LAPORAN AKHIR EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAPORAN AKHIR EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH"

Transkripsi

1 LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN DOSEN FAKULTAS GEOGRAFI UGM TAHUN ANGGARAN 2012 EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SLEMAN BERDASARKAN CITRA PENGINDERAAN JAUH ISWARI NUR HIDAYATI Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh Jurusan Sains Informasi Geografis dan Pembangunan Wilayah Dibiayai melalui Hibah Penelitian Dosen Dana Masyarakat, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Tahun Anggaran 2012 Diajukan kepada: FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA September, 2012

2 BIODATA PENELITI / PENULIS UTAMA IDENTITAS PRIBADI Nama Lengkap : Iswari Nur Hidayati. Tempat, Tgl. Lahir : Sleman/25 April 1983 Nip / Jabatan : Pangkat / Gol. : Penata Muda Tingkat I/Iii B Bidang Keahlian : Penginderaan Jauh Prodi / Jurusan : KPJ/SIGPW Alamat Rumah :Jl. Letkol Subadri No 14 Kalakijo Triharjo Sleman PENGALAMAN PUBLIKASI ILMIAH (3 tahun terakhir) 1. Pemanfaatan Teori Bukti Dempster-Shaffer untuk Optimalisasi Penggunaan Lahan berdasarkan Data Spasial dan Citra Multisumber 2. Kajian Indeks Potensi Lahan Pertanian Terhadap Pemanfaatan RTRW menggunakan SIG PENGALAMAN PENELITIAN (3 tahun terakhir) 1. Penyusunan Data Base Bencana kerjasama antara Fakultas Geografi dan BNPB 2. Penerapan Metode Problem Based Learning untuk Mata Kuliah Penginderaan Jauh untuk Studi Perkotaan 3. Analisis Ekonomi Konversi Lahan Pertanian berbasis Sistem Informasi Geografi di Kabupaten Sleman 4. Neraca Sumberdaya Air Sleman Bagian Timur 5. Analisis Multiresolusi Berbasis Citra Satelit untuk Pemantauan Fragmentasi beberapa Ekosistem Alami dan Pertanian di Jawa Tengah Yogyakarta, September 2012 Iswari Nur Hidayati, S.Si., M.Sc

3 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, kepunyaan Allahlah apa yang ada di dalamnya. Allah mengadakan gelap dan terang, memberi rezeki kepada seluruh makhluk yang diciptakan, memberi hidayah kepada hamba-nya. Ungkapan syukur ini lahir dari lubuk hati yang dalam karena penyusun menyadari sepenuhnya bahwa usaha untuk menyelesaikan buku petunjuk praktikum ini hanya dapat berhasil atas izin Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui, pemilik kekuatan yang sejati dan pengetahuan yang sempurna. Penyusun menyadari bahwa banyak pihak yang telah memberikan bantuan sehingga penyusun dapat menyelesaikan buku petunjuk praktikum. Sehubungan dengan hal itu, penyusun menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disertai doa semoga bantuan tersebut mendapat imbalan yang lebih baik dari Allah SWT. Pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan terima kasih secara khusus kepada: 1. Prof. Dr. Suratman, M.Sc selaku Dekan Fakultas Geografi UGM; 2. Dr. Slamet Suprayogi, M.S selaku penanggung jawab pelaksana tugas dekan Fakultas Geografi UGM; 3. Dr. R. Suharyadi, M.Sc selaku Ketua Jurusan SIGPW Fakultas Geografi UGM; 4. Sigit Heru Murti, S.Si., M.Si selaku Ketua Program Studi KPJ; 5. Drs. Zuharnen M.S selaku Kepala Laboratorium PJ Dasar; 6. Saddam Husein, Fitriani, Iman Santosa, Virna yang telah membantu penyelesaian hibah penelitian ini, dan 7. Seluruh rekan-rekan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Karya yang hebat pasti tidak bisa diproses dalam waktu yang singkat. Penyusun sangat menyadari bahwa hasil ini masih banyak yang perlu diperbaiki dan perlu dikembangkan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan karya-karya selanjutnya. Dengan penuh harap pula agar karya ini dapat dilanjutkan dan data yang sudah tersedia boleh dimanfaatkan. Terima kasih. Yogyakarta, September 2012 Penyusun, Iswari Nur Hidayati

4 DAFTAR ISI Halaman Judul...i Lembar Pengesahan...ii Kata Pengantar...iii Biodata Singkat Peneliti...iv BAB I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian...4 BAB II Tinjauan Pustaka Ekstraksi Data Penginderaan Jauh Karakteristik ALOS AVNIR Transformasi Indeks Vegetasi Ruang Terbuka Hijau...16 BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Pelaksanaan Penelitian...19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Citra Transformasi Indeks Vegetasi Hubungan NDVI dan Kerapatan Vegetasi Kerapatan Vegetasi Analisis Ketersediaan RTH Analisis terhadap RDTRK...26 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...31 Daftar Pustaka Lampiran

5 DAFTAR TABEL Tabel 1. Fungsi dan Penerapan RTH pada beberapa tipologi kawasan...17 Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk...18 Tabel 3. Persebaran Kerapatan Vegetasi menurut Desa...27 Tabel 4. Tutupan Vegetasi menurut Rencana Pemanfaatan Ruang...28 Tabel 5. Kerapatan Vegetasi menurut Rencana Pemanfaatan Ruang...29 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Tingkatan Unsur Interpretasi Citra...9 Gambar 2. Spektrum Cahaya Terpantul oleh Daun...15 Gambar 3. Hasil Transformasi NDVI...22 Gambar 4. Grafis Regresi Linear NDVI dan kerapatan Vegetasi...23 Gambar 5. Presentase Kerapatan Vegetasi...25

6 DAFTAR PUSTAKA Campbell, J. B Introduction to Remote Sensing, 3rd edition, chapter New York : The Guilford Press. Hornong, N, Global Land Vegetation; An Electronic Textbook. NASA Goddard Space Flihgt Center Earth Sciences. Dikunjungi tanggal 20 Maret Jensen, J. R Introductory Digital Image Processing : A Remote Sensing Perspective, 3rd edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall. Liang, S.T, D.Wang, K. Wang Mapping High Resolution Incident Photosynthetically Active Radiation over Land from Polar-Orbiting and Geo Stationary Satellite Data. Photogrammetruc Engineering and Remote Sensing Lillesand & Keifer Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (terjemahan). Yogyakarta : Gajah Mada University Press Lillesand, T. M., R. W. Kiefer, J. W. Chipman Remote Sensing and Image Interpretation, 6th edition. Lillesand, T. M., R. W. Kiefer, J. W. Chipman Remote Sensing and Image Interpretation, 6th edition, chapter 7. New Jersey : John Wiley & Sons. Lo, C. P Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta : UI Press. Richards, J.A., dan X. Jia Remote Sensing Digital Image Analysis An Introduction, 4th edition. Berlin : Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Sutanto, 1986, Penginderaan Jauh Jilid I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tinambunan, R.S., Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Yunhao, C, S. Jing A combined Approach for Estimating Vegetation Cover in Urban/Suburban Environments from Remotely Sensed Data. Computer and Geosciences

