 hari dari tanggal penetapan perintah penahanan dikeluarkan. Sedangkan pemeriksaan kasasi yang terdakwanya tidak di tahan, undangundang tidak menentukan tenggang waktu pemeriksaan (M.Yahya Harahap, 2012: ). e. Bentuk Putusan Mahkamah Agung Setelah melakukan pemeriksaan terhadap syarat formal dan pemeriksaan pokok perkara Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang dapat berbentuk : 1) Menyatakan kasasi tidak dapat diterima. Putusan ini di jatuhkan dalam tingkat kasasi apabila permohonan kasasi yang di ajukan tidak memenuhi syaratsyarat formal yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP.yang dapat terjadi karena hal sebagai berikut: a) Permohonan kasasi terlambat diajukan; b) Tidak mengajukan memori kasasi; c) Memori kasasi terlambat disampaikan. 2) Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang di kasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan dalam putusan
6 15 pengadilan yang di kasasi sudah tepat, tidak terdapat cacat dan kesalahan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1). 3) Mengabulkan permohonan kasasi. Berarti putusan pengadilan yang di kasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas alasan putusan pengadilan yang di kasasi mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 253 ayat (1) (M.Yahya Harahap, 2012: ). 2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum KUHAP membedakan perngertian antara Jaksa dengan Penuntut Umum. Pasal 1 butir 6 KUHAP menegaskan bahwa 1) Jaksa adalah pejabat yang di beri wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Penuntut Umum adalah jaksa yang di beri wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pengertian Jaksa dan Penuntut umum juga di tegaskan didalam Undangundang Nomor 16 Tahun 2004, pada Pasal 1 butir 1 menegaskan bahwa, Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang- Undang, sementara dalam Pasal 1 butir 2 menegaskan bahwa, Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Berdasarkan isi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia tersebut, menunjukan bahwa kewenanganpenuntutan yang dimiliki Kejaksaan merupakan halyang urgen dalam mengemban visi dan misi Kejaksaan dalam penegakan hukum (Noven Verderikus Bulan Dasar Pertimbangan Penuntut
7 16 Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Pidana(Putusan MA No.70/Pid.B/ 2010/PN. Kpg tanggal 21 Juni 2010).Masalah-masalah Huku,vol.43 No.3 : 396). b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia kewenangan dari kejaksaan di bidang pidana adalah : 1) Melakukan penuntutan. 2) Melaksanakan penetapan hakim dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3) Melakukan pengawasan, terhadap pelaksaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. 4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik. Wewenang Penuntut Umum sebagaiman di atur di dalam Pasal 14 KUHAP adalah : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; 2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
8 17 4) Membuat surat dakwan; 5) Melimpahkan perkara kepengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab; sebagai penuntut umum menurut undang-undang; 10) Melaksanakan penetapan hakim. 3. Tinjauan tentang Judex Facti judex facti dan judex juris merupakan dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti sedangkan Mahkamah Agung adalah Judex juris. Judex facti berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut, Sedangkan Judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Andy Hamzah menjelaskan bahwa tugas dari pengadilan dalam perkara pidana adalah Tugas pengadilan dalam perkara pidana ialah mengadili semua delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang di ajukan (dituntut) kepadanya untuk di adili. (Andi Hamzah, 2011:107). a. Pengadilan Negeri Kekuasaan mengadili pada pengadilan negeri terdapat dua macam kekuasaan (kompentensi) yaitu : 1) Kompentensi Absolute
9 18 Kompetensi absolut merupakan kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili kepada satu macam pengadilan (Pengadilan Negeri). Untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya, dan tanpa adanya kewenangan pengadilan lain, atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia berwenang mengadilinya. Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, bahwa kompetensi Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Andi sofyan dan Abd. Asis, 2014:30). 2) Kompetensi Relatif Kompetensi relatif adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili di antara satu macam pengadilan (pengadilan negeri) atau kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubungan dengan daerah hukumnya. Mengenai kompetensi relatif Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 84,85,86 KUHAP. a) Pasal 84 KUHAP menyatakan bahwa : (1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. (2) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. (3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
10 19 (4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. b) Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa : Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman u ntuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. c) Pasal 86 KUHAP menyatakan bahwa : Apabila seorang melakukan tindak pidana di Luar Negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya. b. Pengadilan Tinggi Kekuasaan untuk mengadili pada pengadilan tinggi sebagaiman di atur di dalam Pasal 87 KUHAP, yang menyebutkan bahwa Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding. Menurut pasal 51 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa 1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding. 2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
11 20 4. Tinjauan tentang Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan Pengadilan Pengertian putusan hakim dan putusan pengadilan sering disamakan. Namun, secara yuridis, pengertian yang lebih baku adalah putusan pengadilan, bukan putusan hakim. Hal ini didasarkan pada pengertian putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang berbunyi Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Sri Sutatiek Akuntabilitas Moral Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara agar Putusanya Berkualitas.ARENA HUKUM.Vol.6 No.1 : 3). Berdasarkan ketentuan KUHAP putusan hakim pada hakikatnya dapat di kategorisasikan ke dalam dua jenis, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Apabila suatu perkara oleh majelis hakim diperiksa sampai selesai pokok perkaranya, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat 3 dan ayat 8, Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP dinamakan dengan putusan akhir. Sedangkan mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa penetapan atau putusan sela yang bersumber pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP(Lilik Mulyadi, 2007: ). Putusan apa yang akan di jatuhkan oleh Pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah Hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan (M.Yahya Harahap, 2012:347). Hakim diberikan banyak keleluasaan ketika menyelesaikan sengketa. keleluasaan ini dapat memanifestasikan dirinya dalam memberikan keputusan yang tidak sesuai dengan keputusan sebelumnya (Anthony Niblett Tracking inconsistent judicial behavior. International Review of Law and Economics.Vol.34 : 9).