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa suatu wilayah kota diwajibkan memiliki ruang terbuka hijau 30% dari luas kota dan minimal 20% adalah ruang terbuka hijau publik. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan pula peningkatan pemanfatan lahan untuk permukiman yang mengakibatkan berkurangnya jumlah tutupan vegetasi khususnya di daerah perkotaan. Keadaan ini mendukung penurunan kualitas lingkungan di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang paling utama untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan permukiman dan kebutuhan sarana dan prasarana (Tinambunan, 2006). Pengembangan permukiman dilakukan untuk menciptakan suatu kawasan permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman, serta dapat mengintegrasikan secara terpadu langkahlangkah peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang telah ada, baik di dalam atau di sekitarnya. Agar hal tersebut dapat terlaksana, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan perencanaan pembangunan permukiman serta perncanaan kawasan/wilayah agar terjadi keserasian perkembangan dan pertumbuhan kawasan. Dengan demikian, pemahaman terhadap hubungan antara penyelenggaraan permukiman dengan perencanaan kawasan wilayah yang fungsional dan responsif terhadap perkembangan dan tantangan yang dihadapi diharapkan dapat melahirkan keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan kawasan sekitarnya (perdesaan), sehingga daya dukung kawasan/lingkungan perkotaan dapat lebih terjaga. Vegetasi perkotaan dapat mempengaruhi udara di sekitarnya secara langsung maupun tidak langsung dengan merubah kondisi atmosfer lingkungan. Yunhao (2005) menggambarkan bahwa kondisi dan keberadaan vegetasi di daerah perkotaan dapat diketahui dengan berbagai pendekatan salah satunya adalah pendekatan indeks vegetasi menggunakan data penginderaan jauh. 1 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

8 Nilai indeks vegetasi yang diturunkan dari saluran inframerah dan saluran merah pada citra memberikan informasi mengenai indeks vegetasi yang akan diturunkan menggunakan persentase tutupan vegetasi. Indeks tanaman hidup (leaf area index), kapasitas fotosintesis dan estimasi penyerapan karbondioksida. Peters (2007) juga menyebutkan bahwa nilai indeks vegetasi merupakan suatu nilai yang dihasilkan oleh pengolahan rumus matematis antara saluran infra merah dan saluran merah pada suatu citra. Sesuai dengan PP NO 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Pemetaan menyebutkan bahwa daerah perkotaan disesuaikan dengan kabupaten yaitu mempunyai analisis pada tingkat skala 1: :25.000, sehingga citra yang digunakan adalah citra resolusi menengah. Liang (2007) menuliskan bahwa pemanfaatan citra resolusi tinggi sangat diperlukan untuk daerah perkotaan yang mempunyai tingkat keragaman tutupan lahan yang heterogen. ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahuluanya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama untuk kepentingan kartigrafi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam, dan pengembangan teknologi. ALOS AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) memiliki resolusi spasial 10 meter diharapkan mampu menganilisi daerah-daerah yang mempunyai tutupan lahan heterogen. Berdasarkan pusat-pusat pertumbuhan, wilayah Kabupaten Sleman merupakan wilayah hulu Kota Yogyakarta, yang terbagi menjadi tiga fungsi kota yaitu wilayah aglomerasi, wilayah sub urban, dan wilayah penyangga. Kecamatan Ngaglik merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Sleman. Kecamatan Ngaglik diarahkan menjadi kawasan prioritas penunjang perkembangan sektor strategis yang mencakup semua desa di wilayah itu. Oleh sebab itu pertumbuhan penduduk di Kecamatan Ngaglik juga sangat tinggi seiring dengan perkembangan pusat pendidikan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Hal ini menyebabkan berkurangnya lahan pertanian di Kecamatan Ngaglik. 2 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

9 Penelitian yang melibatkan transformasi indeks vegetasi masih menggunakan hasil akhir dari transformasi indeks vegetasi tanpa melakukan penelitian di lapangan sehingga hasil untuk perhitungan kerapatan vegetasi dirasa masih belum optimal. Penggunaan transformasi indeks vegetasi juga masih dilakukan untuk skala menengah yang lebih bersifat untuk pemantauan hutan lindung maupun hutan produksi. Metodologi ektraksi data penginderaan jauh untuk indeks vegetasi ini perlu kajian lebih optimal. Melihat permasalahan di atas perlu diadakan suatu penelitian yang berbasis data penginderaan jauh untuk melihat peran transformasi indeks vegetasi yang digunakan sebagai data untuk evaluasi ruang terbuka hijau wilayah perkotaan. Perbandingan beberapa transformasi indeks vegetasi juga perlu dikaji lebih detail agar bisa memberikan ilmu pengetahuan tentang penggunaan indeks vegetasi tersebut. 1.2 Perumusan Masalah Data penginderaan jauh memberikan berbagai informasi yang sering digunakan untuk ektraksi informasi mulai dari informasi penggunaan lahan/penutup lahan, indeks vegetasi, indeks kebasahan, indeks tanah, urban indeks, dan sebagainya. Analisis citra digital penginderaan jauh memberikan informasi tertentu untuk kajian seperti kajian vegetasi, tata ruang, kelautan, dan sebagainya. Model ekstraksi data penginderaan jauh berkembang sangat pesat, baik itu untuk visualisasi citra penginderaan jauh maupun ektraksi data digital. Di sisi lain, permasalahan tata ruang yang berkaitan dengan keterbatasan lahan terbuka hijau dipengaruhi oleh meningkatnya perkembangan penduduk yang semakin pesat. Kontribusi perkembangan penduduk ini sangat tinggi dalam konversi lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun. Departemen Pekerjaan Umum (2008) menetapkan bahwa sekurang-kurangnya 30% lahan terbuka hijau untuk setiap kawasan peruntukkan. Model ekstraksi data penginderaan jauh untuk evaluasi kawasan terbuka hijau biasanya menggunakan analisis visual dengan pendekatan blok permukiman. Pendekatan menggunakan analisis digital untuk evaluasi ruang terbuka hijau 3 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

10 masih jarang digunakan. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti mengambil penelitian dengan judul Kajian Ektraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Ngaglik berdasarkan Citra Penginderaan Jauh. 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kemampuan data penginderaan jauh khususnya citra ALOS AVNIR-2 untuk ekstraksi kerapatan vegetasi melalui analisis indeks vegetasi. 2. Melakukan analisis ketersediaan ruang terbuka hijau Kecamatan Ngaglik berdasarkan kerapatan vegetasi menggunakan data penginderaan jauh. 3. Melakukan analisis kerapatan vegetasi terhadap rencana pemanfaatan ruang berdasarkan Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Ngaglik. 4 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ektraksi Data Penginderaan Jauh Citra merupakan gambaran rekaman suatu objek yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektronik Simonett et al (1983, dalam Sutanto, 1986). Menurut Sutanto (1986) data citra merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau setidaknya berupa data planimetrik. Sedangkan interpretasi citra yaitu suatu tindakan untuk mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Ester dan Simonett, 1975, dalam Sutanto, 1986). Interpretasi citra menurut Jensen (2007) merupakan alat ilmiah yang sangat berguna, didasarkan beberapa alasan, termasuk : dapat memberikan perspektif dari udara serta mengatasi keterbatasan survei lapangan; mampu memberikan persepsi tiga dimensi ; mengetahui suatu hal di luar persepsi visual manusia ; serta mampu memperoleh sejarah rekaman citra sebagai dokumentasi perubahan yang terjadi di muka bumi. Dalam upaya untuk menginterpretasi citra, ada dua macam pendekatan yang dapat dilakukan yaitu : a. Interpretasi visual (visual image interpretation) Ketika melihat citra, informasi tidak langsung dapat tergambarkan (Campbell, 2002).Informasi tersebut terekam pada citra dalam variasi rona dan tekstur (Campbell, 2002), dan juga dalam variasi ukuran dan bentuk (Lillesand et al., 2008).Campbell (2002) menjelaskan bahwa untuk mengkonversi gambaran objek pada citra ke dalam suatu informasi, pengetahuan khusus harus diterapkan, pengetahuan yang menjadi dasar interpretasi citra. Citra berisi tentang data mentah (Campbell, 2002 ; Lillesand et al., 2008), sehingga dibutuhkan proses oleh interpretasi otak manusia (Lillesand et al., 2008), menjadi informasi yang berguna. Campbell (2002) menjelaskan bahwa kemampuan dalam interpretasi citra dibentuk oleh pengetahuan tentang : 1) Subjek yang dikaji. 2) Wilayah geografis. 5 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

12 3) Sistem penginderaan jauh. Berikut ini disajikan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan saat melakukan interpretasi citra, yaitu (Campbell, 2002): 1) Klasifikasi (classification) Klasifikasi yaitu menetapkan objek, kenampakan, atau area ke dalam satu kelas yang didasarkan perwatakannya pada citra. Sebelum beranjak pada tahapan klasifikasi ini, perlu diketahui tahapan seperti deteksi, recognition, dan identifikasi. Lo (1976, dalam Lo, 1996) menjelaskan lebih terperinci sama seperti Campbell namun di tambahkan aspek teorisasi. Deteksi yaitu penentuan ada tidaknya kenampakan objek pada citra. Deteksi menurut Lo (1996) dibantu oleh karakteristik citra yang berupa resolusi spasial, spektral, radiometrik dan temporal. Recognisi (Campbell, 2002) merupakan penentuan objek yang dapat diberikan identitas di dalam kelas secara umum. Identifikasi yaitu merumuskan identitas objek atau kenampakan berdasarkan bukti yang cukup ataupun berdasarkan rujukan umum dan khusus. Rujukan umum berupa pengetahuan umum penafsir citra mengenai proses dan fenomena yang akan diinterpretasi. Sedangkan rujukan khusus merupakan pengetahuan penafsir yang lebih mendalam mengenai proses dan fenomena yang akan diinterpretasi. Elemen/kunci interpretasi memegang peranan penting dalam identifikasi dan pengenalan objek pada citra (Lo, 1996). Lo (1976, dalam Sutanto, 1986) menjelaskan bahwa hasil identifikasi dan pengenalan digunakan untuk menilai arti objek atau kenampakan melalui analisis dan deduksi, yang kemudian dilakukan proses klasifikasi. Dari hasil ini kemudian dilakukan teorisasi, yaitu penyusunan teori berdasarkan penelitian yang bersangkutan atau penggunaan teori yang ada sebagai dasar untuk analisis dan penarikan kesimpulan. 2) Pencacahan (enumeration) Pencacahan merupakan kegiatan perhitungan objek yang saling terpisah (yang memiliki ciri tersendiri) yang tampak pada citra.sebagai contoh adalah perhitungan jumlah rumah. 3) Pengukuran (measurement) 6 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

13 Pengukuran dapat dilakukan dalam hal perhitungan jarak dan tinggi hingga luas dan volume, ataupun juga dapat dilakukan perhitungan kuantitatif, nilai kecerahan pada citra. 4) Delineasi / Penarikan batas (delineation) Delineasi merupakan kegiatan dalam pemisahan objek yang saling terpisah, yang masing memiliki kekhasan/karakteristik dalam hal rona da tekstur, dan untuk mengetahui batas/tepi dari area yag saling terpisah. Elemen atau unsur-unsur interpretasi meliputi : 1) Rona (tone) dan warna (color) Rona merupakan derajat kecerahan relatif (rentang gelap-cerah) pada tampilan citra skala warna keabuan (grayscale) (Campbell, 2002; Lillesand et al, 2008). Sedangkan warna merujuk pada tampilan citra skala komposit warna HSI (hue, saturation, intensity) ; RGB (red, green, blue); atau Munsell (Jensen, 2007). 2) Tekstur (texture) Lillesand et al (2008) mendefinisikan tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra, yang diperoleh dari pengelompokan kenampakan pada citra yang terlalu kecil untuk dapat dibedakan secara individual.sedangkan Jensen (2007) menjelaskan bahwa tekstur merupakan karakteristik penempatan dan susunan perulangan rona/warna pada citra. Derajat tekstur berkisar antara halus, sedang, kasar, loreng-loreng, berbintik. Penilaian derajat tekstur dipengaruhi oleh skala citra. Sedangkan variasi tekstur dipengaruhi oleh kondisi permukaan objek dan juga sudut iluminasi (Campbell, 2002). 3) Pola (pattern) Pola merupakan susunan keruangan objek, yang menunjukkan perulangan bentuk umum atau hubungan, yang merupakan penciri suatu objek di muka bumi baik itu objek alam ataupun buatan manusia (Campbell, 2002; Lillesand et al, 2008).Variasi pola meliputi pola acak, sistematik, melingkar, dan sebagainya (Jensen, 2007). 7 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