12 21 b. Bentuk Putusan Pengadilan Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (11) KUHAP, bentuk putusan pengadilan digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1) Putusan bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijpraak) atau acquittal. Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, maksudnya dibebaskan dari pemidanaan atau dengan kata lain terdakwa tidak dipidana (M.Yahya Harahap, 2012:347). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van rechtvervolging) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 Ayat (2), yang menjelaskan bahwa: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tindakan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Mengenai bentuk putusan ini Lilik Mulyadi menjelaskan bahwa Pada putusan jenis ini dapat disbutkan bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Akan tetapi, terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang di lakukan bukan merupakan tindak pidana, melainkan merupakan ruang lingkup hukum perdata ( Lilik Mulyadi, 2007:151).
13 22 3) Putusan Pemidanaan Maksut putusan pemidanaan berdasarkan pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP penjatuhan putusan pemidanaan yang di dakwakan kepada terdakwa di dasarkan pada penilaian pengadilan. Apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang di tentukan di dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya ( M.Yahya Harahap, 2012:354). c. Isi Putusan Pengadilan Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim Ketentuan tersebut adalah : 1) Kepala putusan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. 3) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. 4) Pertimbangan yang disusun sacara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
14 23 5) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 6) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. 7) Pernyataan kesalahan terdakwa pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai denjgan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. 8) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. 9) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. 10) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan dan nama panitera. Apabila putusan tidak memuat ketentuan yang di tentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l KUHAP tidak terpenuhi akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). 5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan Perbuatan pidana atau biasa di sebut tindak pidana menurut Moeljano adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2002:54). Setiap tindak pidana yang ada di dalam KUHP pada umumnya dapat di jabarkan ke dalam unsur-unsur menjadi dua macam unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana adalah : a. Kesengajaan atauketidaksengajaan (dolus atau culpa);
15 24 b. Maksud atau Voornemenpada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari tindak pidana adalah : a. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid; b. Kualitas dari pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat(p.a.f. Lamintang, 2013: ). Tindak pidana penipuan dalam Kitap Undang-undang Hukum Pidana bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yaitu: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
16 25 1. Bagan Kerangka Pemikiran B. Kerangka Pemikiran Tindak pidana penipuan Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 226/PID.B/2014/ PN.TNG Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum Permohonan kasasi oleh penuntut umum Putusan Mahkamah Agung No K/PID/2014 Mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2. Penjelasan Putusan pengadilan yang di jatuhkan tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan yang di hubungkan dengan segala sesuatu yang yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
17 26 diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Upaya hukum yang dapat Jaksa penuntut umum lakukan terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu dengan mengajukan kasasi tanpa proses banding terlebih dahulu. Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat di ajukan kasasi menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan dalam pasal tersebut hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat di ajukan kasasi. Dikabulkan atau tidaknya permohonan kasasi disamping tergantung pada syarat-syarat formil juga tergantung pada syarat materiil, yaitu tentang alasanalasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang pada dasarnya orang tersebut wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana
Lebih terperinciRancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Kasasi a. Pengertian Kasasi Secara terminologi, kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah atau membatalkan. Kasasi dilakukan dengan
Lebih terperinciAbstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:
Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciTUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM
TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciPUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA
PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA KASUS POSISI: Katiman penduduk kota Trenggalek ingin mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri di tempat. Untuk maksud tersebut ia dikenalkan
Lebih terperinciMATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO
MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang tidak
Lebih terperinciMakalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN
Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Lebih terperinciP U T U S A N Nomor : 339/PID/2011/PT-Mdn.
P U T U S A N Nomor : 339/PID/2011/PT-Mdn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat banding,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciPENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak
PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK
Lebih terperinciMANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.
MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN www.kompasiana.com Mantan Kepala Divisi Konstruksi VII PT Adhi Karya Wilayah Bali, NTB, NTT, dan Maluku, Imam Wijaya Santosa, kembali mendapat pengurangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme
Lebih terperinciINDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013
LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA
UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciperadilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk
BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid), sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut
Lebih terperinciPENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain
Lebih terperinciMakalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada
Lebih terperinciLex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013
HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan
Lebih terperinciANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015)
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGADILI PERMOHONAN KASASI PENGGELAPAN (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 373 K/Pid/2015) Betty Kusumaningrum, Edy Herdyanto Abstrak Penelitian ini bertujuan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
Lebih terperinciSTANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG
PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA 1. Penerimaan berkas perkara Kepaniteraan Pidana (Petugas Meja I) Pedoman Pelaksanaan Tugas Buku II 1 hari 1. Menerima perkara yang dilimpahkan oleh Penuntut Umum
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah tindak pidana pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu
Lebih terperinciNOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinci2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM
Lebih terperincifile://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm
Page 1 of 12 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciMakalah Rakernas
Makalah Rakernas 2011 1 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI Oleh : H. A. Kadir Mappong (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidan Yudisial) Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dimaksudkan untuk memperbaiki
Lebih terperinci1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori
14 BAB II TNJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terhadap Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP menjelaskan bahwa Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciPENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan
Lebih terperinciBAB VII PERADILAN PAJAK
BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Maksud dari upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
Lebih terperinciALUR PERADILAN PIDANA
ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang
Lebih terperincidikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.
12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan
Lebih terperinciPemeriksaan Sebelum Persidangan
Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang
Lebih terperinciPerpajakan 2 Pengadilan Pajak
Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar hukum serta Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan semata-mata harus didasari rasa keadilan bukan semata-mata hanya berlandaskan
Lebih terperinciSumber Berita : Sengketa di Atas Tanah 1,5 Juta Meter Persegi, Forum Keadilan, Edisi 24-30 Agustus 2015. Catatan : Menurut Yahya Harahap dalam Buku Hukum Acara Perdata halaman 418, Eksepsi secara umum
Lebih terperinciP U T U S A N No K / Pid / DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana pada
1 P U T U S A N No. 1299 K / Pid / 2004.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara pidana pada tingkat kasasi telah memutuskan sebagai berikut : Mahkamah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874] BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
Lebih terperinciFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana
Lebih terperinciUPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
UPAYA HUKUM PUTUSAN PENGADILAN AGAMA 1. Upaya Hukum Banding Upaya banding didaerah jawa dan madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar jawa dan madura diatur dalam pasal-pasal
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA
16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Lebih terperinci1 jam perkara sesuai dengan nomor urut perkara 4. Membuat formulir penetapan Ketua Pengadilan Negeri tentang
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) KEPANITERAAN PIDANA PENGADILAN NEGERI TANAH I. PROSEDUR PENERIMAAN PERKARA 1. Prosedur Penerimaan Perkara Pidana Biasa : PENGADILAN TINGGI SAMARINDA PENGADILAN NEGERI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor : 529/PID/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciIV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan wawancara terhadap sejumlah responden yang akan memberikan gambaran
Lebih terperinciKESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2
Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA
Lebih terperinciPenerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)
Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis) 1. Dany Try Hutama Hutabarat, S.H.,M.H, 2. Suriani, S.H.,M.H Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA Muh. Priyawardhana Dj. Dian Ekawati Ismail, SH., MH. (Dosen Pembimbing I) Dolot Alhasni Bakung, SH., MH. (Dosen Pembimbing II)
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 76, 1981 (KEHAKIMAN. TINDAK PIDANA. Warganegara. Hukum Acara Pidana. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam
BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,
Lebih terperinciSURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA
SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciDirektori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Direktori Putusan M PUTUSAN NOMOR 377 K/PID.SUS/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa dan mengadili perkara pidana khusus pada tingkat kasasi memutuskan sebagai
Lebih terperinciP U T U S A N. Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
P U T U S A N Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah
Lebih terperinciP U T U S A N NOMOR : 386/PID/2014/PT. BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,
P U T U S A N NOMOR : 386/PID/2014/PT. BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat banding telah
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai
Lebih terperinciBAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh
Lebih terperinciBAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana penipuan merupakan salah satu tindak pidana terhadap harta benda yang sering terjadi dalam masyarakat. Modus yang digunakan dalam tindak pidana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penipuan yang berasal dari kata tipu adalah perbuatan atau perkataan yang tidak jujur atau bohong, palsu dan sebagainya dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali
Lebih terperinciLex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017
PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Raymond Lontokan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa bentuk-bentuk perbuatan
Lebih terperinciDirektori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Direktori Putusan Maia PUTUSAN NOMOR 1426 K/PID/2013 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa perkara pidana khusus pada tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
Lebih terperinci