14 4) Bentuk (shape) Bentuk merujuk pada bentuk umum, konfigurasi, atau sketsa objek individu (Lillesand et al, 2008), yang secara jelas sebagai penunjuk identitas objek (Campbell, 2002). Bentuk objek baik itu objek alam atau buatan manusia memiliki kekhasan masing-masing.karakteristik bentuk objek dapat berupa bentuk garis, lengkung, bundar, elips, lingkaran, kotak, persegi panjang, segitiga, segilima, segienam, bintang, tak berbentuk, dan laain sebagainya (Jensen, 2007). 5) Ukuran (size) Ukuran dapat diwujudkan dalam dua cara yaitu pertama secara relatif dengan melihat hubungan dengan objek lain di sekitarnya, secara intuisi, seperti contohnya kecil-sedang-besar ; dan kedua secara absolut yaitu dengan pengukuran yang mana dapat menghasilkan informasi kuantitatif yang meliputi jarak, volume, luasan, tingkat pergerakan (Campbell, 2002). Ukuran objek tergantung dari skala citra yang digunakan (Jensen, 2007 ; Lillesand et al, 2008). 6) Bayangan (shadow) Bayangan objek dapat mengaburkan informasi mengenai objek lain di sekitarnya. Namun di lain hal dapat membantu untuk membedakan ketinggian objek satu dengan objek lain (Jensen, 2007). Bayangan juga berguna untuk pengenalan objek individu yang terpisah (Campbell, 2002), serta untuk menaksir variasi topografi pada kajian citra untuk geologi (Lillesand et al, 2008). 7) Tinggi (height) dan kedalaman (depth) Pengamatan tinggi dan kedalaman objek dapat dilakukan secara stereoskopis dan monoskopis (Jensen, 2007). 8) Lokasi (location) Informasi koordinat objek dapat diperoleh dari survei lapangan dengan alat survei ataupun dengan GPS, dan dengan mengumpulkan citra yang meliput objek, kemudian diregistrasi koordinat dengan menggunakan peta dasar dan 8 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

15 mengekstrak informasi koordinat dari citra yang sudah dikoreksi geometri tersebut (Jensen, 2007). 9) Situs (site) Situs merujuk pada posisi topografi atau geografi objek yang bersangkutan (Campbell, 2002 ; Lillesand et al, 2008). Situs memiliki karakteristik secara fisik (elevasi, lereng, aspek, tipe tutupan permukaan) ataupun secara sosioekonomi (harga lahan, sistem kepemilikan lahan, kedekatan dengan akses air atau populasi) (Jensen, 2007). 10) Asosiasi (association) Asosiasi merujuk pada keberadaan objek tertentu yang memiliki hubungan dengan objek lain (Campbell, 2002 ; Jensen, 2007 ; Lillesand et al, 2008). Atau dengan kata lain merupakan keterkaitan objek satu dengan objek lainnya (Sutanto, 1986). 11) Situasi (situation) Situs, asosiasi dan situasi digunakan secara bersama-sama dalam interpretasi citra, dan merupakan unsur yang penting dalam pengenalan objek secara logis (Jensen, 2007). Tingkat Lokasi Susunan keruangan rona.warna Rona/warna Ukuran Bentuk Tekstur Pola Bayangan Tinggi Primer Sekunder Kompleksitas Tersier Situs Asosiasi Situasi Tertinggi Gambar 1. Tingkatan unsur/elemen interpretasi citra (Jensen, 2007, dengan perubahan) 9 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

16 Strategi dalam interpretasi citra dijelaskan oleh Campbell (1978, dalam Campbell, 2002) yang meliputi : 1) Observasi lapangan Observasi ini digunakan ketika tidak bisa melakukan interpretasi berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki, dan juga untuk meyakinkan hubungan antara kenyataan di lapangan dengan kenampakan pada citra.kegiatan ini juga diperlukan untuk cek akurasi hasil interpretasi. 2) Pengenalan langsung Pengenalan langsung merupakan terapan pengalaman, keahlian, dan keputusan untuk mengasosiasikan pola citra dengan kelas informasi. Pengenalan ini bersifat kualitatif dan subjektif yang didasarkan pada apa yang nampak dan logis. 3) Interpretasi secara inferensial Pada teknik ini, sebaran objek yang tampak pada peta, tidak hanya didapatkan pada sebaran objek yang tampak pada citra.sebaran yang tampak pada citra sebagai wakil atau pengganti sebaran objek pada citra.sebagai contoh, informasi tanah tidak dapat langsung diperoleh dari citra, hal itu dapat dikaitkan dengan sebaran bentuklahan dan vegetasi yang tampak pada citra. 4) Interpretasi secara probabilistik Pada teknik ini mengintegrasikan informasi bukan citra ke dalam proses klasifikasi. Usaha ini dilakukan untuk mempersempit rentang kemungkinan. 5) Interpretasi secara deterministik Strategi yang kelima ini didasarkan secara kuantitatif hubungan karakteristik citra dengan kondisi di lapangan. b. Interpretasi Citra Digital Ketika citra dalam bentul data digital, keruangan disajikan dalam bentuk piksel, dan nilai radiometrik disimpan dalam tingkatan kecerahan diskrit, beberapa pendekatan dimungkinkan untuk mengekstraksi informasi dari citra digital, serta dimungkinkan untuk dianalisis secara kuantitatif (Richards dan Jia, 2006). Lillesand et al (2008) menjelaskan bahwa interpretasi dan analisis citra digital 10 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

17 melibatkan manipulasi dan interpretasi dengan bantuan komputer, seringkali memerlukan prosedur yang kompleks secara matematis.seperti pada intepretasi secara visual, pada interpretasi secara digital juga dapat menggunakan elemen/unsur interpretasi. Citra digital dapat dimanipulasi atau diproses secara tak terbatas, namun kita dapat mengelompokkan prosedur pemrosesan ke dalam 7 tipe operasi yang dibantu komputer (Lillesand et al, 2008), yaitu : 1) Rektifikasi dan restorasi citra Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkoreksi data citra yang mengalami distorsi dan degradasi sehingga dapat terbentuk citra yang representatif.koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki kesalahan nilai digital citra yang diakibatkan pengaruh iluminasi, kondisi atmosfer, variasi viewing geometry, dan karakteristik respon instrume (sensor).sedangkan koreksi geometrik bertujuan agar citra dapat diintegrasikan dengan peta dasar. 2) Penajaman citra Penajaman citra bertujuan untuk visualisasi citra yang lebih efektif untuk diinterpretasi secara visual.citra hasil penajaman diharapkan memuat lebih banyak informasi. 3) Klasifikasi citra Klasifikasi digital bertujuan untuk menggantikan analisis visual melalui teknik kuantitatif untuk identifikasi objek secara otomatis. Pengambilan keputusan dalam pengenalan objek dapat diperoleh dengan pola pengenalan spektral, pola pengenalan spasial, ataupun klasifikasi berbasis objek. 4) Penggabungan data dan integrasi dengan SIG Langkah ini berguna dalam hal mengkombinasikan data citra dengan data bereferensi geografis pada wilayah yang sama. Pada lagkah ini juga digunakan untuk menerapkan konsep multi. 5) Analisis citra hiperspektral Analisis citra hiperspektral merupakan perluasan analisis citra multispektral.sensor hiperspektral memiliki potensi untuk menyajikan 11 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

18 informasi yang sangat banyak tentang karakteristik objek/permukaan baik meliputi komposisi fisik maupun aspek kimia. 6) Pemodelan biofisik Langkah ini berguna untuk menghubungkan data kuantitatif citra digital dengan kenampakan biofisik yang diukur di permukaan bumi. Langkah ini juga bertujuan untuk mensimulasikan fungsi sistem lingkungan secara keruangan dan untuk memprediksi perilaku apa yang akan terjadi jika terjadi perubahan kondisi tertentu. Pemodelan biofisik dapat dilakukan dengan cara pemodelan fisik, pemodelan empiris, dan kombinasi keduanya. 7) Transmisi dan kompresi citra Volume data digital yang dihasilkan oleh sensor foto udara ataupun satelit, sudah dalam jumlah banyak.penyimpanan, transmisi dan distribusi data dapat untuk representasi tugas berat daya komputasi yang tersedia Karakteristik ALOS AVNIR-2 ALOS/AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) merupakan citra uang digunakan untuk melakukan observasi daratan dan pantai khsusnya untuk menghasilkan peta tutupan lahan dan peta penggunaan lahan dalam memonitoring perubahan lungkungan. Adapun karakteristik citra ALOS AVNIR-2 adalah band 1 (0,42 0,50 µm), band 2 (0,52 0,60 µm), band 3 (0,61 0,69 µm), band 4 (0,76 0,89 µm). Citra ALOS AVNIR-2 mempunyai resolusi spasial 10 meter Transformasi Indeks Vegetasi Nilai indeks vegetasi dapat memberikan informasi tentang persentase penutupan vegetasi, indeks tanaman hidup, biomassa tanaman, kapasitas fotosontesis dan estimasi penyerapan karbon dioksida (Horning, 2004; Ji dan Peters, 2007). Nilai indeks vegetasi merupakan suatu nilai yang dihasilkan dari persamaan matematika dari beberapa band yang diperoleh dari data penginderaan jauh. Indeks vegetasi merupakan nilai yang diperoleh dari gabungan beberapa spektral band spesifik dari citra penginderaan jauh. Gelombang indeks vegetasi 12 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

19 diperoleh dari energi yang dipancarkan oleh vegetasi pada citra penginderaan jauh untuk menunjukkan ukuran kehidupan dan jumlah dari suatu tanaman. Tanaman memancarkan dan menyerap gelombang yang unik sehingga keadan ini dapat di hubungakan dengan pancaran gelombang dari objek-objek yang lain sehingga dapat di bedakan antara vegetasi dan objek selain vegetasi (Horning, 2004). Tanaman hidup menyerap gelombang tampak (visible) biru dan merah serta memantulkan gelombang hijau, oleh karena itulah kenapa mata manusia melihat daun-daun tanaman yang hidup adalah berwarna hijau. Akan tetapi ada satu jenis gelombang lain yang juga di pantulkan oleh tanaman selain gelombang hijau, akan tetapi gelombang ini tidak dapat di lihat oleh mata (invisible), gelombang ini adalah gelombang infra merah dekat (CCRS, 2007). Algoritma pemrosesan sinyal yang digunakan untuk mengamati keadaan vegetasi adalah algoritma NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Algoritma ini memanfaatkan fenomena fisik pantulan gelombang cahaya yang berasal dari dedaunan. Nilai kehijauan vegetasi suatu wilayah yang diamati berupa skala antara -1 (minimum) hingga 1 (maksimum) yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi vegetasi yang diterima oleh sensor pada panjang gelombang merah (RED) dan infra merah dekat (NIR). Secara ringkas NDVI dapat dirumuskan sebagai (NIR-RED)/(NIR+RED). Algoritma pemrosesan sinyal dijital untuk menghitung indeks vegetasi diperoleh dengan memanfaatkan karakteristik panjang gelombang pantul daun.struktur daun sangat bervariasi, tergantung dari spesies dan kondisi lingkungan tumbuhan tersebut hidup.karbon dioksida masuk ke dalam daun melalui lubang-lubang kecil yang disebut stomata, bagian epidermis bawah. Setiap stomata dikelilingi oleh sel penjaga (guard cell) yang mengatur masuknya karbon dioksida ke dalam daun.tumbuhan mampu memproduksi makanannya sendiri dengan mekanisme yang disebut sebagai fotosintesis.fotosintesis adalah proses penyimpanan energi yang berlangsung di dalam daun dan bagian hijau lainnya. Proses ini dilakukan dengan bantuan cahaya matahari dengan mekanisme reaksi kimia sebagai berikut : 13 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

20 Sebagian besar organ penyusun daun adalah organ yang bertugas dalam melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis inilah yang nantinya dimanfaatkan untuk menentukan apakah sebuah citra penginderaan jauh mengandung data vegetasi atau non-vegetasi. Molekul ketika tertabrak energi foton (cahaya) akan mengalami dua kondisi: molekul memantulkan energi foton tersebut atau menyerapnya dan tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Masing-masing molekul mempunyai karakteristik penyerapan dan pemantulan energi yang berbeda-beda. Molekul-molekul pigmen yang terdapat pada tumbuhan hijau menyerap panjang gelombang cahaya pada daerah cahaya tampak.daerah tersebut mempunyai rentang spektrum ntara 0.35 μm hingga 0.7 μm.gambar di bawah ini menunjukkan daerah spektrum cahaya yang terserap oleh pigmen daun. Pada tumbuhan sehat, pemantulan cahaya inframerah dekat (near infrared) akan terjadi secara signifikan pada rentang spektrum antara 0.7 μm hingga 1.2 μm. Hanya sedikit energi infrared ini yang terserap oleh struktur daun. Sebagian besar akan terhamburkan ke atas (reflected energy) dan ke bawah daun (transmitted energy). Pada daun yang sehat umumnya mempunyai pemantulan cahaya sebesar 40%-60%, transmisi cahaya sebesar 40%-60%, dan penyerapan relatif sebesar 5%-10%. Tampak bahwa penyerapan terbesar berada pada kanal cahaya biru dan merah Persentase refleksi cahaya inframerah dekat ( μm) oleh daun disebabkan karena penghamburan internal pada sisi dinding sel dalam daun.namun, besar prosentasi releksi ini berkurang pada rentang frekuensi μm.hal ini disebabkan karena uap air mempunyai karakteristik penyerapan cahaya pada rentang frekuensi tersebut.oleh karena itu, rentang sepektrum cahaya inframerah dekat yang optimal digunakan oleh aplikasi penginderaan jarak jauh berkisar antara 0.74 μm hingga 0.9 μm saja. 14 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

21 Gambar2. Spektrum Cahaya terpantul oleh daun Dalam aplikasi penginderaan jauh, indeks vegetasi merupakan cerminan tingkat kehijauan vegetasi yang juga dapat digunakan sebagai parameter kondisi kekeringan. Indeks vegetasi dapat berubah disebabkan oleh kondisi ketersediaan air akibat pergantian musim.kondisi indeks vegetasi rendah mengakibatkan penurunan produksi pangan, kebakaran, dan lain sebagainya. Untuk mengantisipasi akibat buruk tersebut, upaya pemantauan indeks vegetasi perlu dilakukan. Indeks vegetasi adalah besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal dijital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit. Untuk pemantauan vegetasi, dilakukan proses pembandingan antara tingkat kecerahan kanal cahaya merah (red) dan kanal cahaya inframerah dekat (near infrared). Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan cahaya inframerah dekat oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit pada kanal-kanal tersebut akan jauh berbeda. Pada daratan non-vegetasi, termasuk diantaranya wilayah perairan, pemukiman penduduk, tanah kosong terbuka, dan wilayah dengan kondisi vegetasi yang rusak, tidak akan menunjukkan nilai rasio yang 15 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

22 tinggi (minimum). Sebaliknya pada wilayah bervegetasi sangat rapat, dengan kondisi sehat, perbandingan kedua kanal tersebut akan sangat tinggi (maksimum). Nilai perbandingan kecerahan kanal cahaya merah dengan cahaya inframerah dekat atau NIR/RED, adalah nilai suatu indeks vegetasi (yang sering disebut simple ratio ) yang sudah tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan karena nilai dari rasio NIR/RED akan memberikan nilai yang sangat besar untuk tumbuhan yang sehat Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli, 2004). Berdasarkan bobot kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman, berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasi-fikasi menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan per-tanian, dan (e) RTH kawasankawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah. 16 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

23 Tabel 1.Fungsi dan Penerapan RTH pada beberapa tipologi kawasan perkotaan Tipologi Kawasan Perkotaan Fungsi Utama Karakteristik RTH Penerapan Kebutuhan RTH Pantai Pegunungan Rawan Bencana Berpenduduk jarang s.d. sedang Berpenduduk padat pengamanan wilayah pantai sosial budaya mitigasi bencana konservasi tanah konservasi air keanekaragaman hayati mitigasi/evakuasi bencana dasar perencanaan kawasan sosial ekologis sosial hidrologis Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2008 berdasarkan luas wilayah berdasarkan fungsi tertentu berdasarkan luas wilayah berdasarkan fungsi tertentu berdasarkan fungsi tertentu berdasarkan fungsi tertentu berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan fungsi tertentu berdasarkan jumlah penduduk 1) Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: - ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; - proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; - apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota.target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahapmelalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal. 17 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

24 2) Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan denganmengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH perkapita sesuai peraturan yang berlaku. NO Tabel 2.Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk Unit Lingkungan Tipe RTH Luas minimal/unit (m 2 ) Luas minimal/kap ita (m 2 ) Lokasi jiwa Taman RT 250 1,0 Tengah lingkungan RT jiwa Taman RW ,5 Pusat kegiatan RW jiwa Taman Kelurahan ,3 Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kelurahan jiwa Taman Kecamatan ,2 Dikelompokkan dengan sekolah/ pusat kecamatan Pemakaman disesuaikan 1,2 tersebar jiwa Taman kota ,3 Pusat wilayah kota Hutan kota Disesuaikan 4,0 Dalam/ kawasan pinggiran Untuk fungsi tertentu Disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan kebutuhan Sumber: DPU, ) Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, saranadan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengamanpejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsiutamanya tidak terganggu.rth kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringanlistrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber airbaku/mata air. 18 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Ngaglik. Secara astronomis wilayah Kecamatan Ngaglik terletak diantara BT BT dan antara LS LS (Sumber : Peta Rupa Bumi Digital Indonesia terbitan Bakosurtanal). Wilayah Kecamatan Ngaglik sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pakem, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ngemplak, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Depok dan Mlati, serta sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mlati dan Sleman. Luas Wilayah Kecamatan Ngaglik adalah 39,285 Km 2 atau sekitar 6,7% dari luas Kabupaten Sleman yaitu 574,82 Km². Secara administratif Kecamatan Ngaglik terdiri 6 desa, yaitu Sariharjo, Sinduharjo, Sardonoharjo, Minomartani, Sukoharjo, dan Donoharjo. 3.2 Bahan dan Alat yang digunakan: Citra ALOS AVNIR-2 tahun perekaman Citra Quickbird Kecamatan Ngaglik Tahun Data Rencana Detil Tata Ruang Kota Kecamatan Ngaglik Perangkat Lunak; Image Processing Software, GIS Software, dan Microsoft untuk penulisan laporan. GPS digunakan sebagai penentu koordinat di lapangan 3.3 Pelaksanaan Penelitian Penelitian menggunakan image processing software untuk ektraksi data indeks vegetasi dan penggunaan lahan yang akan digunakan sebagai input untuk evaluasi tata ruang Kabupaten. Pre-pemroesan citra digital dimulai dari Koreksi Radiometrik dan Koreksi Geometrik. 19 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

26 Transformasi Indeks Vegetasi menggunakan NDVI (Normalizeed Difference Vegetation Index). Adapun persamaan dari indeks vegetasi tersebut adalah: NDVI = ρ ρ ρ + ρ Keterangan : ρ = saluran inframerah ρ = saluran merah Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis presentase tutupan vegetasi untuk melakukan evaluasi Tata Ruang Kabupaten Sleman. Untuk mendapatkan sebaran presentasi tutupan vegetasi, maka hasil transformasi indeks vegetasi diturunkan menjadi persentase tutupan vegetasi dengan melakukan regresi terhadap data pengukuran lapangan dan interpretasi citra Quickbird. Data persentase tutupan vegetasi digunakan untuk melakukan analisis tentang tutupan vegetasi terhadap kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Kecamatan Ngaglik. 20 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Citra Pengolahan citra ALOS AVNIR-2 diawali dengan melakukan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan efek atmosfer sehingga nilai piksel menunjukkan nilai pantulan objek dipermukaan bumi. Koreksi geometrik dilakukan dengan metode image to map berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : yang dibuat oleh Bakosurtanal. Koreksi geometrik meliputi dua tahap yaitu Interpolasi spasial metode polinomial orde 1 dan resampling dengan nearest neighbor. Interpolasi spasial metode polinomial orde 1 mengoreksi posisi piksel sehingga setelah dikoreksi mendekati posisi sebenarnya di permukaan bumi menggunakan Ground Control Point (GCP). Resampling dengan nearest neighbor untuk mengembalikan nilai piksel citra akibat adanya perubahan nilai piksel yang dikarenakan perubahan posisinya. Hasil dari koreksi ini adalah citra yang siap digunakan untuk analisis indeks vegetasi. Citra yang sudah terkoreksi lalu dipotong sesuai daerah penelitian. 4.2 Transformasi Indeks Vegetasi Transformasi indeks vegetasi NDVI dijalankan pada citra yang sudah terkoreksi. Hasil dari transformasi NDVI merupakan nilai indeks dengan rentang - 1 sampai 1. Nilai indeks vegetasi selanjutnya digunakan untuk pembuatan model untuk mendapatkan nilai kerapatan vegetasi di daerah penelitian. Hasil pengolahan citra menunjukkan bahwa nilai indeks vegetasi pada daerah penelitian memiliki rentang dari hingga (Gambar 3). Nilai indeks ini belum mencerminkan nilai kerapatan vegetasi. Nilai kerapatan vegetasi diturunkan dari model yang dibangun antara nilai indeks dengan kerapatan vegetasi hasil pengukuran lapangan. 21 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

28 Gambar 3. Hasil transformasi NDVI Nilai NDVI mencerminkan keberadaan vegetasi. Dari analisis nilai NDVI terhadap penutup lahan diperoleh hubungan bahwa nilai indeks yang rendah terdapat pada lahan terbangun. Nilai indeks dalam rentang 0-1 merupakan daerah dengan tutupan vegetasi dengan kerapatan yang berbeda-beda. Nilai indeks ini tidak bisa langsung diturunkan menjadi nilai kerapatan vegetasi, namun hal ini bisa ditempuh melalui sebuah model dengan mengetahui hubungan antara nilai indeks dengan kerapatan vegetasi. 4.3 Hubungan Nilai NDVI dan Kerapatan Vegetasi Hubungan antara nilai NDVI dan kerapatan vegetasi diperoleh dengan melakukan analisis regresi linier antara nilai NDVI dengan kerapatan vegetasi hasil pengukuran lapangan. Pengukuran lapangan dilakukan pada sampel-sampel yang ditentukan berdasarkan kelas rentang nilai NDVI. Nilai NDVI dibagi menjadi 6 kelas untuk kemudian diambil sampel yang memadai untuk setiap kelas NDVI. Pengambilan sampel diusahakan pada daerah yang dimungkinkan tidak mengalami perubahan dari waktu perekaman citra hingga waktu lapangan untuk menghindari adanya kesalahan data akibat perubahan penutup lahan (Lampiran 1). 22 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

29 Hasil regresi (Gambar 4) menunjukkan adanya hubungan antara nilai NDVI dan kerapatan vegetasi yaitu Kerapatan vegetasi = (188.1 x (NDVI)) (1) Hubungan regresi tersebut memiliki nilai korelasi (R 2 ) sebesar 0,773 sehingga terdapat hubungan korelasi yang cukup tinggi antara nilai NDVI dengan kerapatan vegetasi. Dengan model hubungan tersebut, selanjutnya citra hasil NDVI dapat diturunkan menjadi peta kerapatan vegetasi melalui perhitungan nilai piksel pada citra NDVI dengan menggunakan rumus (1). Hasil dari proses ini adalah peta kerapatan vegetasi Kecamatan Ngaglik. Grafik Regresi Nilai NDVI dengan Kerapatan Vegetasi 100,000 80,000 Kerapatan Vegetasi 60,000 40,000 20,000 0,000-0,100 0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500-20,000 y = 188.1x R² = Gambar 4. Grafik regresi linier antara nilai NDVI (sumbu x) dan kerapatan vegetasi (sumbu y) 4.4 Peta Kerapatan Vegetasi Nilai NDVI Hasil transformasi indeks vegetasi mengasilkan peta kerapatan vegetasi (Lampiran 2), dimana pada penelitian ini dibagi manjadi 5 kelas kerapatan vegetasi, yaitu kerapatan sangat rendah, kerapatan rendah, kerapatan sedang, 23 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

30 kerapatan tinggi, dan kerapatan sangat tinggi. Prosentase kerapatan vegetasi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5, menunjukkan bahwa sebesar 34,24%dari wilayah Kecamatan Ngaglik merupakan kawasan tidak bervegetasi. Kecamatan Ngaglik di dominasi oleh kerapatan vegetasi sedang, dimana kerapatan vegetasi ini menutupi wilayah Kecamatan Ngaglik sebesar 25,61%, kemudian disusul oleh kerapatan vegetasi rendah, yaitu sebesar 20,81% dan keraptan vegetasi sangat rendah sebesar 13,75%. Sebaliknya, kerapatan vegetasi tinggi dan kerapatan vegetasi sangat tinggi memiliki prosentase yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 4,8% dan 0,02%. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa Kecamatan Ngaglik memiliki kerapatan vegetasi skala rendah-sedang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan vegetasi skala tinggi. Secara spasial, kerapatan vegetasi Kecamatan Ngaglik disajikan pada peta kerapatan vegetasi (Lampiran 3). Berdasarkan peta tersebut terlihat bahwa kawasan tidak bervegetasi tersebar di setiap desa di Kecamatan Ngaglik. Desa Minomartani dan Sariharjo merupakan desa yang setengah wilayahnya merupakan kawasan tidak bervegetasi, yaitu berturut-turut sebesar 52,14% dan 50,93%. Sebagaimana disebutkan diatas, bahawa kerapatan vegetasi sedang adalah kerapatan vegetasi yang mendominasi di Kecamatan Ngaglik. Sebesar 33,04% dari desa Donoharjo memiliki kerapatan vegetasi sedang, sebaliknya pada desa Sukoharjo tidak ada kerapatan vegetasi sedang (0%). Kerapatan vegetasi sangat rendah dan rendah tertinggi terdapat di Desa Sukoharjo, dengan prosentase kerapatan berturut-turut adalah 22,03% dan 29,98%. Sementara untuk kerapatan vegetasi tinggi terdapat di Desa Sinduharjo dengan prosentase sebesar 6,57%dan terendah pada desa Sariharjo (2,62%). Kerapatan vegetasi sangat tinggi untuk setiap desa menutupi sebesar 0% dari wilayahnya untuk desa Donoharjo, Sardonoharjo, dan Desa Minomartani, sebesar 0,01% untuk desa Sariharjo, dan sebesar 0,05% untuk desa Sukoharjo dan desa Sinduharjo. 24 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

31 PROSENTASE KERAPATAN VEGETASI Gambar 5. Prosentase Kerapatan Vegetasi. 4.5 Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pemerintah telah membuat Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Ngaglik, salah satu diantaranya adalah rencana Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti terlihat pada Lampiran 4. Dari peta tersebut diketahui bahwa luas RTH yang direncanakan hanya seluas m 2 atau hanya sekitar 0,8 % dari luas Kecamatan Ngaglik. Dalam hal ini, sepertinya keberadaan penggunaan lahan bervegetasi seperti sawah maupun kebun campuran tidak dimasukkan dalam rencana RTH. Peta kerapatan vegetasi menunjukan tutupan vegetasi di Kecamatan Ngaglik tahun 2009 seluas m² atau sebesar % dari luas total Kecamatan Ngaglik yaitu seluas m² dengan keberadaan tutupan awan seluas m² atau sebesar 0.76 % dari luas Kecamatan Ngaglik. Hal ini berarti keberadaan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Kecamatan Ngaglik sudah memenuhi kebutuhan wilayah Kecamatan Ngaglik sebagai daerah perkotaan yang memiliki minimal luas RTH sebesar 30% dari luas wilayahnya. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa tutupan vegetasi yang terdapat di Kecamatan Ngaglik dalam analisis ini memiliki kerapatan beragam, bahkan didominasi oleh kerapatan rendah dan sedang. Daerah dengan tutupan vegetasi kerapatan rendah dan sedang ini perlu dijaga agar tidak berkurang atau berubah menjadi lahan terbangun. Tabel 3 menunjukkan persebaran tutupan vegetasi dalam berbagai kerapatan berdasarkan administrasi desa. Berdasarkan tabel tersebut, Desa Sariharjo dan Desa Minomartani memiliki prosentase daerah tidak bervegetasi 25 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

32 yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ketersediaan RTH sudah terpenuhi, namun persebarannya masih belum merata. 4.6 Analisis Terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) Analisis terhadap Rencana Detil Tata Ruang Kota (RDTRK) dilakukan dengan melakukan analisis tumpangsusun rencana pemanfaatan ruang dengan tutupan vegetasi dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Untuk analisis ini, daerah dengan kerapatan vegetasi dari kerapatan sangat rendah hingga sangat tinggi diasumsikan sebagai daerah yang memiliki tutupan vegetasi. Alokasi peruntukan ruang yang memiliki tutupan vegetasi terbesar yaitu sawah dengan luas tutupan vegetasi m² atau sebesar 78,76% dari luas keseluruhan sawah yaitu seluas m². Sedangkan alokasi peruntukan ruang yang memiliki tutupan vegetasi terkecil yaitu pasar dengan luas tutupan vegetasi 368 m² atau 8,65 % dari luas total pasar yaitu m². Adapun kerapatan vegetasi menurut rencana pemanfaatan ruang dapat dilihat pada Tabel 5. Analisis terhadap RTH dilakukan dengan melakukan analisis tumpangsusun rencana RTH dengan peta penggunaan lahan hasil interpretasi citra ALOS AVNIR ditunjukkan pada Lampiran 7. Untuk analisis ini, daerah dengan tutupan vegetasi dari interpretasi citra ALOS AVNIR adalah sawah, kebun campuran dan sarana olahraga. Dari analisis ini, terlihat bahwa hanya penggunaan berupa sarana olahraga yang direncanakan menjadi RTH. 26 Kajian Ekstraksi Informasi Indeks Vegetasi untuk Evaluasi Ruang Terbuka Hijau

EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN CITRA ALOS DI KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA

EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN CITRA ALOS DI KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA Jurnal Agroteknologi. Vol. 3 No. 2, Februari 2013:27-34 EKSTRAKSI DATA INDEKS VEGETASI UNTUK EVALUASI RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN CITRA ALOS DI KECAMATAN NGAGLIK KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA (Vegetation

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS, Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2

KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 KAJIAN CITRA RESOLUSI TINGGI WORLDVIEW-2 SEBAGAI PENUNJANG DATA DASAR UNTUK RENCANA DETAIL TATA RUANG KOTA (RDTRK) Heri Setiawan, Yanto Budisusanto Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh 1 Mira Mauliza Rahmi, * 2 Sugianto Sugianto dan 3 Faisal 1 Program Studi Magister Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Program Pascasarjana;

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR 32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA Artan Niki Alunita artan_niki@yahoo.com Projo Danoedoro projo.danoedoro@yahoo.com

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS

Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS Analisis Indeks Vegetasi menggunakan Data Satelit NOAA/AVHRR dan TERRA/AQUA-MODIS Dodi Sudiana dan Elfa Diasmara Optoelectrotechnique and Remote Sensing (OPRES) Research Group, Departemen Teknik Elektro,

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun

Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun Perubahan Nilai Konsentrasi TSM dan Klorofil-a serta Kaitan terhadap Perubahan Land Cover di Kawasan Pesisir Tegal antara Tahun 1994-2012 Miftah Farid 1 1 Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan yang terjadi di wilayah perkotaan sedang mengalami perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan yang terjadi lebih banyak

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR RG

SIDANG TUGAS AKHIR RG SIDANG TUGAS AKHIR RG 091536 KAJIAN KETELITIAN PLANIMETRIS CITRA RESOLUSI TINGGI PADA GOOGLE EARTH UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1: 10000 KECAMATAN BANJAR TIMUR KOTA BANJARMASIN NOORLAILA HAYATI 3507100044

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA

ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA Robiatul Udkhiyah 1), Gerry Kristian 2), Chaidir Arsyan Adlan 3) 1,2,3) Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa

Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa ISSN 0853-7291 Pemanfaatan Citra Aster untuk Inventarisasi Sumberdaya Laut dan Pesisir Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Kepulauan Karimunjawa Petrus Soebardjo*, Baskoro Rochaddi, Sigit Purnomo Jurusan Ilmu

Lebih terperinci